Laporan Pendahuluan SDH
Laporan Pendahuluan SDH
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN SUBDURAL HEMATOMA (SDH) DI RUANG INTENSIVE
CARE UNIT (ICU) RSD dr. SOEBANDI JEMBER
oleh:
Nur Fajar Islamiyah, S.Kep
NIM 142311101158
1. KONSEP TEORI
1.1 Anatomi Fisiologi
Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta terdiri
terutama dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan internal dan
stimulus eksternal dippantau dan diatur. kemampuan khusus seperti iritabilitas, atau
sensitivitas terhadap stimulus, dan konduktivitas, atau kemampuan untuk menstransmisi
suatu responsterhadap stimulasi, diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama:
a. input sensorik, sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui reseptor, yang
terletak di tubuh baik eksternal (reseptor somatik) maupun internal (reseptor viseral)
b. aktivitas integratif. reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang menjalar di
sepanjang saraf sampai ke otak dan medula spinalis, yang kemudian akan
menginterpretasi dan mengintegrasi stimulus, sehingga respons terhadap informasi bisa
terjadi.
c. output motorik. impuls dari otak dan medulla spinalis memperoleh respons yang sesuai
dari otot dan kelenjar tubuh, yang disebut sebagai efektor (Sloane, 2002).
Gunadarma (2011) mengatakan, bahwa anatomi pusat kehidupan manusia terletak pada
otak dan sumsum tulang belakang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Jaringan Pelindung
Sistem saraf pusat (central nervous system/CNS) terdiri dari otak dan sumsum tulang
belakang. Sistem saraf perifer terdiri dari saraf-saraf kepala, saraf tulang belakang, dan
ganglia perifer. CNS dilindungi oleh sumsum tulang belakang, yang dilindungi oleh ruas-
ruas tulang belakang dan otak dilindungi oleh tengkorak.
2
melalui operasi dengan memasang tabung saluran ke salah satu ventrikel kemudian
tabung tersebut diletakkan dibawah kulit dan dihubungkan dengan katup pengurang
tekanan yang dipasang pada rongga perut. Bila tekanan pada ventrikel meningkat, katup
akan bekerja dan mengalirkan CSF ke perut sehingga dapat direabsorbsi ke dalam
peredaran darah (Pearce, 2006).
1.2 Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid.
Perdarahan subdural dapat berasal dari: Ruptur Bridging vein yaitu vena yang berjalan
dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara
di dalam sinus venosus dura mater, Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid,
atau araknoid (Meagher, 2013).
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (di antara
duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi
bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan
otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium
dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan
subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak
dibawahnya berat (Heller, 2012).
5
1.3 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural (Tom,
et al 2011). Perdarahan subdural dapat terjadi pada:
1.3.1 Trauma
a. Trauma kapitis
1. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran
otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
2. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila
ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga
pada anak – anak.
b. Non trauma
1. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural.
2. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural
yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
3. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.
6
1.4 Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak
dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang
bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan
terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena
halus pada tempat di mana mereka menembus duramater. Perdarahan yang besar akan
menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural (Meagher, 2013).
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah parietal.
Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium
atau diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura
interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena-vena yang berjalan
diantara hemisfer bagian medial dan falks; juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi
traumatik dari arteri pericalosal karena cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik
akan memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak–anak kecil
perdarahan subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan
karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome). Walaupun
perdarahan subdural jenis ini tidak patognomonis akibat penyiksaan kejam (child abused)
terhadap anak, kemungkinannya tetap harus dicurigai (Brunicardi, 2004).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik
cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena
tekanan intracranial yang berangsur meningkat (Brunicardi, 2004).
sadar sejak kejadian trauma, yang lain menunjukkan beberapa lucid interval (Heller et al,
2012).
Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh massa
hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik yang paling
sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim otak biasanya
terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral terhadap defisit motorik.
Akan tetapi gambaran pupil dan gambaran motorik tidak merupakan indikator yang
mutlak bagi menentukan letak hematoma. Gejala motorik mungkin tidak sesuai bila
kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap SDH atau karena terjadi
kompresi pedunkulus serebral yang kontralateral pada tepi bebas tentorium. Trauma
langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma menyebabkan
dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil lebih dipercaya
sebagai indikator letak SDH (Tom et al, 2011).
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada tingkat
yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran hematom
subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada efek
massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari
peninggian tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema,
diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya,
kadang kala dengan riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak
(Sjamsuhidayat, 2004).
1.5.1 Hematoma Subdural Akut .
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam
foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini
dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah (Sjamsuhidayat, 2004).
1.5.2 Hematoma subdural subakut.
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini
juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari
penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka
waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami
kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara
maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan
oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi
tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak (Sjamsuhidayat, 2004).
1.5.3 Hematoma subdural kronik.
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang
10
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.
Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane
fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma
(Sjamsuhidayat, 2004).
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada
usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan, sehingga selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah (Tom et al,
2011).
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada
dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan (Tom
et al, 2011). petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
a. sakit kepala yang menetap
b. rasa mengantuk yang hilang-timbul
c. linglung
d. perubahan ingatan
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan
bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas
otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian
atas tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh
garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural
hematom dan biasanya unilateral. Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH)
dapat berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan
menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan
tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak
ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift
hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya. Perdarahan
subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum relatif tidak bergerak
sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana.
Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan
gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan
dengan child abused.
2. Perdarahan Subdural Subakut.
Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan
otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan
CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural
dalam waktu 48 – 72 jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighted
MRI lesi subakut akan tampak hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras,
vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural
hematoma dan jaringan otak. Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk
lensa (bikonveks) sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan
epidural hematoma. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat
lesi subdural subakut tanpa kontras.
3. Perdarahan Subdural Kronik.
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada
gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat
bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali,
hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang
mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara
komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).
12
1.7 Penatalaksanaan
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita harus
memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa mempersiapkan
tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medikamentosa
untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol
0,25gr/kgBB, atau furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan.
1.7.1 Tindakan Tanpa Operasi
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan
konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang
rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
13
Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan SDH akut dimana tebal
hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari penderita ini kemudian
mendapat ICH yang memerlukan tindakan operasi. Ternyata dua pertiga dari penderita ini
mendapat perbaikan fungsional.
Croce dkk merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan tekanan
intrakranial (TIK) yang normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari penderita yang
membutuhkan operasi untuk SDH.
Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan
peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna kemungkinan menderita suatu
diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik
dan karenanya tidak di indikasikan untuk tindakan operasi (Bullock, 2006).
Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak dengan efek
massa (mass effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini, tindakan operasi/evakuasi
walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan TIK dan memperbaiki keadaan
intraserebral.
Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan depresi pusat
pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk dan bukan calon untuk
operasi (Bullock, 2006).
1.7.2 Tindakan Operasi
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang
progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma.
Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita
perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs) (Bullock, 2006). Tindakan
operasi ditujukan kepada:
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada.
yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-
tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali
dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka dalam hal ini hematoma harus
dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial skening tomografi pasca
kraniotomi sebaiknya juga dilakukan. CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi
kesadaran tidak membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang
timbul kemudian. Handicap International (2013) mengatakan, bahwa latihan yang dapat
dilakukan pada penderita SDH adalah sebagai berikut.
a. Fase awal
Yang harus di perhatikan pada fase ini cegah komplikasi sekunder dan melindungi
fungsi yang tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin setelah keadaan umum
memungkinkan dimulainya rehabilitasi. Hal-hal yang dapat dikerjakan adalah proper bed
positioning, latihan luas gerak sendi, stimulasi dan begitu penderita sadar dimulai
penanganan masalah emosional.
b. Fase lanjutan
Yang harus diperhatikan pada fase ini adalah mencapai kemandirian fungsional dalam
mobilisasi dan aktifi tas kegiatan sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai pada waktu penderita
secara medik telah stabil. Biasanya pasien perdarahan subarakhnoid mobilisasi dimulai 10-15
hari setelah kejadian.
c. Positioning
sehingga seluruh celana terpasang di perut, tangan sehat membantu tangan sakit
memasang rosleting dan kancing celana hingga terpasang dengan sempurna
3) Melepas celana
Tangan sehat membantu tangan sakit membuka rosleting/kancing celana, penderita
sedikit mengangkat pantat agar celana dapat ditarik keluar dari tubuh atas kerja sama
antara tangan sehat dan tangan sakit. Lakukan berulang kali sehingga penderita
berpengalaman (memakai dan melepas pakaian)
6. Transfer
a) Satu tangan keluarga memegang tangan dan tangan yang lain keluarga memegang ikat
pinggang/stage penderita.
b) Kaki sehat penderita ditetakkan agak ke belakang, sehingga 2/3 tubuh penderita saat
berdiri tertumpuk pada tungkai sehat penderita, kaki sakit diletakkan agak kedepan.
c) Keluarga mennginstruksikan untuk menuju posisi berdiri kemudian berjalan peIan-
pelan menuju ke kursi.
7. Latihan Mobilisasi
a) Latihan persiapan berdiri dari posisi duduk.
Pasien duduk di kursi dengan telapak kaki menyentuh lantai, dengan posisi tangan
saling menggenggam (yang lesi di atas) dan di depannya ada stool yang tingginya
lebih rendah sedikit dari kursi pasien. Terapis memandu pasien untuk mengangkat
hipnya dari kursi dan menarik lutut ke depan dengan satu tangan terapis dan
membantunya untuk memindahkan berat badan dengan tangan terapis yang lain yang
berada di pantat Apabila pasien sudah mampu melakukan gerakan di atas maka tangan
pasien dapat diletakkan di stool dan terapis berada di samping sisi lesi pasien dengan
satu tangan menjaga siku tetap lurus dan tangan terapis yang lain di pantat agar tidak
jatuh ke belakang
b) Latihan duduk ke berdiri.
Pasien butuh bantuan secukupnya untuk fleksi hip dan membawa ke depan dengan
spine tetap ekstensi. Pasien duduk di kursi dengan menggenggam tangan (yang lesi di
atas) pada posisi sendi bahu 900 dan ekstensi siku, lalu terapis melakukan gerak pasif
dengan penekanan spine lalu pasien mengangkat tangan dan melakukan gerak
ekstensi punggung (terapis berada di samping sisi lesi pasien) . Setelah itu terapis
melakukan gerakan dari duduk ke berdiri,dimana satu tangan terapis menyangga pada
pergelangan tangan dan tangan yang lain memegang celana / sabuk di bagian
belakang pasien, lalu pasien di minta gerak membungkuk, mengayukan tangan ke atas
dan gerak hip serta lutut lurus dan terapis membantu untuk mengangkat tangan pasien
ke atas hingga timbul reaksi berdiri.
c) Latihan weight bearing pada posisi berdiri.
Pasien berdiri dan terapis berada disamping sisi lesi pasien, lalu pasien di minta untuk
memindahkan kaki ke depan dan diikuti pemindahan berat badan ke depan dan ke
belakang. Namun kaki sehat dulu untuk menumpu baru sisi yang lesi dan terapis tetap
menjaga agar tidak jatuh ke depan pada saat kaki yang lesi ke depan dengan mengunci
pada lututnya.
d) Latihan berjalan.
Terapis memfiksasi pada bahu pasien dan berada di depan pasien sehingga antara
pasien dan terapis saling berhadapan, dan tangan pasien memegang bahu terapis .
Namun sebelum berjalan terapis terlebih dahulu memberitahu kepada pasien apabila
19
saat terjadi gerakkan sendi bahu ke depan, pasien harus meluruskan sendi panggul
agar tidak bergerak namun tungkai yang berada pada sisi berlawanan dengan sendi
bahu yang bergerak ke depan harus bergerak ke depan (sehingga terjadi gerak
kontralateral antara sendi bahu dengan tungkai). Setelah itu dilatih jalan dengan
adanya tingkattingkatan yakni pegangan terapis masih pada bahu pasien namun
terapis berada di belakang pasien. Dan yang terakhir pegangan di pelvis dan posisi
pasien berada di belakang
1.8 Komplikasi
Cedera parenkim otak biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih terdapat
sisa hematom yang mungkin memperlukan tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga
pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan
kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat terjadi
setelah dilakukan tindakan intrakranial (Gerrald, 2003).
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi drainase,
sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi. Komplikasi medis, seperti
kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus. Komplikasi operasi,
seperti massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension pneumocephalus terjadi pada
2,3% kasus (Engelhard, 2004).
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT scan 4 hari
pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom dilapaorkan sekitar 12-22%.
Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10% pasien. Empiema subdural, abses otak
dan meningitis telah dilaporkan terjadi pada kurang dari 1% pasien setelah operasi drainase
dari hematoma subdural kronis (SDH). Pada pasien ini, timbulnya komplikasi terkait dengan
anestesi, rawat inap, usia pasien, dan kondisi medis secara bersamaan (Engelhard, 2004).
20
2. CLINICAL PATHWAY
Trauma kapitis, trauma akibat jatuh terduduk, trauma leher, aneurisma atau
malformasi pembuluh darah, gangguan pembekuan darah, alkoholik, gangguan hati,
penggunaan anti koagulan
MK:
Ketidakseimbangan laserasi pembuluh darah arteri
nutrisi kurang dari Pembuluh darah vena yang terletak di ruang
kebutuhan tubuh perdarahan di ruang subdural (SDH) subdural pecah
MK: nyeri
akut Frontal Temporal Parietal Dominan Nondomnian Oksipital
3. Asuhan Keperawatan
3.1 Pengkajian
3.1.1 Anamnesis
a. Identitas klien mencakup nama dan usia. Hematoma subdural pada bayi bisa
menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan
lunak.
b. Keluhan utama pada umumnya akan terlihat bila sudah terjadi disfungsi neurologis.
Keluhan yang sering didapatkan meliputi: Nyeri kepala mendadak, adanya tanda
rangsang meningeal (mual, muntah, fotofobia/intoleransi cahaya, kaku kuduk),
penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit neurologis fokal (disfasia,
hemiparesis, hemihipestesia (berkurangnya ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh).
c. Riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatkan meliputi adanya riwayat
trauma, riwayat jatuh, keluhan mendadak lumpuh pada saat klien melakukan aktivitas,
keluhan pada gastrointestinal seperti mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar,
di samping gejala kelumpuhan separuh badan atau ganggguan fungsi otak yang lain,
selisah, letargi, lelah, apatis, perubahan pupil, dll.
d. Riwayat penyakit dahulu meliputi penggunaan obat-obatan (analgesik, sedatif,
antidepresan, atau perangsang syaraf), keluhan sakit kepala terdahulu, riwayat trauma
kepala, kelainan kongenital, peningkatan kadar gula darah dan hipertensi.
e. Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan tentang adanya keluarga yang menderita
hipertensi atau diabetes.
f. Pengkajian psikososial meliputi status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
g. Kemampuan koping normal meliputi pengkajian mengenai dampak yang timbul pada
klien seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
h. Pengkajian sosioekonomispiritual mencakup pengkajian terhadap fungsi neurologis
dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
3.1.2 Pemeriksaan Fisik
a. Tingkat kesadaran
Tingkat Responsivitas Klinis
Terjaga Normal
Sadar Dapat tidur lebih dari biasanya, sedikit bingung saat pertama kali
terjaga, tetapi berorientasi sempurna ketika terbangun.
Letargi Mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah sederhana ketika
dirangsang.
Stupor Sangat sulit untuk dibangunkan, tidak konsisten dalam mengikuti
perintah sederhana atau berbicara satu kata atau frase pendek.
Gerak bertujuan ketika dirangsang tidak mengikuti perintah, atau
Semikomatosa berbicara koheren.
Dapat berespon dengan postur secara refleks ketika distimulasi atau
Koma dapat tidak beresepon pada setiap stimulus.
c. Saraf Kranial III, IV, dan VI (okulomotorius/ mengangkat kelopak mata, troklearis, dan
abdusens): Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis seisi otot-otot okularis
didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
d. Saraf Kranial V (trigeminus): paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan
kemampuan koodinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi
ipsilateral dan kelumpuhan seisi otot-otot pterigoideus internus dan eksternus.
e. Saraf Kranial VII (fasialis): persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris,
otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f. Saraf Kranial VIII (vestibulokoklearis): tidak dietmukan tuli konduktif dan tuli
perseptif.
g. Saraf Kranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus): Kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut.
h. Saraf Kranial XI (aksesoris): tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapesius.
i. Saraf Kranial XII (hipoglosus): lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi. Indra pengecap normal.
3.1.4 Pemeriksaan neurologis
a. Tanda-tanda rangsangan meningen
Kaku kuduk umumnya positif, tanda kernig umumnya positif, tanda brudzinsky I, II,
III, IV umumnya positif, babinsky umumnya positif.
b. Pemeriksaan fungsi sensorik
Terdapat gangguan penglihatan, pendengaran atau pembicaraan.
3.1.5 Sistem Motorik
a. Refleks: pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks
patologis.
Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada
berdasarkan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis
dengan format SOAP dimana:
S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan tindakan keperawatan.
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi, teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah
keperawatan baru
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau dimodifikasi
28
Discharge Planning
1. Memastikan keamanan bagi pasien setelah pemulangan
2. Memilih perawatan, bantuan, atau peralatan khusus yang dibutuhkan
3. Merancang untuk pelayanan rehabilitasi lanjut atau tindakan lainnya di rumah (misal
kunjungan rumah oleh tim kesehatan)
4. Penunjukkan health care provider yang akan memonitor status kesehatan pasien
5. Menentukan pemberi bantuan yang akan bekerja sebagai partner dengan pasien untuk
memberikan perawatan dan bantuan harian di rumah, dan mengajarkan tindakan yang
dibutuhkan.
29
DAFTAR PUSTAKA