(54).
Dia mengemukakan hal tersebut saat ritual Kabuenga pada
Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional di Wangiwangi, ibukota
Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara yang berakhir Jumat
(12/9).
Harapan leluhur dalam ritual Kabuenga ketika itu kata dia, di
antara mereka yang saling bertemu dalam ritual tersebut bisa
tumbuh benih-benih cinta dan dapat mengantarkan dua remaja
lain jenis ke jenjang pelaminan atau pernikahan.
Tradisi ritual Kabuenga yang dianggap mengandung nilai-nilai
sakral oleh masyarakat Wakatobi, di masa lampai digelar sekali
dalam setahun, yakni pada setiap usai merayakan Hari Raya
Idul Fitri.
Para tetua adat memilih perayaan hari Raya Idul Fitri sabagai
memonentun paling tepat menggelar tradisi Kabuenga karena
pada hari besar umat Islam itu, masyarakat Wakatobi yang
merantau di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di luar
negeri, pulang kampung atau mudik lebaran.
"Setelah ritual Kabuenga digelar, biasanya banyak anak-anak
muda yang terlibat dalam ritual tersebut segera
melangsungkan pelamaran, lalu dinikahkan," kata Usman.
Nilai sakral
Tradisi Kabuenga dianggap memiliki nilai sakral karena ritual
tersebut diawali dengan prosesi ritual doa oleh dua orang tetua
adat yang telah ditunjuk oleh lembaga adat.
Tetua adat pertama membacakan doa selamat, meminta
keberkahan ritual Kabuenga kepada sang khalik, Allah yang
mencitapkan alam semesta beserta isinya.
Sedangkan tetua adat kedua membacakan doa tolak balaa,
memohon kepada Allah agar menjauhkan masyarakat dari
segala marabahaya.
Usai prosesi pembacaan doa, tetua adat laki-laki dan tetua adat
perempuan kemudian mendudukkan dua muda mudi berlainan
Ilustrasi Mansaa
3. Hidrologi
Secara umum kondisi hidrologi di pulau-pulau yang ada di
Kepulauan Wakatobi adalah bersumber dari air tanah,
yang berbentuk semacam goa (masyarakat Wakatobi
menyebutnya Topa) yang dipengaruhi pasang surut air
laut, sehingga rasanya tidak terlalu tawar. Semakin dekat
sumber air tersebut ke laut semakin payau rasa air
tersebut. Di seluruh pulau-pulau yang ada di kawasan
TNW semuanya tidak mempunyai sungai, sehingga air
hujan yang jatuh langsung diserap oleh tumbuhan dan
sebagian lagi mengalami aliran permukaan. Air hujan oleh
kebanyakan masyarakat Wakatobi ditampung dalam bak
penampungan sebagai cadangan air dalam musim
kemarau yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga
dan air minum.
4. Oseanografi
Perairan TNW tergolong masih bersih dan belum terlihat
adanya pengaruh kegiatan manusia seperti limbah rumah
tangga. Hal ini ditandai oleh tingginya dan homogennya
kadar oksigen terlarut (5,28 - 7,59 ppm), serta kadar nitrit
(< 1,00 - 4,20 ppb) yang selalu lebih rendah dibandingkan
dengan kadar nitrat (< 1,00 - 22,46 ppb). Suhu
permukaan laut (2 m) berkisar antara 27,26 28,730C.
Nilai salinitas pada permukaan (2 m) berkisar antara 34,15
- 34,34 psu. Kecerahan pada permukaan (2 m) di perairan
Wakatobi berkisar antara 70,8 86,1 %. Nilai kekeruhan
(turbiditas) sangat rendah yaitu < 1 NTU. Intensitas
matahari mampu menembus sampai kedalaman antara 55
meter hingga 122 meter. Kecepatan arus pada kedalaman
13 meter berkisar antara 25 43 meter/detik. (Laporan
CRITC-COREMAP LIPI, 2001)
5. Geologi
Terbentuknya kepulauan Wakatobi dimulai sejak jaman
Tersier hingga akhir jaman Miosen. Pembentukan pulaupulau di kawasan ini akibat adanya proses geologi berupa
sesar geser, sesar naik maupun sesar turun dan lipatan
yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya tektonik
yang berlangsung sejak jaman dulu hingga sekarang.
Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3
gosong dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri
dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef)
Sebagai masyarakat laut, masyarakat yang akrab dengan laut, mereka pada
awalnya telah hadir lebih dulu di kepulauan ini, sehingga mereka tidak pernah
bersentuhan dengan daratan, atau mungkin pada awalnya mereka tidak tertarik
dengan tanah (ruang). Ruang mereka adalah lautan dan samudra, yang dapat
dilayari dengan sampan (rumah Bajo) yang ada di sampan. Seks, cinta,
kematian, ritual, semuanya dilakukan di dalam sampan. Itu, menjadi warna
kehidupan mereka selama berabad-abad, khsususnya masyarakat bajo yang ada
di Wakatobi.
Sebagai masyarakat yang memiliki kepercayaan, dekat dengan laut, hidup dari
laut, serta mati di laut, masyarakat Bajo memiliki tradisi Duata yang dilakukan
untuk pengobatan, dan yang paling penting adalah untuk menghargai laut,
menghargai nilai-nilai kemusiaan dan lingkungan. Dari beberapa blog orang bajo,
ditemukan satu penjelasan mengenai tradisi duata. Salah satunya adalah Blog
http://suarakomunitas.net/baca/17394/duata--prosesi-pengobatan-dari-suku-bajo/
menuliskan bahwa secara etimologi, kata duata artinya dewata.
Dalam keyakinan mereka (masyarakat Bajo), Duata adalah dewa yang turun dari
langit dan menjelma menjadi manusia. Tradisi Duata adalah puncak dari segala
upaya pengobatan tradisional Suku Bajo untuk mengobati orang yang sakit keras
dan tidak dapat disembuhkan dengan cara lain, termasuk pengobatan medis.
Dalam prosesi Duata itu, sejumlah tetua adat berkumpul di satu ruang
pengobatan berukuran sekitar 2 meter persegi. Ada hiasan janur kuning di
bagian atas. Ada pula Ula-Ula, bendera yang merupakan lambang kebesaran
Suku Bajo yang diyakini membawa berkah. Tetua adat yang didominasi
perempuan lanjut usia itu meramu berbagai jenis sesaji ritual. Ada beras warnawarni yang dibentuk melingkar di atas daun pisang. Ini melambangkan warnawarni sifat manusia. Ada pula pembakaran dupa yang mengharumkan sekitar
pelaksanan kegiatan
Usai pelarungan, si sakit dan tetua adat kembali di tempat semula. Orang yang
sakit akan kembali melalui beberapa prosesi pengobatan seperti mandi dengan
bunga pinang (mayah) yang berguna untuk membersihkan penyakit yang ada
dalam tubuhnya dan mengusir roh jahat yang menyebabkan sakit. Tetua adat
juga akan mengikatkan benang di lengan si sakit sebagai obat. Konon benang ini
berasal dari langit ke tujuh yang dibawa turun oleh 7 bidadari sebagai obat bagi
si sakit. Dari benang yang tersimpan dalam cangkir, tetua adat dapat
mengetahui apakah yang sakit ini masih dapat sembut atau tidak.
Untuk menguji kesembuhannya, salah satu tetua adat akan menancapkan keris
tepat di atas ubun-ubun orang yang sedang dalam pengobatan. Selanjutnya
tetua adat yang membawa keris terhunus mengitari si orang sakit itu beberapa
kali. Ini dilakukan untuk menguji mental orang yang dalam pengobatan.
Pengujian kesembuhan ini juga dilakukan dengan cara mengadu dua ekor ayam
jantan. Jika ayam si sakit menang maka itu berarti si sakit telah sembuh.
Selanjutnya si sakit akan menghambur-hamburkan beras sebagai wujud
kegembiraan karena telah terbebas dari penyakit yang dideritanya. Sementara
keluarga dan sanak saudara bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si
sakit.
Prosesi itu, sebenarnya bukan hanya bentuk pengobatan tradisional Orang Bajo,
tetapi sekaligus kesadaran kolektif mereka tentang laut, tentang rumah mereka.
Sehingga jika kita memikirkan tentang Keberlangsungan kehidupan Suku Laut di
Wakatobi dan dunia Internasional, maka diperlukan langkah-langkah strategis
yang diambil oleh Pemerintah, Masyarakat, akademisi, Univeritas, harus melihat
suku Bajo sebagai salah satu entitas kebudayaan yang ada di Indonesia.
mengapa negara masih dianggap gagal, ya, karena paradigmanya yang perlu
diperketat lagi. Para teknokrat, sudah saatnya menggunakan hasil-hasil kerja
pada antrolog untuk dijadikan dasar dalam pembangunan modal kultrural dan
modal sosial dalam suatu kawasan. Selama ini terbalik, dua modal pembangunan
itu belum disentuh, eh justru modal finansial yang terus menerus diturunkan.
Negara akhirnya gagal dalam mambangun masyarakat, tetapi justru negara
sukses menciptakan masyarakat konsumtif dan ketergantungan pada bantuan.
Akibatnya negara menanggung utang, yang kelak akan dibebankan pada
generasi mendatang. Universitas, juga masih dianggap gagal, keterpisahan
penelitian dan pengabdian yang dilakukan hanya dalam kepentingan laporan
turut juga menyumbangkan kegagalan negara sebagai keabsenannya di dalam
pembangunan masyarakat, termasuk masyarakat Bajo.
keterhinaan akan kita sulap menjadi kebanggaan' semua terdiam dan berdiri
seorang pemuda dan menghapus, masalah yang tidak penting. Lalu seorang
gadis datang menunjuk satu kata "Kebodohan", semua mata tertuju pada kata
itu. Lalu semua sepakat, kajian apapun, kata kunci utamanya adalah kita harus
menghapuskan kebodohan dari Wangi-Wangi Timur.
Maka sejak saaat itu, terucaplah Ikrar "Wangi-wangi Timur baru berbasis SDM",
dimana semua generasi muda Wangi-Wangi Timur Baru harus saling membantu
dalam membangun SDM. Maka kemduian disosialisasikan, kemasyarakat.
Terbangunlah SD, SMP dan SMK di Wangi-Wangi Timur yaitu (SMP Waopu jenggo,
(SMK Unggulan Wakatobi, dan SD Topanuanda) semuanya dibangun atas
Swadaya masyarakat. Berbentu yayasan Wakaf yang merupakan milik semua
masyarakat Wangi-Wangi Timur Baru.
Dalam jangka 12 tahun lebih, hinaan masih tetap ada, tetapi Wangi-Wangi Timur
Baru menghasilkan Puluhan Sarjana, Beberapa Orang Master dan Beberapa
orang Doktor, dengan target bahwa tidak boleh lagi ada generasi Wangi-Wangi
timur Baru yang tidak tamat SMA atau SMK. Semua orang tua komitemen
mencari uang, untuk menyekolahkan anak-anak mereka, karena hanya dengan
Pendidikan yang dapat menghapus Hinaan Wembe Goro-goro dan Pandola Longa
itu dari Bumi Wangi-Wangi Timur, selama berabad-abad terhina dan miskin.
Padahal pada tahun 2001, seorang kerabat dari Raha datang ke Wangi-Wangi
Timur untuk mencari tamatan SMA yang mau bekerja di PT POS, kami tidak
dapatkan satu orang pun yang berijazah SMA atau sederajat. Mengapa karena
sekolah jauh, mereka memilih untuk menjadi ABK kapal ikan di Malaysia.
Bagaimana dengan Bajo, apakah bisa mengambil terobosan kebudayaan yang
dibangun di Wangi-Wangi Timur Baru? Walaahu alam. Di sini pemerintah harus
hadir, karena berdasarkan hasil wawacanra dengan beberapa pemuda Bajo yang
ada dalam Bajo bangkit, sesungguhnyan mereka juga ingin sekolah. "Kami juga
ingin sekolah seperti Presiden Bajo, tetapi kami tidak punya uang. Di sini Negara
akan berterik seperti Guntur dan kilat di langit Wakatobi "Hadirrrrrrrrrrr Pak, kami
siapkan Beasiswa untuk generasi Bajo. Kami Juga akan memberikan dana
Penelitian Sosial dan Antropologi untuk membedah masalah Kultural dan Sosial
di bajo, kami juga akan siap memberikan dana pendampingan yang akan dikelola
secara berkelanjutan. Saat itu negara tidak akan pernah absen lagi. Atau Kalau
meminjam istilahnya Lucian Goldmman "The Hiddeng God" atau dalam kasusu
Bajo atau masyarakat tertinggal pemerintah selalu dituduh bersembunyi atau
dalam seminar Bajo seorang antrolog Unhas Tasrifin Tahara Menggunakan
hilangnya peran pemerintah dalam pembangunan masyarakat Bajo di
Wakatobi.Lalu, bagaimana negara harus hadir? Negara harus hadir dengan
mengubah sudut pandangnya terhadap masyarakat termasuk masyarakat Bajo.
Pertama, negara sudah saatnya untuk melakukan konsep pembanguan bekerja
sama dengan univeristas untuk melakukan pendampingan, dan penguataan
kelembagaan. Orang Bajo sudah saatnya diberikan beasiswa hingga keperguruan
tinggi, kelompok-kelompok nelayan, petani (didarat) pengrajin sudah saatnya
mendapatkan pendampingan dari birokrasi dan perguruan tinggi. Sehingga
mereka tetap memiliki jalur dalam proses penguatan kelembagaan dan paling
penting adalah sudah harus diarahkan kepada pembangunan Sumber Daya
Manusia (SDM)nya.
Mungkin, kita bisa belajar dari bagaimana pembangunan Kelembagaan Jagung di
Lampung, di Gorontalo, atau kita belajar bagaimana pembangunan Koperasi di
Banglades, saya kira inti dari pembangunan mereka adalah membanguan
kelembagaan dan menghadirkan modal kultural dan modal sosial sebagai
landasan pembangunan kelembagaannya.
Dalam konteks Masyarakat Bajo Wakatobi, bagaimana kelangsungan hidup
mereka? pertanyaan yang bagus, di dalam Seminar internasional itu. Maka
jawabannya adalah kehadiran negara dengan mambaw paradigma baru,
pembanguan berbasis kultural dan sosial, yang akan menjadi landasan
pembagunan ekonomi (finansial). Dengan menghidupkan kembali tradisi Duata,
orang bajo akan memahami laut, memahami hakikat dirinya, memahami konteks
sosialnya, sehingga akhirnya mereka dapat hidup dalam suatu kelompok yang
memiliki mimpi bersama, memiliki cara pandang yang sama tentang laut.
Walahu alam, semoga dapat menjadi bahan Diskusi untuk menemukan model
Pembangunan Masyarakat Bajo ke depan
KEHIDUPAN MASYARAKAT
PESISIR LAMPUNG
May 9, 2011
Provinsi Lampung merupakan sebuah provinsi yang berada di paling selatan dari Pulau Sumatera
dengan luas sebesar 35.376,50 km dan terletak diantara 10545-10348 BT dan 345-645 LS.
Bagian barat Provinsi Lampung berbatasan dengan Selat Sunda dan di sebelah timur dengan Laut
Jawa. Beberapa pulau termasuk dalam wilayah Provinsi Lampung, yang sebagian besar terletak di
Teluk Lampung, di antaranya: Pulau Darot, Pulau Legundi, Pulau Tegal, Pulau Sebuku, Pulau
Ketagian, Pulau Sebesi, Pulau Poahawang, Pulau Krakatau, Pulau Putus dan Pulau Tabuan. Ada
juga Pulau Tampang dan Pulau Pisang di yang masuk ke wilayah Kabupaten Lampung Barat.
Keadaan alam Lampung, di sebelah barat dan selatan, di sepanjang pantai merupakan daerah yang
berbukit-bukit sebagai sambungan dari jalur Bukit Barisan di Pulau Sumatera. Di tengah-tengah
merupakan dataran rendah. Sedangkan ke dekat pantai di sebelah timur, di sepanjang tepi Laut Jawa
terus ke utara, merupakan perairan yang luas.Karena keadaan alam Lampung yang beragam maka
pengembangan wilayahnya difokuskan pada pengembangan lahan bagi perkebunan besar dan
pengembangan daerah pesisir untuk pariwisata dan komoditas perikanan. Jenis perkebunan yang
dikembangkan di Lampung terdiri kelapa sawit, karet, padi, singkong, kakao, lada hitam, kopi, jagung,
tebu, dan lain-lain. Sedangkan untuk komoditas perikanan seperti tambak udang telah mencapai
tingkat nasional dan internasional.
Lampung juga dikenal sebagai kota pelabuhan dimana Lampung merupakan pintu gerbang untuk
masuk ke Pulau Sumatra. Hal ini tentunya memberi keuntungan yang luar biasa bagi Lampung
karena hasil bumi yang melimpah tidak menutup kemungkinan bagi banyak industri yang tumbuh di
daerah pesisir panjang, Daerah Natar, Tanjung Bintang, Bandar Jaya dan lain-lain. Kekayaan alam
yang melimpah dan letak Lampung yang strategis ini tentunya membawa pengaruh yang cukup besar
bagi kehidupan masyarakat Lampung itu sendiri terutama yang berada di daerah pesisir. Karena
semakin banyak investasi yang ditanamkan di daerah pesisir seharusnya dapat memberi kesempatan
untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Namun pada kenyataannya kondisi
masyarakat pesisir sama sekali tidak tersentuh, mereka tetap menjadi nelayan miskin yang sangat
bergantung pada hasil tangkapan ikan di laut.
Kehidupan Sosial Masyarakat Pesisir Lampung
Secara umum sifat dan karakteristik masyarakat pesisir dipengaruhi oleh beberapa jenis kegiatan
seperti :
usaha perikanan tambak
usaha perikanan tangkap
usaha pengolahan hasil perikanan
Usaha-usaha perikanan sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim, dan
pasar. Struktur masyarakatnya pun masih sederhana dan belum banyak dimasuki oleh pihak luar
karena budaya, tatanan hidup, dan kegiatan masyarakatnya relatif homogen dan tiap individu merasa
punya kepentingan yang sama dan tanggung jawab dalam melaksanakan dan mengawasi hukum
yang sudah disepakati bersama.
Selain itu, kehidupan masyarakat pesisir juga menunjukkan gambaran tentang sebuah kehidupan
masyarakat yang relatif terbuka dan mudah menerima serta merespons perubahan yang terjadi. Hal
ini dapat dimaklumi mengingat kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat terbuka dan
memungkinkan bagi berlangsungnya proses interaksi sosial antara masyarakat dengan pendatang.
Seiring dengan perkembangan jaman, kehidupan masyarakat pesisir sekarang ini terlihat jelas
semakin renggangnya solidaritas dan jalinan ikatan sosial yang ada pada masyarakat pesisir,
sebaliknya yang tampak kemudian adalah menguatnya gaya hidup hedonis dan individualistis,
khususnya di kalangan generasi muda. Lemahnya ikatan solidaritas ini dapat dilihat dari berbagai
persoalan yang dihadapi oleh nelayan. Biasanya sangat jarang direspons secara bersama oleh
nelayan lainnya. Kalaupun ada solidaritas yang terbangun terbatas dalam satu kawasan yang sama.
Soldaritas sosial yang terbangun pada masyarakat pesisir tebatas pada hal-hal yang bersifat fungsi
dan peran, yang lain berarti bahwa solidarits yang muncul bukan berangkat dari kesadaran akan arti
penting solidaritas, tapi lebih dikarenakan fungsi dan perannya dalam sistem yang ada. Dengan tipe
solidaritas seperti ini, maka tampilan realitas sosial masyarakat pesisir sebenarnya mencirikan
masyarakat urban.
Kondisi tersebut mungkin tidak berlaku bagi masyarakat pesisir yang ada di Lampung, dimana rasa
solidaritas dan jalinan ikatan sosial di tempat ini masih cukup tinggi. Hal ini terlihat pada kehidupan
masyarakat pesisir yang ada di Teluk Kiluan, dimana di tempat tersebut terdapat berbagai macam
suku dan adat istiadat yang berbeda-beda. Ada orang Bali, Jawa, dan orang Lampung asli yang
tinggal di satu kawasan tanpa memandang perbedaan yang ada dan selalu hidup rukun serta
senantiasa saling tolong-menolong dalam hal apapun. Mereka juga saling menghormati dan
menghargai satu sama lain. Selain itu mereka juga saling bergotongroyong dalam menjaga dan
mengelola alam secara bijaksana agar terhindar dari kerusakan lingkungan. Semua itu mereka
lakukan dengan alasan karena adanya keterikatan hati untuk menjaga warisan leluhur dan
pemahaman akan pentingnya menjaga lingkungan.
Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pesisir Lampung
Kehidupan nelayan memang sangat rentan dalam hal ekonomi apalagi ketika mereka semata-mata
tergantung pada hasil penangkapan ikan dari laut. Ketika laut semakin sulit memberikan hasil yang
maksimal, maka hal ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan ekonomi pada masamasa selanjutnya. Meskipun dari kegiatan melaut adakalanya memberikan hasil yang melimpah,
namun tak jarang pula bahkan seringkali hasilnya hanya bisa menutupi kebutuhan satu hari saja.
Sementara untuk esok harinya diserahkan pada hasil tangkapan yang akan dilakukan, demikian
seterusnya.
Rendahnya kehidupan ekonomi nelayan ini tidak hanya ditandai oleh banyaknya benda atau materi
yang mereka miliki, tapi juga menyangkut masalah ketidakmampuan mereka mengelola masalah
keuangan keluarga. Kondisi rumah tangga nelayan biasanya diwarnai oleh pola dan gaya hidup yang
belum sepenuhnya berorientasi ke masa depan. Ada beberapa bentuk bantuan ekonomi yang
diberikan namun hal tersebut bukan memacu kepada kemandirian dan pemerataan, tapi akhirnya
bantuan tersebut hanya dapat dinikmati oleh sekelompok individu atau perorangan saja.
Berbagai bentuk bantuan dalam rangka peningkatan ekonomi nelayan tradisional baik yang diberikan
oleh pemerintah maupun LSM ternyata belum mampu menjawab persoalan yang sebenarnya.
Banyak bantuan yang akhirnya hanya mempaankan segelintir orang, yang pada akhirnya melahirkan
toke atau juragan baru di tengah-tengah komunitas nelayan. Bantuan yang diberikan pun cenderung
bersifat karitatif, tanpa diiringi oleh upaya membangun kesadaran pada komunitas nelayan itu sendiri.
Sehingga yang terjadi adalah bahwa bantuan yang diberikan ibarat memberikan ikan, bukan pancing.
Kehidupan sosial masyarakat pesisir Lampung terutama yang ada di Teluk Kiluan, kondisi seperti ini
juga terjadi. Kehidupan masyarakatnya cenderung sederhana dan bercukupan, dimana kepala
keluarga hanya memperoleh hasil pendapatan dengan bermatapencaharian sebagai nelayan. Untuk
sesekali bila ada wisatawan yang berkunjung mereka juga membantu dalam menyeberangkan
wisatawan. Bentuk rumah yang mereka tinggali juga masih sangat sederhana dan bersifat semi
permanen. Kapal atau perahu yang digunakan juga masih sederhana, mereka pun terkadang
menyampaikan bahwa sulitnya mengajukan bantuan dana dari pemerintah padahal untuk memenuhi
kebutuhan hidup sekarang ini sudah sangat mahal.
Kehidupan Kultural Masyarakat Pesisir Lampung
Kehidupan kultural yang mewarnai masyarakat pesisir hingga saat ini sangat erat kaitannya dengan
masalah nilai-nilai, sikap dan gaya hidup yang akrab dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kenyataannya ini sedemikian rupa sehingga dijalani setiap hari dan menjadi sebuah kebiasaan yang
akhirnya sulit untuk dirubah. Dan akhirnya menjadi sebuah kewajaran dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Salah satu budaya masyarakat nelayan adalah menyangkut gaya hidup. Gaya hidup ini yang
adakalanya mengidentifikasi gaya hidup masyarakat di perkotaan, namun tidak sepenuhnya. Hal ini
terutama tergambar dari kalangan generasi mudanya. Selain itu ada pula istilah biar rumah condong
asal gulai balomak. Gambaran ini memberi makna kurang lebih bahwa meskipun kondisi rumahmu
tumbang asalkan tetap makan enak. Ini merupaakn sebuah gambaran penilaian yang sering diberikan
oleh pihak luar. Gambaran lain tentang masyarakat nelayan adalah kecenderungan untuk hidup
boros. Penghasilan hari ini dihabiskan hari ini juga, sehingga akhirnya nelayan tetap berada dalam
keadaan yang tidak baik karena tidak pasti penghasilan yang mereka peroleh dan apakah hari ini
atau esok mereka akan memperoleh penghasilan atau tidak terkadang tidak begitu dipikirkan.
Kehidupan kultural seperti yang dijelaskan di atas, tidak begitu terlihat dalam kehidupan masyarakat
di Teluk Kiluan karena mereka berusaha untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anakanak mereka dengan berusaha menyekolahkan anak mereka setinggi mungkin dengan harapan bila
anaknya berhasil maka mereka dapat membangun Teluk Kiluan agar dapat berkembang menjadi
kawasan wisata yang terkenal dan disukai oleh banyka wisatawan seperti kawasan wisata yang ada
di Bali.
Masyarakat yang ada di Teluk Kiluan ini juga terdiri dari beberapa suku diantaranya orang Bali, Jawa,
dan Lampung. Meskipu demikian tiap suku saling menghormati dan menghargai budaya dan adat
istiadat yang mereka peroleh dari nenek moyang mereka, contohnya perkampungan Bali yang ada di
Teluk Kiluan yang masih memegang teguh adat istiadat dan budaya serta perilaku sama persis
seperti masyarakat Bali yang ada di Pulau Bali. Yang paling menakjubkan lagi adalah berdirinya pura
yang bersanding dengan masjid yang digunakan beribadah untuk orang Islam. Dengan demikian
terlihat jelasnya bahwa kehidupan masyarakat pesisir di Teluk Kiluan sangatlah memegang teguh
adat istiadat yang diperoleh dari nenek moyang mereka namun tetap menjaga keharmonisan dan
kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat