Derajat SAlim Wibowo

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

JERAPAH YANG SOMBONG

Di suatu padang rumput ada seekor jerapah yang baru beranjak dewasa.
Namanya Edo. Dia sangat tinggi, jangkung, bahkan di antara teman-temannya, Edo lah
yang paling tinggi. Karena lehernya yang paling panjang itu membuatnya menjadi anak
yang sombong. Sering dia mengajak teman-teman jerapahnya untuk lomba makan
daun-daun di pohon yang dahannya sangat tinggi. Dan sudah dapat ditebak, Edo lah si
pemenang perlombaan itu. Berkali-kali dia memenangkan perlombaan makan daun dari
puncak pohon, membuat Edo semakin besar kepala saja. Dia merasa anak yang paling
hebat di kawasan padang rumput itu. Sampai – sampai dia tidak menghormati para
sesepuh jerapahnya. Dia sering mengejek para jerapah-jerapah tua itu dengan sebutan
“leher bengkok”, karena memang mereka sudah beranjak tua. Sedangkan si Edo masih
muda, secara fisik dia masih kuat, leher masih tegak, jenjang dan tinggi.
Pernah satu hari Edo dimintai tolong oleh seorang sesepuh jerapahnya; “Nak,
tolong ambilkan nenek daun yang segar di ranting ujung pohon itu yaa.. nenek
ingiiiiiiiiiin sekali makan daun-daun yang masih muda, hijau, lunak dan segar itu, tapi
nenek tidak bisa menjangkau sampai ke ujung pohon itu, Tolong ya, nak Edo..” Lalu
dengan sombongnya Edo menjawab nenek jerapah itu, “Aduh, nenek jerapah
bagaimana sih, sudah tua jangan bawel deh, udah lah makan daun yang bisa nenek
jerapah jangkau sendiri saja lah!!! Salah sendiri nggak bisa ambil daun di pucuk
pohon!!”. Lalu nenek jerapah itu pun pergi dengan kecewa, melihat kelakuan Edo, si
jerapah jangkung yang sombong.
Tidak hanya nenek jerapah itu saja yang ditolak permintaan tolongnya. Pernah
juga ada seekor anak burung yang terjatuh, saat si burung kecil itu sedang belajar
terbang. Burung kecil itu tersangkut di dahan pohon paling ujung. Edo pun dengan
sombong menolak permintaan teman-temannya untuk menolong si burung kecil itu.
Jawaban Edo pada saat itu, “Ahhh.. dasar anak burung bodoh, punya sayap kok nggak
bisa terbang, malah jatuh. Siapa suruh terbang kalau ngga bisa terbang.” Lalu Edo
meninggalkan begitu saja, dan akhirnya teman-teman Edo yang berusaha menolong
burung kecil itu.
Sampai pada suatu hari, si Edo saat berjalan- jalan sendiri di padang rumput, dia
sedang asik melenggang bak anak yang sombong. Lehernya tegak lurus ke atas,
dengan kepala terangkat. Lalu berhenti di suatu gundukan. Edo tidak sadar, bahwa
yang dia injak gundukan itu adalah seekor kura-kura. Seekor kakek kura-kura yang
sudah berumur setengah abad. Lalu, si kakek kura-kura berusaha keras mengangkat
tubuhnya dan berjalan maju selangkah, bermaksud agar Edo merasa jika di bawah
kakinya berdiri menginjak seekor kura-kura. Lalu Edo sedikit tersandung. “Aduhhh!!”.
Edo malah tidak bereaksi untuk minta maaf bahwa dia telah menginjak tempurung
kakek kura-kura itu. Sebaliknya, dia malah marah-marah. “Dasar kura-kura peyot, aku
jadi mau terjatuh nih.” Tidak puas dengan cukup berkata-kata, Edo pun langsung
menendang tempurung kakek kura-kura, yang akhirnya kakek kura-kura terlempar
beberapa jengkal.
Lalu kakek kura-kura hanya ringan menasihati Edo, “Anak muda, janganlah
kamu sombong. Kamu masih muda, tubuhmu masih kuat, sebaiknya sayangilah
sesama makhluk hidup ciptaanNya. Suatu hari nanti, kamu juga akan menjadi tua,
pasti akan banyak yang lebih hebat dan kuat darimu.” Lalu Edo cuek begitu saja
sambil tidak memperdulikan nasihat kakek kura-kura. Tidak lama kemudian, awan
mendung datang. Mendung yang begitu tebal, langit yang sebelumnya biru cerah
menjadi abu-abu kelabu. Di padang rumput itu masih tertinggal Edo dan si kakek kura-
kura yang berjalan sangat lambat menuju ke tepi di bawah pepohonan. Seakan masih
ingin memperlihatkan kesombongan dan kekuatannya, Edo malah tidak bergegas pergi
meninggalkan padang rumput yang hendak diguyur hujan. Dia hanya ingin
menunjukkan kehebatannya ke kakek kura-kura, bahwa dia tinggi gagah di tengah
padang rumput yang luas, dengan melenggang santai dan sombong, sambil dirinya
membandingkan si kura-kura yang pendek dan lambat berjalan.
Lalu hujan sangat deras seketika itu datang mengguyur. Dan tiba-tiba petir yang
sangat hebat menyambar, “DUARRRRRRRRRRR.” Akhirnya, Edo si jerapah jangkung
itu ambruk, terjatuh ke tanah. Saat itu, kepala kakek kura-kura aman di dalam
tempurungnya, tidak kehujanan dan juga terhindar dari petir yang dahsyat menyambar
padang rumput. Tidak diam begitu saja, si kakek kura-kura dengan langkah pelan tapi
pasti, dia mendekati ke Edo, dan memberikan perhatiannya. “Kamu tidak apa-apa, anak
muda? Bangunlah, kenapa malah terdiam bengong tetap bersungkur di tanah?”. Lalu
Edo menjawab, “kakek kura-kura,…aku takutttt.. huwaaaaaaaaaaaa…” sambil
merengek bak anak kecil yang lemah. “Maafkan aku ya, kakek kura-kura, sudah
menginjak tubuhmu dengan sombongnya. Walaupun kakek kura-kura sudah tua, tapi
tetap kuat, tempurungmu mampu menopang berat badanku ini. Maafkan aku kakek
kura-kura, karena sudah menendangmu, sampai terlempar beberapa langkah. Aku
berjanji tidak akan menjadi anak yang sombong lagi, menolong sesama makhluk
ciptaanNya.”
Dan sejak saat itu, si Edo tidak lagi menjadi jerapah yang sombong, namun
berubah menjadi si jerapah yang baik hati dan suka menolong teman-temannya.

Unsur Intrinsik :
Tema : Penyesalan
Penokohan dan Watak
a) Tokoh utama = Jerapah : Sombong , angkuh , pemarah
Kura kura : baik hati , pemaaf , penolong
b) Tokoh bawahan = Burung kecil : lemah
Nenek jerapah : Penyayang , lemah lembut
Alur : Maju
Latar = Waktu : Pagi hari
Tempat : Padang rumput
Suasana : Menegangkan , menyenangkan
· Amanat : Dalam kehidupan sehari hari, kita tidak boleh sombong karena hal itu akan
merugikan orang lain dan diri sendiri.
Sudut pandang : orang ketiga
Gaya Bahasa : “punya sayap kok nggak bisa terbang, malah jatuh.” Gaya bahasanya
adalah sinisme

Anda mungkin juga menyukai