Anda di halaman 1dari 7

Aliran-Aliran Besar Etika :

     1. Etika Deontologi (Immanuel Kant)


a. Pengertian Etika Deontologi
Menurut Immanuel Kant (1734-1804)
   - Seseorang harus bertindak berdasarkan kewajibannya (deon) bila ingin berbuat
sesuatu yang benar secara moral.
   - Suatu tindakan dianggap benar atau salah bukan berdasarkan dampaknya,
tetapi berdasarkan niatan dalam melakukan tindakan tersebut.
(sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Etika_deontologis )
b. Analisis:
   - Etika Deontologi adalah model etika dimana tindakan yang dilakukan seseorang
tersebut dianggap baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan tersebut sesuai
atau tidak dengan kewajiban tanpa mempersoalkan akibatnya.
 - Perbuatan baik atau buruk (benar atau salah) didasarkan pada proses bukan hasil
atau dampak.
 - Perbuatan dikatakan baik (benar) menurut teori deontologi jika perbuatan
tersebut memang baik untuk dirinya sehingga perbuatan tersebut memang
merupakan kewajiban yang harus dilakukan.
 - Perbuatan dikatakan buruk (salah) menurut teori deontologi jika perbuatan
tersebut dilakukan dalam prosesnya yang tidak sesuai kewajiban.
 - Dikatakan baik (benar) karena melaksanakan kewajiban, dikatakan buruk (salah)
karena melaksanakan yang bukan kewajiban atau tidak melaksanakan padahal
kewajiban (tugas).
c. Contoh Kasus Etika Deontologi
Kasus 1 : Seorang mahasiswa mempunyai tugas.
Dikatakan baik : Jika mahasiswa tersebut mengerjakan tugas.
Dikatakan buruk : Jika mahasiswa tersebut tidak mengerjakan tugas.
Kasus 2 : Penggunaan media massa.
Dikatakan baik : Jika dalam menggunakan media massa melakukan silaturahim dan
memperbanyak teman.
Dikatakan buruk : Jika dalam menggunakan media massa melakukan kejahatan.
Seperti penculikan.
Keterangan : Bukan berdasarkan tujuannya melainkan niat dan prosesnya.

      2. Etika Teleologi (Christian Wolff)


a. Pengertian Etika Teleologi
   - Menurut Bahasa
Teleologi berasal dari akar kata Yunani, telos (akhir, tujuan, maksud) dan  logos
(perkataan). (Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Teleologi )
   - Menurut Christian Wolff
Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan
keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan
bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan.
b. Analisis
  - Etika Teleologi adalah model etika dimana perbuatan dikatakan baik berdasarkan
tujuan atau akibat dari perbuatan tersebut.
  - Etika Teleologi bersifat situasional yaitu memilih perbuatan tersebut akan
mebawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban atau norma yang ada.
c. Contoh Kasus Etika Teleologi
Seseorang yang kurang mampu dalam hal ekonomi dan membutuhkan uang untuk
memenuhi kebutuhannya seperti makan kemudian dia mencuri.
Analisis dengan teori teleologi : Perbuatan tersebut benar karena tujuannya, yaitu
tujuan untuk kelangsungan hidupnya.

ATAU DOWNLOAD INI, FORMAT MS WORD


LINK DIBAWAH

     3. Etika Keutamaan (Virtue)


a. Pengertian Etika Keutamaan
  - Disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk
bertingkah laku baik secara moral.
  - Memandang sikap atau akhlaq seseorang.
b. Contoh Kasus Etika Keutamaan
  - Kejujuran
Keutamaan yang membuat seseorang berkata sesuai kenyataan.
  - Kesopanan
Keutamaan yang membuat seseorang berperilaku ramah dan menghormati orang
lain.

Contoh Kasus Dianalisis Menggunakan


Etika Deontologi, Etika Teleologi Dan Etika
Keutamaan
Asep merupakan anak yang berasal dari keluarga sangat mampu. Sementara
temannya, Bagus, berasal dari keluarga kurang mampu. Bagus mempunyai cita-cita
tinggi yaitu ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Namun, cita-citanya mesti
terhalang oleh factor keuangan keluarganya. Asep tau hal ini dan ingin memberikan
bantuan pada Bagus. Tetapi Asep sadar keinginan tersebut terhalang oleh orang
tuanya yang tidak bersedia meminjamkan karena keluarganya walaupun sangat
mampu tapi sangat pelit. Alhasil, Asep berbohong pada orang tuanya dengan alasan
yang Asep buat agar orang tuanya mau memberinya uang. Akhirnya Asep diberikan
uang dengan cara berbohong. Lalu ia memberi uang tersebut kepada Bagus. Bagus
sangat berterimakasih dan dapat melanjutkan pendidikannya yaitu untuk kuliah.

Analisis :
- Berdasarkan Etika Deontologi, perbuatan Asep adalah buruk (salah) ketika dia
berbohong karena berbohong termasuk melanggar norma. Hal tersebut dilihat dari
prosesnya ketika berbohong.
- Berdasarkan Etika Teleologi, perbuatan Asep yaitu berbohong adalah baik (benar)
karena tujuan dia berbohong adalah untuk kebaikan (membantu). Hal tersebut
dilihat dari tujuannya.
- Berdasarkan Etika Keutamaan, perbuatan Asep yaitu adalah baik (benar) karena
perbuatan tersebut sesuai dengan keutamaan suka membantu.

http://ilmukomunikasi16.blogspot.com/2017/02/aliran-aliran-besar-etika.html

Pancasila sebagai dasar etika kehidupan


berbangsa dan bernegara
1.      Pancasila sebagai dasar etika kehidupan berbangsa dan bernegara.
                                              

Sebagai mana dipahami bahwa sila-sila Pancasila adalah merupakan suatu sistem nilai,
artinya setiap sila memang mempunyai  nilai akan tetapi sila saling berhubungan, saling
ketergantungan secara sistematik dan diantara nilai satu sila dengan sila lainnya memiliki
tingkatan.  Oleh karena itu dalam kaitannya dengan nilai-nilai etika yang terkandung dalam pancasila
merupakan sekumpulan nilai yang diangkat dari prinsip nilai yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Nilai-nilai tersebut berupa nilai religious, nilai adat istiadat, kebudayaan dan setelah
disahkan menjadi dasar Negara terkandung di dalamnya nilai kenegaraan.

Dalam kedudukannya sebagai dasar filsafat Negara, maka nilai-nilai pancasila harus di
jabarkan dalam suatu norma yang merupakan pedoman pelaksanaan dalam penyelenggaraan
kenegaraan, bahkan kebangsaan dan kemasyarakatan. Terdapat dua macam norma dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu norma hukum dan norma moral atau etika. Sebagaimana
diketahui sebagai suatu norma hukum positif, maka pancasila dijabarkan dalam suatu peraturan
perundang-undangan yang ekplisit, hal itu secara kongkrit dijabarkan dalam tertib hukum Indonesia.
Namun, dalam pelaksanaannya memerlukan suatu norma moral yang merupakan dasar pijak
pelaksanaan tertib hukum di Indonesia. Bagaimanapun baiknya suatu peraturan perundang-
undangan kalau tidak dilandasi oleh moral yang luhur dalam pelaksanaannya dan penyelenggaraan
Negara, maka niscahaya hukum tidak akan mencapai suatu keadilan bagi kehidupan kemanusiaan.

Selain itu secara kausalitas bahwa nilai-nilai pancasila adalah berifat objektif dan subjektif.
Artinya esensi nilai-nilai pancasila adalah universal yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Sehingga memungkinkan dapat diterapkan pada Negara lain barangkali
namanya bukan pancasila. Artinya jika suatu Negara menggunakan prinsip filosofi bahwa Negara
berketuhana, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan, maka Negara
tersebut pada hakikatnya menggunakan dasar filsafat dari nilai sila-sila pancasila.

Nilai-nilai pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.      Rumusan dari sila-sila pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat maknanya yang terdalam
menunjukkan adanya sifat-sifat umum universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai.

2.      Inti nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa Indonesia dan
mungkin juga pada bangsa lain baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan, maupun dalam
kehidupan keagamaan.

3.      Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum memenuhi syarat
sebagai pokok kaidah yang fundamental Negara sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di
Indonesia. Oleh karena itu dalam hierarki suatu tertib hukum hukum Indonesia berkedudukan
sebagai tertib hukum yang tertinggi. Maka secara objektif tidak dapat diubah secara hukum sehingga
terlekat pada kelangsungan hidup Negara. Sebagai konsekuensinya jika nilai-nilai pancasila yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu diubah maka sama halnya dengan pembubaran Negara
proklamasi 1945, hal ini sebagaimana terkandung di dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966,
diperkuat Tap. No. V/MPR/1973. Jo. Tap. No. IX/MPR/1978.
Sebaliknya nilai-nilai subjektif Pancasila dapat diartikan bahwa keberadaan nilai-nilai
pancasila itu bergantung atau terlekat pada bangsa Indonesia sendiri. Pengertian itu dapat dijelaskan
sebagai berikut:

1.      Nilai-nilai pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia sebagai bangsa kausa
materialis. Nilai-nilai tersebut sebagai hasil pemikiran, penilaian kritis, serta hasil refleksi fiosofis
bangsa Indonesia.

2.      Nilai-nilai pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga merupakan
jati diri bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas nilai kebenaran, kebaikan, keadilan dan
kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

3.      Nilai-nilai pancasila di dalamnya terkandung ke tujuh nilai-nilai kerohanian yaitu nilai kebenaran,
keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, etis, estetis dan nilai religius  yang manifestasinya sesuai dengan
budi nurani bangsa Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa.

Nilai-nilai pancasila itu bagi bangsa Indonesia menjadi landasan, dasar serta motivasi atas
segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam kehidupan kenegaraan. Dengan
kata lain bahwa nilai-nilai pancasila merupakan das sollen atau cita-cita tentang kebaikan yang harus
diwujudkan menjadi suatu kenyataan atau das sein.

Di era sekarang sekarang ini, tampaknya kebutuhan akan norma etika untuk kehidupan
berbangsa dan bernegara masih perlu bahkan amat penting untuk ditetapkan. Hal ini terwujud
dengan keluarnya ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa, bernegara,
dan bermasyarakat yang merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam
berpikir, bersikap dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai keagamaan dan
kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat.

Etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat bertujuan untuk:

1.      Memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa dalam menjalankan kehidupan
kebangsaan dalam berbagai aspek

2.      Menentukan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

3.      Menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai-nilai etika dan moral dalam
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Etika kehidupan berbangsa meliputi sebagai berikut:

a.       Etika sosial dan Budaya

Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap
jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan tolong-menolong di
antara sesame manusia dan anak bangsa. Senada dengan itu juga menghidupkansuburkan kembali
budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan
nilai-nilai luhur budaya bangsa.

b.      Etika pemerintahan dan politik

Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efesien, dan efektif serta
menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, tanggung jawab,
tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, serta menjujunjung
tinggi hak asasi manusia.

c.       Etika ekonomi dan bisnis

Etika ini bertujuan agar prinsip dan prilaku ekonomi baik oleh pribadi, institusi, maupun
keputusan dalam bidang ekonomi dapat melahirkan ekonomi dengan kondisi yang baik dan realitas.

d.      Etika penegakan hukum yang berkeadilan

Etika ini bertujuan agar penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak
diskriminatif terhadap setiap warga Negara di hadapan hukum, dan menghindarkan peggunaan
hukum secara salah sebagai alat kekuasaan.

e.       Etika keilmuan dan disiplin kehidupan

Etika ini diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi agar
mampu berpikir rasional, kritis, logis, dan objektif.

Dengan berpedoman pada etika kehidupan berbangsa tersebut, penyelenggara Negara dan
warga Negara berprilaku secara baik bersumber pada nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya. Etika
kehidupan berbangsa tidak memiliki sanksi hukum. Namun sebagai semacam kode etik, pedoman
etik berbangsa memberikan sanksi moral bagi siapa saja yang berprilaku menyimpang dari norma-
norma etik yang baik. Etika kehidupan berbangsa ini dapat kita pandang sebagai norma etik Negara
sebagai perwujudan dari nilai-nilai dasar Pancasila.

Etika dan moral bagi manusia dalam kehiduan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat,
senantiasa bersifat relasional. Hal ini berarti bahwa etika serta moral yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila, tidak dimaksudkan untuk manusia secara pribadi, namun secara relasioanal senantiasa
memiliki hubungan dengan yang lain baik kepada Tuhan yang maha esa maupun kepada manusia
lainnya.

Sumber:

Winarno. 2006. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara

Kaelan, dan Zubaidi, Achmad. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:  Paradigma.

Kaelan. 2009. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

http://almachaniago.blogspot.com/2013/02/pancasila-sebagai-dasar-etika-kehidupan.html

Penjelasan dan Jenis – Jenis


Aliran Etika
Istilah “etika” berasal
dari bahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat tinggal yang biasa, padang
rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir.
Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan
dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika
sama maknanya dengan moral. Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang
membahas tentang kriteria baik dan buruk (Bertens, 1997: 4–6). Etika pada
umumnya dimengerti sebagai pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu
yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku manusia. Keseluruhan perilaku
manusia dengan norma dan prinsip-prinsip yang mengaturnya itu kerap kali
disebut moralitas atau etika (Sastrapratedja, 2002: 81).

Ada beberapa aliran etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi etika
keutamaan, teleologis, deontologis.

1. Etika keutamaan atau etika kebajikan


adalah teori yang mempelajari keutamaan (virtue), artinya mempelajari
tentang perbuatan manusia itu baik atau buruk. Etika kebajikan ini
mengarahkan perhatiannya kepada keberadaan manusia, lebih menekankan
pada What should I be?, atau “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”.
Beberapa watak yang terkandung dalam nilai keutamaan adalah baik hati,
ksatriya, belas kasih, terus terang, bersahabat, murah hati, bernalar, percaya
diri, penguasaan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani, santun, jujur,
terampil, adil, setia, ugahari (bersahaja), disiplin, mandiri, bijaksana, peduli, dan
toleran (Mudhofir, 2009: 216–219). Orang yang memelihara metabolisme
tubuh untuk mendapatkan kesehatan yang prima juga dapat dikatakan
sebagai bentuk penguasaan diri dan disiplin, sebagaimana nasihat
Hippocrates berikut ini.

2.Etika teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral
menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan dan dilawankan dengan
kewajiban. Seseorang yang mungkin berniat sangat baik atau mengikuti asas-
asas moral yang tertinggi, akan tetapi hasil tindakan moral itu berbahaya atau
jelek, maka tindakan tersebut dinilai secara moral sebagai tindakan yang tidak
etis. Etika teleologis ini menganggap nilai moral dari suatu tindakan dinilai
berdasarkan pada efektivitas tindakan tersebut dalam mencapai tujuannya.
Etika teleologis ini juga menganggap bahwa di dalamnya kebenaran dan
kesalahan suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang diinginkan
(Mudhofir, 2009: 214). Aliran-aliran etika teleologis, meliputi eudaemonisme,
hedonisme, utilitarianisme.

3. Etika deontologis adalah teori etis yang bersangkutan dengan kewajiban


moral sebagai hal yang benar dan bukannya membicarakan tujuan atau
akibat. Kewajiban moral bertalian dengan kewajiban yang seharusnya,
kebenaran moral atau kelayakan, kepatutan. Kewajiban moral mengandung
kemestian untuk melakukan tindakan. Pertimbangan tentang kewajiban
moral lebih diutamakan daripada pertimbangan tentang nilai moral. Konsep-
konsep nilai moral (yang baik) dapat didefinisikan berdasarkan pada kewajiban
moral atau kelayakan rasional yang tidak dapat diturunkan dalam arti tidak
dapat dianalisis (Mudhofir, 2009: 141).

Sumber : Pendidkan Pancasila untuk Perguruan Tinggi , RISTEKDIKTI 2016.

https://malvaspalette.wordpress.com/2017/12/12/penjelasan-dan-jenis-jenis-aliran-etika/

Anda mungkin juga menyukai