khas Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tradisi ini bermula ketika kaum para pemuda maupun gadis setempat jarang mempunyai kesempatan bertemu. Dahulu para pemuda sering berlayar untuk merantau atau lebih banyak di laut sehingga sulit bertemu dengan para gadis. Karena itulah, para lelaki dan perempuan lajang kemudian dipertemukan dalam Tradisi Kabuenga. Tradisi ritual Kabuenga yang dianggap mengandung nilai- nilai sakral oleh masyarakat Wakatobi, pada masa lampai digelar sekali dalam setahun, yakni pada setiap usai merayakan Hari Raya Idul Fitri. Para tetua adat memilih perayaan hari Raya Idul Fitri sebagai momentum paling tepat menggelar tradisi Kabuenga karena pada hari besar umat Islam, masyarakat Wakatobi yang merantau di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di luar negeri, pulang kampung atau mudik lebaran. Tradisi untuk mencari pasangan hidup di Wakatobi ini bernama kabuenga. Tradisi yang memang rutin diselenggarakan di Kepulauan Wakatobi tiap tahunnya ini digelar di lapangan terbuka dan diikuti semua penduduk Wakatobi yang sudah akil balig, perempuan maupun laki-laki. Dalam tradisi ini setiap laki-laki dan perempuan yang menyatakan berniat untuk hidup bersama disandingkan pada semacam ayunan di tengah-tengah lapangan terbuka agar semua orang dapat menyaksikannya. Untuk menggelar tradisi Kabuenga, pertama-tama penduduk menyiapkan ayunan di tengah-tengah lapangan terbuka sebagai media pertemuan laki-laki dan perempuan yang akan mencari jodoh, hingga diucapkannya ikrar untuk hidup bersama. Dalam tradisi Kabuenga, para wanita yang akan mencari pasangan hidup berkumpul melingkari ayunan dengan mengenakan pakaian adat Wakatobi. Mereka juga membawa bermacam makanan tradisional dengan warna mencolok dan ditata sedemikian rupa hingga terlihat menarik. Kemudian para wanita ini menarikan sebuah tarian yang disebut tarian pajoge dengan iringan gendang dan bunyi gong sebagai pembuka prosesi sakral tersebut. Ketika tarian sedang dimainkan oleh para wanita tadi, kaum laki-laki dipersilakan memberikan uang kepada sang wanita. Makna filosofis tarian itu bercerita tentang adat kebiasaan sebagian kaum laki-laki Wakatobi yang selalu menjadi perantau di negeri orang. Dalam perantauan inilah mereka berjanji bahwa bila pulang ke Wakatobi nanti akan menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk diberikan kepada para penari yang menyambut kepulangannya. Untuk mengiringi prosesi kabuenga ini, para pemangku adat kemudian berjalan mengelilingi ayunan Kabuenga tadi sambil mengalunkan kidung-kidung tradisional. Setelah pemangku adat menyelesaikan alunan kidungnya kemudian dilanjutkan oleh kaum wanita yang juga mengelilingi ayunan tadi sebanyak tujuh kali sambil juga mendendangkan lagu-lagu tradisional Wakatobi dengan membawa minuman ringan yang pada saatnya akan diberikan kepada pria yang dicintainya. Kaum perempuan yng berada dalam barisan ini disebut sebagai kelompok Kadandio. Ketika menjalankan prosesi ini kaum wanita yang tergabung dalam kelompok Kadandio diharuskan untuk berperilaku sopan santun kepada seorang laki-laki yang akan diberi minuman persembahan tadi agar sang lelaki menjadi terkesan dan mau menerima minuman pemberian sang wanita. Prosesi pemberian minuman ini disebut sebagai adat Pasombui. Setelah kaum perempuan selesai kini giliran sang lelaki melakukan hal yang sama yaitu mengelilingi ayunan sebanyak tujuh kali. Tapi berbeda dengan sang wanita yang membawa minuman ringan, para lelaki ini sambil melantunkan pantun membawa semacam parcel yang berisi macam-macam kebutuhan sehari-hari, mulai dari makanan hingga pakaian. Yang menarik dari prosesi ini adalah setelah sang lelaki menyerahkan barang-barang yang dibawanya kepada sang perempuan, dilanjutkan dengan berbalas pantun. Dalam berbalas pantun ini pantun-pantun yang dilantunkan oleh kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) berisi tentang ungkapan-ungkapan cinta kepada pasangannya hingga kemudian keduanya berikrar untuk hidup bersama sehidup semati. Setelah keduanya berikrar maka keduanya pun diantar oleh pemangku adat menuju ayunan kabuenga. Setiap pasangan yang duduk di atas ayunan itu kemudian diayun oleh sang pemangku adat tadi sambil dinyanyikan irama syair dan pantun.
Setelah melewati prosesi ini setiap pasangan selanjutnya berpisah dan
kembali pulang ke rumah masing-masing sambil menunggu pembicaraan antar kedua keluarga untuk kemudian menuju pelaminan.