Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KOMUNIKASI DAN KONSELING

APLIKASI KOMUNIKASI dan KONSELING pada PASIEN PEDIATRI, GERIATRI,


dan IBU HAMIL

DOSEN PENGAMPU:
Dra. Pudiastuti, RSP.,MM.,Apt.
Avianti Eka Dewi Aditya P.,M.Sc.,Apt.

DISUSUN OLEH :
Alvia Maya Adistia Budi (20171255B)
Chorlenia Nindia Anggeliani (20171265B)
Dian Ayu Jati Pratiwi (20171266B)
Dewi Rafika Sari (20171269B)
Chyntia Indah Pribadi (20171287B)
Mar’atus Sholihah (20171290B)
Dwi Ayu Rahmadani (20171300B)
Amelia Ida (20171302B)

FAKULTAS FARMASI
PRODI D3 FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin, rahmat
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah dengan judul
“Aplikasi Komunikasi dan Konseling pada pasien pediatri , geriatri, dan ibu hamil ” ini disusun
dengan tujuan untuk melengkapi tugas semester enam untuk mata kuliah Komunikasi dan
Konseling. Melalui makalah ini, kami berharap agar kami dan pembaca mampu mengenal lebih
jauh mengenai komunikasi dan konseling.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
proses penyusunan makalah ini . Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Kami berharap agar makalah yang telah kami susun ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca dan penulis yang lain. Kami juga berharap agar makalah ini menjadi
acuan yang baik dan berkualitas.

Surakarta, 4 Oktober 2019

Penyusun
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1. PEDIATRI
Pediatri adalah cabang ilmu kedokteran yang berkonsentrasi pada pencegahan, diagnosis,
pengobatan dan penanganan seluruh jenis penyakit pada pasien berusia muda, yaitu bayi dan
anak hingga remaja atau dewasa muda.
a) Pentingnya Konseling Apoteker pada Pasien Pediatrik
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), pediatrik adalah spesialisasi ilmu
kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial kesehatan anak sejak lahir sampai
dewasa muda. Pediatrik juga merupakan disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh
biologis, sosial, lingkungan dan dampak penyakit pada perkembangan anak. Anak-anak
berbeda dari orang dewasa secara anatomis, fisiologis, imunologis, psikologis, perkembangan
dan metabolisme (AAP, 2012).
Konseling merupakan bagian dari aspek pelayanan kefarmasian di apotek.
Peran penting konseling pasien adalah meningkatkan kualitas hidup pasien dan
menyediakan pelayanan yang bermutu untuk pasien (Rantucci, 2009). Banyak
penelitian yang membuktikan keefektifan penyediaan informasi dan pemberian konseling
oleh apoteker, dimana sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepatuhan dan mencegah
kegagalan terapi obat pasien (Monita, 2009).
“Apakah obat ini aman untuk anak saya?”
“Apakah dosis obat sudah sesuai?”
“Bagaimana tentang cara penggunaannya?”
“Bagaimana tentang efek sampingnya?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering dilontarkan oleh para orang tua anak saat bertemu
seorang apoteker. Masa bayi dan anak–anak merupakan periode pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat. Tentu saja para orang tua tidak ingin jika pengobatan yang
diterima anaknya dapat mengganggu perkembangan anak. Mengingat fungsi organ pada anak
belum sempurna, maka perlu perhatian khusus mengenai pengobatan yang disarankan.
Fakta menunjukkan lebih dari 6 juta anak di AS memiliki kondisi kronis. Lebih dari 263 juta
resep diberikan untuk pasien anak per tahun. Anak-anak dengan kondisi kronis memiliki risiko
lebih tinggi dari rute pemberian yang kurang tepat, kesalahan dosis dan ketidakpatuhan anak
meminum obat (Abraham, 2016).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014 telah menjelaskan tentang
standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, apotek, maupun di puskesmas. Pengkajian resep,
dispensing, pelayanan Informasi obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home
pharmacy care), pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat (MESO)
termasuk pelayanan farmasi klinik yang merupakan standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit,
apotek, maupun di puskesmas.
USP menekankan apoteker untuk memberikan langsung informasi mengenai obat sesuai
dengan tahap perkembangan anak. Namun, kenyataannya anak–anak sering tidak dilibatkan dalam
konseling. Sebagian besar apoteker hanya menjelaskan kepada orang tua anak karena dirasa lebih
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih. Komunikasi konseling tentang pengobatan
dengan anak-anak dapat meningkatkan tingkat kerberhasilan terapi. Namun, komunikasi konseling
pada anak-anak tidak semudah memberikan konseling pada pasien dewasa.
Sebuah studi yang telah dilakukan di departemen hematologi/onkologi pada sebuah rumah
sakit di Kanada menemukan 165 masalah terkait obat pada 58 pasien, dan diketahui 99% penyebab
masalah ini adalah apoteker. Seorang peneliti mengevaluasi dampak pemberian edukasi
multidisiplin terhadap pasien pediatri yang melibatkan dokter anak, perawat, dan apoteker
mengakibatkan turunnya kejadian rawat inap, kejadian di UGD, dan penggunaan kortikosteroid
sistemik. Peran apoteker disini meliputi edukasi penyakit asma, teknik penggunaan inhaler, dan
konsultasi tindak lanjut via telepon (Horace and Ahmed, 2015).
Disisi lain, dampak pastisipasi apoteker dalam sesi konseling pasien epilepsy dan orang tua
pasien dievaluasi pada tahun 2012. Sebanyak 27 orang tua pasien menerima konseling tunggal
dimana apoteker memberi informasi mulai penjelasan tentang obat, petunjuk penggunaan obat,
manajemen efek samping, dan hal-hal yang dilakukan jika terjadi keadaan darurat pada pasien
pediatric. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan skor pengetahuan dari pra konseling dan
pasca konseling (Horace and Ahmed, 2015).
Selain itu, kasus kondisi kronis pada pediatrik terus mengalami peningkatan seiring dengan
obat-obatan yang digunakan dalam mengobati kondisi tersebut. Namun saat ini uji klinis lebih
fokus pada keamanan obat untuk pasien dewasa. Sedangkan diketahui bahwa proses
farmakokinetik dari pasien anak dan dewasa berbeda. Dewasa ini, peningkatan penelitian obat
untuk anak yang menjadi perhatian adalah mengenai polifarmasi. Polifarmasi merupakan praktek
pemberian atau penggunaan beberapa obat secara bersamaan dengan tujuan pengobatan satu
hingga beberapa indikasi medis.
Apoteker memiliki peran yang signifikan dalam kasus polifarmasi mencakup manajemen
pelayanan pengobatan, rekam medic pasien hingga layanan lainnya untuk pediatric. Selain itu
kompetensi yang dimiliki apoteker dalam mengelola polifarmasi memainkan peran yang besar
dalam mencegah efek samping. Adanya partisipasi apoteker dalam sesi konseling membantu
mengurangi kasus polifarmasi pada pasien anak. Konseling yang dilakukan berguna untuk
mengurangi kebingungan orang tua pasien dalam hal pemberian obat, dosis, frekuensi, serta
deteksi efek samping ketika pasien ada di rumah. Selain itu apoteker dapat menilai interaksi obat-
obat dan membuat rekomendasi untuk terapi alternative jika timbul masalah, jika terjadi kesalahan
pengobatan dan memantau efek samping (Horace and Ahmed, 2015).
Oleh sebab itu apoteker harus berada di garis depan untuk memantau penggunaan obat.
Apoteker harus lebih memperhatikan mengenai polifarmasi karena adanya interaksi obat yang
potensial yang bisa muncul pada pasien anak karena masih kurangnya data mengenai beberapa
obat. Untuk meminimalkan kejadian polifarmasi diharapkan pengobatan pada pasien berdasarkan
gejala yang tampak pasien dan juga berdasarkan evidence based. Ketidakpastian efek samping dan
efek jangka panjang dari beberapa obat membuat polifarmasi pada anak masih memerlukan
penelitian lebih lanjut (Horace and Ahmed, 2015).
Berdasarkan penelitian tentang hambatan konseling yang dilakukan oleh Abraham (2016),
terdapat beberapa hambatan utama berupa ketidakhadiran anak saat pengambilan obat, anak yang
tidak tertarik atau perhatiannya teralihkan, lingkungan yang tidak kondusif, kenyamanan anak dan
kepribadiannya, serta waktu yang dimiliki orang tua sehingga apoteker perlu mengatasinya dengan
cara seperti memberikan demonstrasi berbasis teknologi yang interaktif, lebih mendekatkan diri
kepada pasien, melakukan edukasi yang tepat untuk anak-anak, melakukan konseling di tempat
yang lebih pribadi, dan apoteker perlu terlatih serta memiliki pengalaman dalam memberikan
edukasi kepada pasien dan orangtua sehingga tidak memakan banyak waktu.
Konseling obat dilakukan oleh apoteker yang mempunyai kompetensi dalam pemberian
konseling obat. Apoteker yang melaksanakan kegiatan konseling harus memahami baik aspek
farmakoterapi obat maupun teknik berkomunikasi dengan pasien. Sangat penting bagi apoteker
untuk menciptakan suasana yang bersahabat dengan pasien, ini akan mempengaruhi suasana hati
pasien dan pasien menjadi percaya kepada apoteker. Dalam kegiatan pelayanan kefarmasian
sehari-hari, pemberian konseling tidak dapat diberikan pada semua pasien mengingat waktu
pemberian konseling yang cukup lama. Oleh sebab itu, diperlukan seleksi pasien yang perlu
diberikan konseling. Menurut Departemen Kesehatan RI, pasien pediatri merupakan salah satu
yang harus diberi konseling obat. Mengingat adanya perbedaan farmakokinetik obat pasien
pediatri dan pasien dewasa sehingga resiko toksisitas maupun efek samping meningkat.
Konseling pada pasien pediatri berbeda dengan komunikasi terapeutik pada pasien dewasa.
Apoteker tidak hanya berinteraksi dengan pasien anak saja melainkan juga dengan para orang
tuanya. Melalui orangtua pasien pediatri, apoteker dapat memperoleh informasi lebih mengenai
pasien anak. Selain itu juga apoteker dapat meminta bantuan peran orangtua dalam pengawasan
minum obat untuk anak. Baik cara penggunaan, dosis, frekuensi dan efek samping yang potensial.
Terlebih lagi pada pasien pediatri yang mengalami kondisi kronis atau kejadian polifarmasi yang
memerlukan monitoring sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pengobatan,
menekan terjadinya efek samping karena interaksi obat, meminimalkan terjadinya pengobatan
tanpa indikasi, dsb.
Hambatan melakukan konseling kepada pasien pediatri diantaranya kurangnya pengalaman
kerja apoteker akan konseling, ketidakhadiran anak dalam pengambilan resep yang didalamnya
terdapat sesi konseling dengan apoteker dan kenyamanan orangtua dan anak ketika mendapatkan
konseling oleh apoteker. Seringkali orangtua pasien pediatri merasa cukup dengan membaca
leaflet tanpa harus ada sesi konseling yang dapat menyebabkan salah pengertian akan suatu
informasi.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa pengetahuan sesorang akan meningkat setelah
mendapatkan sesi konseling dengan apoteker terkait pengobatan dibandingkan dengan sebelum
mendapatkan sesi konseling. Bahkan dengan adanya konseling farmasi pada pasien pediatri
berdampak pada penurunan kejadian rawat inap, kejadian gawat darurat, dan menekan kejadian
efek jangka panjang. Untuk meningkatkan peran apoteker di masyarakat, perlu dilakukan
pengembangan teknologi interaktif dan pendidikan yang digunakan oleh apoteker untuk
memfasilitasi konseling dan edukasi tentang efektifitas dan keamanan dari obat-obatan khususnya
pada anak-anak.
Usia maksimal pasien pediatri berkisar antara 18 dan 21 tahun. Usia ini merupakan masa
transisi pasien memasuki perawatan kesehatan dewasa.
Pediatri atau spesialis anak, tidak hanya fokus pada aspek-aspek penunjang kesehatan yang
dibutuhkan oleh anak, namun juga memahami perbedaan luas antara gangguan kesehatan pada
pasien anak dan dewasa. Hal terpenting dalam fokus pediatri adalah tumbuh kembang fisik pasien
anak. Tubuh anak yang semula kecil, kemudian memasuki tahap perkembangan dari tahun ke
tahun, kebutuhan penunjang kesehatan pun berubah secara drastis, bahkan dalam waktu yang
relatif singkat. Di samping itu, beberapa faktor lain juga ikut terlibat, seperti pada bayi yang baru
lahir, perawatan kesehatan melibatkan pemeriksaan dan penanganan cacat bawaan. Sedangkan
pada balita, terdapat identifikasi gangguan perkembangan yang berpotensi penyakit. Pembahasan
unik lainnya, yaitu pediatri memberikan panduan, pendidikan, dan terkadang memperbaiki
kesalahan orangtua atau wali dalam merawat anak mereka.
Pediatri juga mempertimbangkan faktor dan batasan khusus dengan mengutamakan
keamanan dan kelayakan perawatan untuk anak. Tidak hanya bertanggungjawab dalam membuat
diagnosis dan merancang pengobatan, tetapi juga memastikan pengobatan drancang sesuai dengan
usia dan aman bagi fisiologis pasien yang belum matang.
Pediatri berbeda dengan kedokteran dewasa. Perbedaan fisik tubuh yang jelas dan
kematangan pertumbuhannya menjadikan kesehatan anak berdiri sebagai spesialisasis tersendiri.
Tubuh yang lebih kecil dari bayi memiliki aspek fisiologis yang berbeda dari orang dewasa. Aspek
kedokteran lainnya ikut terpengaruh seperti defek kongenital, onkologi, dan immunologi.
Sederhananya, menangani pasien anak bukan seperti menangani pasien dewasa "versi kecil".
Masa kanak-kanak adalah periode pertumbuhan, perkembangan, dan kematangan terbesar
pada berbeagai organ tubuh. Pada abad ke-19 satu dari lima anak meninggal sebelum usia 5 tahun.
Sebagian besar kematian itu diakibatkan oleh penyakit menular. Kini beberapa dari kematian itu
dicegah dengan menyembuhkan penyakit saat hal itu terjadi. Sebagian besar dari mencegah
penyakit dengan imunisasi.
Dokter anak juga mencoba mencegah penyakit dan luka lain sebelum terjadi. Mereka
mengajari orang tua mengenai keamanan dan gizi. Mereka bisa mengajari anak-anak yang lebi tua
sedikit tentang menghindari luka atau kecanduan alkohol dan tembakau. Karena masa kecil ialah
masa perubahan, pencegahan ialah bagian utama pediatri.
b) Prinsip – prinsip keperawatan anak terdiri dari :
1. Atraumatik Care
Merawat pasien anak – anak memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus. Anak
belum mempunyai kematangan psikologis untuk berespon terhadap penyakit maupun
perawatannya. Tubuhnya yang masih dalam tahap pertumbuhan mempunyai ukuran yang
lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa sehingga dapat mengakibatkan kesalahan
dalam pengobatan dan mempertinggi resiko terjadinya komplikasi.
2. Pengetahuan tingkat pertumbuhan dan perkembangan
Pada saat melakukan perawatan anak yang sangat dibutuhkan adalah pengetahuan tentang
tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.
3. Stimulasi, bermain dan promosi kesehatan
Pada saat anak jatuh dalam keadaan sakit, perasaan anak perlu dijaga dan anak masih
membutuhkan stimulasi sensori dan sosial. Masukkan kegiatan bermain dan promosi
kesehatan ke dalam rencana perawatan, karena dengan bermain diharapkan stress dapat
dihilangkan.
4. Family Centered Care
Jangan lupa libatkan orang tua dan anggota keluarga yang lain yang selalu mendampingi
anak selama sakit khususnya bila anak dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama
untuk menciptakan lingkungan positif dalam meningkatkan kesehatan fisik dan emosional
anak dan keluarganya.

Pemeliharaan kesehatan pada anak tidak dapat berjalan dengan hanya peran orang tua dan
tenaga kesehatan saja, akan tetapi peran – peran yang lain harus dapat mendukung seperti : peran
masyarakat, peran bermacam – macam tingkat sistem pemeliharaan kesehatan yang lain, dan
pengkoordinasian dengan sector – sector bukan kesehatan yang lain
Metode pemberian keamanan / safety berbeda sesuai usia dan perkembangan anak, antara
lain :
1. Keamanan dan pencegahan cedera pada masa bayi
2. Keamanan dan pencegahan cedera pada masa anak – anak
3. Keamanan dan pencegahan cedera selama usia sekolah
4. keamanan dan pencegahan cedera selama remaja
c) Masalah yang Ditangani Dokter Spesialis Anak
Dokter Spesialis Anak memeriksa dan mengobati berbagai macam kondisi pada bayi, anak
dan remaja, meliputi:
 Mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan anak dan mendeteksi gangguan yang
terkait.
 Memberikan edukasi pada ibu tentang keamanan, gaya hidup, dan cara menyusui bayi.
 Bertanggungjawab pada imunisasi anak.
 Memonitor kondisi bayi yang terlahir prematur dan memberikan penanganan yang
dibutuhkan.
 Mendiagnosis penyakit dan kondisi tertentu pada anak seperti infeksi saluran pernapasan,
diare, infeksi telinga, alergi pada anak, infeksi kulit, malnutrisi, dan kanker pada anak.
 Menangani beragam kondisi yang dapat menyerang anak, termasuk kelainan genetik,
cedera fisik, penyakit infeksi, alergi, kelainan autoimun, masalah gizi, hingga kanker pada
anak.
 Selain memeriksa dan mengobati masalah kesehatan fisik, seorang Dokter Spesialis Anak
juga bertanggung jawab pada gangguan mental yang bisa saja menyerang anak dan remaja,
seperti gangguan tumbuh kembang, depresi dan kecemasan.
 Seorang Dokter Spesialis Anak akan memberikan rujukan jika penyakit yang dialami
pasien membutuhkan perawatan dari dokter spesialis lainnya. Misalnya, rujukan pada
Dokter Spesialis Bedah Anak bila pasien membutuhkan tindakan operasi.
Beberapa tindakan yang bisa dilakukan Dokter Spesialis Anak, yaitu:
 Melakukan pemeriksaan fisik dan penelusuran riwayat medis, tumbuh kembang, riwayat
kehamilan dan persalinan ibu saat mengandung anak, serta kelengkapan imunisasi pada
anak dan remaja.
 Melakukan penyuntikan terkait pengobatan atau pemberian vaksin.
 Menentukan langkah perawatan baik rawat jalan atau rawat inap pada anak dan remaja.
 Mengevaluasi dan memantau kondisi anak selama perawatan dan memberikan pengobatan
sesuai diagnosis dan kebutuhan anak.
 Memberikan pertolongan medis dalam kasus kegawatdaruratan pada anak, seperti henti
napas, sesak napas, sepsis, syok, dan kejang pada anak, serta menentukan langkah
penanganan selanjutnya.
 Menjelaskan kondisi medis anak, rekomendasi pengobatan, dan langkah penanganan
medis kepada orang tua atau wali anak dengan bahasa yang mudah dipahami.
d) Kapan Harus Memeriksakan Si Kecil ke Dokter Spesialis Anak?
Anda disarankan untuk membawa Si Kecil ke Dokter Spesialis Anak jika anak mengalami
beberapa kondisi di bawah ini:
 Demam.
 Muntah atau diare berat.
 Dehidrasi.
 Kejang.
 Gangguan pernapasan seperti batuk dan pilek yang tidak kunjung sembuh, atau
menyebabkan gejala berat seperti sesak napas.
 Nyeri saat buang air kecil.
 Muncul ruam.
 Anak mengalami masalah tumbuh kembang.
 Bayi terlahir prematur.

Penggunaan obat pada pasien pediatri perlu perhatian khusus dan harus dipahami serta
diterapkan oleh apoteker agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan obat. Hal penting yang
harus diperhatikan untuk pediatri adalah dosis yang optimal, regimen dosis tidak dapat
disederhanakan hanya berdasarkan berat badan atau luas permukaan tubuh pasien pediatri yang
diperoleh dari ekstrapolasi data pasien dewasa. Bioavalaibilitas, farmakokinetik, farmakodinamik,
efikasi dan informasi tentang efek samping dapat berbeda secara bermakna antara pasien pediatri
dan pasien dewasa karena adanya perbedaan usia, fungsi organ dan status penyakit.
e) Dispensing Sediaan Khusus
Kurangnya ketersediaan Obat dan kalkulasi risiko terdokumentasi, memerlukan penggunaan
sistem distribusi unit dosis yang komprehensif dan pelayanan pencampuran steril untuk pasien
pediatri. Standardisasi dosis yang dikehendaki untuk pendistribusian sediaan oral dan parenteral
perlu difasilitasi dalam pelayanan kefarmasian pediatri. Sistem unit dosis untuk pediatri harus
memenuhi kebutuhan tujuan umum dari pemberian sediaan melalui sistem iniI yaitu mengurangi
kesalahan dan menyediakan obat dalam bentuk siap pakai dalam pelayanan pasien pediatri.
Kemasan multi dosis dan stok obat sebaiknya dihindari. Penyiapan sediaan segar harus
memfasilitasi sediaan dan kemasan obat sesuai dengan prinsip dispensing.
Pemberian obat pada pasien pediatri seringkali memerlukan sediaan parenteral yang
membutuhkan penanganan secara khusus. Pasien yang menerima beberapa macam obat suntik
secara intra vena akan lebih efisien bila diberikan dalam satu jalur pemberian dengan catatan setiap
pergantian pemberian obat, dilakukan pembilasan (flushing). Untuk pencampuran obat-obat
parenteral (IV admixture) apoteker harus mengetahui karekteristik fisikokimia obat dan pelarut
masing-masing obat yang dicampur agar tidak terjadi interaksi karena ketidaktercampuran sifat
fisikokimia obat.

2. GERIATRI
Pasien Geriatri atau lansia adalah penderita dengan usia 60 tahun ke atas dan memiliki
karakteristik khusus, antara lain menderita beberapa penyakit akibat ganguan fungsi jasmani dan
rohani, dan sering disertai masalah psikososial. Semuanya akan menyebabkan kemunduran,
keterbatasan dan ketergantungan serta diberikan banyak obat-obatan yang sering malah akan
berakibat merugikan.
Berada dengan pasien usia muda, stres fisik seperti infeksi atau stres psikososial, yang relatif
ringan, dapat memicu timbulnya penyakit serius pada usia lanjut. Karenamya dibutuhkan
perawatan khusus yang bermutu tinggi untuk pengelolaan pasien geriatri.
a) VERTIGO
Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya
dengan gejala lain yang timbul terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan gangguan alat
keseimbangan tubuh. Vertigo bukan gejala pusing saja, tetapi merupakan kumpulan gejala atau
satu sindroma yang terdiri dari gejala somatik (nistagmus, unstable), otonomik (pucat, keringat
dingin, mual, muntah), dan pusing.
b) Pemeriksaan fisik dan penunjang
Pemeriksaan fisik dasar dan neurologis sangat penting untuk membantu menegakkan
diagnosis vertigo. Pemeriksaan fisik dasar yang terutama adalah menilai perbedaan besar tekanan
darah pada perubahan posisi. Secara garis besar, pemeriksaan neurologis dilakukan untuk menilai
fungsi vestibular, saraf kranial, dan motorik-sensorik.

Sistem vestibular dapat dinilai dengan tes Romberg, tandem gait test, uji jalan di tempat
(fukuda test) atau berdiri dengan satu atau dua kaki. Uji-uji ini biasanya berguna untuk menilai
stabilitas postural jika mata ditutup atau dibuka. Sensitivitas uji-uji ini dapat ditingkatkan dengan
teknik-teknik tertentu seperti melakukan tes Romberg dengan berdiri di alas foam yang liat.

Pemeriksaan saraf kranial I dapat dibantu dengan funduskopi untuk melihat ada tidaknya
papiledema atau atrofi optik. Saraf kranial III, IV dan VI ditujukan untuk menilai pergerakan bola
mata. Saraf kranial V untuk refleks kornea dan VII untuk pergerakan wajah. Fungsi serebelum
tidak boleh luput dari pemeriksaan. Untuk menguji fungsi serebelum dapat dilakukan past pointing
dan diadokokinesia.

Pergerakan (range of motion) leher perlu diperhatikan untuk menilai rigiditas atau spasme
dari otot leher. Pemeriksaan telinga ditekankan pada pencarian adanya proses infeksi atau
inflamasi pada telinga luar atau tengah. Sementara itu, uji pendengaran diperiksa dengan garputala
dan tes berbisik.

Pemeriksaan selanjutnya adalah menilai pergerakan mata seperti adakah nistagmus spontan
atau gaze-evoked nystagmus dan atau pergerakan abnormal bola mata. Penting untuk membedakan
apakah nistagmus yang terjadi perifer atau sentral. Nistagmus sentral biasanya hanya vertikal atau
horizontal saja dan dapat terlihat dengan fiksasi visual. Nistagmus perifer dapat berputar atau
rotasional dan dapat terlihat dengan memindahkan fiksasi visual. Timbulnya nistagmus dan gejala
lain setelah pergerakan kepala yang cepat, menandakan adanya input vestibular yang asimetris,
biasanya sekunder akibat neuronitis vestibular yang tidak terkompensasi atau penyakit Meniere.

Uji fungsi motorik juga harus dilakukan antara lalin dengan cara pasien menekuk lengannya
di depan dada lalu pemeriksa menariknya dan tahan hingga hitungan ke sepuluh lalu pemeriksa
melepasnya dengan tiba-tiba dan lihat apakah pasien dapat menahan lengannya atau tidak. Pasien
dengan gangguan perifer dan sentral tidak dapat menghentikan lengannya dengan cepat. Tetapi uji
ini kualitatif dan tergantung pada subjektifitas pemeriksa, kondisi muskuloskeletal pasien dan
kerjasama pasien itu sendiri.

Pemeriksaan khusus neuro-otologi yang umum dilakukan adalah uji Dix-Hallpike dan
electronystagmography (ENG). Uji ENG terdiri dari gerak sakadik, nistagmus posisional,
nistagmus akibat gerakan kepala, positioning nystagmus, dan uji kalori.

Pada dasarnya pemeriksaan penunjang tidak menjadi hal mutlak pada vertigo. Namun pada
beberapa kasus memang diperlukan. Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap dapat
memberitahu ada tidaknya proses infeksi. Profil lipid dan hemostasis dapat membantu kita untuk
menduga iskemia. Foto rontgen, CT-scan, atau MRI dapat digunakan untuk mendeteksi kehadiran
neoplasma/tumor. Arteriografi untuk menilai sirkulasi vertebrobasilar
c) Etiologi
Asal terjadinya vertigo dikarenakan adanya gangguan pada sistem keseimbangan tubuh. Bisa
berupa trauma, infeksi, keganasan, metabolik, toksik, vaskular, atau autoimun. Sistem
keseimbangan tubuh kita dibagi menjadi 2 yaitu sistem vestibular (pusat dan perifer) serta non
vestibular (visual [retina, otot bola mata], dan somatokinetik [kulit, sendi, otot])
d) Patofisiologi
Sistem vestibular sentral terletak pada batang otak, serebelum dan serebrum. Sebaliknya,
sistem vestibular perifer meliputi labirin dan saraf vestibular. Labirin tersusun dari 3 kanalis
semisirkularis dan otolit (sakulus dan utrikulus) yang berperan sebagai reseptor sensori
keseimbangan, serta koklea sebagai reseptor sensori pendengaran. Sementara itu, krista pada
kanalis semisirkularis mengatur akselerasi angular, seperti gerakan berputar, sedangkan makula
pada otolit mengatur akselerasi linear.

Segala input yang diterima oleh sistem vestibular akan diolah. Kemudian, diteruskan ke
sistem visual dan somatokinetik untuk merespon informasi tersebut. Gejala yang timbul akibat
gangguan pada komponen sistem keseimbangan tubuh itu berbeda-beda
e) Epidemiologi
Berdasarkan survey neurologus dari populasi umum, prevalesnsi dalam satu tahun pada
penderita vertigo adalah 4,9%, pada penderita vertigo migrain adalah 0,89%, dan Benign Proxymal
Positional Vertigo adalah 1,6 %

f) Penatalaksanaan
Terapi vertigo meliputi:
1. Terapi kausatif
Kebanyakan kasus vertigo tidak diketahui penyebabnya, walaupun demikian jika
penyebabnya dapat diketemukan, maka terapi kausal merupakan pilihan utama.
2. Terapi simptomatik
Ditujukan untuk 2 hal utama, yaitu rasa vertigo dan gejala otonom (mual, muntah). Berkat
adanya mekanisme kompensasi sentral, maka gejala akan berkurang, namun pada fase akut terapi
simptomatis sangat diperlukan untuk kenyamanan, ketenangan pasien dan segera dapat
memobilisasi pasien dalam rangka rehabilitasi. Terapi simptomatis hendaknya tidak berlebihan
agar mekanisme kompensasi tidak terhalang. Pemilihan obat vertigo tergantung dari titik tangkap
kerja obat, berat vertigo, fase dan tipe vertigo.
3. Terapi Rehabilitatif
Tujuan adalah untuk meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi pada pasien dengan
gangguan vestibuler. Mekanisme kerja melalui:
- Substitusi sentral oleh sistem visual dan somatosensori untuk fungsi vestibuler yang
terganggu.
- Mengaktifkan kendali tonus n. Vestibularis oleh serebelum, sistem visual dan
somatosensori.
Menimbulkan habituasi, yaitu berkurangnya respon terhadap stimuli sensorik yang
berulang-ulang.

3. Ibu Hamil dan Menyusui


a) ACE Inhibitor
Seluruh obat ACE inhibitor masuk ke dalam kategori C pada trimester pertama, yaitu studi
pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping terhadap janin, namun belum ada
studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya boleh digunakan jika besarnya manfaat yang
diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap janin. Pada trimester kedua dan ketiga, masuk ke
dalam kategori D, di mana ada bukti positif mengenai risiko terhadap janin manusia, tetapi
besarnya manfaat yang diperoleh mungkin lebih besar dari risikonya, misalnya untuk mengatasi
situasi yang mengancam jiwa.Tidak ada penelitian mengenai keamanan mengonsumsi ACE
inhibitor saat menyusui. Captopril dan enalapril merupakan obat ACE inhibitor yang dianggap
aman dikonsumsi saat menyusui.
b) Karbamazepin
Kategori D: Ada bukti positif mengenai risiko terhadap janin manusia, tetapi besarnya
manfaat yang diperoleh mungkin lebih besar dari risikonya, misalnya untuk mengatasi situasi
yang mengancam jiwa.Carbamazepine dapat diserap ke dalam ASI. Bagi ibu menyusui,
konsultasikan terlebih dahulu kepada dokter sebelum mengonsumsi obat ini.
c) Phenytoin
Penggunaan phenytoin pada kehamilan berisiko tinggi sehingga dikategorikan sebagai
kategori D. Penggunaan pada ibu menyusui juga perlu dipertimbangkan manfaat dan risikonya
karena phenytoin dikeluarkan melalui ASI. Phenytoin dapat dikeluarkan melalui ASI dalam
konsentrasi rendah. Penggunaan phenytoin pada ibu menyusui harus menimbang antara manfaat
phenytoin dan efek samping bagi bayi.
d) Chloramphenicol
Kategori C: Studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping terhadap
janin, namun belum ada studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya boleh digunakan jika
besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap janin.
e) Asam valproate
Kategori D: Ada bukti positif mengenai risiko terhadap janin manusia, tetapi besarnya
manfaat yang diperoleh mungkin lebih besar dari risikonya, misalnya untuk mengatasi situasi
yang mengancam jiwa.Kategori X (bila digunakan untuk mencegah migrain): Studi pada
binatang percobaan dan manusia telah memperlihatkan adanya abnormalitas terhadap janin atau
adanya risiko terhadap janin. Obat dalam kategori ini dikontraindikasikan pada wanita yang
sedang atau memiliki kemungkinan untuk hamil.Asam valproat diketahui bisa diserap ke dalam
ASI. Untuk itu, ibu menyusui disarankan untuk berkonsultasi terlebih dahulu kepada dokter
sebelum menggunakan obat ini.
f) Isotretionin
Kategori X: Studi pada binatang percobaan dan manusia telah memperlihatkan adanya
abnormalitas terhadap janin atau adanya risiko terhadap janin. Obat dalam kategori ini
dikontraindikasikan pada wanita yang sedang atau memiliki kemungkinan untuk hamil.
Isotretinoin belum diketahui apakah bisa diserap ke dalam ASI atau tidak. Konsultasikan terlebih
dahulu dengan dokter sebelum mengonsumsi obat ini, agar dokter dapat menimbang manfaat dan
risikonya.
g) Warfarin
Kategori X (FDA): Studi pada binatang percobaan dan manusia telah memperlihatkan
adanya abnormalitas terhadap janin atau adanya risiko terhadap janin. Obat dalam kategori ini
dikontraindikasikan pada wanita yang sedang atau memiliki kemungkinan untuk hamil.Warfarin
melewati sawar plasenta selama kehamilan dan memiliki potensi teratogenik serta perdarahan
pada fetus. Warfarin dapat menyebabkan embriopati atau fetal warfarin syndrome (FWS).
Apabila warfarin dikonsumsi pada trimester I, embriopati yang terjadi adalah nasal hipoplasia
dengan atau tanpa kondrodisplasia punctata.
Kelainan sistem saraf pusat juga dapat terjadi, abnormalitas meliputi displasia midline dorsal
yang ditandai oleh malformasi Dandy Walker, agenesis korpus kolosum, dan atrofi midline
serebella; displasia midline ventral yang ditandai oleh atrofi optikus, abnormalitas mata, kejang,
tuli, buta, dan retardasi mental, hingga kematian dapat terjadi pada segala semester.
Penelitian yang dilakukan pada wanita hamil dengan katup jantung mekanik yang mendapat
warfarin secara rutin menunjukkan komplikasi fetal berhubungan dengan dosis warfarin. Dari 58
kehamilan, 31 bayi lahir sehat dan 27 terjadi komplikasi fetal. Pasien dengan dosis warfarin >
5mg menghasilkan 22 komplikasi fetal, dan pasien dengan dosis warfarin ≤ 5 mg hanya
menghasilkan 5 komplikasi fetal. Namun jika dibandingkan dengan antikoagulan lainnya,
warfarin memiliki risiko terendah terhadap komplikasi maternal dibandingkan dengan low
molecular weight heparin (LMWH) dan unfractionated heparin (UFH). Penggunaan pada Ibu
Menyusui
Laporan kasus serial pada 13 wanita menyusui yang mengkonsumsi warfarin menyebutkan
bahwa tidak ditemukan konsentrasi warfarin di dalam ASI, dan pada 7 bayi tidak ditemukan
perubahan plasma protrombin time.
Walau dinilai aman, data mengenai penggunaan warfarin pada ibu menyusui sangat terbatas
sehingga penggunaannya sebaiknya dihindari.

h) Obat pencahar
Jika sembelit yang dialami ibu hamil tidak sembuh-sembuh padahal ibu sudah banyak makan
serat dan minum air, banyak dari ibu hamil akhirnya memilih obat pencahar sebagai cara cepat.
Obat pencahar dipakai untuk membantu ibu hamil dalam mengatasi kesulitan buang air besar
karena feses yang keras. Namun, ada berbagai jenis obat pencahar yang tersedia dengan cara
kerja yang berbeda-beda. Tidak semua obat pencahar ini aman digunakan oleh ibu hamil.
Pada umumnya, obat pencahar ringan aman digunakan oleh ibu hamil dan tidak
menimbulkan efek samping baik pada ibu maupun pada janin yang ada dalam kandungan.
Namun, sebaiknya Anda tidak mengonsumsi obat pencahar ini dalam waktu yang lama saat
hamil. Terlalu lama atau sering mengonsumsi obat pencahar dapat menyebabkan Anda
mengalami diare. Akibatnya, Anda bisa mengalami dehidrasi dan mengganggu keseimbangan
kadar mineral dan garam dalam tubuh karena terlalu banyak kehilangan cairan tubuh.
Obat pencahar tersedia dalam berbagai jenis yang mempunyai cara kerja berbeda. Berikut ini
merupakan berbagai jenis obat pencahar:

Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan Republik Indonesia . 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk Ibu
Hamil Dan Menyusui. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta
Anonimus. 2011. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi edisi 11. Medita Indonesia : Jakarta
Suryawati S et al. 1990. Pemakaian Obat pada Kehamilan.Laboratorium Farmakologi Klinik
FK-UGM :Yogyakarta
AAP. (2012) . Definition of A Pediatrician. Tanggal diakses 1 Maret 2017.
http://www.aap.org/enus/abouttheaap/departmentsanddivisions/department of
education/Documents/AAPDefinition_Pediatrician.pdf
Abraham, Olufunmilola. 2016. Barriers to Pharmacist – Child Communication : Implications
for Providing Medication Counseling in Community Pharmacies. Department of Pharmacy and
Therapeutics. University of Pittsburgh School of Pharmacy.
Horace AE, Ahmed F. 2015. Polypharmacy in pediatric patients and opportunities for
pharmacists’ involvement. Dovepress. Vol. 4 page 113-126.
Monita. 2009. Evaluasi Implementasi Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota
Padang. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Rantucci, M.J. 2009. Komunikasi Apoteker-Pasien. EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai