Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama dan Etika Islam
pada Semester III tahun Akademik 2019-2020
Disusun oleh :
Nama NIM
Salsabilla Rasika 17418032
Hamidah Azzahra 17018014
Laily Wahyu Munzila 15018102
PEMBAHASAN
Pasal 11
(1) Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan Seksual.
(2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. pelecehan seksual;
b. eksploitasi seksual;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan aborsi;
e. perkosaan;
f. pemaksaan perkawinan;
g. pemaksaan pelacuran;
h. perbudakan seksual; dan/atau i. penyiksaan seksual.
(3) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa
Kekerasan Seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja,
publik, dan situasi khusus lainnya.
Pasal 17
Pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f
adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan
kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian
kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat
memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.
Dari inti pasal RUU PKS di atas, pemerkosaan dalam perkawinan dapat dipahami
sebagai hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang berlangsung tanpa persetujuan
bersama, baik korban dalam kondisi sadar atau tidak, dan baik disertai ancaman atau kekerasan
fisik maupun tidak.
Sedangkan berbagai protes lebih diserukan oleh kaum Adam sebagai suami, mereka
merasa Al-Quran sudah mengatur berbagai aturan dalam rumah tangga termasuk kewajiban
istri yang harus melayani suami dalam kondisi apapun, dianggap sebagai ganti nafkah yang
wajib dikasih oleh suami, karena bagi suami, istri adalah ladang suami dan suami juga
menganut paham riwayat hadis tentang laknat malaikat kepada istri yang menolak
berhubungan seksual dengan suami. Berikut ini dilampirkan alasan para suami memerkosa :
Lampiran III di atas menjelaskan bahwa mayoritas suami beralasan lebih berhak karena
menganggap bahwa hubungan seksual adalah kewajiban istri atau hak suami semata yaitu
hanya sepihak, bukan kewajiban sekaligus hak dari “dua pihak”. Sebaliknya istri dilarang
menolak bahkan ketika sakit atau mens.
Ketimpangan relasi ini terkait erat dengan dengan konsep ketaatan mutlak istri kepada
suami yang didasarkan pada QS an-Nisa/4:34 dan QS al-Baqarah/2:223
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-
laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih
adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena
Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz,
hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah
ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”
(Q.S an-Nisa 4:34)
ِؕلَ ۡنفسِّك ۡم َوقَدِّم ۡوا ِّش ۡئت ۡم اَنٰى َح ۡرثَك ۡم فَ ۡات ۡوا ۖ لَّـك ۡم َح ۡرث نِّ َسآؤك ۡم ِّ ؕ
ٰ اعلَم ۡ ٓوا
ّللاَ َواتَّقوا ۡ ۡالم ۡؤ ِّمنِّ ۡينَ بَش ِِّّر َو ؕؕ ُّم ٰلق ۡوه اَنَّک ۡم َو
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan
dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah
kabar gembira kepada orang yang beriman.” (Q.S al-Baqarah 2:223)
Dalam fikih perkawinan dipahami sebagai “aqdut tamlik” yang memberikan hak
kepada suami untuk memiliki istrinya, atau “aqdul ibahah” yang membolehkan suami
berhubungan seksual dengan istrinya. Sebagai pemilik, suami merasa berhak berhubungan
seksual dengan istri sesuai kehendaknya. Penolakan istri berarti penghalangan atas apa yang
telah diperbolehkan agama.
Relasi tersebut akibat ketaatan mutlak juga bertentangan dengan amanah melekat suami
dan istri sebagai penanggung jawab di bumi (khalifah fil ardl) yang mewajibkan keduanya
bekerja sama sebagai partner dalam mewujudkan dan melestarikan kemaslahatan juga
mencegah dan mengatasi kerusakan bagi seluruh makhluk-Nya agar lahir kehidupan semesta
yang penuh rahmat. Allah menegaskan relasi kemitraan dalam QS at-Taubah/9:71.
َف يَ ۡامر ۡونَ ؕبَعۡ ض اَ ۡو ِّليَآء بَعۡ ضه ۡم َو ۡالم ۡؤ ِّم ٰنت َو ۡالم ۡؤ ِّمن ۡون ِّ ِّب ۡال َمعۡ ر ۡو
َ ص ٰلوةَ َوي ِّق ۡيم ۡونَ ۡالم ۡن َك ِّر
َع ِّن َويَ ۡن َه ۡون َّ الز ٰكوةَ َوي ۡؤت ۡونَ ال
َّ َّللاَ َوي ِّط ۡيع ۡون
ٰ
ؕو َرس ۡولَه ٰ سيَ ۡر َحمهم ا
َ ؕ ولٮ َك َ ّؕللا ٰ ع ِّز ۡيز
ٰ ّللاَ ا َِّّن َ َح ِّك ۡيم
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah
dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-
Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
(Q.S at-Taubah 9:71)
Taat mutlak hanya kepada Allah berarti meletakkan segala jenis ketaatan lain di bawah
ketaatan kepada Allah, yakni sejauh tidak bertentangan dengan perintah Allah. Menurut
Ahmad Wahib hanya dalam satu hal manusia tidak independen, yaitu terhadap ajaran Islam.
Allah tidak mengajarkan hal-hal buruk atau hal yang berdampak buruk bagi manusia.
Komitmen pada Allah atau pada ajaran Islam berarti pula komitmen pada kebaikan.
Taat kepada Allah adalah taat pada nilai kebaikan itu sendiri. Suami dan istri pada
prinsipnya hanya boleh taat kepada kebaikan. Istri dilarang taat kepada suami dalam hal
maksiat, bukan menolak taat kepada suami melainkan menolak taat kepada maksiat.
Sebaliknya, suami pun wajib taat kepada istri jika istri mengajak kebaikan, bukan taat kepada
istri melainkan pada kebaikannya.
Sesuai dengan tasfir surat an-nisa 4:34 menurut Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir /
Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar:
َم َودَّة ً َبينَكم َو َج َع َل ِّإلَي َها ِّلتَسكنوا أَز َوا ًجا أَنفسِّكم ِّمن لَكم َخلَقَ أَن آ َيا ِّت ِّه َو ِّمن
ًيَتَفَ َّكرونَ ِّلقَوم ََل َيات ٰذَ ِّل َك فِّي ِّإ َّن ۚ َو َرح َمة
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Pasal 8
(Jumat, 07 September 2012) Jakarta - Hati-hati memilih lokasi bercinta dengan istri
Anda, salah-salah malah bisa dipenjara. Hal ini dialami oleh Hari Ade Purwanto (29)
yang mengajak istrinya berhubungan badan di hutan Nongkojajar, Pasuruan, Jawa
Timur. Kasus ini bermula saat Hari mengajak istrinya bercinta pada Juli 2011. Entah
apa yang ada dalam pikiran Hari, dia mengajak bercinta di tengah hutan.
"Ingin mencoba variasi hubungan seksual," demikian alasan Hari dalam
berkas kasasi seperti diceritakan sumber detikcom di MA, Jumat (7/9/2012). Mendapat
ajakan tersebut, istri pun menolak. Tetapi Hari tetap memaksa sehingga istrinya
melawan. Namun apa daya, kekuatan tenaga suami lebih besar sehingga sang istri pun
pasrah. Setelah kejadian itu, istrinya melaporkan tindakan tersebut ke polisi sehingga
Hari pun harus menjalani proses hukum. "Menghukum Hari dengan hukuman 1 tahun
3 bulan karena melakukan kekerasan seksual pada istrinya. Hal ini melanggar pasal
46 UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),”
putus Pengadilan Negeri Pasuruan.
Dalam catatan detikcom, kasus kekerasan suami untuk tujuan bercinta dan
berakhir penjara baru kali ini diputus lembaga peradilan tertinggi di Indonesia ini.
Pada April 2012, Ketua MA Hatta Ali telah mengingatkan bahwa menggauli istri
dengan kasar merupakan tindak pidana. "Peran si wanita selalu dalam posisi lemah,
bahkan sampai yang sangat privasi, yaitu suami melakukan sesuatu termasuk
kekerasan dalam berhubungan seksual. Dengan adanya UU 23 tahun 2004 maka ada
kesetaraan. Si istri bisa menutut suami jika ada kekerasan (dalam hubungan seksual),"
kata Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali.
KESIMPULAN
Perkawinan memang membolehkan hubungan seksual suami-istri namun tetap
melarang cara-cara yang tidak bermartabat sebagaimana yang terjadi dalam pemerkosaan.
Pemerkosaan dalam perkawinan bertentangan keras dengan nilai-nilai perkawinan dalam Islam
seperti beberapa potongan ayat Al-Quran di antaranya QS an-Nisa/4:34, QS al-Baqarah/2:22,
QS at-Taubah/9:71, QS ar-Rum 30:21 telah menjelaskan bahwa manusia adalah khalifah di
Bumi, maka jelas pula bagi laki-laki dan perempuan sebagai suami istri harus saling bekerja
sama, tidak saling menyengsarakan, dan bertaat secara mutlak hanya kepada Allah, bukan
semata-mata perempuan sebagai istri menaati secara mutlak kepada suami sehingga adanya
kesenjangan hak dan kewajiban.
Pemerkosaan dalam perkawinan dimaksudkan bahwa tidak adanya persetujuan salah
satu pihak yang bertentangan dengan prinsip musyawarah. Kedua, jika disertai pemaksaan dan
kekerasan, maka bertentangan dengan keharusan memperlakukan istri sebagai pasangan yang
mesti diperlakukan secara bermartabat (muasyarah bi-ma’ruf). Ketiga, berakibat kerusakan
sehingga bertentangan dengan ketenangan jiwa (sakinah) sebagai tujuan perkawinan.
Perumpamaan istri sebagai ladang bagi suami (al-Baqarah/2:223) adalah perintah bagi
keduanya untuk saling memenuhi kebutuhan fisik dan non-fisik pasangannya dengan baik agar
bisa melahirkan generasi yang berkualitas. Hadis tentang ancaman laknat malaikat
mengandung pesan umum agar suami dan istri tidak mengabaikan kebutuhan seksual
pasangannya apalagi jika sedang tidak ada halangan sama sekali.
Sedangkan RUU PKS baik Undang-Undang No. 23/2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sudah benar secara hukum dan dapat melindungi perempuan
sebagai korban kekerasan seksual sehingga pasal-pasal ini bukanlah kontroversial karena
kejadian kekerasan seksual dalam rumah tangga sudah sangat banyak di Indonesia namun
banyak yang memilih untuk tutup mulut dan telinga karena penegakan hukum yang masih
lemah serta budaya patriarki yang masih mendominasi.
Dengan kata lain, pemerkosaan dalam perkawinan bertentangan dengan ajaran Islam
dan hukum positif di Indonesia. Dengan pemahaman yang tepat, pencegahan pemerkosaan
dalam perkawinan dapat dilakukan.
Daftar Pustaka
Wacana, Mitra., 2016, UU No. 23 tahun 2004 Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, [online] http://mitrawacana.or.id/uu-n0-23-tahun-2004-penghapusan
kekerasan-dalam-rumah-tangga/)
Rania, Darin., 2019, 10 Cerita Pilu Kekerasan Seksual di Rumah Tangga. Kata Siapa Nggak
Ada Istilah ‘Suami Perkosa Istri’?, [online]
(https://www.hipwee.com/feature/kekerasan-seksual-dalam-rumah
tangga/?fbclid=IwAR1SCewoocoCdohxvFi4iz8DmnqP77PA1Qd9Iru8AK4NcroIM
ILhufqWto)
Rofiah, Nur., 2018, Larangan Islam atas pemerkosaan dalam perkawinan, [online]
(https://theconversation.com/larangan-islam-atas-pemerkosaan-dalam-perkawinan
79232)
Saputra, Ari., 2012, Pertama di Indonesia: Paksa Istri Bercinta di Hutan, Suami Dipenjara, [online]
(https://news.detik.com/berita/d-2010864/pertama-di-indonesia-paksa-istri-bercinta
di-hutan-suami-dipenjara?fbclid=IwAR0HnLIJ51VlzuA
nM_HxAaa5KgTRHHEJExQ-_nE2RghqIBzasXIWKhyBLc)
Wacana, Mitra., 2016, UU No. 23 tahun 2004 Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, [online] (http://mitrawacana.or.id/uu-n0-23-tahun-2004-penghapusan
kekerasan-dalam-rumah-tangga/)
https://tafsirq.com/