Anda di halaman 1dari 26

Kabuenga; tradisi leluhur masyarakat Wakatobi

Minggu, 14 September 2014 19:07 WIB | 8.174 Views


Pewarta: Agus

ilustrasi - Ritual Bangka Mbule-Mbule Puluhan warga mengangkat perahu berisi


dua boneka dan hasil bumi untuk dilarungkan di Pantai Wangi-Wangi, Wakatobi,
Sultra pada foto Agustus 2013 (ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto)

Wakatobi (ANTARA News) - Di masa lampau --di era belum ada


sarana komunikasi apa pun di Wakatobi--, masyarakat dalam
berinteraksi dengan sesama selalu menyampaikan informasi
secara langsung.
Dalam hal mempertemukan muda mudi untuk saling mengenal
dan menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka (muda
mudi-red), lembaga adat masyarakat setempat membuat
sebuah ritual yang diberi nama Kabuenga.
Dalam tatanan tradisi masyarakat Melayu di Jawa atau
Sumetera, Kabuenga artinya ayunan.
"Leluhur kami membuat tradisi Kabuenga sebagai sarana
mempertemukan anak-anak muda --laki-laki dan perempuan-yang sudah memasuki usia akil balik untuk saling mengenal,"
kata tokoh adat masyarakat Wakatobi, La Ode Usman Baga

(54).
Dia mengemukakan hal tersebut saat ritual Kabuenga pada
Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional di Wangiwangi, ibukota
Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara yang berakhir Jumat
(12/9).
Harapan leluhur dalam ritual Kabuenga ketika itu kata dia, di
antara mereka yang saling bertemu dalam ritual tersebut bisa
tumbuh benih-benih cinta dan dapat mengantarkan dua remaja
lain jenis ke jenjang pelaminan atau pernikahan.
Tradisi ritual Kabuenga yang dianggap mengandung nilai-nilai
sakral oleh masyarakat Wakatobi, di masa lampai digelar sekali
dalam setahun, yakni pada setiap usai merayakan Hari Raya
Idul Fitri.
Para tetua adat memilih perayaan hari Raya Idul Fitri sabagai
memonentun paling tepat menggelar tradisi Kabuenga karena
pada hari besar umat Islam itu, masyarakat Wakatobi yang
merantau di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di luar
negeri, pulang kampung atau mudik lebaran.
"Setelah ritual Kabuenga digelar, biasanya banyak anak-anak
muda yang terlibat dalam ritual tersebut segera
melangsungkan pelamaran, lalu dinikahkan," kata Usman.
Nilai sakral
Tradisi Kabuenga dianggap memiliki nilai sakral karena ritual
tersebut diawali dengan prosesi ritual doa oleh dua orang tetua
adat yang telah ditunjuk oleh lembaga adat.
Tetua adat pertama membacakan doa selamat, meminta
keberkahan ritual Kabuenga kepada sang khalik, Allah yang
mencitapkan alam semesta beserta isinya.
Sedangkan tetua adat kedua membacakan doa tolak balaa,
memohon kepada Allah agar menjauhkan masyarakat dari
segala marabahaya.
Usai prosesi pembacaan doa, tetua adat laki-laki dan tetua adat
perempuan kemudian mendudukkan dua muda mudi berlainan

jenis di atas Kabuenga atau ayunan lalu diayun beramai-ramai.


"Bisanya, setelah anak-anak muda didudukan di Kabuenga bisa
segera menemukan pasangan atau jodoh, lalu menikah," kata
Taufik.
Artis nasional Zaskiah Meca dan Hanung Bramantio ujarnya,
melangsungkan pernikahan hanya beberpa munggu setelah
mengikuti prosesi tradisi Kabuenga di Wakatobi.
Selain tradisi Kabuenga masyarakat Wakatobi juga menggelar
ritual Bangka Mbule-mbule.
Mbangka Mbule-mbule merupakan tradisi masyarakat Wakatobi
melarung sesajen di tengah laut yang diarak ratusan bahkan
ribuan perahu nelayan.
Dalam tatanan masyarakat Wakatobi, sesajen yang dilarung di
tengah laut tersebut sebagai permohonan kepada penguasa
alam laut agar melimpahkan rejeki para nelayan saat melaut.
Selain itu sesajen yang dilarung juga sebagai permohonan
kepada penguasa alam laut agar menjauhkan para nelayan dari
marabahaya gelombang laut perairan laut Wakatobi yang pada
kondisi tertentu sangat ganas.
"Dulu, nelayan Wakatobi menggelar ritual Mbangka Mbulembule sekali dalam setahun. Ritual ini meruparakan tradisi
masyarakat Wakatobi dari etnis Bajo," kata bupati Wakatobi,
Hugua.
Ritual tersebut kata dia, digelar pada setiap musim paceklik
ikan dan kondisi cuaca wilayah perairan laut Wakatobi sedang
tidak bersahabat dengan para nelayan.
"Wakatobi memiliki banyak budaya peninggalan leluhur yang
hingga saat ini masih tetap dipertahankan dan dilestarikan.
Bahkan dua warisan leluhur yang bukan benda, Kabanti dan
Tari Lariangi sudah ditetapkan sebagai wisaran budaya nasional
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," katanya

Tradisi lisan kabanti merupakan salah satu bentuk puisi yang


paling banyak berkembang dalam masyarakat Wakatobi.
Kabanti lahir dan berkembang secara turun temurun sebagai
salah satu kesenian dan juga sebagai bagian dari berbagai
aktivitas kehidupan masyarakat Wakatobi.

Kabanti ditulis dengan menggunakan aksara Arab, Arab Melayu


dan Aksara Walio dan menceritakan tentang tema-tema
tasawuf dan keagamaan. Salah satu contoh Kabanti yang
berjudul Bula Malino atau Purnama yang jernih:

Bismillahi kaasi karoku siy


Alhamdu padaakakumatemo
Kajanjinamo Oputa momakaana
Apekamate bari-baria batua

Yinda samia batua bemolagina


Sakabumbua padaa posamatemo
Soomo Opualagi samangengea
Sakiaiya yindaa kokapadaa

E Wapu dawuaku iymani


Wakutuuna kuboli badakusiy
Te syahada iqraru momatangka
Tetasidiqi iymani mototapu

E Waopu rangania rahmati


Muhammadi cahea baabaana
Oinciamo kainawa motopene
Mosuluwina bari-baria batua

Sio-siomo Waopu bekupokawa


Yi muhsyara toromuana batua
Aagoaku yi azabu narakaa
Yi huru-hara naile muri-murina

Siy saangu Nidzamuoni Wolio


Yi karangina Suluthani mo adili
Kukarangia betao paiasaku
Barasalana bekuose kaadari

Sio-siomo Opu atarimaaku


Bekuewangi yincaku momadakina
Kusarongia Kabanti yincia siy
Bula malino kapekarunana yinca

Kabanti ini terdiri dari 92 bait yang menceritakan tentang ajal


atau kematian yang akan segera datang pada diri seseorang.
Kabanti mengingatkan bahwa kematian itu ibarat purnama
yang jernih tanpa halangan sesuatu apapun bila kita ikhlas
berserah diri pada-Nya.

Fungsi Kabanti terdiri dari:


Sebagai hiburan
Alat untuk menyampaikan nasihat keagamaan
Sebagai ingatan kolektif masyarakat tentang suatu
peristiwa
Sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak dengan
bahasa-bahasa yang bernilai tinggi
Sebagai pennghalus budi, penghalus rasa
Sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke
generasi berikutnya
Sebagai pembangkit semangat
Sebagai alat untuk memelihara sejarah setempat
Sebagai alat protes sosial, yaitu memprotes ketidakadilan
di dalam masyarakat.

Peran Kabanti dalam masyarakat Wakatobi sebagai berikut,


yaitu:
Sebagai pengantar tidur
Sarana pengunngkapan perasaan muda-mudi (pobanti)
Bagian acara adat (Kadandio)
Penenang ornag sakit (ae-ae)
Nyanyian kerja

Sebagai pengantar tarian atau bagian dari tarian, misalnya


kabanti yang menjadi bagian dari performansi tari lariangi,
performansi tari pajoge, dan performansi tari kenta-kenta.

Sumber: Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya.


2013. Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.
Home Adat-Istiadat Mansaa, Adat dan Seni Bela Diri
Wakatobi
Tuesday, 6 October 2015 Adat-Istiadat
Mansaa, Adat dan Seni Bela Diri Wakatobi
Suku Dunia ~ Tak hanya terkenal dengan keindahan lautnya,
Wakatobi juga kaya dengan tradisi dan budaya. Salah satunya
adalah seni bela diri Mansaa (silat kampong). Mansaa
merupakan masih kental dilakoni masyarakat Wangi-Wangi,
Kaledupa, Tomia dan Binongko. Di Kaledupa, tradisi itu
diperagakan saat menyambut hari raya idul fitri, sementara
masyarakat Tomia umumnya menghelat tradisi ini setelah
Shalat Idul Adha. Namun, baik proses hingga pelaksanaannya
tak ada yang berbeda.

Ilustrasi Mansaa

Jika di Kaledupa atau di Tomia dilakukan pada saat


memperingati hari raya umat Islam, di pulau Wangi-Wangi
sendiri, Mansaa bisa dipentaskan sebagian masyarakat usai
acara-acara resmi. Baik usai shalat Id juga acara pernikahan,
sunatan masal atau bahkan dilakukan saat pesta rakyat.
Mansaa biasanya dilakukan sore hari. Mansaa memiliki gaya
silat yang unik. Bisa juga melibatkan kekuatan tenaga dalam.
Gaya silat atau Mansaa ini dari nenek moyang hingga generasi
kekinian masih tetap sama. Tetap terjaga dengan gaya bela diri
yang mengandalkan kaki dan tangan. Mansaa merupakan seni
bela diri yang popular di Wakatobi. Melahirkan jurus dan teknik
permainan yang bahkan berbeda dengan logika.
Mansaa boleh dikata hampir sama dengan tradisi Posepaa.
Bedanya, jika Posepaa dilakukan oleh dua kubu yang terdiri dari
puluhan orang, Mansaa justru dilakukan oleh sepasang anak
muda atau orang tua yang melakukan aksi silatnya yang
dikelilingi oleh ratusan penonton atau masyarakat. Mansaa
yang juga dinamai silat kampung dan dimainkan para pria
muda maupun anak-anak serta orang tua merupakan rangkaian
budaya yang dipelihara sejak dulu hingga sekarang. Budaya ini
masih kental di masyarakat setempat yang memiliki makna
dan tujuan yang sama. Kendati harus menggunakan kekuatan
fisik, namun budaya yang satu ini diyakini mampu memupuk
silaturahim antar sesama.
Dikenalkan Sejak Dini Kepada Anak-Anak
Mansaa merupakan seni bela diri yang melibatkan kekuatan
fisik, yakni tangan yang memukul dan kaki yang menendang.
Mungkin sebagian orang yang belum akrab dengan budaya ini
menganggap Mansaa sebagai ajang pukul memukul atau
tendang-menendang yang tidak pantas dipertontonkan di
khalayak ramai. Namun, masyarakat Wakatobi menilainya
berbeda. Permainan Mansaa bahkan disaksikan oleh anak-anak.
Sejak dini anak-anak maupun remaja di Kabupaten Wakatobi,
Sulawesi Tenggara dikenalkan dan diajarkan permainan yang
satu ini. Tujuannya untuk menjaga diri (beladiri) ketika

dihadang musuh, juga mempererat hubungan silaturahim


dengan sesamanya. Melibatkan anak-anak tentu punya resiko,
tapi jika dibarengi dengan nasehat dan wejangan, maka
mereka akan menilainya secara positif.
Selain itu, para pendahulu atau tokoh adat berharap Mansaa
maupun sejumlah tradsi lainnya bisa dijaga kelestariannya oleh
generasi saat ini. Bahkan dengan berkembangnya teknologi
bisa saja memudarkan sejarah dan budaya dari daerah
tersebut. Untuk itu, agar tetap awet di mata masyarakat,
Mansaa telah dikenalkan sejak dini kepada anak-anak. Budaya
dari berbagai daerah dimana pun tentu memiliki makna yang
baik. Begitu pula Mansaa ini. Keterlibatan anak-anak maupun
remaja punya nilai tersendiri. Mereka harus paham dengan
budaya yang dimiliki oleh daerahnya.
Mansaa Dihelat di Lapangan Terbuka
Tradisi Mansaa biasanya dihelat di tengah lapangan atau
tempat terbuka. Karena selain pemain silat yang butuh tempat
lapang, masyarakat cukup antusias untuk menyaksikan budaya
yang satu ini. Bahkan ratusan masyarakat selalu memadati
lapangan lalu membentuk lingkaran besar agar pemain Mansaa
leluasa memperagakan jurus-jurusnya. Mulai dari anak-anak,
remaja, orang dewasa hingga orang tua pun tak mau
ketinggalan menyaksikannya. Keterlibatan masyarakat ini
sebenarnya muncul dengan sendirinya. Bahkan tak ada
pemberitahuan secara resmi, biasanya sebelum acara dimlai
masyarakat sudah memadati arena permainan. Selain gong
dan gendang yang menjadi penyemangat para pemain silat,
ramainya penonton juga punya peran penting dalam
menyemangati pelakon dalam permainan yang mengandalkan
tangan dan kaki ini.
Kalau masyarakat yang nonton banyak, biasanya kita juga
gugup kalau kita ada di tengah-tengah mereka. Mereka penting
karena kadang kita semangat, tapi kalau kita sudah dijatuhkan

lawan maka siap-siap mental kita diuji dengan teriakan


masyarakat, ujar salah satu seorang pelakon Mansaa.
Permainan ini juga diiringi oleh musik gong dan gendang.
Permainan musik yang khas daerah seakan menyemangati
para pemain silat ini. Melibatkan para tetua (orang tua)
mengingat tingkat kerawanannya. Apalagi emosi yang sudah
memuncak sulit untuk dilerai sehingga para tetua yang menjadi
penengah. Jika terjadi hal yang tak diinginkan, yang merasa
dituakan akan selalu memberi wejangan bagi yang
bersangkutan agar tidak menyimpan dendam.

Sejarah Taman Nasional Wakatobi


Kondisi Fisik Kawasan :
1. Letak dan Luas
Kepulauan Wakatobi sejak tahun 2003 telah menjadi
Kabupaten sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton
Provinsi Sulawesi Tenggara. Taman Nasional Wakatobi
adalah kawasan konservasi perairan laut Berdasarkan
administratif pemerintahan, wilayah Wakatobi terdiri dari
67 desa/kelurahan dan 8 (delapan) kecamatan dan masuk
dalam wilayah Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi
Tenggara.
Luas kawasan TNW adalah 1.390.000 Ha, sama persis
atau overlap dengan luas dan letak wilayah Kabupaten
Wakatobi. Dari luasan tersebut sebanyak 97% merupakan
wilayah perairan/laut dan sisanya sebanyak 3%
merupakan wilayah daratan berupa pulau-pulau.
2. Iklim dan Musim
Iklim di Kepulauan Wakatobi menurut Schmidt-Fergusson
termasuk tipe C, dengan dua musim yaitu musim kemarau
(musim timur: April Agustus) dan musim hujan (musim
barat: September April). Suhu harian berkisar antara 19
340C.

3. Hidrologi
Secara umum kondisi hidrologi di pulau-pulau yang ada di
Kepulauan Wakatobi adalah bersumber dari air tanah,
yang berbentuk semacam goa (masyarakat Wakatobi
menyebutnya Topa) yang dipengaruhi pasang surut air
laut, sehingga rasanya tidak terlalu tawar. Semakin dekat
sumber air tersebut ke laut semakin payau rasa air
tersebut. Di seluruh pulau-pulau yang ada di kawasan
TNW semuanya tidak mempunyai sungai, sehingga air
hujan yang jatuh langsung diserap oleh tumbuhan dan
sebagian lagi mengalami aliran permukaan. Air hujan oleh
kebanyakan masyarakat Wakatobi ditampung dalam bak
penampungan sebagai cadangan air dalam musim
kemarau yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga
dan air minum.
4. Oseanografi
Perairan TNW tergolong masih bersih dan belum terlihat
adanya pengaruh kegiatan manusia seperti limbah rumah
tangga. Hal ini ditandai oleh tingginya dan homogennya
kadar oksigen terlarut (5,28 - 7,59 ppm), serta kadar nitrit
(< 1,00 - 4,20 ppb) yang selalu lebih rendah dibandingkan
dengan kadar nitrat (< 1,00 - 22,46 ppb). Suhu
permukaan laut (2 m) berkisar antara 27,26 28,730C.
Nilai salinitas pada permukaan (2 m) berkisar antara 34,15
- 34,34 psu. Kecerahan pada permukaan (2 m) di perairan
Wakatobi berkisar antara 70,8 86,1 %. Nilai kekeruhan
(turbiditas) sangat rendah yaitu < 1 NTU. Intensitas
matahari mampu menembus sampai kedalaman antara 55
meter hingga 122 meter. Kecepatan arus pada kedalaman
13 meter berkisar antara 25 43 meter/detik. (Laporan
CRITC-COREMAP LIPI, 2001)
5. Geologi
Terbentuknya kepulauan Wakatobi dimulai sejak jaman
Tersier hingga akhir jaman Miosen. Pembentukan pulaupulau di kawasan ini akibat adanya proses geologi berupa
sesar geser, sesar naik maupun sesar turun dan lipatan
yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya tektonik
yang berlangsung sejak jaman dulu hingga sekarang.
Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3
gosong dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri
dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef)

dan atol. Empat pulau utama di Wakatobi, yaitu Pulau


Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.
Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar
kepulauan Wakatobi berbeda dengan atol daerah lain. Atol
yang berada di kepulauan ini terbentuk oleh adanya
penenggelaman dari lempeng dasar. Terbentuknya atol dimulai
dari adanya kemunculan beberapa pulau yang kemudian diikuti
oleh pertumbuhan karang yang mengelilingi pulau. Terumbu
karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas
sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat
sekarang, antara lain Atol Kaledupa, Atol Kapota, dan Atol
Tomia.
Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat :
1. Ekonomi
Sebagian besar penduduk Wakatobi bermata pencaharian
dengan memanfaatkan sumberdaya alam laut yang ada di
perairan kawasan Taman Nasional Wakatobi sebagai
sumber pendapatan/mata pencahariannya yaitu sebagai
nelayan tradisional dan petani budidaya rumput laut.
Sisanya sebagai pedagang atau berlayar dengan jarak
berlayar bisa sampai ke Singapura atau Malaysia, selain
itu adalah sebagai petani sederhana yang hanya berkebun
singkong dan jagung karena kondisi tanah di seluruh
Pulau-pulau yang ada di Wakatobi adalah berupa
karang/berbatu. Tingkat pendapatan masyarakat masih
tergolong rendah, sehingga dapat dikatakan sebagai
kategori miskin.
2. Sosial
Penduduk Wakatobi terdiri dari berbagai macam etnis
yaitu etnis Wakatobi asli, Bugis, Buton, Jawa dan Bajau.
Namun kebudayaan etnis asli masih kuat dan belum
banyak mengalami akulturasi dan masing-masing etnis
hidup dengan teratur, rukun dan saling menghargai. Etnis
Bajau merupakan etnis yang sangat unik, karena
kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya laut,
mulai dari pemukiman yang berada di atas pesisir laut
dengan memanfaatakan batu karang untuk membangun
kawasan pemukimannya, sampai mata
pencahariaanyapun sanagat tergantung pada laut. Etnis

Bugis, Buton dan Jawa umumnya sebagai pedagang dan


petani dan hanya sebagian kecil sebagai nelayan.
Masyarakat Wakatobi seluruhnya menganut agama Islam.
Kondisi pendidikan masyarakat Wakatobi masih tergolong
rendah, hal ini bisa dilihat dari tingkat pendidikan
masyarakat yang rata-rata hanya tamatan SD dan SMP,
hanya sebagian kecil yang merupakan lulusan SLTA dan
Perguruan Tinggi. Sarana prasarana pendidikan juga
belum lengkap. Sarana prasarana pendidikan yang
tertinggi baru sampai SMU, dimana di setiap pulau telah
memiliki satu bangunan SMU.
Kondisi kesehatan masyarakat Wakatobi tergolong sudah
baik, hal ini dapat dilihat dari kehidupan keseharian dan
kondisi lingkungan yang ada di masyarakat Wakatobi yang
umunya dapat dikatakan bersih, dan pola pemukiman seta
kesehatan pemukiman sudah tertata dengan baik
walaupun jumlah sarana kesehatan masih rendah.
Masalah bidang kesehatan di Kabupaten Wakatobi untuk
sekarang ini adalah masih kurangnya jumlah petugas
kesehatan terutama dokter.
3. Budaya
Masyarakat asli Wakatobi terdiri dari 9 masyarakat
adat/lokal, yaitu masyarakat adat/lokal Wanci, masyarakat
adat/lokal Mandati, masyarakat adat/lokal Liya, dan
masyarakat adat/lokal Kapota di Pulau Wangi-Wangi dan
Kapota, masyarakat adat/lokal Kaledupa di P. Kaledupa,
masyarakat adat/lokal Waha, masyarakat adat/lokal
Tongano dan masyarakat adat/lokal Timu di P. Tomia, serta
masyarakat adat/lokal Mbeda-beda di P. Binongko. Selain
itu juga terdapat dua masyarakat adat/lokal yang
merupakan pendatang yaitu masyarakat adat Bajau dan
masyarakat adat Cia-cia yang berasal dari etnis Buton.
Setiap masyarakat adat/lokal tersebut memiliki bahasa
yang khas untuk adat/lokal masing-masing. Walaupun
bahasa yang digunakan berbeda-beda tetapi diantara
mereka tetap bisa saling memahami saat melakukan
komunikasi. Tarian khas masyarakat Wakatobi
diantaranya adalah Tari Lariangi (Kaledupa), Pajoge, Tari
Balumpa (Binongko), dll.

Berbeda dengan zaman sekarang yang serba instant ini dulu


nenek moyang kita untuk mencari pasangan hidup saja harus
melalui serangkaian prosesi upacara yang sakral dan khidmat
demi mendapat pasangan yang memang mumpuni dan dapat
bertahan lama. Salah satu contoh tradisi ajang pencarian jodoh
yang sangat menarik terdapat di kepulauan Wakatobi, Sulawesi
Tenggara.
Tradisi untuk mencari pasangan hidup di Wakatobi ini bernama
kabuenga. Tradisi yang memang rutin diselenggarakan di
kepulauan Wakatobi tiap tahunnya ini digelar di lapangan
terbuka dan diikuti oleh semua penduduk Wakatobi yang sudah
akil balig baik perempuan maupun laki-laki. Dalam tradisi ini
setiap laki-laki dan perempuan yang menyatakan berniat untuk
hidup bersama disandingkan pada semacam ayunan di tengahtengah lapangan terbuka agar semua orang dapat
menyaksikannya.
Proses runutnya tradisi kabuenga ini adalah pertama-tama
penduduk menyiapkan ayunan di tengah-tengah lapangan
terbuka sebagai media pertemuan laki-laki dan perempuan
yang akan mencari jodoh hingga diucapkannya ikrar untuk
hidup bersama. Dalam tradisi kabuenga ini, para wanita yang
akan mencari pasangan hidup berkumpul melingkari ayunan
dengan mengenakan pakaian adat Wakatobi dan membawa
makanan-makanan tradisional yang bermacam-macam dan
biasanya berwarna mencolok dan ditata sedemikian rupa
hingga terlihat menarik. Kemudian para wanita ini menarikan
sebuah tarian yang disebut tarian pajoge dengan iringan
gendang dan bunyi gong sebagai pembuka prosesi sakral ini.
Ketika tarian ini sedang dimainkan oleh para wanita tadi kaum
laki-laki dipersilahkan untuk memberikan uang kepada sang
wanita.

Makna filosofis dari tarian ini bercerita tentang adat kebiasaan


dari sebagian kaum laki-laki Wakatobi yang selalu menjadi
perantau di negeri orang. Dan ketika dalam perantauan inilah
berjanji bahwa bila pulang ke Wakatobi nanti akan menyisihkan
sebagian dari penghasilannya untuk diberikan kepada para
penari yang menyambut kepulangannya. Untuk mengiringi
prosesi kabuenga ini, para pemangku adat kemudian berjalan
mengelilingi ayunan kabuenga tadi sambil mengalunkan
kidung-kidung tradisional.
Setelah pemangku adat menyelesaikan alunan kidungnya
kemudian dilanjutkan oleh kaum wanita yang juga mengelilingi
ayunan tadi sebanyak 7 kali sambil juga mendendangkan lagulagu tradisional Wakatobi dengan membawa minuman ringan
yang pada nantinya akan diberikan kepada pria yang
dicintainya. Kaum perempuan yng berada dalam barisan ini
disebut sebagai kelompok kadandio.
Ketika menjalankan prosesi ini kaum wanita yang tergabung
dalam kelompok kadandio diharuskan untuk berperilaku sopan
santun kepada seorang laki-laki yang akan diberi minuman
persembahan tadi agar sang lelaki menjadi terkesan dan mau
menerima minuman pemberian sang wanita. Prosesi pemberian
minuman ini disebut sebagai adat pasombui.
Setelah kaum perempuan selesai kini giliran sang lelaki
melakukan hal yang sama yaitu mengelilingi ayunan sebanyak
7 kali. Tapi, berbeda dengan sang wanita yang membawa
minuman ringan maka para lelaki ini sambil melantunkan

pantun membawa semacam parcel yang berisi macam-macam


kebutuhan sehari-hari dari mulai makanan hingga pakaian.
Yang menarik dari prosesi ini adalah setelah sang lelaki
menyerahkan barang-barang yang dibawanya kepada sang
perempuan, dilanjutkan dengan berbalas pantun. Dalam
berbalas pantun ini pantun-pantun yang dilantunkan oleh
kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) berisi tentang
ungkapan-ungkapan cinta kepada pasangannya hingga
kemudian keduanya berikrar untuk hidup bersama sehidup
semati.
Setelah keduanya berikrar maka keduanya pun diantar oleh
pemangku adat menuju ayunan kabuenga. Setiap pasangan
yang duduk di atas ayunan itu kemudian diayun oleh sang
pemangku adat tadi sambil dinyanyikan irama syair dan
pantun.
Dan setelah melewati prosesi ini setiap pasangan selanjutnya
berpisah dan kembali pulang ke rumah masing-masing sambil
menunggu pembicaraan antar kedua keluarga untuk kemudian
menuju pelaminan.

Tradisi Duata dan Keberlangsungan Kehidupan Suku Bajo Di Wakatobi


Oleh: Sumiman Udu

Keberadaan Orang Bajo di

Wakatobi, sudah hampir tuanya dengan perkembangan manusia di Kawasan ini.


Kalau merujuk kepada Hikayat Negeri Buton atau Hikayat Si Panjonga, maka
Suku Bajo telah menjadi orang tempat bertanyanya orang-orang perahu yang
memuat rombongan Si Panjongan setelah mereka ditimpa oleh angin ribut yang
dasyat. Berdasarkan cerita tersebut, maka sebenanya orang bajo, sudah datang
jauh sebelum kedatangan orang-orang Melayu di Kepulauan Wakatobi dan Buton
pada Umumnya. Mereka telah menjadi penunjuk jalan atas kapal Si Panjongan
dan teman-temannya.

Peristiwa itu, dapat dijadikan rujukan keberadaan mereka di Wakatobi Buton


pada umumnya. Kalau melihat tentang keberadaan masyarakat Bajo di dalam
Kesultanan Buton, maka mereka sesungguhnya adalah salah satu masyarakat
Buton yang diakui keberadaanya. Di Beteng Buton, dikenal adanya Lawana Wajo.
Itu artinya, bahwa suku Bajo memiliki juga ruang di dalam kesultanan.

Sebagai masyarakat laut, masyarakat yang akrab dengan laut, mereka pada
awalnya telah hadir lebih dulu di kepulauan ini, sehingga mereka tidak pernah
bersentuhan dengan daratan, atau mungkin pada awalnya mereka tidak tertarik
dengan tanah (ruang). Ruang mereka adalah lautan dan samudra, yang dapat
dilayari dengan sampan (rumah Bajo) yang ada di sampan. Seks, cinta,
kematian, ritual, semuanya dilakukan di dalam sampan. Itu, menjadi warna
kehidupan mereka selama berabad-abad, khsususnya masyarakat bajo yang ada
di Wakatobi.
Sebagai masyarakat yang memiliki kepercayaan, dekat dengan laut, hidup dari
laut, serta mati di laut, masyarakat Bajo memiliki tradisi Duata yang dilakukan
untuk pengobatan, dan yang paling penting adalah untuk menghargai laut,
menghargai nilai-nilai kemusiaan dan lingkungan. Dari beberapa blog orang bajo,
ditemukan satu penjelasan mengenai tradisi duata. Salah satunya adalah Blog

http://suarakomunitas.net/baca/17394/duata--prosesi-pengobatan-dari-suku-bajo/
menuliskan bahwa secara etimologi, kata duata artinya dewata.

Dalam keyakinan mereka (masyarakat Bajo), Duata adalah dewa yang turun dari
langit dan menjelma menjadi manusia. Tradisi Duata adalah puncak dari segala
upaya pengobatan tradisional Suku Bajo untuk mengobati orang yang sakit keras
dan tidak dapat disembuhkan dengan cara lain, termasuk pengobatan medis.

Dalam prosesi Duata itu, sejumlah tetua adat berkumpul di satu ruang
pengobatan berukuran sekitar 2 meter persegi. Ada hiasan janur kuning di
bagian atas. Ada pula Ula-Ula, bendera yang merupakan lambang kebesaran
Suku Bajo yang diyakini membawa berkah. Tetua adat yang didominasi
perempuan lanjut usia itu meramu berbagai jenis sesaji ritual. Ada beras warnawarni yang dibentuk melingkar di atas daun pisang. Ini melambangkan warnawarni sifat manusia. Ada pula pembakaran dupa yang mengharumkan sekitar
pelaksanan kegiatan

Setelah semuanya teracik sebagai mana kebiasaan sebelumnya, orang yang


akan diobati digiring menuju laut. Sepanjang perjalanan lagu Lilligo tak pernah
putus dinyanyikan. Demikian dengan tabuhan gendang. Di barisan terdepan, ada
delapan orang gadis cantik berpakaian adat yang tak hentinya-hentinya
menarikan tarian Ngigal. Di atas perahu semua peserta juga ada yang menari
Ngigal untuk menyemangati orang yang diobati agar menemukan semangat
hidupnya lagi.
Menurut cerita, prosesi ini dilakukan untuk memberi makan saudara kembar si
sakit yang berada di laut. Masyarakat Bajo percaya setiap kelahiran anak pasti
bersama kembarannya yang langsung hidup di laut. Jika salah satu diantara
mereka menderita sakit keras, dipercaya bahwa sebagian semangat hidup orang
itu telah diambil oleh saudara kembarnya yang disebut kaka dan dibawa ke
laut. Sebagian lagi diambil oleh dewa dan dibawa naik di langit ke tujuh.
Sehingga prosesi ini dilakukan untuk meminta kembali semangat hidup yang
dibawa ke laut dan ke langit.

Usai pelarungan, si sakit dan tetua adat kembali di tempat semula. Orang yang
sakit akan kembali melalui beberapa prosesi pengobatan seperti mandi dengan
bunga pinang (mayah) yang berguna untuk membersihkan penyakit yang ada
dalam tubuhnya dan mengusir roh jahat yang menyebabkan sakit. Tetua adat
juga akan mengikatkan benang di lengan si sakit sebagai obat. Konon benang ini
berasal dari langit ke tujuh yang dibawa turun oleh 7 bidadari sebagai obat bagi
si sakit. Dari benang yang tersimpan dalam cangkir, tetua adat dapat
mengetahui apakah yang sakit ini masih dapat sembut atau tidak.

Untuk menguji kesembuhannya, salah satu tetua adat akan menancapkan keris
tepat di atas ubun-ubun orang yang sedang dalam pengobatan. Selanjutnya
tetua adat yang membawa keris terhunus mengitari si orang sakit itu beberapa
kali. Ini dilakukan untuk menguji mental orang yang dalam pengobatan.
Pengujian kesembuhan ini juga dilakukan dengan cara mengadu dua ekor ayam
jantan. Jika ayam si sakit menang maka itu berarti si sakit telah sembuh.
Selanjutnya si sakit akan menghambur-hamburkan beras sebagai wujud
kegembiraan karena telah terbebas dari penyakit yang dideritanya. Sementara
keluarga dan sanak saudara bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si
sakit.

Prosesi itu, sebenarnya bukan hanya bentuk pengobatan tradisional Orang Bajo,
tetapi sekaligus kesadaran kolektif mereka tentang laut, tentang rumah mereka.
Sehingga jika kita memikirkan tentang Keberlangsungan kehidupan Suku Laut di
Wakatobi dan dunia Internasional, maka diperlukan langkah-langkah strategis
yang diambil oleh Pemerintah, Masyarakat, akademisi, Univeritas, harus melihat
suku Bajo sebagai salah satu entitas kebudayaan yang ada di Indonesia.

Kalau dalam Seminar Bajo Internasional yang dilaksanakan di Massara dan


Wakatobi tanggal 20-23 Oktober 2015 ini dipertanyakan kehadiran negara dalam
pembangunan masyarakat Bajo, maka sesungguhnya negara sudah kurang lebih
sepuluh tahun terakhir ini hadir di Bajo, khsususnya pada masyarakat Bajo
Wakatobi. Tetapi pertanyaan kemudian yang akan muncul adalah mengapa
orang Bajo seolah mereka tetap tidak berdaya, seolah negara selalu absen?
Jawaban sederhananya adalah sebenarnya yang terjadi selama ini adalah, uang
sudah milyaran yang diarahkan untuk pembangunan masyarakat Bajo di
Wakatobi, tetapi mengapa masih tetap dianggap absen, karena itu persoalan
paradigma pembangunan yang menganggap bahwa Orang Bajo itu sebagai
Objek. Mereka hanya dijadikan sebagai target pelatihan, target pemeberdayaan,
mereka hanya dilihat sebagai suatu masyarakat yang miskin finansial,

masyarakat yang tidak berdaya secara ekonomi. Tetapi sesungguhnya yang


terjadi di Wakatobi dan masyarakat Bajo pada khususnya adalah, dari tiga modal
pembangunan yaitu (1) modal kultural, (2) modal sosial, dan (3) modal finansial,
maka sentuhan untuk masyarakat Bajo selama ini baru pada tataran sentuhan
modal Finansial. Aspek modal kutural dan modal sosial belum maksimal di
lakukan intervensi, sehingga pada tahun 2013 yang lalu, ketika selesai
kelompok-kelompok nelayan itu menemukan sendiri, apa masalah mereka
sendiri melalui proses perenungan dan refleksi kelompok, maka mereka
menemukan beberapa hal yang penting untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah
Kabupaten Wakatobi, Provinsi dan Jakarta, yaitu mereka menemukan bahwa
masalah yang membuat mereka tidak berdaya adalah (1) memudarnya nilai-nilai
budaya yang berhubungan dengan kesucian, tanggung jawab, kebersamaan,
solidaritas, kejujuran, (2) akibat dari memudarnya nilai-nilai kultural tersebut,
maka berimplikasi pada modal sosial mereka yaitu (1) kerja sama menjadi
sesuatu yang sulit dilakukan karena saling mengkhianati, sering kali
menggerogoti kelompok-kelompok yang ada di sana, (2) Saling tidak percaya
atau saling curiga menjadi jurus andalan setiap anggota kelompok.ampak dari
hilangnya dua modal tersebut, berimplikasi pada gagalnya pembangunan yang
bertumpu pada modal finansial, bantuan langsung tunai, bantuan kelompok,
berupa jaring, (termasuk pada masyarakat wakatobi di darat) kasus ini menjadi
tidak berjalan. Masyarakat justru senang negara hadir dalam bentuk uang tunai,
lalu hari ini kita pertanyakan peran negara bahwa negara absen?
Setelah selesai pelatihan, mereka menyadari bahwa kelemahan setiap kelompok
adalah (1) tidak adannya saling kepercayaan, (2) tidak adanya pembagian kerja
yang adil, (3) tidak adanya pembagian hasil yang adil.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah lewat mana negara bisa hadir di dalam
masyarakat (bajo) dan masyarakat Indonesia pada umumnya? Jawaban
sederhananya adalah saya teringat pada jawaban salah seorang Doktor Bidang
Antropologi UGM dalam ujian terbuka, ketika waktu itu ditanya oleh seorang
penguji, "Seandainya anda ditelopon oleh Presiden Jokowidodo tentang
bagaimana strategi pembangunan Papua di massa yang akan datang?" tanya
penguji. Lalu sang Doktor baru yang menulis tentang orang Papua dalam
kapitalisasi Global itu menjawab, bahwa "Andaikan aku dimintai saran oleh
Prseiden, maka saran saya adalah untuk membangun masyarakat Papua, maka
kita harus mengenal masyarakat Papua lebih dekat, oleh karena itu, saya akan
sarankan prseiden agar ia menugaskan para Ahli Antrolopog untuk datang
membangun Papua, sehingga yang berubah adalah Bagaiamana memahami cara
berpikir orang Papua, bagaimana membangun sebuah nilai-nilai pada
masyarakat Papua".
Dalam kasus, Bajo pada umumnya, akan sama dengan absenya negara pada
hampir semua suku-suku bangsa di Indonesia. Mengapa? sesungguhnya negara
tidak pernah absen, termasuk dalam pembangunan Bajo di Wakatobi, Negara
hadir Kok, melalui Kabupaten Negara Hadir, Melalui Bantun langung tunia (BLT)
negara hadir, andaikan negara ini seperti anak SD, maka teriakannya
kehadirannya mungkin seperti sangkakala yang ditiup oleh Malaikat. Tetapi

mengapa negara masih dianggap gagal, ya, karena paradigmanya yang perlu
diperketat lagi. Para teknokrat, sudah saatnya menggunakan hasil-hasil kerja
pada antrolog untuk dijadikan dasar dalam pembangunan modal kultrural dan
modal sosial dalam suatu kawasan. Selama ini terbalik, dua modal pembangunan
itu belum disentuh, eh justru modal finansial yang terus menerus diturunkan.
Negara akhirnya gagal dalam mambangun masyarakat, tetapi justru negara
sukses menciptakan masyarakat konsumtif dan ketergantungan pada bantuan.
Akibatnya negara menanggung utang, yang kelak akan dibebankan pada
generasi mendatang. Universitas, juga masih dianggap gagal, keterpisahan
penelitian dan pengabdian yang dilakukan hanya dalam kepentingan laporan
turut juga menyumbangkan kegagalan negara sebagai keabsenannya di dalam
pembangunan masyarakat, termasuk masyarakat Bajo.

Sebagai contoh, beberapa generasi Bajo yang suskes sampai di perguruan


Tinggi, (s1, s2, dan s3) banyak yang sukses dan bahkan mereka lebih sukses dari
orang darat. Maka ternyata masalah utama dalam diskusi tentang
keberlangsungan hidup orang Bajo itu akan sama dengan jawaban ketika kami di
Wangi-Wangi Timur (Longa, Mata hora) yang memiliki nama panggilan yang hina
seperti "Pandola Longa, "Wembe Goro-goro mina di longa". Kehinaan itu,
membuat kami generasi mudanya bertemu pada tahun 2002 yang lalu. Di dalam
pertemuan itu, isunya hanya dua, (1) mengapa kita terhina dengan dua hinaan
itu dari masyarakat Togo (kota)? (2) Mengapa orang Tua kita tidaak berdaya?
maka seluruh generasi Longa Waktu itu berpikir dan setiap orang menuliskan
jawaban atas pertaanyaan yang menyangkut harga diri orang longa sebagai
Wembe Goro-goro atau Kambing berbulu (bau dan Busuk) segitu kira-kira
perasaan mereka yang terhina dan tek berdaya waktu itu. Atau pandola longa
(terung dari longa) yang ditafsir sebagai hinaan oleh generasi longa adalah
sayur, lembek dan murah, tak bernilai.
kemarahan generasi muda Longa itu diskperesikan ke dalam bentuk kata,
mengapa kita terhina dan miskin. Semua generasi muda yang hadir, harus maju
ke papan untuk menulis menurut sudut pandang mereka. Full papan itu, lalu
pertnyaan pertama setelah mereka semua diam adalah "Coba cari masalah yang
dengan terhapusnya masalah itu, semuanya masalah akan memudar, dan

keterhinaan akan kita sulap menjadi kebanggaan' semua terdiam dan berdiri
seorang pemuda dan menghapus, masalah yang tidak penting. Lalu seorang
gadis datang menunjuk satu kata "Kebodohan", semua mata tertuju pada kata
itu. Lalu semua sepakat, kajian apapun, kata kunci utamanya adalah kita harus
menghapuskan kebodohan dari Wangi-Wangi Timur.
Maka sejak saaat itu, terucaplah Ikrar "Wangi-wangi Timur baru berbasis SDM",
dimana semua generasi muda Wangi-Wangi Timur Baru harus saling membantu
dalam membangun SDM. Maka kemduian disosialisasikan, kemasyarakat.
Terbangunlah SD, SMP dan SMK di Wangi-Wangi Timur yaitu (SMP Waopu jenggo,
(SMK Unggulan Wakatobi, dan SD Topanuanda) semuanya dibangun atas
Swadaya masyarakat. Berbentu yayasan Wakaf yang merupakan milik semua
masyarakat Wangi-Wangi Timur Baru.
Dalam jangka 12 tahun lebih, hinaan masih tetap ada, tetapi Wangi-Wangi Timur
Baru menghasilkan Puluhan Sarjana, Beberapa Orang Master dan Beberapa
orang Doktor, dengan target bahwa tidak boleh lagi ada generasi Wangi-Wangi
timur Baru yang tidak tamat SMA atau SMK. Semua orang tua komitemen
mencari uang, untuk menyekolahkan anak-anak mereka, karena hanya dengan
Pendidikan yang dapat menghapus Hinaan Wembe Goro-goro dan Pandola Longa
itu dari Bumi Wangi-Wangi Timur, selama berabad-abad terhina dan miskin.
Padahal pada tahun 2001, seorang kerabat dari Raha datang ke Wangi-Wangi
Timur untuk mencari tamatan SMA yang mau bekerja di PT POS, kami tidak
dapatkan satu orang pun yang berijazah SMA atau sederajat. Mengapa karena
sekolah jauh, mereka memilih untuk menjadi ABK kapal ikan di Malaysia.
Bagaimana dengan Bajo, apakah bisa mengambil terobosan kebudayaan yang
dibangun di Wangi-Wangi Timur Baru? Walaahu alam. Di sini pemerintah harus
hadir, karena berdasarkan hasil wawacanra dengan beberapa pemuda Bajo yang
ada dalam Bajo bangkit, sesungguhnyan mereka juga ingin sekolah. "Kami juga
ingin sekolah seperti Presiden Bajo, tetapi kami tidak punya uang. Di sini Negara
akan berterik seperti Guntur dan kilat di langit Wakatobi "Hadirrrrrrrrrrr Pak, kami
siapkan Beasiswa untuk generasi Bajo. Kami Juga akan memberikan dana
Penelitian Sosial dan Antropologi untuk membedah masalah Kultural dan Sosial
di bajo, kami juga akan siap memberikan dana pendampingan yang akan dikelola
secara berkelanjutan. Saat itu negara tidak akan pernah absen lagi. Atau Kalau
meminjam istilahnya Lucian Goldmman "The Hiddeng God" atau dalam kasusu
Bajo atau masyarakat tertinggal pemerintah selalu dituduh bersembunyi atau
dalam seminar Bajo seorang antrolog Unhas Tasrifin Tahara Menggunakan
hilangnya peran pemerintah dalam pembangunan masyarakat Bajo di
Wakatobi.Lalu, bagaimana negara harus hadir? Negara harus hadir dengan
mengubah sudut pandangnya terhadap masyarakat termasuk masyarakat Bajo.
Pertama, negara sudah saatnya untuk melakukan konsep pembanguan bekerja
sama dengan univeristas untuk melakukan pendampingan, dan penguataan
kelembagaan. Orang Bajo sudah saatnya diberikan beasiswa hingga keperguruan
tinggi, kelompok-kelompok nelayan, petani (didarat) pengrajin sudah saatnya
mendapatkan pendampingan dari birokrasi dan perguruan tinggi. Sehingga

mereka tetap memiliki jalur dalam proses penguatan kelembagaan dan paling
penting adalah sudah harus diarahkan kepada pembangunan Sumber Daya
Manusia (SDM)nya.
Mungkin, kita bisa belajar dari bagaimana pembangunan Kelembagaan Jagung di
Lampung, di Gorontalo, atau kita belajar bagaimana pembangunan Koperasi di
Banglades, saya kira inti dari pembangunan mereka adalah membanguan
kelembagaan dan menghadirkan modal kultural dan modal sosial sebagai
landasan pembangunan kelembagaannya.
Dalam konteks Masyarakat Bajo Wakatobi, bagaimana kelangsungan hidup
mereka? pertanyaan yang bagus, di dalam Seminar internasional itu. Maka
jawabannya adalah kehadiran negara dengan mambaw paradigma baru,
pembanguan berbasis kultural dan sosial, yang akan menjadi landasan
pembagunan ekonomi (finansial). Dengan menghidupkan kembali tradisi Duata,
orang bajo akan memahami laut, memahami hakikat dirinya, memahami konteks
sosialnya, sehingga akhirnya mereka dapat hidup dalam suatu kelompok yang
memiliki mimpi bersama, memiliki cara pandang yang sama tentang laut.

Walahu alam, semoga dapat menjadi bahan Diskusi untuk menemukan model
Pembangunan Masyarakat Bajo ke depan

KEHIDUPAN MASYARAKAT
PESISIR LAMPUNG
May 9, 2011
Provinsi Lampung merupakan sebuah provinsi yang berada di paling selatan dari Pulau Sumatera
dengan luas sebesar 35.376,50 km dan terletak diantara 10545-10348 BT dan 345-645 LS.
Bagian barat Provinsi Lampung berbatasan dengan Selat Sunda dan di sebelah timur dengan Laut
Jawa. Beberapa pulau termasuk dalam wilayah Provinsi Lampung, yang sebagian besar terletak di
Teluk Lampung, di antaranya: Pulau Darot, Pulau Legundi, Pulau Tegal, Pulau Sebuku, Pulau
Ketagian, Pulau Sebesi, Pulau Poahawang, Pulau Krakatau, Pulau Putus dan Pulau Tabuan. Ada
juga Pulau Tampang dan Pulau Pisang di yang masuk ke wilayah Kabupaten Lampung Barat.
Keadaan alam Lampung, di sebelah barat dan selatan, di sepanjang pantai merupakan daerah yang
berbukit-bukit sebagai sambungan dari jalur Bukit Barisan di Pulau Sumatera. Di tengah-tengah
merupakan dataran rendah. Sedangkan ke dekat pantai di sebelah timur, di sepanjang tepi Laut Jawa
terus ke utara, merupakan perairan yang luas.Karena keadaan alam Lampung yang beragam maka
pengembangan wilayahnya difokuskan pada pengembangan lahan bagi perkebunan besar dan
pengembangan daerah pesisir untuk pariwisata dan komoditas perikanan. Jenis perkebunan yang
dikembangkan di Lampung terdiri kelapa sawit, karet, padi, singkong, kakao, lada hitam, kopi, jagung,
tebu, dan lain-lain. Sedangkan untuk komoditas perikanan seperti tambak udang telah mencapai
tingkat nasional dan internasional.

Lampung juga dikenal sebagai kota pelabuhan dimana Lampung merupakan pintu gerbang untuk
masuk ke Pulau Sumatra. Hal ini tentunya memberi keuntungan yang luar biasa bagi Lampung
karena hasil bumi yang melimpah tidak menutup kemungkinan bagi banyak industri yang tumbuh di
daerah pesisir panjang, Daerah Natar, Tanjung Bintang, Bandar Jaya dan lain-lain. Kekayaan alam
yang melimpah dan letak Lampung yang strategis ini tentunya membawa pengaruh yang cukup besar
bagi kehidupan masyarakat Lampung itu sendiri terutama yang berada di daerah pesisir. Karena
semakin banyak investasi yang ditanamkan di daerah pesisir seharusnya dapat memberi kesempatan
untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Namun pada kenyataannya kondisi
masyarakat pesisir sama sekali tidak tersentuh, mereka tetap menjadi nelayan miskin yang sangat
bergantung pada hasil tangkapan ikan di laut.
Kehidupan Sosial Masyarakat Pesisir Lampung
Secara umum sifat dan karakteristik masyarakat pesisir dipengaruhi oleh beberapa jenis kegiatan
seperti :
usaha perikanan tambak
usaha perikanan tangkap
usaha pengolahan hasil perikanan
Usaha-usaha perikanan sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim, dan
pasar. Struktur masyarakatnya pun masih sederhana dan belum banyak dimasuki oleh pihak luar
karena budaya, tatanan hidup, dan kegiatan masyarakatnya relatif homogen dan tiap individu merasa
punya kepentingan yang sama dan tanggung jawab dalam melaksanakan dan mengawasi hukum
yang sudah disepakati bersama.
Selain itu, kehidupan masyarakat pesisir juga menunjukkan gambaran tentang sebuah kehidupan
masyarakat yang relatif terbuka dan mudah menerima serta merespons perubahan yang terjadi. Hal
ini dapat dimaklumi mengingat kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat terbuka dan
memungkinkan bagi berlangsungnya proses interaksi sosial antara masyarakat dengan pendatang.
Seiring dengan perkembangan jaman, kehidupan masyarakat pesisir sekarang ini terlihat jelas
semakin renggangnya solidaritas dan jalinan ikatan sosial yang ada pada masyarakat pesisir,
sebaliknya yang tampak kemudian adalah menguatnya gaya hidup hedonis dan individualistis,
khususnya di kalangan generasi muda. Lemahnya ikatan solidaritas ini dapat dilihat dari berbagai
persoalan yang dihadapi oleh nelayan. Biasanya sangat jarang direspons secara bersama oleh
nelayan lainnya. Kalaupun ada solidaritas yang terbangun terbatas dalam satu kawasan yang sama.
Soldaritas sosial yang terbangun pada masyarakat pesisir tebatas pada hal-hal yang bersifat fungsi
dan peran, yang lain berarti bahwa solidarits yang muncul bukan berangkat dari kesadaran akan arti
penting solidaritas, tapi lebih dikarenakan fungsi dan perannya dalam sistem yang ada. Dengan tipe
solidaritas seperti ini, maka tampilan realitas sosial masyarakat pesisir sebenarnya mencirikan
masyarakat urban.
Kondisi tersebut mungkin tidak berlaku bagi masyarakat pesisir yang ada di Lampung, dimana rasa
solidaritas dan jalinan ikatan sosial di tempat ini masih cukup tinggi. Hal ini terlihat pada kehidupan
masyarakat pesisir yang ada di Teluk Kiluan, dimana di tempat tersebut terdapat berbagai macam
suku dan adat istiadat yang berbeda-beda. Ada orang Bali, Jawa, dan orang Lampung asli yang
tinggal di satu kawasan tanpa memandang perbedaan yang ada dan selalu hidup rukun serta
senantiasa saling tolong-menolong dalam hal apapun. Mereka juga saling menghormati dan
menghargai satu sama lain. Selain itu mereka juga saling bergotongroyong dalam menjaga dan
mengelola alam secara bijaksana agar terhindar dari kerusakan lingkungan. Semua itu mereka
lakukan dengan alasan karena adanya keterikatan hati untuk menjaga warisan leluhur dan
pemahaman akan pentingnya menjaga lingkungan.
Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pesisir Lampung

Kehidupan nelayan memang sangat rentan dalam hal ekonomi apalagi ketika mereka semata-mata
tergantung pada hasil penangkapan ikan dari laut. Ketika laut semakin sulit memberikan hasil yang
maksimal, maka hal ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan ekonomi pada masamasa selanjutnya. Meskipun dari kegiatan melaut adakalanya memberikan hasil yang melimpah,
namun tak jarang pula bahkan seringkali hasilnya hanya bisa menutupi kebutuhan satu hari saja.
Sementara untuk esok harinya diserahkan pada hasil tangkapan yang akan dilakukan, demikian
seterusnya.
Rendahnya kehidupan ekonomi nelayan ini tidak hanya ditandai oleh banyaknya benda atau materi
yang mereka miliki, tapi juga menyangkut masalah ketidakmampuan mereka mengelola masalah
keuangan keluarga. Kondisi rumah tangga nelayan biasanya diwarnai oleh pola dan gaya hidup yang
belum sepenuhnya berorientasi ke masa depan. Ada beberapa bentuk bantuan ekonomi yang
diberikan namun hal tersebut bukan memacu kepada kemandirian dan pemerataan, tapi akhirnya
bantuan tersebut hanya dapat dinikmati oleh sekelompok individu atau perorangan saja.
Berbagai bentuk bantuan dalam rangka peningkatan ekonomi nelayan tradisional baik yang diberikan
oleh pemerintah maupun LSM ternyata belum mampu menjawab persoalan yang sebenarnya.
Banyak bantuan yang akhirnya hanya mempaankan segelintir orang, yang pada akhirnya melahirkan
toke atau juragan baru di tengah-tengah komunitas nelayan. Bantuan yang diberikan pun cenderung
bersifat karitatif, tanpa diiringi oleh upaya membangun kesadaran pada komunitas nelayan itu sendiri.
Sehingga yang terjadi adalah bahwa bantuan yang diberikan ibarat memberikan ikan, bukan pancing.
Kehidupan sosial masyarakat pesisir Lampung terutama yang ada di Teluk Kiluan, kondisi seperti ini
juga terjadi. Kehidupan masyarakatnya cenderung sederhana dan bercukupan, dimana kepala
keluarga hanya memperoleh hasil pendapatan dengan bermatapencaharian sebagai nelayan. Untuk
sesekali bila ada wisatawan yang berkunjung mereka juga membantu dalam menyeberangkan
wisatawan. Bentuk rumah yang mereka tinggali juga masih sangat sederhana dan bersifat semi
permanen. Kapal atau perahu yang digunakan juga masih sederhana, mereka pun terkadang
menyampaikan bahwa sulitnya mengajukan bantuan dana dari pemerintah padahal untuk memenuhi
kebutuhan hidup sekarang ini sudah sangat mahal.
Kehidupan Kultural Masyarakat Pesisir Lampung
Kehidupan kultural yang mewarnai masyarakat pesisir hingga saat ini sangat erat kaitannya dengan
masalah nilai-nilai, sikap dan gaya hidup yang akrab dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kenyataannya ini sedemikian rupa sehingga dijalani setiap hari dan menjadi sebuah kebiasaan yang
akhirnya sulit untuk dirubah. Dan akhirnya menjadi sebuah kewajaran dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Salah satu budaya masyarakat nelayan adalah menyangkut gaya hidup. Gaya hidup ini yang
adakalanya mengidentifikasi gaya hidup masyarakat di perkotaan, namun tidak sepenuhnya. Hal ini
terutama tergambar dari kalangan generasi mudanya. Selain itu ada pula istilah biar rumah condong
asal gulai balomak. Gambaran ini memberi makna kurang lebih bahwa meskipun kondisi rumahmu
tumbang asalkan tetap makan enak. Ini merupaakn sebuah gambaran penilaian yang sering diberikan
oleh pihak luar. Gambaran lain tentang masyarakat nelayan adalah kecenderungan untuk hidup
boros. Penghasilan hari ini dihabiskan hari ini juga, sehingga akhirnya nelayan tetap berada dalam
keadaan yang tidak baik karena tidak pasti penghasilan yang mereka peroleh dan apakah hari ini
atau esok mereka akan memperoleh penghasilan atau tidak terkadang tidak begitu dipikirkan.
Kehidupan kultural seperti yang dijelaskan di atas, tidak begitu terlihat dalam kehidupan masyarakat
di Teluk Kiluan karena mereka berusaha untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anakanak mereka dengan berusaha menyekolahkan anak mereka setinggi mungkin dengan harapan bila
anaknya berhasil maka mereka dapat membangun Teluk Kiluan agar dapat berkembang menjadi
kawasan wisata yang terkenal dan disukai oleh banyka wisatawan seperti kawasan wisata yang ada
di Bali.
Masyarakat yang ada di Teluk Kiluan ini juga terdiri dari beberapa suku diantaranya orang Bali, Jawa,
dan Lampung. Meskipu demikian tiap suku saling menghormati dan menghargai budaya dan adat

istiadat yang mereka peroleh dari nenek moyang mereka, contohnya perkampungan Bali yang ada di
Teluk Kiluan yang masih memegang teguh adat istiadat dan budaya serta perilaku sama persis
seperti masyarakat Bali yang ada di Pulau Bali. Yang paling menakjubkan lagi adalah berdirinya pura
yang bersanding dengan masjid yang digunakan beribadah untuk orang Islam. Dengan demikian
terlihat jelasnya bahwa kehidupan masyarakat pesisir di Teluk Kiluan sangatlah memegang teguh
adat istiadat yang diperoleh dari nenek moyang mereka namun tetap menjaga keharmonisan dan
kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat

Anda mungkin juga menyukai