Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pendidikan, terutama pendidikan formal merupakan salah satu proses dalam hidup
bermasyarakat dan berbangsa yang penting. Sumber daya manusia terdidik sebagai hasil
pendidikan akan besar pengaruhnya pada perkembangan hidup bermasyarakat dan
berbangsa. Nilai-nilai dan norma-norma moral yang dijunjung tinggi dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa perlu diperhatikan agar kegiatan pendidikan dapat
menghasilkan sumber daya terdidik yang mampu membawa kemajuan sesuai cita-cita
masyarakat dan bangsanya. Kemajuan hidup yang dapat disamakan dengan modernisasi
tentunya bukan perubahan yang hanya terbatas untuk meniru gaya hidup Barat yang
rasional pragmatis. Meskipun modernisasi lahir di Barat, tetapi modernisasi bukan
merupakan perubahan yang hanya terbatas pada menirukan gaya hidup orang Barat.
Rasionalitas dan kebebasan di Indonesia tidak harus sama dengan di Barat.
Peningkatan daya saing bangsa mengikuti perkembangan globaliasi penting untuk
diupayakan dalam rangka menghadapi tantangan di era globalisasi. PISA (Programme for
International Student Assesment) adalah studi literasi yang bertujuan untuk meneliti
secara berkala tentang kemampuan peserta didik usia 15 tahun dalam membaca,
matematika dan sains. Literasi sains dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang
untuk dapat memahami, mengkomunikasikan, serta menerapkan pengetahuan sains untuk
memecahkan masalah dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam membuat
keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah


a. Bagaimana penalaran literasi sains ditinjau dari segi ontologi ?
b. Bagaimana penalaran literasi sains ditinjau dari segi epistimologi ?
c. Bagaimana penalaran literasi sains ditinjau dari akseologi ?

1.3. Tujuan
a. Bagaimana penalaran literasi sains ditinjau dari segi ontologi
b. Bagaimana penalaran literasi sains ditinjau dari segi epistimologi
c. Bagaimana penalaran literasi sains ditinjau dari akseologi

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penalaran Literasi Sains ditinjau dari Segi Ontologi

Sejarah sains pada dasarnya merupakan sejarah pikiran umat manusia, terlepas dari
asal usul kebangsaan maupun asal mula negara. Perkembangan sains akhir-akhir ini
semakin meningkat didukung adanya berbagai penemuan-penemuan di bidang sains.
Penemuan sains tersebut seringkali menjadi target dari setiap penemuan yang dilakukan
oleh para ilmuwan, namun banyak pula penemuan sains yang justru terjadi secara tak
terduga atau yang sering disebut sebagai serendipity. Banyak yang meyakini bahwa
perkembangan sains dan teknologi dari masa ke masa berlangsung secara “linier”, artinya
berkembang semakin lama semakin maju. Jika dihitung sejak jaman akademia (Plato-
Socrates-Aristoteles) - sekitar 2500 tahun yang lalu - ketika tradisi akademik
(mengajarkan dan men-dokumentasi ilmu-pengetahuan) mulai dibangun secara “formal”,
mungkin linieritas perkembangan sains dan teknologi memang merupakan keniscayaan
sejarah. Dengan berkembangnya tradisi akademik ke seluruh dunia, maka tidak pernah
lagi manusia pada suatu jaman kurang ber-ilmu daripada manusia pada jaman
sebelumnya. Kemajuan sains dan teknologi zaman kontemporer sekarang ini, tidak bisa
lepas dengan perkembangan, penemuan dan kemajuan sains dan teknologi pada abad
kejayaan ilmu pengetahuan umat Islam, yaitu pada pada abad kejayaan kekhalifahan
Abbasiyah di Bagdad (Hamid ,2015). Di dalam dunia sains modern maupun posmodern,
permasalahan ontologis yang mendasar adalah kritik tentang ilmu logika. Logika berpikir,
sempat „diagungagungkan‟ oleh sains untuk menjelaskan hubungan sebab akibat dalam
realitas hidup manusia. Namun dalam perkembangannya, penjabaran tentang logika
menurut „sains‟ tidak dapat dijadikan parameter mutlak, oleh karena berbagai logika
tersebut terkait dengan berbagai sumber ontologi, yang pada akhirnya melahirkan bidang
ilmu lain.

2.2. Penalaran Literasi Sains ditinjau dari Segi Epistemologi


a) Pengertian Literasi Sains

Literasi sains (scientific literacy) berasal dari gabungan dua kata Latin, yaitu
literatus, artinya ditandai dengan huruf, melek huruf, atau berpendidikan, dan scientia,
yang artinya memiliki pengetahuan. Penilaian literasi sains dalam PISA tidak semata-

2
mata berupa pengukuran tingkat pemahaman terhadap pengetahuan sains, tetapi juga
pemahaman terhadap berbagai aspek proses sains, serta kemampuan mengaplikasikan
pengetahuan dan proses sains dalam situasi nyata yang dihadapi peserta didik, baik
sebagai individu, anggota masyarakat, serta warga dunia.

Definisi ini dikembangkan lebih lanjut oleh Olsen dan dioperasionalkan melalui
tiga dimensi utama yang harus mencakup item:

1) Dimensi konten yang mengidentifikasi beberapa area dalam ilmu dilihat sebagai
definisi keseluruhan sangat relevan
2) Dimensi kompetensi yang mengidentifikasi tiga kompetensi ilmiah:
i. Menggambarkan, menjelaskan dan memprediksi fenomena ilmiah
ii. Memahami penyelidikan ilmiah
iii. Menafsirkan bukti ilmiah dan kesimpulan
Yang utama dari kompetensi tersebut melibatkan pengertian konsep-
konsep ilmiah, sedangkan yang kedua dan ketiga dapat dilabel ulang
sebagai pemahaman proses ilmiah. Bobot item ketiga kompetensi adalah
50% pada kompetensi I dan 50% pada kompetensi II dan III.
3) Dimensi Situasi mengidentifikasi tiga konteks atau bidang utama aplikasi;
“Kehidupan dan Kesehatan”, “Bumi dan Lingkungan”, dan “Ilmu dalam
Teknologi”.
PISA mendefinisikan literasi sains dengan ciri yang terdiri dari empat aspek yang
saling terkait, yaitu konteks, pengetahuan, kompetensi, dan sikap. Berikut ini
adalah bagan yang menunjukan kerangka literasi sains.
b) Literasi Sains IPA
Firman (2000) literasi secara sempit didefinisikan sebagai kemampuan untuk
membaca dan menulis yang juga berkaitan dengan pembiasaan dalam membaca dan
mengapresiasi karya sastra (literature) serta melakukan penilaian terhadapnya. Akan
tetapi, secara lebih luas literasi berkaitan dengan kemampuan berpikir dan belajar seumur
hidup untuk bertahan dalam lingkungan sosial dan budayanya. Literasi diartikan hanya
sebagai kemampuan baca-tulis-hitung, yakni kemampuan essensial yang diperlukan oleh
orang dewasa untuk memberdayakan pribadi, memperoleh dan memberdayakan
pekerjaan dan serta berpartisipasi dalam kehidupan sosial, kultural, dan politik secara
lebih luas.

3
Definisi literasi IPA dapat ditransformasikan ke dalam penilaian (assessment)
literasi IPA, PISA mengidentifikasi tiga dimensi besar literasi IPA, yakni proses IPA,
konten IPA, dan konteks aplikasi IPA. Proses IPA merujuk pada proses mental yang
terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti
mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Konten IPA
merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk memahami fenomena alam
dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia.

2.3. Penalaran Literasi Sains ditinjau dari Segi Aksiologi


Aksiologi dan hakikat nilai Aksiologi sebagai Cabang Filsafat Nilai-nilai kebenaran,
keindahan, kebaikan, dan religius adalah nilai-nilai keluhuran hidup manusia. Nilai-nilai
keluhuran hidup manusia dibahas oleh cabang filsafat yang disebut aksiologi. Aksiologi
membahas tentang nilai secara teoretis yang mendasar dan filsafati. Hakikat nilai adalah
kualitas yang melekat dan menjadi ciri segala sesuatu yang ada di alam semesta
dihubungkan dengan kehidupan manusia. Nilai bukanlah murni pandangan pribadi
terbatas pada lingkungan manusia. Nilai merupakan bagian dari keseluruhan situasi
metafisis di alam semesta seluruhnya. Pengertian nilai apabila dibahas secara filsafati
adalah persoalan tentang hubungan antara manusia sebagai subjek dengan kemampuan
akalnya untuk menangkap pengetahuan tentang kualitas objekobjek di sekitarnya.
Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional
Nilai-nilai Budaya Nilai sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kebudayaan. Para ahli kebudayaan berpandangan bahwa membahas tentang kebudayaan
harus didasarkan pada petunjuk keyakinan tentang nilai-nilai kejiwaan, yaitu baik-buruk,
benar-salah, indah-jelek, dan suci-dosa. Nilai sebagai hasil konsep ukuran yang diyakini
seseorang atau kelompok masyarakat merupakan bagian dari kebudayaan. Konsep ukuran
tersebut tidaklah bebas dari penilaian. Konsep ukuran nilai sekaligus juga merupakan
objek bernilai yang potensial untuk dinilai. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
penilaian seseorang pada dasarnya merupakan penilaian yang bersifat sementara. Suatu
ketika seseorang dapat memutuskan hasil penilaian atas dasar konsep ukuran yang telah
diyakininya, namun hasil penilaian itu akan berubah seiring dengan berubah atau
berkembangnya konsep ukuran yang diyakininya. Hasil penilaian seseorang memang
dapat berubah, tetapi tidak berarti bahwa seseorang tidak memunyai pendirian. Sangat
berbahaya justru apabila seseorang tetapmempertahankan konsep ukuran lama yang telah
diyakini, sedangkan konsep ukuran baru yang lebih baik telah hadir. Kenyataan demikian

4
justru harus disadari agar seseorang mau terbuka, mau terus-menerus mengadakan dialog
dengan lingkungan masyarakat dalam arti luas, yaitu dengan sistem keyakinan yang
dianut, dengan hasil penilaian yang telah dibuat, dengan budaya baru yang hadir. Dialog
dengan lingkungan masyarakat akan memunculkan suatu pemahaman yang lebih kaya
atas objek-objek bernilai sehingga konsep ukuran yang diyakini juga akan menjadi lebih
kaya.
Norma Moral
Nilai kebaikan manusia secara khusus dibahas dalam etika sehingga nilai kebaikan
sering disebut nilai etis. Nilai etis menjadi sumber nilai bagi penilaian baik atau buruknya
manusia sebagai manusia, bukan dalam hubungan dengan peran tertentu, misalnya
sebagai ilmuwan, seniman, atau pedagang. Etika yang secara khusus membahas nilai
kebaikan manusia dalam perkembangannya dapat dibedakan dua macam, yaitu sebagai
berikut. Pertama, etika dipahami dalam pengertian yang sama dengan moralitas. Etika
berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik tersebut dianut dan diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebiasaan hidup yang baik ini lalu dibakukan
dalam bentuk kaidah aturan atau norma yang disebarluaskan, dipahami, dan diajarkan
secara lisan dalam masyarakat. Kaidah aturan atau norma ini pada dasarnya menyangkut
baik atau buruknya perilaku manusia (Keraf, 2002:2). Kedua, etika dipahami dalam
pengertian yang berbeda dengan moralitas. Etika dimengerti sebagai refleksi kritis
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situasi
khusus tertentu. Etika adalah filsafat moral yang membahas dan mengkaji secara kritis
persoalan baik dan buruk secara moral, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi
konkret.Manusia melakukan refleksi kritis untuk menentukan pilihan, sikap, dan
bertindak secara benar secara moral sebagai manusia. Refleksi kritis ini menyangkut tiga
hal.
 Refleksi kritis tentang norma moral yang diberikan oleh etika dan
moralitas dalam pengertian pertama, yaitu tentang norma moral yang
dianut selama ini.
 Refleksi kritis tentang situasi khusus yang dihadapi dengan segala
keunikan dan kompleksitasnya.
 Refleksi kritis tentang berbagai paham yang dianut oleh manusia atau
kelompok masyarakat tentang segala sesuatu yang ada di dunia.

5
Misalnya, paham tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat, sistem
sosial politik, dan sistem ekonomi (Keraf, 2002: 5).

6
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Perkembangan sains akhir-akhir ini semakin meningkat didukung adanya berbagai


penemuan-penemuan di bidang sains. Penemuan sains tersebut seringkali menjadi target
dari setiap penemuan yang dilakukan oleh para ilmuwan, namun banyak pula penemuan
sains yang justru terjadi secara tak terduga atau yang sering disebut sebagai serendipity.
Landasan aksiologis Sistem Pendidikan Nasional merupakan konsistensi landasan
ontologisnya, yaitu pandangan bangsa Indonesia tentang hakikat keberadaan manusia.
Hakikat keberadaan manusia adalah sebagai makhluk majemuk tunggal atau
monopluralis.

3.2. Saran

Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca, dapat menjadi referensi dan dapat
mengembangkannya kembali.

7
DAFTAR PUSTAKA

Amsad.N.L. 2019.Tinjauan Penalaran Ilmiah Pada Penemuan-Penemuan Sains Yang


Tak Disengaja (Serendipity). Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 2 No 1 2019 ISSN: E-
ISSN 2620-7982, P-ISSN: 2620-7990

Ahmad Dahlan. 2014 . Hakikat Epistimologi dalam Filsafat Ilmu.


https://www.eurekapendidikan.com/2014/10/hakikat-epistimologi-dalam-kajian-
FilsafatIlmu.html.(diakses 07 Februari)

Firman, S. 2014. Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA Nasional Tahun 2006.
Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas.

Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas

Soeprapto.S.2013. Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional Indonesia dalam


Perspektif Filsafat Pendidikan. Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII,
No. 2

Wardani.D.N.2018. Pengaruh Pembelajaran Ipa Menggunakan Lkpd-komik Berbasis


Structured Inquiry Bermuatan Nature Of Science Terhadap Literasi Sains Siswa.
216 E-Journal Pendidikan IPA Volume 7 No 4 Tahun 2018

Anda mungkin juga menyukai