Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH TEORI BILANGAN

INDUKSI MATEMATIKA, KETERBAGIAN, DAN REPRESENTASI BILANGAN


BULAT
Disusun sebagai bahan presentasi Mata KuliahTeori Bilangan
Dosen Pengampu: Dr. Agus Maman Abadi

Oleh:
KELOMPOK 1
1. Lathifah Permatasari Fahmad (NIM: 19709251028)
2. Petty Mutiara (NIM: 19709251025)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2020
Induksi Matematika, Keterbagian, dan Representasi Bilangan Bulat

A. Induksi Matematika
Induksi matematika merupakan suatu cara untuk membuktikan sebuah pernyataan
yang terjadi secara berulang dan berlaku untuk semua bilangan bulat positif atau bilangan
asli.
Dengan memeriksa jumlah n bilangan ganjil pertama, kita dapat menduga formula
untuk jumlah ini. Kita mempunyai,

1=1
1+3=4
1 + 3 +5 = 9
1 + 3 + 5 + 7 =16
1 + 3 + 5 + 7 + 9 =25
1 + 3 + 5 + 7 + 9 + 11 =36

Dari nilai diatas, diduga bahwa ∑𝒏𝒋=𝟏 (𝟐𝒋 − 𝟏) = 𝟏 + 𝟑 + 𝟓 + 𝟕 + 𝟗 + 𝟏𝟏 + ⋯ + 𝟐𝒏 −


𝟏 = 𝒏𝟐 untuk setiap bilangan positif n.
Kita perlu membuktikan apakah rumus tersebut berlaku untuk semua bilangan
ganjil . Induksi matematika dapat digunakan untuk membuktikan formula yang menjadi
dugaan diatas berlaku atau tidak. Pembuktian dengan menggunakan induksi matematika
terdiri dari dua langkah. Pertama, langkah dasar dengan menunjukkan bahwa pernytaan
tersebut berlaku untuk bilangan 1. Langkah kedua dinamakan langkah induksi, jika suatu
pernyataan berlaku untuk bilangan n = k, maka pernyataan itu juga berlaku untuk bilangan
n = k + 1.

A.1 Teorema Induksi Matematika


Teorema 1.5
Prinsip Induksi Matematika (Rosen, K. H. 2011 : 23)
Suatu himpunan bilangan bulat positif yang memuat bilangan bulat 1 dan mempunyai
sifat bahwa jika himpunan itu memuat bilangan bulat k, maka himpunan tersebut juga
memuat (k+1), maka himpunan tersebut merupakan himpunan semua bilangan bulat
positif.

Bukti :
Misalkan S adalah himpunan bagian dari himpunan bilangan asli yang memenuhi
hubungan jika 1 ∈ 𝑆 dan 𝑘 ∈ 𝑆 berakibat (𝑘 + 1) ∈ 𝑆. Sehingga S memuat semua bilangan
asli.
Melalui pembuktian kontradiksi. Dimisalkan S bukan himpunan seluruh bilangan asli.
Karena himpunan bilangan asli tidak terkandung dalam S, maka S adalah bukan himpunan
kosong. Namun setidaknya ada paling sedikit satu bilangan positif dimana k tidak berada
di S. Jika dinotasikan misalkan, 𝑆 ≠ 𝑁, maka tentu ada 𝐹 ⊂ 𝑁 dan 𝐹 ≠ ∅ yang 𝐹 =
{𝑡 ∈ 𝑁|𝑡 ∉ 𝑆}.
Menurut prinsip urutan rapi (Well-ordering principle), dikarenakan 𝐹 ≠ ∅ dan 𝐹 ⊂ 𝑁,
maka 𝐹 mempunyai unsur terkecil 𝑘, yaitu 𝑘 ∈ 𝐹 tetapi 𝑘 ∉ 𝑆. 𝑘 ≠ 1 sebab 1 ∈ 𝑆, berarti
𝑘 > 1 dan akibatnya 𝑘 − 1 ∈ 𝑁. 𝑘 adalah unsur terkecil 𝐹 maka 𝑘 − 1 ∉ 𝐹 sebab 𝑘 − 1 <
𝑘, berarti 𝑘 − 1 ∈ 𝑆. 𝑘 − 1 ∈ 𝑆 dan 𝑆 memenuhi (b), maka (𝑘 − 1) + 1 ∈ 𝑆, atau 𝑘 − 1 +
1 ∈ 𝑆, yaitu 𝑘 ∈ 𝑆.
Terjadi kontradiksi karena 𝑘 ∉ 𝑆 dan 𝑘 ∈ 𝑆, jadi 𝑆 = 𝑁.

Teorema 1.6
Prinsip Kedua “Prinsip Kuat Induksi Matematika” (Rosen, K. H. 2011 : 25)
Suatu bilangan bulat positif yang memuat bilangan bulat 1, dan mempunyai sifat bahwa,
untuk setiap bilangan bulat positif n, jika memuat semua bilangan bulat positif 1,2,…, n
, maka juga memuat bilangna bulat n + 1, dan harus merupakan himpunan semua
bilangan bulat positif.

Bukti :
Misalkan T merupakan suatu himpunan bilangan bulat yang memuat 1 sehingga untuk
setiap n bilangan bulat positif, jika memuat 1, 2,…, n, maka himpunan tersebut juga
memuat n + 1. Misal S merupakan suatu himpunan bilangan bulat positif n sehingga semua
bilangan bulat positif yang kurang dari atau sama dengan n terletak di T. Sehingga S
memuat 1 dan berdasarkan hipotesis yang menyatakan bahwa jika n terletak di S maka n
+ 1 juga terletak di S. Oleh karena itu, melalui prinsip induksi matematika, S merupakan
suatu himpunan yang harus memuat semua bilangan bulat positif. Sehingga dapat
disimpulkan T juga merupakan himpunan bilangan bulat positif karena S merupakan
bagian dari T.

A.2 Langkah-langkah Pembuktian dengan Induksi Matematika


Misalkan P(n) merupakan suatu proposisi yang akan dibuktikan benar, untuk
setiap bilangan asli n. Adapun langkah-langkah pembuktian dengan indksi matematika
adalah sebagai berikut.
1. Langkah dasar : ditunjukkan bahwa P(1) benar
2. Langkah induksi : diasumsikan bahwa P(k) benar untuk bilangan asli k dan ditunjukkan
bahwa P(k + 1) benar.
Jika langkah (1) dan (2) berhasil maka dapat disimpulkan bahwa P(n) benar untuk setiap
bilangan asli n.

A.3 Contoh Soal

Contoh 1 (Rosen, K. H. 2011 : 24)


Gunakan induksi matematika untuk membuktikan bahwa jumlah n bilangan ganjil pertama
adalah n2. Dengan formula sebagai berikut ∑𝒏𝒋=𝟏 (𝟐𝒋 − 𝟏) = 𝟏 + 𝟑 + 𝟓 + 𝟕 + 𝟗 + 𝟏𝟏 +
⋯ + 𝟐𝒏 − 𝟏 = 𝒏𝟐
Jawab :
Misalkan P(n) = ∑𝒏𝒋=𝟏 (𝟐𝒋 − 𝟏) = 𝒏𝟐 untuk semua n anggota N
a. Langkah dasar : tunjukkan P(1) benar.
P(1) adalah ∑1𝑗=1(2𝑗 − 1 ) = 𝑛2 = 2(1) − 1 = 1 = 12 benar.
b. Langkah induksi : diasumsikan bahwa P(k) benar untuk bilangan asli k dan
ditunjukkan bahwa P(k + 1) benar.
 diasumsikan bahwa P(k) benar untuk bilangan asli k
P(k) adalah ∑𝑘𝑗=1(2𝑗 − 1 ) = 𝑘 2
 diasumsikan bahwa P(k + 1) benar
∑𝑘+1 𝑘+1
𝑗=1 (2𝑗 − 1 ) = ∑𝑗=1 (2𝑗 − 1 ) + (2(𝑘 + 1) − 1)) dengan j = k + 1
= 𝑘 2 + 2𝑘 + 1
= (𝑘 + 1)(𝑘 + 1)
= (𝑘 + 1)2
Sehingga ∑𝑘+1 2
𝑗=1 (2𝑗 − 1 ) = (𝑘 + 1) adalah benar untuk P(k+1).

Kesimpulan: P(n) benar untuk semua bilangan asli n.

Contoh 2 (Burton. 2010 : 7)


Tunjukkan bahwa pada rumus 1(1!) + 2(2!) + 3(3!) + … + n(n!) = (n +1)! – 1 berlaku untuk
semua n ≥ 1.
Jawab:
a. Langkah dasar : tunjukkan P(1) benar.
P(1) adalah ∑1𝑛=1 𝑛(𝑛!) = (n + 1)! – 1
1(1!) = (1 + 1)! − 1
1 = (2)! − 1
1 =1
b. Langkah induksi : diasumsikan bahwa P(k) benar untuk bilangan asli k dan
ditunjukkan bahwa P(k + 1) benar.
 diasumsikan bahwa P(k) benar untuk bilangan asli k
P(k) adalah
1(1!) + 2(2!) + … + 𝑘(𝑘!) = (𝑘 + 1)! – 1
 diasumsikan bahwa P(k+1) benar
1(1!) + … + 𝑘(𝑘!) + (𝑘 + 1)(𝑘 + 1)! = (𝑘 + 1)! – 1 + (𝑘 + 1) (𝑘 + 1)!
= (𝑘 + 1)! [1 + (𝑘 + 1)] − 1
= (𝑘 + 1)! (𝑘 + 2) − 1
= (𝑘 + 2)! − 1
Maka terbukti benar.untuk P(k+1)
Kesimpulan: P(n) benar untuk semua n ≥ 1.
A.4 Definisi Rekursif
Definisi
Definisi Rekursif (Rosen, K. H. 2011 : 26)
Fungsi 𝑓 didefinisikan rekursif jika nilai 𝑓(1) ditetapkan dan jika setiap bilangan bulat
positif n diberikan aturan untuk menentukan 𝑓(n +1) dari 𝑓(n).

Contoh 1 :
Kita akan mendefinisikan fungsi 𝑓(𝑛) = 𝑛! secara rekursif.
Jawab :
Kita menentukan 𝑓(1) = 1. Kemudian diberi aturan untuk menemukan 𝑓(𝑛 + 1)
dari 𝑓(𝑛) untuk setiap bilangan bulat positif, dinamakan 𝑓(𝑛 + 1)! = (𝑛 + 1). 𝑓(𝑛). Dua
pernyataan mendefinisikan n! untuk himpunan bilangan bulat positif.
Untuk mencari nilai 𝑓(6) = 6! berdasarkan definisi rekursif , diperoleh
𝑓(6) = 6. 𝑓(5) = 6.5. 𝑓(4) = 6.5.4. 𝑓(3) = 6.5.4.3. 𝑓(2) = 6.5.4.3.2.1 = 720

B. Keterbagian

Definisi
Definisi (Rosen, K. H. 2011 : 36)
Jika a dan b merupakan bilangan bulat dengan a ≠ 0, dapat dikatakan bahwa a membagi
b jika terdapat suatu bilangan bulat c sedemikian sehingga b = ac. Jika a membagi b,
dapat juga dikatakan bahwa a merupakan suatu pembagi atau faktor dari b dan bahwa b
adalah kelipatan dari a.

Jika a membagi b dapat ditulis a│b, dan jika a bukan pembagi b dapat ditulis a ∤ b.

Contoh 1 :
Pernyataan berikut mengilustrasikan konsep keterbagian dari bilangan bulat.
a. 5│10, dapat dikatakan 5 membagi 10 dikarenakan ada bilangan bulat 2 sedemikian
sehingga 5.2 = 10
b. -5│30, dapat dikatakan -5 membagi 30 dikarenakan ada bilangan bulat -6 sedemikian
sehingga −5 . (−6) = 30
c. 9│-63, dapat dikatakan 9 membagi -63 dikarenakan ada bilangan bulat -7 sedemikian
sehingga 9 . (− 7) = −63
d. 8│21, 8 bukan pembagi 21 karena tidak ada bilangan bulat c, sedemikian sehingga
8c = 21
e. 3│-23, 3 bukan pembagi -23 karena tidak ada bilangan bulat c, sedemikian sehingga
3c = -23

Contoh 2 :
a. Pembagi-pembagi dari 6 yaitu ±1, ±2, ±3, ±6
b. Pembagi-pembagi dari 17 adalah ±1, ±17
c. Pembagi-pembagi dari 100 adalah ±1, ±2, ±4, ±5, ±10, ±20, ±25, ±50, ±100

B.1 Teorema Keterbagian


Teorema 1.8
Teorema (Rosen, K. H. 2011 : 37)
Jika a, b, dan c merupakan bilangan bulat dimana a│b dan b│c maka a│c

Bukti :

Karena a│b dan b│c, ada bilangan bulat e dan f sedemikian sehingga ae = b dan bf = c.
Oleh karena, c = bf = (ae)f = a(ef) dapat disimpulkan bahwa a│c.

atau

Dimisalkan a,b,c merupakan elemen dari himpunan Z dengan a│b dan b│c. Selanjutnya
akan dibuktikan a│c.
Karena a│b maka, a 0 dan ada 𝑑1 ∈ Z sehingga b = 𝑑1 . a
Karena b│c maka, b 0 dan ada 𝑑2 ∈Z sehingga c = 𝑑2 . b
Sehingga,
c = 𝑑2 . b
c = 𝑑2 .(𝑑1 . a)
c = (𝑑2 .𝑑1 .).a untuk 𝑑2 .𝑑1 ∈ Z
c = 𝑑3 .a untuk 𝑑3 ∈ Z
Karena c =𝑑3 .a dengan a 0 dan ada 𝑑3 ∈ Z maka a│c (terbukti)

Contoh 3 :
Diketahui 11│66 dan 66│198, apakah 11│198 merupakan pernyataan yang benar ?
Jawab :
11│66  11 membagi 66 dikarenakan ada bilangan bulat 6 sedemikian sehingga 11 . 6 =
66
66│198  66 membagi 198 dikarenakan ada bilangan bulat 3 sedemikian sehingga 66 . 3
= 198
Sehingga berdasarkan teorema 1.8, 11│198  11 membagi 198 dikarenakan ada bilangan
bulat c = 6.3 = 18 sedemikian sehingga 11 . 18 = 198.

Teorema 1.9
Teorema (Rosen, K. H. 2011 : 37)
Jika a, b, m dan n merupakan bilangan bulat dan jika c│a dan c│b maka c│(ma+nb)

Bukti :
Karena c│a dan c│b, ada bilangan bulat e dan f sehingga a = ce dan b = cf. Oleh karenanya,
ma + nb = m(ce) + n(cf) = c (me+nf). Sehingga, terlihat bahwa c│(ma+nb).

Contoh 4 :
3│21 dan 3│33 maka teorema 1.9 menjelaskan bahwa 3 membagi
5.21− 3.33 = 105 – 99 = 6
Teorema 1.10
Algoritma Keterbagian (Rosen, K. H. 2011 : 37)
“Jika 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑍 dan 𝑏 > 0, maka ada bilangan-bilangan 𝑞, 𝑟 ∈ 𝑍 yang masing-masing
tunggal sehingga 𝑎 = 𝑏𝑞 + 𝑟 dengan 0 ≤ 𝑟 < 𝑏.”
Bilangan bulat q merupakan hasil bagi, dan r merupakan sisa pembagian.

Bukti :
 Dibentuk suatu barisan aritmatika 𝑎 − 𝑘𝑏 dengan 𝑘 ∈ 𝑍 yaitu … , 𝑎 − 2𝑏, 𝑎 − 𝑏, 𝑎, 𝑎 +
𝑏, 𝑎 + 2𝑏, … . Kemudian dibentuk himpunan S yang beranggotakan suku-suku barisan
yang tidak negatif sehingga himpunan 𝑆 = {𝑎 − 𝑘𝑏|𝑘 ∈ 𝑍, 𝑎 − 𝑘𝑏 ≥ 0}.
Berdasarkan sifat well-ordering principle, S mempunyai unsur terkecil misalnya 𝑟.
Karena 𝑟 ∈ 𝑆, maka 𝑟 dapat dinyatakan 𝑟 = 𝑎 − 𝑏𝑞 dengan 𝑞 ∈ 𝑍, sehingga dapat
diperoleh 𝑎 = 𝑏𝑞 + 𝑟. Jadi, jika 𝑏 > 0, dan 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑍 maka ada 𝑞, 𝑟 ∈ 𝑍 sehingga 𝑎 =
𝑏𝑞 + 𝑟.
 Akan ditunjukkan bahwa 0 ≤ 𝑟 < 𝑏 menggunakan bukti tidak langsung.
Anggaplah bahwa tidak benar 0 ≤ 𝑟 < 𝑏, maka 𝑟 ≥ 𝑏 (𝑟 tidak mungkin negatif
sehingga 𝑟 ∈ 𝑆).
𝑟 ≥ 𝑏 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑟 > 𝑟 − 𝑏 = (𝑎 − 𝑏𝑞) − 𝑏 = 𝑎 − 𝑏(𝑞 + 1) ≥ 0
Hal ini kontradiksi dengan pengambilan r sebagai bilangan bulat terkecil dari S. Jadi
terbukti 0 ≤ 𝑟 < 𝑏.
 Akan ditunjukkan ketunggalan dari q dan r.
Misalkan q dan r tidak tunggal yaitu ada 𝑞1 , 𝑞2, 𝑟1 , 𝑟2 ∈ 𝑍 yang memenuhi hubungan
𝑏 = 𝑞1 𝑏 + 𝑟1 , 0 ≤ 𝑟1 < 𝑏
𝑏 = 𝑞2 𝑏 + 𝑟2 , 0 ≤ 𝑟1 < 𝑏

Dengan 𝑞1 ≠ 𝑞2 dan 𝑟1 ≠ 𝑟2 (misalkan 𝑟1 > 𝑟2 ) maka


𝑞1 𝑏 + 𝑟1 = 𝑞2 𝑏 + 𝑟2
𝑟1 − 𝑟2 = 𝑎(𝑞2 − 𝑞1 )
𝑎|(𝑟1 − 𝑟2 )
Karena 0 ≤ 𝑟1 < 𝑏,dan 0 ≤ 𝑟2 < 𝑏, maka nilai terbesar (𝑟1 − 𝑟2 ) < 𝑏 (untuk 𝑟1 < 𝑏
dan 𝑟2 = 0) dan nilai terkecil (𝑟1 − 𝑟2 ) < −𝑏 (untuk 𝑟1 = 0 dan 𝑟2 < 𝑏), sehingga
dapat ditentukan bahwa −𝑏 < (𝑟1 − 𝑟2 ) < 𝑏 .
Akibat dari 𝑏|(𝑟1 − 𝑟2 ) dan −𝑏 < (𝑟1 − 𝑟2 ) < 𝑏 adalah
1. Jika 0 < (𝑟1 − 𝑟2 ) < 𝑏 maka 𝑏 ∤ (𝑟1 − 𝑟2 ) karena 𝑏 > 0, (𝑟1 − 𝑟2 ) > 0 dan 𝑏 >
(𝑟1 − 𝑟2 ) akan berakibat pembagian (𝑟1 − 𝑟2 ) oleh a menghasilkan bilangan
pecahan. Jadi tidak mungkin 0 < (𝑟1 − 𝑟2 ) < 𝑏 .
2. Jika −𝑏 < (𝑟1 − 𝑟2 ) < 0, maka 𝑏 ∤ (𝑟1 − 𝑟2 ) karena 𝑏 > 0, (𝑟1 − 𝑟2 ) > 0 dan >
(𝑟1 − 𝑟2 ) akan berakibat pembagian (𝑟2 − 𝑟1 ) oleh b akan menghasilkan bilangan
pecahan. Jadi tidak mungkin −𝑏 < (𝑟1 − 𝑟2 ) < 0.
3. Jika (𝑟1 − 𝑟2 ) = 0, maka 𝑏|(𝑟1 − 𝑟2 ) karena b > 0, sehingga berakibat 𝑟1 = 𝑟2
Karena 𝑟1 = 𝑟2 dan 𝑟2 − 𝑟1 = 𝑏(𝑞2 − 𝑞1 ) → 𝑏(𝑞2 − 𝑞1 ) = 0
b > 0 dan 𝑏(𝑞2 − 𝑞1 ) → 𝑏(𝑞2 − 𝑞1 ) = 0 → 𝑞2 = 𝑞1
Jadi 𝑟1 = 𝑟2dan 𝑞2 = 𝑞1 yaitu q dan r masing-masing adalah tunggal.
Contoh 5 :
Misal a = 1028 dan b = 34. Maka a = bq + r dengan 0 ≤ r < b, dimana q = [1028/34] =30
dan r = 1028 –[1028/34].34=1028 – 30.34 = 8.

Jika a = -50 dan b = 8, maka q = -7 dan r = 6, karena -50 = 8(-7) + 6 dan 0 ≤ 6 < 8

C. Faktor Persekutuan Terbesar


Definisi
Definisi (Rosen, K. H. 2011 : 39)
Faktor Persekutuan Terbesar dari dua bilangan bulat a dan b dimana keduanya tidak
sama dengan nol, adalah bilangan bulat terbesar yang habis membagi a dan b.

Contoh 1:
a. Faktor-faktor dari 24 dan 84 adalah ±1,±2, ±3, ±4, ±6, dan ±12. Karena itu Faktor
persekutuan terbesar (fpb) adalah 12 atau kita tulis fpb (24,84)=12.
b. (100,5) = 5
c. (17,25) = 1

Definisi
Definisi (Rosen, K. H. 2011 : 39)
Dua bilangan bulat yaitu 𝑎 dan 𝑏 dengan 𝑎 ≠ 0 dan 𝑏 ≠ 0 relatif prima apabila
memiliki faktor persekutuan terbesar (a, b) = 1.

Contoh 2:
Karena (25, 42) = 1 maka 25 dan 42 dikatakan relatif prima karena kedua bilangan tersebut
tidak punya faktor prima bersama.
2.1 Representasi Bilangan Bulat
Dalam kehidupan sehari-hari, digunakan notasi desimal untuk mewakili bilangan bulat.
Misalnya penulisan bilangan bulat 37,465 dinyatakan dalam:

3.104 + 7.103 + 4.102 + 6.101 + 5.100

Notasi desimal menyatakan bilangan dengan basis 10 (Desimal). Secara matematis setiap
bilangan bulat positif yang lebih dari 1 dapat digunakan sebagai basis.
Secara khusus, basis 2 (binary), basis 4 (quarter), basis 8 (octadecimal), dan basis 16
(hexadecimal), merupakan representasi bilangan bulat yang digunakan secara luas oleh
komputer untuk berbagai keperluan.

Teorema 2.1 (Rosen, K.H. 2011 : 46)


Jika 𝑏 adalah bilangan bulat positif dengan 𝑏 > 1, maka setiap bilangan bulat positif 𝑛 dapat
ditulis dalam bentuk :
𝒏 = 𝒂𝒌 𝒃𝒌 + 𝒂𝒌−𝟏 𝒃𝒌−𝟏 +. . . +𝒂𝟏 𝒃 + 𝒂𝟎
dengan 𝑘 adalah bilangan bulat non negatif, aj adalah suatu bilangan bulat dengan 0 ≤ 𝑎𝑗 ≤
𝑏 − 1 untuk 𝑗 = 0, 1, . . . , 𝑘, dan koefisien awal 𝑎𝑘 ≠ 0.

Bukti :
Untuk memperoleh representasi dari n maka digunakan algoritma pembagian secara
berurutan. Pertama bagilah n dengan b sehingga diperoleh:
𝑛 = 𝑏𝑞0 + 𝑎0 , 0 ≤ 𝑎0 ≤ 𝑏 − 1
Jika 𝑞0 ≠ 0 maka dilanjutkan dengan membagi 𝑞0 dengan 𝑏 diperoleh :
𝑞0 = 𝑏𝑞1 + 𝑎1 , 0 ≤ 𝑎1 ≤ 𝑏 − 1
Proses dilanjutkan sehingga diperoleh :
𝑞1 = 𝑏𝑞2 + 𝑎2 , 0 ≤ 𝑎2 ≤ 𝑏 − 1
𝑞2 = 𝑏𝑞3 + 𝑎3 , 0 ≤ 𝑎3 ≤ 𝑏 − 1
.
.
.
𝑞𝑘−2 = 𝑏𝑞𝑘−1 + 𝑎𝑘−1 , 0 ≤ 𝑎𝑘−1 ≤ 𝑏 − 1
𝑞𝑘−1 = 𝑏. 0 + 𝑎𝑘 , 0 ≤ 𝑎𝑘 ≤ 𝑏 − 1
Tahap akhir dari proses ini terjadi ketika hasil bagi bernilai 0. Untuk menunjukkan hal ini,
pertama perhatikan bahwa barisan hasil bagi memenuhi :
𝑛 > 𝑞0 > 𝑞1 > 𝑞2 >. . . ≥ 0
Karena barisan 𝑞0 , 𝑞1 , 𝑞2 , . .. merupakan barisan bilangan bulat non negatif yang terus
berlanjut selama sukunya positif, maka barisan tersebut paling banyak mempunyai 𝑞0 suku
dan suku terakhir adalah 0.
Dari persamaan pertama diperoleh :
𝑛 = 𝑏𝑞0 + 𝑎0
Selanjutnya subtitusikan 𝑞0 pada persamaan di atas, diperoleh :
𝑛 = 𝑏(𝑏𝑞1 + 𝑎1 ) + 𝑎0 = 𝑏 2 𝑞1 + 𝑎1 𝑏 + 𝑎0
Subtitusikan secara berurutan untuk 𝑞1 , 𝑞2 , . . . , 𝑞𝑘−1, didapatkan :
𝑛 = 𝑏 3 𝑞2 + 𝑎2 𝑏 2 + 𝑎1 𝑏 + 𝑎0
.
.
.
= 𝑏 𝑘−1 𝑞𝑘−2 + 𝑎𝑘−2 𝑏 𝑘−2 +. . . +𝑎1 𝑏 + 𝑎0
= 𝑏 𝑘 𝑞𝑘−1 + 𝑎𝑘−1 𝑏 𝑘−1 +. . . +𝑎1 𝑏 + 𝑎0
= 𝑎𝑘 𝑏 𝑘 + 𝑎𝑘−1 𝑏 𝑘−1 +. . . +𝑎1 𝑏 + 𝑎0
Dengan 0 ≤ 𝑎𝑗 ≤ 𝑏 − 1 untuk 𝑗 = 0, 1, . . . , 𝑘 dan koefisien 𝑎𝑘 ≠ 0, diketahui bahwa 𝑎𝑘 =
𝑞𝑘−1 adalah hasil bagi terakhir yang bukan nol. Akhirnya diperoleh representasi yang
diinginkan.
Untuk memperlihatkan bahwa representasi tersebut tunggal, diasumsikan terdapat dua
representasi yang sama dengan n, yaitu :
𝑛 = 𝑎𝑘 𝑏 𝑘 + 𝑎𝑘−1 𝑏 𝑘−1 +. . . +𝑎1 𝑏 + 𝑎0
= 𝑐𝑘 𝑏 𝑘 + 𝑐𝑘−1 𝑏 𝑘−1 +. . . +𝑐1 𝑏 + 𝑐0
Dengan 0 ≤ 𝑎𝑘 < 𝑏 dan 0 ≤ 𝑐𝑘 < 𝑏, kurangkanlah kedua persamaan tersebut, sehingga
didapatkan :
(𝑎𝑘 − 𝑐𝑘 )𝑏 𝑘 + (𝑎𝑘−1 − 𝑐𝑘−1 )𝑏 𝑘−1 +. . . +(𝑎1 − 𝑐1 )𝑏 + (𝑎0 − 𝑐0 ) = 0
Jika kedua persamaan berbeda, maka terdapat bilangan bulat terkecil j, 0 ≤ 𝑗 ≤ 𝑘 sehingga
𝑎𝑗 ≠ 𝑐𝑗 . Oleh karena itu,
𝑏 𝑗 ((𝑎𝑘 − 𝑐𝑘 )𝑏 𝑘−𝑗 +. . . +(𝑎𝑗+1 − 𝑐𝑗+1 )𝑏 + (𝑎𝑗 − 𝑐𝑗 )) = 0
sehingga
(𝑎𝑘 − 𝑐𝑘 )𝑏 𝑘−𝑗 +. . . +(𝑎𝑗+1 − 𝑐𝑗+1 )𝑏 + (𝑎𝑗 − 𝑐𝑗 ) = 0
Selesaikan untuk 𝑎𝑗 − 𝑐𝑗 diperoleh :
(𝑎𝑗 − 𝑐𝑗 ) = (𝑐𝑘 − 𝑎𝑘 )𝑏 𝑘−𝑗 +. . . +(𝑐𝑗+1 − 𝑎𝑗+1 )𝑏
= 𝑏((𝑐𝑘 − 𝑎𝑘 )𝑏 𝑘−𝑗−1 +. . . +(𝑐𝑗+1 − 𝑎𝑗+1 ))
Oleh karena itu,
𝑏|(𝑎𝑗 − 𝑐𝑗 ).
karena 0 ≤ 𝑎𝑗 < 𝑏 dan 0 ≤ 𝑐𝑗 < 𝑏 maka −𝑏 ≤ 𝑎𝑗 − 𝑐𝑗 < 𝑏. Akibatnya 𝑏|(𝑎𝑗 − 𝑐𝑗 )
menyebabkan 𝑎𝑗 = 𝑐𝑗 . Hal ini kontradiksi dengan asumsi bahwa dua persamaan berbeda.
Disimpulkan bahwa representasi dari n dengan basis b adalah tunggal.

Akibat 2.1.1(Rosen, K.H. 2011 : 47)


Setiap bilangan bulat positif dapat direpresentasikan sebagai jumlah dari pangkat 2 yang
berbeda.

Bukti :
Misalkan n adalah bilangan bulat positif.
Dari teorema 2.1 dengan b = 2 diketahui bahwa
𝑛 = 𝑎𝑘 2𝑘 + 𝑎𝑘−1 2𝑘−1 +. . . +𝑎1 2 + 𝑎0 dimana setiap 𝑎𝑗 bernilai 0 atau 1. Oleh karena itu,
setiap bilangan bulat positif adalah jumlah dari pangkat 2 yang berbeda.
Basis 10 disebut sebagai basis desimal. Basis 2 disebut biner, basis 4 disebut quarter, basis
8 disebut oktal dan basis 16 disebut heksadesimal atau secara singkat heks.
Koefisien 𝑎𝑗 dalam ekspansi jumlahan itu disebut angka (digits). Angka biner biasa disebut
dengan bits (binary digits) di dalam istilah komputer.

Contoh 2.1
(236)7 = 2 . 72 + 3 . 71 + 6.70 = (125)10
(10101111)2 = 1 . 27 + 1 . 25 + 1. 23 + 1 . 22 + 1. 21 + 1

= 128 + 32 + 8 + 4 + 2 + 1 = (175)10
Bukti Teorema 2.1 memberikan sebuah metode untuk menemukan representasi basis
b (𝑎𝑘 𝑎𝑘−1 . . . 𝑎1 𝑎0 )𝑏 dari suatu bilangan bulat positif n. Secara khusus, untuk menemukan
representasi basis b dari n, langkah pertama n dibagi dengan b, sisanya adalah angka a0.
Kemudian, bagi [𝑛/𝑏] = 𝑞0 dengan b, sisanya adalah angka a1. Selanjutnya, berturut-turut
membagi hasil bagi yang diperoleh dengan b, untuk mendapatkan angka dalam representasi
basis b dari n. Proses berhenti ketika hasil bagi 0.
Dengan kata lain, untuk menemukan representasi basis b dari n, kita melakukan
algoritma pembagian berulang-ulang, menggantikan pembagi dengan setiap hasil bagi, dan
berhenti ketika hasil bagi sama dengan 0. Kemudian dibaca pada sisa pembagian untuk
menemukan representasi basis b. Diilustrasikan prosedur ini pada contoh 2.2.
Contoh 2.2
Untuk menentukan representasi basis 2 dari bilangan 1864 kita gunakan algoritma
pembagian berulang-ulang :
1864 = 2 . 932 + 0
932 = 2 . 466 + 0
466 = 2 . 233 + 0
233 = 2 . 116 + 1
116 = 2 . 58 + 0
58 = 2 . 29 + 0
29 = 2 . 14 + 1
14 = 2 . 7 + 0
7 =2.3 +1
3 =2.1 +1
1 =2.0 +1

Untuk mendapatkan bilangan basis 10 dari 1864, diambil sisa-sisa pembagian dengan urutan
dari bawah ke atas. Jadi, (1864)10 = (11101001000)2
Komputer menggunakan basis 8 atau 16 untuk menunjukkan maksudnya. Dalam
basis 16 dinotasikan dengan 16 angka, biasanya dilambangkan dengan 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
8, 9, A, B, C, D, E, F. Huruf-huruf A, B, C, D, E, dan F digunakan untuk menyatakan angka-
angka yang bersesuaian dengan 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 dalam penulisan notasi desimal
(basis 10).
Contoh 2.3
Untuk mengubah dari basis heksadesimal ke basis desimal :
(A35B0F)16 = 10 . 165 + 3 . 164 + 5 . 163 + 11 . 162
+ 0. 161 + 15
= (10705679)10
Jadi (A35B0F)16 = (10705679)10

Contoh 2.4
Untuk mengubah dari basis heksadesimal ke biner :
(2FB3)16 = (2)16 . (F)16 . (B)16 . (3)16
= (10) 2 . (1111) 2 . (1011) 2 . (11)2
= (0010.1111.1011.0011)
Untuk mengubah dari basis biner ke heksadesimal :
(11101001110)2 = (111 . 0100 . 1110)2
= (0111 0100 1110)2
= (74E)16

Untuk mengubah dari basis octadesimal ke biner :


(356)8 = (11) 2 . (101) 2 . (110) 2
= (011.101.110)2

Untuk mengubah dari basis biner ke octadesimal:


(11000001010111)2 = (11.000.001.010.111)2
= (011 000 001 010 111) 2
= (30127)8

2.2 Operasi Komputer Dengan Bilangan Bulat


Sebelum komputer ditemukan, para matematikawan melakukan perhitungan secara
manual. Namun, mereka hanya bisa menghitung sampai ukuran yang terbatas. Banyak
permasalahan dalam teori bilangan, yang mensyaratkan perhitungan bilangan bulat hingga
100 bahkan 200 digit. Selanjutnya akan dibahas metode klasik untuk menunjukkan operasi
dasar aritmatika dalam bilangan bulat dengan basis r dimana r > 1 adalah bilangan bulat.

Definisi. (Rosen, K.H. 2011 : 55)


Suatu algoritma adalah sebuah himpunan berhingga yang memuat petunjuk yang
tepat untuk menunjukkan sebuah perhitungan atau untuk memecahkan sebuah masalah.

Akan dijelaskan algoritma yang menunjukkan penambahan, pengurangan, dan


perkalian dari dua n bilangan bulat,
𝑎 = (𝑎𝑛−1 𝑎𝑛−2 . . . 𝑎1 𝑎0 ) r dan 𝑏 = (𝑏𝑛−1 𝑏𝑛−2 . . . 𝑏1 𝑏0 ) r

dimana digit awal nol ditambahkan jika perlu untuk menjadikan dua ekspansi sama panjang.

Penjumlahan (Rosen, KH. 2011: 55 )


Ketika ditambahkan a dan b, diperoleh penjumlahan
𝑛−1 𝑛−1 𝑛−1

𝑎 + 𝑏 = ∑ 𝑎𝑗 𝑟 𝑗 + ∑ 𝑏𝑗 𝑟 𝑗 = ∑(𝑎𝑗 + 𝑏𝑗 )𝑟 𝑗
𝑗=0 𝑗=𝑜 𝑗=0

Untuk menemukan persamaan basis r pada a + b, catatan pertama bahwa dengan algoritma
pembagian ada bilangan bulat 𝐶0 dan 𝑠0 sehingga
𝑎0 + 𝑏0 = 𝐶0 𝑟 + 𝑠0 , 0 ≤ 𝑠0 ≤ 𝑟
Karena 𝑎0 dan 𝑏0 adalah bilangan bulat positif lebih kecil r, diketahui bahwa 0 ≤ 𝑎0 + 𝑏0 ≤
2𝑟 − 2 sehingga 𝐶0 = 0 atau 1, 𝐶0 dipindah ruaskan.
Selanjutnya ditemukan bahwa ada bilangan bulat 𝐶1 dan 𝑠1 sehingga:
𝑎1 + 𝑏1 + 𝐶0 = 𝐶1 𝑟 + 𝑠1 , 0 ≤ 𝑠1 ≤ 𝑟
Karena 0 ≤ 𝑎1 + 𝑏1 + 𝐶0 ≤ 2𝑟 − 2, diketahui bahwa 𝐶1 = 0 atau 1. Secara induktif
ditemukan bilangan bulat 𝐶𝑖 dan 𝑠𝑖 untuk 1 ≤ 𝑖 ≤ 𝑛 − 1 dengan
𝑎1 + 𝑏1 + 𝐶𝑖−1 = 𝐶𝑖 𝑟 + 𝑠𝑖 , 0 ≤ 𝑠𝑖 ≤ 𝑟
dengan𝐶𝑖 = 0 atau 1. Akhirnya diberikan 𝑆𝑛 = 𝐶𝑛−1 , karena penjumlahan dua bilangan bulat
n memiliki 𝑛 + 1digit ketika dipindah ruaskan dalam n tempat. Kesimpulannya bahwa
ekspansi basis r untuk penjumlahan adalah 𝑎 + 𝑏 = (𝑠𝑛 𝑠𝑛−1 . . . 𝑠1 𝑠0 )𝑟
Contoh 2.5 :
Jumlahkanlah (1101)2 dan (1001)2 !
Penyelesaian :

1 1
1 1 0 1
+ 1 0 0 1
1 0 1 1 0

Pengurangan (Rosen, KH. 2011: 55 )


Diasumsikan bahwa𝑎 > 𝑏. Berlaku
𝑛−1 𝑛−1 𝑛−1

𝑎 − 𝑏 = ∑ 𝑎𝑗 𝑟 𝑗 − ∑ 𝑏𝑗 𝑟 𝑗 = ∑(𝑎𝑗 − 𝑏𝑗 )𝑟 𝑗
𝑗=0 𝑗=𝑜 𝑗=0

Berdasarkan algoritma pembagian, terdapat bilangan bulat 𝐵𝑜 dan 𝑑0 sedemikian hingga :

𝑎0 − 𝑏0 = 𝐵0 𝑟 + 𝑑0 , 0 ≤ 𝑑0 < 𝑟

Karena 𝑎0 dan 𝑏0 adalah bilangan bulat positif kurang dari 𝑟, maka

−(𝑟 − 1) ≤ 𝑎0 − 𝑏0 ≤ 𝑟 − 1

ketika 𝑎0 − 𝑏0 ≥ 0, didapat 𝐵0 = 0. Sebaliknya ketika 𝑎0 − 𝑏0 < 0, didapat 𝐵0 = −1; 𝐵0


dipindah ruaskan. Gunakan kembali algoritma pembagian untuk memperoleh 𝐵1dan 𝑑1 ,
sedemikian hingga:

𝑎1 − 𝑏1 + 𝐵0 = 𝐵1 𝑟 + 𝑑1 , 0 ≤ 𝑑1 < 𝑟

Berdasarkan persamaan tersebut, diperoleh 𝐵1 = 0 ketika 𝑎1 − 𝑏1 + 𝐵0 ≥ 0, dan di sisi


lain 𝐵1 = −1, karena −𝑟 ≤ 𝑎1 − 𝑏1 + 𝐵0 ≤ 𝑟 − 1.

Lanjutkan proses hingga didapat bilangan bulat 𝐵𝑖 dan 𝑑𝑖 , sedemikian hingga

𝑎𝑖 − 𝑏𝑖 + 𝐵𝑖−1 = 𝐵𝑖 𝑟 + 𝑑𝑖 0 ≤ 𝑑𝑖 < 𝑟

Dengan 𝐵𝑖 = 0 atau −1, untuk 1 ≤ 𝑖 ≤ 𝑛 − 1, diperoleh 𝐵𝑛−1 = 0, karena 𝑎 > 𝑏.


Disimpulkan bahwa

𝑎 − 𝑏 = (𝑑𝑛−1 𝑑𝑛−2 … 𝑑1 𝑑0 )𝑟
Contoh 2.6 :

Kurangkanlah (10110)2 dari (11011)2


Penyelesaian :
-1
1 1 0 1 1
- 1 0 1 1 0
1 0 1

Perkalian (Rosen, KH. 2011: 57)

Sebelum membahas perkalian, dibahas terlebih dulu mengenai pergeseran tempat. Untuk
mengalikan (𝑎𝑛−1 … 𝑎1 𝑎0 )𝑟 oleh 𝑟 𝑚 , diperlukan pergeseran tempat sebanyak m tempat,
disesuaikan dengan banyaknya digit nol sebanyak m.
Diskusi pertama mengalikan pada bilangan bulat n oleh satu digit bilangan bulat. Untuk
mengalikan (𝑎𝑛−1 … 𝑎1 𝑎0 )𝑟 dengan (𝑏)𝑟 , diperoleh

𝑎0 𝑏 = 𝑞0 𝑟 + 𝑝0 , 0 ≤ 𝑝0 < 𝑟,

dan 0 ≤ 𝑞0 ≤ 𝑟 − 2, karena 0 ≤ 𝑎0 𝑏 ≤ (𝑟 − 1)2 , selanjutnya diperoleh :

𝑎0 𝑏 + 𝑞0 = 𝑞1 𝑟 + 𝑝1 , 0 ≤ 𝑝1 < 𝑟,

dan 0 ≤ 𝑞1 ≤ 𝑟 − 1. Secara umum, diperoleh

𝑎𝑖 𝑏 + 𝑞𝑖−1 = 𝑞𝑖 𝑟 + 𝑝𝑖 , 0 ≤ 𝑝𝑖 < 𝑟,

dan 0 ≤ 𝑞𝑖 ≤ 𝑟 − 1. Lebih lanjut, diperoleh 𝑝𝑛 = 𝑞𝑛−1. Hasil ini menunjukkan


(𝑎𝑛−1 … 𝑎1 𝑎0 )𝑟 (𝑏)𝑟 = (𝑝𝑛 𝑝𝑛−1 … 𝑝1 𝑝0 )𝑟

Untuk menyatakan perkalian dua buah bilangan bulat, dituliskan


𝑛−1 𝑛−1

𝑎𝑏 = 𝑎 (∑ 𝑏𝑗 𝑟 ) = ∑(𝑎𝑏𝑗 )𝑟 𝑗
𝑗

𝑗=0 𝑗=0

Untuk setiap j, pertama kalikan a dengan digit 𝑏𝑗 , kemudian geserkan ke sebelah kiri
sebanyak j, dan kemudian jumlahkan hasil perkalian tersebut.
Contoh 2.8
Kalikanlah (1101)2 dan (1110)2
Penyelesaian :
1 1 0 1
x 1 1 1 0
0 0 0 0
1 1 0 1
1 1 0 1
1 1 0 1
1 0 1 1 0 1 1 0

Pembagian (Rosen, KH. 2011: 58)


Diharapkan menemukan hasil bagi q pada algoritma pembagian
𝑎 = 𝑏𝑞 + 𝑅, 0 ≤ 𝑅 < 𝑏.
Jika ekspansi basis r dari q adalah 𝑞 = (𝑞𝑛−1 𝑞𝑛−2 … 𝑞1 𝑞0 )𝑟 , maka diperoleh
𝑎 = 𝑏(∑𝑛−1 𝑗
𝑗=0 𝑞𝑗 𝑟 )+R, 0 ≤ 𝑅 < 𝑏.

Untuk menentukan digit pertama 𝑞𝑛−1 dari q, nyatakan bahwa

𝑎 − 𝑏𝑞𝑛−𝑖 𝑟 𝑛−1 =b(∑𝑛−2 𝑗


𝑗=0 𝑞𝑗 𝑟 )+R

Sisi kanan dari persamaan tersebut tidak hanya bernilai positif, tetapi juga kurang dari
𝑏𝑟 𝑛−1, karena ∑𝑛−2 𝑗 𝑛−2 𝑗 𝑛−1 𝑗
𝑗=0 𝑞𝑗 𝑟 ≤ ∑𝑗=0 (𝑟 − 1)𝑗 𝑟 = ∑𝑗=1 𝑟

= ∑𝑛−2 𝑗
𝑗=0 𝑟 = 𝑟
𝑛−1
− 1.

Oleh karena itu, diketahui bahwa

0 ≤ 𝑎 − 𝑏𝑞𝑛−1 𝑟 𝑛−1 < 𝑏𝑟 𝑛−1

Dikatakan bahwa

𝑎
𝑞𝑛−1 =[𝑏𝑟 𝑛−1 ]

Diperoleh 𝑞𝑛−1 melalui pengurangan 𝑏𝑟 𝑛−1 dari a sampai diperoleh hasil negatif dan 𝑞𝑛−𝑖
adalah kurang dari pengurangan bilangan.

Untuk menemukan digit lain dari q, susun barisan dari sebagian sisa 𝑅𝑖 dengan
𝑅0 = 𝑎 dan 𝑅𝑖 = 𝑅𝑖−1 − 𝑏𝑞𝑛−𝑖 𝑟 𝑛−1

Untuk i = 1, 2, . . . , n. Dengan induksi matematika, ditunjukkan bahwa:

(2.1) 𝑅𝑖 = (∑𝑛−𝑖−1 𝑗
𝑗=𝑜 𝑞𝑗 𝑟 )𝑏 + 𝑅

Untuk i = 0 bernilai benar karena 𝑅0 = 𝑎 = 𝑞𝑏 + 𝑅

Diasumsikan bahwa 𝑅𝑘 = (∑𝑛−𝑘−1


𝑗=0 𝑞𝑗 𝑟 𝑗 )𝑏 + 𝑅

Kemudian

𝑅𝑘+1 = 𝑅𝑘 − 𝑏𝑞𝑛−𝑘−1 𝑟 𝑛−𝑘−1

𝑛−𝑘−1

= ( ∑ 𝑞𝑗 𝑟 𝑗 ) 𝑏 + 𝑅 − 𝑏𝑞𝑛−𝑘−1 𝑟 𝑛−𝑘−1
𝑗=𝑜

𝑛−(𝑘+1)−1

=( ∑ 𝑞𝑗 𝑟 𝑗 ) 𝑏 + 𝑅,
𝑗=𝑜

Membuktikan (2.1).

Dari (2.1), didapat 0 ≤ 𝑅𝑖 < 𝑟 𝑛−𝑖 𝑏, untuk i = 1, 2, . . ., n, karena ∑𝑛−𝑖−1 𝑗


𝑗=𝑜 𝑞𝑗 𝑟 ≤

𝑟𝑛−𝑖 − 1. Akibatnya, Karena 𝑅𝑖 = 𝑅𝑖−1 − 𝑏𝑞𝑛−𝑖 𝑟 𝑛−𝑖 dan 0 ≤ 𝑅𝑖 < 𝑟 𝑛−𝑖 𝑏, perhatikan bahwa
𝑅 𝑛−𝑖
digit 𝑞𝑛−𝑖 dinyatakan 𝑞𝑛−1 =[𝑏𝑟𝑖−1
𝑛−1 ]dan diperoleh pengurangan secara berturut-turut 𝑏𝑟

dari 𝑅𝑖−1 hingga didapat hasil yang bernilai negatif, dan 𝑞𝑛−𝑖 adalah kurang dari
pengurangan bilangan. Ini adalah cara menemukan digit q.

Contoh :
Tentukanlah hasil bagi dan sisa bila (110011111)2 dibagi dengan (1101)2. (Rosen, 2011: 60,
exercise 2.2, number 7).
Jawab :

1 1 1 1 1 (Hasil bagi)
1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1
1 1 0 1
1 1 0 0 1
1 1 0 1
1 1 0 0 1
1 1 0 1
1 1 0 0 1
1 1 0 1
1 1 0 0 1
1 1 0 1
1 1 0 0 (sisa)

Jadi, hasil dari (110011111)2 dibagi dengan (1101)2 adalah q = (11111)2 dan sisanya adalah
r = (1100)2.

2.3 Kompleksitas Operasi Bilangan Bulat


Definisi. (Rosen, KH. 2011: 61)
Jika f dan g adalah fungsi bernilai positif yang didefinisikan untuk setiap𝑥 ∈ 𝑆 dimana S
adalah himpunan bilangan real yang spesifik, maka f adalah O(g) dari S jika terdapat sebuah
konstan positif K sehingga𝑓(𝑥) < 𝐾𝑔(𝑥) untuk semua 𝑥 ∈ 𝑆.
(Biasanya, mengambil S dalam himpunan bilangan bulat positif)
Notasi Big-O digunakan secara luas pada “Teori Bilangan” dan analisis suatu algoritma.

Contoh 2.10
Ditunjukkan himpunan bilangan bulat positif 𝑛4 + 2𝑛3 + 5 adalah O(𝑛4 ).
Untuk mengerjakan hal ini, perhatikan bahwa 𝑛4 + 2𝑛3 + 5 ≤ 𝑛4 + 2𝑛4 + 5𝑛4 = 8𝑛4
untuk semua bilangan bulat positif.
(Diambil K = 8 pada definisi). Catat bahwa𝑛4 adalah 𝑂(𝑛4 + 2𝑛3 + 5).

Teorema 2.2 (Rosen, KH. 2011: 62 )


Jika f adalah O(g) dan c adalah sebuah konstanta positif, maka cf adalah O(g).
Bukti:
Jika f adalah O(g), maka ada konstanta K dengan𝑓(𝑥) < 𝐾𝑔(𝑥) untuk semua x. Oleh karena
itu 𝑐𝑓(𝑥) < (𝑐𝐾)𝑔(𝑥), sehingga cf adalah O(g).

Teorema 2.3 (Rosen, KH. 2011: 63 )


Jika 𝑓1 adalah 𝑂(𝑔1 ) dan 𝑓2 adalah 𝑂(𝑔2 ) maka 𝑓1 + 𝑓2 adalah𝑂(𝑔1 + 𝑔2 ), dan
𝑓1 . 𝑓2 adalah𝑂(𝑔1 . 𝑔2 ).
Bukti:
Jika 𝑓1 adalah 𝑂(𝑔1 ) dan 𝑓2 adalah 𝑂(𝑔2 ) maka ada konstanta𝐾1 dan 𝐾2 sehingga 𝑓1 (𝑥) <
𝐾1 𝑔1 (𝑥) dan 𝑓2 (𝑥) < 𝐾2 𝑔2 (𝑥) untuk semua x. Oleh karena itu,
𝑓1 (𝑥) + 𝑓2 (𝑥) < 𝐾1 𝑔1 (𝑥) + 𝐾2 𝑔2 (𝑥)
≤ 𝐾(𝑔1 (𝑥) + 𝑔2 (𝑥))
dimana 𝐾 adalah maksimum dari 𝐾1 dan 𝐾2 . Oleh karena itu, 𝑓1 + 𝑓2 adalah𝑂(𝑔1 + 𝑔2 ).
Juga 𝑓1 (𝑥). 𝑓2 (𝑥) < 𝐾1 𝑔1 (𝑥). 𝐾2 𝑔2 (𝑥)
= (𝐾1 𝐾2 )(𝑔1 (𝑥)𝑔2 (𝑥))
Maka𝑓1 . 𝑓2 adalah𝑂(𝑔1 . 𝑔2 ).

Akibat 2.3.1. (Rosen, KH. 2011: 63 )


Jika 𝑓1 dan 𝑓2 adalah 𝑂(𝑔) maka𝑓1 + 𝑓2 adalah𝑂(𝑔) .

Bukti:
Teorema 2.3 menyebutkan bahwa 𝑓1 dan 𝑓2 adalah𝑂(2𝑔) tetapi jika 𝑓1 + 𝑓2 < 𝐾(2𝑔)
maka𝑓1 + 𝑓2 < 2𝐾(𝑔) sehingga𝑓1 + 𝑓2 adalah𝑂(𝑔).

Tujuan menggunakan perkiraan big-O adalah big-O memberikan perkiraan terbaik


daripada menggunakan fungsi referensi yang paling sederhana. Fungsi referensi terkenal
yang digunakan dalam perkiraan big-O mencakup 1, log n , n, n log n , n log . n log . log
n,𝑛2 , dan 2𝑛 , serta beberapa fungsi penting lainnya. Kalkulus dapat digunakan untuk
menunjukkan bahwa setiap fungsi dalam daftar ini lebih kecil daripada daftar fungsi
berikutnya, dalam arti bahwa rasio fungsi dan fungsi berikutnya cenderung 0 sampai n tak
terbatas.
Contoh 2.12
Untuk memberikan perkiraan big-O untuk (n + 8 log n) (10n logn + 17𝑛2 ), pertama
perhatikan bahwa n + 8 logn adalah 𝑂(𝑛) dan 10𝑛 𝑙𝑜𝑔𝑛 + 17 𝑛2 adalah O(𝑛2 ) (karena
log n adalah 𝑂(𝑛) dan n log n adalah O(𝑛2 )) pada Teorema 2.2 dan 2.3 dan Akibat 2.3.1.
Menurut Teorema 2.3, dapat dilihat bahwa (n + 8 logn)(10 logn + 17𝑛2 ) adalah O(𝑛3 ).

Menggunakan notasi big-O, kita dapat melihat bahwa untuk menambah atau
mengurangi dua bilangan bulat 𝑛 − 𝑏𝑖𝑡 membutuhkan operasi 𝑂(𝑛) bit, sedangkan untuk
mengalikan dua bilangan bulat 𝑛 − 𝑏𝑖𝑡 dengan cara konvensional mengambil operasi bit
O(𝑛2 ). Anehnya, ada algoritma yang lebih cepat untuk mengalikan bilangan bulat yang
besar. Untuk mengembangkan satu algoritma seperti itu, pertama dipertimbangkan perkalian
dari dua bilangan bulat 2𝑛 − 𝑏𝑖𝑡, katakanlah, 𝑎 = (𝑎2𝑛−1 𝑎2𝑛−2 . . . 𝑎1 𝑎0 )2 dan 𝑏 =
(𝑏2𝑛−1 𝑏2𝑛−2 . . . 𝑏1 𝑏0 )2, kita tuliskan
𝑎 = 2𝑛 𝐴1 + 𝐴0 𝑏 = 2𝑛 𝐵1 + 𝐵0
dimana
𝐴1 = (𝑎2𝑛−1 𝑎2𝑛−2 . . . 𝑎𝑛+1 𝑎𝑛 )2 𝐴0 = (𝑎𝑛−1 𝑎𝑛−2 . . . 𝑎1 𝑎0 )2
𝐵1 = (𝑏2𝑛−1 𝑏2𝑛−2 . . . 𝑏𝑛+1 𝑏𝑛 )2 𝐵0 = (𝑏𝑛−1 𝑏𝑛−2 . . . 𝑏1 𝑏0 )2
Akan digunakan identitas
(2.2) 𝑎𝑏 = (22𝑛 + 2𝑛 )𝐴1 𝐵1 + 2𝑛 (𝐴1 − 𝐴0 )(𝐵0 − 𝐵1 ) + (2𝑛 + 1)𝐴0 𝐵0
Untuk menemukan hasil a dan b menggunakan (2.2) dibutuhkan perkalian tiga bilangan bulat
n-bit (yaitu 𝐴1 𝐵1 , (𝐴1 − 𝐴0 )(𝐵0 − 𝐵1 ) dan 𝐴0 𝐵0 ), seperti nomor dari penjumlahan dan
pergeseran. Hal ini digambarkan dengan contoh berikut.

Contoh 2.13.
Kita dapat menggunakan (2.2) untuk mengalikan (1101)2 dan (1011)2. Dimiliki (1101)2 = 22
(11)2 + (01)2 dan (1011)2 = 22 (10)2 + (11)2
Menggunakan (2.2) ditemukan bahwa :
(1101)2 (1011)2 = (24 + 22) (11)2 (10)2 + 22((11)2 –
(01)2).((11)2 – (10)2) + (22 + 1)
(01)2 (11)2
= (24 + 22) (110)2 + 22(10)2(01)2 + (22
+ 1) (11)2
= (1100000)2 + (11000)2 + (1000)2 +
(1100)2 + (11)2
= (10001111)2

Teorema 2.4. (Rosen, KH. 2011: 65)


Perkalian dari dua bilangan bulat 𝑛-bit dapat dilakukan dengan menggunakanoperasi
bit𝑂(𝑛𝑙𝑜𝑔2 3 ) (Catatan : 𝑙𝑜𝑔2 3 adalah sekitar 1,585 yang jauh lebih kecil dari eksponen 2
yang terjadi pada perkiraan operasi jumlah bit yang dibutuhkan untuk algoritma perkalian
konvensional).
Bukti
Dari (2.4), dimiliki
𝑀(𝑛) = 𝑀(2𝑙 𝑜𝑔2 𝑛 ) ≤ 𝑀(2[𝑙𝑜𝑔2 𝑛]+1 )
≤ 𝑐(3[𝑙𝑜𝑔2 𝑛]+1 − 2[𝑙𝑜𝑔2 𝑛]+1 )
≤ 3𝑐. 3[𝑙𝑜𝑔2 𝑛] ≤ 3𝑐. 3𝑙 𝑜𝑔2 𝑛 = 3𝑐𝑛𝑙 𝑜𝑔2 3 karena 3𝑙 𝑜𝑔2 𝑛 = 𝑛𝑙 𝑜𝑔2 3
Oleh karenanya, 𝑀(𝑛) adalah 𝑂(𝑛𝑙 𝑜𝑔2 3 ) .

Teorema 2.5 (Rosen, KH. 2011: 65 )


Diberikan angka positif ∈> 0, ada sebuah algoritma untuk perkalian dari dua bilangan bulat
n-bit menggunakan 𝑂(𝑛1+∈ ) operasi bit.

Perhatikan bahwa Teorema 2.4 adalah kasus khusus dari Teorema 2.5 dengan ∈= 𝑙𝑜𝑔2 3 −
1, yakni sekitar 0,585.

Teorema 2.6 (Rosen, KH. 2011: 66)


Ada sebuah algoritma untuk mengalikan dua bilangan bulat n-bit dengan menggunakan
𝑂(𝑛 𝑙𝑜𝑔2 𝑛 . 𝑙𝑜𝑔2. 𝑙𝑜𝑔2 𝑛) operasi bit.
Karena 𝑙𝑜𝑔2 𝑛 dan 𝑙𝑜𝑔2. 𝑙𝑜𝑔2 𝑛 jauh lebih kecil daripada 𝑛∈ untuk n dalam jumlah besar.
Teorema 2.6 merupakan perbaikan atas Teorema 2.5.
Meskipun diketahui bahwa 𝑀(𝑛) adalah𝑂(𝑛 𝑙𝑜𝑔2 𝑛 . 𝑙𝑜𝑔2 . 𝑙𝑜𝑔2 𝑛). Untuk mempermudah
akan digunakan fakta bahwa 𝑀(𝑛) adalah 𝑂(𝑛2 ) dalam diskusi berikutnya.
Algoritma konvensional yang dijelaskan dalam bagian 2.2 menunjukkan pembagian 2n-bit
bilangan bulat oleh n-bit bilangan bulat dengan 𝑂(𝑛2 ) operasi bit.
Namun, operasi jumlah bit yang dibutuhkan untuk pembagian bilangan bulat dapat dikaitkan
dengan operasi jumlah bit yang diperlukan untuk perkalian bilangan bulat. Dinyatakan
teorema berikut, yang didasarkan pada Algoritma yang dibahas dalam [Kn97].

Teorema 2.7 (Rosen, KH. 2011: 66)


Ada sebuah algoritma untuk menemukan hasil bagi q=[a/b], ketika 2n– bit bilangan bulat a
dibagi dengan bilangan bulat b (tidak lebih dari n bit), dengan menggunakan 𝑂(𝑀(𝑛))
operasi bit, di mana 𝑀(𝑛) adalah operasi jumlah bit yang diperlukan untuk perkalian dua n-
bit bilangan bulat.

Anda mungkin juga menyukai