Anda di halaman 1dari 113

UNIVERSITAS INDONESIA

DAMPAK RESTRIKSI VITAMIN B 12 TERHADAP KADAR


HOMOSISTEIN, HOMA-IR DAN GAMBARAN
HISTOPATOLOGI PERLEMAKAN HATI NON ALKOHOLIK
PADA TIKUS

TESIS

IRENA UJIANTI
1606839795

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK
JAKARTA
2018
UNIVERSITAS INDONESIA

DAMPAK RESTRIKSI VITAMIN B 12 TERHADAP KADAR


HOMOSISTEIN, HOMA-IR DAN GAMBARAN
HISTOPATOLOGI PERLEMAKAN HATI NON ALKOHOLIK
PADA TIKUS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Magister Ilmu Biomedik

IRENA UJIANTI
1606839795

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK
KEKHUSUSAN FISIOLOGI
JAKARTA
JULI 2018
i
ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, tesis ini dapat terselesaikan dengan
baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Nabi Besar
Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya
hingga akhir zaman.
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Fisiologi pada Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, penulis
menyadari tesis ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Dengan segala
kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
 Ayahanda Irsal Sutanto Rahimahullah dan Ibunda Rugiarti yang selalu
mencurahkan doa dan dukungannya kepada penulis. Semoga ALLAH
selalu memberikan kesehatan dan keberkahan hidup untuk Ibunda, serta
melapangkan kubur untuk Ayahanda tercinta.
 Suamiku tercinta, Abdullah Huda yang senantiasa memberikan cinta,
dukungan moral dan materiil kepada penulis. Anak- anak tercinta, Walid,
Hamzah dan Ukasyah, yang menjadi penghibur dan penyemangat penulis.
Terimakasih telah memaklumi kesibukan bunda kalian.
 dr. Imelda Rosalyn Sianipar, M.Biomed, Ph.D selaku Pembimbing I dan Dr.
dr. Dewi Irawati Soeria Santoso, M.S selaku Pembimbing II sekaligus
Ketua Departemen Fisiologi Kedokteran FKUI tahun 2018 yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan bimbingan
kepada penulis selama masa studi, penelitian, penyusunan, dan ujian tesis.
 dr. Sophie Yolanda, M.Biomed selaku Penguji I sekaligus Ketua Peminatan
Fisiologi Kedokteran FKUI dan Dr. dr. Ani Retno Prijanti, MS. selaku
penguji II, dan dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, Ph.D selaku penguji
III yang telah memberikan masukan-masukan membangun dalam menguji
dan mengevaluasi penulisan tesis.

iii
 Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH., MMB-FINASIM, FACP selaku
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Dr.rer.physiol. dr. Septelia Inawati Wanandi selaku Ketua Program
Magister Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Seluruh Staf Pengajar Kekhususan Fisiologi Program Magister Ilmu
Biomedik Universitas Indonesia yang telah mengarahkan dan membimbing
penulis selama masa studi mendalami Ilmu Fisiologi Kedokteran.
 Adik-adik tercinta Ira Suita Devi, Irma Ayu Pratiwi dan Taufik Ali Akbar
Kurnianto yang selalu memberikan doa dan dukungan baik moril maupun
materiil.
 Sahabat tercinta dr. Patwa Amani, M.Kes, yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan riset baik bantuan moril maupun materiil, juga
bersedia memberikan dan mengarahkan protokol penelitiannya untuk
dijadikan payung penelitian.
 Teman-teman kekhususan Fisiologi yang sangat penulis banggakan, Rena
Mailani, S.Ft, dr. Aditya Krishna Murthi, dr. Heriyanto, Ns. Fitriyani
Rahayu, Ns. Yuliana Suryati, Afifa Radhina, S.Si, dan Kesit Ivanali, S.Ft.
 Ibu Neneng, Ibu Sri dan Ibu Yuyun laboran Laboratorium Terpadu FKUI,
yang telah membantu penulis melakukan penelitian di Laboratorium
Terpadu FKUI. Juga Mas Ali, Mas Kamto sebagai laboran Laboratorium
Histologi FKUI yang telah membantu penulis melakukan penelitian di
Laboratorium Histologi FKUI.
 Laboran LITBANGKES, Mas Sahrul, yang selalu siap sedia membantu
penelitian yang dilakukan penulis dan Pak Giarto yang membantu dalam
menyediakan pakan hewan coba.
 Nafiah, S.Ft, M.Biomed dan Rabiah, S.Ft, M.Biomed yang banyak
memberikan saran, bantuan, dan masukan membangun kepada penulis
selama penelitian.
 Staf administrasi Departemen Fisiologi FKUI, Ibu Rini, Pak Makhsan, Pak
Satam, Pak Sugeng dan Pak Andi, yang telah banyak membantu penulis
selama masa studi hingga akhir penelitian.

iv
 Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia
(DRPMUI) yang telah memberikan kesempatan kepada tim peneliti untuk
dapat mengelola HIBAH PITTA
 Direktorat Pendidikan dan Penelitian, Kemendikbud, Indonesia yang telah
memberikan kesempatan kepada tim peneliti untuk dapat mengelola
HIBAH Pasca Sarjana.
 Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung selama studi
hingga penulisan tesis yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya satu-
persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Penulis hakikatnya sebagai
manusia biasa yang tidak terlepas dari berbagai kesalahan menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dalam tesis ini, namun penulis berharap tesis ini
dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam
lingkup Fisiologi dan Ilmu Biomedik.

Jakarta, Juli 2018


Penulis

v
vi
ABSTRAK

Nama : Irena Ujianti


Program Studi : Program Magister Ilmu Biomedik
Judul Tesis :Dampak Restriksi Vitamin B12 Terhadap Kadar
Homosistein, HOMA-IR Dan Gambaran Histopatologi
Perlemakan Hati Non Alkoholik Pada Tikus
Pembimbing : dr. Imelda Rosalyn Sianipar, M.Biomed, Ph.D dan Dr. dr.
Dewi Irawati Soeria Santoso, MS

Latar Belakang: Perlemakan hati merupakan penyakit hati kronik terbesar di


dunia. Kondisi yang mendasari terjadinya perlemakan hati dimulai dari kondisi
resistensi insulin. Salah satu patogenesis terjadinya resistensi insulin adalah
gangguan pada pensinyalan insulin oleh zat toksik tertentu yang akan berinteraksi
dengan protein yang menyusun jalur pensinyalan insulin. Peningkatan homosistein
dikaitkan dengan resistensi insulin. Homosistein akan meningkat sejalan dengan
terganggunya jalur metilasi dari siklus metionin. Pemberian diet restriksi vitamin
B12 akan memicu terjadinya resistensi insulin lewat jalur stres oksidatif yang
ditimbulkan oleh homosistein.
Bahan dan Metode: Penelitian ini menggunakan metode eksperimental terhadap
24 tikus Sprague Dawley jantan (Rattus norvegicus, 300-350 gram, usia 35-40
minggu), terbagi ke dalam 4 kelompok yaitu kontrol (K), Kelompok perlakuan 4
minggu (P-1), Kelompok Perlakuan 8 minggu (P-2) dan kelompok perlakuan 12
minggu (P-3). Pada Kelompok kontrol, diberikan diet standar AIN-93M sedangkan
kelompok perlakuan diberikan pakan modifikasi restriksi vitamin B12 AIN-93
sesuai usia perlakuan.
Hasil: Kelompok perlakuan 8 minggu paling baik dalam menggambarkan kondisi
perlemakan hati dibandingkan kelompok kontrol dan perlakuan 4 minggu,
sedangkan kelompok perlakuan 12 minggu telah mempresentasikan kondisi NASH
(Non Alcoholic Steatohepatitis). Untuk hasil homosistein P1vsK1 (p<0,05),
P2vsK2 (p<0,001) dan P3vsK3 (p<0,05). Sementara untuk nilai HOMA-IR
P1vsK1, P2vsK2 dan P3vsK3 memiliki nilai p<0,01. Hasil ini sejalan dengan
kondisi peningkatan homosistein plasma pada kelompok kontrol dan masing-
masing usia perlakuan.
Kesimpulan: Peningkatan homosistein akibat diet restriksi vitamin B12
mengakibatkan kondisi steatosis dan steatohepatitits pada hati, sebagai akibat dari
kondisi resistensi insulin.

Kata kunci: Homosistein, Restriksi vitamin B12, NAFLD, Resistensi Insulin

vii
ABSTRACT

Name : Irena Ujianti


Study Program : Master Program of Biomedical Sciences
Thesis Title : Impact of Vitamin B12 Restriction on Homocysteine Levels,
Insulin Resistance and NAFLD
Counselor : dr. Imelda Rosalyn Sianipar, M.Biomed, Ph.D. dr. Dewi Irawati
Soeria Santoso, MS

Background: The fatty liver is the biggest chronic liver disease in the world. The
underlying condition of fatty liver starts from the condition of insulin resistance.
One of the pathomechanisms of insulin resistance is the disturbance in insulin
signaling by certain toxic substances that will interact with one of the proteins that
make up the insulin signaling pathway. Increased homosisteine is associated with
insulin resistance. Homosisteine will increase in line with the disruption of the
methionin metionin pathway. Dietary vitamin B12 deficiency will trigger insulin
resistance through the path of oxidative stress generated by homocysteine.
Materials and Methods: This study used an experimental method of 24 male
Sprague Dawley rats (Rattus norvegicus, 300-400 gram, age 7-8 months), divided
into 4 groups: kontrol (K), 4 weeks treatment group (P-1 ), 8 weeks treatment group
(P-2) and 12 week treatment group (P-3). In the kontrol group, a standard AIN-93
diet was administered while the feeding group was administered vitamin A
deficiency-deficiency AIN-93M according to treatment age.
Results: The best 8 weeks treatment group described the conditions of fatty liver
compared to the 4 week kontrol and treatment group, while the 12 week treatment
group presented the NASH condition. These results are consistent with the elevated
plasma homocysteine conditions in the kontrol group and each treatment age.
Conclusion: Increased homocysteine due to dietary vitamin B12 deficiency is able
to induce the condition of steatosis and steatohepatitits in the liver, as a result of the
condition of insulin resistance and beta cell pancrease damage as the underlying
patomechanism.

Keywords: Homocysteine, vitamin B12 Deficiency, NAFLD, Insulin Resistance

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................... iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... x

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 3
1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................ 4
1.4 Hipotesis ................................................................................................ 4
1.5 Tujuan Penelitian ................................................................................... 4
1.5.1 Tujuan Umum ............................................................................. 4
1.5.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 4
1.6 Manfaat Penelitian ................................................................................. 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 8


2.1 Perlemakan Hati Non Alkoholik .......................................................... 8
2.1.1 Epidemiologi dan Faktor Resiko PHNA ................................... 8
2.1.2 Patogenesis PHNA .................................................................... 9
2.2 Vitamin B12 ......................................................................................... 11
2.2.1 Absorbsi dan Transportasi Vitamin B12 .................................. 11
2.2.2 Hiperhomosisteinemia dan Penyebabnya .................................. 14
2.3 Homosistein ......................................................................................... 11
2.3.1 Biosintesis dan Metabolisme .................................................... 11

ix
2.3.2 Hiperhomosisteinemia dan Penyebabnya .................................. 14
2.4 Insulin dan Resistensi Insulin .............................................................. 15
2.5 Efek Restriksi Vitamin B12 Pada Hiperhomosisteinemia, Resistensi
Insulin dan NAFLD...............................................................................19

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 22


3.1 Desain Penelitian ................................................................................... 22
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 22
3.3 Persetujuan Etik ..................................................................................... 22
3.4 Hewan Coba .......................................................................................... 23
3.5 Penetapan Hewan Coba ......................................................................... 23
3.6 Identifikasi Variabel .............................................................................. 24
3.7 Alat dan Bahan ...................................................................................... 24
3.7.1 Alat .............................................................................................. 24
3.7.2 Bahan Penelitian ......................................................................... 24
3.7.3 Bahan Kimia yang Digunakan .................................................... 24
3.8 Cara Kerja .............................................................................................. 24
3.8.1 Adaptasi Hewan Coba................................................................. 24
3.8.2 Induksi Diet ................................................................................. 25
3.9 Prosedur Pengambilan Sampel .............................................................. 26
3.9.1 Prosedur Pengambilan Sampel Darah ......................................... 26
3.9.2 Prosedur Pengambilan Sampel Jaringan ..................................... 26
3.10 Prosedur Pemeriksaan Sampel ............................................................ 26
3.10.1 Prosedur Pemeriksaan Glukosa Darah ...................................... 26
3.10.2 Prosedur Pemeriksaan ELISA ................................................... 27
3.10.2.1 Pengukuran Kadar Homosistein .................................... 27
3.10.2.2 Pengukuran Kadar Insulin ............................................. 27
3.10.3 Prosedur Pemeriksaan HOMA-IR ............................................ 28
3.10.4 Prosedur untuk Preparat Histologi ............................................ 28
3.10.4.1 Pembuatan Sediaan Parafin Hati ................................... 28
3.10.4.2 Pewarnaan Hematoxylin-Eosin ..................................... 28
3.10.4.3 Gambaran Histopatologi Jaringan Hati ......................... 29

x
3.11 Analisis Data ..................................................................................... 30
3.12 Alur Penelitian ................................................................................... 31

BAB 4 HASIL .................................................................................................... 32


4.1 Kadar Homosistein Plasma Pada Restriksi Vitamin B12 ...................... 32
4.2 Kadar Insulin Plasma Pada Restriksi Vitamin B12 ............................... 33
4.3 Kadar Glukosa Plasma Pada Restriksi Vitamin B12 ............................. 34
4.4 Nilai HOMA-IR Pada Restriksi Vitamin B12 ....................................... 36
4.5 Gambaran Histopatologi Jaringan Hati Tikus Setelah
Restriksi Vitamin B12 .... ..................................................................... 37

BAB 5 PEMBAHASAN .................................................................................... 39


5.1 Pengaruh Diet Restriksi Vitamin B12 Pada Peningkatan
Homosistein Plasma ........................................................................... 39
5.2 Pengaruh Peningkatan Homosistein Pada Kadar Glukosa Plasma........ 39
5.3 Pengaruh Peningkatan Homosistein Pada Kadar Insulin Plasma .......... 41
5.4 Pengaruh Peningkatan Homosistein Pada Nilai HOMA-IR .................. 42
5.5 Pengaruh Peningkatan Homosistein Pada Steatosis Hati ...................... 43

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 45


6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 45
6.2 Saran ...................................................................................................... 45

DAFTAR REFERENSI .................................................................................... 47

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Analisis Skoring NAFLD Hewan Coba...........................….. 38

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Metabolisme Homosistein ............................................ 12


Gambar 2.2 Konstituen Homosistein Plasma ............................................... 13
Gambar 2.3 Mekanisme Molekuler Resistensi Insulin ................................ 17
Gambar 4.1 Konsentrasi Homosistein Plasma ............................................. 33
Gambar 4.2 Konsentrasi Insulin Plasma ...................................................... 34
Gambar 4.3 Konsentrasi Glukosa Plasma .................................................... 35
Gambar 4.4 Nilai HOMA-IR........................................................................ 36
Gambar 4.5 Gambaran Histopatologi Jaringan Tikus .................................. 37

xiii
DAFTAR SINGKATAN

AdoCbl : adenosylcobalamin
Cys : cysteine
DNA : deoxyribo nucleat acid
DNL : de novo lipogenesis
ELISA : enzyme linked immunosorbent assay
FFA : free fatty acid
HC : heptacorrin
Hcy : homocysteine
Hhcy : hyperhomocysteinemia
HOMA : homeostasis model assessment
GH : growth hormone
IF : intrinsic factor
IRS : insulin receptor substrat
MAPK : mitogen activated protein kinase
Met : methionine
MeCbl : methylcobalamin
MMM : methylmalonyl-CoA mutase
MS : methionine synthase
mRNA : micro ribo nucleat acid
mTOR : the mammalian target of rapamycin
NAFLD : non-alcoholic fatty liver disease
NASH : non-alcoholic steatohepatitis
PIP : phosphatidyl inositol phosphat
PEPCK : phosphoenolpyruvate carboxykinase
ROS : transcobalamin ROS
SAH : s-adenosyl-l-homocysteine
SAM : s-adenosyl methionine
SREEBP : sterol regulatory element-binding proteins
TC : transcobalamin
TCblR : transcobalamin receptor
TG : trigliserida

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Keterangan Lolos Kaji Etik


Lampiran 2. Analisis Statistik untuk perbedaan konsentrasi homosistein,
insulin, glukosa dan nilai HOMA-IR antara kelompok kontrol
dan perlakuan
Lampiran 3. Analisis Statistik untuk perbedaan konsentrasi hcy, insulin ,
glukosa dan nilai HOMA-IR antar kelompok kontrol
Lampiran 4. Analisis Statistik untuk perbedaan konsentrasi hcy, insulin ,
glukosa dan nilai HOMA-IR antar kelompok perlakuan
Lampiran 5. Daftar Riwayat Hidup

xv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perlemakan Hati Non Alkoholik (PHNA) merupakan salah satu penyakit
hati kronik terbesar yang di derita lebih dari 30% penduduk dunia.1 Perlemakan
Hati Non Alkoholik (PHNA) adalah spektrum kelainan hati dengan gambaran khas
berupa perlemakan hati dan muncul pada pasien yang tidak mengkonsumsi alkohol
dalam jumlah yang dianggap berbahaya bagi hati (kurang dari 20 gram alkohol per
minggu). Spektrum kelainan dimulai dari steatosis sederhana (tanpa inflamasi dan
fibrosis), steatosis dengan inflamasi atau Non Alcoholic Steatohepatitis (NASH),
dengan atau tanpa fibrosis dan dapat berlanjut menjadi sirosis. Prevalensi PHNA
pada populasi umum diperkirakan sebesar 20-30% di kawasan Barat dan 15% di
kawasan Asia. Peningkatan prevalensi faktor risiko PHNA, seperti resistensi
insulin, obesitas, dislipidemia dan sindroma metabolik di Asia-Pasifik, berperan
dalam peningkatan terjadinya PHNA. Berdasarkan survei menggunakan
ultrasonografi, prevalensi PHNA pada populasi umum di Asia beragam mulai dari
5-40%, sedangkan prevalensi PHNA di Indonesia terutama pada populasi urban
diperkirakan sebesar 30%. Angka demografi PHNA yang tinggi, pada kisaran
angka 30-40% dari jumlah populasi keseluruhan penduduk Eropa dan Asia, sangat
berhubungan erat dengan sindroma metabolik; dengan tingkat prevalensi dan
progresivitasnya yang meningkat. Prevalensi dari obesitas, diabetes mellitus tipe 2
dan hiperlipidemia adalah 30-100%, 10-75% dan 20-92% untuk masing masing
pada kasus PHNA.2 PHNA merupakan manifestasi pada hati dari kondisi sindroma
metabolik dan resistensi insulin.

Resistensi insulin merupakan patofisiologi utama dari PHNA yang dapat


menyebabkan terjadinya gangguan lipolisis perifer sehingga meningkatkan jumlah
asam lemak dalam darah yang dibawa menuju hati sehingga terjadi perubahan
profil lipid dan memicu terjadinya penumpukan lemak pada sel hati sehingga terjadi
PHNA.3 Akumulasi lemak pada sitoplasma sel hati disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya peningkatan transport baik Free Fatty Acid (FFA) atau
trigliserida (TG) ke hati, berkurangnya pemanfaatan FFA dan berkurangnya

1 Universitas Indonesia
2

pengiriman trigliserida dari hati.3 Selain itu resistensi insulin menyebabkan protein
Sterol Regulatory Element Binding Protein-1c (SREBP-1c) teraktivasi dan memicu
terjadinya de novo lipogenesis pada sel hati, sehingga akumulasi lipid pada sel hati
makin meningkat.4 Selain peningkatan influks lipid ke hati karena gangguan proses
lipolisis perifer dan proses de novo lipogenesis, juga penurunan efluks lipid dari
hati karena gangguan pembentukan Very Low Density Lipoprotein (VLDL),
mengakibatkan terjadinya akumulasi lipid pada jaringan hati. Faktor-faktor itu akan
memicu terjadinya perlemakan hati melalui mekanisme resistensi insulin. Beberapa
studi menunjukkan bahwa patogenesis utama PHNA melalui resistensi insulin,
dimana kemungkinan salah satu mekanismenya akibat peningkatan homosistein.2

Hubungan peningkatan homosistein dengan resistensi insulin telah


dikemukakan oleh Najib dkk.5 Najib melaporkan bahwa homosistein dapat
menghambat pensinyalan insulin dan berakibat pada terjadinya resistensi insulin.
Sedangkan pada penelitian epidemiologi yang luas oleh Meigs dkk memperlihatkan
hubungan antara kondisi hiperhomosisteinemia dengan resistensi insulin.6 Pada
penelitian case-control oleh Giltay dkk, juga diperlihatkan hubungan korelasi
antara kadar homosistein plasma dan kondisi resistensi insulin pada subjek manusia
dan hewan coba.5,7 Penelitian in vitro oleh Vonseca dkk, memperlihatkan bahwa
resistensi insulin dapat terjadi akibat interaksi metabolit homosistein, yaitu
homosistein tiolakton, yang mengakibatkan kondisi stress oksidatif dan kerusakan
pensinyalan insulin sehingga terjadi resistensi insulin pada stem cell hepatoma
tikus.5,8 Homosistein sendiri merupakan asam amino sulfihidril dimana
metabolisme perantaranya terletak pada persimpangan antara jalur transulfurasi dan
remetilasi biosintesis metionin.9,10

Homosistein merupakan asam amino yang mengandung gugus sulfur dan


bukan konstituen diet normal. Sumber homosistein utama adalah metionin yaitu
suatu asam amino esensial yang mengandung sulfur dan diperoleh melalui asupan
protein.11 Biosintesis metionin akan menghasilkan produk antara yaitu homosistein.
Metabolisme homosistein dipengaruhi oleh asam folat, vitamin B6 dan vitamin
B12, serta aktivitas berbagai enzim yang berperan pada jalur metabolismenya.12,13
Pada beberapa studi klinik kondisi resistensi insulin dapat diperbaiki dengan terapi
folat dan vitamin B12, disamping terjadinya penurunan level homosistein dan

Universitas Indonesia
3

insulin pada plasma.14,15 Hal ini terjadi karena vitamin B12 berperan sebagai
kofaktor enzim metionin sintase untuk mengubah bentuk homosistein menjadi
metionin.16 Penelitian yang dilakukan oleh Ghosh menggunakan pakan modifikasi
restriksi vitamin B12, memperlihatkan adanya penurunan kadar vitamin B12 diikuti
peningkatan kadar homosistein di minggu ke empat perlakuan, sedangkan Singh
dan Kumar memperlihatkan adanya penurunan kadar Vitamin B12 diikuti oleh
peningkatan homosistein yang secara signifikan terlihat di minggu ke dua belas
perlakuan.15,17 Akumulasi homosistein yang teroksidasi akan menjadi bentuk
homosistein tiolakton.8 Pada penelitian secara in vitro yang dilakukan Najib dkk
pada hati tikus yang dimasukan reseptor insulin manusia, memperlihatkan bahwa
homosistein tiolakton menghambat aktivitas reseptor insulin tirosin kinase,
mengakibatkan penurunan aktivitas fosfatidil inositol 3-kinase sehingga merusak
jalur pensinyalan insulin. Homosistein tiolakton juga berinteraksi secara langsung
pada pospatidil inositol 3-kinase, menghambat aktivasi Akt baik secara in vitro atau
in vivo, hingga terjadi kondisi resistensi insulin.7

Vitamin B12 adalah metabolit sekunder yang secara eksklusif hanya


diproduksi oleh beberapa jenis bakteri dan archarea. Diet vitamin B12 diperoleh
hampir secara eksklusif dari sumber hewani. Asupan vitamin B12 yang kurang
karena pola makan vegetarian adalah penyebab utama defisiensi vitamin B12 pada
orang dewasa muda, sedangkan penyebab paling umum dari defisiensi B12 pada
geriarti adalah gangguan absorbsi. Peningkatan kebutuhan vitamin B12 untuk
metabolism tubuh faktor utama penyebab defisiensi vitamin B12 pada wanita hamil
dan menyusui. Luasnya dampak defisiensi vitamin B12 terhadap berbagai sistem
tubuh terhadap dapat terjadi karena besarnya peranan vitamin B12 secara
fisiologis.18

Hingga saat ini belum ada penelitian yang menjelaskan mekanisme yang
menghubungkan antara akumulasi homosistein yang dipicu oleh restriksi vitamin
B12 hingga mengakibatkan kondisi resistensi insulin sebagai patofisiologi utama
perlemakan hati. Berdasarkan hal ini dilakukan penelitian tentang pengaruh
restriksi vitamin B12 pada hewan coba tikus terhadap peningkatan homosistein,
resistensi insulin dan gambaran perlemakan hati.

Universitas Indonesia
4

1.2 Rumusan Masalah

Dari berbagai data diatas diketahui bahwa defisiensi vitamin B12


kemungkinan berpengaruh pada pembentukan steatosis hati melalui resistensi
insulin. Hingga saat ini belum diketahui dengan pasti hubungan defisiensi vitamin
B12 dengan kondisi steatosis hati.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan uraian masalah diatas, dapat dirumuskan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan kadar homosistein plasma pada kelompok tikus
Sprague dawley dengan perlakuan restriksi vitamin B12 pada minggu ke 4, 8 dan
12 dibandingkan kelompok kontrol.
2. Apakah terdapat perubahan nilai HOMA-IR yang mencerminkan kondisi resistensi
insulin pada kelompok tikus Sprague dawley dengan perlakuan restriksi vitamin
B12 pada minggu ke 4, 8 dan 12 dibandingkan kelompok kontrol.
3. Apakah terdapat pengaruh perubahan homosistein dan perubahan nilai HOMA-IR
terhadap PHNA?

1.4 Hipotesis
Hipotesis yang mendasari penelitian ini adalah bahwa:
1. Kadar homosistein plasma akan meningkat pada kelompok tikus dengan perlakuan
restriksi Vitamin B12
2. Terdapat peningkatan nilai HOMA-IR pada kelompok tikus dengan perlakuan
restriksi vitamin B12
3. Terdapat pengaruh peningkatan homosistein dan peningkatan nilai HOMA-IR
terhadap PHNA

1.5 Tujuan Penelitian


1.5.1 Tujuan Umum

Mengetahui dampak restriksi Vitamin B12 terhadap kadar homosistein, resistensi


insulin dan gambaran PHNA pada tikus

1.5.2 Tujuan Khusus

Universitas Indonesia
5

1. Menganalisis perubahan kadar homosistein pada plasma tikus Sprague Dawley


pada minggu ke 4, 8 dan 12.
2. Menganalisis perubahan nilai HOMA-IR pada tikus Sprague Dawley pada minggu
ke 4, 8 dan 12.
3. Menganalisis perubahan gambaran histologis jaringan hati Sprague Dawley pada
minggu ke 4, 8 dan 12.

1.6 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa
pihak, diantaranya:
1. Peneliti
Penelitian ini sebagai sarana untuk meningkatkan kapasitas dalam melakukan
penelitian dan memberikan pemahaman mengenai patofisiologi terjadinya
Perlemakan Hati Non Alkoholik yang dipicu dari peningkatan homosistein
2. Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan menjadi dasar untuk penelitian lanjutan, mengenai
efek peningkatan homosistein terhadap kejadian Perlemakan Hati Non
Alkoholik
3. Institusi dan Keilmuan
Penelitian diharapkan dapat memperkaya keilmuan di bidang fisiologi,
terutama mengenai patofisiologi terjadinya Perlemakan Hati Non Alkoholik.
4. Praktisi Dunia Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi terhadap patofisiologi
dari Perlemakan Hati Non Alkoholik, yang diharapkan menjadi alternatif
pencegahan dan terapi terhadap kasus Perlemakan Hati Non Alkoholik.
5. Masyarakat Umum
Penelitian ini diharapkan menjadi dasar upaya preventif kejadian Perlemakan
Hati Non Alkoholik pada populasi risiko tinggi peningkatan homosistein.

Universitas Indonesia
6

KERANGKA TEORI
Restriksi Vitamin B12

Gangguan Enzim Metionin Sintase

Peningkatan Penurunan S-
Homosistein Adenosil
Plasma Homosistein

Gangguan
Resistensi Defisiensi donor
Produksi
Insulin metil Universal
Insulin

Defek pada reseptor


Gangguan metilasi
tirosin kinase, IRS dan
pada fosfatidil kolin
fosfstidil inositol 3 kinase

↑ De novo ↑Influx ↓ Transport


Lipogenesis Lipid Perifer trigliserida

Akumulasi Lipid di Hepar

Steatosis Hepar

Universitas Indonesia
7

KERANGKA KONSEP

Restriksi Vitamin B12

↑ Homosistein Plasma

Pembentukan
Homosistein tiolakton

Gangguan Persinyalan
Insulin

Gangguan insulin Gangguan


puasa Glukosa puasa
Plasma

Resistensi Peningkatan nilai


Insulin HOMA-IR

 ↑ Plasma lipid ke hati


 ↓Trigliserida dari hati

Gambaran
Steatosis Steatosis pada sel
Hepar hepar dengan
pewarnaan HE

- - - - - - : diteliti
: tidak diteliti

Universitas Indonesia
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perlemakan Hati Non Alkoholik

Perlemakan Hati Non Alkoholik (PHNA) merupakan penyakit hati kronik


yang paling banyak diderita saat ini, berada dikisaran 24% dari populasi dunia
secara umum, sedangkan di Indonesia mencapai kisaran angka 30,6%.2 PHNA
merupakan spektrum kondisi yang ditandai secara histologis dengan steatosis hati.
Secara histologis PHNA terbagi menjadi steatosis sederhana dan steatosis pada
tingkat yang lebih kompleks.19,20 Kondisi steatosis terjadi saat lipid terutama
trigliserida terakumulasi di hepatosit (lebih dari 5% keseluruhan hepatosit), dengan
spektrum makro atau mikrovesikular, adanya tanda inflamasi di parenkim hati atau
Non Alcoholic Steatohepatitis (NASH), fibrosis, hingga sirosis hati yang bisa
berkembang menjadi gagal hati dan hepatoseluler karsinoma, tanpa hubungan
dengan konsumsi alkohol.20,19

Istilah NASH pertama kali diangkat pada 1980 di dalam penelitian Ludwig
yang melaporkan perubahan histologi hati berupa steatosis, infiltrat inflamasi,
badan Mallory, fibrosis dan sirosis pada 20 pasien tanpa adanya riwayat konsumsi
alkohol yang signifikan. PHNA dianggap berperan pada 90% lebih kasus kenaikan
tes fungsi hati tanpa ditemukannya penyebab tertentu (virus, alkohol, penyakit hati
yang diturunkan dan obat-obatan).21

Patofisiologi dasar perkembangan PHNA kompleks. Mekanisme patogenesis


PHNA dapat dijelaskan dengan menggunakan hipotesis ‘multi hit’. Tahap-tahap
tersebut terdiri atas proses terjadinya akumulasi lemak dalam hati dan resitensi
insulin (first hit) yang berlanjut dengan stress oksidatif (second hit) yang akan
menyebabkan nekroinflamasi dan fibrosis.22

2.1.1 Epidemiologi dan Faktor Risiko PHNA

8 Universitas Indonesia
9

Pada 5 tahun terakhir, penelitian tentang kejadian perlemakan hati non


alkoholik telah banyak diteliti. Prevalensi tertinggi pada PHNA ada di Amerika
Serikat sekitar 51%. Penelitian di Swedia yang dilakukan dengan penelitian dari
populasi umum secara random mencapai 24%. Berdasarkan survei dengan
menggunakan ultrasonografi, dan commuted tomography prevalensi di Italia 16-
20%, Jepang 9-14%, dan Saudi Arabia 10%23, sedangkan prevalensi PHNA di
Indonesia terutama pada populasi urban diperkirakan sebesar 30%. Hasil prevalensi
pada populasi umum kurang lebih sekitar 20% dan hanya kisaran 2-3% yang
menjadi steatohepatitis non alkoholik.2 Prevalensi PHNA berbeda tergantung usia,
jenis kelamin dan berat badan. PHNA dan NASH dilaporkan terdapat pada segala
usia termasuk anak-anak, dimana prevalensi steatosis lebih rendah dibanding
dewasa (13-15%), namun meningkat pada subjek dengan obesitas (30-80%).
Prevalensi PHNA meningkat seiring usia dengan prevalensi tinggi pada laki-laki
usia 40 sampai 65 tahun.23

PHNA dianggap merepresentasikan komponen hepatik dari sindroma


metabolik berupa obesitas, hiperinsulinemia, resistensi insulin, diabetes,
hipertrigliserida dan hipertensi.24 Resistensi insulin memainkan peran besar pada
patogenesis PHNA dimana ditemukan bahwa resistensi insullin ringan sangat
umum terjadi pada stadium awal PHNA dan semakin berat resistensi insulin
berhubungan dengan semakin beratnya stadium dari PHNA.25 PHNA juga diduga
berkaitan dengan kelainan genetik, yaitu adanya kerusakan alel rs738409 dari
patatin-like phospholidase domain-containing protein 3 (PNPLA3).26 Pasien
dengan PHNA terbukti memiliki resistensi insulin yang tinggi pada hati dan otot
rangka.23,27

2.1.2 Patogenesis PHNA

Jalur metabolisme lipid di hati memiliki tiga jalur produksi lipid intrahepatik
yaitu masuknya lipoprotein trigliserida via reseptor LDL, lipolisis, jaringan adiposa
menjadi asam lemak bebas menuju hati dan proses de novo lipogenesis pada hati.
Selain itu terdapat 2 jalur pembersihan lipid agar tidak terakumulasi di hati (output),
pertama yaitu beta oksidasi komplit dari lipid intrahepatik, kedua adalah

Universitas Indonesia
10

pengeluaran lipid dengan mengkonjugasikan lipid intrahepatik dengan


apolipoprotein dalam bentuk VLDL.

Pada kondisi PHNA terdapat akumulasi lemak di hati. Lemak terakumulasi


di hati umumnya dalam bentuk trigliserida.28 Trigliserida berasal dari esterifikasi
gliserol dan asam lemak bebas (FFAs). Setelah disintesis, trigliserida akan disimpan
di sel hati. FFA berasal baik dari diet atau dari jaringan adiposa melalui lipolisis
dan / atau dari de novo lipogenesis (DNL) hepatik. Pada sel hati, FFA memasuki
jalur esterifikasi atau β-oksidasi.29 Penghambatan dari penggabungan trigliserida ke
VLDL menyebabkan gangguan sekresi trigliserida hingga terjadi akumulasi
trigliserida.30

De Novo Lipogenesis (DNL) dapat ditingkatkan dengan aktivasi faktor


transkripsi seperti Sterol Regulatory Element-Binding Protein-1 (SREBP-1).31
SREBP adalah faktor transkripsi hadir sebagai tiga isoform, salah satu bentuk
isoform itu adalah SREBP-1c, fungsi SREBP-1c mengatur aktivasi DNL, dimana
aktifasi SREBP-1c dirangsang oleh insulin, oleh karena itu disregulasi dari
SREBP-1c terlibat dalam akumulasi lemak hati .32,33 Terlepas dari mekanisme yang
mendasari, pasien dengan PHNA mengalami peningkatan DNL dibandingkan
dalam kondisi normal.34 Hal ini disebabkan Insulin reseptor substrat 2 (IRS-2) pada
hati bekerja untuk meregulasi SREBP-1c.35

Resistensi insulin, stres oksidatif dan inflamasi dipercaya memainkan peran


pada patogenesis dan progresivitas PHNA.36,37 Hipotesis ‘multi-hit’ telah
digunakan dalam menjelaskan patogenesis PHNA.36 Resistensi insulin
menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas yang diabsorbsi oleh hati,
menghasilkan keadaan steatosis sebagai hit pertama (first hit). Selain itu pada
kondisi resistensi insulin Pada kondisi resistensi insulin, IRS-2 mengalami down
regulation, oleh karena itu terjadi peningkatan ekspresi SREBP-1c sehingga proses
DNL mengalami peningkatan. Selain itu pada kondisi resistensi insulin β-oksidasi
FFA dihambat, sehingga peningkatan akumulasi lemak hati semakin bertambah.38

Kondisi steatosis yang disebabkan oleh resistensi insulin berlanjut dengan


berbagai interaksi kompleks (multiple second hit) yang melibatkan sel hati, sel
stelata, sel adiposa, sel kupfer,mediator-mediator inflamasi dan Reactive Oxygen

Universitas Indonesia
11

Species yang dapat menyebabkan kondisi inflamasi (NASH) atau berlanjut


sirosis.36,39 Asam lemak bebas di dalam hati dapat terikat dengan trigliserida atau
mengalami oksidasi di mitokondria. Produk-produk hasil oksidasi sifatnya
berbahaya dan dapat menyebabkan cedera pada hati yang selanjutnya dapat
berlanjut menjadi fibrosis. 2,36

2.2 Vitamin B12

Vitamin B12 atau kobalamin adalah vitamin yang sangat kompleks


molekulnya, mengandung sebuah atom kobalt yang terikat. Vitamin ini memiliki
struktur yang paling rumit dan unik dibandingkan vitamin lain karena memiliki
unsur kobalt dalam molekulnya. Vitamin B12 terdiri atas cincin corrin dengan atom
kobalt sebagai pusatnya dan berikatan dengan dua ligan pada atom tersebut.
Struktur ligan bagian atas akan berbeda setiap bentuk vitamernya dan menjadi dasar
penamaan CNCbl, HOCbl, MeCbl, dan AdoCbl.40

2.2.1 Absorbsi Vitamin B12

Absorbsi vitamin B12 memiliki mekanisme tersendiri. Didalam sekresi gaster


terdapat enzim transferase yang disebut faktor intrinsik. Faktor intrinsik mengikat
vitamin B12 yang membuat vitamin ini resisten terhadap serangan mikroba yang
menghuni rongga usus. Dalam bentuk terikat epada faktor intrinsik, vitamin B12
ditranspor menembus mukosa usus. Pada manusia, faktor intrinsik dihasilkan oleh
sel-sel cardia ventrikuli gaster. Didalam rongga ileum ikatan faktor intrinsik
vitamin B12 membuat kompleks dengan Ca dan Mg untuk kemudian di absorbsi
oleh dinding usus, lalu vitamin B12 dilepaskan kembali oleh suatu enzim yang
terdapat dalam sekresi dinding usus. Vitamin B12 yang telah terlepas kembali
kemudian diserap menembus epitel dan masuk kedalam mukosa usus halus.
Mekanisme ini hanya bisa dilakukan pada hydroxikobalamin dan cyanocobalamin,
tidak berlaku bagi derivat kobalamin lainnya. Proses ini terlihat pada gambar 2.1

Universitas Indonesia
12

Gambar.2.1 Proses absorbsi Vitamin B1241

Selanjutnya, vitamin B12 mungkin akan terikat dengan methionin sintase di


sitoplasma dengan sebelumnya di konversi ke MeCbl atau diangkut ke mitokondria
dan dimetabolisme menjadi AdoCbl yang menjadi terikat dengan methyl malonyl
coA mutase. Protein MMADHC berperan dalam mengarahkan vitamin B12 ke
sitoplasma atau mitokondria.42 Hati menjadi tempat penyimpanan dan metabolisme
dari vitamin B12, karenanya hati memainkan peran penting untuk homeostasis
vitamin B12.

2.2.2 Metabolisme Vitamin B12

Derivat dari cobalamin adalah kofaktor penting untuk 2 reaksi dalam sel
mamalia : 1) metil malonil coA mutase pada mitokondria , yang mengubah methyl
malonyl coA menjadi succynil coA dimana membutuhkan deoxyadenosil
cobalamin (AdoCbl) dan 2) methionin synthase pada sitosol yang mengkatalisis
metilasi homosistein untuk membentuk methionin, membutuhkan
methylcobalamin (MeCbl) dalam siklus katalitiknya.43

Universitas Indonesia
13

Dalam reaksi metionin sintase, homocysteine (HCys) diubah menjadi


metionin yang memungkinkan untuk recycle dari 5-methyl-tetrahy-drofolat (THF)
ke N5,10 methylene-THF yang diperlukan untuk sintesis de novo dari thymidy
asam dan akhirnya, untuk pembentukan DNA. Karena konversi N5-10-methylene-
THF menjadi N5-methyl- THF bersifat irreversible, pada kondisi defisiensi
kobalamin ‘‘perangkap’’ asam folat seperti N5-methyl-THF. Secara bersamaan,
HCys terakumulasi sementara metionin menurun, menyebabkan penurunan S-
adenosylmethionine yang lebih lanjut membatasi pembentukan N5,10-methylene-
THF dengan mengurangi sintesis formil-THF. Penurunan methionine dan S-
adenosylmethionine dapat membatasi banyak reaksi metilasi termasuk yang
melibatkan DNA.44,45 Hal ini dijelaskan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.2. Metabolisme vitamin B12 intrasel41

2.3 Homosistein

Homosistein (Hcy) adalah asam amino yang mengandung sulfur dan


terbentuk selama metabolisme metionin (Met) menjadi sistein (Cys). Di dalam
plasma homosistein terbagi atas bentuk yang telah direduksi dan telah dioksidasi.
Homosistein dalam bentuk tereduksi atau dengan gugus sulfhidril disebut
homosistein, dan homosistein dalam bentuk teroksidasi atau dengan ikatan disulfida
disebut homosistin. Bentuk disulfida juga dapat berikatan dengan sistein atau
dengan protein plasma. Sebanyak 98-99% homosistein di sirkulasi darah dalam

Universitas Indonesia
14

bentuk telah dioksidasi, dimana 80-90% terikat protein plasma seperti albumin.
Istilah homosistein total dalam pengukuran homosistein adalah hasil penjumlahan
semua bentuk homosistein dalam tubuh.46

Hiperhomosisteinemia (HHcy), merupakan faktor risiko untuk aterosklerosis


koroner, serebral, dan perifer.47 Pada dasarnya terdapat dua penyebab peningkatan
kadar homosistein antara lain: (1) Mutasi genetik enzim yang terlibat dalam
metabolisme homosistein; (2) Faktor lingkungan dan diet. Level hcy plasma dapat
ditingkatkan oleh metabolisme Met yang terganggu akibat mutasi pada gen yang
mengkode enzim-enzim untuk metabolisme Hcy, atau defisiensi kofaktor vitamin
tertentu.48 Selain itu juga dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, obat, dan asupan
nutrisi. Kadar vitamin B6, B12, dan asam folat berbanding terbalik dengan kadar
homosistein dalam darah. Ketiga vitamin ini banyak dikaji sebagai terapi untuk
menurunkan kadar homosistein. Metionin sintase, salah satu enzim yang
menggunakan vitamin B12 sebagai kofaktornya. Enzim ini berperan mengkatalisis
remetilasi homosistein ke metionin dan demetilasi 5-metilentetrahidrofolat menjadi
tetrahidrofolat. Restriksi vitamin B12 akibat turunnya asupan vitamin dapat
mengganggu proses ini, sehingga menyebabkan kenaikan homosistein beserta
gangguan sintesis DNA yang dapat menyebabkan anemia megaloblastik.49

Homosistein akan menyebabkan terjadinya kondisi stress oksidatif dan proses


homosisteinilasi protein.50 Hal ini mengakibatkan gangguan dari fungsi protein,
terjadinya kondisi unfolded protein dan memicu kondisi stress retikulum
endoplasma.51,52 Semua defek ini akan mengganggu jalur pensinyalan insulin dan
berakibat kondisi resistensi insulin.5,7

2.3.1 Biosintesis dan Metabolisme Hcy


Metabolisme homosistein melibatkan enzim utama seperti S-adenosyl-L-
metionin (SAM) synthetase/L-metionin adenosyltransferase, methyltransferase
(MT), dan S-adenosyl-Lhomosistein (SAH) hydrolase yang terdapat di berbagai
jaringan. Terdapat tiga jalur utama metabolisme homosistein, dapat dilihat di
gambar 2.1, yaitu: (i) resintesis ke bentuk SAH melalui aktivitas SAH hydrolase;
(ii) remetilasi ke metionin oleh jalur yang bergantung folat/B12, (iii) transulfurasi
ke sistationin.53

Universitas Indonesia
15

Gambar 2.3. Skema metabolisme homosistein54

Dalam kondisi normal, hampir 50% homosistein mengalami remetilasi ke


bentuk metionin. Daur homosistein ini dapat melalui dua jalur. Jalur pertama
membutuhkan kofaktor vitamin B12 dan folat. Folat sebagai kofaktor N-5-methyl
tetrahydrofolate (THF) berperan sebagai donor gugus metil ke homosistein dalam
reaksi yang dikatalisir enzim N-5-methyl tetrahydrofolate (THF) dan memerlukan
kofaktor vitamin B12. Jalur kedua menggunakan betaine sebagai donor gugus
metil, disintesis dari kolin oleh betaine-homosistein metiltransferase (BHMT).
Remetilasi oleh enzim BHMT ini terutama terjadi di hati, ginjal, dan lensa mata,
sedangkan jalur pertama terjadi hampir di seluruh jaringan.53

Jalur metabolisme homosistein yang terakhir adalah reaksi transulfurasi ke


bentuk sistein. Reaksi ini merupakan kondensasi antara homosistein dan serin
menghasilkan sistationin, sistationin kemudian dihidrolisis ke bentuk sistationin
dan α-ketobutyrate. Kedua reaksi ini dikatalisir oleh enzim sistationin β-sintase
dengan kofaktor vitamin B6 dan sistationin γ-lyase. α-Ketobutirat kemudian
mengalami dekarboksilasi oksidatif menjadi propionil CoA, kemudian dikonversi
menjadi suksinil CoA, yang merupakan produk tengah dalam siklus krebs. Jalur

Universitas Indonesia
16

transulfurasi ini berperan dalam: (i) metabolisme metionin; (ii) transfer gugus sulfur
dari metionin ke serin.55 Homosistein dibentuk di semua jaringan, namun proses
detoksifikasi melalui jalur transulfurasi hanya terjadi di hati, ginjal, usus halus,
pankreas, dan lensa. Otak dan jaringan adiposa memiliki enzim sistationin β-
sintase, namun tidak memiliki enzim sistationin γ-lyase, sedangkan sistem saraf
pusat tidak memiliki enzim BHMT, sehingga hanya bergantung pada jalur yang
memerlukan kofaktor asam folat dan vitamin B12 untuk konversi homosistein ke
metionin.48

Di dalam plasma homosistein bersirkulasi dalam 4 bentuk: sebanyak 1%


dalam bentuk bebas sebagai gugus thiol, 70-80% berikatan dengan protein plasma
dengan ikatan disulfida, terutama albumin, 20-30% kembali membentuk ikatan
dengan homosistein, dan sisanya berikatan dengan thiol, hal ini tampak pada
gambar 2.4.

Gambar 2.4. Konstituen homosistein plasma55

Ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh homosistein, yaitu: 1. Jika terjadi
kekurangan metionin, homosistein akan diremetilasi untuk membentuk metionin
dengan bantuan enzim N5,N10 metilentetrahidrofolatreduktase dan menggunakan
vitamin B12 sebagai kofaktor 2. Jika jumlah metionin dalam tubuh cukup,

Universitas Indonesia
17

homosistein akan bergabung dengan serin membentuk sistationin dengan bantuan


sistationin- β-sintase yang menggunakan vitamin B6 sebagai kofaktor. Sistationin
kemudian dihidrolisis menjadi sistein dan alfa-ketobutirat dalam reaksi yang
dikatalisir oleh gamma sistationase, menggunakan piridoksal fosfat sebagai
kofaktor.9
Aktifasi enzim sistationin-β-sintase dan inhibisi enzim N5-
metiltetrahidrofolatreduktase disebabkan oleh peningkatan kadar SAM. Dengan
demikian, secara tidak langsung peningkatan kadar metionin yang disertai
peningkatan kadar SAM akan menyebabkan aktivasi jalur transulfurasi dan
menekan jalur remetilasi sehingga kadar homosistein kembali ke basal.

2.3.2 Hiperhomosisteinemia dan Penyebabnya

Dalam keadaan normal homosistein dalam darah relatif sangat sedikit,


dengan kadar antara 5-15 μml. Kadar homosistein di ekstrasel di tentukan oleh
beberapa hal yaitu pembentukannya di dalam sel, metabolisme dan ekskresinya.
Jika produksi homosistein intrasel melebihi kapasitas metabolismenya, maka
homosistein akan dilepaskan ke ruang ekstra sel, sebaliknya jika produksi
berkurang maka pelepasan dari sel akan berkurang. Keadaan ini membantu
mempertahankan kandungan homosistein intrasel tetap rendah. Keseimbangan ini
dapat terganggu pada keadaan gangguan aktifitas enzim atau akibat jumlah kofaktor
yang berperan dalam metabolismenya berkurang.9 Defek genetik pada gen yang
mengkode sintesis enzim 5,10-metilentetrahidrofolat reduktase (MTHFR),
metionin sintase, dan sistationin β sintase yang merupakan enzim kunci
metabolisme homosistein akan menyebabkan lonjakan kadar homosistein dalam
darah.

Derivat dari vitamin B12 adalah kofaktor penting untuk 2 reaksi dalam sel
mamalia : 1) metil malonil-KoA mutase pada mitokondria , yang mengubah metil
malonil-KoA menjadi suksinil-KoA dimana membutuhkan deoxyadenosil vitamin
B12 (AdoCbl) dan 2) metionin sintase pada sitosol yang mengkatalisis metilasi
homosistein untuk membentuk metionin, membutuhkan methylvitamin B12
(MeCbl) dalam siklus katalitiknya.43 Metionin sintase, salah satu enzim yang

Universitas Indonesia
18

menggunakan vitamin B12 sebagai kofaktornya. Enzim ini berperan mengkatalisir


remetilasi homosistein ke metionin dan demetilasi 5-metilentetrahidrofolat menjadi
tetrahidrofolat. Restriksi vitamin B12 akibat turunnya asupan vitamin B12 yang
berperan sebagai kofaktor enzim metionin sintase menyebabkan akumulasi
homosistein.48

Kadar homosistein dalam tubuh dapat diukur dengan metode high


performance liquid chromatography dan enzyme immunoassay menggunakan
sampel serum atau plasma. Kadar homosistein dapat diukur di fase puasa. Kadar
normal homosistein dalam darah berkisar antara 5-15 μmol/L.
Hiperhomosisteinemia didefinisikan sebagai kadar homosistein dalam darah di atas
15 μmol/L. Kadar 16-30 μmol/L dikategorikan moderate, kadar 31-100 μmol/L
dikategorikan intermediate, dan kadar di atas 100 μmol/L dikategorikan severe.56

2.4 Insulin dan Resistensi Insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,


dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, jika terdapat stimulus
pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai
kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi darah. Peningkatan kadar glukosa darah
menginduksi sekresi insulin.

Proses sekresi insulin dapat diinduksi oleh peningkatan kadar glukosa darah.
Selanjutnya, glukosa melalui Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam
membran sel beta akan masuk kedalam sel untuk mengalami proses glikolisis dan
fosforilasi didalam sel untuk kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP
yang terbentuk dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yaitu proses mengaktifkan
penutupan K channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya
pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi
membran sel, yang diikuti oleh tahap pembukaan Ca Channel. Keadaan ini
memungkinkan masuknya ion Ca hingga terjadi peningkatan kadar ion Ca
intrasel.57

Dalam kondisi fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan


normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic.

Universitas Indonesia
19

Sekresi fase 1 adalah sekresi insulin yang terjadi setelah ada rangsangan terhadap
sel beta. Sekresi fase 1 biasanya memiliki puncak yang relatif tinggi untuk
mengantisipasi kadar glukosa darah yang meningkat tajam setelah makan. Fase 1
insulin berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah post absorbtif.
Setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2, dimana sekresi insulin
kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama.
Pengaturan gula darah selanjutnya diambil alih oleh fase 2. Sekresi insulin fase 2
berlangsung relatif lebih lama, tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan
ditentukan oleh kadar glukosa darah di akhir fase 1. Apabila sekresi fase 1 tidak
adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin
pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut dimaksudkan memenuhi
kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (post absorbtif) tetap dalam batas batas
normal.58

Secara normal, pensinyalan insulin dimulai dari ikatan insulin kepada


reseptor di bagian ekstraseluler. Ikatan ini memicu terjadinya beberapa reaksi
fosforilasi yang sangat penting bagi kerja insulin. Autofosforilasi pada asam amino
tirosin yang dirangsang oleh insulin dan terjadi pada domain sitoplasma dari
reseptor akan memperkuat kerja enzim tirosin kinase, yang kemudian
memfosforilasi beberapa protein intraseluler termasuk Insulin Reseptor Substrate-
1 (IRS-1). Fosforilasi dari IRS-1 mengakibatkan terjadinya sinyal sekunder yang
dapat mengakitivasi kinase fosfatidil inositol-3.

Pada jaringan perifer seperti otot dan lemak, insulin berikatan dengan reseptor
di membran sel. Secara normal, pensinyalan insulin dimulai dari ikatan insulin
kepada reseptor di bagian ekstraseluler. Ikatan ini memicu terjadinya beberapa
reaksi fosforilasi yang sangat penting bagi kerja insulin. Autophosporilation pada
asam amino tirosin yang dirangsang oleh insulin dan terjadi pada domain
sitoplasma dari reseptor akan memperkuat kerja enzim tirosin kinase, yang
kemudian memfosforilasi beberapa protein intraseluler termasuk Insulin Reseptor
Substrate-1 (IRS-1). Fosforilasi dari IRS-1 mengakibatkan terjadinya sinyal
sekunder yang dapat mengakitivasi kinase fosfatidil inositol-3 (PIP-3 kinase).
Selanjutnya aktivasi kinase fosfatidil inositol-3 diperlukan untuk stimulasi

Universitas Indonesia
20

transport glukosa oleh insulin dan diperlukan untuk menginduksi translokasi dari
GLUT-4 ke membran plasma.59

Resistensi insulin merupakan suatu kondisi yang berhubungan dengan


kegagalan organ target yang secara normal merespon aktivitas hormon insulin atau
kegagalan dari transduksi sinyal pada insulin.60 Resistensi insulin juga merupakan
patogenesis utama untuk terjadinya PHNA.36 Resistensi insulin pada tingkat seluler
dimanifestasikan dengan defek sinyal insulin post-reseptor. Mekanisme yang
mungkin sebagai penyebab resistensi insulin antara lain mekanisme down
regulation dari protein IRS atau PIP-3 kinase, restriksi dari fosforilasi tyrosine
reseptor insulin, protein IRS atau PIP-3 kinase, atau abnormalitas fungsi GLUT 4
yang disebabkan berbagai hal.57

Salah satu penyebab resistensi insulin disebabkan oleh faktor stres


intraseluler seperti Reactive Oxygen Species (ROS). ROS akn mengaktifkan jalur
JNK lalu IKKβ, selanjutnya akan mengaktifkan faktot transkripsi Nuclear Faktor-
кβ (NF- кβ). Translokasi NF- кβ ke dalam nukleus akan menginduksi transkripsi
berbagai macam mediator inflamatorik yang dapat mengarah pada keadaan
resistensi insulin.61 Hal ini dapat terlihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.5. Mekanisme molekuler resistensi insulin62

Resistensi insulin menyebabkan kegagalan fosforilasi kompleks IRS,


penurunan translokasi GLUT-4 sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel
menyebabkan terjadi hiperglikemia terutama pada jaringan perifer seperti otot dan

Universitas Indonesia
21

adiposa. Gangguan aksi insulin juga menyebabkan gangguan pada metabolisme


glukosa dengan berbagai dampak yang ditimbulkan termasuk pada hati.

Hati berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peningkatan kadar


glukosa puasa, lebih di tentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen
yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di hati. Kedua proses
ini berlangsung secara normal karena dikontrol oleh hormon insulin. Jika terjadi
resistensi insulin pada hati maka efek inhibisi insulin terhadap mekanisme produksi
glukosa tidak optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin semakin rendah
kemampuan inhibisi terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis , sehingga
tingkat produksi glukosa oleh hati juga semakin meningkat.63

Salah satu penyebab terjadinya hiperglikemia adalah respon jaringan tubuh


terhadap insulin, selain dari gangguan sekresi insulin juga oleh rendahnya respon
jaringan tubuh terhadap insulin. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut
pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai
jaringan tubuh.

Resistensi insulin menyebabkan penggunaan glukosa yang di mediasi oleh


insulin di jaringan perifer menjadi berkurang.64 Sel beta pankreas pada awalnya
akan melakukan kompensasi untuk merespon keadaan hiperglikemia dengan
memproduksi insulin dalam jumlah banyak dan kondisi ini menyebabkan keadaan
hiperinsulinemia.65 Kegagalan sel beta dalam merespon kadar glukosa darah yang
tinggi, akan menyebabkan abnormalitas jalur transduksi sinyal insulin pada sel beta
dan terjadi resistensi insulin. Resisten insulin pada sel beta pankreas menyebabkan
aktifasi jalur caspase dan peningkatan jalur kadar ceremide yang menginduksi
apoptosis sel beta, fase ini akan diikuti oleh berkurangnya masa sel beta di pankreas.
Pengurangan massa sel beta pankreas ini akan menyebabkan sintesis insulin
berkurang dan menyebabkan DM tipe 2.66

Keadaan resistensi insulin dapat ditentukan dengan berbagai tehnik, salah


satunya menggunakan indeks HOMA-IR (Homeostasis Model Assessment-Insulin
Resistance). Indeks HOMA merupakan pengukuran yang sahih dan dapat dipercaya
untuk mengetahui resistensi insulin. Tingkat resistensi insulin berbanding lurus
dengan besarnya indeks HOMA. Semakin tinggi nilai indeks HOMA-IR, semakin

Universitas Indonesia
22

tinggi derajat resistensi insulin.67 Metode HOMA-IR merupakan metode yang


paling sering dilakukan karena mudah dilakukan serta dapat memperkirakan
estimasi sensitivitas insulin dari konsentrasi glukosa puasa dan kadar insulin plasma
puasa. Hubungan antara kadar glukosa dan kadar insulin saat kondisi basal tersebut
menggambarkan keseimbangan antara sekresi insulin dan efek penggunaan glukosa
di organ target seperti hepar. Model HOMA IR dapat digunakan untuk mengukur
resistensi insulin pada manusia maupun tikus dan mencit.68,69

2.5 Efek Restriksi Vitamin B12 Pada Hiperhomosisteinemia, Resistensi Insulin


dan PHNA

Kelainan pada absorbsi, transport atau seluler uptake dari vitamin B12
dapat disebabkan ketiadaan atau kekurangan faktor intrinsik, defisiensi uptake pada
enterosit dan transport Cbl-IF; atau kekurangan transcobalamin. Gangguan dan
gejala ini terjadi karena kelainan pada jalur metabolik di mana vitamin B12
berfungsi sebagai kofaktor. Atau dengan kata lain, defisiensi vitamin B12
menghasilkan penumpukan dan / atau kekurangan senyawa tertentu yang secara
langsung terkait dengan enzim metionin sintase dan metilmalonil CoA mutase.43
Luasnya dampak defisiensi vitamin B12 terhadap berbagai sistem tubuh
terhadap dapat terjadi karena besarnya peranan vitamin B12 secara fisiologis.
Komponen aktif vitamin B12, yakni methylcobalamin dan adenosylcobalamin
merupakan cofaktor dari enzim metionin sintase (MS) dan enzim methylmalonyl-
CoA mutase (MMM). Metionin sintase, memiliki peran ganda. Pada siklus metilasi
mengubah homosistein menjadi metionin, selain itu juga 5-methyltetrahidrofolat
(5-MTHF) ke tetrahidrofolat (THF) dalam siklus folat. Reaksi enzimatik ini terjadi
di sitosol. Metilcobalamin terbentuk ketika vitamin B12 dalam metionin sintase
mengambil gugus metil dari 5-MTHF. Selanjutnya, methyvitamin B12 yang baru
terbentuk, terikat pada methaseine sintase, melepaskan gugus methil untuk
ditransfer ke homosistein sehingga menghasilkan metionin. Metionin kemudian
diubah menjadi S-adenosylmetionin (SAMe) - donor metil utama tubuh - yang
terlibat dalam berbagai jalur biokimia.42 Kekurangan B12 dalam sintase metionin
juga akan mencegah konversi homosistein menjadi metionin dalam siklus metilasi.
Hal ini mengakibatkan penumpukan homosisteine dan dikenal sebagai

Universitas Indonesia
23

hyperhomosisteinemia (Hhcy).49,70 Banyak penelitian yang membuktikan


hubungan antara peningkatan kadar Hcy dan resistensi insulin.5,7,71
Pada kondisi hiperhomosisteinemia, homosistein menyebabkan toksisitas
pada sel yang berakibat resistensi insulin lewat beberapa jalur, diantaranya:

1. Peningkatan Produksi Radikal Bebas


Homosistein diketahui mengandung gugus sulfhidril yang reaktif, dan
cenderung membentuk ikatan disulfida dan melepaskan radikal bebas sebagai
produk sisanya. Dalam sel, homosistein terutama berada dalam bentuk tereduksi,
sedangkan di ekstrasel homosistein sebagian besar ditemukan dalam bentuk
teroksidasi baik sebagai suatu disulfida atau terikat protein. Homosistein tereduksi
mempunyai gugus tiol bebas yang sangat reaktif, yang dapat berpartisipasi dalam
reaksi redoks pada pH fisiologis, mudah mengalami autooksidasi membentuk
ikatan disulfida antara dua molekul homosistein dan menghasilkan produk ROS.
Salah satu penyebab kondisi resistensi insulin pada peningkatan
homosistein adalah ROS. ROS akan mengaktivasi jalur JNK dan IKKβ dan
selanjutnya akan mengaktifkan faktor transkripsi NF-kβ. Translokasi NF-kβ ke
dalam nukleus akan menginduksi transkripsi berbagai macam mediator
inflamatorik yang dapat mengarah pada keadaan resistensi insulin.62

2. Pembentukan Homosistein Tiolakton


Jika rasio homosistein intraseluler terhadap metionin tinggi, enzim yang
mengkonjugasi metionin ke t-RNA, yaitu metionil-tRNA sintase (MetRS), akan
menyebabkan misaktivasi homosistein, sehingga terbentuk ikatan antara gugus
thiol dengan gugus karboksil membentuk derivat homosistein siklik yang disebut
homosistein tiolakton.72 Homosistein tiolakton bersifat toksik pada sel.52
Homosistein thilakton akan menginhibisi fosforilasi tirosin pada reseptor tirosin
kinase dan IRS-1. Selain itu homosistein tiolaktone juga menurunkan aktivitas dari
p85, suatu bagian regulator Phospatidil inositol 3 kinase, mengakibatkan gangguan
pada pensinyalan insulin.5
Gugus tioester dari homosistein tiolakton cenderung berikatan dengan
gugus lisin pada protein dan membentuk ikatan amida, suatu proses yang disebut

Universitas Indonesia
24

N-homosisteinilasi.51 Protein yang telah mengalami N-homosisteinilasi


mengakibatkan kerusakan protein, sebagai satu mekanisme yang mendasari
keterlibatan homosistein dalam patologi penyakit vaskuler. Namun mekanisme ini
tidak memungkinkan untuk memediasi efek tiolakton pada sinyal reseptor insulin
pada masa yang singkat, namun proses ini dapat berlangsung pada paparan yang
lebih lama.5,8
Akumulasi Hcy intrasel mengakibatkan kondisi resistensi insulin lewat jalur
stress oksidatif akibat pembentukan ROS dan Hcy tiolaktone.5,62,72
Hhcy mengakibatkan resistensi insulin lewat pembentukan hcy tiolakton
yang akan merusak jalur pensinyalan insulin.5,8,72 Kerusakan jalur persinyalan
insulin mengakibatkan terjadinya resistensi insulin, jika kondisi resistensi insulin
terjadi di hati menyebabkan inhibisi insulin terhadap proses glukoneogenesis dan
lipogenesis di akan menghilang, sehingga terjadi peningkatan gula darah puasa dan
proses de novo lipogenesis meningkat akibat meningkatnya ekspresi SREBP-1c,
suatu faktor transkripsi yang berperan dalam ekspresi gen untuk proses lipogenesis
pada hati.38,73
Hubungan peningkatan homosistein dengan resistensi insulin telah
dikemukakan oleh Najib dkk.5 Najib melaporkan bahwa homosistein dapat
menginhibisi pensinyalan insulin dan berakibat pada terjadinya resistensi insulin.
Sedangkan pada penelitian epidemiologi yang luas oleh Meigs dkk yang
memperlihatkan hubungan antara kondisi hiperhomosisteinemia dengan resistensi
insulin.6
Resistensi insulin dapat mengganggu regulasi dari metabolisme lipid,74
merupakan hal umum yang biasa ditemui untuk mengobservasi perjalanan NAFLD
baik manusia atau hewan.75 Regulasi produksi lipid dan glukosa akan terganggu
ketika aksi insulin mengalami gangguan.74

Steatosis kondisi awal dari NAFLD yang berkembang disebabkan proses


lipogenesis dan uptake asam lemak melebihi kapasitas efflux lipid dari hati.76
Ekspresi gen yang terlibat pada proses de novo lipogenesis pada hati secara
signifikan meningkat pada pasien NAFLD.10 Pada kondisi sehat, lipogenesis
memberikan kontribusi sebesar 5% dari humlah total trigliserida hati. Namun angka
ini meningkat sebesar 26% pada pasien dengan NAFLD. Peningkatan biosintesis

Universitas Indonesia
25

ini memberikan kontribusi yang besar pada pasien NAFLD.3 Selain itu, lipolisis
jaringan adiposa juga meningkat pada pasien NAFLD yang mempercepat tingkat
serapan NAFLD oleh hati.77 Walaupun terdapat peningkatan regulasi oksidasi asam
lemak dan ekspor trigliserida oleh VLDL pada pasien NAFLD, namun proses ini
tidak dapat mengembalikan homeostasis pada hati.78

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa kekurangan vitamin B12


dapat berkontribusi pada perkembangan steatosis.79 Defisiensi vitamin B12
berhubungan dengan peningkatan ekspresi gen yang mengatur biosintesis lipid,
80,81
yang akan mengganggu metabolisme pada hati. Penurunan enzim
methylmalonil CoA mutase yang berfungsi mengatur regulasi lemak rantai panjang
untuk masuk ke dalam siklus krebs pada mitokondria, mengakibatkan gangguan
metabolisme lipid pada hati.82 Transport lipid dari hati oleh VLDL terganggu pada
defisiensi cobalamin.Cobalamin adalah molekul yang sangat penting untuk proses
sintesis S-adenosylmethionine (SAM) dari methionine. Phosphatidylethanolamine
N-methyltransferase (PEMT) menggunakan SAM sebagai donor methyl untuk
mengkatalisa metilasi dari phasphatidylethanolamine (PE) ke phosphatidylcholine
(PC), yang dibutuhkan untuk pembentukan VLDL pada hepatosit.83 Sintesis PC
dari PE oleh PEMT menurun pada kondisi defisiensi cobalamin.70 Penurunan rasio
PC dengan PE mempengaruhi eksport lipid oleh VLDL, dan menyebabkan
akumulasi lipid hati.84 Selain itu gangguan metabolisme homosistein akibat
defisiensi kobalamin menyebabkan menurunnya jalur transulfurasi di hati,
meningkatkan index perbandingan SAM/SAH, hingga terjadi steatosis hati.70
Seperti terlihat pada gambaran dibawah ini

Universitas Indonesia
26

Gambar 2.7. Patofisiologi Perlemakan Hati Non Alkoholik

Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian dengan studi eksperimental in vivo
menggunakan hewan coba tikus Sprague Dawley jantan usia 35-40 minggu yang
dibagi secara acak ke dalam 4 kelompok, yaitu: (1) kelompok kontrol normal tanpa
diberi diet restriksi Vitamin B12 (2) kelompok pertama diberi perlakuan diet restriksi
Vitamin B12 10mg/Kg BB selama 4 minggu (3) kelompok kedua diberi perlakuan
diet restriksi Vitamin B12 10mg/Kg BB selama 8 minggu (4) kelompok ketiga diberi
perlakuan diet restriksi Vitamin B12 10mg/Kg BB selama 12 minggu.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian diawali dengan pemberian perlakuan hewan coba, dekapitasi
hewan coba dan pengambilan spesimen hewan coba yang dilakukan di Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (PUSLITBANGKES) FKUI. Pengolahan
dan analisis spesimen dilakukan di Laboratorium Terpadu FKUI. Pembuatan
preparat histologi sediaan hati serta dilakukan pewarnaan Hematoxylin Eosin
dilakukan di Laboratorium Histologi FKUI. Penelitian dilakukan sejak bulan
Oktober 2017 hingga bulan Mei 2018.

3.3 Persetujuan Etik


Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian hibah Pasca DIKTI 2018,
yang berjudul Kajian restriksi Vitamin B12 Terhadap Fungsi dan Struktur Organ
Ginjal, Jantung dan Hati Ditinjau dari Gangguan Fungsi Enzim Metionin Sintase
dan Methyl Malonil Coa-A Mutase dan Hibah PITTA UI 2018 dengan judul
Perlemakan Hati dan Kerusakan Jantung Tikus dengan Restriksi Vitamin B12:
Kajian Enzim Methioinine Sintase, PGC-1α, BNP dan CK-18. Penelitian ini telah
memperoleh persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia dengan nomor: 184/UN2.F1/ETIK/2017,
tanggal 6 Maret 2017.

27 Universitas Indonesia
28

3.4 Hewan Coba


Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus (Rattus Novergicus) jantan
galur Sprague Dawley (n=24) yang berusia 35-40 minggu. Hewan coba diperoleh
dari biakan V-Stem Litbangkes FKUI. Pencahayaan diatur dengan siklus gelap
terang 12:12 jam. Hewan coba memiliki akses terhadap makanan dan minuman ad
libitum. Hewan coba ditempatkan dalam kandang dengan jumlah 3 ekor per
kandang. Kandang hewan coba dijaga kebersihannya, dengan penggantian bedding
2 hari sekali. Berat badan hewan coba diukur setiap 2 minggu. Hal-hal lain dalam
penelitian ini disesuaikan dengan kode etik komisi penanganan dan penggunaan
hewan coba.

3.5 Penetapan Jumlah Hewan Coba


Jumlah hewan coba untuk penelitian ini ditetapkan dengan rumus Federer
sebagai berikut.

(𝒕 − 𝟏)(𝒏 − 𝟏) ≥ 𝟏𝟓

Dimana:
t = jumlah kelompok
n= jumlah sampel tiap kelompok

Pada penelitian ini subjek akan tikus akan dibagi menjadi 4 kelompok yakni
kelompok kontrol (K) dan tiga kelompok perlakuan (P). Kelompok perlakuan
dibedakan atas waktu pengambilan sampel darah dan jaringan, yakni kelompok
perlakuan 4 minggu (P-1), 8 minggu (P-2) dan 12 minggu (P-3). Oleh karena itu
jumlah sampel dapat dihitung sebagai berikut.

(t-1)(n-1) > 15
(4-1)(n-1) ≥ 15
3(n-1) ≥ 15
3n ≥ 18
n≥6

Universitas Indonesia
29

Berdasarkan perhitungan dengan rumus Federer, jumlah sampel yang


dibutuhkan adalah 6 sampel untuk tiap kelompok. Maka jumlah total sampel adalah
24 sampel. Adapun kriteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus
galur Sprague-Dawley usia 35-40 minggu dengan berat badan 350-400 gram dan
sehat. Kriteria eksklusi yang digunakan adalah hewan coba sakit, atau mati sebelum
dilakukan dekapitasi.

3.6 Identifikasi Variabel


Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pakan restriksi Vitamin B12.
Sedangkan, variable terikat penelitian ini adalah adalah kadar homosistein puasa
plasma, insulin puasa plasma, glukosa puasa plasma, nilai HOMA-IR dan
gambaran PHNA pada hati tikus.

3.7 Alat dan Bahan


3.7.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sentrifus, shaker,
micropippete, vortex, mini centrifuge, ultra-turrax homogenizer, dan microplate
reader.

3.7.2 Bahan Penelitian


Bahan yang dianalisis pada penelitian ini yaitu serum darah dan jaringan
hati tikus jantan galur Sprague-Dawley. Pakan yang digunakan adalah pakan
AIN-93M dari produsen Research Diet USA.

3.7.3 Bahan Kimia yang Digunakan


Rat Homosistein ELISA Kit (MyBiosource Pharmaceuticals, INC, USA;
EK-067-29), Rat Insulin ELISA kit (MyBiosource Pharmaceuticals, INC, USA;
EK-067-29).

3.8 Cara Kerja


3.8.1 Adaptasi Hewan Coba
Tikus yang akan digunakan dalam penelitian didapatkan dari Institut
Pertanian Bogor. Setelah tiba di rumah hewan Bagian Litbangkes Fakultas Gizi,
hewan coba akan ditempatkan pada kandang yang dijaga kebersihannya dalam

Universitas Indonesia
30

ruangan dengan suhu sekitar 24±1o C. Penerangan ruang diatur 12 jam terang
dan 12 jam gelap. Selama 1 minggu akan dilakukan aklimatisasi hewan coba
dengan tujuan agar tikus beradaptasi dengan lingkungan dan menyeragamkan
pola makan hewan coba. Selama proses penelitian tikus akan diberi pakan dan
minum secara ad libitum. Seluruh kelompok hewan coba akan diberi pakan
standar rodent tipe AIN-93M.15
AIN-93M merupakan pakan standar hewan coba rodent yang menyokong
kebutuhan nutrisi untuk tikus dewasa, kode M menunjukan arti maintenance.
Diet ini diformulasikan oleh American Institute of Nutrition yang sejak tahun
1973 mengembangkan komposisi diet yang sesuai untuk rodent hewan coba
laboratorium.5 Dari berberapa jenis diet yang telah diformulasikan, diketahui
komposisi AIN-93M sesuai dengan kebutuhan nutrisi hewan coba rodent
sehingga efektif digunakan untuk penelitian nutrisi, toksikologi, maupun
gerontologi. Tipe diet ini juga dapat digunakan pada penelitian jangka panjang
dengan tetap mempertahankan fungsi organ dan survival rate yang normal.7

3.8.2 Induksi Diet


Setelah menjalani periode aklimatisasi, tikus akan dibagi menjadi empat
kelompok yakni kelompok kontrol (K) dan tiga kelompok perlakuan (P) dengan
masing-masing kelompok terdiri atas enam tikus. Kelompok perlakuan dibedakan
atas waktu pengambilan sampel darah dan jaringan, yakni 4 minggu (P-1), 8
minggu (P-2) dan 12 minggu (P-3).
Kelompok kontrol akan diberi pakan jenis AIN-93M, sedangkan kelompok
perlakuan akan diberikan pakan jenis AIN-93M tipe yang dimodifikasi sehingga
tidak mengandung vitamin B12 dan diberikan penambahan zat pectin 5% per kg
pakan yang membuat tidak dapat diabsorbsinya vitamin B12 yang terkonsumsi
secara tidak langsung. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari
Research Diets, USA. Produk pakan yang digunakan telah memperoleh sertifikat
ISO standar pakan untuk hewan coba. Komposisi kandungan makro dan
mikronutrien pakan dapat dilihat pada lampiran.
Tikus diberi pakan dan minum setiap hari secara ad libitum melalui tempat
pakan yang tersedia di kandang individu sehingga tikus dapat mengakses sendiri
pakan dan minumnya. Sisa pakan setiap hari ditimbang sehingga jumlah konsumsi

Universitas Indonesia
31

pakan dapat dihitung. Tikus akan diambil kembali sampel darah pada minggu yang
telah ditentukan pada masing-masing kelompok. Setelah sampel darah dan urine
diambil, tikus kemudian akan didekapitasi untuk kemudian diambil sampel jaringan
hati. Sampel darah dan jaringan akan diperiksa di laboratorium.

3.9 Prosedur Pengambilan Sampel


3.9.1 Prosedur Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan melalui sinus orbitalis dengan
sebelumnya dilakukan anestesi umum ketamin (100mg/kg) + xylazine (5mg/kg)
secara intraperitoneal. Darah diambil sebanyak 2 ml menggunakan pipet
mikrohematokrit.85 Sebanyak 1 ml darah ditempatkan pada tabung Eppendorf yang
telah berisi antikoagulan ethylendiaminetetraacatic acid (EDTA) untuk
pemeriksaan hematologi. Sebanyak 1 ml lainnya ditempatkan pada tabung tanpa
antikoagulan kemudian didiamkan dalam suhu ruangan minimal 30 menit sehingga
terjadi bekuan darah kemudian dilakukan sentrifugasi 2000g selama 15 menit untuk
mendapatkan serum lalu serum disimpan dalam tabung Eppendorf. Seluruh sampel
darah disimpan pada suhu -80o C sampai dilakukan pemeriksaan.

3.9.2 Prosedur Pengambilan Sampel Jaringan


Setelah waktu yang ditentukan sesuai kelompok masing-masing, tikus akan
didekapitasi. Selanjutnya akan dilakukan nekropsi dan dilakukan pengambilan
organ hati. Pengambilan dilakukan dengan hati-hati agar tidak ada jaringan hati
yang rusak dan minimalnya kontaminasi darah. Organ hati yang telah diambil
kemudian dicuci dengan PBS, lalu ditimbang dengan timbangan analitik ketelitian
0,1-600 gram. Selanjutnya jaringan dipotong dengan ketebalan 1x1x1cm dan
dimasukan dalam wadah tertutup dan berlabel yang berisi bufffer formalin 10%
dengan perbandingan 20:1 lalu didiamkan dalam suhu ruangan selama minimal 24
jam untuk selanjutnya akan dibuat blok parafin.

3.10 Prosedur Pemeriksaan Sampel


3.10.1 Prosedur Pemeriksaan Glukosa Darah

Universitas Indonesia
32

Setelah sampel darah diambil, disiapkan tiga buah tabung reaksi yang telah
diberi label (blanko, standar dan sampel) dan kedalam ketiga buah tabung tersebut,
diisi reagen kerja sebanyak 1000µl, kemudian ke dalam tabung standar
ditambahkan sampel sebanyak 10µl. Setelah itu sampel di homogenkan dan
diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20-25º c dan dibaca pada spektrofotometer
pada panjang gelombang 546 nm.
Enzim glukosa oksidase mengkatalisis reaksi oksidasi glukosa menjadi
asam glukonat dan hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida yang terbentuk
bereaksi dengan phenol dan 4-amino phenazone dengan bantuan enzim peroksidase
menghasilkan quinoneimine yang berwarna merah muda dan dapat diukur pada
fotometer dengan panjang gelombang 546 nm.

3.10.2 Prosedur Pemeriksaan ELISA


3.10.2.1 Pengukuran Kadar Homosistein
Hcy diukur dengan kit ELISA spesifik untuk tikus yang akan disediakan
oleh MyBioSource. Prinsip ELISA menggunakan metode direct competitive
terhadap Biotin-detection antibody. Sampel yang digunakan berasal dari serum
yang telah dipersiapkan.
Setelah larutan standar disiapkan, serum yang telah diencerkan
dimasukkan kedalam sumur yang telah dilapisi oleh Hcy competitive antigen,
tambahkan Biotin-detection antibody lalu inkubasi selama 45 menit pada suhu 37oC
diikuti pencucian sebanyak tiga kali dengan larutan pencuci buffer. Tahap
selanjutnya adalah menambahkan streptavidin conjugated Horseradish Peroxidase
(SABC) sebagai detection system lalu diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC
diikuti pencucian dengan larutan buffer pencuci sebanyak lima kali. Substrate
tetramethylbenzidine (TMB) kemudian ditambahkan lalu dilakukan inkubasi 20
menit pada suhu 37oC dalam kondisi tidak terpapar cahaya matahari. Tahap akhir
adalah menambahkan stop solution kedalam masing-masing sumur sehingga warna
akan berubah menjadi kuning. Optical Density (OD) dibaca dalam 5 menit
menggunakan microplate reader pada 450nm dengan detection range terletak
antara 7,813pmol/ml – 500pmol/ml.

Universitas Indonesia
33

3.10.2.2 Pengukuran Kadar Insulin


Insulin diukur dengan kit ELISA spesifik untuk tikus yang akan disediakan
oleh MyBioSource. Prinsip ELISA menggunakan metode direct competitive
dimana kompetisi terjadi antara hcy sebagai antigen (dalam sampel atau standar)
dan sejumlah hcy yang jumlahnya tetap didasar sumur terhadap Biotin-detection
antibody. Sampel yang digunakan berasal dari serum yang telah dipersiapkan.
Sebanyak 100 µL standard atau sampel ditambahkan pada tiap sumuran,
kemudian diinkubasi selama 90 menit pada suhu 370C. Setelah itu cairan dibuang
dan ditambahkan dengan 100µL biotinylated detection Ab dan diinkubasi selama 1
jam pada suhu 370C kemudian dicuci sebanyak tiga kali, selanjutnya ditambahkan
100µL HRP conjugate dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 370C, kemudian
dicuci sebanyak 5 kali. Sebanyak 90µL reagen substrat ditambahkan dan diinkubasi
selama 15 menit pada suhu 370C. Lalu ditambahkan stop solution 50µL, kemudian
dibaca pada panjang gelombang 450nm.

3.10.3 Prosedur Pemeriksaan HOMA-IR


Kadar HOMA-IR diukur dengan menggunakan rumus berikut:

HOMA-IR = InsP x GDP


22,5

Ket: InsP: Kadar Insulin Puasa (mU/L)


GDP: Kadar Glukosa Darah Puasa (mmol/L)

3.10.4 Prosedur untuk Preparat Histologi


3.10.4.1 Pembuatan sediaan parafin hati
Jaringan hati yang sudah difiksasi dengan buffer formalin 10% didehidrasi
dengan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%) untuk mengeluarkan
seluruh cairan di dalam jaringan. Selanjutnya adalah proses clearing untuk
menghilangkan sisa alkohol yakni dengan merendam jaringan pada larutan xylol
sebanyak 2 x 1 jam. Proses selanjutnya adalah embeding dimana jaringan

Universitas Indonesia
34

dimasukkan kedalam wadah yang berisi cairan parafin sebanyak tiga kali. Tahap
terakhir adalah pengecoran (blocking) dengan menggunakan cetakan khusus
sehingga terbentuk blok parafin jaringan hati

3.10.4.2 Pewarnaan Hematoxylin Eosin


Blok parafin yang telah dibuat kemudian dipotong menggunakan mikrotom
dengan ketebalan 5µm lalu pita parafin yang mengandung jaringan dipindahkan
kedalam waterbath yang suhunya 37-40oC. Setelah pita mengembang dengan baik
lalu diangkat dan direkatkan ke kaca objek. Kaca objek yang berisi preparat
jaringan diletakkan di atas hotplate dengan suhu 40-45oC selama satu jam.
Pulasan yang akan dilakukan adalah teknik Mayer HE. Preparat yang telah
dikeringkan kemudian dilakukan deparafinisasi dengan xylol selama 2 x 5 menit,
dilanjutkan dengan hidrasi bertingkat dengan alkohol konsentrasi 100% (2x2 min)
– 95% (2 min) – 90% (2 min) – 80% (2 min) - 70% (2 min) – aqua destilata (3min).
Selanjutnya dilakukan inkubasi dalam larutan pewarna Hematoxylin Mayer selama
15 menit lalu cuci dalam air mengalir 10-15 menit. Selanjutnya larutan eosin
diberikan selama 15 detik - 2 menit tergantung ketajaman warna yang diinginkan
kemudian dilakukan dehidrasi dalam alkohol dengan konsentrasi meningkat 70-
100% masing-masing 2 menit. Terakhir lakukan penjernihan alkohol dengan xylol
2x2 menit lalu tutup dengan entelan (Canada Balsam). Preparat kemudian dibaca
dibawah mikroskop binokuler dan dilakukan interpretasi ada tidaknya perubahan
struktur histologis hati

3.10.4.3 Gambaran Histopatologi Jaringan Hati


Penilaian terhadap gambaran histopatologi jaringan hati dilakukan dengan
penilaian skoring menurut Liang et al.86 Penilaian dilakukan dengan melihat
steatosis dan inflamasi. Steatosis mencakup mikrovesikuler dan makrovesikuler
yang dihitung secara terpisah, perbedaan antara makrovesikuler dan mikrovesikuler
berdasarkan pergeseran inti menuju tepi sel, sementara hipertrofi hepatosit
didefinisikan sebagai pembesaran sel hati lebih dari satu setengah kali ukuran
normal karena vakuol di sitoplasma. Jumlah skor untuk steatosis berjumlah nol
sampai sembilan dan hanya hepatosit yang diperhitungkan, sedangkan vena
hepatika dan saluran portal tidak diperhitungkan. Sementara inflamasi dievaluasi

Universitas Indonesia
35

dengan menghitung jumlah peradangan per lapangan pandang, focus dihitung


berdasarkan klaster dimana terdapat ≥ 5 sel inflamasi per fokus. Skor total ≥1 pada
kondisi makrovesikuler atau mikrovesikuler dan hipertrofi hepatosis menandakan
terjadinya kondisi steatosis pada Perlemakan Hati Non Alkoholik (PHNA). Jika
skor pada inflamasi ≥ 1 disertai kondisi steatosis, maka telah terjadi kondisi
steatohepatitis atau NASH

3.11 Analisis Data


Data yang telah diperoleh akan dilakukan uji normalitas dengan menggunakan
Shapiro-Wilks. Untuk mengukur perbandingan antar minggu padakelompok
kontrol dan kelompok perlakuan, dilakukan uji one way ANOVA, jika data
berdistribusi normal akan dianalisis menggunakan uji statistik parametrik one way
ANOVA yang kemudian akan dilanjutkan dengan analisis post-hoc. Namun, jika
data tidak berdistribusi normal maka akan dilakukan transformasi data. Bila data
masih tidak berdistribusi normal maka uji yang akan digunakan adalah uji non-
parametrik berupa uji Kruskal Wallis. Sedangkan untuk membandingkan antara
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dilakukan analisis menggunakan uji
statistik parametrik T-test independent. Pengolahan data menggunakan program
komputer SPSS 23.

Universitas Indonesia
36

3.12 Alur Penelitian

Tikus Sprague Dawley Jantan, sehat umur 35-40


minggu berat badan awal kisaran 300-350gr n=24

Aklimatisasi 1 minggu

Kontrol (K) Perlakuan (P)


Diet AIN-93M Diet AIN-93

K P–1 P–2 P–3


(Kontrol) 4 minggu 8 minggu 12 minggu

Pemeriksaan Basal Plasma Hcy, Insulin, Glukosa untuk keolmpok K, P-4, P-8 dan P-12

 Pengambilan darah serum


4  Pengambilan darah serum Pemeriksaan Glukosa puasa &
mingg Pemeriksaan Glukosa puasa & Insulin puasa dengan metode
u Insulin puasa dengan metode ELISA
ELISA  Terminasi hewan coba,
Pengambilan organ hepar
pewarnaan HE

 Pengambilan darah serum


 Pengambilan darah serum Pemeriksaan Glukosa puasa &
Pemeriksaan Glukosa puasa & Insulin puasa dengan metode
8
Insulin puasa dengan metode ELISA
mingg ELISA  Terminasi hewan coba,
u
Pengambilan organ hepar
pewarnaan HE

 Pengambilan darah serum  Pengambilan darah serum


Pemeriksaan Glukosa puasa & Pemeriksaan Glukosa puasa &
12 Insulin puasa dengan metode Insulin puasa dengan metode
mingg ELISA ELISA
u  Terminasi hewan coba,  Terminasi hewan coba,
pengambilan organ hepar, Pengambilan organ hepar
pewarnaan HE pewarnaan HE

Universitas Indonesia
37

3.9. Definisi Operasional

Definisi operasional berfungsi untuk memaparkan dan menjelaskan variabel-


variabel yang ada di dalam penelitian yang meliputi definisi, cara ukur, alat ukur,
hasil ukur, dan skala ukur, sehingga dapat menghindari kesalahan persepsi pada
variabel-variabel yang akan diteliti. Definisi operasional penelitian diuraikan pada
tabel 3.2.

Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Satuan Hasil


Ukur

Homosistein Kadar homosistein Teknik ELISA pmol/ml

(variabel terikat) total dalam serum

Insulin Kadar insulin dalam Teknik ELISA ng/ml


serum
(variabel terikat)

Glukosa Kadar glukosa dalam Teknik ELISA mg/dl


serum
(variabel terikat)

Resistensi insulin Efektifitas insulin HOMA-IR Normal < 3


pada sel
(variabel terikat)

Steatosis Hati Penumpukan lipid di Histotehnik pulasan + = 5-33%


hati yang dinilai secara HE
(variabel terikat) ++=34-66%
histologis
+++=>66%

Universitas Indonesia
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang bertujuan untuk


melihat hubungan peningkatan homosistein dengan kejadian Perlemakan Hati Non
Alkoholik ditinjau dari kondisi resistensi insulin pada plasma darah hewan coba
yang diberi diet standar dan diet restriksi vitamin B12. Tampak adanya peningkatan
berat badan hewan coba namun tidak bermakna secara signifikan. Pemberian pakan
dilakukan secara ad libitum sebesar 7-10 mg/kg BB.

4.1 Kadar Homosistein Plasma Pada Restriksi Vitamin B12

Pada gambar 4.1, untuk melihat hubungan antara kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan restriksi vitamin B12 dilakukan uji t-test indipendent
.Perlakuanrestriksi vitamin B12 minggu ke 4, 8 dan 12 pada kelompok perlakuan
menyebabkan perubahan kadar plasma homosistein yang bermakna dibandingkan
dengan kelompok kontrol (K1 vs P1, p < 0,05; K2 vs P2, p < 0,001; dan K3 vs P3,
p < 0,05). Sedangkan kelompok kontrol tidak memiliki perbedaan yang bermakna
antar minggunya, namun terlihat adanya peningkatan kadar homosistein plasma
pada kelompok perlakuan 4 minggu sebesar 2 kali lipat dari kelompok kontrol, pada
kelompok perlakuan 8 minggu dan 12 minggu terdapat peningkatan 3 kali lipat
dibandingkan kelompok kontrol.

Pada uji One way ANOVA pada kelompok perlakuan didapatkan peningkatan
kadar homosistein yang bermakna terdapat di minggu ke 8 dan 12 ( p < 0,01 ).
Peningkatan kadar homosistein terus meningkat hingga minggu ke 12, dimana
kadar tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan minggu ke 12 lebih besar 3 kali
lipat dari kelompok perlakuan minggu ke 0.

38 Universitas Indonesia
39

**
1400

*
1200
Konsentrasi pg/mL **
1000

800 ***
*
600

400

200

0
K0 P0 K1 P1 K2 P2 K3 P3

* p < 0,05
Kontrol Perlakuan ** p < 0,01
*** p < 0,001

Gambar 4.1. Konsentrasi homosistein plasma

4.2 Kadar Insulin Plasma Pada Restriksi Vitamin B12

Pada gambar 4.2 dilakukan uji t-test indipendent antara kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan tampakterlihat perubahan kadar plasma insulin yang bermakna
pada minggu ke 4, 8 dan 12 pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok
kontrol, (K1 vs P1 dan K2 vs P2, p < 0,05; K3 vs P3, p < 0,01). Tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antar kelompok kontrol.

Pada uji one way ANOVA terdapat perbedaan yang bermakna antara
kelompok perlakuan minggu ke nol dengan minggu ke 4,8 dan 12. Penurunan
tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan minggu ke 8 dan 12, sebesar 2 kali lipat
nilai konsentrasi kelompok perlakuan 0 minggu (p < 0,01).

Universitas Indonesia
40

**
**

*
0.33

0.32
Konsentrasi Insulin ng/mL

0.31
*
0.3
* **
0.29

0.28

0.27

0.26
K0 P0 K1 P1 K2 P2 K3 P3

* p < 0,05
kontrol perlakuan ** p < 0,01

Gambar 4.2. Konsentrasi insulin plasma

4.3 Kadar Glukosa Plasma Pada Restriksi Vitamin B12

Pada gambar 4.3, hasil uji t-test indipendent memperlihatkan perubahan kadar
glukosa puasa plasma yang bermakna antara kelompok perlakuan dibandingkan
dengan kelompok kontrol (K1 vs P1 dan K3 vs P3, p < 0,01; K2 vs P2, p < 0,05),
sedangkan kelompok kontrol tidak memiliki perbedaan yang bermakna antar
minggunya. Peningkatan kadar glukosa puasa plasma pada kelompok perlakuan 4
minggu dan 8 minggu memiliki peningkatan 2 kali lipat dari nilai kelompok
kontrol, sedangkan pada kelompok perlakuan 12 mengalami peningkatan 1,5 kali
lipat nilai kelompok kontrol .

Pada uji one way Anova kelompok perlakuan minggu ke 0, 4,8 dan 12,
diperlihatkan peningkatan kadar glukosa puasa plasma yang bermakna terdapat di
minggu ke 4,8 dan 12 (p < 0,000). Peningkatan kadar glukosa puasa plasma
tertinggi pada minggu ke 4, namun berkurang kadarnya pada minggu ke 8 dan 12.

Universitas Indonesia
41

***
***
*** ***
250

** *
200
Konsentrasi mg/dl

150 **

100

50

0
K0 P0 K1 P1 K2 P2 K3 P3

* p < 0,05
kontrol perlakuan ** p < 0,01
*** p < 0,001

Gambar 4.3. Konsentrasi glukosa plasma

4.4 Nilai Homa-IR Pada Restriksi Vitamin B12

Pada gambar 4.4, perlakuan restriksi vitamin B12 pada minggu ke 4, 8 dan 12
menyebabkan perubahan nilai HOMA-IR yang bermakna antara kelompok
perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol (K1 vs P1, K2 vs P2 dan K3 vs
P3, p < 0,01). Sedangkan kelompok kontrol tidak memiliki perbedaan yang
bermakna antar minggunya. Peningkatan nilai HOMA-IR pada kelompok
perlakuan 4 minggu mengalami peningkatan lebih dari 2 kali lipat nilai kelompok
kontrol, kelompok perlakuan 8 minggu mengalami peningkatan 2 kali lipat dari
nilai kelompok kontrol, sedangkan pada kelompok perlakuan 12 minggu
mengalami peningkatan kurang dari dua kali lipat nilai kelompok kontrol.

Pada uji One Way Anova kelompok perlakuan minggu ke 0, 4,8 dan 12,
diperlihatkan peningkatan nilai HOMA-IR yang bermakna terdapat di minggu ke
4,8 dan 12 (p < 0,01). Penurunan nilai HOMA-IR kelompok perlakuan minggu ke
8 dan 12 dengan kelompok perlakuan 8 minggu memiliki nilai yang sangat

Universitas Indonesia
42

signifikan (p < 0,000). Peningkatan nilai HOMA-IR tertinggi pada minggu ke 4,


namun mengalami penurunan pada minggu ke 8 dan 12.

***
**
**
** ***
*
5
4.5 **
4 **
3.5
Nilai HOMA-IR

3
**
2.5
2
1.5
1
0.5
0
K0 P0 K1 P1 K2 P2 K3 P3
* p < 0,05
** p < 0,01
kontrol perlakuan
*** p < 0,001

Gambar 4.4. Nilai HOMA-IR

4.5 Gambaran Histopatologi Jaringan Hati Tikus Setelah Restriksi Vitamin


B12

Pada Gambaran histopatologi jaringan hati, terlihat adanya steatosis pada


kelompok perlakuan diet restriksi vitamin B12 di usia 8 minggu tanpa adanya tanda
inflamasi. Sedangkan pada kelompok 12 minggu, steatosis mulai berkurang, namun
mulai tampak serbukan sel radang, yang menandakan adanya proses inflamasi pada
sel hati. Kelompok kontrol dan perlakuan 4 minggu, menunjukan gambaran
jaringan hati normal, yakni tidak ditemukannya steatosis, inflamasi maupun
hipertrofi sel hati.

Universitas Indonesia
43

Kelompok Kontrol 12 minggu x 20 Kelompok kontrol 12 minggu x 40

Kelompok Perlakuan 4 minggu x 20 Kelompok Perlakuan 4 minggu x 40

Universitas Indonesia
44

Kelompok perlakuan 8 minggu x 20 Kelompok perlakuan 8 minggu x 40

Kelompok perlakuan 12 minggu x 20 Kelompok perlakuan 12 minggu x 40

Gambar 4.5. Gambaran Histopatologi Jaringan Hati Tikus

Universitas Indonesia
45

Berdasarkan analisis jaringan hati tikus yang dinilai menggunakan beberapa


penilaian komponennya seperti terlihat pada tabel 1

Tabel 1 Pengelompokan Hewan Coba Berdasarkan Analisis Skoring PHNA

Kelompok Steatosis Inflamasi Interpretasi

Makrovesikuler Mikrovesikuler Hipertrofi

Kelompok - - - - 100%
Kontrol
Non PHNA

Kelompok 4 +/++ ++/+++ - - 50%


Minggu
PHNA

Kelompok 8 ++/+++ +++ - - 100%


Minggu
PHNA

Kelompok ++/+++ ++ + +/++ 33.67%


12 Minggu
NASH

Hasil ini menggambarkan perubahan histopatologi pada tikus yang diberikan


diet restriksi vitamin B12 sesuai usia perlakuan. Pada kelompok kontrol, secara
keseluruhan skor yang dihasilkan adalah nol yang berarti tidak terjadi perlemakan
pada hati hewan coba. Pada kelompok perlakuan 4 minggu, terdapat lima puluh
persen dari jumlah total hewan coba yang memiliki kondisi steatosis pada hati.
Kelompok perlakuan 8 minggu memberi gambaran yang sangat jelas terhadap
kondisi steatosis, pada setiap hewan coba, mengalami kondisi steatosis
makrovesikuler dan mikrovesikuler namun belum ditjumpai serbukan sel radang
pada kelompok ini. Sedangkan pada kelompok 12 minggu, telah mulai tampak
serbukan sel radang, disertai penurunan derajat steatosis, gambaran ini
menghasilkan suatu kondisi NASH pada hewan coba, namun pada beberapa hewan
coba, masih terdapat kondisi PHNA. Dapat disimpulkan bahwa pemberian diet
restriksi vitamin B12 selama 12 minggu , menyebabkan terjadinya progresivitas

Universitas Indonesia
46

menuju kondisi NASH pada hewan coba, setelah sebelumnya mengalami proses
steatosis.

Universitas Indonesia
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Pengaruh Diet Restriksi Vitamin B12 Pada Peningkatan Homosistein


Plasma

Pada perlakuan selama empat, delapan dan dua belas minggu seluruh
kelompok perlakuan mengalami peningkatan homosistein plasma yang bermakna.
Peningkatan homosistein dimulai pada perlakuan kelompok perlakuan 4 minggu
diikuti kelompok perlakuan 8 dan 12 minggu. Kelompok perlakuan 12 minggu
mengalami peningkatan tertinggi di antara kelompok perlakuan lain. Vitamin B12
adalah vitamin larut air yang terlibat dalam metabolisme setiap sel dalam tubuh.
Komponen aktif vitamin B12 merupakan kofaktor dari enzim metionin sintase
(MS). Metionin sintase memiliki peran mengubah homosistein menjadi metionin
pada metabolisme metionin. Defisiensi kofaktor dari enzim MS menyebabkan
gangguan fungsi enzim MS dan mengakibatkan akumulasi homosistein.

Temuan ini sesuai dengan peneltian yang dilakukan oleh Ghosh et.al (2016)
yang menyatakan korelasi antara restriksi vitamin B12 dengan kondisi Hhcy pada
tikus Wistar betina.15 Sedangkan studi yang dilakukan Herrmann et.al (2009)
melaporkan adanya peningkatan kadar homosistein pada tikus Wistar jantan setelah
di berikan diet restriksi vitamin B12.87 Penelitian Kumar et.al (2013) pada tikus
betina Wistar memperlihatkan terjadinya peningkatan hcy pada minggu keduabelas
perlakuan.88 Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pemberian diet restriksi
vitamin B12 pada tikus jantan meningkatkan kadar homosistein plasma.

5.2 Pengaruh peningkatan Homosistein pada Kadar Glukosa Plasma

Pada perlakuan selama empat, delapan dan dua belas minggu didapatkan
peningkatan yang signifikan pada kadar glukosa plasma. Peningkatan tertinggi
terdapat pada kelompok perlakuan minggu ke empat diikuti minggu ke delapan dan
ke dua belas. Penurunan progresivitas peningkatan glukosa plasma yang dijumpai
pada kelompok perlakuan pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh

47 Universitas Indonesia
48

mekanisme adaptif pada tikus atau adanya mekanisme lain yang turut berperan
dalam proses perbaikan kadar gula darah pada kelompok perlakuan.
Peningkatan glukosa dapat disebabkan oleh peningkatan homosistein
intraseluler, ditandai adanya hiperhomosisteinemia (Hhcy), menyebabkan stres
oksidatif sehingga terjadi resistensi insulin melalui jalur ROS.5,51,89 Kemungkinan
lain adalah reaksi homosisteinilasi dari homosistein tiolakton. Akumulasi
homosistein menyebabkan terbentuknya homosistein tiolakton. Jika rasio
homosistein lebih tinggi dibanding metionin di dalam sel, maka enzim yang
menkojugasi metionin ke t-RNA (metionin t-rna synthetase), akan mengalami
kesalahan dalam mengaktivasi homosistein, sehingga terbentuk ikatan antara gugus
tiol dengan gugus karboksil membentuk homosistein tiolakton. Homosisteinilasi
adalah hasil dari reaktifitas homosistein tiolakton yang dikatalisis oleh enzim
metionil tRNA sintetase dengan kehadiran ATP. N-homosisteinilasi terjadi ketika
Hcy berinteraksi pada gugus amino nya dengan gugus amino residu lisin pada
protein hingga merusak struktur atau fungsi dari protein itu.90

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Najib
et.al, yang memperlihatkan adanya inhibisi dari pensinyalan insulin oleh hcy
tiolakton.5 Penghambatan fosforilasi tirosin pada reseptor insulin, menyebabkan
pensinyalan downstream insulin seperti aktivasi pada insulin reseptor substrat (IRS)
dan hubungannya dengan p85-P13K, serta aktivasi P13K terganggu.91 Selain
hambatan fosforilasi tirosin pada reseptor insulin, hcy tiolakton juga menghambat
secara langsung IRS dan P13K.

Selain itu penelitian dari Yu et.al menyatakan bahwa kondisi Hhcy


mengakibatkan hiperglikemia disebabkan peningkatan ekspresi gen PEPCK
(Phospoenolpyruvate carboxykinase).92 Enzim PEPCK, merupakan enzim yang
berperan pada proses glukoneogenesis pada hati. Pada tikus transgenik dengan
ekspresi berlebih gen PEPCK terjadi kondisi intoleransi glukosa dan resistensi
insulin.93 Hati berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peningkatan
kadar glukosa puasa, lebih di tentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara
endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di hati. Kedua
proses ini berlangsung secara normal karena dikontrol oleh hormon insulin. Jika
terjadi resistensi insulin pada hati maka efek inhibisi insulin terhadap mekanisme

Universitas Indonesia
49

produksi glukosa tidak optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin semakin
rendah kemampuan inhibisi terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis ,
sehingga tingkat produksi glukosa oleh hati juga semakin meningkat.63

Mekanisme adaptif pada penelitian ini diperlihatkan dengan penurunan


progresivitas dari glukosa puasa plasma pada minggu ke empat, delapan dan dua
belas perlakuan. Kemungkinan mekanisme ini disebabkan oleh peningkatan
ekspresi GLUT2 pada hepatosit karena dipicu oleh kondisi hiperglikemia. GLUT2
merupakan protein pengangkut glukosa yang diperlukan untuk mengangkut
glukosa sehingga mampu melewati lapisan lipid bilayer menuju sitoplasma sel.
Pengangkut glukosa utama di hati adalah GLUT2 yang mengatur pertukaran
glukosa antara darah dan hati. Penelitian yang dilakukan oleh Seung-Soon Im
(2005) menunjukan bahwa glukosa akan meningkatkan ekspresi GLUT2 di hati
baik secara in vitro maupun in vivo.94 Transkripsi gen pada GLUT2 diketahui akan
meningkat di hati pada keadaan hiperglikemi atau pada kondisi DM tipe 2.
Penelitian Rencurell et al. melaporkan analisis pengaruh metabolisme glukosa pada
ekspresi gen GLUT2.

Selain itu, ekspresi GLUT1 pada otot yang tidak tergantung insulin juga
meningkat pada kondisi hiperglikemia. Hal ini dibuktikan pada penelitian Purwanto
dkk yang mengamati perubahan ekspresi GLUT1 pada tikus model diabetes.95
Penelitian yang dilakukan Purwanto membuktikan GLUT1 berperan dalam respon
pertahanan fisiologis pada kondisi hiperglikemia.

5.3 Pengaruh Peningkatan Homosistein Pada Kadar Insulin Plasma

Pada penelitian ini didapatkan penurunan kadar insulin plasma yang


bermakna pada kelompok perlakuan minggu ke empat, delapan dan dua belas
dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Patterson et al.96 Dalam penelitian secara in vitro menggunakan sel beta
pankreas, Patterson menyatakan bahwa sekresi insulin pada sel beta pankreas akan
menurun pada kondisi Hhcy.

Menurut Patterson penurunan sekresi insulin dapat disebabkan oleh


beberapa kondisi. Pertama, kondisi Hhcy menyebabkan penurunan produksi S-

Universitas Indonesia
50

Adenosyl Metionin (SAM) sebagai donor metil universal yang banyak digunakan
dalam reaksi biologis tubuh termasuk reaksi metilasi DNA, RNA, protein dan
fosfolipid yang berperan pada pembentukan membran sel.97 Terjadinya gangguan
pada proses metilasi untuk pembentukan fosfolipid pada membran sel beta pankreas
mengakibatkan gangguan proses eksositosis insulin.Jika terjadi defisiensi proses
metilasi karena berkurangnya donor metil akan mengakibatkan proses transduksi
sinyal untuk eksositosis dari insulin mengalami gangguan, mengakibatkan
terjadinya defisiensi sekresi insulin.98 Selain itu, faktor homosistein tiolakton yang
mengalami homosisteinilasi dengan protein pada residu lisin mengakibatkan
perubahan struktur dan fungsi dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya
defisiensi insulin.72,99

Kedua, penurunan kadar insulin disebabkan karena akumulasi homosistein


tiolakton, hingga terjadi proses homosisteinilasi dengan protein lain. Hal ini
berakibat perubahan fungsi dan struktur protein pada sel beta pankreas. Penelitian
yang di lakukakan Patterson menunjukan bahwa penurunan sekresi insulin tidak
terkait dengan proses stres oksidatif akibat Hhcy, hal ini dibuktikan tidak
berpengaruhnya pemberian enzim katalase pada kondisi penurunan sekresi
insulin.96

5.4 Pengaruh Peningkatan Homosistein Pada Nilai HOMA-IR

Pada penelitian ini didapatkan nilai HOMA-IR kelompok perlakuan


empat, delapan dan dua belas minggu yang meningkat secara signifikan
dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Golbahar et.al7 yang menyatakan bahwa kondisi Hhcy dapat meningkatkan
nilai HOMA-IR pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol, yang
berarti terjadinya kondisi resistensi insulin .

Hiperglikemia puasa merupakan kondisi yang ditentukan oleh beberapa


faktor, seperti kondisi resistensi insulin, disregulasi produksi glukosa hati, toleransi
glukosa terganggu dan penurunan fungsi sel beta pankreas. Untuk dapat mengamati
kondisi hiperglikemia secara lengkap harus ada dua kelainan sekaligus, yaitu
resistensi insulin dan gangguan fungsi sel beta pankreas. Jika sel beta tidak lagi

Universitas Indonesia
51

dapat menghasilkan sekresi insulin yang cukup tinggi untuk mengimbangi


resistensi insulin akan muncul hiperglikemia saat puasa. Resistensi insulin
mengganggu ambilan glukosa di jaringan perifer dan mengakibatkan produksi
glukosa yang berlebihan oleh hati. Pada awal terjadi resistensi insulin , terjadi
peningkatan dari sekresi insulin oleh sel beta pankreas, namun seiring waktu
mekanisme kompensasi sel beta pankreas tidak lagi dapat menahan progresifitas
penyakit ini, sehingga kondisi hiperglikemia tidak terkompensasi oleh peningkatan
insulin, dan sekresi insulin mulai menurun.100
Kondisi penurunan sekresi insulin dapat dijelaskan melalui beberapa
faktor. Selain disebabkan faktor peningkatan homosistein, peningkatan glukosa
puasa plasma melebihi 140 mg/dl juga menyebabkan penurunan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Sel beta tidak dapat lagi mempertahankan sekresi insulin dengan
kecepatan tinggi. Kondisi hiperglikemia puasa yang meningkat, maka sekresi
insulin akan menurun secara drastis dan menunjukan terjadinya resistensi insulin
yang berat.101

Dari penelitian ini diketahui bahwa pada kelompok perlakuan memiliki


kadar glukosa darah puasa yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa insulin yang
disekresikan oleh sel beta pankreas belum mampu menurunkan kadar glukosa darah
puasa, yang berarti bahwa terjadi kondisi resistensi insulin. Kondisi resistensi
insulin ditentukan dengan parameter kadar HOMA-IR. Semakin tinggi kadar
HOMA-IR menunjukkan tingginya resitensi insulin. Kadar HOMA-IR kelompok
perlakuan memiliki nilai lebih tinggi dibanding kelompok perlakuan menunjukkan
bahwa kelompok perlakuan mengalami resistensi insulin.

5.5 Pengaruh Peningkatan Homosistein terhadap Steatosis Hati

Pemberian diet restriksi kobalamin pada hewan coba selama dua belas
minggu memberikan perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan homosistein,
juga memberikan dampak yang signifikan terhadap perlemakan hati. Steatosis
ditemukan pada sebagian kelompok perlakuan minggu ke empat, sedangkan untuk
kelompok perlakuan minggu ke delapan secara keseluruhan telah muncul
akumulasi lemak pada sel hati. Pada tikus kontrol tanpa adanya restriksi vitamin
B12 pada diet, tidak ditemukan steatosis maupun inflamasi pada jaringan hati.

Universitas Indonesia
52

Polyzos et al. menyatakan bahwa defisiensi vitamin B12 dapat memberikan


gambaran patologis pada sel hati, berupa steatosis, fibrosis dan inflamasi. Hasil ini
sejalan dengan hasil yang ditemukan pada penelitian ini.102

Perlemakan hati terjadi karena kondisi resistensi insulin yang menyebabkan


akumulasi lemak pada sel hati akibat ketidakmampuan sel hati untuk
memetabolisme lemak yang berasal dari perifer maupun de novo lipogenesis. Selain
itu pengeluaran lemak oleh sel hati lewat VLDL juga menurun. Semua faktor ini
menyebabkan terjadinya akumulasi lemak pada sel hati. Kondisi resistensi insulin
yang terjadi pada penelitian ini disebabkan oleh faktor peningkatan homosistein
intraseluler sebagai akibat pemberian diet restriksi vitamin B12. Pada restriksi
vitamin B12 , mengakibatkan gangguan pada aktivitas enzim metionin sintase yang
berperan mengubah homosistein menjadi metionin. Jalur metilasi dan transulfurasi
mengalami gannguan, hingga terjadi akumulasi homosistein dan peningkatan
produk sisa berupa homosistein tiolakton. Homosistein tiolaktone bersifat toksik
pada sel, mengganggu pensinyalan insulin lewat interaksinya dengan Insulin
Reseptor Substrat dan P13 Kinase. Efek gangguan pensinyalan insulin pada hati
mengakibatkan penurunan inhibisi insulin terhadap proses glukoneogenesis dan
glikogenesis, yang menghasilkan produk glukosa untuk kemudian berperan sebagai
bahan baku utama terjadinya proses de novo lipogenesis di hati. Selain itu defek
pensinyalan insulin pada jaringan perifer seperti otot dan adiposa, mengakibatkan
inhibisi terhadap proses lipolisis juga menurun, sehingga produk lipid menuju hati
akan meningkat. Influx lipid dari perifer, ditambah de novo lipogenesis hati tidak
diimbangi dengan eflux lipid lewat VLDL. Hal ini disebabkan penurunan
kemampuan pembentukan VLDL. Pospatidilkolin membutuhkan donor metil untuk
merubah menjadi fosfatidilinositil, yang dibutuhkan untuk proses pembentukan
fosfolipid sebagai membran dari VLDL. Kesemua proses ini mengakibatkan
terjadinya steatosis pada hati. Hal ini sejalan dengan penelitianyang dilakukan oleh
Gulse et al, yang melakukan penelitian pada pasien PHNA, dari penelitian ini
didapatkan korelasi positif antara homosistein dengan kondisi steatohepatitis pada
pasien PHNA.103

Universitas Indonesia
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa


restriksi vitamin B12 dapat mengakibatkan peningkatan homosistein intraseluler,
hingga menimbulkan homosistein tiolakton yang dapat berinteraksi dengan protein
yang membentuk cascade persinyalan insulin hingga mengakibatkan kerusakan
jalur persinyalan insulin. Hal ini mengakibatkan kondisi resistensi insulin yang
berperan sebagai patofisiologi dasar PHNA. Kondisi resistensi insulin merupakan
patofisiologi utama dari PHNA. Pada two hit teory, resistensi insulin merupakan
first hit teory yang mengakibatkan akumulasi lipid pada hati. Hal ini disebabkan
karena gangguan persinyalan insulin yang terjadi pada hati, otot dan jaringan
adiposa kemungkinan mengakibatkan peningkatan influx lipid dan proses de novo
lipogenesis di hati, disertai berkurangnya pembentukan VLDL. Jaringan hati
dilakukan pemeriksaan histologis berupa pewarnaan HE, pada pewarnaan ini
terlihat adanya akumulasi lipid yang dimulai pada minggu ke 4 perlakuan dan
meningkat kuantitasnya pada minggu ke 8 perlakuan. Sementara NASH yang
ditandai dengan serbukan sel radang tampak terlihat pada minggu ke 12 perlakuan
restriksi vitamin B12.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah di paparkan, penulis menyarankan


beberapa hal sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai regulasi sekresi insulin pada
pankreas sebagai akibat peningkatan homosistein.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan pada GLUT2, GLUT1 dan SREBP-1c
3. Perlu dilakukan pemeriksaan Apo B48 dan Apo B100 untuk mengetahui gangguan
transport lipid
4. Perlu dilakkukan pemeriksaan penanda stress oksidatif dengan pemeriksaan MDA
plasma

53 Universitas Indonesia
54

5. Perlu dilakukan pemeriksaan lingkar perut tikus, utuk memeriksa kemungkinan


gangguan metabolisme lipid

Universitas Indonesia
55

DAFTAR REFERENSI

1. Dai H, Wang W, Tang X, Chen R, Chen Z, Lu Y, et al. Association


between homocysteine and non-alcoholic fatty liver disease in Chinese
adults: a cross-sectional study. Nutr J [Internet]. 2016;15(1):1–7. Available
from: http://dx.doi.org/10.1186/s12937-016-0221-6
2. Younossi Z, Anstee QM, Marietti M, Hardy T, Henry L, Eslam M, et al.
Global burden of NAFLD and NASH: trends, predictions, risk factors and
prevention. Nat Rev Gastroenterol Hepatol [Internet]. 2017;14(1):11–20.
Available from:
http://www.nature.com/doifinder/10.1038/nrgastro.2017.109
3. Donnelly KL, Smith CI, Schwarzenberg SJ, Jessurun J, Boldt MD, Parks
EJ. Sources of fatty acids stored in liver and secreted via lipoproteins in
patients with nonalcoholic fatty liver disease. 2005;115(5):1343–51.
4. Shimomura I, Matsuda M, Hammer RE, Bashmakov Y, Brown MS,
Goldstein JL, et al. Decreased IRS-2 and Increased SREBP-1c Lead to
Mixed Insulin Resistance and Sensitivity in Livers of Lipodystrophic and
ob / ob Mice. 2000;6:77–86.
5. Najib S, Sánchez-Margalet V. Homocysteine thiolactone inhibits insulin
signaling, and glutathione has a protective effect. J Mol Endocrinol.
2001;27(1):85–91.
6. Meigs JB, Jacques PF, Selhub J, Singer DE, Nathan DM, Rifai N, et al.
Fasting Plasma Homocysteine Levels in the Insulin Resistance Syndrome.
Diabetes Care [Internet]. 2001;24(8):1403–10. Available from:
http://care.diabetesjournals.org/cgi/doi/10.2337/diacare.24.8.1403%5Cnpap
ers3://publication/doi/10.2337/diacare.24.8.1403
7. Golbahar J, Aminzadeh MA, Kassab SE, Omrani GR.
Hyperhomocysteinemia induces insulin resistance in male Sprague-Dawley
rats. Diabetes Res Clin Pract. 2007;76(1):1–5.
8. Najib S, Sánchez-Margalet V. Homocysteine thiolactone inhibits insulin-
stimulated DNA and protein synthesis: Possible role of mitogen-activated
protein kinase (MAPK), glycogen synthase kinase-3 (GSK-3) and p70 S6K

Universitas Indonesia
56

phosphorylation. J Mol Endocrinol. 2005;34(1):119–26.


9. Ueland PM, Refsum H, Stabler SP, Malinow MR, Andersson a, Allen RH.
Total homocysteine in plasma or serum: methods and clinical applications.
Clin Chem. 1993;39(9):1764–79.
10. Foufelle F, Ferr P. Hepatic steatosis : a role for de novo lipogenesis and the
transcription factor SREBP-1c. 2010;12(figure 1):83–92.
11. Yan L, Xu MT, Yuan L, Chen B, Xu ZR, Guo QH, et al. Prevalence of
dyslipidemia and its control in type 2 diabetes: A multicenter study in
endocrinology clinics of China. J Clin Lipidol [Internet]. 2016;10(1):150–
60. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jacl.2015.10.009
12. Bostom a G, Lathrop L. Hyperhomocysteinemia in end-stage renal disease:
prevalence, etiology, and potential relationship to arteriosclerotic outcomes.
Kidney Int [Internet]. 1997;52(1):10–20. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9211341
13. Bito T, Misaki T, Yabuta Y, Ishikawa T, Kawano T, Watanabe F. Vitamin
B12 deficiency results in severe oxidative stress, leading to memory
retention impairment in Caenorhabditis elegans. Redox Biol [Internet].
2017;11(October 2016):21–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.redox.2016.10.013
14. Peverill W, Powell LW, Skoien R. Evolving concepts in the pathogenesis
of NASH: Beyond steatosis and inflammation. Int J Mol Sci.
2014;15(5):8591–638.
15. Ghosh S, Sinha JK, Putcha UK, Raghunath M. Severe but Not Moderate
Vitamin B12 Deficiency Impairs Lipid Profile, Induces Adiposity, and
Leads to Adverse Gestational Outcome in Female C57BL/6 Mice. Front
Nutr [Internet]. 2016;3(January):1–10. Available from:
http://journal.frontiersin.org/article/10.3389/fnut.2016.00001
16. Obeid R, Herrmann W. Homocysteine and lipids: S-Adenosyl methionine
as a key intermediate. FEBS Lett [Internet]. 2009;583(8):1215–25.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.febslet.2009.03.038
17. Singh AK, Kumar A, Karmakar D JR. Association of B12 deficiency and
clinical neuropathy with metformin use in type 2 diabetes patients. Vol. 59,

Universitas Indonesia
57

Journal of postgraduate medicine. 2013. p. 253–7.


18. Emmanuel A, Goichot B, Schlienger J-L, France S. Food cobalamin
malabsortion: A usual cause of vitamin B12 deficiency. Am Med Assoc.
2000;160:2061–7.
19. Caldwell SH, Argo CK. Nature of the Condition Non-alcoholic fatty liver
disease : Hype or harm ?
20. Duseja A, Singh SP, Saraswat VA, Acharya SK, Chawla YK, Chowdhury
S, et al. Non-alcoholic fatty liver disease and metabolic syndrome-position
paper of the Indian National Association for the study of the liver,
endocrine society of India, Indian college of cardiology and Indian society
of gastroenterology. J Clin Exp Hepatol [Internet]. 2015;5(1):51–68.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jceh.2015.02.006
21. Cheung O, Kapoor A, Puri P, Sistrun S, Luketic VA, Sargeant CC, et al.
The Impact of Fat Distribution on the Severity of Nonalcoholic Fatty Liver
Disease and Metabolic Syndrome. :1091–100.
22. Dietrich P, Hellerbrand C. Best Practice & Research Clinical
Gastroenterology Non-alcoholic fatty liver disease , obesity and the
metabolic syndrome. Best Pract Res Clin Gastroenterol [Internet].
2014;28(4):637–53. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.bpg.2014.07.008
23. Liu C. Prevalence and risk factors for non-alcoholic fatty liver.
2012;27:1555–60.
24. Piano A De, Estadella D, Oyama LM, Ribeiro EB, Dâmaso AR, Claudia
M, et al. Endocrinology & Metabolic Syndrome Nonalcoholic Fatty Liver
Disease ( NAFLD ), a Manifestation of the Metabolic Syndrome : New
Perspectives on the Nutritional Therapy. 2014;3(3).
25. Attar BM, Thiel DH Van. Current Concepts and Management Approaches
in Nonalcoholic Fatty Liver Disease. 2013;2013.
26. Lim JS, Mietus-snyder M, Valente A, Schwarz J, Lustig RH. the role of
fructose in the pathogenesis of naFlD and the metabolic syndrome. Nat
Publ Gr [Internet]. 2010;7(5):251–64. Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/nrgastro.2010.41

Universitas Indonesia
58

27. Vajro P, Lenta S, Pignata C, Salerno M, D’Aniello R, De Micco I, et al.


Therapeutic options in pediatric non alcoholic fatty liver disease: Current
status and future directions. Ital J Pediatr [Internet]. 2012;38(1):1.
Available from: Italian Journal of Pediatrics
28. Jacome-Sosa MM, Parks EJ. Fatty acid sources and their fluxes as they
contribute to plasma triglyceride concentrations and fatty liver in humans.
Curr Opin Lipidol. 2014;25(3):213–20.
29. Ferramosca A, Zara V. Modulation of hepatic steatosis by dietary fatty
acids. World J Gastroenterol. 2014;20(7):1746–55.
30. Liao W, Hui TY, Young SG, Davis RA. Blocking microsomal triglyceride
transfer protein interferes with apoB secretion without causing retention or
stress in the ER. J Lipid Res [Internet]. 2003;44(5):978–85. Available
from: http://www.jlr.org/lookup/doi/10.1194/jlr.M300020-JLR200
31. George J, Liddle C. Nonalcoholic Fatty Liver Disease : Pathogenesis and
Potential for Nuclear Receptors as Therapeutic Targets. Mol Pharm.
2007;5(1):49–59.
32. Chen G, Liang G, Ou J, Goldstein JL, Brown MS. Central role for liver X
receptor in insulin-mediated activation of Srebp-1c transcription and
stimulation of fatty acid synthesis in liver. 2004;101(31).
33. Schultz JR, Tu H, Luk A, Repa JJ, Medina JC, Li L, et al. Role of LXRs in
control of lipogenesis. Genes Dev. 2000;14(22):2831–8.
34. Lambert JE, Ramos-Roman MA, Browning JD, Parks EJ. Increased de
novo lipogenesis is a distinct characteristic of individuals with nonalcoholic
fatty liver disease. Gastroenterology [Internet]. 2014;146(3):726–35.
Available from: http://dx.doi.org/10.1053/j.gastro.2013.11.049
35. Schreuder TC, Verwer BJ, van Nieuwkerk CM, Mulder CJ. Nonalcoholic
fatty liver disease: an overview of current insights in pathogenesis,
diagnosis and treatment. World J Gastroenterol [Internet].
2008;14(16):2474–86. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18442193
36. Buzzetti E, Pinzani M, Tsochatzis EA. The multiple-hit pathogenesis of
non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Metabolism [Internet].

Universitas Indonesia
59

2016;65(8):1038–48. Available from:


http://dx.doi.org/10.1016/j.metabol.2015.12.012
37. Dowman JK, Tomlinson JW, Newsome PN. Pathogenesis of non-alcoholic
fatty liver disease. Qjm [Internet]. 2010;103(2):71–83. Available from:
https://academic.oup.com/qjmed/article-lookup/doi/10.1093/qjmed/hcp158
38. Postic C, Girard J. Contribution of de novo fatty acid synthesis to hepatic
steatosis and insulin resistance: Lessons from genetically engineered mice.
J Clin Invest. 2008;118(3):829–38.
39. Rolo AP, Teodoro JS, Palmeira CM. Role of oxidative stress in the
pathogenesis of nonalcoholic steatohepatitis. Free Radic Biol Med
[Internet]. 2012;52(1):59–69. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.freeradbiomed.2011.10.003
40. Huwait EA, Kumosani TA, Moselhy SS, Mosaoa RM, Yaghmoor SS.
Relationship between soil cobalt and vitamin B<inf>12</inf> levels in the
liver of livestock in Saudi Arabia: Role of competing elements in soils. Afr
Health Sci. 2015;15(3):993–1008.
41. Andrès E, Loukili NH, Noel E, Kaltenbach G, Ben Abdelgheni M, Perrin
AE, et al. Vitamin B12 (cobalamin) deficiency in elderly patients. Cmaj.
2004;171(3):251–9.
42. Suormala T, Baumgartner MR, Coelho D, Zavadakova P, Kožich V, Koch
HG, et al. The cblD defect causes either isolated or combined deficiency of
methylcobalamin and adenosylcobalamin synthesis. J Biol Chem.
2004;279(41):42742–9.
43. Watkins D, Venditti CP, Rosenblatt DS. Vitamins: Cobalamin and Folate
[Internet]. Fifth Edit. Rosenberg’s Molecular and Genetic Basis of
Neurological and Psychiatric Disease: Fifth Edition. Elsevier Inc.; 2014.
521-529 p. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-410529-
4.00047-4
44. Solomon LR. Disorders of cobalamin ( Vitamin B12 ) metabolism :
Emerging concepts in pathophysiology , diagnosis and treatment.
2007;113–30.
45. Gherasim C, Lofgren M, Banerjee R. Navigating the B12 road:

Universitas Indonesia
60

Assimilation, delivery, and disorders of cobalamin. J Biol Chem.


2013;288(19):13186–93.
46. Disease C. Homocysteine, Vitamins, and Cardiovascular Disease. 2015;
47. Hayden MR, Tyagi SC. Homocysteine and reactive oxygen species in
metabolic syndrome, type 2 diabetes mellitus, and atheroscleropathy: The
pleiotropic effects of folate supplementation. Nutr J [Internet].
2004;3(figure 1):4. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC420478/%5Cnhttp://www.n
cbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC420478/pdf/1475-2891-3-4.pdf
48. Ravi Kanth VV, Golla JP, Sastry BKS, Naik S, Kabra N, Sujatha M.
Genetic interactions between MTHFR (C677T), methionine synthase
(A2756G, C2758G) variants with vitamin B12 and folic acid determine
susceptibility to premature coronary artery disease in Indian population. J
Cardiovasc Dis Res [Internet]. 2011;2(3):156–63. Available from:
http://www.jcdronline.org/article/179
49. Gamble M V., Ahsan H, Liu X, Factor-Litvak P, Ilievski V, Slavkovich V,
et al. Folate and cobalamin deficiencies and hyperhomocysteinemia in
Bangladesh. Am J Clin Nutr. 2005;81(6):1372–7.
50. Sibrian-Vazquez M, Escobedo JO, Lim S, Samoei GK, Strongin RM.
Homocystamides promote free-radical and oxidative damage to proteins.
Proc Natl Acad Sci U S A [Internet]. 2010;107(2):551–4. Available from:
http://www.pnas.org/content/107/2/551.short
51. Jakubowski H. Molecular basis of homocysteine toxicity in humans. Cell
Mol Life Sci. 2004;61(4):470–87.
52. Lai WKC, Kan MY. Homocysteine-induced endothelial dysfunction. Ann
Nutr Metab. 2015;67(1):1–12.
53. ??kovierov?? H, Vidomanov?? E, Mahmood S, Sopkov?? J, Drgov?? A,
??erve??ov?? T, et al. The molecular and cellular effect of homocysteine
metabolism imbalance on human health. Int J Mol Sci. 2016;17(10):1–18.
54. Jacobsen DW. Homocysteine and vitamins in cardiovascular disease. Clin
Chem. 1998;44(8 II):1833–43.
55. Mayer EL, Jacobsen DW, Robinson K. Homocysteine and coronary

Universitas Indonesia
61

atherosclerosis. J Am Coll Cardiol [Internet]. 1996;27(3):517–27.


Available from: http://dx.doi.org/10.1016/0735-1097(95)00508-0
56. Transfer T, Working C. Measurement and Use of Total Plasma
Homocysteine. Am J Hum Genet [Internet]. 1998;63(5):1541–3. Available
from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0002929707615857
57. Wilcox G. Insulin and insulin resistance. Clin Biochem Rev [Internet].
2005;26(2):19–39. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16278749%5Cnhttp://www.pubmedc
entral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC1204764
58. W. KENNETH WARD, M.D., JAMES C. BEARD, M.D., JEFFREY B.
HALTER, M.D., MICHAEL A. PFEIFER, M.D., AND DANIEL PORTE,
JR. MD. Pathophysiology of Insulin Secretion in Non-insulin-dependent
Diabetes Mellitus. 1984;7(5):491–502.
59. Shepherd PR, Kahn BB. Glucose transporters and insulin action -
Implications for insulin resistance and diabetes mellitus. N Engl J Med.
1999;341(4):248–57.
60. Pessin JE, Saltiel AR. Signaling pathways in insulin action : molecular
targets of insulin resistance. J Clin Invest. 2000;106(2):165–9.
61. Moran A, Jr DRJ, Steinberger J, Hong C, Prineas R, Luepker R, et al.
Insulin Resistance During Puberty Results From Clamp Studies in 357
Children. 1996;2039–44.
62. Shoelson SE, Lee J, Goldfine AB. Review series Inflammation and insulin
resistance. J Clin Invest. 2006;116(7):1793–801.
63. Czech MP. Insulin action and resistance in obesity and type 2 diabetes. Nat
Med. 2017;23(7):804–14.
64. Shulman GI. Cellular mechanisms of insulin resistance. J Clin Invest.
2000;106(2):171–6.
65. Williams CL, Hayman LL, Daniels SR, Robinson TN, Steinberger J,
Paridon S, et al. Cardiovascular health in childhood: A statement for health
professionals from the Committee on Atherosclerosis, Hypertension, and
Obesity in the Young (AHOY) of the Council on Cardiovascular Disease in

Universitas Indonesia
62

the Young, American Heart Association. Circulation. 2002;106(1):143–60.


66. Mcneal C, Wilson DP. Metabolic syndrome and dyslipidemia in youth.
2008;147–55.
67. Antuna-puente B, Disse E, Rabasa-lhoret R. How can we measure insulin
sensitivity / resistance ? Diabetes Metab [Internet]. 2011;37(3):179–88.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.diabet.2011.01.002
68. Mather K. Surrogate measures of insulin resistance : of rats , mice , and
men. 2009;2008–9.
69. Esteghamati A, Ashraf H, Khalilzadeh O, Zandieh A, Nakhjavani M,
Rashidi A, et al. Optimal cut-off of homeostasis model assessment of
insulin resistance (HOMA-IR) for the diagnosis of metabolic syndrome:
third national surveillance of risk factors of non-communicable diseases in
Iran (SuRFNCD-2007). Nutr Metab (Lond). 2010;7:26.
70. Guéant JL, Caillerez-Fofou M, Battaglia-Hsu S, Alberto JM, Freund JN,
Dulluc I, et al. Molecular and cellular effects of vitamin B12 in brain,
myocardium and liver through its role as co-factor of methionine synthase.
Biochimie [Internet]. 2013;95(5):1033–40. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.biochi.2013.01.020
71. Setola E, Monti LD, Galluccio E, Palloshi A, Fragasso G, Paroni R, et al.
Insulin resistance and endothelial function are improved after folate and
vitamin B12 therapy in patients with metabolic syndrome: relationship
between homocysteine levels and hyperinsulinemia. Eur J Endocrinol
[Internet]. 2004;151(4):483–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15476449
72. Jakubowski H. Metabolism of homocysteine thiolactone in human cell
cultures. J Biol Chem. 1997;272(3):1935–42.
73. Biddinger SB, Kahn CR. F ROM M ICE TO M EN : Insights into the
Insulin Resistance Syndromes. 2006;
74. Birkenfeld AL, Shulman GI. Overview : Hepatic Lipid Metabolism.
2014;713–23.
75. Larter CZ, Yeh MM. Animal models of NASH : Getting both pathology
and metabolic context right. 2008;23:1635–48.

Universitas Indonesia
63

76. Cohen JC, Horton JD, Hobbs HH. Human fatty liver disease: Old questions
and new insights. Science (80- ). 2011;332(6037):1519–23.
77. Fabbrini E, Mohammed BS, Magkos F, Korenblat KM, W B. NIH Public
Access. Hum Stud. 2009;134(2):424–31.
78. Adiels M, Taskinen MR, Packard C, Caslake MJ, Soro-Paavonen A,
Westerbacka J, et al. Overproduction of large VLDL particles is driven by
increased liver fat content in man. Diabetologia. 2006;49(4):755–65.
79. Mahamid M, Mahroum N, Bragazzi N, Shalaata K, Yavne Y, Adawi M, et
al. Folate and B12 Levels Correlate with Histological Severity in NASH
Patients. Nutrients [Internet]. 2018;10(4):440. Available from:
http://www.mdpi.com/2072-6643/10/4/440
80. Fehling C, Jagerstad M, Akesson B, Axelsson J, Brun A. Effects of vitamin
B12 deficiency on lipid metabolism of the rat liver and nervous system. Br
J Nutr [Internet]. 1978;39(3):501–13. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/638120%5Cnhttp://journals.cambrid
ge.org/download.php?file=%2FBJN%2FBJN40_03%2FS00071145780006
77a.pdf&code=419c7403c59fac2a4579326df0a7aa58
81. Bottle A, Millett C, Antonysunil A, Kumsaiyai W, Voyias P, Gates S, et al.
Basic and clinical science posters : lipids and fatty liver Basic and clinical
science posters : molecular basis and treatment of complications Basic and
clinical science posters : new insulins , technology , therapies and
treatment. 2017;34:67–8.
82. O’Leary F, Samman S. Vitamin B12 in health and disease. Nutrients.
2010;2(3):299–316.
83. Zhao Y, Su B, Jacobs L, Kennedy B, Francis GA, Waddington E, et al.
Lack of Phosphatidylethanolamine N -Methyltransferase Alters Plasma
VLDL Phospholipids and Attenuates Atherosclerosis in Mice. 2009;
84. Mahalle N, Kulkarni M V, Garg MK, Naik SS. Vitamin B12 deficiency and
hyperhomocysteinemia as correlates of cardiovascular risk factors in Indian
subjects with coronary artery disease. 2013;61(4):289–94. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jjcc.2012.11.009
85. Parasuraman S, Raveendran R, Kesavan R. Blood sample collection in

Universitas Indonesia
64

small laboratory animals. J Pharmacol Pharmacother. 2010;1(2):87.


86. Liang W, Menke AL, Driessen A, Koek GH, Lindeman JH, Stoop R, et al.
Establishment of a general NAFLD scoring system for rodent models and
comparison to human liver pathology. PLoS One. 2014;9(12):1–17.
87. Herrmann M, Wildemann B, Wagner A, Wolny M, Schorr H, Taban-
Shomal O, et al. Experimental folate and vitamin B12 deficiency does not
alter bone quality in rats. J Bone Miner Res. 2009;24(4):589–96.
88. Ahmad S, Kumar KA, Basak T, Bhardwaj G, Yadav DK, Lalitha A, et al.
PPAR signaling pathway is a key modulator of liver proteome in pups born
to vitamin B12 deficient rats. J Proteomics [Internet]. 2013;91:297–308.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jprot.2013.07.027
89. Ma CH, Chiu YC, Wu CH, Jou IM, Tu YK, Hung CH, et al. Homocysteine
causes dysfunction of chondrocytes and oxidative stress through repression
of SIRT1/AMPK pathway: A possible link between hyperhomocysteinemia
and osteoarthritis. Redox Biol. 2018;15(January):504–12.
90. Jakubowski H. The molecular basis of homocysteine thiolactone-mediated
vascular disease. Clin Chem Lab Med. 2007;45(12):1704–16.
91. Boucher J, Kleinridders A, Ronald Kahn C. Insulin receptor signaling in
normal and insulin-resistant states. Cold Spring Harb Perspect Biol.
2014;6(1).
92. Yu X, Huang Y, Hu Q, Ma L. Hyperhomocysteinemia stimulates hepatic
glucose output and PEPCK expression. Acta Biochim Biophys Sin
(Shanghai). 2009;41(12):1027–32.
93. Franckhauser S, Muñoz S, Elias I, Ferre T, Bosch F. Adipose
overexpression of phosphoenolpyruvate carboxykinase leads to high
susceptibility to diet-induced insulin resistance and obesity. Diabetes.
2006;55(2):273–80.
94. Ko S-H, Ko S-H, Ahn Y-B, Song K-H, Han K-D, Park Y-M, et al.
Association of Vitamin B 12 Deficiency and Metformin Use in Patients with
Type 2 Diabetes. J Korean Med Sci [Internet]. 2014;29(7):965. Available
from:
https://synapse.koreamed.org/DOIx.php?id=10.3346/jkms.2014.29.7.965

Universitas Indonesia
65

95. Purwanto B, Sudiana IK, Herawati L, Aksono B. Muscle Glucose


Transporter 1 ( Glut-1 ) Expression in Diabetic Rat Models. FOlia Medica
Indones. 2013;49:21–5.
96. Patterson S, Flatt PR, McClenaghan NH. Homocysteine-induced
impairment of insulin secretion from clonal pancreatic BRIN-BD11 ??-
cells is not prevented by catalase. Pancreas. 2007;34(1):144–51.
97. Best L, Lebrun P, Saceda M, Hubinont C, Juvent M, Herchuelz A, et al.
IMPAIRMENT OF INSULIN RELEASE BY METHYLATION
INHIBITORS. 1984;33(13):2033–9.
98. June R. Pages 706-711. 1984;122(2):706–11.
99. Domagała TB, Łacinski M, Trzeciak WH, Mackness B, Mackness MI,
Jakubowski H. The correlation of homocysteine-thiolactonase activity of
the paraoxonase (PON1) protein with coronary heart disease status. Cell
Mol Biol. 2006;52(5):4–10.
100. Ralph A. Lilly Lecture 1987 The Triumvirate: p-Cell, Muscle, Liver A
Collusion Responsible for NIDDM. 1988;37(June):667–87.
101. Leahy JL. Pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. Arch Med Res.
2005;36(3):197–209.
102. Polyzos SA, Kountouras J, Patsiaoura K, Katsiki E, Zafeiriadou E, Zavos
C, et al. Serum vitamin B12 and folate levels in patients with non-alcoholic
fatty liver disease. Int J Food Sci Nutr. 2012;63(6):659–66.
103. Gulsen M, Yesilova Z, Bagci S, Uygun A, Ozcan A, Ercin CN, et al.
Elevated plasma homocysteine concentrations as a predictor of
steatohepatitis in patients with non-alcoholic fatty liver disease. J
Gastroenterol Hepatol [Internet]. 2005;20(9):1448–55. Available from:
http://www.ebscohost.com
104. Chen Z, Crippen K, Gulati S, Banerjee R. Purification and kinetic
mechanism of a mammalian methionine synthase from pig liver. J Biol
Chem [Internet]. 1994;269(44):27193–7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7961628
105. Moreira ES. Vascular Biochemistry of Vitamin B12: Exploring the
Relationship Between Intracellular Cobalamin and Redox Status in Human

Universitas Indonesia
66

Aortic Endothelial Cells. Kent State University; 2010.


106. Wilson, And Berenthal M. Copyright © National Academy of Sciences. All
rights reserved. Unless otherwise indicated, all materials in this PDF File
are copyrighted by the National Academy of Sciences. Distribution,
posting, or copying is strictly prohibited without written permiss.
Laboratory Animals. 2009.
107. Shanks N, Greek R, Greek J. Are animal models predictive for humans?
Philos Ethics, Humanit Med. 2009;4(1):1–20.
108. Baltaci D, Kutlucan A, Turker Y, Yilmaz A, Karacam S, Deler H, et al.
Association of vitamin B12 with obesity, overweight, insulin resistance and
metabolic syndrome, and body fat composition; primary care-based study.
Med Glas (Zenica) [Internet]. 2013;10(2):203–10. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23892832
109. Pooya S, Blaise S, Garcia MM, Giudicelli J, Alberto J, Jeannesson E, et al.
Methyl donor deficiency impairs fatty acid oxidation through PGC-1 a
hypomethylation and decreased ER- a , ERR- a , and HNF-4 a in the rat
liver. J Hepatol [Internet]. 2012;57(2):344–51. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jhep.2012.03.028
110. Bito T, Matsunaga Y, Yabuta Y, Kawano T, Watanabe F. Vitamin B12
deficiency in Caenorhabditis elegans results in loss of fertility, extended
life cycle, and reduced lifespan. FEBS Open Bio [Internet]. 2013;3:112–7.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.fob.2013.01.008
111. Yousaf F, Spinowitz B, Charytan C. Pernicious Anemia Associated
Cobalamin Deficiency and Thrombotic Microangiopathy: Case Report and
Review of the Literature. Case Reports [Internet]. 2017;2017. Available
from: https://www.hindawi.com/journals/crim/2017/9410727/abs/
112. Cullen RW, Oace SM. Dietary pectin shortens the biologic half-life of
vitamin B-12 in rats by increasing fecal and urinary losses. J Nutr.
1989;119(8):1121–7.
113. Tyagi N, Sedoris KC, Steed M, Ovechkin A V, Moshal KS, Tyagi SC, et
al. Mechanisms of homocysteine-induced oxidative stress. Am J Physiol
Heart Circ Physiol [Internet]. 2005;289(6):H2649-56. Available from:

Universitas Indonesia
67

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16085680

Universitas Indonesia
68

Lampiran 1. Keterangan Lolos Kaji Etik

Universitas Indonesia
69

Lampiran 2. Bukti Submit Jurnal Publikasi

Universitas Indonesia
70

Lampiran 3. Draf Artikel untuk Pubikasi

Developing Vitamin B12 Deficient Rat Model


Based on Duration of Vitamin B12 Restriction
Diet: Assessment of Plasma Vitamin B12,
Homocysteine (Hcy), and Blood Glucose Levels

Imelda Rosalyn Sianipar1,a), Irena Ujianti2, Sophie Yolanda1, Aditya K


Murthi2,3, Patwa Aman3,4, Dewi Irawati Soeria Santoso1
1
Department of Physiology, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia
2
Master Program in Biomedical Science, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia
3
Department of Physiology, Faculty of Medicine, Trisakti University
4
Doctoral Program in Biomedical Science, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia

a)Corresponding author: imelda.rosalyn@ui.ac.id

Abstract. Many studies indicate a crucial role of vitamin B12 in hyperhomocysteinemia and hyperglicemia. In
this study, through dietary restriction, we developed rat models of vitamin B12 deficiencies to elucidate the
impact on hyperhomocysteinemia and hyperglycemia. We investigated whether there is a correlation
between plasma Vitamin B12 with homocysteine and the presence of hyperglycemia in male rats. Adult male
mice were divided into 3 groups (a) Control diet for 16 weeks (b) vitamin B12-restricted diet with pectin as
dietary fiber for 8 weeks (K1) (c) vitamin B12-restricted diet with pectin as dietary fiber for 16 weeks (K2).
After 8 weeks of feeding, plasma concentrations of vitamin B12, homocysteine, and glucose were assessed.
Blood samples for vitamin B12, homocysteine and glucose were obtained after overnight fasting. After 16
weeks of continued feeding on their respective diets, plasma concentrations of vitamin B12, homocysteine,
and glucose were assessed. Plasma vitamin B12 levels were lower in K2 compared to both the control and K1
groups. On the other hand, the deficient B12 group had significantly higher levels of homocysteine and
glucose than control on 8 and 16 weeks. In this study, we concluded that hyperglycemia was associated with
lower serum vitamin B12 concentration and serum homocysteine in the development of vitamin B12 deficient
rat model.

Keywords: vitamin B12, rat model, homocysteine, blood glucose, hyperglycemia

Universitas Indonesia
71

1. Introduction
Vitamin B12 (B12), the largest and most complex vitamin molecule, is
exclusively synthesized by certain bacteria, and is most abundant in higher order
predators in the natural food chain. After B12 is taken up by living cells, it is
converted into two coenzyme forms, 5-deoxyadenosylcobalamin (Ado-B12) and
methylcobalamin (CH3-B12, which function as the coenzymes for methylmalonyl-
CoA mutase and methionine synthase, respectively.104

The major dietary source of B12 is food derived from animal product; therefore
strict vegetarians and/or elderly people are at a high risk of developing B12
deficiency.105 The major symptoms of B12 deficiency are developmental disorders,
megaloblastic anemia, metabolic abnormalities, and neuropathy, although the
underlying disease mechanisms are poorly understood .106 Developing animal
models of B12-deficiency is essential for investigating the molecular mechanisms
that are defective in this metabolic disorder. However, such animal models have
proven difficult to generate because animals must be fed with a B12-deficient diet
for long periods of time to achieve B12 deficiency.

Sprague Dawley rats offer several advantages for genetic and biochemical
studies, because of their short lifespan, and complete sequenced genome that is
similar to human. In addition, many molecular and cellular processes are conserved
between humans and rats. Most human disease genes and pathways are present in
the rat. Thus, this animal has been widely used as a model for studying a variety of
biological processes including apoptosis, cell signaling, cell cycle regulation, gene
regulation, metabolism, and aging.107

The purpose of this study is to develop a B12 deficient animal model and also to
study its effect on hyperhomocysteinemia and hyperglycemia condition.
Methionine synthase and methylmalonil coAmutase are enzymes that require
vitamin B12 as a co-factor for its activity.70 Methionine synthase activity is reduced
in vitamin B12 deficiency conditions. This results in disruption of homocysteine
(Hcy) metabolism, homocysteine accumulation and formation of intra-cell
homocysteine thiolactone. The interaction of homocysteine thiolactone with Insulin
Receptor Substrates or p85 of PIP3K results in the inhibition of insulin

Universitas Indonesia
72

signaling.72,51 For this purpose Sprague Dawley rat were given special vitamin B12-
deficient diet. Inhibition of insulin signaling was observed through examination of
plasma B12 concentration, plasma homocysteine concentration and fasting blood
glucose levels.

1.

2. MATERIAL AND METHODS

3. Animal Maintenance and feeding

This study was part of a larger research project at the Department of Medical
Physiology FMUI. This in-vivo experimental study used male Sprague Dawley rats
aged 36-40 weeks with body weight ranging from 300-350 grams (purchased from
Badan Penelitian dan Kesehatan RI). Based on the Mead formula, a total sample of
18 rats were used. Rats were treated in accordance with the Helsinki convention.
This research has been approved by the Health Research Ethics Committee -
Faculty of Medicine Universitas Indonesia/Cipto Mangunkusumo Hospital
(FMUI/RSCM) no. 184/UN2.F1/ETIK/2017.

Rats were placed in individual cages in a room with proper ventilation. Room
temperature was maintained between 18-26°C with humidity of 30-70% and a 12
hours light and dark cycle. Rat cages were cleaned every day to ensure the rat’s
health. After one week of acclimatization, they were randomly divided into three
groups. The first group was fed with AIN-93M (Research Diets Inc., USA) ad
libitum as the control group (Group 1, n = 6, designated as C). The second group
was fed with modified AIN-93M ad libitum (AIN-93M with rescricted-B12) with
additional pectin/cellulose as a source of fiber for eight weeks (Group 2, n = 6). The
third group was fed with the same modified AIN-93M diet ad-libitum (Group 3, n
=6) for 16 weeks. The content of vitamin B12 modified diet was much lower than
the control diet (0.016 vs. 28 mcg/kg diet); The modified diet contained 50 g
pectin/kg to bind the intrinsic factor in the intestine and to makes vitamin B12 less
bioavailable. Food intake was recorded daily, and body weight was measured every
week.

Universitas Indonesia
73

After 8 weeks and 16 weeks of feeding, concentrations of plasma vitamin B12,


homocysteine and glucose were measured.

4. Biochemical Parameters

At the end of 8 and 16 weeks of feeding the respective diets, blood was collected
from the supraorbital sinus, after overnight fasting. Fasting blood glucose was
measured using hexokinase assay method. Plasma vitamin B12 and homocysteine
level examinations were performed using a standard ELISA kit (Rat insulin ELISA,
MyBiosource, USA). Vitamin B12 and homocysteine assays were performed at the
immunoendocrinology laboratory, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia.

5. Statistical analysis

Statistical analysis was performed using one-way ANOVA test followed by


post-hoc analysis for significance of difference among the groups. T test was
performed for significance of difference between the control and treatment group.
Data were previously analyzed for normality with ShapiroWilk test. Data
processing was performed using SPSS 12 (Statistical Social Sciences 12).

2. RESULT
1. Establishing a Rat Model for Vitamin B12 Deficiency

After 8 weeks and 16 weeks of feeding the respective diets, we measured plasma
vitamin B12 and homocysteine levels. The result showed that after only 8 weeks of
feeding modified AIN-93M diet, we successfully established vitamin B12-
deficient rat models.

There was a significant decrease in plasma vitamin B12 levels in the eight-week
treatment group when compared to the eight-week control group. Plasma vitamin
B12 in the eight-week treatment group was significantly lower compared to the
eight-week control group (463.52 ± 28.03 pg/ml vs 670.2 ± 19.06pg/ml, p = 0.000,
p = 0.000). Plasma vitamin B12 levels in the sixteen-week treatment group was
significantly lower compared to the sixteen-week control group (472.24±24.09

Universitas Indonesia
74

pg/ml vs 666.5 ± 52.63 pg/ml pg/ml, p = 0.015). No significant difference was


observed between the 8-week and 16-week treatment group.

FIGURE 1. Means of plasma Vitamin B12 levels

* p < 0.01 vs. control group at week 8, ** p < 0.05 vs. control group at week 16

Plasma homocysteine level in the eight-week treatment group was significantly


higher compared to the eight-week control group (455.48 ± 39.056 nmol/ml vs
219.2 ± 28.072 nmol/ml, p = 0.000). Plasma homocysteine level in the sixteen-
week treatment group was significantly higher compared to the sixteen-week
control group (1055.05 ± 172.75 nmol/ml vs 282.37 ± 43.38 nmol/ml, p = 0.032).

Universitas Indonesia
75

FIGURE 2. Means of plasma homocysteine levels.

* p < 0.01 vs. control group at week 8, ** p < 0.05 vs. control group at week 16

2.

3. Fasting Blood Glucose

There was a significant difference in fasting blood glucose levels between the
control group compared to the treatment group. Fasting blood glucose level in the
eight-week treatment group was significantly higher compared to the eight-week
control group (189.66 ± 15.97 mg/dl vs 104.83 ± 3.19mg/dl, p=0.03). Fasting
glucose in the sixteen-week treatment group was also significantly higher compared
to the sixteen-week control group (144.6 ± 5.79 vs 100 ± 6.3 mg/dl, p=0.000).

Figure 3. Means of plasma glucose levels

* p < 0.05 vs. control group at week 8, ** p < 0.01 vs. control group at week 16

3. DISCUSSION
Vitamin B12 deficiency is silent and common in general population.108 Causes
of Vitamin B12 deficiencies are multifactorial and associated with many health
problems.44 Vitamins and minerals (micronutrients) play a central role in cellular
metabolism, maintenance, and growth throughout life and are helpful in prevention

Universitas Indonesia
76

and/or cure of various disorders during the course of life.109 Vitamin B12 is an
important micronutrient essential for numerous vital processes in our body
including normal functioning of the brain and nervous system and for the formation
of blood. A regular dietary supply of vitamin B12 across the life course is essential
due to its role as methyl donor and in vital functions of normal growth,
development, and maintenance of various physiological functions.70,109,110
Deficiency of vitamin B12 is associated with pernicious anemia. neural defects, and
atherosclerosis.45,111 Considering that vitamin B12 deficiency is widespread in
developing countries, in this study, we assessed the effect of specific micronutrient
vitamin B12 deficiency in 9-month-old Sprague Dawley male rats by feeding them
with a modified AIN-93M (vitamin B12 restricted) diet. Pectin/cellulose were
added in the modified diet to induce deficiency as it makes vitamin B12 less
bioavailable and also promotes depletion of endogenous vitamin B12 due to its
enterohepatic circulation.112 Male Sprague Dawley rats were used in this study
because the plasma levels of vitamin B12 observed in the these rats were similar to
those reported in vitamin-B12-deficient subjects.70,81

Our results showed that B12 deficient diet causes a gradual decrease in the B12
plasma concentration in rats. Hcy is an indicator of B12 deficiency on both control
and B12-deficient conditions. There was a significantly higher Hcy levels in the
eight-week and sixteen-week treatment groups compared to the control group. Hcy
levels were approximately four and five times greater, after eight weeks and sixteen
weeks of B12-deficient treatment respectively, compared to the control group.112
This study supports the use of vitamin B12 deficient rat as an animal model for
hyperhomocysteinemia. In vitamin B12 deficient rats, methionine metabolism is
impaired.53 Methyl group of B12 functions as a coenzyme of Methionine Synthase
which catalyzes the methyl transfer from methyltetrahydrofolate to homocysteine,
resulting in the donation of a methyl group to homocysteine, forming methionine.104
Methionine Synthase is important to re-synthesize methionine and to metabolize
methyltetrahydrofolate. In patients with cobalamin deficiency leading to decreased
liver transsulfuration pathways in homocysteine metabolism, plasma homocysteine
will increase.49,84 Increased plasma homocysteine causes oxidative stress, resulting
in insulin resistance through the ROS pathway.113,47

Universitas Indonesia
77

The oxidative stress produced by the conversion of Hcy to Hcy thiolactone leads
to the inhibitory activity of the tyrosine kinase insulin receptor.8,5,90 An action of
homocysteine on the insulin secretory pathway was demonstrated by Najib &
Sanchez-Margalet,5 who found that homocysteine thiolactone, the active form of
homocysteine, inhibited the insulin-stimulated tyrosine phosphorylation of insulin
receptor b-subunit and its substrates insulin receptor substrate-1 and p60-70 in rat
hepatoma cells. In addition, they showed that homocysteine thiolactone decreased
the p85 regulatory subunit of phosphatidylinositol 3-kinase activity, inducing a
reduction in insulin-stimulated glycogen synthesis. In that in vitro study, the effects
of 100 nM insulin were completely blocked by 50mM homocysteine thiolactone,
suggesting that 1mM homocysteine thiolactone inhibited 300 mU/ml insulin. This
partly explains the result of our in vivo study in which a 3.4 mmol/l decrement of
homocysteine levels was associated with a decrease in circulating insulin levels of
5 mU/ml; but this important issue deserves further investigation.5 Insulin signaling
disorder results in an increase in plasma blood glucose. The significantly higher
fasting blood glucose levels in rats receiving fed restricted B12 diet compared to
the control group indicated that the Vitamin B12 restricted diet ad libitum for 16
weeks had led to the development of insulin resistance. This is consistent with
several studies that suggest a link between increased homocysteine due to vitamin
B12 deficiency with insulin resistance.8,5

In summary, in this study, we have provided insights on the effects of vitamin


B12 deficiencies in 9-month-old male Sprague Dawley rats on plasma vitamin B12,
homocysteine and glucose levels. We also succeeded in developing Vitamin B12
deficient rat model after 8 weeks of restricted diet, which led to
hyperhomocysteinemia condition and hyperglycemia.

4. References

1. Dai H, Wang W, Tang X, Chen R, Chen Z, Lu Y, et al. Association


between homocysteine and non-alcoholic fatty liver disease in Chinese
adults: a cross-sectional study. Nutr J [Internet]. 2016;15(1):1–7. Available
from: http://dx.doi.org/10.1186/s12937-016-0221-6

Universitas Indonesia
78

2. Younossi Z, Anstee QM, Marietti M, Hardy T, Henry L, Eslam M, et al.


Global burden of NAFLD and NASH: trends, predictions, risk factors and
prevention. Nat Rev Gastroenterol Hepatol [Internet]. 2017;14(1):11–20.
Available from:
http://www.nature.com/doifinder/10.1038/nrgastro.2017.109

3. Donnelly KL, Smith CI, Schwarzenberg SJ, Jessurun J, Boldt MD, Parks
EJ. Sources of fatty acids stored in liver and secreted via lipoproteins in
patients with nonalcoholic fatty liver disease. 2005;115(5):1343–51.

4. Shimomura I, Matsuda M, Hammer RE, Bashmakov Y, Brown MS,


Goldstein JL, et al. Decreased IRS-2 and Increased SREBP-1c Lead to
Mixed Insulin Resistance and Sensitivity in Livers of Lipodystrophic and
ob / ob Mice. 2000;6:77–86.

5. Najib S, Sánchez-Margalet V. Homocysteine thiolactone inhibits insulin


signaling, and glutathione has a protective effect. J Mol Endocrinol.
2001;27(1):85–91.

6. Meigs JB, Jacques PF, Selhub J, Singer DE, Nathan DM, Rifai N, et al.
Fasting Plasma Homocysteine Levels in the Insulin Resistance Syndrome.
Diabetes Care [Internet]. 2001;24(8):1403–10. Available from:
http://care.diabetesjournals.org/cgi/doi/10.2337/diacare.24.8.1403%5Cnpap
ers3://publication/doi/10.2337/diacare.24.8.1403

7. Golbahar J, Aminzadeh MA, Kassab SE, Omrani GR.


Hyperhomocysteinemia induces insulin resistance in male Sprague-Dawley
rats. Diabetes Res Clin Pract. 2007;76(1):1–5.

8. Najib S, Sánchez-Margalet V. Homocysteine thiolactone inhibits insulin-


stimulated DNA and protein synthesis: Possible role of mitogen-activated
protein kinase (MAPK), glycogen synthase kinase-3 (GSK-3) and p70 S6K
phosphorylation. J Mol Endocrinol. 2005;34(1):119–26.

9. Ueland PM, Refsum H, Stabler SP, Malinow MR, Andersson a, Allen RH.
Total homocysteine in plasma or serum: methods and clinical applications.

Universitas Indonesia
79

Clin Chem. 1993;39(9):1764–79.

10. Foufelle F, Ferr P. Hepatic steatosis : a role for de novo lipogenesis and the
transcription factor SREBP-1c. 2010;12(figure 1):83–92.

11. Yan L, Xu MT, Yuan L, Chen B, Xu ZR, Guo QH, et al. Prevalence of
dyslipidemia and its control in type 2 diabetes: A multicenter study in
endocrinology clinics of China. J Clin Lipidol [Internet]. 2016;10(1):150–
60. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jacl.2015.10.009

12. Bostom a G, Lathrop L. Hyperhomocysteinemia in end-stage renal disease:


prevalence, etiology, and potential relationship to arteriosclerotic outcomes.
Kidney Int [Internet]. 1997;52(1):10–20. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9211341

13. Bito T, Misaki T, Yabuta Y, Ishikawa T, Kawano T, Watanabe F. Vitamin


B12 deficiency results in severe oxidative stress, leading to memory
retention impairment in Caenorhabditis elegans. Redox Biol [Internet].
2017;11(October 2016):21–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.redox.2016.10.013

14. Peverill W, Powell LW, Skoien R. Evolving concepts in the pathogenesis


of NASH: Beyond steatosis and inflammation. Int J Mol Sci.
2014;15(5):8591–638.

15. Ghosh S, Sinha JK, Putcha UK, Raghunath M. Severe but Not Moderate
Vitamin B12 Deficiency Impairs Lipid Profile, Induces Adiposity, and
Leads to Adverse Gestational Outcome in Female C57BL/6 Mice. Front
Nutr [Internet]. 2016;3(January):1–10. Available from:
http://journal.frontiersin.org/article/10.3389/fnut.2016.00001

16. Obeid R, Herrmann W. Homocysteine and lipids: S-Adenosyl methionine


as a key intermediate. FEBS Lett [Internet]. 2009;583(8):1215–25.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.febslet.2009.03.038

17. Singh AK, Kumar A, Karmakar D JR. Association of B12 deficiency and

Universitas Indonesia
80

clinical neuropathy with metformin use in type 2 diabetes patients. Vol. 59,
Journal of postgraduate medicine. 2013. p. 253–7.

18. Emmanuel A, Goichot B, Schlienger J-L, France S. Food cobalamin


malabsortion: A usual cause of vitamin B12 deficiency. Am Med Assoc.
2000;160:2061–7.

19. Caldwell SH, Argo CK. Nature of the Condition Non-alcoholic fatty liver
disease : Hype or harm ?

20. Duseja A, Singh SP, Saraswat VA, Acharya SK, Chawla YK, Chowdhury
S, et al. Non-alcoholic fatty liver disease and metabolic syndrome-position
paper of the Indian National Association for the study of the liver,
endocrine society of India, Indian college of cardiology and Indian society
of gastroenterology. J Clin Exp Hepatol [Internet]. 2015;5(1):51–68.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jceh.2015.02.006

21. Cheung O, Kapoor A, Puri P, Sistrun S, Luketic VA, Sargeant CC, et al.
The Impact of Fat Distribution on the Severity of Nonalcoholic Fatty Liver
Disease and Metabolic Syndrome. :1091–100.

22. Dietrich P, Hellerbrand C. Best Practice & Research Clinical


Gastroenterology Non-alcoholic fatty liver disease , obesity and the
metabolic syndrome. Best Pract Res Clin Gastroenterol [Internet].
2014;28(4):637–53. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.bpg.2014.07.008

23. Liu C. Prevalence and risk factors for non-alcoholic fatty liver.
2012;27:1555–60.

24. Piano A De, Estadella D, Oyama LM, Ribeiro EB, Dâmaso AR, Claudia
M, et al. Endocrinology & Metabolic Syndrome Nonalcoholic Fatty Liver
Disease ( NAFLD ), a Manifestation of the Metabolic Syndrome : New
Perspectives on the Nutritional Therapy. 2014;3(3).

25. Attar BM, Thiel DH Van. Current Concepts and Management Approaches

Universitas Indonesia
81

in Nonalcoholic Fatty Liver Disease. 2013;2013.

26. Lim JS, Mietus-snyder M, Valente A, Schwarz J, Lustig RH. the role of
fructose in the pathogenesis of naFlD and the metabolic syndrome. Nat
Publ Gr [Internet]. 2010;7(5):251–64. Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/nrgastro.2010.41

27. Vajro P, Lenta S, Pignata C, Salerno M, D’Aniello R, De Micco I, et al.


Therapeutic options in pediatric non alcoholic fatty liver disease: Current
status and future directions. Ital J Pediatr [Internet]. 2012;38(1):1.
Available from: Italian Journal of Pediatrics

28. Jacome-Sosa MM, Parks EJ. Fatty acid sources and their fluxes as they
contribute to plasma triglyceride concentrations and fatty liver in humans.
Curr Opin Lipidol. 2014;25(3):213–20.

29. Ferramosca A, Zara V. Modulation of hepatic steatosis by dietary fatty


acids. World J Gastroenterol. 2014;20(7):1746–55.

30. Liao W, Hui TY, Young SG, Davis RA. Blocking microsomal triglyceride
transfer protein interferes with apoB secretion without causing retention or
stress in the ER. J Lipid Res [Internet]. 2003;44(5):978–85. Available
from: http://www.jlr.org/lookup/doi/10.1194/jlr.M300020-JLR200

31. George J, Liddle C. Nonalcoholic Fatty Liver Disease : Pathogenesis and


Potential for Nuclear Receptors as Therapeutic Targets. Mol Pharm.
2007;5(1):49–59.

32. Chen G, Liang G, Ou J, Goldstein JL, Brown MS. Central role for liver X
receptor in insulin-mediated activation of Srebp-1c transcription and
stimulation of fatty acid synthesis in liver. 2004;101(31).

33. Schultz JR, Tu H, Luk A, Repa JJ, Medina JC, Li L, et al. Role of LXRs in
control of lipogenesis. Genes Dev. 2000;14(22):2831–8.

34. Lambert JE, Ramos-Roman MA, Browning JD, Parks EJ. Increased de
novo lipogenesis is a distinct characteristic of individuals with nonalcoholic

Universitas Indonesia
82

fatty liver disease. Gastroenterology [Internet]. 2014;146(3):726–35.


Available from: http://dx.doi.org/10.1053/j.gastro.2013.11.049

35. Schreuder TC, Verwer BJ, van Nieuwkerk CM, Mulder CJ. Nonalcoholic
fatty liver disease: an overview of current insights in pathogenesis,
diagnosis and treatment. World J Gastroenterol [Internet].
2008;14(16):2474–86. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18442193

36. Buzzetti E, Pinzani M, Tsochatzis EA. The multiple-hit pathogenesis of


non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Metabolism [Internet].
2016;65(8):1038–48. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.metabol.2015.12.012

37. Dowman JK, Tomlinson JW, Newsome PN. Pathogenesis of non-alcoholic


fatty liver disease. Qjm [Internet]. 2010;103(2):71–83. Available from:
https://academic.oup.com/qjmed/article-lookup/doi/10.1093/qjmed/hcp158

38. Postic C, Girard J. Contribution of de novo fatty acid synthesis to hepatic


steatosis and insulin resistance: Lessons from genetically engineered mice.
J Clin Invest. 2008;118(3):829–38.

39. Rolo AP, Teodoro JS, Palmeira CM. Role of oxidative stress in the
pathogenesis of nonalcoholic steatohepatitis. Free Radic Biol Med
[Internet]. 2012;52(1):59–69. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.freeradbiomed.2011.10.003

40. Huwait EA, Kumosani TA, Moselhy SS, Mosaoa RM, Yaghmoor SS.
Relationship between soil cobalt and vitamin B<inf>12</inf> levels in the
liver of livestock in Saudi Arabia: Role of competing elements in soils. Afr
Health Sci. 2015;15(3):993–1008.

41. Andrès E, Loukili NH, Noel E, Kaltenbach G, Ben Abdelgheni M, Perrin


AE, et al. Vitamin B12 (cobalamin) deficiency in elderly patients. Cmaj.
2004;171(3):251–9.

Universitas Indonesia
83

42. Suormala T, Baumgartner MR, Coelho D, Zavadakova P, Kožich V, Koch


HG, et al. The cblD defect causes either isolated or combined deficiency of
methylcobalamin and adenosylcobalamin synthesis. J Biol Chem.
2004;279(41):42742–9.

43. Watkins D, Venditti CP, Rosenblatt DS. Vitamins: Cobalamin and Folate
[Internet]. Fifth Edit. Rosenberg’s Molecular and Genetic Basis of
Neurological and Psychiatric Disease: Fifth Edition. Elsevier Inc.; 2014.
521-529 p. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-410529-
4.00047-4

44. Solomon LR. Disorders of cobalamin ( Vitamin B12 ) metabolism :


Emerging concepts in pathophysiology , diagnosis and treatment.
2007;113–30.

45. Gherasim C, Lofgren M, Banerjee R. Navigating the B12 road:


Assimilation, delivery, and disorders of cobalamin. J Biol Chem.
2013;288(19):13186–93.

46. Disease C. Homocysteine, Vitamins, and Cardiovascular Disease. 2015;

47. Hayden MR, Tyagi SC. Homocysteine and reactive oxygen species in
metabolic syndrome, type 2 diabetes mellitus, and atheroscleropathy: The
pleiotropic effects of folate supplementation. Nutr J [Internet].
2004;3(figure 1):4. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC420478/%5Cnhttp://www.n
cbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC420478/pdf/1475-2891-3-4.pdf

48. Ravi Kanth VV, Golla JP, Sastry BKS, Naik S, Kabra N, Sujatha M.
Genetic interactions between MTHFR (C677T), methionine synthase
(A2756G, C2758G) variants with vitamin B12 and folic acid determine
susceptibility to premature coronary artery disease in Indian population. J
Cardiovasc Dis Res [Internet]. 2011;2(3):156–63. Available from:
http://www.jcdronline.org/article/179

49. Gamble M V., Ahsan H, Liu X, Factor-Litvak P, Ilievski V, Slavkovich V,

Universitas Indonesia
84

et al. Folate and cobalamin deficiencies and hyperhomocysteinemia in


Bangladesh. Am J Clin Nutr. 2005;81(6):1372–7.

50. Sibrian-Vazquez M, Escobedo JO, Lim S, Samoei GK, Strongin RM.


Homocystamides promote free-radical and oxidative damage to proteins.
Proc Natl Acad Sci U S A [Internet]. 2010;107(2):551–4. Available from:
http://www.pnas.org/content/107/2/551.short

51. Jakubowski H. Molecular basis of homocysteine toxicity in humans. Cell


Mol Life Sci. 2004;61(4):470–87.

52. Lai WKC, Kan MY. Homocysteine-induced endothelial dysfunction. Ann


Nutr Metab. 2015;67(1):1–12.

53. ??kovierov?? H, Vidomanov?? E, Mahmood S, Sopkov?? J, Drgov?? A,


??erve??ov?? T, et al. The molecular and cellular effect of homocysteine
metabolism imbalance on human health. Int J Mol Sci. 2016;17(10):1–18.

54. Jacobsen DW. Homocysteine and vitamins in cardiovascular disease. Clin


Chem. 1998;44(8 II):1833–43.

55. Mayer EL, Jacobsen DW, Robinson K. Homocysteine and coronary


atherosclerosis. J Am Coll Cardiol [Internet]. 1996;27(3):517–27.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/0735-1097(95)00508-0

56. Transfer T, Working C. Measurement and Use of Total Plasma


Homocysteine. Am J Hum Genet [Internet]. 1998;63(5):1541–3. Available
from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0002929707615857

57. Wilcox G. Insulin and insulin resistance. Clin Biochem Rev [Internet].
2005;26(2):19–39. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16278749%5Cnhttp://www.pubmedc
entral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC1204764

58. W. KENNETH WARD, M.D., JAMES C. BEARD, M.D., JEFFREY B.


HALTER, M.D., MICHAEL A. PFEIFER, M.D., AND DANIEL PORTE,

Universitas Indonesia
85

JR. MD. Pathophysiology of Insulin Secretion in Non-insulin-dependent


Diabetes Mellitus. 1984;7(5):491–502.

59. Shepherd PR, Kahn BB. Glucose transporters and insulin action -
Implications for insulin resistance and diabetes mellitus. N Engl J Med.
1999;341(4):248–57.

60. Pessin JE, Saltiel AR. Signaling pathways in insulin action : molecular
targets of insulin resistance. J Clin Invest. 2000;106(2):165–9.

61. Moran A, Jr DRJ, Steinberger J, Hong C, Prineas R, Luepker R, et al.


Insulin Resistance During Puberty Results From Clamp Studies in 357
Children. 1996;2039–44.

62. Shoelson SE, Lee J, Goldfine AB. Review series Inflammation and insulin
resistance. J Clin Invest. 2006;116(7):1793–801.

63. Czech MP. Insulin action and resistance in obesity and type 2 diabetes. Nat
Med. 2017;23(7):804–14.

64. Shulman GI. Cellular mechanisms of insulin resistance. J Clin Invest.


2000;106(2):171–6.

65. Williams CL, Hayman LL, Daniels SR, Robinson TN, Steinberger J,
Paridon S, et al. Cardiovascular health in childhood: A statement for health
professionals from the Committee on Atherosclerosis, Hypertension, and
Obesity in the Young (AHOY) of the Council on Cardiovascular Disease in
the Young, American Heart Association. Circulation. 2002;106(1):143–60.

66. Mcneal C, Wilson DP. Metabolic syndrome and dyslipidemia in youth.


2008;147–55.

67. Antuna-puente B, Disse E, Rabasa-lhoret R. How can we measure insulin


sensitivity / resistance ? Diabetes Metab [Internet]. 2011;37(3):179–88.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.diabet.2011.01.002

68. Mather K. Surrogate measures of insulin resistance : of rats , mice , and

Universitas Indonesia
86

men. 2009;2008–9.

69. Esteghamati A, Ashraf H, Khalilzadeh O, Zandieh A, Nakhjavani M,


Rashidi A, et al. Optimal cut-off of homeostasis model assessment of
insulin resistance (HOMA-IR) for the diagnosis of metabolic syndrome:
third national surveillance of risk factors of non-communicable diseases in
Iran (SuRFNCD-2007). Nutr Metab (Lond). 2010;7:26.

70. Guéant JL, Caillerez-Fofou M, Battaglia-Hsu S, Alberto JM, Freund JN,


Dulluc I, et al. Molecular and cellular effects of vitamin B12 in brain,
myocardium and liver through its role as co-factor of methionine synthase.
Biochimie [Internet]. 2013;95(5):1033–40. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.biochi.2013.01.020

71. Setola E, Monti LD, Galluccio E, Palloshi A, Fragasso G, Paroni R, et al.


Insulin resistance and endothelial function are improved after folate and
vitamin B12 therapy in patients with metabolic syndrome: relationship
between homocysteine levels and hyperinsulinemia. Eur J Endocrinol
[Internet]. 2004;151(4):483–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15476449

72. Jakubowski H. Metabolism of homocysteine thiolactone in human cell


cultures. J Biol Chem. 1997;272(3):1935–42.

73. Biddinger SB, Kahn CR. F ROM M ICE TO M EN : Insights into the
Insulin Resistance Syndromes. 2006;

74. Birkenfeld AL, Shulman GI. Overview : Hepatic Lipid Metabolism.


2014;713–23.

75. Larter CZ, Yeh MM. Animal models of NASH : Getting both pathology
and metabolic context right. 2008;23:1635–48.

76. Cohen JC, Horton JD, Hobbs HH. Human fatty liver disease: Old questions
and new insights. Science (80- ). 2011;332(6037):1519–23.

77. Fabbrini E, Mohammed BS, Magkos F, Korenblat KM, W B. NIH Public

Universitas Indonesia
87

Access. Hum Stud. 2009;134(2):424–31.

78. Adiels M, Taskinen MR, Packard C, Caslake MJ, Soro-Paavonen A,


Westerbacka J, et al. Overproduction of large VLDL particles is driven by
increased liver fat content in man. Diabetologia. 2006;49(4):755–65.

79. Mahamid M, Mahroum N, Bragazzi N, Shalaata K, Yavne Y, Adawi M, et


al. Folate and B12 Levels Correlate with Histological Severity in NASH
Patients. Nutrients [Internet]. 2018;10(4):440. Available from:
http://www.mdpi.com/2072-6643/10/4/440

80. Fehling C, Jagerstad M, Akesson B, Axelsson J, Brun A. Effects of vitamin


B12 deficiency on lipid metabolism of the rat liver and nervous system. Br
J Nutr [Internet]. 1978;39(3):501–13. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/638120%5Cnhttp://journals.cambrid
ge.org/download.php?file=%2FBJN%2FBJN40_03%2FS00071145780006
77a.pdf&code=419c7403c59fac2a4579326df0a7aa58

81. Bottle A, Millett C, Antonysunil A, Kumsaiyai W, Voyias P, Gates S, et al.


Basic and clinical science posters : lipids and fatty liver Basic and clinical
science posters : molecular basis and treatment of complications Basic and
clinical science posters : new insulins , technology , therapies and
treatment. 2017;34:67–8.

82. O’Leary F, Samman S. Vitamin B12 in health and disease. Nutrients.


2010;2(3):299–316.

83. Zhao Y, Su B, Jacobs L, Kennedy B, Francis GA, Waddington E, et al.


Lack of Phosphatidylethanolamine N -Methyltransferase Alters Plasma
VLDL Phospholipids and Attenuates Atherosclerosis in Mice. 2009;

84. Mahalle N, Kulkarni M V, Garg MK, Naik SS. Vitamin B12 deficiency and
hyperhomocysteinemia as correlates of cardiovascular risk factors in Indian
subjects with coronary artery disease. 2013;61(4):289–94. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jjcc.2012.11.009

Universitas Indonesia
88

85. Parasuraman S, Raveendran R, Kesavan R. Blood sample collection in


small laboratory animals. J Pharmacol Pharmacother. 2010;1(2):87.

86. Liang W, Menke AL, Driessen A, Koek GH, Lindeman JH, Stoop R, et al.
Establishment of a general NAFLD scoring system for rodent models and
comparison to human liver pathology. PLoS One. 2014;9(12):1–17.

87. Herrmann M, Wildemann B, Wagner A, Wolny M, Schorr H, Taban-


Shomal O, et al. Experimental folate and vitamin B12 deficiency does not
alter bone quality in rats. J Bone Miner Res. 2009;24(4):589–96.

88. Ahmad S, Kumar KA, Basak T, Bhardwaj G, Yadav DK, Lalitha A, et al.
PPAR signaling pathway is a key modulator of liver proteome in pups born
to vitamin B12 deficient rats. J Proteomics [Internet]. 2013;91:297–308.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jprot.2013.07.027

89. Ma CH, Chiu YC, Wu CH, Jou IM, Tu YK, Hung CH, et al. Homocysteine
causes dysfunction of chondrocytes and oxidative stress through repression
of SIRT1/AMPK pathway: A possible link between hyperhomocysteinemia
and osteoarthritis. Redox Biol. 2018;15(January):504–12.

90. Jakubowski H. The molecular basis of homocysteine thiolactone-mediated


vascular disease. Clin Chem Lab Med. 2007;45(12):1704–16.

91. Boucher J, Kleinridders A, Ronald Kahn C. Insulin receptor signaling in


normal and insulin-resistant states. Cold Spring Harb Perspect Biol.
2014;6(1).

92. Yu X, Huang Y, Hu Q, Ma L. Hyperhomocysteinemia stimulates hepatic


glucose output and PEPCK expression. Acta Biochim Biophys Sin
(Shanghai). 2009;41(12):1027–32.

93. Franckhauser S, Muñoz S, Elias I, Ferre T, Bosch F. Adipose


overexpression of phosphoenolpyruvate carboxykinase leads to high
susceptibility to diet-induced insulin resistance and obesity. Diabetes.
2006;55(2):273–80.

Universitas Indonesia
89

94. Ko S-H, Ko S-H, Ahn Y-B, Song K-H, Han K-D, Park Y-M, et al.
Association of Vitamin B 12 Deficiency and Metformin Use in Patients with
Type 2 Diabetes. J Korean Med Sci [Internet]. 2014;29(7):965. Available
from:
https://synapse.koreamed.org/DOIx.php?id=10.3346/jkms.2014.29.7.965

95. Purwanto B, Sudiana IK, Herawati L, Aksono B. Muscle Glucose


Transporter 1 ( Glut-1 ) Expression in Diabetic Rat Models. FOlia Medica
Indones. 2013;49:21–5.

96. Patterson S, Flatt PR, McClenaghan NH. Homocysteine-induced


impairment of insulin secretion from clonal pancreatic BRIN-BD11 ??-
cells is not prevented by catalase. Pancreas. 2007;34(1):144–51.

97. Best L, Lebrun P, Saceda M, Hubinont C, Juvent M, Herchuelz A, et al.


IMPAIRMENT OF INSULIN RELEASE BY METHYLATION
INHIBITORS. 1984;33(13):2033–9.

98. June R. Pages 706-711. 1984;122(2):706–11.

99. Domagała TB, Łacinski M, Trzeciak WH, Mackness B, Mackness MI,


Jakubowski H. The correlation of homocysteine-thiolactonase activity of
the paraoxonase (PON1) protein with coronary heart disease status. Cell
Mol Biol. 2006;52(5):4–10.

100. Ralph A. Lilly Lecture 1987 The Triumvirate: p-Cell, Muscle, Liver A
Collusion Responsible for NIDDM. 1988;37(June):667–87.

101. Leahy JL. Pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. Arch Med Res.
2005;36(3):197–209.

102. Polyzos SA, Kountouras J, Patsiaoura K, Katsiki E, Zafeiriadou E, Zavos


C, et al. Serum vitamin B12 and folate levels in patients with non-alcoholic
fatty liver disease. Int J Food Sci Nutr. 2012;63(6):659–66.

103. Gulsen M, Yesilova Z, Bagci S, Uygun A, Ozcan A, Ercin CN, et al.


Elevated plasma homocysteine concentrations as a predictor of

Universitas Indonesia
90

steatohepatitis in patients with non-alcoholic fatty liver disease. J


Gastroenterol Hepatol [Internet]. 2005;20(9):1448–55. Available from:
http://www.ebscohost.com

104. Chen Z, Crippen K, Gulati S, Banerjee R. Purification and kinetic


mechanism of a mammalian methionine synthase from pig liver. J Biol
Chem [Internet]. 1994;269(44):27193–7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7961628

105. Moreira ES. Vascular Biochemistry of Vitamin B12: Exploring the


Relationship Between Intracellular Cobalamin and Redox Status in Human
Aortic Endothelial Cells. Kent State University; 2010.

106. Wilson, And Berenthal M. Copyright © National Academy of Sciences. All


rights reserved. Unless otherwise indicated, all materials in this PDF File
are copyrighted by the National Academy of Sciences. Distribution,
posting, or copying is strictly prohibited without written permiss.
Laboratory Animals. 2009.

107. Shanks N, Greek R, Greek J. Are animal models predictive for humans?
Philos Ethics, Humanit Med. 2009;4(1):1–20.

108. Baltaci D, Kutlucan A, Turker Y, Yilmaz A, Karacam S, Deler H, et al.


Association of vitamin B12 with obesity, overweight, insulin resistance and
metabolic syndrome, and body fat composition; primary care-based study.
Med Glas (Zenica) [Internet]. 2013;10(2):203–10. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23892832

109. Pooya S, Blaise S, Garcia MM, Giudicelli J, Alberto J, Jeannesson E, et al.


Methyl donor deficiency impairs fatty acid oxidation through PGC-1 a
hypomethylation and decreased ER- a , ERR- a , and HNF-4 a in the rat
liver. J Hepatol [Internet]. 2012;57(2):344–51. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jhep.2012.03.028

110. Bito T, Matsunaga Y, Yabuta Y, Kawano T, Watanabe F. Vitamin B12


deficiency in Caenorhabditis elegans results in loss of fertility, extended

Universitas Indonesia
91

life cycle, and reduced lifespan. FEBS Open Bio [Internet]. 2013;3:112–7.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.fob.2013.01.008

111. Yousaf F, Spinowitz B, Charytan C. Pernicious Anemia Associated


Cobalamin Deficiency and Thrombotic Microangiopathy: Case Report and
Review of the Literature. Case Reports [Internet]. 2017;2017. Available
from: https://www.hindawi.com/journals/crim/2017/9410727/abs/

112. Cullen RW, Oace SM. Dietary pectin shortens the biologic half-life of
vitamin B-12 in rats by increasing fecal and urinary losses. J Nutr.
1989;119(8):1121–7.

113. Tyagi N, Sedoris KC, Steed M, Ovechkin A V, Moshal KS, Tyagi SC, et
al. Mechanisms of homocysteine-induced oxidative stress. Am J Physiol
Heart Circ Physiol [Internet]. 2005;289(6):H2649-56. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16085680

Universitas Indonesia
92

Lampiran 4 Daftar Riwayat Hidup

BIODATA DIRI

Nama Lengkap : Irena Ujianti


NPM : 1606839795
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 10 Oktober 1981
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Menikah
Alamat Rumah : Villa Bintaro Indah
Telepon/Hp : 081290749109
Email : irena.sutanto@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

Universitas/Sekolah Fakultas Jurusan Jenjang Tahun

SDN 08 Jakarta - - SD 1987-1993

SMPN 2 Bekasi - - SMP 1993-1996

SMAN 1 Bekasi - IPA SMA 1996-1999

Kedokteran
Universitas Sriwijaya Kedokteran Sarjana 2000-2006
Umum

Ilmu
Universitas Indonesia Kedokteran Magister 2016-2018
Biomedik

RIWAYAT PEKERJAAN

Dokter Umum Puskesmas Rawa Lumbu, Bekasi (2007-2010)

Dokter Umum RS Rawa Lumbu Bekasi (2010-2013)

Dokter Umum RS MMA Menteng (2013-2015)

Universitas Indonesia
93

SUMBER DAN TOTAL DANA PENELITIAN

Sumber Dana : Hibah Pasca Sarjana DIKTI 2018


Hibah PITTA UI 2018

Jakarta, 10 Juli 2018

Irena
Ujianti

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai