Anda di halaman 1dari 10

ESAI

KONSELING FARMASI PADA PASIEN PEDIATRI

Disusun ntuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Komunikasi Informasi Edukasi

Dosen Pengampu : apt. Hananditia Rachma P, S.Farm,. M.Farm.Klin.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2B

ANGGOTA:
Amanda Aghil Pramesti 185070500111014
Aldila Purnama Rahayu 185070500111016
Reni Lutfi Sa’adah 185070500111020
Salimatus Wafiyanda Cholida 185070500111022
Muhammad Afifuddin 185070500111024
Nida Syarifatul Lathifah 185070500111028

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
A. TUJUAN
Tujuan pelayanan informasi obat terhadap pasien secara umum yakni sebagai
penyedia informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan lain, penyedia
informasi dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat terutama
bagi Panitia/Komite Farmasi dan Terapi, sebagai langkah peningkatan profesionalisme
apoteker dalam menunjang terapi obat yang rasional (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Kemudian tujuan Pelayanan Kefarmasian secara khusus untuk Pasien Pediatri adalah
sebagai pemberian informasi dalam penatalaksanaan pemberian obat secara optimal
bagi pasien pediatri, sebagai pemantauan penggunaan obat pada pasien pediatri, dapat
sebagai pemberian rekomendasi kepada dokter dan tenaga kesehatan lain dalam
memberikan terapi obat, serta sebagai sarana bagi apoteker dalam memberikan
pelayanan informasi obat pasien pediatri (Departemen Kesehatan RI, 2009).

B. TERAPI OBAT BERKAITAN DENGAN KARAKTERISTIK PASIEN


PEDIATRI
1. Farmakokinetika-Farmakodinamika
Pemodelan farmakokinetika-farmakodinamika sangat penting dalam desain dan
pelaksanaan penelitian farmakologi klinis pada anak-anak, terutama selama
pengembangan obat. Awalnya anak-anak diperlakukan sebagai 'orang dewasa kecil',
yang dosisnya diperkecil per berat linier, yang berpotensi menyebabkan overdosis
pada anak-anak yang sangat kecil, terutama neonatus, karena ginjal dan hati mereka
belum berkembang sepenuhnya, seringkali mengakibatkan eliminasi obat lebih
lambat. Sebagai kesadaran farmakologi perkembangan kemudian diperluas,
perbedaan fisiologis dalam penanganan obat antara anak-anak dan orang dewasa
ditekankan dalam pengambilan dosis (Germovsek, et al, 2019). Kinetika obat dalam
tubuh anak-anak berbeda dengan dewasa sesuai dengan pertambahan usianya.
Beberapa perubahan farmakokinetika terjadi selama periode perkembangan dari
masa anak-anak sampai masa dewasa yang menjadi pertimbangan dalam penetapan
dosis (Departemen Kesehatan RI, 2009).
a. Absorpsi
Absorpsi obat pada pasien pediatri sebanding dengan orang dewasa baik melalui
rute oral maupun parenteral. Sekresi asam lambung bayi dan anak-anak lebih sedikit
dibandingkan orang dewasa, jadi pH lambunngnya lebih alkalis. Sehingga absorbsi
obat yang bersifat asam lemah akan menurun dan absorbsi obat yang bersifat basa
lemah akan meningkat. Waktu pengosongan lambung pun berbeda, pada orang
dewasa 3-4 jam sedangkan pada bayi baru lahir 6-8 jam. Jadi, pemberian obat yang
di absorbsi di lambung pada pasien pediatri harus diperhatikan (Departemen
Kesehatan RI, 2009).
Absorbsi obat di usus halus pada neonatus sulit di prediksi karena peristaltiknya
tidak beraturan. Absorpsi perkutan pada pediatri meningkat terutama karena
memiliki kulit yang lebih tipis dan lembab. Absorpsi obat rute intramuskular pada
pediatri sulit diperkirakan karena terdapat perbedaan masa otot, ketidakstabilan
vasomotor perifer, kontraksi otot dan perfusi darah yang relatif lebih kecil dari
dewasa. Pada pemberian obat rute rektal terdapat kemungkinan terjadinya variasi
individu pada suplai darah ke rektum yang menyebabkan variasi dalam kecepatan
dan derajat absorpsi (Departemen Kesehatan RI, 2009).
b. Distribusi
Distribusi obat pada pasien pediatri berbeda dengan orang dewasa, disebabkan
oleh adanya perbedaan volume cairan ekstraselluler, total air tubuh, komposisi
jaringan lemak, dan ikatan protein. Volume cairan ekstraselular bayi dan anak-anak
relatif lebih tinggi dibandingkan orang orang dewasa, volume ini akan terus
menurun seiring bertambahnya usia. Tingginya volume cairan ekstra sel dan total air
tubuh akan menyebabkan volume distribusi dari obat-obat yang larut dalam air akan
meningkat sehingga dosis mg/kg BB harus diturunkan. Sebaliknya jaringan lemak
pada bayi lebih sedikit dibandingkan pada orang dewasa. Sehingga volume
distribusi obat yang larut lemak pada pasien pediatri lebih rendah bila dibandingkan
dengan orang dewasa. Maka dari itu, diperlukan penurunan dosis dan/atau
penyesuaian interval (Departemen Kesehatan RI, 2009).
Afinitas ikatan obat dengan protein plasma pada pasien pediatri lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa. Ikatan protein plasma pada neonatus lebih kecil
dibandingkan orang dewasa sehingga diperlukan dosis yang lebih kecil atau interval
yang lebih panjang. Afinitas ikatan obat dengan protein akan sama dengan orang
dewasa pada usia 10-12 bulan (Departemen Kesehatan RI, 2009).
c. Metabolisme
Metabolisme obat di hati pada neonatus rendah karena rendahnya aliran darah ke
hati, asupan obat oleh sel hati, kapasitas enzim hati dan ekskresi empedu. Sistem
enzim di hati pada bayi belum sempurna, terutama pada proses oksidasi dan
glukoronidase, sebaliknya pada jalur konjugasi dengan asam sulfat berlangsung
sempurna. Meskipun metabolisme asetaminofen melalui jalur glukoronidase pada
anak masih belum sempurna dibandingkan pada orang dewasa, sebagian kecil dari
bagian ini dikompensasi melalui jalur konjugasi dengan asam sulfat. Jalur
metabolisme ini mungkin berhubungan langsung dengan usia dan mungkin
memerlukan waktu selama beberapa bulan sampai satu tahun agar berkembang
sempurna. Hal ini terlihat dari peningkatan klirens pada usia setelah satu tahun.
Dosis beberapa jenis antiepilepsi dan teofilin untuk bayi lebih besar daripada dosis
dewasa agar tercapai konsentrasi plasma terapeutik. Hal ini disebabkan bayi belum
mampu melakukan metabolisme senyawa tersebut menjadi bentuk metabolit
aktifnya (Departemen Kesehatan RI, 2009).
c. Eliminasi Melalui Ginjal
Filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, reabsorbsi tubulus menurun dan klirens obat
tidak dapat diprediksi, tergantung cara eliminasi obat tersebut di ginjal. Pada
umumnya obat dan metabolitnya dieliminasi melalui ginjal. Kecepatan filtrasi
glomerulus pada neonatus adalah 0,6–0,8 mL/menit per 1,73 m2 dan pada bayi
adalah 2-4 mL/menit per 1,73 m2. Proses filtrasi glomerulus, sekresi tubuler dan
reabsorpsi tubuler akan menunjukkan efisiensi ekskresi ginjal. Proses perkembangan
proses ini akan berlangsung sekitar beberapa minggu sampai satu tahun setelah
kelahiran (Departemen Kesehatan RI, 2009).

2. Efikasi dan Toksisitas Obat


Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2009) dalam
Novitasari (2016), Pediatri adalah anak yang berusia lebih muda dari 18 tahun. Masa
bayi dan anak merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
pesat, sehingga penggunaan obat untuk anak merupakan hal khusus yang terkait
dengan perbedaan laju perkembangan organ. Terapi obat pada pasien pediatri
berbeda dengan terapi obat pada pasien geriatri karena perbedaan karakteristik.
Perbedaan karakteristik ini pada akhirnya akan mempengaruhi efikasi dan toksisitas
obat.
Neonatus, balita dan anak-anak dapat mengalami toksisitas obat yang sama
seperti orang dewasa, namun mereka juga dapat mengalami toksisitas obat tertentu
yang tidak dialami orang dewasa. Hal ini mungkin terkait dengan toksisitas yang
berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan, misalnya efek kortikosteroid
pada pertumbuhan atau perkembangan otak setelah paparan pada periode awal
kehidupan neonatal. Dengan kata lain, toksisitas dapat berkembang pada kondisi
yang tidak terjadi pada orang dewasa, misalnya sindrom Reye setelah terpapar
aspirin selama adanya infeksi virus. Metabolisme obat yang berubah pada pasien
pediatri merupakan faktor risiko tambahan untuk toksisitas obat. Hal ini paling jelas
terlihat pada periode neonatal dan diilustrasikan dengan metabolisme kloramfenikol
yang terganggu yang menyebabkan kolaps kardiovaskular. Demikian pula,
perubahan metabolisme obat antiepilepsi seperti natrium valproat pada pasien
pediatri kurang dari dua tahun mempengaruhi kelompok usia ini untuk mengalami
hepatotoksisitas. (Chonara, 2011).
Beberapa efek samping yang diketahui terjadi pada neonatus diantaranya adalah
toksisitas akibat kloramfenikol. Toksisitas pada kloramfenikol meningkat pada
neonatus karena metabolisme yang belum sempurna dan tingginya bioavailabilitas.
Sama halnya dengan kloramfenikol, propilen glikol yang ditambahkan kepada
beberapa sediaan injeksi seperti fenitoin, fenobarbital, digoksin, diazepam, vitamin
D dan hidralazin dapat menyebabkan hiperosmolalitas pada bayi. Contoh lain yaitu
sindroma Reye yang merupakan penyakit fatal yang menyebabkan efek kerusakan
pada banyak organ, khususnya otak dan hati. Hal ini dapat terjadi berkaitan dengan
penggunaan aspirin oleh pasien pediatri yang sedang menderita penyakit karena
virus misalnya cacar air. Penyakit ini dapat menyebabkan fatty liver dengan
inflamasi minimal, dan ensefalopati parah (dengan pembesaran otak). Hati sedikit
membengkak dan kencang, dan tampak perubahan pada ginjal. Biasanya tidak
terjadi jaundice. Diagnosis awal merupakan hal penting, karena jika tidak dapat
terjadi kerusakan otak atau kematian. Perhatian juga perlu pada penggunaan
tetrasiklin dan fluorokinolon. Namun disamping itu, terdapat juga beberapa obat
yang berkurang toksisitasnya pada pasien pediatri, misalnya toksisitas
aminoglikosida lebih rendah pada bayi dibandingkan pada orang dewasa. Pada
pasien dewasa, toksisitas aminoglikosida berhubungan langsung dengan akumulasi
pada kompartemen perifer dan sensitifitas pasien yang bersifat permanen terhadap
konsentrasi aminoglikosida di jaringan. Meskipun jaringan kompartemen perifer
neonatus untuk gentamisin telah dilaporkan mempunyai ciri yang mendekati dengan
kondisi pada pasien dewasa dengan fungsi ginjal yang sama, gentamisin jarang
bersifat nefrotoksik untuk bayi. Perbedaan insiden nefrotoksik tersebut
menunjukkan bahwa neonatus mempunyai sensitifitas jaringan yang permanen dan
lebih rendah terhadap toksisitas dibandingkan pada pasien geriatri. (Departemen
Kesehatan RI, 2009).

C. MASALAH TERKAIT PENGOBATAN


Berbagai permasalahan yang terjadi pada pengobatan pasien pediatri sangat umum terjadi
karena beberapa alasan. Diantaranya adalah ketidak tepatan rute obat, banyaknya obat-obatan
off label yang diberikan kepada pediatri; kekeliruan dalam penghitungan dosis; farmakokinetik
dari beberapa obat tergantung dengan umur dan berat badan; Informasi terkait dosis obat, umur
pasien, dan berat badan pasien tidak semua tersedia dalam membantu mengambil keputusan
dalam terapi pasien; timbul reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) termasuk karena
interaksi obat serta ketidakpatuhan pasien selama pengobatan serta pemilihan terapi
obat yang kurang tepat (wahyu. Dkk., 2017).
1. Rute pemakaian Obat
Rute oral merupakan cara pemberian yang paling sesuai untuk anak-anak
maupun balita. Hal ini merupakan cara yang paling tepat untuk mengutamakan
keamanan dan efikasi obat. Pada formulasi sediaan obat untuk anak-anak saat ini
dibuat dengan sediaan yang tidak mengandung gula. Hal ini penting untuk anak
yang menderita diabetes serta cocok untuk anak-anak dalam mencegah karier gigi.
Untuk pemakaian pemanis pengganti sukrosa perlu untuk diperhatikan untuk
menghindari efek yang tidak diinginkan. Sebagai contoh adalah aspartam yang
mengandung fenilalanin dan harus dipakai secara hati-hati pada pasien dengan
fenilketonuria. Sediaan oral padat dapat menjadi pilihan bagi anak diatas 5 tahun
dan sudah dapat menelan tablet. Peranan apoteker harus mampu memberikan arahan
terhadap orang tua anak bahwa dalam penggunaan obat sebaiknya tidak
mencampurkan dengan susu atau makanan cair karena memungkinkan terjadi
interaksi obat dengan makanan yang akan berpengaruh terhadap efikasi dan
keamanan obat ((Departemen Kesehatan RI, 2009).
Rute rektal merupakan cara pemberian alternatif apabila pasien tidak dapat
minum obat karena mual atau pingsan. Penggunaan rute ini dapat memberikan
keuntungan terhadap pasien yang memerlukan absorbsi secara cepat, contohnya
pada diazepam untuk mengontrol kekejangan (Departemen Kesehatan RI, 2009).
Cara pemberian dengan rute inhalasi dapat menimbulkan kesulitan pada anak-
anak karena memerlukan bantuan dari pihak pihak lain. Pada bayi kurang dari 2
tahun paling sesuai diberikan dengan bantuan alat nebulizer. Alat ini dapat
membantu memberikan dosis yang lebih besar dalam waktu yang singkat.
Sedangkan pada anak yang berusia lebih dari 2 tahun dapat diberikan dengan
penggunaan alat spacer tanpa kesulitan pengkoordinasikan saat pemakaian
(Kemenkes RI., 2017). Peran apoteker harus mampu memberikan arahan maupun
pemahaman dalam penggunaan alat tersebut.
Pengggunaan rute intravena (IV) dapat dilakukan dalam kondisi yang serius.
Hal ini karena rute IV parenteral memberikan suatu efek yang cepat dan kontrol
yang baik sekali atas kadar obat dalam sirkulasi (Kemenkes RI., 2017). Kecepatan
penyuntikan obat dan tempat penyuntikan bervariasi luas pada pasien pediatri.
Pemantauan obat juga perlu dilakukan untuk mengantisipasi akumulasi konsentrasi
serumsehingga potensi bahaya dapat dilakukan terutama pada penggunaan obat
dengan efek samping yang parah (Departemen Kesehatan RI, 2009). Peran apoteker
yaitu memberikan informasi dan mengarahkan bahwa sediaan IV yang diberikan
meliputi volume sediaan, konsentrasi sediaan dan kecepatan penyuntikan sesuai
dengan penggunaan dan kondisi pasien
2. Permintaan Dosis
Pemberian dosis pada pasien pediatri disesuaikan dengan berat badan neonatus,
bayi maupun anak-anak. Luas permukaan tubuh dapat digunakan sebagai acuan
dalam menentukan dosis obat pasien pediatri. Dosis obat pada pasien pediatri
maupun pasien remaja diberikan dengan dosis yang tidak melebihi dari dosis yang
diindikasikan pada pasien dewasa. Peran apoteker harus memastikan dosis yang
diberikan sesuai dengan kondisi kebutuhan pasien pediatri dengan memperhatikan
acuan pengukuran dosis obat yang tetap mengutamakan keamanan dan efikasi
penggunaan obat (Departemen Kesehatan RI., 2009).
3. Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan penggunaan obat yang dilakukan secara bersamaan
dan menimbukan efek dalm interaksi. Interaksi obat dianggap penting secara klinis
bila menimbulkan peningkatan toksisitas dan atau mengurangi efektifitas obat.
Interaksi obat pasien pediatri sifatnya unpredictable tidak seperti pada pasien
dewasa . Potensi interaksi obat ini dikarenakan belum sempurnanya fungsi sistem
organ pada pediatri (Karthikeyan. M. Lalitha D., 2013). Penelitian terkait interaksi
obat pada pasien pediatri masih sangat sedikit. Perlu perhatian khusus pada pasien
pediatri maupun pasien yang beranjak dewasa dengan dilakukan monitoring
keamanan dan efikasi selama terapi dilakukan.
4. Pemilihan Terapi Obat
Pemberian terapi obat perlu memperhatikan kondisi pasien dan interaksi obat yang
terjadi didalam tubuh pasien pediatri. Pasien pediatri sering mengalami reaksi obat yang
tidak dikehendaki dan lebih sulit untuk dikenali karena intensitasnya yang lebih besar.
Masih kurangnya literatur tentang senyawa terapeutik yang baru dikenalkan yang
menyebabkan perlunya dilakukan pemantauan penggunaan obat baru khususnya untuk
pasien pediatri. Perlu dilakukan konsultasi dengan dokter terkait pemilihan terapi obat
yang tepat terhadap pasien pediatri (Departemen Kesehatan RI, 2009).

D. SEDIAAN OBAT BAGI PASIEN PEDIATRI


Pasien pediatri memerlukan sistem distribusi unit dosis yang komprehensif dimana
standarisasi dosis untuk sediaan oral dan parenteral harus dapat mengurangi kesalahan
dan tersedia dalam bentuk siap pakai dalam pelayanannya. Pelayanan kefarmasian
untuk pasien pediatri harus memperhatikan kebutuhan obat. Hal ini mencakup
kebutuhan untuk bentuk sediaan khusus (seperti cairan dan tablet kunyah), tambahan
alat bantu, dan konseling yang detail pada pemakaian obat. Pertimbangan harus
mencakup rasa dan kebutuhan kemasan khusus untuk pemakaian di rumah atau sekolah.
Jika memungkinkan, anak-anak dijelaskan tentang obat-obat yang mereka gunakan
(Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Pasien Pediatri, 2020).
E. PEMBERIAN INFORMASI OBAT DAN KONSULTASI
Apoteker harus memberikan pelayanan informasi obat yang spesifik untuk pasien
pediatri dengan informasi terkini, terkaji, dan terpercaya tentang indikasi, dosis,
formulasi sediaan, bentuk sediaan dan rute pemakaian, kompatibilitas dan stabilitas
obat, kontrol keracunan dan obat yang dikontra indikasikan bagi pediatri. Apoteker
harus memberikan informasi kepada tenaga kesehatan lain tentang informasi obat
termasuk efek samping dan kontra indikasi, kompatibilitas dan stabilitas, serta
farmakokinetik dan interaksi obat. Selain itu, penting pula penginformasian sediaan
yang tidak dapat digerus, dikunyah, dibagi, atau dilarutkan. Penyebaran informasi ini
penting untuk mencapai pelayanan kepada pasien yang paripurna (Pedoman Pelayanan
Kefarmasian untuk Pasien Pediatri, 2009).
Apoteker harus melakukan konseling dan memberikan pendidikan kepada pasien /
keluarga tentang pengobatan, termasuk tujuan pengobatan, petunjuk dosis, interaksi
obat yang mungkin terjadi, teknik penyiapan sediaan, instruksi penggunaan, dan takaran
obat. Pemakaian sediaan tertentu seperti tetes mata, inhaler dan sediaan lain dengan
penggunaan khusus harus diperagakan. Konseling pada pasien pediatri bertujuan untuk
mencegah kemungkinan tertelannya obat secara tidak sengaja dan termuntahkannya
obat. Obat yang dimuntahkan langsung setelah diminum harus diberikan obat kembali.
Jika obat dimuntahkan setelah beberapa menit maka perlu dilakukan pengamatan pada
muntahan (bila masih ditemukan bentuk, warna, atau bau sediaan obat, maka harus
diberikan ulang). Kepatuhan anak terhadap penggunaan obat sangat tergantung pada
orang tua. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kerjasama anak dalam
meminum obat, meliputi formulasi, penampilan obat dan kemudahan cara penggunaan
(Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Pasien Pediatri, 2009).

F. PEMANTAUAN OBAT
Pengobatan merupakan salah satu tahap dalam menangani pasien secara keseluruan.
Pemilihan terapi yang tepat dapat dan rasional dapat mempercepat penyembuhan, akan
tetapi pemilihan obat yang tidak tepat (irasional) masih menjadi masalah yang sering
terjadi di seluruh dunia. (De Vries.dkk, 1994). Masalah penggunaan obat yang tidak
rasional mencakup peresepan yang tidak sesuai dengan kaidah pengobatan dan
peresepan yang baku, dapat berupa peresepan yang kurang, peresepan yang berlebihan,
atau peresepan yang tidak sesuai dengan indikasi, serta penulisan resep secara
polifarmasi (Ofori,AR dan Agyeman AA,2016).
Upaya untuk mengatasi pengobatan irasional yaitu dengan :
1. Pemantauan terapi obat
Pemantauan terapi obat ini dilakukan terhadap hasil dan respon yang muncul dari
suatu obat tersebut yang tidak dikehendaki. Seorang apoteker harus mampu
menganalisis masalah yang muncul serta memberikan rekomendasi penyelasiannya
agar sasaran terapi bisa optimal. Pada pasien pediatri pemantauan terpi obat harus
memperhatikan tahapan perkembangan usia yang dikaitkan dengan efektivitas dan
keamanan pasien. (Departemen Kesehatan RI, 2009).Peresepan obat pada anak yang
mengalami pediatric lebih sulit apabila dibandingkan dengan orang dewasa.
Populasi pediatric terdiri dari berbagai kelompok umur dengan variasi fisiologis
akibat perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Pemberian obat dan
perhitungan dosis pada anak tidak dapat diekstrapolasikan berdasarkan berat badan
orang dewasa. (WHO,2007)
2. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan kadar obat ini dilakukan untuk menjamin keamanan serta menghindari
efek toksisitas obat. Obat yang perlu dipantau kadarnya adalah obat dengan indeks
terapi sempit.. sedangkan untuk sediaan oral dan injeksi, harus dipastikan obat
tersebut telah digunakan dengan baik sebelum sampel darah diambil untuk
pengukuran konsentrasi obat. Dalam pengambilan sampel harus diperhatikan
frekuensi dan waktu pengambilan sampel untuk menghindari periode sampling yang
berlebihan yang mungkin menimbulkan rasa sakit pada pasien dan mempengaruhi
ketepatan pengukuran. Pada pasien pediatri hal ini perlu dilakukan karena selain
menggunakan obat dengan indeks terapi yang sempit dan dosis yang diberikan juga
kecil seringkali juga pasien tidak kooperatif. (Departemen Kesehatan RI, 2009).

G. EVALUASI
Evaluasi yang harus dilakukan dalam pelayanan konseling pasien pediatri adalah
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) yang memiliki definisi sebagai evaluasi berkelanjutan
penggunaan obat sehingga dapat memastikan penggunaan obat yang sesuai atau sebagai
metode/studi untuk menilai ketepatan penggunaan obat (kerasionalan
peresepan/penggunaan obat) berdasarkan kriteria penggunaan obat yang telah
ditetapkan sebelumnya (Kemenkes RI, 2017). Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) pada
pasien pediatri yakni dilakukan evaluasi pada obat dengan indeks terapi sempit yang
memerlukan pemantauan secara khusus dikarenakan obat tersebut dapat menyebabkan
kemungkinana terjadinya kesalahan dalam pengobatan serta dapat menimbulkan reaksi
efek obat yang tidak diinginkan, selanjutnya obat dengan harga yang sangat mahal
dimana penting dilakukan evaluasi dikarenakan adanya banyak obat mahal tidak
dikemas sesuai dengan kebutuhan pasien pediatri, misalnya
antihemophilic factor (AHF) atau faktor VIII, albumin, dan immunoglobulin, kemudian
obat yang dapat menimbulkan resistensi, misalnya antimikroba. serta evaluasi pada obat
yang dapat menimbulkan efek yang tidak dikehendaki serta dapat berpotensi
menimbulkan kefatalan, misalnya obat turunan sulfa yang dapat menimbulkan Steven
Johnson Syndrome, golongan kortikosteroid dapat menimbulkan gangguan
pertumbuhan pada pasien pediatri (Departemen Kesehatan RI, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Choonara, I., 2015. (Online) Drug Toxicity in Neonates, Infants and Young
Children. General, Applied and Systems Toxicology. Diakses melalui
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1002/9780470744307.gat087 pada
20 Februari 2021
De Vries TPGM, Henning RH, Hogerzeil HV, Fresle DA.1994.Guide to good
prescribing. Department of Clinical Pharmacology, Faculty of Medicine,
University of Groningen, The Netherlands.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Standar Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum dan Pendidikan
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Pasien
Pediatri. Jakarta: Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI.
Karthikeyan. M. Lalitha. D. 2013. A prospective observational study of medication
errors in general medicine department in a tertiary care hospital. Drug
Metabolism and Drug Interactions, 28: 13–21.
Kemenkes RI. 2017. Petunjuk Teknis Evaluasi Penggunaan Obat Di Fasilitas
Kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Farmakologi. Bahan ajar
keperawatan gigi. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia Kesehatan: Jakarta.
Germovsek, E., Barker, C. I., Sharland, M., & Standing, J. F. 2019. Pharmacokinetic–
pharmacodynamic modeling in pediatric drug development, and the importance
of standardized scaling of clearance. Clinical pharmacokinetics, 58(1), 39-52.
Novitasari, L.N. 2016. Evaluasi Pelayanan Informasi Obat Pada Pasien di Instalasi
Farmasi RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
Wahyu. W. Hakim. L. Rahmawati. F. 2017. Kajian drug related problems penggunaan
antibiotik pada pasien pediatri di RSUD kota semarang. Jurnal Farmasi Sains
dan Praktis. Vol. III. No. 2.
WHO. 2007. Promoting safety of medicine for children. Ofori-Asenso Richard,
Agyeman Akosua Adom. 2016. Irrational use of medicines – a summary of key
concept. Pharmacy. 4:35.

Anda mungkin juga menyukai