Anda di halaman 1dari 15

Aplikasi Mikroorganisme dalam Industri Pangan

I. Nata de Coco

Pendahuluan

Limbah air kelapa (Cocos nucifera) yang terbuang dapat diolah kembali melalui pembuatan nata
de coco. Nata merupakan hasil fermentasi Acetobacter xylinum dengan substrat yang
mengandung gula. Jika substrat yang digunakan adalah air kelapa, maka umumnya dikenal
sebagai nata de coco. Pembuatan nata de coco ditujukan untuk mengolah kembali limbah air
kelapa yang terbuang agar dapat dimanfaatkan atau dikonsumsi bagi masyarakat.

Pembentukan Selulosa Mikrobial

Mekanisme mikroorganisme membentuk selulosa sangat rumit, jauh lebih rumit dari mekanisme
pembentukan selulosa oleh tumbuh-tumbuhan. Sudah ratusan penelitian dilakukan para ahli
untuk mengetahuinya, namun hingga saat ini, prosesnya belum diketahui sepenuhnya.
Mekanisme pembentukan atau biosentesis selulosa ini melibatkan berbagai jenis gen dan enzim
yang berbeda-beda karakter dan fungsinya, hal ini juga menjelaskan mengapa starter nata untuk
komersial terdiri dari beberapa jenis mikroorganisme.

"Batu bata" pembentuk nata adalah molekul glukosa, dirubah menjadi molekul (unit dasar)
selulosa di dalam sel bakteri, kemudian dipompakan ke permukaan luar sel. Di permukaan sel,
molekul-molekul selulosa ini membentuk protofibril yang sangat halus, berdiameter 2-4
nanometer, setelah itu protofibril-protofibril dijalin membentuk mikrofibril, strukut mirip pita
(Gambar 1-3).

Mikrofibril memiliki ketebalan 3-4 nm, lebar mendekati 100 nm, dan panjangnya 1-9
mikrometer, yang membuat struktur dasar nata memiliki aspek rasio area permukaan dengan
volume yang sangat tinggi.
Jalinan pita mikrofibril selulosa mikrobial yang sangat rapi ini (ultra fine) distabilkan oleh ikatan
hidrogen, yang membuat karakter selulosa mikrobial sangat unik, relatif kuat dan mampu
menahan air (hidrofil) hingga sebanyak 99% dari berat total nata.

Selanjutnya jalinan-jalinan pita mikrofibril naik ke permukaan media tumbuh, saling berkelindan
membentuk lembaran nata (gambar 4 dan 5).

Proses Produksi Nata De Coco

Berikut ini adalah proses produksi nata de coco, mulai dari penyediaan bahan-bahan baku,
formula dan hal-hal yang berhubungan.

Bahan-bahan Baku

Segala media yang mengandung gula dan tidak beracun, sebagai sumber energi bagi bakteri dan
sebagai bahan dasar pembentuk nata. Misalnya ekstrak nenas, jeruk, sisa pengolahan tahu dan
sebagainya. Bahan baku yang efisien dan melimpah adalah air kelapa tua. Sumber Nitrogen dan
Pospat, sebagai nutrien untuk membentuk sel bakteri. Misalnya pupuk ZA (ammonium sulfat)
atau urea (sebaiknya ZA, lebih efektif).

Prosedur

Sepuluh liter air kelapa disaring dan dimasukkan ke dalam panci, direbus,. Sebelum mendidih
tambahkan 100 gram gula pasir putih, 30 gram ZA, diaduk, tambahkan 10 ml biang cuka,
diaduk. Biarkan mendidih sekitar 2 menit.

Masukkan ke dalam wadah plastik 33 x 25 cm sebanyak 1,2 liter, ditutup dengan kertas koran.
Biarkan hingga dingin (sekitar 5 jam), letakkan di tempat bersih bebas debu, bebas goncangan,
teduh dan kering. Masukkan 100 ml starter, tutup kembali dan biarkan (dieramkan) selama enam
hari. Nata de coco siap dipanen.

Air kelapa tua yang berumur minimal satu hari (diukur dari saat pembelahan kelapa) dan
maksimal tiga hari. Sebaiknya tidak menggunakan air kelapa segar karena belum mengandung
ethanol hasil fermentasi ragi yang berasal dari udara atau dari permukaan benda-benda di
sekitarnya.

Ethanol dibutuhkan sekitar 1-3 % untuk mendukung pertumbuhan Acetobacter.

Air kelapa tidak terlalu lama karena kandungan gulanya telah berkurang, yang diubah oleh ragi
menjadi ethanol. Derajat keasaman media sekitar 3,5 Suhu pemeraman (inkubasi) sekitar 30
derajat celcius. Proses produksi dilakukan di tempat yang bersih, bebas debu, kering dan teduh.

Proses Pengolahan Nata De Coco

Nata de coco yang baru dipanen berbau asam cuka, dicuci, kulit ari yang menempel di bagian
bawah dibersihkan. Selanjutnya lembaran dipotong kecil-kecil, kira-kira 1×1 cm, dicuci bersih,
kemudian direbus hingga mendidih, ditiriskan/disaring hingga air tidak menetes lagi (dilakukan 2
kali perebusan untuk menghilangkan bau asam).

Setelah itu nata direndam dalam air gula atau sirup hingga beberapa jam, supaya larutan gulanya
meresap ke dalam nata de coco. Nata de coco siap dikonsumsi atau dikombinasikan dengan
makanan lain.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan nata de coco:

1. Nutrisi.
Aktivitas A. xylinum dalam menghasilkan nata dipengaruhi oleh kandungan glukosa
dalam substrat atau media yang digunakan. Penambahan gula pasir ke dalam air kelapa
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan karbon bagi A. xylinum. Ekstrak
tauge ditambahkan sebagi sumber nitrogen, namun sumber ini tidak mutlak diperlukan
karena nitrogen dapat diasimilasi dari protein yang terkandung dalam air kelapa
(Oedjijono, 1983).
2. Suhu. Pertumbuhan A. xylinum dipengaruhi pula oleh suhu inkubasi. Umumnya, suhu
optimal yang dibutuhkan dalam pembentukan nata berkisar antara 28°-32°C.

3. Tingkat Keasaman (pH). Lapisan nata dapat terbentuk lebih tebal pada pH optimal 3,5-4.
Pada pH netral, nata yang terbentuk cenderung tipis dan terbentuk setelah minimal 10
hari waktu inkubasi. Pengaturan pH pada pembuatan nata dapat dilakukan dengan
penambahan cuka makan sehingga pH media lebih asam. Keasaman yang rendah
meningkatkan pertumbuhan A. xylinum dan mencegah kontaminasi jenis bakteri lain
(Oedjijono, 1983).

Tips Memilih dan Mengkonsumsi Produk Nata De Coco

Sebaiknya pilihlah produk-produk yang telah memiliki ijin resmi dari Dinkes dan/atau Badan
Pengawas Obat dan Makanan.

Warna nata de coco tidak bisa dijadikan standar aman atau tidak, karena banyak faktor-faaktor
yang menentukan putih atau tidaknya nata, misalnya jenis starter, jenis media, dan jumlah
suplemen yang ditambahkan saat produksi nata de coco tersebut.

Khusus untuk produk yang tidak berlabel/resmi, seandainya memiliki keraguan yang kuat,
sebaiknya tidak usah dikonsumsi.

Cara yang paling efektif untuk meminimalisir jumlah pengawet dan pemanis buatan nata de coco
adalah dengan membuang airnya, dan mencampurnya dengan larutan gula dan sirup dengan rasa
sesuai selera.

Sumber :

- https://www.kompasiana.com/ajuskoto/5528e4b3f17e61011a8b459a/nata-de-coco-
mekanisme-pembentukan-proses-produksi-dan-pengolahan?page=all
- Oedjijono. 1983. Pemanfaatan limbah air kelapa untuk pembuatan nata de coco. Diakses
pada http://bio.unsoed.ac.id/sites/ default/files/Pemanfaatan%20
Limbah%20Air%20Kelapa%20u ntuk%20Pembuatan%20Nata%2 0de%20Coco-_0.pdf
II. Tempe

Pendahuluan

Tempe adalah makanan hasil fermentasi yang dibuat dari kedelai diinokulasi dengan jamur
Rhizopus oligosporus dalam fermentasi padat (DeReu dkk., 1994). Fermentasi tempe merupakan
fermentasi dua tahap yaitu fermentasi oleh aktivitas bakteri yang berlangsung selama proses
perendaman kedelai, dan fermentasi oleh kapang yang berlangsung setelah diinokulasi dengan
kapang. Komposisi dan pertumbuhan mikroflora tempe selama fermentasi sangat menarik untuk
dicermati karena ternyata tidak hanya R. oligosporus yang berperan. Mulyowidarso dkk., (1989)
yang telah mempelajari secara mendalam tentang ekologi mikrobia selama perendaman kedelai
untuk pembuatan tempe menemukan bahwa bakteri merupakan mikroflora yang secara
signifikan selalu tumbuh selama pembuatan tempe dan mempunyai peran yang penting.
Walaupun R. oligosporus berperan utama dalam pembuatan tempe, yeast kemungkinan juga
dapat tumbuh selama fermentasi tempe. Sehingga analisis mikrobiologis sangat perlu
diungkapkan lebih mendetil agar keterlibatan setiap jenis mikroorganisme dalam pembuatan
tempe dapat diketahui dengan jelas. Yeast (ragi) sudah lama diduga ikut serta dalam fermentasi
tempe.

Rhizopus oryzae pada industri tempe


Tempe adalah makanan yang populer di negara kita. Meskipun merupakan makanan yang
sederhana, tetapi tempe mempunyai atau mengandung sumber protein nabati yang cukup tinggi.
Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau beberapa bahan
lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh.
oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus, sehingga membentuk padatan kompak
berwarna putih. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai ragi tempe. Warna putih
pada tempe disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai. Tekstur
kompak juga disebabkan oleh mise1ia jamur yang menghubungkan biji-biji kedelai tersebut.
Banyak sekali jamur yang aktif selama fermentasi, tetapi umumnya para peneliti menganggap
bahwa Rhizopus sp merupakan jamur yang paling dominan. Jamur yang tumbuh pada kedelai
tersebut menghasilkan enzim-enzim yang mampu merombak senyawa organik kompleks
menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga senyawa tersebut dengan cepat dapat
dipergunakan oleh tubuh.
Tempe banyak dikonsumsi di Indonesia, tetapi sekarang telah mendunia.
Kaum vegetarian di seluruh dunia banyak yang telah menggunakan tempe sebagai
pengganti daging. Akibatnya sekarang tempe diproduksi di banyak tempat di dunia, tidak hanya
di Indonesia. Berbagai penelitian di sejumlah negara, seperti Jerman, Jepang, dan Amerika
Serikat. Indonesia juga sekarang berusaha mengembangkan galur (strain) unggul Rhizopus untuk
menghasilkan tempe yang lebih cepat, berkualitas, atau memperbaiki kandungan gizi tempe.
Beberapa pihak mengkhawatirkan kegiatan ini dapat mengancam keberadaan tempe sebagai
bahan pangan milik umum karena galur-galur ragi tempe unggul dapat didaftarkan hak
patennya sehingga penggunaannya dilindungi undang-undang (memerlukan lisensi dari
pemegang hak paten).
Jamur Rhizopus oryzae merupakan jamur yang sering digunakan dalam pembuatan tempe.
Jamur Rhizopus oryzae aman dikonsumsi karena tidak menghasilkan toksin dan mampu
menghasilkan asam laktat. Jamur Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan mengurai lemak
kompleks menjadi trigliserida dan asam amino. Selain itu jamur Rhizopus oryzae mampu
menghasilkan protease. Rhizopus sp tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6. Pada penelitian
semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehinggajamur
semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Secara umum
jamur juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air jamur lebih sedikit
dibandingkan dengan bakteri. Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai untuk pertumbuhan
jamur, jumlah nutrien dalam bahan, juga dibutuhkan oleh jamur.
Pembuatan Tempe
Pada dasarnya proses pembuatan tempe merupakan proses penanaman mikroba jenis jamur
Rhizopus sp pada media kedelai, sehingga terjadi proses fermentasi kedelai oleh ragi tersebut.
Hasil fermentasi menyebabkan tekstur kedelai menjadi lebih lunak, terurainya protein yang
terkandung dalam kedelai menjadi lebih sederhana, sehingga mempunyai daya cerna lebih baik
dibandingkan produk pangan dari kedelai yang tidak melalui proses fermentasi.
Tempe terbuat dari kedelai dengan bantuan jamur Rhizopus sp. Jamur ini akan mengubah protein
kompleks kacang kedelai yang sukar dicerna menjadi protein sederhana yang mudah dicerna
karena adanya perubahan-perubahankimia pada protein, lemak, dan karbohidrat. Selama proses
fermentasi kedelai menjadi tempe, akan dihasilkan antibiotika yang akan mencegah penyakit
perut seperti diare. Pembuatan tempe dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah:
1. Cara Sederhana
Cara sederhana adalah cara pembuatan tempe yang biasa dilakukan oleh para pengrajin tempe di
Indonesia.
 Pada tahap awal pembuatan tempe, biji kedelai direbus. Tahap perebusan ini berfungsi
sebagai proses hidrasi, yaitu agar biji kedelai menyerap air sebanyak mungkin. Perebusan
juga dimaksudkan untuk melunakkan biji kedelai supaya nantinya dapat menyerap asam
pada tahap perendaman.

 Kulit biji kedelai dikupas pada tahap pengupasan agar miselium fungi dapat menembus biji
kedelai selama proses fermentasi. Pengupasan dapat dilakukan dengan tangan, diinjak-injak
dengan kaki, atau dengan alat pengupas kulit biji.
 Setelah dikupas, biji kedelai direndam. Tujuan tahap perendaman ialah untuk hidrasi biji
kedelai dan membiarkan terjadinya fermentasi asam laktat secara alami agar
diperoleh keasaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fungi. Fermentasi asam laktat
terjadi dicirikan oleh munculnya bau asam dan buih pada air rendaman akibat pertumbuhan
bakteri Lactobacillus. Bila pertumbuhan bakteri asam laktat tidak optimum (misalnya di
negara-negara subtropis[4], asam perlu ditambahkan pada air rendaman. Fermentasi asam
laktat dan pengasaman ini ternyata juga bermanfaat meningkatkan nilai gizi dan
menghilangkan bakteri-bakteri beracun.

 Proses pencucian akhir dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang mungkin dibentuk
oleh bakteri asam laktat dan agar biji kedelai tidak terlalu asam. Bakteri dan kotorannya
dapat menghambat pertumbuhan fungi.

 Inokulasi dilakukan dengan penambahan inokulum, yaitu ragi tempe atau laru. Inokulum
dapat berupa kapang yang tumbuh dan dikeringkan pada daun waru atau
daun jati (disebut usar; digunakan secara tradisional), spora kapang tempe dalam medium
tepung (terigu, beras, atau tapioka; banyak dijual di pasaran), ataupun kultur R.
oligosporus murni (umum digunakan oleh pembuat tempe di luar Indonesia). Inokulasi dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) penebaran inokulum pada permukaan kacang kedelai
yang sudah dingin dan dikeringkan, lalu dicampur merata sebelum pembungkusan; atau (2)
inokulum dapat dicampurkan langsung pada saat perendaman, dibiarkan beberapa lama, lalu
dikeringkan.
 Setelah diinokulasi, biji-biji kedelai dibungkus atau ditempatkan dalam wadah untuk
fermentasi. Berbagai bahan pembungkus atau wadah dapat digunakan (misalnya
daun pisang, daun waru, daun jati, plastik, gelas, kayu, dan baja), asalkan memungkinkan
masuknya udara karena kapang tempe membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Bahan
pembungkus dari daun atau plastik biasanya diberi lubang-lubang dengan cara ditusuk-
tusuk.

 Biji-biji kedelai yang sudah dibungkus dibiarkan untuk mengalami proses fermentasi. Pada
proses ini kapang tumbuh pada permukaan dan menembus biji-biji kedelai, menyatukannya
menjadi tempe. Fermentasi dapat dilakukan pada suhu 20 °C–37 °C selama 18–36 jam.
Waktu fermentasi yang lebih singkat biasanya untuk tempe yang menggunakan banyak
inokulum dan suhu yang lebih tinggi, sementara proses tradisional menggunakan laru dari
daun biasanya membutuhkan waktu fermentasi sampai 36 jam.

2. Cara Baru
Pada prinsipnya cara pembuatan tempe dengan cara baru sama dengan cara yang lama atau
tradisional dan perbedaannya adalah terletak pada tahap pengupasan kulit kedelai. Dimana pada
cara lama (tradisional) kedelai direbus dan direndam bersama kulitnya atau masih utuh
sedangkan pada cara yang baru sebelumnya kedelai telah dikupas kulitnya (kupas kering) dengan
menggunakan alat pengupasan kedelai. Tahap-tahap selanjutnya sama dengan cara tradisional.
Tempe yang dibuat dengan cara baru warnanya (warna kedelai) lebih pucat bila dibandingkan
dengan cara lama.ahal ini disebabkan –karena pada cara baru kedelai direbus dan direndam
dalam keadaan sudah terkupas kulitnya sehingga ada zat-zat yang larut.
Proses biokimia di tempe
Selama proses pembuatan tempe terjadi perubahan materi, yaitu perubahan fisika dan
kimia yaitu: Perubahan fisika ditandai dengan perubahan wujud atau fase zat yang umumnya
bersifat sementara dan struktur molekulnya tetap. Sedangkan perubahan kimia adalah perubahan
materi yang menghasilkan zat yang jenisnya baru. Perubahan kimia disebut juga reaksi kimia.
Adanya perubahan suhu, yaitu selama proses inkubasi tempe . Perubahan kimia yang terjadi pada
proses pembuatan tempe adalah pada saat inkubasi. Pada saat itu terjadilah reaksi fermentasi.
Proses fermentasi yang dilakukan oleh jamur Rhizopus sp menghasilkan energi. Energi tersebut
sebagian ada yang dilepaskan oleh jamur Rhizopus sp sebagai energi panas. Energi panas itulah
yang menyebabkan perubahan suhu selama proses inkubasi tempe. Selain terjadi perubahan
suhu, selama proses inkubasi tempe juga terjadi perubahan warna, dan munculnya titik- titik air
yang dapat diamati pada permukaan dalam plastik pembungkus tempe. Pada awal pengamatan,
kedelai pada tempe seperti berselimut kapas yang putih. Tetapi dengan bertambahnya masa
inkubasi, mulai muncul warna hitam pada permukaan.
Perubahan warna ini menunjukkan adanya reaksi kimia pada proses inkubasi. Jamur
Rhizopus sp tergolong makhluk hidup. Oleh karena itu ia juga melakukan respirasi. Respirasi
merupakan reaksi kimia atau perubahan kimia. Salah satu zat yang dilepaskan dari peristiwa
respirasi adalah gas karbondioksida dan uap air. Uap air itulah yang menyebabkan permukaan
dalam plastik pembungkus tempe basah oleh titik-titik air. Sebuah reaksi kimia tidak selalu
menunjukkan seluruh ciri reaksi tersebut. Kadang, reaksi tersebut hanya menunjukkan salah satu
atau beberapa ciri saja.
Fermentasi merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan tempe. Menurut hasil
penelitian pada tahap fermentasi terjadi penguraian karbohidrat, lemak, protein dan senyawa-
senyawa lain dalam kedelai menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga mudah
dimafaatkan tubuh. Pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi aktivitas enzim
amilolitik, lipolitik dan proteolitik, yang diproduksi oleh kapang Rhizopus sp. Pada proses
pembuatan tempe, sedikitnya terdapat empat genus rhizopus yang dapat digunakan. Rhizopus
oligosporus merupakan genus utama, kemudian Rhizopus oryzae merupakan genus lainnya yang
digunakan pada pembuatan tempe Indonesia.

Produsen tempe di Indonesia tidak menggunakan inokulum berupa biakan murni kapang
Rhizopus sp., namun menggunakan inokulum dalam bentuk bubuk yang disebut laru atau
inokulum biakan kapang pada daun waru yang disebut usar. Pada penelitian ini dipelajari
aktivitas enzim-enzim a-amilase, lipase dan protease pada proses fermentasi kedelai menjadi
tempe menggunakan biakan murni rhizopus oligosporus, rhizopus oryzae dan laru. Fermentasi
adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara
umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi
yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik
dengan tanpa akseptor elektron eksternal.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tempe adalah sebagai berikut:
1. Oksigen
Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Aliran udara yang terlalu cepat
menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat sehingga dihasilkan panas yang dapat
merusak pertumbuhan kapang. Oleh karena itu apabila digunakan kantong plastik sebagai bahan
pembungkusnya maka sebaiknya pada kantong tersebut diberi lubang dengan jarak antara lubang
yang satu dengan lubang lainnya sekitar 2 cm.
2. Uap air
Uap air yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini disebabkan karena
setiap jenis kapang mempunyai Aw optimum untuk pertumbuhannya.
3. Suhu
Kapang tempe dapat digolongkan kedalam mikroba yang bersifat mesofilik, yaitu dapat
tumbuh baik pada suhu ruang (25-27oC). Oleh karena itu, maka pada waktu pemeraman, suhu
ruangan tempat pemeraman perlu diperhatikan.
4. Keaktifan Laru
Laru yang disimpan pada suatu periode tertentu akan berkurang keaktifannya. Karena itu pada
pembuatan tape sebaiknya digunakan laru yang belum terlalu lama disimpan agar dalam
pembuatan tempe tidak mengalami kegagalan.
Untuk membuat tempe dibutuhkan inokulum atau laru tempe atau ragi tempe. Laru tempe
dapat dijumpai dalam berbagai bentuk misalnya bentuk tepung atau yang menempel pada daun
waru dan dikenal dengan nama Usar. Laru dalam bentuk tepung dibuat dengan cara
menumbuhkan spora kapang pada bahan, dikeringkan dan kemudian ditumbuk. Bahan yang akan
digunakan untuk sporulasi dapat bermacam-macam seperti tepung terigu, beras, jagung, atau
umbi-umbian.
Berdasarkan atas tingkat kemurniannya, inokulum atau laru tempe dapat dibedakan atas:
inokulum murni tunggal, inokulum campuran, dan inokulum murni campuran. Adapun
perbedaannya adalah pada jenis dan banyaknya mikroba yang terdapat dan berperan dalam laru
tersebut.
Mikroba yang sering dijumpai pada laru tempe adalah kapang jenis Rhizopus oligosporus,
atau kapang dari jenis R. oryzae. Sedangkan pada laru murni campuran selain kapang Rhizopus
oligosporus, dapat dijumpai pula kultur murni Klebsiella.
Selain bakteri Klebsiella, ada beberapa jenis bakteri yang berperan pula dalam proses
fermentasi tempe diantaranya adalah: Bacillus sp., Lactobacillus sp., Pediococcus sp.,
Streptococcus sp., dan beberapa genus bakteri yang memproduksi vitamin B12. Adanya bakteri
Bacillus sp pada tempe merupakan kontaminan, sehingga hal ini tidak diinginkan. Pada tempe
yang berbeda asalnya sering dijumpai adanya kapang yang berbeda. Jenis kapang yang terdapat
pada tempe Malang adalah R. oryzae., R. oligosporus., R. arrhizus dan Mucor rouxii. Kapang
tempe dari daerah Surakarta adalah R. oryzaei dan R. stolonifer sedangkan pada tempe Jakarta
dapat dijumpai adanya kapang Mucor javanicus., Trichosporon pullulans., A. niger dan
Fusarium sp.
Masing-masing varietas dari kapang Rhizopus berbeda reaksi biokimianya, hal ini terutama
disebabkan adanya perbedaan dari enzim yang dihasilkan. Pektinase hanya disintesa oleh R.
arrhizus dan R. stolonifer. Sedangkan enzim amilase disintesa oleh R. oligosporus dan R. oryzae
tetapi tidak disintesa oleh R. arrhizus.
Selama proses fermentasi, kedelai akan mengalami perubahan baik fisik maupun kimianya.
Protein kedelai dengan adanya aktivitas proteolitik kapang akan diuraikan menjadi asan-asam
amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan. Dengan adanya peningkatan
dari nitrogen terlarut maka pH juga akan mengalami peningkatan. Nilai pH untuk tempe yang
baik berkisar antara 6,3 sampai 6,5. Kedelai yang telah difermentasi menjadi tempe akan lebih
mudah dicerna. Selama proses fermentasi karbohidrat dan protein akan dipecah oleh kapang
menjadi bagian-bagian yang lebih mudah larut, mudah dicerna dan ternyata bau langu dari
kedelai juga akan hilang.
Kadar air kedelai pada saat sebelum fermentasi mempengaruhi pertumbuhan kapang.
Selama proses fermentasi akan terjadi perubahan pada kadar air dimana setelah 24 jam
fermentasi, kadar air kedelai akan mengalami penurunan menjadi sekitar 61% dan setelah 40 jam
fermentasi akan meningkat lagi menjadi 64% (Sudarmaji dan Markakis, 1977).
Perubahan-perubahan lain yang terjadi selama fermentasi tempe adalah berkurangnya
kandungan oligosakarida penyebab flatulence. Penurunan tersebut akan terus berlangsung
sampai fermentasi 72 jam. Selama fermentasi, asam amino bebas juga akan mengalami
peningkatan dan peningkatannya akan mencapai jumlah terbesar pada waktu fermentasi 72 jam.
Kandungan serat kasar dan vitamin akan meningkat pula selama fermentasi kecuali vitamin B1
atau yang lebih dikenal dengan thiamin.

Sumber:
- https://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/12/27/pemamfaatan-bakteri-rhizopus-oryzae-
dalam-industri-tempe/
- A.S. Grandison and J. Lewis. (1996). Separation processes in the food and biotechnology
industries: Principles and applications. Lancaster, Pennsylvania:Technomic Publishing
Company Inc.
- Badan Standarisasi Nasional. (2009). SNI 3144:2009 Tempe Kedelai. Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional.
- Samson, R.A., Kooij, V. dan deBoer, E. (1987). Microbiological quality of commercial
tempeh in the Netherlands. Journal of Food Protection 50: 92-94.
- Steinkraus, K.H. (1995). Handbook of Indigenous Fermented Foods. 2nd edition, Marcel
Dekker Inc. New York. Pp 11-110.
- Strauss, M.L.A., Jolly, N.P., Lamrechts, M.G. dan Vanrensburg, P. (2001). Screening for
the production of extracellular hydrolytic enzymes by non-Saccharomyces wine yeasts.
Journal of Applied Microbiology 91: 182190.

Anda mungkin juga menyukai