Anda di halaman 1dari 25

PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI PANGAN

LAPORAN RESMI

FERMENTASI TEMPE DAN TAPE

Nama : Devina Nanda Aurillia Cantika

NPM : 19033010023

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN ” JAWA TIMUR

SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tempe dan tape merupakan salah satu makanan tradisional yang dihasilkan dari
proses fermentasi (peragian). Fermentasi merupakan proses terjadinya penguraian
senyawa – senyawa organk untuk menghasilkan energi, serta pada proses fermentasi
terjadi perubahan substrat menjadi produk baru oleh mikroba.

Tempe merupakan salah satu produk dari hasil fermentasi yang umumnya
berbahan baku kacang kedelai dan mempunyai nilai gizi yang baik. Fermentasi pada
pembuatan tempe terjadi karena aktivitas kapang Rhizopus oryzae dan Rhizopus
oligosporus yang memegang peran utama. Substrat kedelai jamur berfungsi sebagai
pengikat biji kedelai dan dapat menghasilkan berbagai enzim yang dapat meningkatkan
nilai cerna tempe saat dikonsumsi.

Tape juga merupakan salah satu jenis makanan tradisional yang sama – sama
dihasilkan dari proses fermentasi. Bahan baku yang dibuat pada pembuatan tape dapat
berupa singkong dan beras ketan. Akan tetapi, pada praktikum ini akan membuat tape
singkong, sehingga menggunakan singkong sebagai bahan utama pembuatan tape.
Pada pembuatan tape, mikroorganisme yang terlibat meliputi Endomycopis fibulinger
dan beberapa jamur dalam jumlah kecil, Saccharomyces dan Cabdida yang
menyebabkan tape menjadi alkoholik, serta Acetobacter aceti yang mengubah alkohol
menjadi asam asetat dan menyebabkan rasa masam pada tape yang dihasilkan.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui cara pembuatan tempe dan tape.

1.3 Manfaat

Praktikan dapat memahami cara pembuatan tempe dan tape.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Fermentasi merupakan suatu cara untuk mengubah substrat menjadi produk


tertentu yang dikehendaki dengan menggunakan bantuan mikroba. Bioteknologi
berbasis fermentasi sebagian besar merupakan proses produksi barang dan jasa
dengan menggunakan teknologi fermentasi atau yang menggunakan mikroorganisme
untuk memproduksi makanan dan minuman seperti keju, yoghurt, minuman beralkohol,
cuka, sirkol, acar, sosis, kecap, dan lain – lain (Nurcahyo, 2011).

Waktu fermentasi memberikan pengaruh dalam kualitas suatu produk. Produk


fermentasi adalah produk yang dapat diterima baik secara kenampakan, aroma, serta
nutrisi yang dihasilkan. Fermentasi dibantu oleh mikroorganisme yang memiliki fase
hidup logaritmik. Sehingga untuk mendapatkan produk fermentasi yang terbaik harus
mengetahui fase pertumbuhan optimal dari mikroorganisme yang dimanfaatkan
(Darajat, 2014).

Tempe adalah salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan baku
kedelai yang difermentasi dan mempunyai nilai gizi yang baik. Fermentasi pada
pembuatan tempe terjadi karena aktivitas kapang Rhizopus oligosporus. Fermentasi
pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang disebabkan oleh aktivitas
dari enzim lipoksigenase. Fermentasi kedelai menjadi tempe akan meningkatkan
kandungan fosfor. Hal ini disebabkan oleh hasil kerja enzim fitase yang dihasilkan
kapang Rhizopus oligosporus yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi inositol
dan fhosfat yang bebas. Jenis kapang yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak
memproduksi toksin, bahkan mampu melindungi tempe dari aflatoksin. Tempe
mengandung senyawa antibakteri yang diproduksi oleh kapang tempe selama proses
fermentasi (Cahyadi, 2007).

Tempe yang umum dikenal masyarakat Indonesia adalah tempe dari kacang
kedelai berwarna kuning, bentuknya padat dan berwarna putih. Tempe kedelai memiliki
struktur yang kompak, padat dan tertutup oleh miselium berwarna putih. Secara umum,
tempe berwarna putih dikarenakan adanya pertumbuhan miselia kapang yang
merekatkan biji – biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang memadat. Tempe memiliki
aroma yang khas dikarenakan adanya degradasi dari komponen – komponen dari
kedelai itu sendiri (Dewi dan Aziz, 2009).
Proses pembuatan tempe dapat terbilang membutuhkan waktu yang cukup lama.
Hingga diperoleh hasil jadi tempe, waktu yang dibutuhkan yaitu minimal 24 jam dan
maksimal 72 jam. Lamanya proses pembuatan tempe karena proses fermentasi.
Fermentasi akan berlangsung baik dan cepat bila dibantu dengan kondisi suhu yang
optimal, jumlah ragi yang tepat dan pH yang asam (± 4 – 5) (Lumowa, 2014). Waktu
fermentasi yang terlalu lama dapat menyebabkan warna tempe akan menjadi hitam
karena permukaannya dipenuhi spora kapang. Daya simpan tempe tidak lama, hanya
sekitar lima jam dan cepat membusuh dalam suhu ruang karena jamur tempe masih
hidup. Tempe siap dikonsumsi setelah proses fermentasi selama tiga hari. Tempe yang
sudah mulai berubah warna menjadi agak kehitaman menandakan bahwa tempe sudah
terlalu matang. Tempe tersebut sebaiknya langsung dimasak atau disimpan dalam
ruang pendingin dengan suhu dibawah 5°C, kecuali jika ingin dijadikan tempe busuk
(Sarwono, 2002).

Ciri tempe yang berhasil adalah ada lapisan putih disekitar kedelai dan pada saat
dipotong, tempe tidak akan hancur. Perlu diperhatikan agar tempe berhasil yaitu alat –
alat yang digunakan untuk membuat tempe sebaiknya dijaga kebesihannya, menjaga
kebersihan pada saat membuat tempe sangat perlu diperhatikan karena fermentasi
tempe hanya terjadi pada lingkungan yang higienis. Gangguan pada pembuatan tempe
diantaranya adalah tempe tetap basah, kapang tumbuh kurang baik, tempe berbau
busuk, adanya bercak hitam di permukaan tempe, dan kapang hanya tumbuh baik
disalah satu tempat (Hidayat, 2006).

Jamur tempe bersifat aerob obligat membutuhkan oksigen untuk pertumbuhan


bahannya. Sehingga apabila dalam proses fermentasi kurang oksigen maka
pertumbuhan kapang akan terhambat dan proses fermentasinya pun tidak berjalan
lancar. Oleh karena itu, pada pembungkusan tempe biasanya dilakukan penusukan lidi
yang bertujuan agar oksigen dapat masuk dalam bahan tempe. Sebaliknya jika dalam
proses fermentasinya kelebihan oksigen dapat menyebabkan proses metabolsimenya
terlalu cepat, sehingga suhu naik dan pertumbuhan jamur terhambat (Kusharyanto,
1995).

Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah


kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur,
tetapi apabila jumlahnya berlebihan dan tidak seimbang dengan pembuangannya maka
panas yang ditimbulkan menjadi lebih besar dari pada panas yang dibuang atau keluar
dari bungkusnya. Jika hal ini terjadi maka suhu kedelai yang sedang difermentasi
menjadi meningkat dan mengakibatkan kapangnya mati. Untuk pertumbuhan tempe
memerlukan suhu 25 – 30°C (suhu kamar). Oleh karena itu, suhu ruang fermentasi harus
diperhatikan dan memiliki fentilasi yang cukup. Derajat keasaman (pH) juga
mempengaruhi keberhasilan fermentasi. Kondisi pH optimum selain berfungsi sebagai
syarat jamur untuk tumbuh, juga diperlukan untuk mecegah tumbuhnya mikroba lain
selama fermentasi. Oleh karena itu, kestabilan udara (oksigen), suhu dan pH dalam
ruang fermentasi menentukan keberhasilan saat proses fermentasi tempe (Hayati,
2009).

Pembungkusan tempe dapat dilakukan dengan menggunakan plastik. Plastik


tersebut diatur dan diletakkan diatas tampah kering. Pembungkusan dengan plastik
diusahakan jangan terlalu rapat agar bagian dalam substrat cukup memperoleh udara.
Karena kapang tempe membutuhkan banyak oksigen untuk pertumbuhannya. Bahan
yang telah dibungkus kemudian difermentasi pada suhu kamar 30 – 37°C di tempat yang
agak gelap. Suhu ruangan sebaiknya dijaga jangan sampai lebih dari 40°C. Sebab suhu
yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan kapang tumbuh kurang sempurna
(Sarwono, 2002).

Tapai merupakan hasil dari proses fermentasi dari bahan – bahan yang
mengandung karbohidrat seperti beras ketan dan ubi kayu. Dalam proses fermentasi
yang melibatkan aktifitas mikroorganisme ini terjadi proses pengubahan karbohidrat
menjadi etanol, sehingga bahan makanan hasil fermentasi menjadi lebih enak rasanya
(Sutanto, 2006). Tapai mempunyai rasa sedikit manis dengan sedikit rasa alkohol dan
aroma semerbak yang khas. Tesktur lunak dan berair serta menghasilkan cairan yang
merupakan efek dari fermentasi. Tetapi terkadang pada sejenis tapai tertentu timbul rasa
asam agak menyengat. Hal ini biasanya disebabkan oleh perlakuan selama proses
pembuatan yang kurang teliti, misalnya penambahan ragi yang terlampau banyak,
penutupan yang kurang sempurna selama proses fermentasi yang terlalu lama
(Santosa, 2010).

Fermentasi tape adalah suatu oksidasi karbohidrat anaerob yang dapat


mengurai bahan – bahan yang mengandung karbohidrat. Proses fermentasi tape terdiri
dari tiga tahap penguraian yaitu :

1. Molekul - molekul pati akan dipecah menjadi dekstrin dan gula – gula sederhana
yang disebut dengan proses hidrolisis enzimatik.
2. Gula – gula yang terbentuk diubah menjadi asam-asam organik dan alkohol.
3. Asam organik akan bereaksi dengan alkohol membentuk citarasa tape. (Hidayat,
2006)

Faktor – faktor yang mempengaruhi proses fermentasi tape yaitu sebagai berikut :

a. pH

Mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH tertentu yang sesuai untuk


pertumbuhannya. Khamir pada ragi tape dapat bertahan pada pH asam yaitu antara
2 – 5.

b. Suhu

Suhu optimal pada proses fermentasi yaitu pada suhu kamar 25 - 30°C. Suhu
berpengaruh terhadap mikroba yang berperan pada proses fermentasi.

c. Oksigen

Mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi tape adalah jenis anaerob


(tidak membutuhkan oksigen). Tersedianya O2 dalam jumlah besar dapat
menghambat aktivitas khamir.

d. Substrat

Substrat mengandung nutrisi sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan mikroba.

(Desrosier, 1987)

Pada fermentasi tape, digunakan ragi yang mengandung banyak


mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut adalah jenis kapang dan khamir. Jenis
kapang antara lain Aspergillus oryzae, Rhizopus oryzae, Amylomyces rouxii, atau Mucor
spp. Sedangkan khamir antara lain Saccharomyces cerevisiae, Saccharomyces fibulger,
Endomycopsis burtonii dan yang lainnya bersama dengan bakteri (Gandjar, 2003).
Kedua kelompok tersebut bekerja sama dalam menghasilkan tape. Mikroorganisme
tersebut termasuk jenis mesofilik yaitu yang tahan terhadap suhu 30 – 50°C dan bersifat
aerobik atau tidak membutuhkan oksigen dalam proses pertumbuhanya. Sacharomyces
cereviceae tahan terhadap PH 4 – 5. Apabila jumlah ragi terlalu sedikit maka
menghambat mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi tape, sedangkan
jumlah ragi yang terlalu banyak justru akan memperlambat proses fermentasi tape
(Astawan dan Mita, 1991). Mikroorganisme dari kelompok kapang menghasikan enzim
– enzim amilolitik yang akan memecah amilum pada bahan dasar menjadi gula – gula
yang lebih sederhana (disakarida dan monosakarida). Sehingga proses tersebut sering
disebut sakarifikasi. Sedangkan khamir akan mengubah sebagian gula-gula sederhana
tersebut menjadi alkohol yang menyebabkan aroma alkohol pada tape. Semakin lama
proses fermentasi, maka semakin kuat hasil alkoholnya (Soepandi dan Wardah, 2014).

Pada proses pembuatan tapai, khamir dan kapang merupakan mikroba yang
mengubah karbohidrat yang terkandung dalam bahan menjadi gula. Peranan ragi dalam
pembuatan tapai adalah mengubah gula menjadi alkohol. Rasa manis pada tapai
dipengaruhi oleh kadar gula yang ada dalam tapai tersebut. Dalam proses pembuatan
tape, terkadang sering dijumpai adanya tapai yang berasa masam. Hal ini disebabkan
oleh adanya kontaminasi sejenis bakteri karena proses pembuatan tapai yang kurang
teliti, misalnya penambahan ragi yang berlebihan dan penutupan bahan pada saat
fermentasi berlangsung, serta waktu fermentasi yang terlalu lama (Rukamana, 2001).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

• Alat
1. Panci
2. Pisau
3. Wadah Baskom
• Bahan
1. Kedelai 0,5 ons
2. Starter Tempe ( R.oryzae )
3. Plastik
4. Ubi Kayu ¼ kg
5. Starter Tape
6. Daun Pisang

3.2 Langkah Kerja

3.2.1 Pembuatan Tempe


1. Pencucian kedelai hingga bersih.
2. Perebusan selama 30 menit.
3. Penyimpanan kedelai dan air rebusannya semalaman.
4. Pengupasan kulit dan pencucian kembali hingga bersih.
5. Perebusan selama 40 menit dan penirisan.
6. Penginokulasian dengan laru dan pengadukan dengan rata.
7. Pembungkusan dengan daun pisang atau plastik yang telah dilubangi.
8. Penginokulasian selama 1 – 2 hari pada suhu kamar.
9. Pengamatan kapang yang terbentuk secara makroskopis dan mikroskopis.
3.2.2 Pembuatan Tape
1. Pengupasan ubi kayu/ubi jalar.
2. Pencucian dan pemotongan.
3. Pengukusan selama 30 menit.
4. Penirisan dan pendinginan.
5. Penginokulasian dengan ragi tape sebanyak 0,5 – 1% dari berat ubi kayu/ubi
jalar yang digunakan.
6. Penutupan secara rapat dengan menggunakan daun pisang atau plastik.
7. Penginkubasian selama 2 – 3 hari pada suhu kamar.
8. Pengamatan hasil pembuatan tape.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

➢ Fermentasi Tempe

Grup Tekstur Warna Aroma Kekelompokan Misellium


A Padat Putih Khas Kompak sekali
tempe
B Padat Putih Khas Kompak sekali
tempe
C Padat Putih Khas Kompak sekali
tempe
D Padat Putih Khas Kompak sekali
tempe
E Padat Putih Khas Kompak dan misellium
tempe tampak lebat

➢ Fermentasi Tape

Grup pH pH Tesktur Warna Aroma Rasa


Awal Akhir
A 6 5 Lunak Putih Khas tape Manis
kecoklatan
B 6 5 Lunak agak Putih Khas tape Dominan
berair kekuningan manis
sedikit
asam
C 6 5 Lunak Kuning Khas tape Sedikit
muda manis
D 6 5 Lunak agak Putih agak Khas tape Manis
berair kuning sedikit
pucat asam
E 6 5 Lembut dan Putih Khas tape Dominan
lunak kekuningan manis
sedikit
asam
BAB V
PEMBAHASAN

Fermentasi merupakan suatu proses terjadinya penguraian senyawa – senyawa


organik untuk menghasilkan energi serta terjadinya pengubahan substrat menjadi suatu
produk dengan bantuan mikroba. Hal tersebut sesuai dengan (Nurcahyo, 2011) yang
menyatakan bahwa fermentasi merupakan suatu cara untuk mengubah substrat menjadi
produk tertentu yang dikehendaki dengan menggunakan bantuan mikroba. Beberapa
contoh produk pangan yang dihasilkan dari proses fermentasi yaitu tempe, tape, yoghurt,
dan lain – lain. Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan tempe dan tape dengan
proses fermentasi.

Tempe merupakan salah satu makanan yang berbahan baku kedelai yang
dihasilkan dari proses fermentasi dengan adanya aktivitas kapang Rhizopus
oligosporus. Tempe mengandung senyawa antibakteri yang dihasilkan oleh Rhizopus
oligosporus dan kapang tersebut tidak mengandung toksin melainkan dapat mencegah
cemaran aflatoksin. Hal ini sesuai dengan (Cahyadi, 2007) yang menyatakan tempe
adalah salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan baku kedelai yang
difermentasi dan mempunyai nilai gizi yang baik. Fermentasi pada pembuatan tempe
terjadi karena aktivitas kapang Rhizopus oligosporus. Jenis kapang yang terlibat dalam
fermentasi tempe tidak memproduksi toksin, bahkan mampu melindungi tempe dari
aflatoksin. Tempe mengandung senyawa antibakteri yang diproduksi oleh kapang tempe
selama proses fermentasi.

Praktikum pertama dilakukan pembuatan tempe dengan proses fermentasi.


Menurut (Cahyadi, 2007), fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari
kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Pembuatan tempe
pada praktikum kali ini dilakukan dengan cara merendam kedelai terlebih dahulu selama
semalaman, kemudian dilakukan perebusan dan penirisan. Proses perendaman dan
perebusan bertujuan untuk memudahkan proses pengupasan atau pemisahan kedelai
dengan kulitnya dan untuk melunakkan tekstur kedelai agar pada saat proses fermentasi
berlangsung dengan adanya aktivitas mikroorganisme dapat berjalan dengan sempurna.
Setelah dilakukan penirisan, dilakukan pengeringan kemudian dilakukan peragian
dengan menggunakan ragi tempe. Langkah selanjutnya pembungkusan yang dapat
menggunakan daun pisang ataupun plastik. Akan tetapi, pada praktikum kali ini
menggunakan plastik. Adapun hal yang harus diperhatikan dalam proses
pembungkusan yaitu diusahakan tidak terlalu rapat. Hal ini dikarenakan agar substrat
memperoleh oksigen yang cukup dan mengingat kapang Rhizopus oligosporus
membutuhkan banyak oksigen untuk pertumbuhannya. Hal tersebut sesuai dengan
literatur (Sarwono, 2002) yang menyatakan bahwa pembungkusan tempe dapat
dilakukan dengan menggunakan plastik. Pembungkusan dengan plastik diusahakan
jangan terlalu rapat agar bagian dalam substrat cukup memperoleh udara. Karena
kapang tempe membutuhkan banyak oksigen untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu,
pada proses pembungkusan dilakukan pelubangan dengan penusukan menggunakan
lidi ataupun jarum yang bertujuan sebagai tempat masuknya oksigen. Hal ini sesuai
dengan (Kusharyanto, 1995) yang menyatakan bahwa jamur tempe bersifat aerob
obligat membutuhkan oksigen untuk pertumbuhan bahannya. Oleh karena itu, pada
pembungkusan tempe biasanya dilakukan penusukan lidi yang bertujuan agar oksigen
dapat masuk dalam bahan tempe.Setelah itu, dilakukan penginkubasian selama 1 – 2
hari pada suhu kamar.

Syarat tempat yang digunakan untuk penginkubasian harus memperhatihan


kebutuhan oksigen dan suhu. Kebutuhan oksigen dan suhu menentukan keberhasilan
proses fermentasi. Hal ini dikarenakan jika pada tempat penginkubasian kurang oksigen
atau kelebihan oksigen, akan dapat menghambat pertumbuhan kapang sehingga proses
fermentasi tidak berjalan dengan sempurna. Hal tersebut sesuai dengan (Hayati, 2009)
yang menyatakan bahwa persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai
adalah kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan
jamur, tetapi apabila jumlahnya berlebihan dan tidak seimbang dengan pembuangannya
maka panas yang ditimbulkan menjadi lebih besar dari pada panas yang dibuang atau
keluar dari bungkusnya. Jika hal ini terjadi maka suhu kedelai yang sedang difermentasi
menjadi meningkat dan mengakibatkan kapangnya mati dan hal tersebut juga sesuai
dengan literatur (Kusharyanto, 1995) yang menyatakan jika dalam proses fermentasi
kurang oksigen maka pertumbuhan kapang akan terhambat dan proses fermentasinya
pun tidak berjalan lancar. Sebaliknya jika dalam proses fermentasinya kelebihan oksigen
dapat menyebabkan proses metabolsimenya terlalu cepat, sehingga suhu naik dan
pertumbuhan jamur terhambat. Suhu yang diperlukan pada pembuatan tempe juga
harus dijaga, diusahakan suhu ruangan yang digunakan untuk penginkubasian tidak
melebihi 40°C karena suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan kapang
kurang sempurna. Menurut (Hayati, 2009) untuk pertumbuhan tempe memerlukan suhu
25 – 30°C (suhu kamar), sedangkan menurut (Sarwono, 2002) bahan yang telah
dibungkus kemudian difermentasi pada suhu kamar 30 – 37°C di tempat yang agak
gelap. Sehingga dapat disimpulkan jika suhu fermentasi tidak boleh melebihi 40°C. Oleh
karena itu, suhu ruang fermentasi harus diperhatikan dan memiliki fentilasi yang cukup.

Waktu penginkubasian yang digunakan pada praktikum kali ini sesuai dengan
literatur (Sarwono, 2002) yang menyatakan bahwa proses pembuatan tempe dapat
terbilang membutuhkan waktu yang cukup lama. Hingga diperoleh hasil jadi tempe,
waktu yang dibutuhkan yaitu minimal 24 jam dan maksimal 72 jam. Menurut (Darajat,
2014) waktu fermentasi memberikan pengaruh dalam kualitas suatu produk yang
meliputi kenampakan, aroma, serta nutrisi yang dihasilkan.

Ragi Tempe perbesaran 400x (Haryani, 2016)

Dari hasil percobaan pembuatan dan pengamatan yang dilakukan pada


kelompok A, B, C, D, dan E diperoleh tekstur yang padat, berwarna putih, beraroma khas
tempe, dan kekelompakan miselliumnya sangat kompak serta miselliumnya tampak
lebat. Warna putih dan tekstur padat yang dihasilkan dikarenakan adanya pertumbuhan
misellium kapang yang dapat merekatkan biji – biji kedelai, sehingga membentuk tekstur
yang memadat. Aroma yang dihasilkan oleh tempe dikarenakan adanya degradasi oleh
komponen – komponen kedelai. Hal tersebut sesuai dengan (Dewi dan Aziz, 2009) yang
menyatakan bahwa tempe yang umum dikenal masyarakat Indonesia adalah tempe dari
kacang kedelai berwarna kuning, bentuknya padat dan berwarna putih. Tempe kedelai
memiliki struktur yang kompak, padat dan tertutup oleh miselium berwarna putih. Secara
umum, tempe berwarna putih dikarenakan adanya pertumbuhan miselia kapang yang
merekatkan biji – biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang memadat. Tempe memiliki
aroma yang khas dikarenakan adanya degradasi dari komponen – komponen dari
kedelai itu sendiri. Dari hasil yang didapatkan dapat disimpulkan jika tempe yang dibuat
oleh kelompok A sampai E dapat dikatakan berhasil. Karena sesuai dengan literatur
(Hidayat, 2006) yang menyatakan ciri tempe yang berhasil adalah ada lapisan putih
disekitar kedelai dan pada saat dipotong, tempe tidak akan hancur.

Praktikum yang kedua dilakukan pembuatan tape. Tape atau tapai merupakan
suatu makanan yang berbahan baku mengandung karbohidrat yang dihasilkan dari
proses fermentasi dengan adanya bantuan aktivitas mikroorganisme. Definisi tersebut
sesuai dengan literatur (Sutanto, 2006) yang menyatakan bahwa Tapai merupakan hasil
dari proses fermentasi dari bahan – bahan yang mengandung karbohidrat seperti beras
ketan dan ubi kayu. Dalam proses fermentasi yang melibatkan aktifitas mikroorganisme.
Langkah pertama yang dilakukan dalam pembuatan tape adalah pengupasan singkong,
kemudian dicuci hingga bersih dan dilakukan penimbangan sebanyak 250 gram. Setelah
dilakukan penimbangan, singkon dikukus selama 30 menit dan kemudian dilakukan
pendinginan serta jika sudah dingin dilakukan pengkuruan pH awal. Selanjutnya,
dilakukan peragian dan penutupan secara rapat dengan menggunakan daun pisang.
Menurut (Gandjar, 2003), ragi yang digunakan harus mengandung banyak
mikroorganisme. Mikroorganisme yang berperan pada proses pembuatan tape terdiri
jenis khamir dan kapang yang berperan untuk mengubah karbohidrat menjadi gula pada
singkong, yang kemudian gula tersebut akan diubah menjadi alkohol. Mikroorganisme
jenis kapang meliputi Aspergillus oryzae, Rhizopus oryzae, Amylomyces rouxii, atau
Mucor spp. Sedangkan mikroorganisme jenis khamir meliputi Saccharomyces
cerevisiae, Saccharomyces fibulger, Endomycopsis burtonii dan yang lainnya bersama
dengan bakteri. Hal tersebut juga sesuai dengan (Rukamana, 2001) yang menyatakan
bahwa pada proses pembuatan tapai, khamir dan kapang merupakan mikroba yang
mengubah karbohidrat yang terkandung dalam bahan menjadi gula. Peranan ragi dalam
pembuatan tapai adalah mengubah gula menjadi alkohol. Setelah itu, dilakukan
penginkubasian selama 2 – 3 hari pada suhu ruang. Suhu merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh pada proses fermentasi tape. Hal ini sesuai dengan (Desrosier, 1987)
yang menyatakan bahwa suhu optimal fermentasi tape yaitu pada suhu kamar.

Dari hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh tiap – tiap kelompok
diperoleh hasil yang hampir semuanya sama. Kelompok A, B, C, D, dan E hasil
pengukuran pH awal 6 dan pH akhir 5. Hal ini sesuai dengan (Desrosier, 1987) yang
menyatakan bahwa khamir pada ragi tape dapat hidup pada pH asam yaitu antara 2 –
5 dan sesuai dengan (Astawan dan Mita, 1991) yang menyatakan jika Saccharomyces
cerevisiae tahan terhadap pH 4 – 5. Tekstur yang dihasilkan lunak tetapi yang
membedakan pada kelompok B dan D dihasilkan dengan agak berair. Menurut (Santosa,
2010), berair tersebut dikarenakan efek dari fermentasi. Aroma dan rasa yang dihasilkan
dari semua kelompok sama yaitu khas tape dan rasa yang dihasilkan manis sedikit
asam. Hal ini sesuai dengan (Santosa, 2010) yang menyatakan tapai mempunyai rasa
sedikit manis dengan sedikit rasa alkohol dan aroma semerbak yang khas. Rasa manis
dihasilkan dari adanya proses hidrolisis enzimatik oleh kapang yang memecah pati
menjadi dekstrin dan gula sederhana yang terdiri dari monosakarida dan disakarida. Hal
tersebut sesuai dengan (Sopandi dan Wardah, 2014) yang menyatakan bahwa
mikroorganisme dari kelompok kapang akan menghasikan enzim – enzim amilolitik yang
akan memecah amilum pada bahan dasar menjadi gula – gula yang lebih sederhana
(disakarida dan monosakarida) dan sesuai dengan (Hidayat, 2006) yang menyatakan
molekul - molekul pati akan dipecah menjadi 10 dekstrin dan gula – gula sederhana yang
disebut dengan proses hidrolisis enzimatik.

Kapang Ragi Tape perbesaran 400x (Putri, 2007)

Sedangkan rasa asam yang dihasilkan tersebut menurut (Santosa, 2010) dan
(Rukamana, 2001) dikarenakan pada saat proses pembuatan tape kurang steril atau
teliti sehingga terjadi kontaminasi oleh bakteri lainnya. Selain itu, rasa asam yang
dihasilkan juga dapat dikarenakan pemberian ragi yang terlalu banyak dan penutupan
yang kurang rapat serta waktu fermentasi yang terlalu lama. Adanya sedikit rasa alkohol
pada tape yang dihasilkan disebabkan mikroorganisme kelompok khamir yang dapat
mengubah gula – gula sederhana menjadi asam – asam organik dan alkohol, asam
organik akan bereaksi dengan alkohol yang menghasilkan citarasa khas tape. Selain itu,
juga dapat dikarenakan proses fermentasi yang lama. Hal ini sesuai dengan (Sopandi
dan Wardah, 2014) yang menyatakan khamir akan mengubah sebagian gula – gula
sederhana tersebut menjadi alkohol yang menyebabkan aroma alkohol pada tape.
Semakin lama proses fermentasi, maka semakin kuat hasil alkoholnya dan sesuai
dengan (Hidayat, 2006) yang menyatakan gula – gula yang terbentuk oleh kapang akan
diubah menjadi asam-asam organik dan alkohol. Asam organik akan bereaksi dengan
alkohol membentuk citarasa tape. Warna yang dihasilkan oleh seluruh kelompok rata –
rata berwarna putih kekuningan, kecuali pada kelompok A menghasilkan warna kuning
kecoklatan. Akan tetapi, hal tersebut tidak berpengaruh terhadap rasa, pH, dan tekstur
yang dihasilkan oleh tape. Sehingga dari hasil percobaan pembuatan tape yang telah
dilakukan oleh seluruh kelompok dapat dikatakan berhasil.

Khamir Ragi Tape perbesaran 1000x (Putri, 2007)


BAB VI
PENUTUP

6. 1 Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Tempe merupakan salah satu makanan yang berbahan baku kedelai yang
dihasilkan dari proses fermentasi dengan adanya aktivitas kapang Rhizopus
oligosporus. Sedangkan tape merupakan suatu makanan yang berbahan baku
mengandung karbohidrat yang dihasilkan dari proses fermentasi dengan adanya
bantuan aktivitas mikroorganisme kelompok kapang dan khamir.
2. Hal yang harus diperhatikan pada proses pembungkusan pembuatan tempe
yaitu kebutuhan oksigen dan suhu yang menentukan keberhasilan proses
fermentasi. Oleh karena itu, dilakukan pelubangan agar oksigen dapat masuk,
mengingat kapang Rhizopus oligosporus membutuhkan banyak oksigen untuk
pertumbuhannya. Serta suhu optimum untuk fermentasi tempe yaitu pada suhu
kamar.
3. Warna putih dan tekstur padat pada tempe yang dihasilkan dikarenakan adanya
pertumbuhan misellium kapang yang dapat merekatkan biji – biji kedelai,
sehingga membentuk tekstur yang memadat. Aroma yang dihasilkan oleh tempe
dikarenakan adanya degradasi oleh komponen – komponen kedelai.
4. Suhu optimal fermentasi tape yaitu pada suhu kamar dan khamir dapat tahan
pada pH 5. Tekstur lunak dan agak berair merupakan efek dari proses
fermentasi.
5. Rasa manis dihasilkan dari adanya proses hidrolisis enzimatik oleh kapang yang
memecah pati menjadi dekstrin dan gula sederhana yang terdiri dari
monosakarida dan disakarida. Sedangkan rasa asam dihasilkan karena proses
pembuatan tape yang kurang steril sehingga terjadi kontaminasi oleh bakteri
lainnya, pemberian ragi yang terlalu banyak, penutupan yang kurang rapat, dan
waktu fermentasi yang terlalu lama.
6. Adanya sedikit rasa alkohol pada tape disebabkan oleh mikroorganisme
kelompok khamir yang dapat mengubah gula – gula sederhana menjadi asam –
asam organik dan alkohol, asam organik tersebut bereaksi dengan alkohol yang
menghasilkan citarasa khas tape. Selain itu, juga dapat dikarenakan proses
fermentasi yang lama.
6.2 Saran

Saran yang dapat saya berikan pada praktikum kali ini, kebersihan alat dan
sekitar harus tetap terjaga guna menghindari terjadinya kontaminasi pada saat proses
pembuatan tape. Praktikan harus dapat lebih memperhatikan faktor – faktor yang
mempengaruhi proses fermentasi seperti pH, kebutuhan oksigen, suhu, waktu
fermentasi, dan lain sebagainya, sehingga dengan hal tersebut kegagalan dalam proses
fermentasi dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna.
Bogor: Akademika Presssiado.

Cahyadi, W. 2007. Teknologi dan Khasiat Kedelai. Jakarta: Bumi Aksara.

Darajat, D. P., Susanto, W. H., & Purwantiningrum, I. 2014. Pengaruh Umur Fermentasi
Tempe Dan Proposi Dekstrin Terhadap Kualitas Susu Tempe Bubuk. Jurnal
Pangan dan Angroindustri 2 (1): 47 – 53.

Desrosier, N. W. 1987. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: UII Press.

Dewi, Ratna Stia dan Saefuddin Aziz. 2011. Isolasi Rhizopus Oligosporus Pada Beberapa
Inokulum Tempe di Kabupaten Banyumas. Jurnal Molekul 6 (2): 93 – 104.

Gandjar I. 2003. Tapai from Cassava and Sereals. Di dalam: First International
Symposium and Workshop on Insight into the World of Indigenous Fermented
Foods for Technology Development and Food Safety: Bangkok, hal 1–10.

Hayati, S. 2009. Pengaruh Waktu Fermentasi terhadap Tempe Biji Nangka. Medan: USU
Press.

Haryani, Dessy. 2016. Pertumbuhan Kapang Tempe pada Fermentasi Bergaram (Growth
of Tempe Moulds in Salt Tempe Fermentation). (Skripsi). Salatiga: Universitas
Kristen Satya Wacana.

Hidayat, N. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: Andi Offset.

Kusharyanto dan A. Budianto. 1995. Upaya Produk Tempe Dalam Industri Pangan.
Yogyakarta: Simposium Nasional Pengembangan Tempe Dalam Industri Pangan
Modern. Puslitbang Gizi.

Nurcahyo, H. 2011. Diktat Bioteknologi. Jurusan Pendidikan Biologi. Yogyakarta: FMIPA


UNY.

Putri, Yenny N. 2007. Mempelajari Pengaruh Penyimpanan Tape Ketan (Oryza Sativa
glutinosa) terhadap Daya Terima Konsumen. (Skripsi). Bogor: Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Rukamana, R., Yuniarsih. 2001. Aneka Olahan Ubi Kayu. Yogyakarta: Kanisius.
Santosa, A. 2010. Karakteristik Tape Buah Sukun Hasil Fermentasi Penggunaan
Konsentrasi Ragi Yang Berbeda. Klaten: Jurusan Teknologi Pertanian Universitas
Widya Dharma.

Sarwono, B. 2002. Membuat Tempe dan Oncom. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sopandi, T., dan Wardah. 2014. Mikrobiologi Pangan (Teori dan Praktik). Yogyakarta:
Penerbit Andi.

Sutanto, T. D. 2006. Studi Kandungan Etanol Dalam Tape Hasil Fermentasi Beras Ketan
Hitam dan Putih. Universitas Bengkulu: Jurusan Kimia FMIPA.
LAMPIRAN

• Pembuatan tape

Penimbangan Pengukusan Pendinginan

Pengukuran pH awal pH awal Peragian

Penutupan secara rapat dan penginkubasian Hasil produk tape


Pengukuran pH akhir tape pH akhir

• Pembuatan tempe

Perendaman Pengupasan Perebusan

Penirisan Pendinginan dan pelaruan Pembungkusan


Pelubangan pembungkus Penginkubasian

Hasil produk tempe


Grup Tempe Tape
A

Anda mungkin juga menyukai