DAFTAR ISI i
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Diskripsi Singkat 2
1.3 Manfaat Modul Bagi Peserta 2
1.4 Tujuan Pembelajaran 3
1.5 Kompetensi Dasar 3
1.6 Indikator Keberhasilan 4
1.7 Materi Pokok dan Sub Materi Pokok 4
1.8 Rangkuman 5
1.9 Latihan 6
KEGIATAN BELAJAR I 5
PERMASALAHAN KERUSAKAN KONSTRUKSI JALAN PADA TANAH PROBLEMATIK
DAN FAKTOR PENYEBABNYA 5
2.1 Konstruksi Infrastruktur Jalan dan Jembatan 5
2.2 Kondisi Jalan Pada at-grade 9
2.3 Kondisi Jalan pada “at-fill 10
2.3.1 Kondisi jalan pada “at-fill” pada tanah Problematik, Tanah Lempung
Dan Tanah Organik 10
2.3.2 Keruntuhan pada Kondisi “at-fill” pada timbunan jalan yang berada
pada Lapisan Tanah Lunak dan Organik 14
Gambar 2- 9. Kejadian penurunan dan keruntuhan timbunan badan jalan
pada tanah problematic yang berupa tanah lunak 14
Gambar 2- 10. Permasalhan penurunan dan displacement pergerakan yang
berdampak pada mengangkatan tanah disekelilingnya (heaving) 14
Gambar 2- 12. Displacemen horizontal akibat penurunan beban timbunan
i
berlebih yang mempengaruhi stabilitas bangunan disampingnya 14
Gambar 2- 12. Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunan
berlebih dibalakang abutment 17
2.3.3 Keruntuhan Tanah Dasar Pondasi Jalan pada kondisi ”at-fill” atau
timbunan jalan yang berada pada tanah Gambut 19
v
PENDAHULUAN
1
perencanaan dengan seksama karena penanggulangan kerusakan
jalan akan mengganggu kenyamanan berlalulintas dan dapat pula
mengganggu kelancaran transportasi arus danbarang.
2
SEBAGAI TANAH DASAR dari modul PENANGANAN TANAH
PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN yang terdiri dari 5
modul akan memberikan manfaat bagi peningkatan sumber daya
manusia dibidang Jalan dan jembatan di instansinya masing-masing.
Pada modul 3 ini, peserta diklat diharapkan dapat mampu memahami
permasalahan kerusakan jalan dan perencanaan – penanganannya
terutama sebagai subgrade jalan dalam hubungannya sebagai
pendukung konstruksi infrastruktur jalan. Diharapkan, dengan
mempelajari modul lainnya yang berhubungan baik modul sebelumnya
maupun modul sesudahnya yang merupakan bagian dari modul diklat
PENANGANAN TANAH PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN
maka peserta diklat mampu menangani permasalahan dan dampak
yang ditimbulkan pada pada konstruksi jalan yang berada diatas tanah
problematik.
Submateri pokok yang dibahas dalam modul 3 ini membahas tujuan dan
4
hasil yang diharapkan dicapai untuk peserta selama mengikuti diklat
antara lain:
1.8 Rangkuman
5
DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan yang secara detail
dibahas pada Bab II, Bab III dan BAB IV dengan dilengkapi Penutup
pada Bab V.
1.9 Latihan
6
KEGIATAN BELAJAR I
PERMASALAHAN KERUSAKAN KONSTRUKSI
JALAN PADA TANAH PROBLEMATIK
DAN FAKTOR PENYEBABNYA
5
bangunan penghubung khususnya jembatan walaupun dapat terowongan
diberlakukan. Khusus dalam modul pembangunan prasarana transportasi
infrastruktur jalan bangunan konstruksi penghubung yang dibahas adalah
konstruksi jembatan disamping konstruksi jalan itu sendiri.
Pada modul ini tidak membahas standar acuan geometrik dan alinyemen
jalan termasuk kelandaian dan jarak pandang serta permasalahan yang
berhubungan dengan pergerakan kendaraan tetapi membatasi kajian
terhadap keberadaan jalan dan jembatan sebagai akibat dari persyaratan
tersebut. Dengan memperhatikan persyaratan ini maka keberadaan
infrastruktu jalan dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu:
1) Kondisi jalan yang disebut sebagai “at-grade”
2) Kondisi jalan yang disebut sebagai berada pada daerah timbunan atau
“at-fills”
3) Kondisi jalana yang disebut berada pada bagian galian “at-cut”
Ciri ciri kerusakan sangat dipengaruhi oleh kondisi perlapisan tanah yang
difungsikan sebagai tanah dasar (subgrade) diperlihatkan pada gambar
berikut ini terhadap perkerasan yang berada diatasnya, misalnya akibat
penurunan badan jalan.
6
Gambar 2- 1, Hubungan antara besar penurunan dan waktu lamanya
pada penurunan konsolidasi tanah lunak
8
a) Excessive rutting b) Aggregate contamination or degeneration
Kondisi jalan pada at-grade merupakan jalan struktur perkerasan jalan yang
dibangun diatas tanah dasar setempat seperti diperlihatkan pada Gambar 2- 5.
Pada kondisi at-grade jalan berada pada permukaan tanah yang berfungsi
subgrade (tanah dasar) dan perkerasan jalan berada diatasnya secara
langsung.
9
Pada kondisi ini konstruksi jalan dapat berupa perkerasan kaku (rigid pavement)
atau perkerasan lentur (fleksible pavement) dan tipe perkerasan melibuti jenis dan
ketebalannya merupakan fungsi dari kekeuatan naha dasar tersebut yang
umumnya diperoleh dengan investigasi DCP (Dutch Cone Penetrometer) yang
hasilnya dikonversikan ke nilai CBR (California Bearing Ratio).
Permasalahan yang terjadi pada struktur perkerasan pada at-grade ini adalah
daya dukung subgrade baik daya dukungnya secara langsung maupun daya
dukungnya yang dipengaruhi oleh perlapisan tanah dibawahnya. Hal lain yang
memepengaruhi menurunnya daya dukung tanah dasar ini adalah muka air tanah
dan sistim drainasenya sehingga perlu direncanakan secara terintegrasi dengan
konstruksi perkerasannya.
Kondisi daya dkung subgrade jenuh air Kondisi daya dukung subgrade
sangat rendah
10
difungsikan bagian atasnya sebagai lapisan tanah dasar (subgrade).
Umumnya kondisi jalan yang demikian adalah pada daerah dataran
rendah yang merupakan endapan deposit alluvial dan secara umur
geologi merupakan material hasil transportasi dari batuan dasarnya yang
telah mengalami proses pelapukan dan terbawa ke pantai sehingga
mempunyai karaktersitik propertis yang berbeda antara satu dan lainnya.
Endapan alluvial ini umumnya merupakan tanah problematic yang
terhampar pada daerah pesisir pantai atau meander sungai dan/atau
cekungan baik di pegunungan maupun dataran sehingga terbentuk
endapan danau purba karena proses pembentukannya menurut waktu
geologi
11
Pada konstruksi jalan yang berupa at-fill ini menjadikan perkerasan jalan
berada diatas timbunan dan kondisi ini dapat terjadi baik memenuhi
peryaratan geometrik dan pada persimpangan tak sebidang sehingga
memerlukan konstruksi overpass maupun underpass serta bangunan
Perkerasan Jalan
Timbunan
Timbunan
Tanah Dasar
Abutment
Jembatan
Tanah
Lunak /
problemati
12
dalam
b) Penurunan timbunan yang berkepanjangan akibat dari proses
konsolidasi yang mebutuhkan wakttu cukup lama, tergantung dari nilai
kompresibilitas tanah lunak dan beban timbunan yang bekerja
c) Akibat keseimbangan batas yang terganggu maka akan menimbulkan
distibusi keseimbangan horisontal yang tidak seimbang dan
berdampak pada keruntuhan timbunan dan berdampak pada
struktur bangunan yang ada disekelilingnya.
Pada kondisi at-fill ini tanah dasar terdiri dari lapisan tanah problematik yang
berupa endapan sedimen kuarter dan dapat berupa tanah lunak baik
organik maupun non-organik, tanah gambut dan tanah ekspansif. Jenis
lapisan tanah problematik seperti telah diuraikan sebelumya sifat
karakteristiknya dipengaruhi oleh geologi batuan dasarnya yang telah
mengalami proses pelapukan dan tersedimentasi dalam waktu yang lama.
Lapisan tanah problematik ini bilaman berupa lempung maka
keberadaannya dapat berupa tak terkonsolidasi (normally consolidated)
atau telah terkonsolidasi (over consolidated). Kedua keadaan kondisi ini
akan mempengaruhi karakteristik propertisnya sehingga akan berpengaruh
pada stabilitas konstruksi yang dibangun diatasnya seperti prasarana jalan
dan jembatan. Berikut permasalahan yang timbul pada konstruksi
13
perkerasan jalan pada kondisi ”at-fill”.
2.3.2 Keruntuhan pada Kondisi “at-fill” pada timbunan jalan yang berada
pada Lapisan Tanah Lunak dan Organik
1) Kecepatan penurunan
Parameter yang mempengaruhi kecepatan dan perlu dipertimbangkan
terhadap berlangsungnya adalah waktu atau lama nya penurunan dan
kecepatan penurunan. Paramter yang mempengaruhi penurunan adalah
sangat tergantung kepada tebal lapisan tanah problematik/lunak dan sifat
karakteristik propertis tanah problematik itu sendiri, yaitu derajad
konsolidasi dan derajad pemampatan tanah.
Kejadian penurunan dan keruntuhan badan jalan yang dibangun diatas
masing-masing jenis tanah problematik menunjukkan karakteristik yang
berbeda.
14
Gambar 2- 9. Kejadian penurunan dan keruntuhan timbunan badan jalan pada tanah problematic yang berupa tanah lunak
15
Landasan pendekatan perencanaan timbunan yang diperkuat adalah
perencanaan untuk mencegah keruntuhan. Gambar 2-11a.,b,c menunjukkan
mode keruntuhan yang dapat terjadi pada timbunan yang diperkuat. Ketiga
kemungkinan keruntuhan tersebut memberikan indikasi jenis analisis stabilitas
yang dibutuhkan. Selain itu, penurunan timbunan dan potensi rangkak pada
perkuatan juga harus dipertimbangkan
Permasalahan lain yang terjadi karena beban timbunan yang berdampak pada
terganggunya stabilitas abutmen jembatan (Abutment of bridge) dan juga
16
bangunan disampingnya diperlihatkan pada Gambar 2- 12.
17
Gambar 2- 12. Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunan
berlebih dibalakang abutment.
18
Gambar 2- 14. Terjadinya pengangkatan tanah (Heaving) disamping
timbunan berlebih
2.3.3 Keruntuhan Tanah Dasar Pondasi Jalan pada kondisi ”at-fill” atau
timbunan jalan yang berada pada tanah Gambut
Disebabkan karena tanah kompresibilitas sangat besar problematik yang berupa
19
tanah gambut mempunyai nilai dan kadar air yang sangat tinggi maka
penurunan yang terjadi umumnya penurunan seketika lebih besar dari pada
penurunan konsolidasi yang terjadi. Dengan demikian maka kerunuhan jalan
akan terjadi sesaat timbunan jalan selesai dikerjakan dan kondisi ini akan
semakin parah bila timbunan berlebih diterapkan diatas lapisan tanah gambut.
20
Gambar 2- 15. Konstruksi timbunan jalan diatas tanah Gambut di
Kalimantan Tengah tahun 1999
21
Gambar 2- 17. Penurunan yang terjadi pada penimbunnan badan
jalan diatas lapisan tanah gambut yang
relative tebal
2.3.4 Keruntuhan Jalan pada Kondisi ” at-fill ” pada timbunan jalan yang
berada pada lapisan tanah ekspansif
Seperti telah diuraikan bahwa akibat perbedaan kadar air maka akan
menimbulkan retakan memanjang jalan dan seiring dengan kondisi yang
berulang maka daya dukung tanah ekspansif berkurang secara signifikan
dan berakibat terjadinya longsoran. Kejadian retakan dan longsoran
badan jalan diatas tanah ekspansif diperlihatkan pada.
22
Gambar 2- 18. Konstruksi timbunan badan jalan diatas lapisan tanah
ekspansif
Perkuatan timbunan yang dibangun di atas tanah lunak umumnya akan berada
dalam dua kondisi, yaitu:
A. Timbunan dibangun di atas deposit yang seragam;
B. Timbunan dibangun di atas zona lemah lokal.
Aplikasi perkuatan timbunan yang paling umum untuk kondisi pertama adalah
timbunan jalan, tanggul, atau bendungan yang dibangun di atas lapisan lanau,
lempung atau gambut jenuh air yang sangat lunak (lihat Gambar 2.15a). Pada
kondisi ini, arah terkuat dari geosintetik biasanya ditempatkan tegak lurus
terhadap garis tengah timbunan. Perkuatan tambahan dengan arah terkuat yang
ditempatkan sejajar dengan garis tengah timbunan dapat juga dibutuhkan pada
ujung timbunan.
Aplikasi kedua adalah konstruksi timbunan yang berada di atas tanah yang
mempunyai zona lemah lokal atau tanah berongga. Zona atau rongga ini dapat
diakibatkan oleh lubang amblasan (sink hole), aliran sungai tua, atau kantung
lanau, lempung atau gambut (lihat Gambar 2.14b). Untuk aplikasi ini, fungsi
perkuatan adalah sebagai jembatan di atas zona lemah lokal atau rongga, dan
perkuatan tarik yang dibutuhkan dapat lebih dari satu arah. Oleh karena itu, arah
terkuat dari geosintetik harus ditempatkan dengan arah yang benar terhadap
garis tengah timbunan Perkuatan geotekstil atau geogrid dapat dipasang satu
lapis atau lebih tergantung besarnya gaya geser yang akan ditahan.
24
(a) Timbunan di Atas Tanah Lunak
25
signifikan dan perubahan ini dipicu pula dengan terganggunya sistim tata salir
alam sebelumnya.
Berikut diperlihatkan kondisi jalan ”at-cut” yang terjadi dilapangan dan tanah
dasar digunakan sebagai lapisan subgrade. Dilapangan pada beberapa lokasi
ada yang berpotensi ekspansif misalnya mengandung unsur lempung dengan
kandungan illite dan kaolinite yang cukup besar, walaupun kandungan
ekspansifnya jauh dibawah mineral lempung yang mengandung
”montmorillonite”.
26
Muka Air h
Tana
Release Beban akibat galian
Perkerasan
Jalan
Gambar 2- 22. Konstruksi perkerasan jalan pada kondisi “at-cut” Tol Cikapali
27
Pada kondisi “at-cut” ini bilamana diperhatikan pada Gambar 2- 21
berdampak padapenjenuhan kaki lereng galian yang diakibatkan oleh adanya
pengurangan beban dan meyebabkan muka air tanah turun dan terkonsentrasi
pada kaki lereng. Kejadian kasus keruntuhan lereng galian ini diperlihatkan pada
Gambar 2- 23.
Kejadian penjenuhan kaki lereng pada konsisi “at-cut” ini akan lebih berdampak
pada lereng yang mengandung material lempung ekspansif sehingga juga
berdampak pada Potensi kerusakan perkerasan dan kondisi ini dicirikan oleh 2
hal penting yaitu:
2.5 Rangkuman
2.6 Latihan
29
KEGIATAN BELAJAR 2
KRITERIA PADA PERENCANAAN DAN
PENANGANAN JALAN PADA TANAH
PROBLEMATIK
1) Arti dari lapisan tanah dasar sebagai peletakan sistim konstruksi perkerasan
jalan
30
2) Karakteristik propertis sifat tanah problematik
3.1 Lapisan Tanah Dasar
Lapisan tanah dasar ditinjau dari sistim perkerasan tanah dasar adalah subgrade
sedangkan pada lingkup geoteknik tanah dasar adalah perlapisan tanah yang
difungsikan untuk mendukung beban struktur konstruksi perkerasan jalan.
Pada lapisan tanah dasar sebagai subgrade pada bab sebelumnya diterangkan
ada 3 kondisi yaitu: pada kondisi “at-grade” yang artinya lapisan subgrade pada
permuakaan tanah asli, pada kondisi “at-fill” artinya lapisan subgrade berada
pada timbunan dan kondisi “at-cut” artinya lapisan subgrade berada pada elevasi
setelah lereng dilakukan penggalian.
Oleh karena itu, maka persyaratan Tanah Dasar yang digunakan sebagai
lapisan subgrade perkerasan jalan harus mampu untuk mengantisipasi beban
lalulintas dengan berbagai kondisi kelas jalan. Dengan demikian nilai kekuatan
daya dukung nya tergantung dari jenis tanah / material yang difungsikan sebgai
lapisan dasar/subgrade sehingga mampu mendukung berbagai karakteristik tipe
kendaran yang lewat sesuai dengan Klas Jalan berdasarkan persyaratan muatan
standar kendaraan atau dikenal dengan kelas jalan untuk MST 10 Ton atau
kelas untuk MST 8 Ton. Oleh karenanya maka lapisan tanah dasar sebagai
subgrade umumnya ditentukan dengan karakteristik modulus reaksi subgrade (k)
= 20000 kN/m3 atau CBR > 6 % menurut Standar Spesifikasi Bina Marga.
Lapisan tanah dasar dalam tanah problematik ini disamping daya dukungnya
yang rendah juga masalah penurunan atau keruntuhan jalan menjadi persoalan
tersendiri bila dihubungkan dengan sistim konstruksi jalan yang berada
diatasnya.
31
Dengan demikian sistim konstruksi perkerasan jalan yang dibangun diatas
lapisan tanah problematik perlu diperhatikan mulai dari fungsinya sebagai
lapisan subgrade sampai dengan fungsinya sebagai lapisan tanah problematic
yang mendukung beban sistim perkerasan jalan, baik sifat karakteristik
properties dan ketebalannya serta kondisi ke-air-an seperti sistim drainase, air
tanah dan air permukaan serta sistim pengalirannya yang dapat mempengaruhi
kinerja daya dukungnya.
Dalam spsifikasi Bina Marga permasalahan tanah dasar ini dibahas dalam divisi
3 yaitu pekerjaan tanah yang mancakup perihal :
1) Persyaratan material timbunan atau material tanah sebagai subgrade
2) Pekerjaan tanah termasuk galian dan timbunan
3) Ketentuan yang harus dipenuhi bila badan jalan berada pada lapisan tanah
problematic
3. Tanah Ekspansif
2. Tanah Gambut
1. Tanah Lunak
33
3.2 Stabilitas Konstruksi Jalan diatas Tanah Problematik
1) Kepadatan lapisan yang lebih dalam dari 30cm di bawah elevasi dasar
perkerasan: 95% berat isi kering maksimum ((dry-max), maximum dry
density, MDD)
2) Kepadatan tanah dasar timbunan sedalam 20cm: 95% MDD
3) Kepadatan lapisan tanah MDD pada kedalaman ≤ 30cm dari elevasi dasar
perkerasan: 100%
34
4) Permukaan lapisan subgrade jalan terletak sejauh 1,00 meter dari muka air
tertinggi
Dalam spesifikasi divisi 3 disampaikan bahwa lapisan tanah dasar yang berupa
Tanah Lunak didefinisikan sebagai setiap jenis tanah yang mempunyai CBR
lapangan kurang dari 2%.
35
Pada Gambar 3- 3 diperlihatkan hubungannya dengan nilai CBR (California
Bearing Ratio) Design untuk menentukan tebal konstruksi perkerasan jalan
khususnya Perkerasan Lentur (Flexible Pavement).
36
Gambar 3- 3. Nilai kepadatan kering hubungannya dengan CBR
Design
Dengan memperhatikan pada lubang uji “sand cone” di lapangan maka perlu
koreksi terhadap persentase butiran kasar terhadap hasil uji laboratoriumuntuk
memperoleh nilai kepadatan relatif-nya (D) dari persamaan dibawah ini:
………………………………………………………… 1)
37
Dimana:
Gs = Berat jenis bagian terbesar dari butiran tetahan saringan no 4 atau # 4,75
mm
Bilamana tanah lunak, ekspansif atau tanah problematic lainnya yang berdaya
dukung rendah contoh yang terekspos pada tanah dasar hasil galian, atau
bilamana tanah lunak atau ekspansif berada di bawah timbunan maka
38
perbaikan tambahan berikut ini diperlukan yang juga dinyatakan dalam
spesifikasi Bina Marga:
a) Tanah lunak harus ditangani seperti yang ditetapkan dalam gambar rencana
antara lain dengan cara sebagai berikut:
i) dipadatkan sampai mempunyai kapasitas daya dukung dengan
CBR lapangan lebih dari 2% atau
Hasil uji DCP umumnya dilakukan dengan uji DCP (Dinamic Cone
Penetrometer). Terhadap lapisan tanah dengan hasil yang menunjukkan nilai
CBR berbada maka diperlukan implementasi ketebalan tambahan Dse2 yang
diperlihatkan pada Tabel 3 - 2.
39
Tabel 3 - 2. Perbaikan Tanah dibawah Permuakaan Tanah Asli
Kedalaman sampai karakteristik Tebal lapis penopang minimum Kedalaman total minimum galian
minimum CBR 2% ( penetrasi uji (cm) di bawah tanah dasar (cm)
DCP diperoleh 65 mm/tumbukan) di
bawah permukaan tanah asli untuk
tanah tak terganggu, tidak termasuk
lapisan permukaan (cm)
< 45 cm 30 30 + Dse2
45 cm – < 90 cm 60 60 +Dse2
90 cm – 150 cm 100 100 +Dse2
> 150 cm Penggalian keseluruhan atau perbaikan khusus lainnya
sebagaimana yang diperintahkan atau disetujui Direksi Pekerjaan
Dalam pekerjaan konstruksi jalan maka daya dukung tanah dasar yang
diinterpretasikan dengan nilai CBR perlu diketahui secara cepat dilapangan dan
metode yang umum digunakan adalah dengan uji kekatan tanah dilapangan
menggunakan DCP (Dinamic Cone Penetrometer).
Dalam melaksanakan uji DCP ini digunakan alat DCP dan diperlihatkan
pada
Gambar 3- 4. Nilai yang diperoreh dari uji lapangan menggunakan alat uji DCP
ini adalah suatu nilai penetrasi yang dapat dikorelasikan dengan nilai CBR.
Implementasi uji DCP (Dynamic Cone Penetrometer) dilakukan dengan mengisi
Form yang diperlihatkan Gambar 3- 4 dan hasil evaluasi yang diperoleh
diperlihatkan pada Gambar 3- 5.
40
Pada Gambar 3- 5 tersebut diperlihatkan nilai penetrasi yang diperoleh untuk
menentukan nilai CBR rancangan. Dari uji DCP ini diperoleh kedalaman
penetrasi akibat penumbukan yang dapat memberikan informasi nilai DCP.
Hasil uji DCP dilapangan terhadap kondisi lapangan sampai kedalam 1,2 meter
diperoleh nilai CBR nya dengan menggunakan grafik diagram yang di
interpolasikan, seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 5 tersebut.
Hasil nilai CBR yang diperoleh pada kedalamn sampai dengan 1,2 meter ini
memberikan nilai CBR pada perbedaan jenis perlapisan tanah dan
diperlihatkan pada Gambar 3- 6 yang memberikan ilustrasi diperolehnya nilai
CBR terhadap nilai DCP dilapangan.
digunakan di lapangan Form Pencatatan nilai DCP di lapangan, untuk korelasi nilai CBR
41
Gambar 3- 5. Alat Uji DCP dan pencatatan hasil dilapangan terhadap nilai CBR
42
Dengan menggunakan informasi hasil uji DCP dapat diperoleh nilai korlasi
penetrasi terhadap nilai CBR nya dan selanjutnya sebagai langkah awal
perencanaan perkerasan jalan yang terdiri dari lapis pondasi (atas dan bawah)
dan tebal lapis perkerasannya dapat didisain.
43
Tabel 3 - 3. Nilai CBR terhadap ESA (Equivalent Standar Axle)
Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan dibawah
Permukaan Tanah Aslinya
Kedalaman sampai karakteristik minimum Tebal lapis penopang Kedalaman total minimum
CBR 2% ( penetrasi uji DCP diperoleh 65 minimum (cm) galian di bawah tanah dasar
mm/tumbukan) di bawah permukaan tanah (cm)
asli untuk tanah tak terganggu, tidak
termasuk lapisan permukaan (cm)
< 45 cm 30 30 + Dse2
45 cm – < 90 cm 60 60 +Dse2
90 cm – 150 cm 100 100 +Dse2
> 150 cm Penggalian keseluruhan atau perbaikan khusus lainnya
sebagaimana yang diperintahkan atau disetujui Direksi
Pekerjaan
44
c) Untuk rencana konstruksi perkerasan jalan pada kondisi galian atau “at-
cut” harus tetap dijaga agar bebas dari air pada setiap saat, terutama
untuk tanah lunak dan ekspansif sehingga memperkecil dampak akibat
perubahan penyusutan dan pengembangan oleh karena itu itu harus
dilakukan pembenahan sistim drainase untuk menjaga perubahan
kembang susut yang terjadi.
d) Bilamana dalam uji DCP dijumpai kondisi untuk setiap lapisan tanah
hasil galian diperkirakan perlu penanganan atau perbaikan dan tidak
disyaratkan secara khusus dalam Gambar, maka implementasinya
harus disetujui terlebih dahulu oleh Direksi Pekerjaan.
e) Bilamana dijumpai adanya lapisan tanah problematic atau tanah lunak
yang cukup tebal (dari uji DCP memperoleh nilai penetrasi besar atau
nilai CBR kecil) yang dampaknya dikhawatirkan dapat mengganggu
dicapainya stabilitas timbunan (timbul masalah penurunan dan
keruntuhan) maka perlu dilakukan invesigasi untuk mengetahui
kedalamannya dengan :
i) Penggujian lapangan dengan Sondir atau DCP (Dutch Cone
Penetrometer)
Petunjuk dalam melaksanakan uji DCP dan uji lapangan lainya serta uji
laboraroium yang mendukung dan terintegrasi dengan uji DCP dapat dilakukan
dengan berdasar pada standar yang telah dibakukan atau SNI yang terkait
serta Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 tentang Pekerjaan Jalan dan
45
Jembatan.
1) Material tanah untuk timbunan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu Timbunan
Biasa, Timbunan Pilihan, dan Timbunan Pilihan Berbutir di atas tanah rawa
yang masing-masing mempunyai karakteristik properties yang spesifik dan
kekuatan daya dukungnya.
2) Timbunan pilihan digunakan untuk meningkatkan kapasitas daya dukung
tanah dasar pada lapisan penopang (capping layer) dan jika diperlukan di
daerah galian. Timbunan pilihan dapat juga digunakan untuk stabilisasi
lereng atau pekerjaan pelebaran timbunan jika diperlukan lereng yang lebih
curam karena keterbatasan ruangan, dan untuk pekerjaan timbunan lainnya
dimana kekuatan timbunan adalah faktor yang kritis.
3) Timbunan Pilihan Berbutir digunakan sebagai lapisan penopang (capping
layer) pada tanah lunak yang mempunyai CBR lapangan kurang 2% yang
tidak dapat ditingkatkan dengan pemadatan atau stabilisasi, dan diatas
tanah rawa, daerah berair dan lokasi-lokasi serupa dimana bahan
Timbunan Pilihan dan Biasa tidak dapat dipadatkan denganmemuaskan.
46
47
6) Dalam hal agar tidak terjadi penurunan kualitas bahan timbunan sehingga
menyebabkan menurunya daya dukung dan stabilitasnya maka permukaan
lapisan tanah dasar final harus berada cukup jauh dari muka air tertinggi,
baik air tanah maupun air permukaan. Untuk itu tinggi timbunan sebagai
tanah dasar harus mempunyai ketinggian yang cukup dan dapat
mewujudkan daya dukung yang memadai dan dapat berdiri stabil terhindar
dari keruntuhan dangkal (keruntuhan lereng) maupun keruntuhan dalam
(keruntuhan pondasi).
7) Nilai Daya Dukung material tanah dasar dilapangan sebagai subgrade
mempunyai nilai kepadatan (compactness) setara dengan nilai derajad
kepadatannya (relative density) dan Ratio) serta sudut geser dalamnya
seperti diperlihatkan pada CBR (California Bearing rangkuman Tabel 3- 5.
48
Tabel 3- 5 Nilai korelasi beberapa Parameter Kepadatan terhadap N-SPT
(Nilai Standard Penetration Test)
Rekayasa terhadap bahan timbunan yang tidak memenuhi syarat kualitas serta
ketentuan stabilitas perlu dilakukan.
49
a) selang waktu istirahat selama penanganan,
b) dalam cuaca cerah.
4) Alternatif lain bilamana pengeringan yang memadai tidak dapat dicapai
dengan menggaruk dan membiarkan bahan gembur tersebut, mka diganti
dengan bahan material tanah kering yang lebih cocok.
5) Timbunan yang telah dipadatkan dan memenuhi ketentuan persyaratan
menjadi jenuh akibat hujan atau banjir atau karena hal lain, biasanya tidak
memerlukan pekerjaan perbaikan asalkan sifat-sifat bahan dan kerataan
permukaan masih memenuhi ketentuan persyartan tersebut.
6) Timbunan yang telah dipadatkan dan tidak memenuhi persyaratan stabilitas
karena berbagai sebab:
a) Berada diatas lapisan tanah problematik maka perlu perkuatan terhadap
keruntuhan dalam atau longsoran dalam. Untuk perkuatan dasar
timbunan dapat diterapkan dengan mengahmparkan lapisan geosintetik
berupa geogrid yang juga dapat di kombinasikan dengan geotekstil.
Geogrid berfungsi untuk perkuatan sedangkan geotekstil dapat
berfungsi sebagai separator, filter dan penambah perkuatan didasar
timbunan.
b) Keterbatasan dalam mencapai stabilitas sehingga dikhawatirkan akan
mengalami keruntuhan lereng atau longsor maka perbaikan timbunan
dengan perkuatan geosintetik dapat dilakukan.
c) Perbaikan timbunan yang rusak akibat gerusan banjir atau menjadi
lembek setelah pekerjaan tersebut selesai maka perlu disiapkan sistim
penataan pengaliran air yang seignifikan terhadap penjenuhan material
timbunan.
7) Untuk menjamin terpenuhinya ketentuan stabilitas timbunan yang
difungsikan sebagai subgrade bilamana berada pada lapisan tanah
problematic yang mempunyai ketebalan
51
problematik :
1) Identifikasi masalah
2) Identifikasi faktor-faktor yang akan mempengaruhi proses pengambilan
keputusan
3) Memilih menganalisa pilihan
4) Menghitung biaya masing-masing
5) Menentukan pilihan yang terbaik
52
Tabel 3- 6. Teknologi penanganan Tanah Problematik
53
Gambar 3- 7. Klasifikasi Tanah Lunak/Gambut
54
1) Permasalahan Penurunan
54
Gambar 3- 8. Keruntuhan amblasan atau pondasi
55
Dampak yang ditimbulkan oleh beban yang berlebihan adalah
pengangkatan tanah yang berdampak pada pengangkatan tanah juga
berdampak pada meningkatnya beban horizontal dan menimbulkan
kerusakan bangunan infrastruktur disekelilingnya seperti abutmen jembatan
dan kejadian ini diperlihatkan pada Gambar 3- 9 a. yang menggambarkan
penurunan berlebih pada tanah lunak dan Gambar 3- 9 b. penurunan
berlebih pada lapisan tanah gambut. Penurunan berlebih yang
mengakibatkan terdeformasinya abutment jembatan diperlihatkan pada
56
Gambar 3- 10.
57
Gambar 3- 16. Keruntuhan abutmen jembatan pada Tanah
Problematik berupa tanah lempung organic kompresibel (sumber :
eddie sunaryo, 2010 – 2015 dan 2015)
58
Gambar 3- 17. Keruntuhan Lereng Dalam Timbunan Jalan pada lapisan
tanah Lunak
retakan
3.3 Rangkuman
59
3.4 Latihan
60
KEGIATAN BELAJAR 3
TANAH PRINSIP PENANGGULANGAN
PROBLEMATIK
Sebagai contoh maka penentuan bahan material yang tepat berdasarkan nilai
kekuatan tanah dasar terhadap modulus reaksi tanah dasar (k) diperlihatkan
pada Table 4 - 1.
61
Table 4 - 1. Kekuatan Tanah Dasar dan
Toleransinya
Nilai parameter tersebut diatas didasarkan pada nilai kadar air optimum (wopt)
yang diperoleh dari pengujian kepadatan laboratorium yang mencarai
hubungan antara nilai kadar air optimum (wopt) dengan kepadatan kering
maksum sebagai MDD (Maximum Dry Density) atau (dry-max). Untuk
mengetahui nilai kepadatan lapapangan penentuan nilainya menggunkan alat
uji sand cone seperti diperlihatkan pada Gambar 4-1 dan hasilnya
dipresentasikan pada Gambar 4-2.
62
Gambar 4- 1. Pengujian Kepadatan Tanah dengan Sand Cone
Gambar 4- 2. Contoh hasil Uji Sand Cone dan hasilnya serta uji CBR
lapangan setelah pekerjaan pemadatan selesai dengan berat volume
pasir (gp) 1,323 gr/cm3
63
4.2 Konstruksi Tanah Timbunan Sebagai Subgrade
Seperti telah diuraikan bahwa kinerja perilaku tanah dasar sebagai subgrade
sangat tergantung dengan karakteristik propertisnya yang menggambarkan
daya dukung dan stabilitasnya dalam mendukung perkerasan jalan diatasnya.
Oleh karena itu penetuan persyaratan bahan material tanah yang digunakan
perlu dikaji dengan teliti untuk daya dukungnya terutama nilai CBR dan
kepadatan lapangan maksimumnya pada kondisi kadar air optimumnya.
Hasil uji pemadatan terhadap beberapa jenis tanah diperlihatkan pada Gambar
4- 3 dan hubungannya antara pemadatan rendah (pemadatan ringan) dan
pemadatan tinggi (pemadatan berat) untuk jenis tanah yang sama sifat
karakteristik propertisnya diperlihatkan pada Gambar 4- 4 (eddie sunaryo,
2010, 2015.
64
Gambar 4- 4. Hasil Proses Pemadatan Tanah dengan metode pemadatan
rendah (pemadatan standar) dan Pemadatan tinggi (pemadatan berat)
untuk jenis tanah yang sifat karakteristik propertisnya sama
65
Dimana:
66
digunakan untuk timbunan jalan maka terdapat 3 golongan tanah ditinjau
dari gradasinya seperti diperlihatkan pada , yaitu:
67
Dimana
:
68
permebilitasnya yang rendah sehingga diasumsikan sebagai lapisan kedap
air.
Disamping jenis tanah seperti dijelaskan pada Table 4 - 3 juga ada satu
kelompok tenis tanah yang dikelompokkan sebagai Agregat Kelas S yang
penerapannya sebagai lapis Pondasi untuk Bahu Jalan dan diperlihatkan pada
Table 4 - 4 dalam hubungannya dengan Agregat Klas A dan B. Pada Table 4 -
4 tersebut yang di dasarkan pada Spesifikasi Bina Marga 2010 diperlihatkan
jumlah komposisi gradasi yang disyaratkan dan sifat-sifat teknis lainnya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi daya dukung jenis tnah sebagai lapis
pondasi jalan adalah nilai PI (Plasticity Index), sehingga nilai PI (Plasticity
Index) sehingga pada Lapis Pondasi Agregat Kelas‒S dinyatakan minimal 4%
dan maksimal 15% dan nilai CBR harus mencapai minimal 50%. Hubungan
antara Agregat Klas S dan Klas A dan/atau Klas B terhadap sifat phisik dan
karakteristik propertiesnya diperlihatkan pada Table 4 - 5.
69
Bila sulit diperoleh maka material Lapis Pondasi Agregat Kelas‒S ini dapat
diperoleh dengan campuran material yang bersifat plastis berupa tanah yang
mengandung lempung (clay) dengan agregat kelas A atau B sedemikian rupa
sehingga persyaratan PI dan CBR tersebut terpenuhi.
70
4.3 Teknologi Perkuatan Timbunan sebagai Lapisan tanah Dasar
atau Subgrade
Syarat Nilai pH
Jenis Polimer Tanah Metode Uji
Poliester (PET) 3 < pH < 9 AASHTO T289-91
Poliolefin (PP dan HDPE) pH > 3 AASHTO T289-91
71
dengan gaya tarik per satuan lebar, bukan oleh tegangan. Kesulitan-kesulitan
dalam mengukur tebal dari bahan yang tipis dan relatif kompresibel
mengakibatkan perkiraan tegangan menjadi tidak realistis.
Rasio lipatan Rc digunakan untuk menghubungkan gaya per satuan lebar dari
perkuatan yang terpisah terhadap gaya per satuan lebar yang dibutuhkan pada
seluruh struktur, diperlihatkan pada Gambar 4- 7.
Dimana:
c
R b/Sh
b = lebar kotor dari pita, lembaran atau grid (m)
Sh = spasi horizontal dari as ke as antara pita-pita, lembaran-lembaran atau
grid-grid(m)
Rc = 1 untuk perkuatan lembaran menerus
72
(confining stress). Kuat geser ijin jangka panjang geosintetik harus
ditentukan melalui pertimbangan menyeluruh terhadap elongasi ijin, potensi
rangkak dan seluruh potensi mekanisme degradasi kekuatan.
73
kerusakan yang menyebabkan berkurangnya kekuatan geotekstil.
6) Kuat tarik jangka panjang geosintetik harus ditentukan berdasarkan
pendekatan faktor keamanan parsial. Faktor reduksi digunakan untuk
menghitung kekuatan geosintetik meliputi faktor kerusakan pada saat
instalasi, faktor rangkak serta kondisi biologi dan kimia.
Kombinasi antara material tanah (baik dalam memikul gaya tekan walaupun
lemah dalam gaya tarik) dengan material geotekstil (yang baik dalam memikul
gaya tarik tapi lemah dalam memikul gaya tekan) sangat memberikan hasil
yang positif (Gouw Tjie-Liong, 2006). Koefisien interaksi tanah dengan
geosintetik atau disebut Kemampuan Cabut yang harus dipertimbangkan
dalam perencanaan meliputi koefisien cabut dan koefisien gesekan antar
bidang permukaan.
Tahanan cabut puncak (Pr) per satuan lebar perkuatan ditentukan melalui
persamaan berikut:
*
Pr = F . . ’v . Le . C
74
Dimana:
F* = faktor tahanan cabut;
Faktor tahanan cabut F* dan faktor koreksi skala yang paling akurat
melalui pengujian tarik cabut terhadap contoh material timbunan yang akan
digunakan. Jika data hasil pengujian tidak tersedia, maka nilai untuk
geogrid adalah 0,8 dan untuk geotekstil 0,6 dan nilai F*=2/3 tan .
Sudut di atas merupakan sudut geser tanah yang minimal dihasilkan dari
pengujian di laboratorium. Untuk perkuatan lereng, besarnya untuk
timbunan yang diperkuat umumnya didapat melalui pengujian, akibat
bervariasinya material timbunan yang digunakan. Nilai terendah yang biasa
digunakan adalah 280.
75
Teknologi perkuatan timbunan ini dimaksudkan agar memenuhi persyaratan
disain sesuai dengan yang direncanakan agar ketinggian maksimumnya
dicapai. Teknologi ini dapat dilakukan bilamana tanah dasar yang
mendukung timbunan cukup mantap sehingga terhindar dari keruntuhan
dalam atau keruntuhan pondasi.
76
3) Sebagai perkuatan lereng tanah, maka Gambar 4- 8 memperlihatkan
dasar mekanisme perkuatan lereng tanah dengan geosintetik untuk
Bidang
Runtuh/longsor
Lereng
tanah Reaksi geosintetik menahan
beban tarik
77
Gambar 4- 9 Penanganan dengan Perkuatan Geosintetik
Lajur Jalan
Geosintetik/geotekstil
Perkuatan sekunder TANAH TIMBUNAN
LERENG TIMBUNAN
Geosintetik/geotekstil
Perkuatan primer
Drainase
78
Gambar 4- 10. Perkuatan Geosintetik / Geotekstil (Sumber: Elias dkk, 2001)
Fungsi utama perkuatan Bahan Geosintetik pada dasar timbunan adalah untuk
meningkatkan stabilitas timbunan dari keruntuhan lereng dalam atau longsoran
timbunan yaitu dengan menempatkan susunan bahan geosintetik pada
dasar timbunan. Ada dua jenis bahan geosintetik yang dapat
digunakan yaitu geotekstil dan geogrid yang tentunya mempunyai kinerja
berbeda. Penerapannya dilapangan kadang-kadang sering dikombinasikan
antara geotekstil dan geogrid, sehingga produk komposit yang terdiri dari dua
bahan tersebut mulai diproduksi.
79
2) Bahan Geogrid
80
Gambar 4- 13, Perkuatan tebing dengan Reinforced soil structures
81
4.4 Aplikasi Perkuatan Bahan Geosintetik
Konstruksi jalan yang melalui tanah problematik termasuk lunak, ekspansif dan
gambut, umumnya memerlukan ketebalan lapisan pondasi dan kemantapan
tanah dasar yang baik. Untuk konstuksi jalan yang dibangun diatas timbunan
maka lapisan subgrade. Yang stabil diperlukan. Permasalahannya untuk
melakukan timbunan, daya dukung tanah problematik sangat kecil dengan sifat
kompresibilitas yang besar untuk itu diperlukan kemantapan timbunan untuk
memperoleh daya dukung lapisan tanah dasar yang cukup memadai dan stbil
agar tidak mengalami kerusakan seperti kedalaman alur perkerasan (rut depth).
Sebelum teknologi geosintetik ditemukan, untuk mendapatkan lapisan
subgrade yang stabil, maka beberapa alternatif dilakukan:
1) Dengan menggali tanah atau mendesak tanah problematik dan
menggantikannya dengan tanah yang lebih baik, atau
2) Dengan melakukan perbaikan tanah, misalnya dengan teknologi soil-
cement atau dengan mencampur tanah subgrade dengan batu kapur, dll.
82
b) Mengurangi pemakaian lahan karena lereng dengan perkuatan dapat
lebih tegak;
c) Mengurangi volume bahan timbunan;
d) Memungkinkan digunakannya timbunan dengan kualitas yang lebih
rendah atau tanah setempat untuk kebutuhan keseimbangan volume
pekerjaan tanah.
Lereng Timbunan
yang diperkuat
ndai
LERENG STABIL
TANPA PERKUATAN UNTUK PELEBARAN JALAN
83
Gambar 4- 15. Pelebaran Jalan dengan Perkuatan Geosintetik / geotekstil jenis
woven yang mempunyai sifat kekuatan tarik (Sumber: Elias dkk, 2001)
3) Perbaikan keruntuhan lereng timbunan agar dicapai ketinggian
dalam memenuhi persyaratan alinyemen jalan diantaranya (Gambar 4- 16);
a) Memungkinkan dicapainya ketinggian timbunan dengan perkuatan
geosintetik;
b) Kemiringan lereng timbunan menjadi stabil.
PENIMBUNAN ULANG
LONGSORAN DENGAN
SUDUT LERENG SEMULA
Pemilihan sifat-sifat teknis tanah dasar harus difokuskan untuk penentuan daya
dukung, potensi penurunan, dan posisi muka air tanah. Penentuan
kapasitas daya dukung membutuhkan parameter kohesi (c), sudut geser
() dan berat isi () serta posisi muka air tanah. Untuk penentuan
penurunan tanah dasar diperlukan parameter koefisien konsolidasi (cv), nilai
parameter dari pengujian indeks, yaitu yang berhubungan dengan klasifikasi
dan batas konsistensi atterberg (LL, PL, SL dan PI).
Pemilihan kriteria tanah timbunan yang diperkuat harus mempertimbangkan
kinerja jangka panjang struktur, stabilitas masa konstruksi dan faktor
degradasi lingkungan yang terjadi terhadap perkuatan (Gambar 4- 17).
84
Perkuatan
geotekstil
Perkuatan lereng tanah dan secara mekanis selama ini hanyalah dengan
menggunakan tanah timbunan berbutir (non-kohesif) karena berhubungan
dengan distribusi tegangan internal, tahanan cabut dan bentuk bidang
keruntuhan yang mempunyai konsistensi signifikan dengan sifat-sifat teknis dari
jenis tanah tersebut.
Berdasarkan hal tersebut di atas, persyaratan timbunan yang diperkuat dengan
bahan geosintetik yang direkomendasikan adalah seperti diperlihatkan pada
yang dinyatakan dalam Table 4 - 7 dapat digunakan untuk tanah timbunan
85
yang ditahan, bukan tanah timbunan yang diperkuat.
Tanah timbunan harus dipadatkan hingga mencapai 95% berat isi kering (d)
pada kadar air optimum wopt, ( 2%) sesuai dengan SNI 03-1742-1989 Metode
Pengujian Kepadatan Ringan untuk Tanah (AASHTO T-99). Tanah kohesif
sebaiknya dipadatkan dengan ketebalan penghamparan 15 cm sampai dengan
20 cm, sedangkan tanah granular dipadatkan dengan ketebalan penghamparan
20 cm sampai dengan 30 cm.
Kisaran nilai sifat parameter indeks dan mekanis tanah yang dapat digunakan
sebagai acuan dalam menilai keandalan hasil pengujian tanah timbunan
diperlihatkan pada Table 4 - 8 (CUR, 1996) dan nilai-nilai untuk tanah merah
(laterit) diambil dari hasil pengujian laboratorium (Puslitbang Jalan dan
Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum, 2014).
86
(CUR, 1996)
87
melakukan evaluasi parameter rencana perkuatan terhadap:
1) kekuatan izin
2) kriteria ketahanan (durabilitas)
3) interaksi tanah dan perkuatan
4) cek stabilitas lereng tanpa perkuatan
A
interna
l
Geosintetik
C umumn
ya
A
eksterna
l
Geogri
d
1) Stabilitas internal (A) yang dipengaruhi oleh sifat fisik karakteristik dari
properties tanah yang mencerminkan nilai kuat geser dan sudut geser
dalamnya dalam membentuk lereng yang stabil. Kondisi ini stabilitasnya
dapat terganggu terhadap sudut lerengnya dan ketinggiannya sehingga
perlu dilakukan perkuatan lereng dengan geosintetik.
2) Stabilitas external (B) yang dipengaruhi oleh kondisi perlapisan tanah
dibawah badan jalan dan umumnya berupa timbunan, sehingga
stabilitasnya dipengaruhi oleh karakteristik propertis yang mempengaruhi
88
nilai kuat gesernya dan kompresibilitasnya dari lapisan tanah tersebut yang
umumnya berupa endapan sedimen kuarter. Problem yang terjadi
disamping permasalahan penurunan juga permasalahan longsoran dalam.
Untuk mengatasi permasalahan ini khususnya longsoran lereng dalam
maka diperlukan teknologi yang perkuatan geosintetik sebagai perkuatan
tarik pondasi timbunan.
3) Stabilitas kombinasi (C) yang merupakan kombinasi gabungan dari
stabilitas internal (A) dan stabilitas external (B).
89
Geometrik
Konstruksi
Stabilitas Internal
Tentukan sifat-sifat teknis tanah di lapangan Memenuhi
Lakukan evaluasi parameter rencana perkuatan No
kekuatan izin
kriteria ketahanan (durabilitas) yes
interaksi tanah dan perkuatan
yes
Cek stabilitas lereng tanpa perkuatan
Stabilitas
Memenuhi
No
90
4.4.3 Prosedur Perencanaan Perkuatan Timbunan
Prosedur perencanaan dengan metode analisis tegangan total diperlihatkan pada
Gambar 4.19 sebagai berikut
91
Beban lalu lintas tidak perlu dimasukkan dalam analisis penurunan pada tanah
lempung. Untuk gambut berserat pembebanan pada Tabel 4-9 harus
ditambahkan,dan diperhitungkan pada seluruh lebar permukaan timbunan.
Untuk kasus tanah dasar yang sangat lunak (cu antara 1-5 kPa), timbunan rendah
kurang dari 1m serta untuk jalan akses maka tidak diperlukan beban lalu lintas
dalam analisis stabilitas.
Langkah 2: Buat profil tanah dan tentukan sifat teknis tanah pondasi
A. Berdasarkan penyelidikan tanah pondasi tentukan:
1) Stratigrafi dan profil tanah pondasi
2) Lokasi muka air tanah (kedalaman, fluktuasi);
B. Sifat teknik tanah pondasi adalah sebagai berikut:
1) Kuat geser tak terdrainase (undrained) cu untuk kondisi jangka pendek
(akhir konstruksi);
2) Parameter kuat geser terdrainase (drained), c’ dan φ’, untuk kondisi jangka
panjang;
3) Parameter konsolidasi (Cc, Cr, cv, σp’);
4) Faktor kimia dan biologis yang dapat merusak perkuatan seperti daerah
tambang, pembuangan limbah dan daerah industri.
C. Variasi sifat tanah terhadap kedalaman dan sebaran daerah
92
Langkah 3: Tentukan sifat fisik tanah timbunan
A. Klasifikasi tanah;
B. Hubungan kadar air-kepadatan;
C. Kuat geser tanah timbunan (φ');
D. Faktor kimia dan biologis yang dapat merusak perkuatan.
dengan pengertian :
qult = kapasitas daya dukung ultimit (kN/m2)
cu = kuat geser tak terdrainase/undrained (kN/m2)
Nc = faktor daya dukung =5.14 + 0.5 (B/D)
B = lebar dasar timbunan (m)
D = ketebalan rata-rata tanah lunak (m)
93
................................................................................. [4-2]
dengan pengertian :
Pmax = beban maksimum (kN/m2)
γm = berat isi tanah timbunan (kN/m3)
H = tinggi timbunan (m)
q = beban merata (kN/m2)
dengan pengertian :
FKU = faktor keamanan daya dukung tanpa perkuatan
dengan pengertian :
Pavg = beban maksimum pada kondisi dengan geosintetik (kN/m2)
Ag = luas penampang melintang timbunan (m2)
q = beban merata (kN/m2)
W = Lebar atas/puncak timbunan (m)
B = lebar dasar timbunan (m)
1 Apabila faktor keamanan telah memenuhi syarat, maka tidak diperlukan perkuatan geosintetik
2 Dengan adanya geosintetik, diasumsikan akan terjadi distribusi beban yang merata pada seluruh lebar
geosintetik
94
................................................................................... [4-5]
B. Kasus apabila lapisan tanah lunak tidak terlalu tebal, lakukan analisis
peremasan (squeezing). Jika tebal lapisan tanah lunak (Ds) di bawah timbunan
kurang dari panjang lereng b, maka faktor keamanan terhadap keruntuhan
akibat peremasan dihitung dengan persamaan berikut:
.................................................... [4-6]
dengan pengertian :
cu = kuat geser tak terdrainase/undrained (kN/m2)
γm = berat isi tanah timbunan (kN/m3)
Ds = tebal tanah lunak di bawah timbunan (m)
β = sudut kemiringan lereng (derajat)
H = tinggi timbunan (m)
C. Jika faktor keamanan daya dukung telah memenuhi syarat, maka lanjutkan
pada Langkah 6. Jika tidak, pertimbangkan untuk memperlebar timbunan,
melandaikan lereng, menambah berm, melakukan konstruksi bertahap,
memasang drainase vertikal, atau alternatif lain seperti relokasi alinyemen
jalan atau menggunakan struktur jalan layang.
................................................................................. [4-7]
dengan pengertian :
FKU = faktor keamanan geser rotasional tanpa perkuatan
MD = momen pendorong (kN.m) = w. x
95
MR = momen penahan (kN.m) = (Στs.L).R
B. Apabila faktor keamanan pada timbunan yang tidak diperkuat lebih besar
daripada nilai minimum yang disyaratkan, maka tidak dibutuhkan perkuatan.
Lanjutkan ke Langkah 7;
C. Apabila faktor keamanan lebih kecil daripada nilai minimum yang dibutuhkan,
maka hitung kekuatan geosintetik yang dibutuhkan (Tg) untuk memperoleh
factor keamanan yang ditargetkan (lihat Gambar 3.6):
................................................................... [4-8]
dengan pengertian :
Tg = kekuatan geosintetik yang dibutuhkan untuk stabilitas geser rotasional
(kN)
FKR = faktor keamanan terhadap geser rotasional yang ditargetkan
MD = momen pendorong (kN.m)
MR = momen penahan (kN.m)
R = jari-jari lingkaran (m)
θ = sudut antara garis tangen busur lingkaran dan garis horizontal (o)
96
Gambar 4.22. Kekuatan Geosintetik yang Dibutuhkan untuk Stabilitas
Rotasional
97
D. Kekuatan geosintetik yang dibutuhkan untuk stabilitas geser rotasional (Tg)
harus dinaikkan untuk memperhitungkan kerusakan saat pemasangan dan
durabilitas:
......................................................................... [4-9]
dengan pengertian:
Tg,ult = kekuatan geosintetik ultimit yang dibutuhkan untuk stabilitas geser
rotasional (kN)
RFID = faktor reduksi kerusakan saat instalasi; Nilainya bervariasi antara 1,05
sampai dengan 3,0, tergantung pada gradasi material timbunan dan
berat geosintetik per berat isi. Nilai minimum biasanya diambil 1,1;
RFD = faktor reduksi ketahanan terhadap mikroorganisme, senyawa kimia,
oksidasi panas dan retak tegangan (stress cracking). Nilainya
bervariasi antara 1,1 sampai dengan 2,0. Faktor reduksi minimum
adalah 1,1.
...............................................................
[4-10]
dengan pengertian :
98
Tls = kekuatan geosintetik yang dibutuhkan untuk stabilitas gelincir lateral
(kN)
FKR = faktor keamanan pergerakan (gelincir) lateral yang ditargetkan
H = tinggi timbunan (m)
........................................................ [3-11]
99
dengan pengertian:
Tls,ult = kekuatan geosintetik ultimit yang dibutuhkan untuk stabilitas geser
rotasional (kN);
RFCR = faktor reduksi rangkak, yaitu perbandingan kuat tarik puncak terhadap
kuat batas rangkak dari uji rangkak di laboratorium. Tabel 3.2
memperlihatkan rentang umum nilai RFCR untuk geosintetik berjenis
polimer;
RFID = faktor reduksi kerusakan saat instalasi; Nilainya bervariasi antara 1,05
sampai dengan 3,0 tergantung pada gradasi material timbunan, teknik
pemadatan, struktur produk dan berat geosintetik per berat isi. Faktor
reduksi minimum adalah sebesar 1,1 untuk mempertimbangkan
ketidakpastian pengujian.
RFD = faktor reduksi ketahanan terhadap mikroorganisme, senyawa kimia,
oksidasi panas dan retak tegangan (stress cracking). Nilainya
bervariasi antara 1,1 sampai dengan 2,0. Faktor reduksi minimum
adalah 1,1.
Tabel 4.10. Rentang RFCR Geosintetik Jenis Polimer (Holtz dkk, 1998)
E. Untuk kasus umum, tentukan kuat tarik rencana Td yang merupakan nilai
terbesar dari Tg,ult (persamaan 3.9) dan Tls,ult (persamaan 3.11);
F. Periksa gelincir di atas perkuatan (lihat Gambar 3.8).
..........
....................................................
[4-12]
100
dengan pengertian :
FK = faktor keamanan gelincir lateral timbunan di atas perkuatan
H = tinggi timbunan (m)
……........................................................................ [4-13]
101
dengan pengertian:
J = modulus perkuatan (kN/m)
Tls, ult = kekuatan geosintetik ultimit yang dibutuhkan untuk stabilitas geser
rotasional (kN)
∈geosintetik = batas regangan (%)
102
B. Tetapkan kekuatan sambungan (T keliman) yang diukur dengan metode uji
ASTM D4884 atau ISO 10321:2008, yaitu sama dengan kekuatan yang
dibutuhkan pada arah memanjang timbunan;
C. Tentukan nilai gesekan antara tanah dengan geosintetik φsg berdasarkan
ASTM D5321 atau ISO 12957-1:2005 dengan menggunakan contoh tanah
setempat. Sebagai perkiraan awal, untuk tanah timbunan pasir dapat
asumsikan φsg = 2/3φ (φ adalah sudut geser tanah pasir). Untuk tanah
lempung, harus dilakukan pengujian pada situasi apapun;
D. Pilih persyaratan ketahanan dan kinerja konstruksi geosintetik berdasarkan
kondisi setempat.
b) Persyaratan kinerja:
i) Stabilitas eksternal dan penurunan;
103
dasar, FK 1,3;
(2) Keruntuhan eksternal, keruntuhan daya dukung dalam, FK 1,3;
(3) Keruntuhan daya dukung lokal (peremasan/squeezing lateral),
FK 1,3;
(4) Pembebanan dinamik, FK 1,1;
104
Gambar 4- 25. Distribusi Pembebanan Stabilitas Lereng Timbunan
105
’ dan u = sudut geser dalam total dan efektif
(derajat)
b = berat isi tanah timbunan yang
3
ditahan (kN/m )
r = berat isi tanah timbunan yang
3
diperkuat (kN/m )
= berat isi tanah pondasi
3
(kN/m )
p’, Cc, Cr, cv = parameter kon dasi
Ao 64 tanah
= koefisien percepatan 2
dasar (m/det )
g = percepatan gravitasi
2
(m/det )
a) Kuat tarik
T
T al
T
ult
............................................... [4-1]
a FK RF.FK
Dimana:
Tal = kuat tarik jangka panjang per satuan lebar geosintetik (kN/m)
106
Tult = kuat tarik ultimit geosintetik (kN/m), diperoleh dari uji tarik pita lebar
(ASTM D 4595 atau RSNI M-05-2005) berdasarkan Nilai Gulungan
Rata-rata Minimum (Minimum Average Roll Value MARV)
Karena FK=1, maka Ta = Tal dan kuat tarik jangka panjang geosintetik
dihitung dengan persamaan:
T
ult
T =
T
Dimana : RFCR = faktor reduksi rangkak, yaitu perbandingan kuat tarik puncak
terhadap kuat batas rangkak dari uji rangkak di laboratorium. Table 4 - 9
memperlihatkan rentang nilai RFCR umum untuk geosintetik berjenis polimer.
RFID= faktor reduksi kerusakan saat instalasi; Nilainya bervariasi antara 1,05
sampai dengan 3,0, tergantung pada gradasi material timbunan, teknik
pemadatan, struktur produk dan berat geosintetik per berat isi. Faktor reduksi
minimum adalah sebesar 1,1 untuk mempertimbangkan ketidakpastian
pengujian.
107
Table 4 - 9. Rentang RFCR Geosintetik Jenis Polimer (Elias dkk,
2001)
108
keamanan kurang atau sama dengan target faktor keamanan lereng (atau
faktor keamanan tanpa perkuatan FKU ≤ target faktor keamanan FKR).
f) Gambarkan semua bidang keruntuhan pada penampang melintang lereng
(Gambar 4- 21);
g) Bidang keruntuhan yang memberikan faktor keamanan yang hampir sama
dengan target faktor keamanan akan memberikan batas zona kritis yang
perlu diperkuat (lihat Gbr. 4- 22).
h) Bidang keruntuhan kritis yang terjadi di bawah kaki lereng
mengindikasikan terjadinya masalah keruntuhan daya dukung dalam.
Untuk kasus ini, suatu analisis pondasi yang lebih rinci harus dilakukan.
Geosintetik dapat digunakan untuk memperkuat dasar timbunan dan untuk
membuat berm kaki sehingga stabilitas timbunan dapat meningkat.
Tindakan perbaikan pondasi lainnya juga harus dipertimbangkan.
109
6) Langkah 6: Rencanakan perkuatan untuk mendapatkan lereng yang
stabil.
Tentukan gaya tarik maksimum perkuatan per satuan lebar perkuatan, Ts-
max, dari beberapa bidang keruntuhan potensial yang berada dalam zona
kritis dari Langkah 5.
iv) Sebagai catatan, faktor keamanan terkecil yang dihitung dari
Langkah 5 biasanya tidak memberikan nilai Ts terbesar (Ts-max);
v) bidang keruntuhan yang paling kritis adalah bidang keruntuhan yang
membutuhkan
nilai perkuatan Ts terbesar. Nilai Ts dihitung dengan persamaan
berikut (lihat Gambar 3.5):
…………………………………….…………………
…(4.3)
Dimana
Ts= jumlah gaya tarik yang dibutuhkan per satuan lebar perkuatan
di seluruh lapisan perkuatan yang memotong bidang keruntuhan
(kN/m);
110
FKR = faktor keamanan dengan perkuatan
yang ditargetkan
Langkah 5.
111
Penggantian material mempunyai fungsi utama adalah untuk memperoleh
lapisan tanah dasar sebagai daya dukung sistim konstruksi perkerasan
jalan yang memenuhi syarat yaitu CBR 6 % dan diperlihatkan pada
Gambar 4- 19.
Untuk tanah problematik seperti tanah ekspansif yang tidak terlalu dalam
maka penggantian material dengan cara digali dan diganti dengan
membungkus menggunakan bahan geotekstil dengan sifat pemisah dapat
dilakukan seperti diperlihatkan pada Gambar 4- 23, baik untuk timbunan
jalan maupun pondasi bangunan.
112
1. Timbunan
2.Pondasi
Bangunan
Tanah keras
Di dalam konstruksi jalan, ketebalan badan jalan (lapisan base dan subbase)
pada dasarnya ditentukan oleh besarnya beban kendaraan yang harus dipikul
dan kekuatan tanah dasar (subgrade) dari jalan. Berdasarkan konsep
113
sebaran beban, beban roda dipermukaan jalan disebarkan oleh badan jalan
(lapisan base dan sub-base) ke tanah dasar (subgrade), dan tekanan yang
terjadi di permukaan tanah dasar (subgrade)
… adalah sbb:
………………………………………..(4.5)
Dimana:
Beban total yang bekerja di permukaan subgrade adalah kombinasi dari beban
mati berupa, berat konstruksi jalan plus beban hidup yang timbul dari tekanan
ban. Dengan demikian beban total yang bekerja dipermukaan subgrade
adalah:
… ……………………………………………………………... (4.6)
Dimana:
Dengan demikian, bilamana berat isi base dan sub-base berbeda diketahui,
maka tentunya formula (4.6) diatas harus disesuaikan dengan mengambil
berat isi dan ketinggian masing- masing lapisan untuk menghitung berat
114
sendiri konstruksi jalan.
Pw
Subgrade /
Timbunan
Tanah Lunak
115
Bilamana tanah subgrade berupa tanah lempung dan lanau lunak, maka dalam
kondisi undrained, daya dukung ijin subgrade diperhitungkan sbb:
…………………………………………….………….(4.7)
Dimana:
116
Tanpa analisa dengan menggunakan metoda elemen hingga sangat sulit untuk
memperkirakan besarnya deformasi yang terjadi pada geotekstil dan otomatis
sulit untuk memperkirakan besarnya gaya Fvg Geotekstil, Koerner, (2005)
merekomendasikan pendekatan sebagai berikut:
……………………………………………………..
(4.8)
Dimana:
………………………………………………………..……
(4.9)
…………..(4.10)
Dari persamaan (4.10) selanjutnya Giroud dan Noiray, membuat desain chart
seperti diperlihatkan dalam , dengan ketentuan penjelasan sebagai berikut:
117
Dimana:
ho’ = ketebalan lapisan aggregate atau lapisan base dan sub-base bila
tanpa geotekstil Δh = ketebalan lapisan aggregate (lapisan base dan
sub-base)
Cu = S = Kuat geser undrained subgrade
118
4.4.6.2 Perkuatan dengan geogrid
Mekanisme kerja geogrid sebagai perkuatan jalan berbeda dengan cara kerja
geotekstil. Geogrid yang berbentuk lembaran seperti jaring – jaring bekerja
lebih kurang dengan cara seperti ditunjukkan dalam Gaya yang bekerja
diterima lapisan aggregate.
119
Gambar 4- 35. Contoh Desain Chart Perkuatan Geogrid HDPE (Carroll et
al, 1989)
120
Gambar 4- 36. Contoh Desain Penerapan Perkuatan Geogrid HDPE (Carroll
et al, 1989)
4.5 RANGKUMAN
Prinsip Penanggulangan Tanah Problematik perlu dilakukan dengan
mempelajari keberadaannya dan penerapannya apakah sebagai pondasi
perkerasan jalan yang mempunyai batasan dan disyaratkan dalam
spesifikasi umum Bina Marga pada divisi 3 tentang pekerjaan tanah yang
mensyaratkan CBR terhadap kemantapan kondisi subgrade.
Pada Bab ini juga menjelaskan keberadaan subgrade sesuai dengan
standar jalan menurut Undang-Undang Jalan yang menyaratkan harus
dapat mendukung baik secara fungsionalitasnya maupun struktur
kekuatanya.
Disamping itu pada Bab ini juga beberapa teknologi untuk memperoleh
kondisi lapisan tanah dasar atau subgrade yang dapat mendukung
stabilitas konstruksi jalan dan untuk itu beberapa teknologimperkuatan
yang perkuatan yang diperlukan juga dijelaskan.
4.6 LATIHAN
Untuk keperluan latihan dapat diberikan permasalahan yang
berhubungan dengan bab-bab yang terdapat dalam modul ini.
121
PENUTUP
122
DAFTAR PUSTAKA
123
12. Carrol R.G. Jr, Walls J.G. and Haas R. (1987), Granular Base
Reinforcement of Flexible Pavements Using Geogrids, Proc.of the
Geosynthetics ’87 Conference, IFAI, 1987, pp. 46- 57.
13. Das Braja M. 1995, Mekanika Tanah, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta
14. Direktorat Jenderal Bina Marga (1983), Manual Penyelidikan Geoteknik
untukPerencanaan Fondasi Jembatan, Badan Penerbit Departemen
Pekerjaan Umum,Jakarta, Indonesia.
15. Direktorat Jenderal Bina Marga (1992), Manual Desain Jembatan (Draf),
Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, Indonesia.
124
Geosynthetics”, Organised by Indonesian Chapter of IGS on 6 th April
2006.
24. Indria Eklesia Pokaton, Oscar Hans Kaseke dan Lintong Elisabeth,
Pengaruh Kandungan Material Plastis Terhadap Nilai CBR Lapis Pondasi
Agregat Kelas‒S, thesis Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik
Jurusan Sipil Manado
25. ISO/IEC (1999), International Standard ISO/IEC 17025: 1999 (E),
GeneralRequirements for the Competence of Testing and Calibration
Laboratories, TheInternational Organization for Standardization and the
International Electrotechnical Commission, Geneva, Switzerland.
26. ISSMFE (1981), International Manual for the Sampling of Soft Cohesive
Soils, The Sub- Committee on Soil Sampling (ed), International Society for
Soil Mechanics and Foundation Engineering, Tokai University Press, Tokyo,
Japan.
27. Japanese Standards Association (1960), Method of Test for Consolidation
of Soils, Japanese Industrial Standard JIS A 1217-1960.
28. Japanese Standards Association (1977), Method of Unconfined
Compression Testof Soil, Japanese Industrial Standard JIS A 1216-1958
(revised 1977).
29. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga “Spesifikasi
Umum 2010”
30. Koerner R.M. (2005), Designing With Geosynthetics, 5 th Edition, Pearson
Prentice Hall, New Jersey, USA
125
Ministry ofSettlement and Public Infrastructure of the Republic of Indonesia
in co-operation with The Ministry of Transport, Public Works and Water
Management (Netherlands), January 2001.
35. Puslitbang Geologi Bandung (1996), Peta Geologi Kuarter Lembar
Semarang,Jawa,5022-II.
36. Richardson H.H. et al (1988), Soil Mechanics in Engineering Practice,
Report 1188, Transportation Research Board, Washington DC, USA
37. Shukla, S.K., dan Yin, J.H. 2006. Fundamentals of Geosynthetic
Engineering. Taylor & Francis/Balkema. Belanda.
38. SNI (1990), Metoda Pengukuran Kelulusan Air pada Tanah Zona Tak
Jenuhdengan Lubang Auger, SK-SNI-M-56-1990-F, Dewan Standardisasi
Nasional.
39. SNI (1999), Metoda Pencatatan dan Interpretasi Hasil Pemboran Inti, SNI
03-2436 – 1991, Dewan Standardisasi Nasional.
40. SNI (1999), Metoda Pengujian Lapangan Kekuatan Geser Baling, SNI 06-
2487 – 1991, Dewan Standardisasi Nasional.
41. SNI 03-4153-1996, Metode pengujian penetrasi dengan standar penetration
tests (SPT) Overseas Road Note 31 (1993).
42. SNI(1999), Metoda Pengujian Lapangan dengan Alat Sondir, SNI 03- 2827
– 1992, Dewan Standardisasi Nasional.
43. Sukirman S. 1992, Perkerasan Lentur Jalan Raya, Bandung
44. Transport Research Laboratory. United Kingdom Austroads (1992). A guide
to the structural design of bitumen-surfaced roads in tropical and sub-
tropical countries. Pavement Design. A Guide to the structural design of
roads pavements.
45. TRB TRB Subject Code:62-7 Soil Foundation Subgrades February 2003,
Publication No.: FHWA/IN/JTRP-2002/30, SPR-2362, Dynamic Cone
Penetration Test (DCPT) for Subgrade Assessment
46. Wesley L. D. 1977, Mekanika Tanah, Badan Penerbit Pekerjaan Umum,
Jakarta
126