Anda di halaman 1dari 7

BAB III

DESKRIPSI PENELITIAN

3.1 SEJARAH SINGKAT DESA JONO OGE

Pada zaman dahulu ada sebuah lembah yang sangat luas dan ditumbuhi

alang-alang. Orang yang pertama kali datang di tempat ini bernama Sumbadjono

dengan saudaranya, Beliau berasal dari Palu bagian Barat dengan maksud untuk

berburu babi hutan dan rusa mengingat di tempat tersebut sangat baik sehingga

Sumbadjono dan saudaranya tersebut mengambil keputusan untuk membuat

pondok atau bambaru. Mata pencaharian masyarakat dahulu di samping berburu

babi hutan dan rusa, juga membuka lahan perkebunan dengan cara membakar

pohon karena pada saat itu belum ada alat untuk menebang pohon seperti Baliu

(Kampak).

Pada tahun 1965 S/d 1970 masih ada masyarakat yang membuat pondok

atau bambaru di atas pohon setinggi ± 20 – 30 M. Hal ini dilakukan untuk

menghindari binatang buas. Alat pertanian yang mereka gunakan yaitu parang,

cangkul dan kapak. Kemudian lambat laun pun akhirnya mereka mengambil

sanak keluarga untuk menetap atau tinggal di tempat itu sampai mempunyai

keturunan di atas pohon setinggi ± 20 – 30 M. Mereka sangat senang mempunyai

tempat berteduh siang dan malam, sehingga tempat tersebut diberi nama Jono

Oge.

Nama Jono Oge berasal dari bahasa Kaili yaitu Jono dan oge, jono artinya

alang-alang dan Oge yang artinya luas, karena dahulu jono oge ditumbuhi oleh
alang-alang dimana-mana dan sangat luas. Keturunan Sumbadjono-lah yang

menjadi penduduk asli desa Jono Oge sampai sekarang.

Makanan pokok masyarakat Jono Oge pada zaman dahulu yaitu Jagung, ubi

kayu, ,sagu, kayu silar (lanu = bahasa Kaili Da’a) sejenis kayu lontar. Biarpun

panas atau teriknya matahari jenis kayu Silar atau Lanu ini tetap hidup. Pada

zaman itu selain dari beras bulgur ada juga umbi-umbian dan sirsak karna

makanan masih sulit untuk di temukan.

Setelah adanya Air Gumbasa pada tahun 1980, maka cara hidup

masyarakat mulai berubah. Mereka mulai belajar menanam padi sehinggga

lambat laun sagu tidak lagi menjadi makanan pokok bagi penduduk di Desa Jono

Oge karena sudah ada beras sebagai penggantinya.

Pada tahun 1910 desa Jono Oge sudah mempunyai pemimpin yang

dinamakan Kepala Suku, Pada tahun 1918 S/d 1986 dari kepala Suku diganti

dengan Kepala Kampung, Pada tahun 1986 S/d 2009 Kepala Suku Atau Kepala

Kampung sudah diganti dengan Kepala Desa. Pada tahun 1910 S/d 1971 belum

ada terbentuk Kepala Dusun Pada tahun tersebut diatas belum ada Pemerintahan

masih dikenal dengan Magau/Madika. Pada tahun 1986 S/d 2009 sudah

terbentuk Kepala Dusun sampai Sekarang. Pada tahun 1910 S/d 1971 belum ada

RT semua masih dirangkul oleh Kepala Kampung. Pada tahun 1986 S/d 2009 RT

baru terbentuk atas perintah dari camat.

Saat ini desa jono oge dengan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh

Kepala Desa dan dibantu dengan sekertaris desa beserta kaur-kaurnya (kepala
urusan) diantaranya Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Umum, Kaur

Pembangunan dan Kaur Keuangan. Terdapat 5 kepala Dusun dan 22 RT.

3.2 KONDISI GEOGRAFIS

Luas desa Jono Oge 494 Ha. Untuk sawah 215 Ha, perkebunan 229 Ha,

pekarangan 45 Ha. Batas-batas desa adalah sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lolu,

 Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pombewe,

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sidera dan,

 Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Langaleso/ Paneki

Kecamatan Dolo.

3.3 KONDISI DEMOGRAFIS

Desa Jono Oge memiliki 2.634 penduduk yang terdiri dari 878 jumlah KK;

1. 273 penduduk laki-laki dan 1. 361penduduk perempuan. Kedaaan penduduk

tersebut dapat digambarkan melalui tabel berikut:

Tabel 1. Keadaan Penduduk


No Uraian Jumlah
1. Kesejahteraan sosial
a. Jumlah KK prasejahtera 678
b. Jumlah KK sejahtera 200
2. Tingkat pendidikan
a. Tidak tamat SD 385
b. SD 658
c. SLTP 567
d. SLTA 479
e. Diploma/ Sarjana 87
3. Mata pencaharian
a. Petani 600
b. Buruh Tani 50
c. Peternak 10
d. Pedagang 50
e. Tukang kayu 10
f. Penjahit 1
g. PNS 70
h. Pensiunan 6
i. TNI/POLRI 15
j. Perangkat Desa 29
k. Pengrajin -
l. Guru swasta 2
m. Sopir 8
n. Montir 5
4. Agama
a. Islam 1.238
b. Kristen 1.376
c. Hindu 20
Sumber : Data Sekunder Kantor Desa Jono Oge
3.4 KONDISI SOSIAL, BUDAYA DAN EKONOMI

A. Pendidikan

Pendidikan di desa jono oge secara garis besar sudah dikatakan

maju. Kesadaran masyarakat terhadap dunia pendidikan sangat tinggi

mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini terbukti

dengan tersedianya fasilitas mulai dari PAUD-TK, sekolah dasar dan

Sekolah menengah pertama, sudah begitu banyak muridnya. Begitu halnya

dengan pendidikan ilmu agama, terdapat beberpa Taman Pengajian anak.

Animo masyarakat begitu besar terhadap pendidikan karena masyarakat


sudah menyadari bagaimana pentingnya pendidikan untuk masa depan

anak-anak mereka. Berikut ini disediakan tabel fasilitas pendidikan di desa

jono oge :

Tabel 2
Fasilitas pendidikan desa jono oge

No Fasilitas Pendidikan Jumlah murid

PAUD - TK AL - AMANAH 20
1. TK HARAPAN BANGSA 80
PAUD MELATI 30
SDN INPRES 1 JONO OGE 300
2. SD BALA KESELAMATAN 80
SMP BALA KESELAMATAN 50
TPA AL – AMANAH 100
3. TPA AL – MUHAJIRIN 20
TPA AL – ALHIDAYAH 40
Sumber : Data Sekunder Kantor Desa Jono Oge

B. Mata Pencaharian

Sesuai dengan data yang telah dipaparkan sebelumnya, mata

pencaharian masyarakat di desa jono oge adalah sebagian besar sebagai

petani dan pekebun. Masyarakat lokal maupun pendatang menjadikan

lahan mereka untuk pertanian dan perkebunan sebagai penopang

kehidupan mereka. Hal ini berkaitan erat dengan potensi lahan di desa

jono oge sebagai penyedia utama terhadap tanaman produksi yang

dilakukan oleh masyarakat.

Hal ini didukung pula dengan adanya saluran irigasi sungai

gumbasa yang tentunya sangat membantu masyarakat dalam melakukan


aktifitas dibidang pertanian dan perkebunan. Mengingat kondisi air juga

sangat berpengaruh terhadap hasil produksi pertanian dan perkebunan.

Dengan potensi pertaian dan perkebunan yang dialukan oleh masyarakat di

desa jono oge, sehingga pemeritah kabupaten sigi menjadikan desa jono

oge sebagai kawasan rumah pangan lestari.

C. Budaya

Kondisi budaya di desa jono oge sampai saat ini masih tetap

dilestarikan oleh mayarakat. Masyarakat masih melaksanakan berbagai

macam adat seperti adat pernikahan dan kematian. Di dalam adat

perniakahan dikenal adat tujuh dan adat Sembilan. Adat Sembilan ini di

adakan oleh masyarakat desa yang berekonomi sudah mapan . Terdapat

empat bahan yang di isi dalam sediakan dalam dompet / eputuyu. Adapun

bahan-bahan tersebut yaitu Pinang 9 buah, Sirih 9 buah, Gambir 9 buah

dan tembakau 9 gulung. Sedangkan Adat tujuh diadakan oleh masyarakat

desa berekonomi yang kurang mampu. Bahan–bahannya sama seperti adat

Sembilan buah tetapi masing–masing hanya berjumlah tujuh buah. Seperti

pinang 7 buah, Sirih 7 buah, Gambir 7 buah, Tembakau 7 gulung.

Adat ini di lakukan pada saat acara pinangan dan bahan – bahan

tersebut di gendong oleh orang tua pihak laki – laki. Jika kedua belah

pihak setuju, maka pihak laki–laki menyiapkan ayam jantan satu ekor dan

pihak perempuan membawa satu ekor ayam betina untuk upacara adat. Ini

merupakan perkawinan secara adat yang sah. Setelah menikah dan ketika
istri hamil berusia tiga bulan, maka di adakan pertemuan ke dua yaitu

pebau / pantale yang artinya penyelesaian mahar.

Selain dari pelaksanaan adat sebagai eksistensi keberadaan budaya

namun masyarakat juga masih menggunakan norma-norma dan kaidah

dalam pergaulan hidup diantara masyarakat. Dimana didalam pergaulan

hidup diantara masyarakat ada norma-norma dan kaidah-kaidah yang telah

menjaadi kesepakantan bersama, agar terciptanya hubungan yang

hormonis diantara masyarakat. Walaupun peraturan adat sifatnya tidak

tertulis namun menurut masyarakt sanksi adat lebih berata dari sanksi

hukum pemerintah. Karena jika seseorang dikenakan sanksi adat denda

yang bebankan kepadanya sangat berat dan sanksi sosial juga akan

diberlakukan kepada pelanggaran hukum adat yang berlaku.

Adapun kepercayaan nenek moyang suku Da’a pada saat itu masih

menganut kepercayaan Animisme yaitu :

I. Masih membawa sajian-sajian di bawah pohon-pohon kayu. Hal itu di

lakukan karena mereka menganggap bahwa di pohon tersebut mempunyai

makhluk-makhluk yang berkuasa.

II Menyembah di gua-gua batu yang besar. Mereka menganggap bahwa di

batu tersebut mempunyai kuasa gaib yang bisa membawa rejeki. Inilah

peradaban-peradaban suku Da’a sampai sekarang masih berlaku yang

bertempat tinggal di pedalaman-pedalaman (di gunung). Tetapi ada juga

yang sudah di jangkau oleh agama dan pendidikan. Agama yang di anut

yaitu Kristen ( Bala Keselamatan ) dan Agama Islam.

Anda mungkin juga menyukai