Anda di halaman 1dari 5

Allah Perintahkan untuk Membahagiakan Orang Tua

Karena berbakti kepada orang tua berarti membahagiakan keduanya.


Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫ضى َرب َُّك أ َ اَّل ت َ ْعبُدُوا إِ اَّل إِيااهُ َوبِ ْال َوا ِلدَي ِْن إِ ْح‬
‫سانًا‬ َ َ‫َوق‬
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)
Dalam beberapa ayat, Allah selalu menggandengkan amalan berbakti pada orang tua dengan
mentauhidkan-Nya dan larangan berbuat syirik. Di antaranya disebutkan dalam ayat,
َ ‫ش ْيئًا َوبِ ْال َوا ِلدَي ِْن إِ ْح‬
‫سانًا‬ َ ‫قُ ْل تَعَالَ ْوا أَتْ ُل َما َح ار َم َربُّ ُك ْم َعلَ ْي ُك ْم أ َ اَّل ت ُ ْش ِر ُكوا بِ ِه‬
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua
orang ibu bapa.” (QS. Al-An’am: 151)
Allah mengingatkan bagaimanakah jasa orang tua terutama ibu dalam membesarkan kita,
َ‫صالُهُ ث َ ََلثُون‬َ ‫ضعَتْهُ ُك ْر ًها َو َح ْملُهُ َو ِف‬ َ ‫سانًا َح َملَتْهُ أ ُ ُّمهُ ُك ْر ًها َو َو‬ َ ‫سانَ ِب َوا ِلدَ ْي ِه ِإ ْح‬ ِ ْ ‫ص ْينَا‬
َ ‫اْل ْن‬ ‫َو َو ا‬
َ ‫ب أ َ ْو ِز ْعنِي أ َ ْن أ َ ْش ُك َر نِ ْع َمت َ َك الاتِي أ َ ْن َع ْم‬
‫ت‬ ِ ‫سنَةً قَا َل َر‬ َ َ‫شداهُ َو َبلَ َغ أ َ ْر َب ِعين‬
ُ َ ‫ش ْه ًرا َحتاى ِإذَا َبلَ َغ أ‬ َ
‫ص ِل ْح ِلي فِي ذُ ِرياتِي ِإنِي تُبْتُ ِإلَي َْك َو ِإنِي‬ ْ َ ‫ضاهُ َوأ‬ َ ‫ي َوأ َ ْن أ َ ْع َم َل‬
َ ‫صا ِل ًحا ت َ ْر‬ ‫ي َو َعلَى َوا ِلدَ ا‬ ‫َعلَ ا‬
َ‫ِمنَ ْال ُم ْس ِل ِمين‬
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah
dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Rabbku, tunjukilah aku
untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu
bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah
kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri”.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Manfaat Berbakti kepada Kedua Orang Tua


1- Jalan mudah menuju surga
Dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ َ‫احف‬
ُ‫ظه‬ َ َ‫ض ْع ذَ ِل َك ْالب‬
ْ ‫اب أ َ ِو‬ َ ْ‫ب ْال َجنا ِة فَإ ِ ْن ِشئ‬
ِ َ ‫ت فَأ‬ ِ ‫ط أَب َْوا‬ َ ‫ْال َوا ِلدُ أ َ ْو‬
ُ ‫س‬
“Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian
bisa menjaganya.” (HR. Tirmidzi, no. 1900; Ibnu Majah, no. 3663 dan Ahmad 6:445. Al-
Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.)
Dari Humaid, ia menyatakan, ketika ibunya Iyas bin Mu’awiyah itu meninggal dunia, Iyas
menangis. Ada yang bertanya padanya, “Kenapa engkau menangis?” Ia menjawab,
‫ان ِإلَى ال َجنا ِة َوأ ُ ْغ ِلقَ أَ َحد ُ ُه َما‬
ِ ‫ان َم ْفت ُ ْو َح‬
ِ َ‫َكانَ ِلي بَاب‬
“Dahulu aku memiliki dua pintu yang terbuka menuju surga. Namun sekarang salah satunya
telah tertutup.” (Al-Birr li Ibnil Jauzi, hlm. 56. Dinukil dari Kitab Min Akhbar As-Salaf Ash-
Shalih, hlm. 398)

2- Dipanjangkan umur dan diberkahi rezeki


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ َ‫ع ْم ِر ِه َوأ َ ْن يُزَ ادَ لَهُ فِي ِر ْز ِق ِه فَ ْل َي َب ار َوا ِلدَ ْي ِه َو ْلي‬
ُ‫ص ْل َر ِح َمه‬ ُ ‫َم ْن أ َ َحبا أ َ ْن يُ َمدا لَهُ ِفي‬
“Siapa yang suka untuk dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezekinya, maka
berbaktilah kepada kedua orang tuanya dan jalinlah hubungan dengan kerabatnya
(silaturahim).” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa
hadits ini shahih, sanad hadits ini hasan dari jalur Maimun bin Sayah dan di
bawahnya tsiqah.)

3- Mendapatkan doa baik orang tua


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫وم َودَع َْوة ُ ْال ُم‬
ُ ‫سا ِف ِر َودَع َْوة‬ ْ ‫اب لَ ُه ان َّلَ ش اَك ِفي ِه ان دَع َْوة ُ ْال َم‬
ِ ُ‫ظل‬ ُ ‫ت يُ ْست َ َج‬ ُ َ‫ثََل‬
ٍ ‫ث دَ َع َوا‬
‫ْال َوا ِل ِد ِل َولَ ِد ِه‬
“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang yang dizalimi, doa
orang yang bepergian (safar) dan doa baik orang tua kepada anaknya.” (HR. Ibnu Majah,
no. 3862. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Dosa Durhaka kepada Orang Tua


Abu Bakrah berkata,
ُ
ِ‫س ْو َل للا‬ َ َ‫ ب‬: ‫ قَالُ ْوا‬،‫سلا َم أََّلَ أن َِبئ ُ ُك ْم ِبأ َ ْك َب ِر ْال َكبَائِ ِر ؟) ثََلَثًا‬
ُ ‫لى يَا َر‬ َ ُ‫صلاى للا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫قَا َل َر‬
َ ِ‫س ْو ُل للا‬
ُّ ‫س َو َكانَ ُمت ا ِكئًا ( أََّلَ َوقَ ْو ُل‬
‫الز ْو ُر ) َما زَ ا َل‬ َ َ‫عقُ ْو ُق ْال َوا ِلدَي ِْن ) َو َجل‬ ُ ‫اْل ْش َراكُ ِباهللِ َو‬
ِ ( : ‫قَا َل‬
‫ت‬َ ‫س َك‬ َ ُ‫ى قُ ْلتُ لَ ْيتَه‬ ‫يُ َك ِر ُرهَا َحت ا‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mau kuberitahu
mengenai dosa yang paling besar?” Para sahabat menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Beliau
lalu bersabda, “(Dosa terbesar adalah) mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua
orang tua.” Beliau mengucapkan hal itu sambil duduk bertelekan pada tangannya. (Tiba-tiba
beliau menegakkan duduknya dan berkata), “Dan juga ucapan (sumpah) palsu.” Beliau
mengulang-ulang perkataan itu sampai saya berkata (dalam hati), “Duhai, seandainya beliau
diam.” (HR. Bukhari, no. 2654 dan Muslim, no. 87)
Abu Bakrah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫اح ِب ِه ْالعُقُ ْو َبةَ َم َع َما َيد ِاخ ُر لَهُ ِمنَ ْالبَ ِغى‬
ِ ‫ص‬َ ‫ب أَ ْجدَ ُر أ َ ْن يُ َع ِج َل ِل‬
ٍ ‫َما ِم ْن ذَ ْن‬
‫َوقَ ِط ْيعَ ِة ا‬
‫الر ِح ِم‬
”Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya [di
dunia ini] -berikut dosa yang disimpan untuknya [diakhirat]- daripada perbuatan melampaui
batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Abu
Daud, no. 4902; Tirmidzi, no. 2511; Ibnu Majah, no. 4211. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)

BAGAIMANA CARA MEMBAHAGIAKAN ORANG TUA?


Pertama: Menuruti perintah keduanya.
Dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
‫َط ْال َوا ِل ِد‬
ِ ‫سخ‬
َ ‫ب فِي‬
ِ ‫الر‬
‫ط ا‬ َ ‫ضا ْال َوا ِل ِد َو‬
ُ ‫س َخ‬ َ ‫ب فِي ِر‬
ِ ‫الر‬
‫ضا ا‬َ ‫ِر‬
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka
orang tua.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 2. Syaikh Al-Albani mengatakan
bahwa hadits ini hasan jika sampai kepada sahabat [baca: mawquf], namun shahih jika
sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam [baca: marfu’]. Lihat Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah, no. 516.)
‘Atha’ pernah ditanya oleh seseorang yang ibunya meminta kepadanya untuk shalat wajib
dan puasa Ramadhan saja (tidak ada amalan sunnah, pen.), apakah perlu dituruti. ‘Atha’
mengatakan, “Iya tetap dituruti perintahnya tersebut.” (Al-Birr li Ibnil Jauzi, hlm. 67.
Dinukil dari Kitab Min Akhbar As-Salaf Ash-Shalih, hlm. 398)
Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang dirinya dan orang tuanya disayangi oleh
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa ia memiliki seribu pohon kurma. Ia
memang sengaja mempercantik atau merapikannya. Lalu ada yang berkata pada Usamah,
kenapa bisa sampai lakukan seperti itu. Usamah menjawab bahwa ibunya sangat suka jika
melihat keadaan kebun kurma itu indah, maka ia melakukannya. Apa saja hal dunia yang
diminta oleh ibunya, ia pasti memenuhinya. (Al-Birr li Ibnil Jauzi, hlm. 225. Dinukil dari
Kitab Min Akhbar As-Salaf Ash-Shalih, hlm. 396)
Catatan: Namun ingat bukan taat dalam bermaksiat.
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫عةُ فِى ْال َم ْع ُر‬
‫وف‬ ‫ ِإنا َما ا‬، ‫صيَ ٍة‬
َ ‫الطا‬ ِ ‫عةَ فِى َم ْع‬ َ َ‫َّل‬
َ ‫طا‬
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan maksiat. Sesungguhnya ketaatan hanya dalam
melakukan kebajikan.” (HR. Bukhari, no. 7257 dan Muslim, no. 1840)
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
‫ع از َو َج ال‬ ‫صيَ ِة ا‬
َ ِ‫َّللا‬ ٍ ‫عةَ ِل َم ْخلُو‬
ِ ‫ق فِى َم ْع‬ َ َ‫َّل‬
َ ‫طا‬
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat pada Allah ‘azza wa jalla.” (HR.
Ahmad, 1: 131. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai
syarat Bukhari-Muslim)
Perintah orang tua tetap diikuti selama bukan perintah bermaksiat sebagaimana disebutkan
dalam hadits,
ِ ‫ام َحيًّا َوَّلَ ت َ ْع‬
‫ص ِه‬ َ َ‫أَ ِط ْع أَب‬
َ َ‫اك َما د‬
“Taatilah ayahmu selama dia hidup dan selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat.” (HR.
Ahmad, 2:164. Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)

Kedua: Tidak menyakiti hati orang tua.


Imam Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa ‘uququl walidain (durhaka kepada orang
tua) adalah segala bentuk menyakiti keduanya. Taat kepada orang tua itu wajib dalam segala
hal selain pada perkara maksiat. Menyelisihi perintah keduanya juga termasuk durhaka.
Lihat Syarh Shahih Muslim, 2:77.
’Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma berkata,

ِ ‫الوا ِلدَي ِْن ِمنَ العُقُ ْو‬


‫ق‬ َ ‫ِإ ْب َكا ُء‬
”Membuat orang tua menangis termasuk bentuk durhaka pada orang tua.” (Birr Al-Walidain,
hlm. 8, Ibnul Jauziy)
Dari Thaisalah bin Mayyas , ia berkata,
.‫ع َم َر‬ ُ ‫ َفذَ َك ْرتُ ذَا ِل َك َِّلب ِْن‬،‫ص ْبتُ ذَنُ ْوبًا َّلَ أ َ َراهَا إَِّلا ِمنَ ْال َكبَائِ ِر‬ َ َ ‫ فَأ‬، ‫ت‬ ِ ‫ُك ْنتُ َم َع النا َجدَا‬
،ِ‫ اْ ِْل ْش َراكُ ِباهلل‬:‫ ُه ان تِ ْس ٌع‬،‫ت َه ِذ ِه ِمنَ ْال َك َبائِ ِر‬ ْ ‫س‬َ ‫ لَ ْي‬:‫ قَا َل‬.‫ُ َكذَا َو َكذَا‬:‫ت‬ ْ ُ‫ى؟ قل‬ َ ‫ َما ِه‬:‫قا َ َل‬
،‫ َوأ َ ْك ُل َما ِل ْال َي ِتي ِْم‬،‫الر َبا‬
ِ ‫ َوأ َ ْك ُل‬،‫صنَ ِة‬ َ ‫ف ْال ُم ْح‬ ُ ‫ َوقَ ْذ‬،‫ف‬ ِ ‫الز ْح‬ ‫ار ِمنَ ا‬ ُ ‫ َو ْال ِف َر‬،ٍ‫َوقَتْ ُل نِ ْس َمة‬
‫ ِلي ا ْب ُن‬:‫ قا َ َل‬،‫ق‬ ِ ‫ َوبُ َكا ُء ْال َوا ِلدَي ِْن ِمنَ ْالعُقُ ْو‬، ‫ِي يَ ْست َ ْس ِخ ُر‬ ْ ‫ َوالاذ‬،ِ‫َوإِ ْل َحادُ فِي ْال َم ْس ِجد‬
‫اك؟‬َ َ‫ي َوا ِلد‬ ٌّ ‫ أ َ َح‬:‫ َوللاِ! قَا َل‬،‫ي‬ ْ ‫ ِإ‬: ُ‫ َوت ُ ِحبُّ أ َ ْن ت َ ْد ُخ َل ْال َجناةَ؟ قُ ْلت‬، ‫ار‬ َ ‫ أَتَفَ ار ُق النا‬:‫ع َم َر‬ ُ
َ‫ لَت َ ْد ُخلَ ان ْال َجناة‬،‫ام‬ ‫ط َع ْمت َ َها ا‬
َ ‫الط َع‬ ْ َ ‫ َوأ‬،‫ت لَ َها ْال َكَلَ َم‬ َ ‫ فَ َوللاِ! لَ ْو أَلَ ْن‬:‫ قَا َل‬.‫ِي أ ُ ِم ْى‬
ْ ‫ ِع ْند‬: ُ‫قُ ْلت‬
.‫ْت ْال َك َبائِ َر‬
َ ‫اجتَنَب‬
ْ ‫َما‬
“Ketika tinggal bersama An-Najdaat, saya melakukan perbuatan dosa yang saya anggap
termasuk dosa besar. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau
lalu bertanya, ”Perbuatan apa yang telah engkau lakukan?” ”Saya pun menceritakan
perbuatan itu.” Beliau menjawab, “Hal itu tidaklah termasuk dosa besar. Dosa besar itu ada
sembilan, yaitu mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari pertempuran, memfitnah
seorang wanita mukminah (dengan tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak
yatim, berbuat maksiat di dalam masjid, menghina, dan menyebabkan tangisnya kedua
orang tua karena durhaka kepada keduanya.” Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah engkau
takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” ”Ya, saya ingin”, jawabku. Beliau bertanya,
“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Saya masih memiliki seorang ibu”, jawabku.
Beliau berkata, “Demi Allah, sekiranya engkau berlemah lembut dalam bertutur
kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau akan masuk surga
selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8,
shahih. Lihat Ash-Shahihah, 2898.)

Ketiga: Berakhlak mulia di hadapan keduanya.


Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
.» ‫اك‬ ٌّ ‫ يَ ْستَأ ْ ِذنُهُ فِى ْال ِج َها ِد فَقَا َل « أ َ َح‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ‫َجا َء َر ُج ٌل ِإلَى النا ِب ِى‬
َ َ‫ى َوا ِلد‬
» ‫ قَا َل « فَ ِفي ِه َما فَ َجا ِه ْد‬.‫قَا َل نَ َع ْم‬
“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia ingin meminta izin
untuk berjihad. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, ‘Apakah kedua orang
tuamu masih hidup?’ Ia jawab, ‘Iya masih.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
‘Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.’” (HR. Muslim, no. 2549)
Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan,
ُ ‫ار ِج ْع ِإلَى َوا ِلدَي َْك فَأ َ ْحس ِْن‬
‫ص ْحبَت َ ُه َما‬ ْ َ‫ف‬
“Kembalilah kepada kedua orang tuamu, berbuat baiklah kepada keduanya.” (HR. Muslim,
no. 2549)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa ini semua adalah dalil agungnya
keutamaan berbakti kepada kedua orang tua. Berbakti kepada kedua orang tua lebih utama
dibandingkan jihad. Ini jadi dalil—sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah—bahwa
tidak boleh seseorang pergi berjihad kecuali setelah mendapatkan izin keduanya jika
keduanya muslim atau salah satunya muslim. Sedangkan jika kedua orang tuanya musyrik,
menurut ulama Syafi’i tidak disyaratkan untuk meminta izin. Demikian penjelasan
dalam Syarh Shahih Muslim, 16:95.
Dari Urwah atau selainnya, ia menceritakan bahwa Abu Hurairah pernah melihat dua orang.
Lalu beliau berkata kepada salah satunya,
ْ ‫ َوَّلَ ت َ ْج ِل‬،ُ‫ َوَّلَ ت َ ْم ِش أ َ َما َمه‬،‫س ِم ِه بِا ْس ِم ِه‬
‫س‬ َ ُ ‫ ” َّلَ ت‬:‫ فَقا َل‬.‫ أ َ ِبي‬:‫َما َهذَا ِم ْن َك ؟ فَقَا َل‬
ُ‫قَ ْبلَه‬
“Apa hubungan dia denganmu?” Orang itu menjawab, ”Dia ayahku.” Abu Hurairah lalu
berkata, “Janganlah engkau memanggil ayahmu dengan namanya saja, janganlah berjalan di
hadapannya dan janganlah duduk sebelum ia duduk.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod,
no. 44. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih secara sanad.)

Keempat: Mendahulukan perintah keduanya dari perkara sunnah.


Sebagaimana pelajaran mengenai hal ini terdapat dalam kisah Juraij yang didoakan jelek oleh
ibunya karena lebih mendahulukan shalat sunnahnya dibanding panggilan ibunya yang
memanggilnya tiga kali.

Kisah Juraij selengkapnya bisa dibaca di sini:

Kelima: Membahagiakannya keduanya ketika mereka telah tiada.


Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi, ia berkata,
‫سو َل‬ ُ ‫س ِل َمةَ فَقَا َل يَا َر‬ َ ‫ إِذَا َجا َءهُ َر ُج ٌل ِم ْن َبنِى‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬ ِ ‫سو ِل ا‬ ُ ‫بَ ْينَا ن َْح ُن ِع ْندَ َر‬
‫ار‬ُ َ‫علَ ْي ِه َما َوا َِّل ْس ِت ْغف‬ ‫ش ْى ٌء أ َ َب ُّر ُه َما ِب ِه َب ْعدَ َم ْو ِت ِه َما قَا َل « َن َع ِم ال ا‬
َ ُ ‫صَلَة‬ ‫ى ِم ْن ِب ِر أَ َب َو ا‬
َ ‫ى‬ َ ‫َّللاِ ه َْل َب ِق‬
‫ا‬
.» ‫صدِي ِق ِه َما‬ َ ‫الر ِح ِم الاتِى َّلَ تُو‬
َ ‫ص ُل إَِّلا ِب ِه َما َوإِ ْك َرا ُم‬ ‫صلَةُ ا‬ ِ ‫لَ ُه َما َوإِ ْنفَاذ ُ َع ْه ِد ِه َما ِم ْن َب ْع ِد ِه َما َو‬
“Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu
datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk
berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.).
(Bentuknya adalah) mendoakan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji
mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan
keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya.”
(HR. Abu Daud, no. 5142 dan Ibnu Majah, no. 3664. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu
Hibban, Al-Hakim, juga disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)
Semoga kita menjadi anak yang berbakti pada orang tua kita. Wallahu waliyyut taufiq.

Selasa sore, 24 Rabi’ul Awwal 1439 H di Darush Sholihin
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com

Anda mungkin juga menyukai