Anda di halaman 1dari 24

Kesultanan Banten

Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan,
Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan
menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan
militer serta kawasan perdagangan sebagai antisipasi terealisasinya perjanjian antara
kerajaan Sunda dan Portugis tahun 1522 m.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[6] berperan dalam penaklukan tersebut.
Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mengembangkan benteng pertahanan
yang dinamakan Surosowan (dibangun 1600 m) menjadi kawasan kota pesisir yang
kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri
sendiri.

Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan
yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan
menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global
memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan
persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan
politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana
Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa
akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan
kolonial di Hindia Belanda.

Pembentukan awal

De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[7]
Kesultanan
Banten
Kasultanan
Banten
Palangka Sriman Sriwacana 1526–
1813
"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Bendera Lambang
Artinya:

"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga
Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Wilayah Banten pada


masa Maulana
Hasanuddin, yang
menguasai Selat Sunda
pada kedua sisinya

Ibu kota Surosowan,


Banten
Mahkota Binokasih, Mahkota Kerajaan Pajajaran yang diserahkan kepada Prabu Geusan Lama, Kota
Ulun disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun oleh para Kandaga Lante Kerajaan Serang
Pajajaran sebagai legitimasi untuk meneruskan trah Siliwangi ketika runtuh pada 1579
Bahasa Bahasa
M yang dimulai dari pendudukan Sunda Kalapa hingga penyerangan Pakuan Pajajaran
Sunda
yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana
Sanghiyang Sri Ratu Dewata Banten[1],
Bahasa
Jawa
Banten1,
Melayu,
Arab[2]

Agama Islam

Bentuk Kesultan
Keris Panunggul Naga adalah Keris milik Prabu Geusan Ulun yang merupakan raja pemerintahan
Kerajaan Sumedang Larang yang terakhir yang meneruskan Kerajaan Sunda atau
Sultan
Kerajaan Pajajaran
 - 1552– Sultan
1570 Maulana
Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Hasanuddin2
Banten  -  1651– Sultan
1683 Ageng
Tirtayasa
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif  - 1809– Sultan
1813 Muhammad
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran
Shafiuddin
Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten  - 2016– Sultan
yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah Sekarang Syarief
dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya Mohamma
dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga ash-
Shafiuddin
perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian
menarik hati masyarakat Wahanten dan pucuk umum [8](penguasa) Sejarah
 -  Serangan 1526
Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua
atas
penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau
Kerajaan
Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah
Sunda
Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum
 -  Aneksasi 1813
untuk wilayah Wahanten Girang.[9] oleh
Hindia
Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Belanda
Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian
Pendahulu Penggant
menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir
Kerajaan Hindia
pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sunda Belanda
Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang Kesultanan
lahir pada 1478 m.[10]. Sang Surosowan walaupun tidak memeluk Cirebon

agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang 1 Bahasa Jawa
datang ke wilayahnya. Banten atau Bahasa
Jawa dialek Banten
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk adalah dialek Bahasa
menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon Jawa yang
dipergunakan di
pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban
wilayah Banten bagian
yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati
utara. Dialek bahasa
sebagai pemimpin dari para wali. ini banyak dipengaruhi
oleh Bahasa Cirebon
Latar belakang penguasaan Banten dan Sunda[1], tetapi
terdapat pula
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu pengaruh Bahasa
Arab, Melayu, Belanda,
Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati
dan Inggris.[3][2]
Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor
2 8 Oktober 1526 M (1
untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan
Muharam 933 H) -
menjadi Sultan Demak pada 1518. 1552 M[4], status
Kesultanan Banten
Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat adalah sebagai
Kadipaten (Provinsi) di
mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia
bawah kesultanan
mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima
Cirebon.[5]
Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja
gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera
Pasai.[11]

Pada tahun 1513 m, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa
sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten[12]

Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah,[13]


sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan puteranya yaitu Maulana Hasanuddin
kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu
masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat
menjalankan agama Islam, dari aktifitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah
dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt),[14] aktifitas
dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten
seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang dimana ia pernah tinggal selama sekitar
10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga
ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan[15]dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti
yang dilakukan ayahnya.

Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang
akan singah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi
pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak
perdagangan dengan para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan
hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat
dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai
memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda
berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang
sama dengan kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin
persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan
kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.

Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (Siliwangi)
mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa),
mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling
menguntungkan antara kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran
kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-
pelabuhan milik kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan
militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh kesultanan Demak dan
kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.[11]

Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus
Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah
Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[16] untuk membangun benteng keamanan di Sunda
Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif

Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang
Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di
Sunda Kelapa[17] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang
diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000
keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca :
Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam cerita
masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya
Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo
(yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan
bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar) [18]Syahbandar Sunda Kelapa yang
menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani
dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[19]

Penguasaan Banten

Pada tahun 1522,[20] Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama
keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid
agung serta masjid di kawasan Pacitan.[21]Sementara yang menjadi pucuk umum
(penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan
paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m.
Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun
1526 m.[22]

Pada tahun 1524 m, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan
Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten[23] Pada masa ini tidak ada
pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan
gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten
Girang

Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting)
dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin[24]

Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa)
Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah Maulana Hasanuddin yang
berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang
merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana
meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas dakwahnya dan
menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan
Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktifitas dakwahnya.
Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan
aktifitas dakwahnya[25] Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam
kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.

Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan


bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.[26]

Penyatuan Banten

Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin kemudian
memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan
sekaligus membangun kota pesisir[27]

Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.[20] Pada tahun
yang sama juga Arya Surajaya pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela
menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati,
akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi
Wahanten yang kemudian disebut sebagai Banten dengan status sebagai depaten
(provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8
Oktober 1526 m),[28] kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan
pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari kejadian
tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di
Banten[29] meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi
penguasa (sultan) di Banten[30]Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah
seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi
pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.

menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh
kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai
negara.[27]

Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh
ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)[31]

Banten sebagai kesultanan


Kesultanan Banten menjadi kesultanan yang mandiri pada tahun 1552 setelah Maulana
Hasanuddin ditasbihkan oleh ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati sebagai Sultan di
Banten.[31]

Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di


Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah
melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura),
Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[32]

Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[33] melanjutkan
ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran
tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba
menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam
mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam
penaklukkan tersebut.[34]

Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di
Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-
Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif
melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu
diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629
kepada Charles I.[2]

Puncak kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam
menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan
penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten
berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[35]
Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis.
Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India,
Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.[36]

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan
Banten.[37] Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas
contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.[33]
Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke
Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya
tahun 1661.[38] Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan
VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju
Banten.[33]

Perang saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji.
Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang
memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan.
Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar
juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682
untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[2] Dalam perang ini Sultan
Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan
Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji
bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh
Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683
Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.

Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang
masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC
mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung
dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan
Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan
Syekh Yusuf.[39] Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan
menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk
menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke
Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun
terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem
Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi
buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di
Batavia.[40]

Penurunan
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan
kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan
kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin,
Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian
dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC
memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[41] Selain itu berdasarkan
perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang
tersebut kepada VOC.[42]

Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya
di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat
persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad
Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun,
selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul
Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun
ing Nagari Banten.

Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan


masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten[43] maupun gejolak
ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten.
Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi
Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa.
Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam
meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi
vassal dari VOC.[38]

Penghapusan kesultanan
Keris Naga Sasra yang digunakan oleh Pangeran Kornel (Pangeran Kusumahdinata IX) saat bersalaman
menggunakan tangan kiri (pertanda adanya perlawanan terhadap kebijakan Belanda dalam pembangunan Jalan
Raya Pos dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada peristiwa Cadas Pangeran

Reruntuhan Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië
atau "Sejarah Hindia Belanda")

Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, pada tahun 1933

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810,
memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari
serangan Inggris.[44] Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu
kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang
direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai
jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana
Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan
kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq
Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808,
Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten
telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.[45]
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.[46] Pada
tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa
turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas
yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

Agama

Lukisan litograf Masjid Agung Banten pada kurun 1882-1889.

Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa
kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Buddha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan
Kerajaan Sunda.

Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana
Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten
Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di
Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada
penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.

Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah
sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang
besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga
berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian
yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di
masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.

Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain


bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam
penegakan hukum Islam seperti hudud.[47]

Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh
muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan
mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar
pelabuhan Banten.
Kependudukan
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-
etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain
dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.

Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan
terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber
lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap
memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan, pada Dagh
Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673,
diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan
berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa pun
kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk
perempuan, anak-anak, dan lansia.[48]

Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten.
Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina
Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai
dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat India
dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris,
Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang
di sekitar Ci Banten.

Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan
untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan.
Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti
Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana
penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya
istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah
ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang,
patik, baliung, kored dan sadap.

Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk
mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan
menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan
40 000 ribu hektare sawah baru dan ribuan hektare perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an
petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar.
Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di
bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.[38]

Tak dapat dimungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan,
dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah
satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.[48]

Pemerintahan

Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876.

Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar
Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati,
Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada
pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta
Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada
masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu
Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa
adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.

Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci
Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana
Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari
istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk mercusuar yang
kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat
kedatangan kapal di Banten.

Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung
Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada
kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat
untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota
Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi
yang dikenal dengan nama mandala.[38] Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa
kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung
Pecinan.

Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten,
pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan
Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama
Syahbandar Kaytsu.

Warisan sejarah
Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan
kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan
keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa
Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk
menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi
pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri
yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Selain itu
masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh
perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan
keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang
dominan di Nusantara.

Daftar Sultan Banten


Berikut adalah daftar sultan Banten[49][50]:

Kesultanan Banten sebagai Negara Berdaulat


No. Masa/Tahun Nama Sultan Nama Lain Keterangan

Sultan Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Sultan ke-2 Kesultanan Cirebon

8 Oktober 1526 M (1 Muharam


Sultan Maulana 933 H) - 1552 M, sebagai
1 1552 - 1570 Pangeran Sabakinking
Hasanuddin kadipaten di bawah Kesultanan
Cirebon

2 1570 - 1585 Sultan Maulana Yusuf Pangeran Pasareyan

Sultan Maulana Pangeran Sedangrana


3 1585 - 1596
Muhammad Prabu Seda ing Palembang

Sultan Abdul Mafakhir Pangeran Ratu


4 1596 - 1647
Mahmud Abdulkadir Sultan Agung

Pangeran Anom
5 1647 - 1651 Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad
Sultan Kilen

Abu al-Fath Abdul Fattah


Sultan Ageng Tirtayasa[51]
6 1651 - 1683 Pangeran Dipati
[47][3][8][8][8][9]
Pangeran Surya

Sultan Abu Nashar Abdul Sultan Haji


7 1683 - 1687 (Catatan) 1
Qahar Pangeran Dakar

Sultan Abu al-Fadhl


8 1687 - 1690
Muhammad Yahya

Sultan Abu al-Mahasin Pangeran Adipadi


9 1690 - 1733
Muhammad Zainulabidin Kang Sinihun ing Nagari Banten

Sultan Abdullah
10 1733 - 1750 Muhammad Syifa
Zainularifin

Sultan Syarifuddin Ratu dalam pengaruh Ratu Syarifah


1750 - 1752 Pangeran Syarifuddin
Wakil2 Fatima[52][53][54]

Sultan Abu al-Ma'ali


11 1752 - 1753 Pangeran Arya Adisantika
Muhammad Wasi

Sultan Abu al-Nasr


12 1753 - 1773 Muhammad Arif
Zainulasyiqin

13 1773 - 1799 Sultan Aliyuddin I Abu al-Mafakhir Muhammad Aliyuddin

Sultan Muhammad
14 1799 - 1801
Muhyiddin Zainussalihin

Sultan Muhammad Ishaq


15 1801 - 1802
Zainulmuttaqin

Untuk sementara administrasi


Caretaker Sultan Wakil Kesultanan Banten dipegang oleh
1802 - 1803
Pangeran Natawijaya seorang Caretaker Sultan Wakil
Pangeran Natawijaya

16 1803 - 1808 Sultan Aliyuddin II Abu al-Mafakhir Muhammad Aqiluddin

Untuk sementara administrasi


Caretaker Sultan Wakil Kesultanan Banten dipegang oleh
1808 - 1809
Pangeran Suramenggala seorang Caretaker Sultan Wakil
Pangeran Suramenggala

Sultan Maulana
17 1809 - 1813 Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin
Muhammad Shafiuddin

Catatan:
1. Penobatan ini disertai beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang meminimalkan
kedaulatan Banten karena dengan perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar negeri harus atas persetujuan VOC.

2. Ketika Sultan Abdullah Muhammad Syifa Zainularifin dibuang ke Ambon, istrinya Ratu Syarifah Fatima berhasil membujuk Belanda (Baron van Inhoff) untuk menobatkan putranya dari
suami terdahulu sebagai Sultan Banten. Pangeran Syarifuddin naik takhta dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil, tetapi pada kenyataannya yang berkuasa adalah Ratu Syarifah
Fatima[55]. Hal tersebut yang menyebabkan tidak diakuinya Sultan Abdullah Muhammad Syifa Zainularifin maupun Ratu Syarifah Fatima sebagai Sultan Banten ke-11.

Pewaris Kesultanan setelah dihapuskan Belanda

[56]
No. Masa Nama Lain Keterangan

1 1832 - 1888 Pangeran Surya Kumala (Pangeran Suryo Kumolo) (Catatan) 1

2 1888 - 1946 Pangeran Timoer Soerjaatmadja (Catatan) 1 & 2

3 1946 Ratu Bagus Aryo Marjono Soerjaatmadja (Catatan) 3

4 Ratu Bagus Abdul Mugni Soerjaatmadja

Catatan:
1.
Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin yang dibuang ke Surabaya merasa kecewa terhadap perlakuan pihak penjajah sehingga melarang keturunannya untuk menikah dengan
kalangan Eropa, hal ini dilanggar oleh Pangeran Surya Kumala, sehingga hak pewarisan tahta Kesultanan Banten dialihkan kepada Pangeran Timur Soerjaatmadja.

2. Pada masa Kevakuman Kesultanan Banten, rakyat Banten di bawah pimpinan para Ulama secara seporadis kerap melakukan perlawanan kepada pemerintah Hindia Belanda. Banyak
perjuangan yang menyuarakan spirit kesultanan Banten dan keislaman, yang paling menonjol adalah peristiwa Geger Cilegon tahun 1888.

3. Pada masa awal kemerdekaan RI sekitar tahun 1946 - 1948, di Yogyakarta terjadi pertemuan antara pewaris takhta Kesultanan Banten: Ratu Bagus Aryo Marjojo Soerjaatmadja,
Soekarno, Sultan Hamengkubuwono IX, dan K.H. Tubagus Achmad Chotib al-Bantani (Residen Banten). Pada pertemuan Soekarno mempersilakan pewaris takhta Kesultanan Banten
untuk memimpin wilayah Banten kembali, namun pewaris takhta dikarenakan tanggung jawabnya sebagi Direktur BRI (kini setingkat Gubernur Bank Indonesia) menitipkan
kepemimpinan Banten termasuk penjagaan dan pengurusan aset keluarga besar Kesultanan Banten kepada K.H. Tubagus Achmad Chotib al-Bantani selaku Residen Banten sampai
saat bilamana anak atau cucu Marjono kembali ke Banten.

Sultan Banten di Bawah Provinsi Banten

Sultan Penobata
Syarif n Sultan
Muhamm Banten
ad ash- pada
Shafiuddi tanggal
n, Sultan 11
Banten Desembe
ke-18 r 2016 di
sejak 11 Masjid
Desembe Agung
r 2016. Banten,
Banten
Lama,
Serang.

No. Masa/Tahun Nama Sultan Nama Lain Keterangan

Sultan Syarif Muhammad Di bawah pemerintah Provinsi


18 2016 - Sekarang Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja[57]
ash-Shafiuddin Banten, Indonesia

Lihat pula
Kerajaan Kendan Kerajaan Sumedang Larang
Kerajaan Galuh Prabu Geusan Ulun
Kerajaan Salakanagara Kesultanan Cirebon
Kerajaan Tarumanagara Kesultanan Banten
Kerajaan Sunda Provinsi Pasundan
Kerajaan Talaga Manggung Daftar provinsi Indonesia
Kerajaan Galunggung Daftar Tokoh Sunda
Kerajaan Sunda Galuh Tokoh Sunda
Kerajaan Pajajaran Sunda
Suku Banten Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni
Soerjaatmadja

Bacaan lanjut
Hussein Jayadiningrat, Critische Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny
Beschouwing van de Sadjarah-Banten, Wibisono, "La principauté de Banten
Disertasi Doktor, 3 Mei 1913, Universitas Girang" ("Kerajaan Banten Girang"),
Leiden. Archipel, Tahun 1995, Volume 50, halaman
Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny 13-24
Wibisono, Banten avant l'Islam - Etude Ricklefs, M. C., A History of Modern
archéologique de Banten Girang (Java Indonesia since c. 1200, 2008 (terbitan ke-
Indonésie) 932 (?)-1526 ("Banten sebelum 4)
Islam - Studi arkeologis tentang Banten Zamhir, Drs. (1996). Mengenal Museum
Girang 932 (?)-1526"), École française Prabu Geusan Ulun serta Riwayat Leluhur
d'Extrême-Orient, 1994, ISBN 2-85539-773- Sumedang. Yayasan Pangeran Sumedang.
1 Sumedang.
Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Sukardja, Djadja. (2003). Kanjeng Prebu
Parahyangan dan Fragmen Carita R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh
Parahyangan“, Makalah disampaikan Ciamis th. 1839 s / d 1886. Sanggar SGB.
dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang Ciamis.
diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan
Sulendraningrat P.S. (1975). Sejarah
Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-
Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati
Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas
Maulana Syarif Hidayatullah. Lembaga
Padjadjaran: hlm. 1 – 23.
Kebudayaan Wilayah III Cirebon. Cirebon.
Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara,
Sunardjo, Unang, R. H., Drs. (1983).
dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah.
Kerajaan Carbon 1479-1809. PT. Tarsito.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Bandung.
dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra
Suparman, Tjetje, R. H., (1981). Sajarah
Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu,
Sukapura. Bandung
16 Desember `1995. Bandung: Universitas
Surianingrat, Bayu., Drs. (1983). Sajarah
Padjadjaran.
Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950.
Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi
CV.Rapico. Bandung.
Priangan. Bandung: Lembaga Kebudayaan
Soekardi, Yuliadi. (2004). Kian Santang. CV
Universitas Padjadjaran.
Pustaka Setia.
Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993.
Soekardi, Yuliadi. (2004). Prabu Siliwangi.
Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat.
CV Pustaka Setia.
Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah
Tingkat I Jawa Barat. Tjangker Soedradjat, Ade. (1996). Silsilah
Wargi Pangeran Sumedang Turunan
Raffles, Thomas Stamford. 1817. The Pangeran Santri alias Pangeran
History of Java, 2 vols. London: Block Koesoemadinata I Penguasa Sumedang
Parbury and Allen and John Murry. Larang 1530-1578. Yayasan Pangeran
Raffles, Thomas Stamford. 2008. The Sumedang. Sumedang.
History of Java (Terjemahan Eko Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden Dr.
Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda (1960). Babad Pasundan, Riwajat
Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: Narasi. Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna
Z., Mumuh Muhsin. Sunda, Priangan, dan Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580.
Jawa Barat. Makalah disampaikan dalam Kujang. Bandung.
Diskusi Hari Jadi Jawa Barat, Winarno, F. G. (1990). Bogor Hari Esok
diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Masa Lampau. PT. Bina Hati. Bogor.
Rakyat Bekerja Sama dengan Dinas Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). Babad
Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam sampai
pada Selasa, 3 November 2009 di Aula tahun 1647. PT. Buku Kita. Yogyakarta
Redaksi HU Pikiran Rakyat. Bagikan.
Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi A. Sobana Hardjasaputra, H.D. Bastaman,
Islam Nusantara. Kepustakaan Populer Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi, Wim van
Gramedia. Zanten, Undang A. Darsa. (2004). Bupati di
E. Rokajat Asura. (September 2011). Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai
Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut cinta di Budaya Sunda. Pusat Studi Sunda.
antara dua kerajaan Sumedang Larang dan A. Sobana Hardjasaputra (Ed.). (2008).
Cirebon. Penerbit Edelweiss. Sejarah Purwakarta.
Atja, Drs. (1970). Ratu Pakuan. Lembaga Nina H. Lubis, Kunto Sofianto, Taufik
Bahasa dan Sedjarah Unpad. Bandung. Abdullah (pengantar), Ietje Marlina, A.
Atmamihardja, Mamun, Drs. Raden. (1958). Sobana Hardjasaputra, Reiza D. Dienaputra,
Sadjarah Sunda. Bandung. Ganaco Nv. Mumuh Muhsin Z. (2000). Sejarah Kota-
Joedawikarta (1933). Sadjarah Soekapoera, kota Lama di di Jawa Barat. Alqaprint. ISBN
Parakan Moencang sareng Gadjah. 979-95652-4-3.
Pengharepan. Bandoeng,
Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi, dkk. (2003).
Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. CV. Satya
Historica. Bandung.
Herman Soemantri Emuch. (1979). Sajarah
Sukapura, sebuah telaah filologis.
Universitas Indonesia. Jakarta.

Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Banten.

(Indonesia) Kompas: Sia-sia, Kalau Bangkitkan Sosok Sultan Banten

(Indonesia) Republika: Menunggu Kembalinya Sultan Banten

(Indonesia) Tempo Interaktif: Ribuan Peziarah Serbu Masjid Agung Banten

Catatan kaki
1. ^ a b Taufiqurokhman; Widodo, Hari; Gunawan, Muhammad; Lambe, Sulaeman (2014).
Banten dari Masa ke Masa (PDF). Serang: Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Banten.
ISBN 9786027140400.
2. ^ a b c d Titik Pudjiastuti, (2007), Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten,
Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-650-8.
3. ^ Facal, Gabriel. 2016. Keyakinan dan Kekuatan: Seni Bela Diri Silat Banten. Jakarta :
Yayasan Pustaka Obor Indonesia
4. ^ Lubis, Nina Herlina, 2004. Banten dalam pergumulan sejarah : sultan, ulama, jawara.
Jakarta : LP3ES
5. ^ Wildan, Dadan. 2003. Sunan Gunung Jati antara fiksi dan fakta : pembumian Islam
dengan pendekatan struktural dan kultural. Bandung : Humaniora
6. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia,
ISBN 979-9102-12-X.
7. ^ From Valentijn, Beschrijving van Groot Djava, ofte Java Major, Amsterdam, 1796. Ludwig
Bachhofer, India Antiqua (1947:280) notes that Valentijn had been in Banten in 1694.
8. ^ Nafsiah, Siti. 2000. Prof. Hembing pemenang the Star of Asia Award : pertama di Asia
ketiga di dunia. Jakarta : Gema Insani Press
9. ^ Ekajati, Edi Suhardi, Etti R. S, Abdurrahman. 1991. Carita Parahiyangan karya Pangeran
Wangsakerta : ringkasan, konteks, sejarah, isi naskah, dan peta. Bandung : Yayasan
Pembangunan Jawa Barat
10. ^ Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah Jawa Barat. Bandung : Geger Sunten
11. ^ a b Zahorka, Herwig. 2007. The Sunda Kingdoms of West Java, From Tarumanagara to
Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, Over 1000 Years of Propsperity and Glory.
Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka
12. ^ Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori. 1993. Catatan Masa Lalu Banten.
Serang : Penerbit Saudara
13. ^ Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
14. ^ Firdaus, Endang. 2009. Cerita Rakyat dari Serang. Jakarta : Grasindo
15. ^ Tim Balitbang dan Diklat Kementrian Agama Republik Indonesia. 2007. Kepemimpinan
kiai-jawara: relasi kuasa dalam kepemimpinan tradisional religio-magis di pedesaan Banten.
Jakarta : Kementrian Agama Republik Indonesia
16. ^ Pusat Studi Sunda. 2006. Mencari gerbang Pakuan dan kajian lainnya mengenai budaya
Sunda. Bandung : Pusat Studi Sunda
17. ^ De Haan, Frederik. 1932. Oud Batavia. Den Haag : Antiquariaat Minerva
18. ^ Heuken, A. 1982. Historical Sites of Jakarta. Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka
19. ^ Ridyasmara, Rizki. 2008. Mengkritisi Peran Fatahilah di Jakarta. Jakarta : Era Muslim
20. ^ a b Pudjiastuti, Titik 2000, 'Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai
tinjauan aksara dan amanat. Depok : Universitas Indonesia
21. ^ Untoro, Heriyanti Ongkodharma, 2007. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten
1522 - 1684. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
22. ^ Effendy, Khasan. Sumanang Rana Dipaprana. 1994. Pertalian keluarga raja-raja Jawa
Kulon dengan Keraton Pakungwati: Sunan Gunung Djati muara terakhir keluarga raja-raja
Jawa Kulon. kota Bandung : Indra Prahasta
23. ^ Hendarsyah, Amir. 2010. Cerita Kerajaan Nusantara. Yogyakarta : Great Publisher
24. ^ Syahdana, Darussalam Jagad. 2013. Banten Girang Jejak Peradaban Banten yang
Berkembang. kota Tangerang : Banten Hits
25. ^ Sariyun, Yugo. 1991. Nilai Budaya dalam Permainan Rakyat Jawa Barat. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
26. ^ Syahdana, Darussalam Jagad. 2015. Gunung Pulasari; Kunci Penaklukkan Banten
Girang oleh Sunan Gunung Jati. Tangerang: Banten Hits
27. ^ a b Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1997. Kongres
Nasional Sejarah, 1996 : Sub tema dinamika sosial ekonomi. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
28. ^ Lubis, Nina Herlina, 2004. Banten dalam pergumulan sejarah : sultan, ulama, jawara.
Jakarta : LP3ES
29. ^ Ruhimat, Mamat, Nana Supriatna, Kosim. 2006. Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu
(Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah). Bandung : Grafindo Media Pratama
30. ^ Adhyatman, Sumarah. 1981. Antique ceramics found in Indonesia. Jakarta : Himpunan
Keramik Indonesia
31. ^ a b Taher, Prof. dr. Tarmizi. 2002. Menyegarkan Akidah Tauhid Insani : Mati di Era Klenik.
Jakarta : Gema Insani Press
32. ^ Titik Pudjiastuti, (2000), Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai
tinjauan aksara dan amanat.
33. ^ a b c Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten,
Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
34. ^ Keat Gin Ooi, (2004), Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East
Timor, Volume 1, ABC-CLIO, ISBN 1-57607-770-5.
35. ^ Heriyanti Ongkodharma Untoro, (2007), Kapitalisme pribumi awal kesultanan Banten,
1522-1684: kajian arkeologi-ekonomi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, ISBN 979-8184-
85-8.
36. ^ Yoneo Ishii, (1998), The junk trade from Southeast Asia: translations from the Tôsen
fusetsu-gaki, 1674-1723, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 981-230-022-8.
37. ^ Nana Supriatna, Sejarah, PT Grafindo Media Pratama, ISBN 979-758-601-4.
38. ^ a b c d Atsushi Ota, (2006), Changes of regime and social dynamics in West Java:
society, state, and the outer world of Banten, 1750-1830, BRILL, ISBN 90-04-15091-9.
39. ^ Azyumardi Azra, (2004), The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: networks
of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulamā' in the seventeenth and eighteenth centuries,
University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2848-8.
40. ^ Ann Kumar, (1976), Surapati: man and legend : a study of three Babad traditions, Brill
Archive, ISBN 90-04-04364-0.
41. ^ Amir Hendarsah, Cerita Kerajaan Nusantara, Great! Publisher, ISBN 602-8696-14-5.
42. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional
Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, PT
Balai Pustaka, ISBN 979-407-409-8
43. ^ Atsushi Ota, Banten Rebellion, 1750-1752: Factors behind the Mass Participation,
Modern Asian Studies (2003), 37: 613-651, DOI: 10.1017/S0026749X03003044.
44. ^ Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Penerbit Buku Kompas, PT
Kompas Media Nusantara, Jakarta Indonesia. 2008 November. hlm. 1–2. ISBN 978-979-709-
391-4.
45. ^ Sartono Kartodirdjo, (1966), The peasants' revolt of Banten in 1888: Its conditions,
course and sequel. A case study of social movements in Indonesia, Martinus Nijhoff.
46. ^ R. B. Cribb, A. Kahin, (2004), Historical dictionary of Indonesia, Scarecrow Press, ISBN 0-
8108-4935-6.
47. ^ Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum
Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam University Press, ISBN
90-8964-088-6.
48. ^ a b Claude Guillot, Banten in 1678, Indonesia, Volume 57 (1994), 89-114.
49. ^ "Silsilah Sultan Sultan Banten dan Keturunannya | Ranji Sarkub" . Ranji Sarkub. 2015-06-
18. Diakses tanggal 2017-04-14.
50. ^ Drs. H. Tri Hatmadji, (2005), Ragam Pusaka Budaya Banten, Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Serang, ISBN 979-99324-0-8.
51. ^ Sejak masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, gelar-gelar kebangsawanan Banten
ditertibkan: Sultan untuk raja, Pangeran Ratu untuk putra mahkota atau pewaris takhta
pertama, Pangeran Adipati untuk pewaris takhta kedua atau adik Pangeeran Ratu
(Djajadiningrat, 1983: 209-10)
52. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref
bernama :1
53. ^ redaksi. "Ingin Kuasai Banten, Ratu Syarifah Fatimah Malah Dibuang ke Pulau Edam" .
Timika Satu. Diakses tanggal 2017-04-14.
54. ^ "Jejak Kyai Tapa: Awal Konflik Internal Banten: Penyusupan Agen Wanita VOC ke
Jantung Keraton" . Sportourism.id. Diakses tanggal 2017-04-14.
55. ^ "Ratu yang Dibenci Rakyat Banten | Republika Online" . Republika Online. Diakses
tanggal 2017-04-14.
56. ^ "1. Sultan Muhammad 'arif Zainul Asyikin (1753-1773) - Keturunan (Inventaris) - Rodovid
ID" . id.rodovid.org. Diakses tanggal 2017-04-14.
57. ^ "Pewaris Kesultanan Banten Terima Mandat" . bantenraya.com.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kesultanan_Banten&oldid=14641550"

Terakhir disunting 21 hari yang lalu oleh seorang pengguna anonim

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai