Anda di halaman 1dari 135

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Diskripsi Singkat 2
1.3 Manfaat Modul Bagi Peserta 2
1.4 Tujuan Pembelajaran 3
1.5 Kompetensi Dasar 3
1.6 Indikator Keberhasilan 4
1.7 Materi Pokok dan Sub Materi Pokok 4
1.8 Rangkuman 5
1.9 Latihan 6
KEGIATAN BELAJAR I 5
PERMASALAHAN KERUSAKAN KONSTRUKSI JALAN PADA TANAH PROBLEMATIK
DAN FAKTOR PENYEBABNYA 5
2.1 Konstruksi Infrastruktur Jalan dan Jembatan 5
2.2 Kondisi Jalan Pada at-grade 9
2.3 Kondisi Jalan pada “at-fill 10
2.3.1 Kondisi jalan pada “at-fill” pada tanah Problematik, Tanah Lempung
Dan Tanah Organik 10
2.3.2 Keruntuhan pada Kondisi “at-fill” pada timbunan jalan yang berada
pada Lapisan Tanah Lunak dan Organik 14
Gambar 2- 9. Kejadian penurunan dan keruntuhan timbunan badan jalan
pada tanah problematic yang berupa tanah lunak 14
Gambar 2- 10. Permasalhan penurunan dan displacement pergerakan yang
berdampak pada mengangkatan tanah disekelilingnya (heaving) 14
Gambar 2- 12. Displacemen horizontal akibat penurunan beban timbunan
i
berlebih yang mempengaruhi stabilitas bangunan disampingnya 14
Gambar 2- 12. Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunan
berlebih dibalakang abutment 17
2.3.3 Keruntuhan Tanah Dasar Pondasi Jalan pada kondisi ”at-fill” atau
timbunan jalan yang berada pada tanah Gambut 19

Gambar 2- 15. Konstruksi timbunan jalan diatas tanah Gambut di Kalimantan


Tengah tahun 1999 21
2.3.4 Keruntuhan Jalan pada Kondisi ” at-fill ” pada timbunan jalan yang
berada pada lapisan tanah ekspansif 22
Gambar 2- 18. Konstruksi timbunan badan jalan diatas lapisan tanah
ekspansif 23
2.4 Kondisi Jalan pada “at-cut” 25
2.5 Rangkuman 29
2.6 Latihan 29
KEGIATAN BELAJAR 2 30
KRITERIA PADA PERENCANAAN DAN PENANGANAN JALAN PADA TANAH
PROBLEMATIK 30
3.1 Lapisan Tanah Dasar 31
3.1.1 Lapisan Tanah Dasar dalam Sistim Perkerasan Jalan 31
3.1.2 Lapisan Tanah Dasar dalam Tanah Problematik 31
Gambar 3- 1.Permasalahan Perencanaan jalan pada tanah Problematik 33
3.2 Stabilitas Konstruksi Jalan diatas Tanah Problematik 34
3.2.1 Stabilitas Daya Dukung Lapisan Tanah Dasar 34
Gambar 3- 2 Nilai kepadatan Tanah untuk Timbunan jalan 35
Gambar 3- 3. Nilai kepadatan kering hubungannya dengan CBR Design 37
Tabel 3 - 1. Koefisien r terhadap prosentase berbutir kasar tertahan # 4,75
mm (Pc) 38
Tabel 3 - 2. Perbaikan Tanah dibawah Permuakaan Tanah Asli 40
Dalam melaksanakan uji DCP ini digunakan alat DCP dan diperlihatkan
pada 40
Gambar 3- 4. Alat Uji DCP (Dinamic Cone penetrometer) dan Korelasinya
terhadap Nilai CBR (California Bearing Ratio) 41
ii
Tabel 3 - 3. Nilai CBR terhadap ESA (Equivalent Standar Axle) 44
Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan
dibawah Permukaan Tanah Aslinya 44
Tabel 3- 5 Nilai korelasi beberapa Parameter Kepadatan terhadap N-SPT
(Nilai Standard Penetration Test) 48
3.2.2 Stabilitas Timbunan 50
Tabel 3- 6. Teknologi penanganan Tanah Problematik 52
Gambar 3- 7. Klasifikasi Tanah Lunak/Gambut 53
Gambar 3- 8. Keruntuhan amblasan atau pondasi 55
Gambar 3- 15. Keruntuhan Timbunan akibat Pengangkatan Tanah yang
berlebihan (sumber : eddie sunaryo, 2010 – 2014 dan 2015) 57
Gambar 3- 17. Keruntuhan Lereng Dalam Timbunan Jalan pada lapisan tanah
Lunak 59
3.3 Rangkuman 59
3.4 Latihan 60
KEGIATAN BELAJAR 3 61
TANAH PRINSIP PENANGGULANGAN PROBLEMATIK 61
4.1 Kualitas dan Kontrol Kualitas Materal Timbunan Sebagai Tanah Dasar
atau Subgrade 61
Table 4 - 1. Kekuatan Tanah Dasar dan Toleransinya 62
Gambar 4- 1. Pengujian Kepadatan Tanah dengan Sand Cone 62
4.2 Konstruksi Tanah Timbunan Sebagai Subgrade 64
4.2.1 Persyaratan Kekuatan Daya Dukung 64
Gambar 4- 3. Hubungan antara Hasil Pemadatan pada beberapa Jenis
Tanah 64
Table 4 - 2. Kepadatan Relatif Tanah untuk Subgrade 65
4.2.2 Variasi jenis material material tanah untuk subgrade 66
Gambar 4- 5. Pengelompokan Variasi Gradasi Tipe 1, 2 dan 3 dari hasil uji
gradasi 67
Gambar 4- 6. Pedoman analisa Pengelompokan Nilai Cu dan Cc 68
4.2.3 Jenis Material terhadap Kelompok Penggunaannya 68
Table 4 - 3. Pengelompokan Jenis Material yang digunakan dalam konstruksi
jalan yang disyaratkan secara internasional 69
iii
Table 4 - 4. Ukuran Gradasi Agregat Klas A, B dan S 70
4.3 Teknologi Perkuatan Timbunan sebagai Lapisan tanah Dasar atau
Subgrade 71
4.3.1 Sifat-sifat Bahan Material Geosintetik 71
Table 4 - 6 Syarat Elektrokimia Timbunan yang Diperkuat (Elias dkk, 2001) 71
Gambar 4- 7. Karakteristik Bahan Geosintetik tipe Woven 72
4.3.2 Interaksi tanah dan geosintetik 72
4.3.3 Prinsip Dasar Perkuatan Timbunan dengan Bahan Geosintetik 72
Gambar 4- 8, Bidang Runtuh dan Assumsi Bekerjanya Perkuatan
Geosintetik 77
4.3.4 Fungsi Perkuatan Geosintetik 77
Gambar 4- 9 Penanganan dengan Perkuatan Geosintetik 78
Gambar 4- 12, Perkuatan tebing dengan Geogride 80
Gambar 4- 13, Perkuatan tebing dengan Reinforced soil structures 81
4.4 Aplikasi Perkuatan Bahan Geosintetik 82
4.4.1 Perkuatan Lereng Timbunan 82
Gambar 4- 14. Perkuatan Geosintetik / Geotekstil pada Jalan Baru dengan
ROW terbatas (Sumber: Elias dkk, 2001) 83
Gambar 4- 15. Pelebaran Jalan dengan Perkuatan Geosintetik / geotekstil
jenis woven yang mempunyai sifat kekuatan tarik (Sumber: Elias dkk,
2001) 84
Gambar 4- 16. Aplikasi Lereng Tanah yang Diperkuat untuk perbaikan
keruntuhan lereng (Sumber: Elias dkk, 2001) 84
Gambar 4- 17. Ilustrasi tanah timbunan yang diperkuat 85
Table 4 - 7. Rekomendasi Persyaratan untuk Timbunan yang Diperkuat
(Spesifikasi Umum Bina Marga, 2010) 86
Table 4 - 8. Kisaran Nilai Sifat-sifat parameter Indeks dan Mekanis Tanah
(CUR, 1996) 87
4.4.2 Pemilihan Prosedur perkuatan lereng tanah 87
Gambar 4- 18. Moda Keruntuhan Lereng Tanah yang Diperkuat 88
Gambar 4- 19. Tahapan Prosedur Perencanaan Stabilitas Lereng Timbunan
Tanah (Sumber: Elias dkk, 2001) 90
4.4.3 Prosedur Perencanaan Perkuatan Timbunan 91
iv
Gambar 4.21. Analisis Stabilitas Geser Rotasional Tanpa Perkuatan
Geosintetik 96
Gambar 4.22. Kekuatan Geosintetik yang Dibutuhkan untuk Stabilitas
Rotasional 97
4.4.4 Aplikasi Perkuatan Lereng Timbunan 103
Table 4 - 9. Rentang RFCR Geosintetik Jenis Polimer (Elias dkk, 2001) 108
Gambar 4- 26. Zona Kritis yang Memenuhi Target Faktor Keamanan
Berdasarkan Bidang Rotasi dan Gelincir(Sumber: Elias dkk, 2001) 108
Gambar 4- 27. Pendekatan Geser Rotasional untuk Menentukan Kekuatan
Geosintetik yang Dibutuhkan (Sumber: Elias dkk, 2001) 111
4.4.5 Aplikasi untuk Perkuatan Dasar Timbunan 111
Gambar 4- 27. Distribusi beban dan gaya reaksi pada geotekstil 111
Gambar 4- 28. Teknologi Penggantian Material dengan Geotekstil 112
4.4.6 Distribusi Beban pada Subgrade (Tanah Dasar) 113
Gambar 4- 33. Desain Chart untuk Konstruksi Jalan dengan Perkuatan
Geotextile (contoh: untuk beban gandar = 80 kN; tekanan angin roda =
480kPa; maka kedalaman alur (ruth depth) = 0.3m)) 118
Gambar 4- 34. Gaya yang bekerja diterima lapisan aggregate 119
Gambar 4- 35. Contoh Desain Chart Perkuatan Geogrid HDPE (Carroll et al,
1989) 120
4.5 RANGKUMAN 121
4.6 LATIHAN 121
DAFTAR PUSTAKA 123

v
PENDAHULUAN

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami pengertian


PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA TANAH PROBLEMATIK
terutama memahami PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN
PERENCANAAN – PENANGANANNYA
SEBAGAI TANAH DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan

1.1 Latar Belakang

Sudah banyak dikaji bahwa Tanah Problematik meliputi Tanah Lunak


baik organik maupun non-organik, Tanah Ekspansif dan tanah Gambut
yang masing-masing mempunyai sifat karakteristik properties yang
sangat berbeda walaupun sebagian ada yang mempunyai kemiripan.
Tanah problematik ini sesuai keberadaannya yang didominasi oleh
endapan sedimen umur kuarter maka keberadaannya mempunyai
kedalaman yang bervariasi antara terlihat dipermukaan sampai
beberapa puluh meter dibawah permukaan. Perbedaan sifat
karakteristik properties tanah problematik sangat beraneka karena
tergantung dari bentukan material batuan/tanah asal yang terendapkan
melalui proses transportasi yang umumnya oleh air atau terendapkan
dengan sendirinya karena proses mekanis dan kimia sehingga menjadi
endapan sedimen.

Oleh karena itu, perencanaan pembangunan infrastruktur jalan pada


tanah problematik atau bermasalah (Problematic Soils) dijumpai
permasalahan terhadap menurunnya atau terganggunya stabilitas
konstruksi seperti jalan dan jembatan. Teknologi yang diperlukan untuk
membangun konstruksi infrstruktur jalan dan jembatan perlu dilakukan

1
perencanaan dengan seksama karena penanggulangan kerusakan
jalan akan mengganggu kenyamanan berlalulintas dan dapat pula
mengganggu kelancaran transportasi arus danbarang.

1.2 Diskripsi Singkat

Modul 3 pada Diklat ini membahas mengenai PERMASALAHAN


KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA
SEBAGAI TANAH DASAR khususnya dalam hubungannya
terhadap konstruksi timbunan jalan yang dibangun diatasnya karena
dapat terganggunya stabilitasnya. Dengan terganggunya stabilitas
timbunnan jalan tersebut maka akan mempengaruhi kinerja
perkerasan jalan dan untuk itu perlu dilakukan teknologi
penanganan melalui perencanaan dalam upaya perbaikan tanah
problematik karena umumnya mempunyai daya dukung yang rendah
dan penurunan yang besar serta berpotensi terhadap kejadian
keruntuhan konstruksi timbunan jalan. Mengingat sifat karakteristiknya
tanah problematik masing-masing berbeda maka dengan memahami
Modul 3 yang membahas PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN
DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH
DASAR dan merupakan kelanjutan Modul sebelumnya maka melalui
pendekatan penguasaaan kognitif maupun psikomotorik yang berbasis
pada proses pembekalan, pelatihan, kajian teori dan studi kasus, serta
simulasi pembahsan terhadap kasus lapangan melaui studi lapangan
dapat lebih mudah dipahami dan dimengerti.

1.3 Manfaat Modul Bagi Peserta

Diharapkan dengan memahami modul 3 mengenai PERMASALAHAN


KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA

2
SEBAGAI TANAH DASAR dari modul PENANGANAN TANAH
PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN yang terdiri dari 5
modul akan memberikan manfaat bagi peningkatan sumber daya
manusia dibidang Jalan dan jembatan di instansinya masing-masing.
Pada modul 3 ini, peserta diklat diharapkan dapat mampu memahami
permasalahan kerusakan jalan dan perencanaan – penanganannya
terutama sebagai subgrade jalan dalam hubungannya sebagai
pendukung konstruksi infrastruktur jalan. Diharapkan, dengan
mempelajari modul lainnya yang berhubungan baik modul sebelumnya
maupun modul sesudahnya yang merupakan bagian dari modul diklat
PENANGANAN TANAH PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN
maka peserta diklat mampu menangani permasalahan dan dampak
yang ditimbulkan pada pada konstruksi jalan yang berada diatas tanah
problematik.

1.4 Tujuan Pembelajaran


Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu mengenal sifat
karakteristik properties tanah problematik, sehingga dapat menangani
permasalahan dan dampak yang ditimbulkan pada konstruksi jalan yang
berada diatas tanah problematik.

1.5 Kompetensi Dasar


Setelah mengikuti pembelajaran ini. Peserta mampu memahami,
menerapkan, merancang, merencanakan dan menangani desain tanah
dasar untuk konstruksi jalan yang berada diatas tanah problematik
dengan:
1) Memahami Pengertian Tanah Problematik
2) Memahami dan melakukan Survei Investigasi dan melakukan diskripsi
serta mengklasifikasi tanah problematik
3
3) Memahami dan merancang Perencanaan Jalan di Atas Tanah
Problematik
4) Memahami dan merancang Persiapan dalam Pelaksanaan timbunan
jalan pada tanah problematik

1.6 Indikator Keberhasilan

Diharapakan setelah memahami Modul 3 ini yang membahas


PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN –
PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH DASAR dan merupakan
lanjutan Modul sebelumnya atau bagian dari Modul DIKLAT
PENANGANAN TANAH PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN
dapat dicapai indikator keberhasilan sebagai berikut:

1) Menjelaskan tentang permasalahan kerusakan konstruksi jalan pada


tanah problematik dan faktor penyebabnya;

2) Menjelaskan tentang kriteria pada perencanaan dan penanganan


jalan pada tanah problematik;

3) Menjelaskan tentang prinsip penanggulangan tanah problematik

1.7 Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

Materi pokok pada modul diklat yang membahas PENANGANAN TANAH


PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN yang secara ringkas isi
dari Modul 3 menjelaskan PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN
DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH
DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan, terutama dalam
pengertian PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA
TANAH PROBLEMATIK.

Submateri pokok yang dibahas dalam modul 3 ini membahas tujuan dan
4
hasil yang diharapkan dicapai untuk peserta selama mengikuti diklat
antara lain:

1) Setelah mengikuti pembelajaran BAB I peserta mampu memahami


pengertian ruang Lingkup pentingnya Modul 3 ini yang mencakup
Latar belakang, diskripsi singkat, manfaat modul, tujuan
pembelajaran, kompetensi dasar. Indikator keberhasilan serta materi
pokok dan sub materi pokok.
2) Setelah mengikuti pembelajaran BAB II peserta mampu Menjelaskan
tentang permasalahan kerusakan jalan yang dibangun pada tanah
problematik dan faktor penyebabnya dengan gambaran riel pada
konstruksi infrastruktur jalan dan jembatan berhubungan dengan
kondisi keberadaannya..
3) Setelah mengikuti pembelajaran BAB III peserta mampu
Menjelaskan tentang prinsip perencanaan dan Penanganan Jalan
yang dibangun pada tanah problematik mulai dari penggunaanya
sebagai lapisan tanah dasar konstruksi jalan dan sebagai pendukung
sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.

4) Setelah mengikuti pembelajaran BAB IV peserta mampu menjelaskan


tentang Prinsip Penanggulangan Konstruksi Jalan pada tanah
problematik yang difungsikan sebagai lapisan tanah dasar dan
penerapan beberapa teknologi yang digunakan berupa perkuatan
lereng dan perkuatan dasar timbunan.

1.8 Rangkuman

Pada bab pendahuluan ini menjelaskan secara ringkas tentang


PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA TANAH
PROBLEMATIK terutama memahami PERMASALAHAN KERUSAKAN
JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH

5
DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan yang secara detail
dibahas pada Bab II, Bab III dan BAB IV dengan dilengkapi Penutup
pada Bab V.

1.9 Latihan

Peserta diharapkan mampu dan mempunyai kemampuan untuk


menjelaskan tentang modul 3 ini yang secara ringkas mencakup
pengertian PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA
TANAH PROBLEMATIK terutama memahami PERMASALAHAN
KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN PENANGANANNYA
SEBAGAI TANAH DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan

6
KEGIATAN BELAJAR I
PERMASALAHAN KERUSAKAN KONSTRUKSI
JALAN PADA TANAH PROBLEMATIK
DAN FAKTOR PENYEBABNYA

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami tentang permasalahan


kerusakan jalan yang dibangun pada tanah problematik dengan gambaran riel pada
konstruksi infrastruktur jalan dan jembatan berhubungan dengan kondisi
keberadaannya.

2.1 Konstruksi Infrastruktur Jalan dan Jembatan


Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan survai pendahuluan seperti
yang telah dijelasakan pada Modul 1 dan 2, maka dapat diidentifikasi
permasalhan yang terjadi sebagai dampak konstruksi jalan yang dibangun
diatas tanah problematik.

Berdasarkan persyaratan lalulintas yang mengacu pada 1 Undang-Undang


Republik Indonesia, Nomor 38 Tahun 2004 dan pasal 1 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia, dan
pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006
Nomor 34 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen
PU) No. 11/PRT/M/2010 yang intinya agar dicapai jalan yang aman,
berkesealamatan dan mantap maka diwajibkan mengikuti kaidah dan
persyaratan geometric jalan, seperti alinyemen dan kelandaian yang
diijinkan dan disyaratkan.

Untuk menghubungkan kondisi tersebut perlu dihubungkan dengan

5
bangunan penghubung khususnya jembatan walaupun dapat terowongan
diberlakukan. Khusus dalam modul pembangunan prasarana transportasi
infrastruktur jalan bangunan konstruksi penghubung yang dibahas adalah
konstruksi jembatan disamping konstruksi jalan itu sendiri.

Pada modul ini tidak membahas standar acuan geometrik dan alinyemen
jalan termasuk kelandaian dan jarak pandang serta permasalahan yang
berhubungan dengan pergerakan kendaraan tetapi membatasi kajian
terhadap keberadaan jalan dan jembatan sebagai akibat dari persyaratan
tersebut. Dengan memperhatikan persyaratan ini maka keberadaan
infrastruktu jalan dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu:
1) Kondisi jalan yang disebut sebagai “at-grade”
2) Kondisi jalan yang disebut sebagai berada pada daerah timbunan atau
“at-fills”
3) Kondisi jalana yang disebut berada pada bagian galian “at-cut”

Ciri ciri kerusakan sangat dipengaruhi oleh kondisi perlapisan tanah yang
difungsikan sebagai tanah dasar (subgrade) diperlihatkan pada gambar
berikut ini terhadap perkerasan yang berada diatasnya, misalnya akibat
penurunan badan jalan.

Perlu diketahui bahwa permasalahan penurunan ini terdiri dari penurunan


seketika, penurunan konsolidasi yang terdiri dari penurunan primer
sebesar 90 %, penurunan sekunder sebesar 10% dan penurunan tersier
yang umumnya disebut creep (rangkak) yang merupakan penurunan
lanjutan karena perubahan karakteristik propertis lapisan tanah lunak
akibat baban timbunan.

6
Gambar 2- 1, Hubungan antara besar penurunan dan waktu lamanya
pada penurunan konsolidasi tanah lunak

Stuktur perkerasan tersebut sangat: tergantung dari daya dukung


subgrade yang kondisnya dibentuk oleh lapisan tanah dasar dibawahnya
(lapisan tanah/batuan setempat). Lapisan tanah dasar yang berupa Tanah
Problematik (meliputi: Tanah LUNAK, EKSPANSIF dan GAMBUT) akan
7
mempengaruhi Overall-stability terhadap kemantapan perkerasan jalan
yang berada diatasnya dan diperlihatkan pada Gambar 2- 2.sd 2-4
Kondisi Perkerasan Jalan yang kemantapannya tergantung dari daya
dukung subgrade.

Daya ukung cukup Daya dukung cukup


CBR > 6% CBR < 6%

Gambar 2- 2. Kondisi Perkerasan Jalan yang kemantapannya


tergantung dari daya dukung
subgrade

Gambar 2.3. Normal rutting

8
a) Excessive rutting b) Aggregate contamination or degeneration

Gambar 2.4. Rutting dan Tanah dasar jelek

2.2 Kondisi Jalan pada at-grade

Kondisi jalan pada at-grade merupakan jalan struktur perkerasan jalan yang
dibangun diatas tanah dasar setempat seperti diperlihatkan pada Gambar 2- 5.

Perkerasan Jalan Tanah Dasar

Gambar 2- 5. Kondisi jalan pada at-grade

Pada kondisi at-grade jalan berada pada permukaan tanah yang berfungsi
subgrade (tanah dasar) dan perkerasan jalan berada diatasnya secara
langsung.
9
Pada kondisi ini konstruksi jalan dapat berupa perkerasan kaku (rigid pavement)
atau perkerasan lentur (fleksible pavement) dan tipe perkerasan melibuti jenis dan
ketebalannya merupakan fungsi dari kekeuatan naha dasar tersebut yang
umumnya diperoleh dengan investigasi DCP (Dutch Cone Penetrometer) yang
hasilnya dikonversikan ke nilai CBR (California Bearing Ratio).
Permasalahan yang terjadi pada struktur perkerasan pada at-grade ini adalah
daya dukung subgrade baik daya dukungnya secara langsung maupun daya
dukungnya yang dipengaruhi oleh perlapisan tanah dibawahnya. Hal lain yang
memepengaruhi menurunnya daya dukung tanah dasar ini adalah muka air tanah
dan sistim drainasenya sehingga perlu direncanakan secara terintegrasi dengan
konstruksi perkerasannya.

Kondisi daya dkung subgrade jenuh air Kondisi daya dukung subgrade
sangat rendah

Gambar 2- 6. Kondisi Kerusakan Jalan akibat daya dukung tanah


dasar (subgrade) menurun baik akibat drainase dan karena
lapisan tanah problematic

2.3 Kondisi Jalan pada “at-fill”

2.3.1 Kondisi jalan pada “at-fill” pada tanah Problematik, Tanah


Lempung dan Tanah Oragnik

Kondisi jalan pada at-fill merupakan suatu konstruksi infrastruktur jalan


yang berada diatas timbunan yang merupakan badan jalan yang

10
difungsikan bagian atasnya sebagai lapisan tanah dasar (subgrade).
Umumnya kondisi jalan yang demikian adalah pada daerah dataran
rendah yang merupakan endapan deposit alluvial dan secara umur
geologi merupakan material hasil transportasi dari batuan dasarnya yang
telah mengalami proses pelapukan dan terbawa ke pantai sehingga
mempunyai karaktersitik propertis yang berbeda antara satu dan lainnya.
Endapan alluvial ini umumnya merupakan tanah problematic yang
terhampar pada daerah pesisir pantai atau meander sungai dan/atau
cekungan baik di pegunungan maupun dataran sehingga terbentuk
endapan danau purba karena proses pembentukannya menurut waktu
geologi

Gambar 2.7 : Tanah Galian dan Timbunan

11
Pada konstruksi jalan yang berupa at-fill ini menjadikan perkerasan jalan
berada diatas timbunan dan kondisi ini dapat terjadi baik memenuhi
peryaratan geometrik dan pada persimpangan tak sebidang sehingga
memerlukan konstruksi overpass maupun underpass serta bangunan

Perkerasan Jalan

Timbunan
Timbunan

Tanah Dasar

Abutment
Jembatan
Tanah
Lunak /
problemati

jembatan seperti diperlihatkan pada Gambar 2- 8.

Gambar 2- 8. Kondisi Jalan pada at-fill

Pada kondisi at-fill dijumpai beberapa permasalahan bilamana lapisan tanah


dibawahnya berupa tanah problematik atau tanah lunak, tanah ekspansif dan
tanah gambut. Permasalahan yang timbul dikarenakan beberapa sebab:

1) Daya dukung lapisan tanah Lapisan tanah berupa tanah problematik


dapat berupa lempung, gambut dan tanah ekspansif tersebut sangat kecil
2) Beban timbunan yang tidak mampu didukung oleh lapisan tanah
problematik tersebut. Sehingga bedampak pada:
a) Menurunnya stabilitas timbunan yang berpotensi terhadap keruntuhan
pondasi dan keruntuhan lereng baik lereng dangkal maupun lereng

12
dalam
b) Penurunan timbunan yang berkepanjangan akibat dari proses
konsolidasi yang mebutuhkan wakttu cukup lama, tergantung dari nilai
kompresibilitas tanah lunak dan beban timbunan yang bekerja
c) Akibat keseimbangan batas yang terganggu maka akan menimbulkan
distibusi keseimbangan horisontal yang tidak seimbang dan
berdampak pada keruntuhan timbunan dan berdampak pada
struktur bangunan yang ada disekelilingnya.

i) Akibat beban timbunan yang bertambah karena beban berlebih dan


penjenuhan material timbunan akibat terndam saat banjir, sehingga
tanah dasar tidak mampu mendukungnya sehingga menambah
beban horizontal aktif yang tidak diimbangi oleh gaya horizontal
pasifnya.
ii) Akibat adanya pengaruh luar yang terjadi sehingga mengurangi
gaya horizontal penahan stabilitas lereng timbunan seperti hilangnya
atau berkurangnya penahan lateral pasif, seperti degradasi dasar
sungai dan abrasi didepan abutment jembatan yang merubah
penampang basah sungai.

Pada kondisi at-fill ini tanah dasar terdiri dari lapisan tanah problematik yang
berupa endapan sedimen kuarter dan dapat berupa tanah lunak baik
organik maupun non-organik, tanah gambut dan tanah ekspansif. Jenis
lapisan tanah problematik seperti telah diuraikan sebelumya sifat
karakteristiknya dipengaruhi oleh geologi batuan dasarnya yang telah
mengalami proses pelapukan dan tersedimentasi dalam waktu yang lama.
Lapisan tanah problematik ini bilaman berupa lempung maka
keberadaannya dapat berupa tak terkonsolidasi (normally consolidated)
atau telah terkonsolidasi (over consolidated). Kedua keadaan kondisi ini
akan mempengaruhi karakteristik propertisnya sehingga akan berpengaruh
pada stabilitas konstruksi yang dibangun diatasnya seperti prasarana jalan
dan jembatan. Berikut permasalahan yang timbul pada konstruksi

13
perkerasan jalan pada kondisi ”at-fill”.

2.3.2 Keruntuhan pada Kondisi “at-fill” pada timbunan jalan yang berada
pada Lapisan Tanah Lunak dan Organik

Besar penurunan nya penurunan yang terjadi perlu dipertimbangkan dan


parameter penurunan yang perlu dipertimbangkan terhadap: jenis dan
ketebalan lapisan tanah problematik, berat timbunan, derajat konsolidasi
dan defrajad kemampatan atau kompresibilitas tanah problematik.

1) Kecepatan penurunan
Parameter yang mempengaruhi kecepatan dan perlu dipertimbangkan
terhadap berlangsungnya adalah waktu atau lama nya penurunan dan
kecepatan penurunan. Paramter yang mempengaruhi penurunan adalah
sangat tergantung kepada tebal lapisan tanah problematik/lunak dan sifat
karakteristik propertis tanah problematik itu sendiri, yaitu derajad
konsolidasi dan derajad pemampatan tanah.
Kejadian penurunan dan keruntuhan badan jalan yang dibangun diatas
masing-masing jenis tanah problematik menunjukkan karakteristik yang
berbeda.

2) Besar Penurunan dan Keruntuhan Timbunan Badan Jalan pada tanah


dasar yang terdiri dari lapisan tanah lunak
Permasalahan menurunya stabilitas timbunan jalan karena penurunan
dan keruntuhan dapat terjadi karena daya dukungnya yang rendah serta
nilai kompresibilitasnya besar. Pada Gambar 2- 9 diperlihatkan
penurunan dan keruntuhan timbunan jalan pada tanah lunak yang tidak
berpotensi terjadinya pengangkatan tanah disamping timbunan
sedangkan pada

14
Gambar 2- 9. Kejadian penurunan dan keruntuhan timbunan badan jalan pada tanah problematic yang berupa tanah lunak

Permasalahan lain yang terjadi pada kondisi “at-fill” adalah kejadian


penurunan yang Berdampak menyebabkan timbulnya displacement
pergerakan kesamping sehingga mengakibatkan terjadinya
pengangkatan tanah disekelilingnya (heaving) seperti diperlihatkan pada
Gambar 2- 10.

Penurunan berlebih Penurunan dan dampak terjadi


displacement

Squezing (pergeseran kesamping) Squeezing dan berdampak keruntuhan


lereng

Gambar 2- 10. Permasalhan penurunan dan displacement pergerakan


yang berdampak pada mengangkatan tanah
disekelilingnya (heaving)

15
Landasan pendekatan perencanaan timbunan yang diperkuat adalah
perencanaan untuk mencegah keruntuhan. Gambar 2-11a.,b,c menunjukkan
mode keruntuhan yang dapat terjadi pada timbunan yang diperkuat. Ketiga
kemungkinan keruntuhan tersebut memberikan indikasi jenis analisis stabilitas
yang dibutuhkan. Selain itu, penurunan timbunan dan potensi rangkak pada
perkuatan juga harus dipertimbangkan

2-11.a. Keruntuhan daya dukung

2-11.b. Keruntuhan rotasional

2-11.c. Keruntuhan akibat pergerakan lateral


(Sumber: Hotlz dkk, 1998)

Permasalahan lain yang terjadi karena beban timbunan yang berdampak pada
terganggunya stabilitas abutmen jembatan (Abutment of bridge) dan juga

16
bangunan disampingnya diperlihatkan pada Gambar 2- 12.

Gambar 2- 12. Displacemen horizontal akibat penurunan beban


timbunan berlebih yang mempengaruhi stabilitas
bangunan disampingnya

Pada Gambar 2- 12 diperlihatkan kejadian terangkatnya bangunan rumah


akibat terjadinya heaving (gambar atas) dan terdorongnya abutment
jembatan akibat displacement beban timbunan berlebih (gambar bawah).
Kejadian dilapangan akibat displacement ini diperlihatkan pada Gambar 2- 13.
Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunan berlebih dibelakang
abutment.dan keruntuhan pada Badan Jalan 2-14

Dampak lain yang diakibatkan pada timbunan dibelakang ABUTMEN


jembatan disamping displasemen yang dapat mendorong pondasi abutmen
juga timbulnya heaving atau pengangkatan tanah disamping timbunan
sehingga dapat merusak bangunan infrastruktur disekelilingnya seperti
diperlihatkan pada Gambar 2- 15.

17
Gambar 2- 12. Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunan
berlebih dibalakang abutment.

Gambar 2-13. Keruntuhan Badan Jalan

18
Gambar 2- 14. Terjadinya pengangkatan tanah (Heaving) disamping
timbunan berlebih

Faktor lain yang menyebabkan kejadian terdorongnya abutment jembatan,


dikarenakan terjadinya displacement yang tidak tertahan dikarenakan
berkurangnya gaya lawan pasif yang disebabkan oleh beberapa sebab antara
lain:

1) Terjadinya degradasi dasar sungai didepan abutment


2) Terjadinya abrasi tepi sungai didepan abutment
3) Terjadinya erosi dinding tepi sungai sehingga kepala tiang penopang
abutment jembatan tidak mempunyai gaya lawan pasif.

Dengan memperhatikan Gambar 2- 8 maka tanah lunak yang kompresibilasnya


tinngi dan daya dukungnya rendah berpotensi terhadap ketidak mantapan
konstruksi jalan dan abutment jembatan sehingga dalam perencanaannya
perlu dikaji lebih mendetail.

2.3.3 Keruntuhan Tanah Dasar Pondasi Jalan pada kondisi ”at-fill” atau
timbunan jalan yang berada pada tanah Gambut
Disebabkan karena tanah kompresibilitas sangat besar problematik yang berupa

19
tanah gambut mempunyai nilai dan kadar air yang sangat tinggi maka
penurunan yang terjadi umumnya penurunan seketika lebih besar dari pada
penurunan konsolidasi yang terjadi. Dengan demikian maka kerunuhan jalan
akan terjadi sesaat timbunan jalan selesai dikerjakan dan kondisi ini akan
semakin parah bila timbunan berlebih diterapkan diatas lapisan tanah gambut.

Pada Gambar 2- 11 diperlihatkan timbunan badan jalan yang dibangun pada


lapisan tanah gambut yang dangkal (< 2,00 meter) selalu hilang tiap kali
dilakukan penimbunan dan diduga hali ini dikarenakan penuruan sesaat setelah
penimbunan sangat sehingga displacement kesamping juga besar. Sedangkan
pada Gambar 2- 12 menunjukkan permasalahan timbunan badan jalan pada
lapisan tanah gambut yang relatif tebal sehingga kecepatan displacement vertikal
lebih besar dari displacement horizontalnya yang berdampak terangkatnya
lapisan tanah gambut menutup badan jalannya.

20
Gambar 2- 15. Konstruksi timbunan jalan diatas tanah Gambut di
Kalimantan Tengah tahun 1999

Gambar 2- 16 Penanganan Konstruksi jalan diatas tanah Gambut di Kalimantan


Tengah

21
Gambar 2- 17. Penurunan yang terjadi pada penimbunnan badan
jalan diatas lapisan tanah gambut yang
relative tebal

2.3.4 Keruntuhan Jalan pada Kondisi ” at-fill ” pada timbunan jalan yang
berada pada lapisan tanah ekspansif

Seperti telah diuraikan bahwa akibat perbedaan kadar air maka akan
menimbulkan retakan memanjang jalan dan seiring dengan kondisi yang
berulang maka daya dukung tanah ekspansif berkurang secara signifikan
dan berakibat terjadinya longsoran. Kejadian retakan dan longsoran
badan jalan diatas tanah ekspansif diperlihatkan pada.

22
Gambar 2- 18. Konstruksi timbunan badan jalan diatas lapisan tanah
ekspansif

Gambar 2.19 : timbunan oprit jembatan dimana abutment terdorong ke depan,


kearah sungai
23
2.3.4.1 Fungsi dan Aplikasi Perkuatan Timbunan
Fungsi perkuatan pada konstruksi timbunan adalah sebagai berikut:
A. Meningkatkan faktor keamanan rencana;
B. Menambah tinggi timbunan;
C. Mencegah pergeseran timbunan selama pelaksanaan;
D. Memperbaiki kinerja timbunan karena penurunan pasca konstruksi yang
seragam.

Perkuatan timbunan yang dibangun di atas tanah lunak umumnya akan berada
dalam dua kondisi, yaitu:
A. Timbunan dibangun di atas deposit yang seragam;
B. Timbunan dibangun di atas zona lemah lokal.

Aplikasi perkuatan timbunan yang paling umum untuk kondisi pertama adalah
timbunan jalan, tanggul, atau bendungan yang dibangun di atas lapisan lanau,
lempung atau gambut jenuh air yang sangat lunak (lihat Gambar 2.15a). Pada
kondisi ini, arah terkuat dari geosintetik biasanya ditempatkan tegak lurus
terhadap garis tengah timbunan. Perkuatan tambahan dengan arah terkuat yang
ditempatkan sejajar dengan garis tengah timbunan dapat juga dibutuhkan pada
ujung timbunan.
Aplikasi kedua adalah konstruksi timbunan yang berada di atas tanah yang
mempunyai zona lemah lokal atau tanah berongga. Zona atau rongga ini dapat
diakibatkan oleh lubang amblasan (sink hole), aliran sungai tua, atau kantung
lanau, lempung atau gambut (lihat Gambar 2.14b). Untuk aplikasi ini, fungsi
perkuatan adalah sebagai jembatan di atas zona lemah lokal atau rongga, dan
perkuatan tarik yang dibutuhkan dapat lebih dari satu arah. Oleh karena itu, arah
terkuat dari geosintetik harus ditempatkan dengan arah yang benar terhadap
garis tengah timbunan Perkuatan geotekstil atau geogrid dapat dipasang satu
lapis atau lebih tergantung besarnya gaya geser yang akan ditahan.

24
(a) Timbunan di Atas Tanah Lunak

(b) Timbunan di Atas Zona Lemah Setempat dan Tanah Berongga


(Sumber: Hotlz dkk, 1998)

Gambar 2.-20 :Perkuatan Timbunan

2.4 Kondisi Jalan pada “at-cut”

Seperti halnya kondisi sebelumnya, dalam rangka memenuhi persyaratan


geometric jalan untuk mewujudkan terlaksanakannya undang-undang jalan,
maka konstruksi jalan dapat berada pada daerah galian atau disebut at-cut.
Kondisi ini keberadaan jalan pada daerah galian dan umunya permasalahan
yang dihadapi adalah kerusakan jalan akibat berubahnya karakterisitik propertis
lapisan tanah dasar (subgrade) hasil setelah digali. Dikarenakan material galian
terekspose udara maka akan berubah sifat karakteristik propertisnya secara

25
signifikan dan perubahan ini dipicu pula dengan terganggunya sistim tata salir
alam sebelumnya.

Permasalahan kerusakan jalan pada kondisi “at-cut” ini dapat berupa


kerusakan perkerasan jalan karena dampak dari pengurangan beban (release
load) pada lereng alamnya yang berdampak pada:
1) Berkurangnya daya dukung tanah akibat mengalami penjenuhan yang
meningkat karena tanah dasar (subgrade) menjadi jenuh akibat
terakumulasinya air dari lereng yang berubah.
2) Berkurangnya kemantapan stabilitas lereng galian yang berubah sudut
lereng dan ketinggiannya sehingga kondis subgrade menjadi terpengaruh
atau mengalami depersi akibat beban tambahan dari lereng hasil galian.

Berikut diperlihatkan kondisi jalan ”at-cut” yang terjadi dilapangan dan tanah
dasar digunakan sebagai lapisan subgrade. Dilapangan pada beberapa lokasi
ada yang berpotensi ekspansif misalnya mengandung unsur lempung dengan
kandungan illite dan kaolinite yang cukup besar, walaupun kandungan
ekspansifnya jauh dibawah mineral lempung yang mengandung
”montmorillonite”.

Konstruksi jalan pada kondisi ”at-cut” diperlihatkan pada Gambar 2- 14 yang


menujukkan adanya kerusakan perkerasan jalan akibat menurunnya daya
dukung subgrade karena mengalami kejenuhan dan keruntuhan lereng galian
jalan sebagai berikut:

1) Pengurangan beban (load released) menimbulkan perubahan karakteristik


propertis material dan penurunan muka air tanah (MAT) menimbulkan
keruntuhan lereng galian
2) Penjenuhan lapisan subgrade yang dengan volume yang meningkat dimana
berpotensi menurunkan daya dukungnya bedampak pada kerusakan
perkerasan jalan.

26
Muka Air h
Tana
Release Beban akibat galian

Perkerasan
Jalan

Tanah Dasar, berpotensi


mengandung unsur
Tanah Dasar, daya
dukung minareal lempung yang
berkurang akibat penjenuhan ekspansif
Gambar 2- 21. Konstruksi perkerasan jalan pada kondisi “at-cut”

Gambar 2- 22. Konstruksi perkerasan jalan pada kondisi “at-cut” Tol Cikapali

27
Pada kondisi “at-cut” ini bilamana diperhatikan pada Gambar 2- 21
berdampak padapenjenuhan kaki lereng galian yang diakibatkan oleh adanya
pengurangan beban dan meyebabkan muka air tanah turun dan terkonsentrasi
pada kaki lereng. Kejadian kasus keruntuhan lereng galian ini diperlihatkan pada
Gambar 2- 23.

Gambar 2- 23. Keruntuhan lereng dan kerusakan perkerasan jalan pada


kondisi “at-cut”.

Kejadian penjenuhan kaki lereng pada konsisi “at-cut” ini akan lebih berdampak
pada lereng yang mengandung material lempung ekspansif sehingga juga
berdampak pada Potensi kerusakan perkerasan dan kondisi ini dicirikan oleh 2
hal penting yaitu:

1) Kerusakanperkerasan karena lapisan tanah dasar (subgrade) dan lapisan


subgrade mengalami penjenuhan akibat air tanah yang tidak terkendali dan
terkonsentrasi pada lapisan tanah dasar.
2) Kejadian penjenuhan tanah ini umumnya disebut permasalahan “pumping”
yaitu air tanah akan berusaha mencapai keseimbangan dengan perilaku
perbedaan muai susut yang cukup besar
3) Untuk mengatasi masalah ini, maka pengendalian air tanah yang berubah
akibat galian menjadi sangat penting. Dalam spesifikasi pekerjaan tanah
28
untuk jalan seperti spesifikasi Bina Marga disyaratkan agar permukaan
subgrade harus terletak minimum 1.00 meter diatas muka air tertinggi,
dapat air tanah maupun air permukaan yang menggenang.

2.5 Rangkuman

Permasalahan Permasalahan Kerusakan Konstruksi Jalan pada tanah


Problematik dapat dibedakan menjadi 3 hal yaitu yang pertama jalan yang
berada pada kondisi “at-grade” atau se level dengan tanah dasarnya sehingga
tanah dasar aslio difungsikan sebagai lapisan subgrade. Yang kedua adalah
jalan pada kondisi “at-fill” atau perkerasan jalan berada pada timbunan
sehingga timbunan difungsikan sebagai lapisan subgrade. Ketiga adalah
perkersan jalan berada pada kondisi “at-cut” atau berda pada daerah galian.

Hal lain yang penting adalah karakteristik properties masing-masing tanah


problematic mempengaruhi bentuk, ciri dan mekanisme kejadian kerusakan
jalan sehingga perlu penanganan yang sesuai dan untuk itu perlu mengenali
karakteristik propertisnya, dan cara investigasinya berdasarkan kajian terhadap
mekanisme keruntuhan yang terjadi.

2.6 Latihan

Peserta diminta untuk menguraikan pengalaman dalam menghadapi


permasalahan tanah problematic terhadap infrastruktur jalan dan jembatan

29
KEGIATAN BELAJAR 2
KRITERIA PADA PERENCANAAN DAN
PENANGANAN JALAN PADA TANAH
PROBLEMATIK

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami tentang


prinsip perencanaan dan Penanganan Jalan yang dibangun pada tanah
problematic mulai dari penggunaanya sebagai lapisan tanah dasar konstruksi
jalan dan sebagai pendukung sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.
Mamhami permasalahan stabilitas jalan terhadap struktur perkerasan dan
stabilitas jalan terhadap sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.
Selanjutnya peserta juga dapat memahami tentang prinsip
penanggulangannya terhadap keruntuhan lereng timbunan dan keruntuhan
dalam yang mengakibatkan kondisi jalan mengalami kelongsoran.

Seperti telah diuraikan sebalumnya bahwa pengumpulan data sekunder berupa


kajian literatur dan informasi parameter geoteknik yang berkaitan dengan lokasi
yang disurvai akan sangat bermanfaat sebagai acuan dasar dalam melakukan
investigasi geoteknik yang mencakup penyelidikan lapangan dan laboratorium
yaitu dengan melakukan pengambilan sampel tanah dari lapangan. Dalam
melakukan survai kondisi lapangan dapat dilakukan dengan melakukan
inventori kondisi lapangan dengan mencocokkan kondisinya terhadap data
sekunder yang dikumpulkan dan dikaji mencakup:

1) Arti dari lapisan tanah dasar sebagai peletakan sistim konstruksi perkerasan
jalan

30
2) Karakteristik propertis sifat tanah problematik
3.1 Lapisan Tanah Dasar

3.1.1 Lapisan Tanah Dasar dalam Sistim Perkerasan Jalan

Lapisan tanah dasar ditinjau dari sistim perkerasan tanah dasar adalah subgrade
sedangkan pada lingkup geoteknik tanah dasar adalah perlapisan tanah yang
difungsikan untuk mendukung beban struktur konstruksi perkerasan jalan.

Pada lapisan tanah dasar sebagai subgrade pada bab sebelumnya diterangkan
ada 3 kondisi yaitu: pada kondisi “at-grade” yang artinya lapisan subgrade pada
permuakaan tanah asli, pada kondisi “at-fill” artinya lapisan subgrade berada
pada timbunan dan kondisi “at-cut” artinya lapisan subgrade berada pada elevasi
setelah lereng dilakukan penggalian.

Oleh karena itu, maka persyaratan Tanah Dasar yang digunakan sebagai
lapisan subgrade perkerasan jalan harus mampu untuk mengantisipasi beban
lalulintas dengan berbagai kondisi kelas jalan. Dengan demikian nilai kekuatan
daya dukung nya tergantung dari jenis tanah / material yang difungsikan sebgai
lapisan dasar/subgrade sehingga mampu mendukung berbagai karakteristik tipe
kendaran yang lewat sesuai dengan Klas Jalan berdasarkan persyaratan muatan
standar kendaraan atau dikenal dengan kelas jalan untuk MST 10 Ton atau
kelas untuk MST 8 Ton. Oleh karenanya maka lapisan tanah dasar sebagai
subgrade umumnya ditentukan dengan karakteristik modulus reaksi subgrade (k)
= 20000 kN/m3 atau CBR > 6 % menurut Standar Spesifikasi Bina Marga.

3.1.2 Lapisan Tanah Dasar dalam Tanah Problematik

Lapisan tanah dasar dalam tanah problematik ini disamping daya dukungnya
yang rendah juga masalah penurunan atau keruntuhan jalan menjadi persoalan
tersendiri bila dihubungkan dengan sistim konstruksi jalan yang berada
diatasnya.

31
Dengan demikian sistim konstruksi perkerasan jalan yang dibangun diatas
lapisan tanah problematik perlu diperhatikan mulai dari fungsinya sebagai
lapisan subgrade sampai dengan fungsinya sebagai lapisan tanah problematic
yang mendukung beban sistim perkerasan jalan, baik sifat karakteristik
properties dan ketebalannya serta kondisi ke-air-an seperti sistim drainase, air
tanah dan air permukaan serta sistim pengalirannya yang dapat mempengaruhi
kinerja daya dukungnya.

Dalam Spesifikasi Umum Bina Marga disebutkan bahwa permasalahan dalam


usaha membentuk badan jalan dikelompokkan dalam divisi 3; pekerjaan tanah
dan mencakup seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 1, yaitu mencakup kondisi
tanah dibawah perkerasan jalan yang difungsikan sebagai lapisan subgrade.
Berdasarkan ketentuan yang diperlihatkan maka lingkup tanah problematik
untuk konstruksi jalan mencakup kondisi sebagai subgrade atau tanah dasar
untuk konstruksi perkerasan jalan dan karakteristik propertisnya sebagai lapisan
problematic dalam mendukung beban timbunan jalan.

Dalam spsifikasi Bina Marga permasalahan tanah dasar ini dibahas dalam divisi
3 yaitu pekerjaan tanah yang mancakup perihal :
1) Persyaratan material timbunan atau material tanah sebagai subgrade
2) Pekerjaan tanah termasuk galian dan timbunan
3) Ketentuan yang harus dipenuhi bila badan jalan berada pada lapisan tanah
problematic

Dengan memperhatikan hal tersebut diatas maka secara ringkas dapat


dijelaskan masing-
masing kondisi sehubungan dengan fungsinya tanah dasar sebagai subgrade
untuk mendukung perkerasan jalan dan tanah dasar yang umumnya berupa
perlapisan tanah yang fungsinya mendukung sistim konstruksi jalan, dimana bisa
sebagai “at-grade”, “at-fill” dan “at- cut” yang tentunya mempunyai criteria dan
persyaratn yang berbeda. Pada diperlihatkan konstruksi jalan pada kondisi “at-
32
fill” atau konstruksi timbunan jalan.

Lapisan tanah Problematik

3. Tanah Ekspansif
2. Tanah Gambut
1. Tanah Lunak

Gambar 3- 1.Permasalahan Perencanaan jalan pada tanah


Problematik

33
3.2 Stabilitas Konstruksi Jalan diatas Tanah Problematik

3.2.1 Stabilitas Daya Dukung Lapisan Tanah Dasar

3.2.1.1 Persyaratan Material sebagai Lapisan Tanah Dasar

Dalam Spesifikasi Umum diperlihatkan pada Gambar Bina Marga


disyaratakan untuk material timbunan seperti 3-2 yang didasarkan pada nilai
MDD ((dry-max) Maximum Dry Density) dan parameter Kepadatan yang
disyaratkan menurut Spesifikasi Bina Marga 2010.

Menurut ketentuan spesifikasi tersebut maka untuk material timbunan yang


digunakan sebagai lapisan tanah dasar diberikan batasan sebagai berikut:

1) Kepadatan lapisan yang lebih dalam dari 30cm di bawah elevasi dasar
perkerasan: 95% berat isi kering maksimum ((dry-max), maximum dry
density, MDD)
2) Kepadatan tanah dasar timbunan sedalam 20cm: 95% MDD
3) Kepadatan lapisan tanah MDD pada kedalaman ≤ 30cm dari elevasi dasar
perkerasan: 100%

34
4) Permukaan lapisan subgrade jalan terletak sejauh 1,00 meter dari muka air
tertinggi

Gambar 3- 2 Nilai kepadatan Tanah untuk Timbunan jalan

Dalam spesifikasi divisi 3 disampaikan bahwa lapisan tanah dasar yang berupa
Tanah Lunak didefinisikan sebagai setiap jenis tanah yang mempunyai CBR
lapangan kurang dari 2%.

1) Tanah Dasar dengan daya dukung sedang didefinisikan sebagai setiap


jenis tanah yang mempunyai CBR hasil pemadatan > 2% tetapi kurang dari
nilai rancangan yang dicantumkan dalam Gambar 3- 2, atau
2) Tanah Dasar dengan daya dukung sedang didefinisikan sebagai setiap
jenis tanah yang mempunyai CBR hasil pemadatan < 6% jika tidak ada nilai
yang dicantumkan.
3) Tanah dasar dengan mengandung mineral lempung ekspansif didefinisikan
sebagai tanah yang mempunyai Potensial Pengembangan > 2,5% atau nilai
aktifitas > 1,25

3.2.1.2 Persyaratan uji kepadatan

Persyaratan uji kepadatan adalah dimaksudkan untuk memperoleh nilai


kepadatan kering maksimum (d-max) dengan hubungannya terhadap kadar air
optimum (w-%) dan diperlihatkan pada Gambar 3- 3.

35
Pada Gambar 3- 3 diperlihatkan hubungannya dengan nilai CBR (California
Bearing Ratio) Design untuk menentukan tebal konstruksi perkerasan jalan
khususnya Perkerasan Lentur (Flexible Pavement).

Dalam uji kepadatan laboratorium baik menggunakan pemadatan standar


(Standard Compaction) maupun kepadatan berat (Modified Compaction)
dilakukan terhadap material tanah yang lolos saringan no. 4 dan untuk
implementasinya dilapangan, maka nilai kepadatan kering perlu dikoreksi
karena dilapangan material tanah yang akan dipadatkan gradasi butirannya
beragam dan tidak mungkin di ambil yang tidak lolos saringan no 4.

Nilai derajad kepadatan relative lapangan diambil berdasarkan rasio


perbandingan antara kepadatan kering laboratorium terkoreksi dengan
kepadatan kering lapangannya, dalam hal ini diterapkan ketentuan sebagai
berikut:

1) Untuk tanah yang mengandung mineral lempung maka kepadatan kering


maksimum lapangan harus mencapai (d-max lapangan) > terhadap
kepadatan kering laboratoriumnya 95% (d-max laboratorium).
2) Untuk tanah yang mengandung pasir (tanah pasiran dan agregat) maka
kepadatan kering maksimum lapangan harus mencapai (d-max lapangan)
> terhadap kepadatan kering laboratoriumnya 90% (d-max laboratorium).

36
Gambar 3- 3. Nilai kepadatan kering hubungannya dengan CBR
Design

Dengan memperhatikan pada lubang uji “sand cone” di lapangan maka perlu
koreksi terhadap persentase butiran kasar terhadap hasil uji laboratoriumuntuk
memperoleh nilai kepadatan relatif-nya (D) dari persamaan dibawah ini:

………………………………………………………… 1)
37
Dimana:

Gs = Berat jenis bagian terbesar dari butiran tetahan saringan no 4 atau # 4,75
mm

Df = Maksimum kepadatan kering di Laboratorium dari bahan yang lolos


saringanno 4

Pc = persentase berat butir kasar tertahan saringan no 4 atau tertahan diameter


# 4,75 mm

Pf = Persentase material halus yang lolos saringan 4,75 mm,

r = Suatu koeffisien yang harganya tergantung dari harga Pc seperti Tabel 3 -


1.

Tabel 3 - 1. Koefisien r terhadap prosentase berbutir kasar tertahan # 4,75


mm (Pc)

Bilamana tanah lunak, ekspansif atau tanah problematic lainnya yang berdaya
dukung rendah contoh yang terekspos pada tanah dasar hasil galian, atau
bilamana tanah lunak atau ekspansif berada di bawah timbunan maka

38
perbaikan tambahan berikut ini diperlukan yang juga dinyatakan dalam
spesifikasi Bina Marga:

a) Tanah lunak harus ditangani seperti yang ditetapkan dalam gambar rencana
antara lain dengan cara sebagai berikut:
i) dipadatkan sampai mempunyai kapasitas daya dukung dengan
CBR lapangan lebih dari 2% atau

ii) distabilisasi atau dibuang seluruhnya atau digali sampai di


bawah elevasi tanah dasar dengan kedalaman yang ditunjukkan
dalam gambar atau

iii) jika tidak distabilisasi maka sampai dengan kedalaman tertentu


dilakukan penggantian material seperti yang diberikan dalam tabel
3.2.

Kedalaman galian untuk perbaikan dalam peningkatan daya dukung tanah


dasar (subgrade) distujui dan diperiksa bilamana ada perubahan oleh Direksi
Pekerjaan, berdasarkan percobaan lapangan (fullscale test).

Hasil uji DCP umumnya dilakukan dengan uji DCP (Dinamic Cone
Penetrometer). Terhadap lapisan tanah dengan hasil yang menunjukkan nilai
CBR berbada maka diperlukan implementasi ketebalan tambahan Dse2 yang
diperlihatkan pada Tabel 3 - 2.

39
Tabel 3 - 2. Perbaikan Tanah dibawah Permuakaan Tanah Asli

Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan


dibawah Permukaan Tanah Aslinya

Kedalaman sampai karakteristik Tebal lapis penopang minimum Kedalaman total minimum galian
minimum CBR 2% ( penetrasi uji (cm) di bawah tanah dasar (cm)
DCP diperoleh 65 mm/tumbukan) di
bawah permukaan tanah asli untuk
tanah tak terganggu, tidak termasuk
lapisan permukaan (cm)
< 45 cm 30 30 + Dse2
45 cm – < 90 cm 60 60 +Dse2
90 cm – 150 cm 100 100 +Dse2
> 150 cm Penggalian keseluruhan atau perbaikan khusus lainnya
sebagaimana yang diperintahkan atau disetujui Direksi Pekerjaan

3.2.1.3 Daya Dukung Tanah Dasar untuk Konstruksi Jalan

Dalam pekerjaan konstruksi jalan maka daya dukung tanah dasar yang
diinterpretasikan dengan nilai CBR perlu diketahui secara cepat dilapangan dan
metode yang umum digunakan adalah dengan uji kekatan tanah dilapangan
menggunakan DCP (Dinamic Cone Penetrometer).

Dalam melaksanakan uji DCP ini digunakan alat DCP dan diperlihatkan
pada

Gambar 3- 4. Nilai yang diperoreh dari uji lapangan menggunakan alat uji DCP
ini adalah suatu nilai penetrasi yang dapat dikorelasikan dengan nilai CBR.
Implementasi uji DCP (Dynamic Cone Penetrometer) dilakukan dengan mengisi
Form yang diperlihatkan Gambar 3- 4 dan hasil evaluasi yang diperoleh
diperlihatkan pada Gambar 3- 5.

40
Pada Gambar 3- 5 tersebut diperlihatkan nilai penetrasi yang diperoleh untuk
menentukan nilai CBR rancangan. Dari uji DCP ini diperoleh kedalaman
penetrasi akibat penumbukan yang dapat memberikan informasi nilai DCP.
Hasil uji DCP dilapangan terhadap kondisi lapangan sampai kedalam 1,2 meter
diperoleh nilai CBR nya dengan menggunakan grafik diagram yang di
interpolasikan, seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 5 tersebut.

Hasil nilai CBR yang diperoleh pada kedalamn sampai dengan 1,2 meter ini
memberikan nilai CBR pada perbedaan jenis perlapisan tanah dan
diperlihatkan pada Gambar 3- 6 yang memberikan ilustrasi diperolehnya nilai
CBR terhadap nilai DCP dilapangan.

Gambar 3- 4. Alat Uji DCP (Dinamic Cone penetrometer) dan Korelasinya


terhadap Nilai CBR (California Bearing Ratio)

Alat DCP yang banyak

digunakan di lapangan Form Pencatatan nilai DCP di lapangan, untuk korelasi nilai CBR

41
Gambar 3- 5. Alat Uji DCP dan pencatatan hasil dilapangan terhadap nilai CBR

Alat DCP yang banyak


Hasil Pencatatan nilai DCP di lapangan, untuk korelasi
digunakan di lapangan nilai CBR

Gambar 3- 6. Contoh Uji Penetuan Nilai SBR terhadap nilai DCP

42
Dengan menggunakan informasi hasil uji DCP dapat diperoleh nilai korlasi
penetrasi terhadap nilai CBR nya dan selanjutnya sebagai langkah awal
perencanaan perkerasan jalan yang terdiri dari lapis pondasi (atas dan bawah)
dan tebal lapis perkerasannya dapat didisain.

1) Beberapa ketentuan dalam menerapkan Uji DCP untuk mengevaluasi


kelayakannya dalam mendukung beban kendaraan berdasarkan standar
ESA (Equivalent Standar Axle):
2) Dengan diperolehnya nilai CBR maka untuk menentukan kekuatan
konstruksi perkearasn jalan perlu diperoleh Nilai Dse2 yang merupakan suatu
faktor yang menggambarkan ketebalan tatah dasar yang dibutuhkan
terhadap standar ESA (Equivalent Standar Axle).
3) Dalam hal korelasi antar nilai DCP dan CBR mendapatkan nilai CBR yang
kecil perlu dilakukan perbaikan tanah dasar misalnya dengan menggunakan
material pilihan dengan CBR >2%.
4) Selanjutnya untuk menentukan lapisan tanah dasar yang memenuhi syarat,
selain dipenuhinya CBR >2 % adalah syarat kemampuannya untuk
mendukung beban terhadap ESA (Standar Equvalent Axle) juga salah
satunya dengan menambah ketebalannya untuk persyaratan pemadatan
sesuai spesifikasi yang disyaratkan, misal Spesifikasi Bina Marga 2010
(Tabel 3 - 3).
5) Bilamana hasil DCP menghasilkan nilai CBR yang rendah, maka dapat
direkayasa dengan mengganti material yang memenuhi persyaratan
sebagai lapisan subgrade seperti diperlihatkan pada Tabel 3 - 4.

43
Tabel 3 - 3. Nilai CBR terhadap ESA (Equivalent Standar Axle)

Umur Rencana dalam CBR Rancangan untuk Tanah Dasar


ESA (eqkivalent 4 5 6
CBR Tanah dasar yang Ada
standar axle) Timbunan Pilihan

(kriteria keruntuhan Tebal untuk peningkatan tanah dasar Dse


tanah dasar) (cm)
5 6
10 - < 10 20 25 30
2 – 3 (termasuk lapis penopang 6 7
10 - < 10 25 30 35
paling atas) Dse2
7 8
10 - 10 30 35 40
4 0 15 15
Semua
5 0 0 15

Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan dibawah
Permukaan Tanah Aslinya

Kedalaman sampai karakteristik minimum Tebal lapis penopang Kedalaman total minimum
CBR 2% ( penetrasi uji DCP diperoleh 65 minimum (cm) galian di bawah tanah dasar
mm/tumbukan) di bawah permukaan tanah (cm)
asli untuk tanah tak terganggu, tidak
termasuk lapisan permukaan (cm)
< 45 cm 30 30 + Dse2
45 cm – < 90 cm 60 60 +Dse2
90 cm – 150 cm 100 100 +Dse2
> 150 cm Penggalian keseluruhan atau perbaikan khusus lainnya
sebagaimana yang diperintahkan atau disetujui Direksi
Pekerjaan

Dilapangan bilamana dijumpai kondisi sebagai berikut harus dilakukan


pekerjaan awal seperti dibawah ini sebelum uji DCP dilakukan:

a) Bila dijumpai tanah ekspansif maka harus dibuang sampai kedalaman 1


meter di bawah elevasi permukaan tanah dasar rencana.
b) Tanah Dasar mempunyai Daya Dukung sedang maka harus digali
sampai kedalaman tebal lapisan penopang sesuai spesifikasi yang
berlaku dan harus ditunjukkan dalam gambar rencana.

44
c) Untuk rencana konstruksi perkerasan jalan pada kondisi galian atau “at-
cut” harus tetap dijaga agar bebas dari air pada setiap saat, terutama
untuk tanah lunak dan ekspansif sehingga memperkecil dampak akibat
perubahan penyusutan dan pengembangan oleh karena itu itu harus
dilakukan pembenahan sistim drainase untuk menjaga perubahan
kembang susut yang terjadi.
d) Bilamana dalam uji DCP dijumpai kondisi untuk setiap lapisan tanah
hasil galian diperkirakan perlu penanganan atau perbaikan dan tidak
disyaratkan secara khusus dalam Gambar, maka implementasinya
harus disetujui terlebih dahulu oleh Direksi Pekerjaan.
e) Bilamana dijumpai adanya lapisan tanah problematic atau tanah lunak
yang cukup tebal (dari uji DCP memperoleh nilai penetrasi besar atau
nilai CBR kecil) yang dampaknya dikhawatirkan dapat mengganggu
dicapainya stabilitas timbunan (timbul masalah penurunan dan
keruntuhan) maka perlu dilakukan invesigasi untuk mengetahui
kedalamannya dengan :
i) Penggujian lapangan dengan Sondir atau DCP (Dutch Cone
Penetrometer)

ii) Pemboran untuk mengetahui kondisi perlapisan tanah lunak tersebut

iii) Dilakukan uji laborium untuk megetahui untuk keperluan analisa


stabilitas

(1) karakteristik propertisnya melalui klasifikasi dan indek test

(2) kekuatan dan sensitivitasnya

(3) faktor terhadap nilai kekompakan, permeabilitas, kompresibilitas

Petunjuk dalam melaksanakan uji DCP dan uji lapangan lainya serta uji
laboraroium yang mendukung dan terintegrasi dengan uji DCP dapat dilakukan
dengan berdasar pada standar yang telah dibakukan atau SNI yang terkait
serta Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 tentang Pekerjaan Jalan dan

45
Jembatan.

3.2.1.4 Kualitas Bahan Timbunan


Kualitas material tanah yang digunakan untuk timbunan dalam rangka
membentuk lapisan tanah dasar atau subgrade sebagai tumpuan konstruksi
perkerasan jalan perlu diperhatikan karena beberapa hal berikut perlu
diperhatikan:

1) Material tanah untuk timbunan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu Timbunan
Biasa, Timbunan Pilihan, dan Timbunan Pilihan Berbutir di atas tanah rawa
yang masing-masing mempunyai karakteristik properties yang spesifik dan
kekuatan daya dukungnya.
2) Timbunan pilihan digunakan untuk meningkatkan kapasitas daya dukung
tanah dasar pada lapisan penopang (capping layer) dan jika diperlukan di
daerah galian. Timbunan pilihan dapat juga digunakan untuk stabilisasi
lereng atau pekerjaan pelebaran timbunan jika diperlukan lereng yang lebih
curam karena keterbatasan ruangan, dan untuk pekerjaan timbunan lainnya
dimana kekuatan timbunan adalah faktor yang kritis.
3) Timbunan Pilihan Berbutir digunakan sebagai lapisan penopang (capping
layer) pada tanah lunak yang mempunyai CBR lapangan kurang 2% yang
tidak dapat ditingkatkan dengan pemadatan atau stabilisasi, dan diatas
tanah rawa, daerah berair dan lokasi-lokasi serupa dimana bahan
Timbunan Pilihan dan Biasa tidak dapat dipadatkan denganmemuaskan.

4) Baik Timbunan Pilihan maupun Timbunan Pilihan Berbutir umumnya


digunakan untuk penimbunan kembali pada abutmen dan dinding penahan
tanah serta daerah kritis lainnya yang memiliki jangkauan terbatas untuk
pemadatan dengan alat yang disetujui oleh Direksi Pekerjaan.

5) Bila drainase diperlukan maka dipasang bahan material sebagai


landasan untuk pipa atau saluran beton, maupun bahan drainase
porous yang dipakai untuk drainase bawah permukaan atau untuk
mencegah hanyutnya partikel halus tanah akibat proses penyaringan.

46
47
6) Dalam hal agar tidak terjadi penurunan kualitas bahan timbunan sehingga
menyebabkan menurunya daya dukung dan stabilitasnya maka permukaan
lapisan tanah dasar final harus berada cukup jauh dari muka air tertinggi,
baik air tanah maupun air permukaan. Untuk itu tinggi timbunan sebagai
tanah dasar harus mempunyai ketinggian yang cukup dan dapat
mewujudkan daya dukung yang memadai dan dapat berdiri stabil terhindar
dari keruntuhan dangkal (keruntuhan lereng) maupun keruntuhan dalam
(keruntuhan pondasi).
7) Nilai Daya Dukung material tanah dasar dilapangan sebagai subgrade
mempunyai nilai kepadatan (compactness) setara dengan nilai derajad
kepadatannya (relative density) dan Ratio) serta sudut geser dalamnya
seperti diperlihatkan pada CBR (California Bearing rangkuman Tabel 3- 5.

48
Tabel 3- 5 Nilai korelasi beberapa Parameter Kepadatan terhadap N-SPT
(Nilai Standard Penetration Test)

3.2.1.5 Rekayasa Teknik Terhadap Timbunan yang Tidak


Memenuhi Ketentuan
persyaratan Kualitas dan Ketentuan Stabilitas

Rekayasa terhadap bahan timbunan yang tidak memenuhi syarat kualitas serta
ketentuan stabilitas perlu dilakukan.

1) Timbunan akhir yang tidak memenuhi penampang melintang yang


disyaratkan harus diperbaiki dengan menggemburkan permukaannya dan
membuang atau menambah dan dilanjutkan dengan pembentukan kembali
dan pemadatan kembali.
2) Timbunan yang terlalu kering untuk pemadatan, terhadap batas-batas
kadar air optimumnya harus diperbaiki dengan menggaruk bahan tersebut,
dilanjutkan dengan penyemprotan air secukupnya dan dicampur agar
homogin dengan menggunakan "motor grader" atau peralatan lain yang
disetujui direksi pekerjaan.
3) Timbunan yang terlalu basah untuk pemadatan, harus diperbaiki dengan
menggaruk bahan material tanah tersebut dengan penggunaan motor
grader atau alat lainnya secara berulang-ulang dengan ketentuan:

49
a) selang waktu istirahat selama penanganan,
b) dalam cuaca cerah.
4) Alternatif lain bilamana pengeringan yang memadai tidak dapat dicapai
dengan menggaruk dan membiarkan bahan gembur tersebut, mka diganti
dengan bahan material tanah kering yang lebih cocok.
5) Timbunan yang telah dipadatkan dan memenuhi ketentuan persyaratan
menjadi jenuh akibat hujan atau banjir atau karena hal lain, biasanya tidak
memerlukan pekerjaan perbaikan asalkan sifat-sifat bahan dan kerataan
permukaan masih memenuhi ketentuan persyartan tersebut.
6) Timbunan yang telah dipadatkan dan tidak memenuhi persyaratan stabilitas
karena berbagai sebab:
a) Berada diatas lapisan tanah problematik maka perlu perkuatan terhadap
keruntuhan dalam atau longsoran dalam. Untuk perkuatan dasar
timbunan dapat diterapkan dengan mengahmparkan lapisan geosintetik
berupa geogrid yang juga dapat di kombinasikan dengan geotekstil.
Geogrid berfungsi untuk perkuatan sedangkan geotekstil dapat
berfungsi sebagai separator, filter dan penambah perkuatan didasar
timbunan.
b) Keterbatasan dalam mencapai stabilitas sehingga dikhawatirkan akan
mengalami keruntuhan lereng atau longsor maka perbaikan timbunan
dengan perkuatan geosintetik dapat dilakukan.
c) Perbaikan timbunan yang rusak akibat gerusan banjir atau menjadi
lembek setelah pekerjaan tersebut selesai maka perlu disiapkan sistim
penataan pengaliran air yang seignifikan terhadap penjenuhan material
timbunan.
7) Untuk menjamin terpenuhinya ketentuan stabilitas timbunan yang
difungsikan sebagai subgrade bilamana berada pada lapisan tanah
problematic yang mempunyai ketebalan

cukup signifikan maka perlu dilakukan perbaikan tanah problematic tersebut


sebelum dilakukan penimbunan.
50
8) Prinsip perbaikan tanah problematic dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a) Mengevaluasi jenis dan ketebalannya serta perlapisannya
b) Memilih metode yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan
teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan bahan untuk
mendukung penerapan teknologi tersebut.
9) Jenis teknologi yang dipilih perlu mempertimbangkan criteria sebagai berikut:
a) Teknologi dengan mengganti material yang lebih baik sehingga
memenuhi ketentuan daya dukung dan stabilitas.
b) Teknologi dengan meningkatkan daya dukung tanah problematic
misalnya dengan menerapkan sistim pondasi yang dapat mendukung
dan meningkatkan daya daya dukung dan stabilitas
c) Teknologi dengan meningkatkan stabilitas terhadap terjadinya
keruntuhan baik keruntuhan lereng maupun keruntuhan pondasi.
d) Teknologi dengan mengurangi beban yang bekerja yaitu membatasi
tinggi timbunan atau melakukan sistim konstruksi timbunan yang
menjadi ringan.

3.2.2 Stabilitas Timbunan

Suatu hal yang sangat pentingadalah menganalisa dan mengevaluasi


kondisi lapisan tanah sebagai tumpuan daya dukung timbunan jalan.
Terpenuhinya daya dukung timbunan sebagai lapisan tanah dasar
(subgrade) konstruksi jalan tidaklah mencukupi kalo tidak mengevaluasi dan
menganalisa kondisi lapisan tanah nya karena akan berdampak pada
keruntuhan timbunan.

3.2.2.1 Langkah-langkah Memilih Solusi Penanganan Badan Jalan diatas


Tanah Problematik

Langkah-langkah memilih solusi penanganan badan jalan diatas tanah

51
problematik :

1) Identifikasi masalah
2) Identifikasi faktor-faktor yang akan mempengaruhi proses pengambilan
keputusan
3) Memilih menganalisa pilihan
4) Menghitung biaya masing-masing
5) Menentukan pilihan yang terbaik

Memahami prinsip penanganan permasalahan konstruksi jalan pada tanah


problematic baik untuk jalan baru maupun jalan eksisting.

1) Memahami beberapa prinsip metode penanganannya yang diawali dengan


mengevaluasi dan menganalisa terhadap permasalahan yang akan terjadi
sebelum menentukan tipe penanganannya.

2) Penanganan tanah problematik yang biasa dilaksanakan di Indonesia


adalah dengan metode :
a) Penanganan pada Pekerjaan Tanah
b) Penanganan pada Perbaikan Tanah

3.2.2.2 Teknologi Penanganan Tanah Problematik

Beberapa teknologi dapat diterapkan seperti diperlihatkan pada . Dengan


pemilihan teknologi yang tepat perlu dilakukan evaluasi dan analisa terhadap
permasalahan yang terjadi.

52
Tabel 3- 6. Teknologi penanganan Tanah Problematik

Seperti telah diuraikan sebelumnya, maka langkah pertama dalam


melakukan pemilihan teknologi yang akan di implementasikan adalah dengan
mengetahui macam dan jenis tanah problematic melalui serangkaian pengujian
sehingga secara jelas dapat diklasifikasikan seperti diperlihatkan pada Gambar
3- 7.

Khusus pada tanah ekspansif dengan memperhatikan Gambar 3- 7 tersebut,


bilamana dijumpai kandungan lempung tinggi, maka perlu di analisa
kandungan unsure mineralnya dan bila dijumpai adanya unsur mineral
monmorillonite maka selanjutnya dilakukan uji potensial kembang-susutnya.

53
Gambar 3- 7. Klasifikasi Tanah Lunak/Gambut

3.2.2.3 Mode Keruntuhan Timbunan pada tanah problematic

Beberapa kejadian dikarenakan rendahnya daya dukung serta nilai


kompresibilitasnya yang besar pada tanah problematik maka timbul beberapa
permasalahan sehubungan dengan penurunan dan keruntuhan timbunan.

54
1) Permasalahan Penurunan

Terjadinya masalah penurunan yang umumnya didominasi oleh penurunan


primer pada tanah lunak dengan kurun waktu yang cukup lama maka
dapat digolongkan sebagai keruntuhan amblasan atau keruntuhan pondasi
seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 8. Bilamana sifat kompresibilitasnya
tinggi seperti pada tanah organic atau gambut maka akan terjadi penurunan
timbunan yang sangat cepat dan berdampak menimbulkan pengangkatan tanah
disekelilingnya (heaving) serta bertambahnya gaya horizontal.

54
Gambar 3- 8. Keruntuhan amblasan atau pondasi

55
Dampak yang ditimbulkan oleh beban yang berlebihan adalah
pengangkatan tanah yang berdampak pada pengangkatan tanah juga
berdampak pada meningkatnya beban horizontal dan menimbulkan
kerusakan bangunan infrastruktur disekelilingnya seperti abutmen jembatan
dan kejadian ini diperlihatkan pada Gambar 3- 9 a. yang menggambarkan
penurunan berlebih pada tanah lunak dan Gambar 3- 9 b. penurunan
berlebih pada lapisan tanah gambut. Penurunan berlebih yang
mengakibatkan terdeformasinya abutment jembatan diperlihatkan pada

56
Gambar 3- 10.

a) Pada Lapisan tanah Lunak

b) Pada Lapisan tanah Lunak

Gambar 3- 15. Keruntuhan Timbunan akibat Pengangkatan Tanah yang


berlebihan (sumber : eddie sunaryo, 2010 – 2014 dan 2015)

57
Gambar 3- 16. Keruntuhan abutmen jembatan pada Tanah
Problematik berupa tanah lempung organic kompresibel (sumber :
eddie sunaryo, 2010 – 2015 dan 2015)

Kejadian lain adalah keruntuhan lereng timbunan yang bukan merupakan


keruntuhan lereng timbunan yang sifatnya dangkal, tetapi timbul keruntuhan
lereng dalam seperti diperlihatkanpada Gambar 3- 11 timbunan jalan pada tanah
lunak organic dan Gambar 3- 12 keruntuhan timbunan jalan pada Tanah
Ekspansif (sumber eddie sunaryo 2010 dan 2011).

Pada tanah Organik tinggi dan Gambut:

Berdampak pada longsoran lere g timbunan


dalam setelah di identifikasi retakan
memanjang jalan di bagian tengah.

58
Gambar 3- 17. Keruntuhan Lereng Dalam Timbunan Jalan pada lapisan
tanah Lunak

retakan

Pada tanah ekspansif:

Perbedaan Kadar Air Tanah antara


dibawah badan jalan dan diluar
badan jalan mengakibtakan retak
memanjang pada Bagian Tepi
Jalan dan berakhir pada longsoran

Gambar 3- 18. Keruntuhan Lereng Timbunan Jalan pada Tanah Ekspansif

3.3 Rangkuman

Pada Modul 3 yang berjudul PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN


PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH DASAR
merangkum yang berhubungan dnegan perancanaan dan penanganan jalan
yang berada pada tanah problematic. Permasalahan dapat terjadi pada
fungsinya sebagai lapisan tanah dasar yang mendukung perkerasan atau
permasalahan stabilitas keberadaannya dalam mempertahankan stabilitas sitim
konstruksi jalan

59
3.4 Latihan

Peserta diharapak dapat mengembangkan ide dalam perencanaan dan


penanganan konstruksi jalan pada tanah problematic baik ditinjau dari fungsi
penrapannya serta jenis dan macam tanah problematiknya.

60
KEGIATAN BELAJAR 3
TANAH PRINSIP PENANGGULANGAN
PROBLEMATIK

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami pengertian


tentang PRINSIP PENANGGULANGAN KONSTRUKSI JALAN pada tanah
problematic yang difungsikan sebagai lapisan tanah dasar dan penerapan
beberapa teknologi yang digunakan berupa perkuatan lereng dan perkuatan dasar
timbunan.

4.1 Kualitas dan Kontrol Kualitas Materal Timbunan Sebagai


Tanah Dasar atau Subgrade

Seperti telah dibahas di Bab III bahwa permasalahan tanah problematic


ini mencakup dari lapisan tanah dasar atau subgrade sampai dengan
lapisan tanah dibawahnya yang berupa tanah problematic. Dengan
demikian maka untuk persyaratan subgrade, parameter kekuatan dapat
ditentukan dengan berdasarkan parameter kepadatan tanah sebagai
berikut:

1) CBR (California Bearing Ratio)


2) MR (modulus resilient)
3) K (modulus reaksi tanah)
4) DCP (Dynamic Cone Penetrometer)

Sebagai contoh maka penentuan bahan material yang tepat berdasarkan nilai
kekuatan tanah dasar terhadap modulus reaksi tanah dasar (k) diperlihatkan
pada Table 4 - 1.

61
Table 4 - 1. Kekuatan Tanah Dasar dan
Toleransinya

Nilai parameter tersebut diatas didasarkan pada nilai kadar air optimum (wopt)
yang diperoleh dari pengujian kepadatan laboratorium yang mencarai
hubungan antara nilai kadar air optimum (wopt) dengan kepadatan kering
maksum sebagai MDD (Maximum Dry Density) atau (dry-max). Untuk
mengetahui nilai kepadatan lapapangan penentuan nilainya menggunkan alat
uji sand cone seperti diperlihatkan pada Gambar 4-1 dan hasilnya
dipresentasikan pada Gambar 4-2.

62
Gambar 4- 1. Pengujian Kepadatan Tanah dengan Sand Cone

Gambar 4- 2. Contoh hasil Uji Sand Cone dan hasilnya serta uji CBR
lapangan setelah pekerjaan pemadatan selesai dengan berat volume
pasir (gp) 1,323 gr/cm3

Pada Gambar 4- 2 diperlihatkan pula pengujian terhadap nilai CBR Lapangan


yang dapat dilakukan bersamaan dengan pengujian kepadatan lapangan
dengan alat uji Sandcone.

Dengan melakukan pengujian untuk mengetahui kepadatan lapangan hasil


pemadatan yang telah dilakukan maka akan diketahui nilai kepadatannya yaitu
berdasarkan uji Sand Cone untuk mengetahui nilai MDD (Maximum Dry
Density) pada kondisi kadar air optimum (wopt) dan hubungannya terhadap nilai
CBR lapangannya.

63
4.2 Konstruksi Tanah Timbunan Sebagai Subgrade

4.2.1 Persyaratan Kekuatan Daya Dukung

Seperti telah diuraikan bahwa kinerja perilaku tanah dasar sebagai subgrade
sangat tergantung dengan karakteristik propertisnya yang menggambarkan
daya dukung dan stabilitasnya dalam mendukung perkerasan jalan diatasnya.
Oleh karena itu penetuan persyaratan bahan material tanah yang digunakan
perlu dikaji dengan teliti untuk daya dukungnya terutama nilai CBR dan
kepadatan lapangan maksimumnya pada kondisi kadar air optimumnya.

Hasil uji pemadatan terhadap beberapa jenis tanah diperlihatkan pada Gambar
4- 3 dan hubungannya antara pemadatan rendah (pemadatan ringan) dan
pemadatan tinggi (pemadatan berat) untuk jenis tanah yang sama sifat
karakteristik propertisnya diperlihatkan pada Gambar 4- 4 (eddie sunaryo,
2010, 2015.

Gambar 4- 3. Hubungan antara Hasil Pemadatan pada beberapa Jenis


Tanah

64
Gambar 4- 4. Hasil Proses Pemadatan Tanah dengan metode pemadatan
rendah (pemadatan standar) dan Pemadatan tinggi (pemadatan berat)
untuk jenis tanah yang sifat karakteristik propertisnya sama

Untuk mengetahui tingkat kepadatanya, umumnya dievaluasi tingkat


kepadatan relatif atau DR (relatif density) yang menyatakan derajat kepadatan
tanah antara berbutir kasar seperti mengandung pasir dan kerikil dengan
formula kepadatan relatif (DR) dan diperlihatkan pada Table 4 - 2:

Table 4 - 2. Kepadatan Relatif Tanah untuk


Subgrade

65
Dimana:

e = angka pori contoh tanah

emax = angka pori terbesar yang dapat dicapai di laboratorium (yaitu


angka pori tanah dalamkeadaan paling tidak padat)
emin = angka pori terkecil yang dapat dicapai di laboratorium (yaitu angka
pori tanah dalam keadaan paling padat)

4.2.2 Variasi jenis material material tanah untuk subgrade

Permasalahan yang dihadapi dilapangan tidak sesederhana seperti yang


disampaikan sebelumnya yaitu hanya berdasarkan terhadap kekuatan daya
dukung yang dipresentasikan dengan kepadatan yang dicapai dengan
dipenuhinya nilai CBR, tetapi ada beberapa pertimbangan yang perlu
diperhatikan. Perhatian khusus perlu dilakukan karena kebutuhan dalam
disain yang diperlukan misalnya untuk kondisi “at-fill” diperlukan timbunan
yang cukup tinggi sehingga stabilitasnya perlu dicermati dengan seksama.
Hal lain yang perlu diperhatikan sebagai dasar konstruksi timbunan adalah:

1) Sifat karakteristik properties tanah timbunan itu sendiri dan telah


disampaikan sebelumnya bahwa tanah timbunan dapat berupa
granular atau bukan granular, timbunan biasa atau timbunan pilihan
dan keterbatasan material timbunan yang digunakan.
2) Sifat karakteristik lapisan tanah dasar yang mendukung timbunan
yang biasanya pada daerah dataran didominasi oleh sedimen
endapan yang berumur quarter yang didominasi tanah problematic.

Dengan memeperhatikan kedua hal diatas maka diperlukan rekayasa teknik


agar disamping daya dukungnya terpenuhi juga stabilitasnya terpenuhi.

Berdasarkan hasil pengujian laboratorium dan jenis material yang dapat

66
digunakan untuk timbunan jalan maka terdapat 3 golongan tanah ditinjau
dari gradasinya seperti diperlihatkan pada , yaitu:

1) Tipe 1 WELL GRADED dengan gradasi ukuran butir terbagi merata

2) Tipe 2 POORLY/UNIFORM GRADED dengan gradasi ukuran butir


sebagian besar sama

3) Tipe 3 GAP GRADED dengan gradasi ukuran butir merupakan


kombinasi dua atau lebih diameter yang sama

Gambar 4- 5. Pengelompokan Variasi Gradasi Tipe 1, 2 dan 3 dari hasil uji


gradasi

Untuk mengetahui tanah termasuk diantara ke tiga golongan tersebut


terhadap grafik pembagian butir perlu diketahui nilai koefisien
keseragamannya (Cu) dan nilai koefisien kelengkungannya (Cc) pada
Gambar 4- 6 yang mengacu pada Gambar 4- 5 diatas.

67
Dimana
:

Gambar 4- 6. Pedoman analisa


Pengelompokan Nilai Cu dan Cc

4.2.3 Jenis Material terhadap Kelompok Penggunaannya

Pengelompokan jenis material terhadap penggunaannya untuk konstruksi jalan


dalam spesifikasi Bina Marga terbagi menjadi 4 kelompok seperti diperlihatkan
pada Table 4 - 3 yaitu:

1. Tanah A: dalam spesifikasi konstruksi jalan sering disebut Agregat kelas A


yang umumnya digunakan sebagai lapis pondasi Jalan (Base Course)

2. Tanah B: dalam spesifikasi pekerjaan konstruksi jalan sering di asumsikan


sebagai material Agregat kelas B atau lapis pondasi dasar (Subbase
Course)

3. Tanah C: dalam spesifikasi pekerjaan konstruksi jalan sering dikategorikan


sebagai lapisan tanah dasar (subgrade) atau agregat kelas C dan di
lokasi kuari (Quarry) di istilahkan sebagai Galian C yang umumnya
dikelompokkan sebagai tanah timbunan jalan.

4. Tanah D: dalam spesifikasi pekerjaan jalan jenis material lempung dan


jarang digunakan sebagai bahan konstruksi timbunan. Penggunaan
tanah D ini di timbunan digunakan sebagai material timbunan inti karena

68
permebilitasnya yang rendah sehingga diasumsikan sebagai lapisan kedap
air.

Table 4 - 3. Pengelompokan Jenis Material yang digunakan dalam


konstruksi jalan yang disyaratkan secara internasional

Disamping jenis tanah seperti dijelaskan pada Table 4 - 3 juga ada satu
kelompok tenis tanah yang dikelompokkan sebagai Agregat Kelas S yang
penerapannya sebagai lapis Pondasi untuk Bahu Jalan dan diperlihatkan pada
Table 4 - 4 dalam hubungannya dengan Agregat Klas A dan B. Pada Table 4 -
4 tersebut yang di dasarkan pada Spesifikasi Bina Marga 2010 diperlihatkan
jumlah komposisi gradasi yang disyaratkan dan sifat-sifat teknis lainnya.

Salah satu faktor yang mempengaruhi daya dukung jenis tnah sebagai lapis
pondasi jalan adalah nilai PI (Plasticity Index), sehingga nilai PI (Plasticity
Index) sehingga pada Lapis Pondasi Agregat Kelas‒S dinyatakan minimal 4%
dan maksimal 15% dan nilai CBR harus mencapai minimal 50%. Hubungan
antara Agregat Klas S dan Klas A dan/atau Klas B terhadap sifat phisik dan
karakteristik propertiesnya diperlihatkan pada Table 4 - 5.

69
Bila sulit diperoleh maka material Lapis Pondasi Agregat Kelas‒S ini dapat
diperoleh dengan campuran material yang bersifat plastis berupa tanah yang
mengandung lempung (clay) dengan agregat kelas A atau B sedemikian rupa
sehingga persyaratan PI dan CBR tersebut terpenuhi.

Table 4 - 4. Ukuran Gradasi Agregat Klas A, B dan S

Table 4 - 5. Sifat Phisik dan Karakteristik Agregat Klas A, B dan S

70
4.3 Teknologi Perkuatan Timbunan sebagai Lapisan tanah Dasar
atau Subgrade

Teknologi perkuatan timbunan terhadap keruntuhan lereng dangkal maupun


lereng dalam umumnya digunakan bahan geosintetik yang berupa Geotekstil
baiuk “woven” maupun “un- woven” dan geogrid bila diperlukan bahan
perkuatan yang dapat menambah kekuatan geser tanah problematik dalam
mendukung beban timbunan jalan.

4.3.1 Sifat-sifat Bahan Material Geosintetik

4.3.1.1 Sifat-sifat Elektrokimia

Syarat kriteria elektrokimia untuk tanah timbunan yang diperkuat dengan


geosintetik bergantung pada jenis polimer seperti diperlihatkan pada Table 4 -
6.

Table 4 - 6. Syarat Elektrokimia Timbunan yang Diperkuat (Elias dkk, 2001)

Syarat Nilai pH
Jenis Polimer Tanah Metode Uji
Poliester (PET) 3 < pH < 9 AASHTO T289-91
Poliolefin (PP dan HDPE) pH > 3 AASHTO T289-91

4.3.1.2 Sifat Karakteristik terhadap Geometrik pemasangan untuk


Perkuatan Timbunan Bahan Geosintetik

Sifat-sifat struktur rencana dari geosintetik merupakan suatu fungsi dari


karakteristik geometric yang mliputi kekuatan dan kekakuan, durabilitas dan
jenis material. Suatu lapis pita-pita geotekstil dan geogrid dicirikan oleh lebar
dan jarak horizontal dari as ke as dari pita-pita tersebut. Luas potongan
melintang tidak diperlukan karena kekuatan pita geosentetik digambarkan

71
dengan gaya tarik per satuan lebar, bukan oleh tegangan. Kesulitan-kesulitan
dalam mengukur tebal dari bahan yang tipis dan relatif kompresibel
mengakibatkan perkiraan tegangan menjadi tidak realistis.

Rasio lipatan Rc digunakan untuk menghubungkan gaya per satuan lebar dari
perkuatan yang terpisah terhadap gaya per satuan lebar yang dibutuhkan pada
seluruh struktur, diperlihatkan pada Gambar 4- 7.

Gambar 4- 7. Karakteristik Bahan Geosintetik tipe Woven

Dimana:
c
R  b/Sh
b = lebar kotor dari pita, lembaran atau grid (m)
Sh = spasi horizontal dari as ke as antara pita-pita, lembaran-lembaran atau
grid-grid(m)
Rc = 1 untuk perkuatan lembaran menerus

4.3.1.3 Sifat-sifat terhadap Kekuatan Bahan Geosintetik

Sifat-sifat kekuatan geosintetik ditentukan oleh faktor lingkungan seperti


rangkak, kerusakan saat instalasi, penuaan, suhu dan tegangan pengekang

72
(confining stress). Kuat geser ijin jangka panjang geosintetik harus
ditentukan melalui pertimbangan menyeluruh terhadap elongasi ijin, potensi
rangkak dan seluruh potensi mekanisme degradasi kekuatan.

Secara umum, produk-produk poliester (PET) peka terhadap penurunan


kekuatan akibat penuaan karena hidrolisis (ketersediaan air) dan temperatur
tinggi. Produk-produk poliolefin (PP dan HDPE) peka terhadap kehilangan
kekuatan akibat penuaan karena oksidasi (kontak dengan oksigen) dan
atau temperatur tinggi. Oksidasi geosintetik dalam tanah dapat terjadi dengan
laju yang hampir sama dibandingkan dengan geosintetik yang berada di atas
tanah.
Walaupun sebagian besar perkuatan geosintetik dikubur dalam tanah,
stabilitas geosintetik terhadap ultraviolet selama masa konstruksi harus
tetap diperhatikan. Jika geosintetik digunakan pada lokasi yang terpapar
ultraviolet (misalnya untuk membungkus dinding atau bagian muka lereng),
maka geosintetik sebaiknya dilindungi dengan bahan pelindung atau unit- unit
penutup untuk mencegah kerusakan.

1) Penutupan dengan tanaman dapat dilakukan jika menggunakan geotekstil


anyaman terbuka atau geogrid.
2) Kerusakan saat penanganan dan konstruksi, seperti akibat abrasi dan aus,
coblos dan robek atau gores, serta retak dapat terjadi pada grid polimer
yang getas. Jenis-jenis kerusakan ini dapat dihindari dengan perlakuan
yang hati-hati selama penanganan dan konstruksi.
3) Alat berat dengan roda rantai baja (track) tidak diperbolehkan melintas
langsung di atas geosintetik.
4) Kerusakan saat penimbunan merupakan fungsi dari beban yang ditimpakan
pada geosintetik selama masa konstruksi serta ukuran dan kebundaran
(angularity) bahan timbunan.
5) Untuk lereng tanah yang diperkuat, penggunaan geotekstil ber-massa
rendah dan kekuatan rendah sebaiknya dihindari untuk meminimalkan

73
kerusakan yang menyebabkan berkurangnya kekuatan geotekstil.
6) Kuat tarik jangka panjang geosintetik harus ditentukan berdasarkan
pendekatan faktor keamanan parsial. Faktor reduksi digunakan untuk
menghitung kekuatan geosintetik meliputi faktor kerusakan pada saat
instalasi, faktor rangkak serta kondisi biologi dan kimia.

4.3.2 Interaksi tanah dan geosintetik

Kombinasi antara material tanah (baik dalam memikul gaya tekan walaupun
lemah dalam gaya tarik) dengan material geotekstil (yang baik dalam memikul
gaya tarik tapi lemah dalam memikul gaya tekan) sangat memberikan hasil
yang positif (Gouw Tjie-Liong, 2006). Koefisien interaksi tanah dengan
geosintetik atau disebut Kemampuan Cabut yang harus dipertimbangkan
dalam perencanaan meliputi koefisien cabut dan koefisien gesekan antar
bidang permukaan.

1) Kinerja tahanan cabut


Perencanaan perkuatan lereng membutuhkan evaluasi kinerja cabut jangka
panjang yang mempertimbangkan tiga kriteria dasar berikut ini:

a) Kapasitas cabut: tahanan cabut pada perkuatan harus cukup kuat


menahan gaya tarik rencana yang bekerja di dalam perkuatan dengan
faktor keamanan cabut minimum adalah 1,5.
b) Perpindahan (displacement) izin: perpindahan relatif tanah terhadap
perkuatan yang dibutuhkan untuk memobilisasi gaya tarik rencana
harus lebih kecil daripada perpindahan yang diizinkan.
c) Perpindahan jangka panjang: beban cabut harus lebih kecil daripada
beban rangkak kritis.

Tahanan cabut puncak (Pr) per satuan lebar perkuatan ditentukan melalui
persamaan berikut:
*
Pr = F .  . ’v . Le . C

74
Dimana:
F* = faktor tahanan cabut;

 = faktor koreksi skala;

’v = tegangan vertikal efektif antarmuka (batas) antara tanah dan

geosintetik (kN/m2). Le = panjang tertanam pada zona yang ditahan di

belakang bidang keruntuhan (m); C = keliling efektif perkuatan, untuk

geogrid dan geotekstil nilai C = 2;

Faktor tahanan cabut F* dan faktor koreksi skala  yang paling akurat
melalui pengujian tarik cabut terhadap contoh material timbunan yang akan
digunakan. Jika data hasil pengujian tidak tersedia, maka nilai  untuk
geogrid adalah 0,8 dan untuk geotekstil 0,6 dan nilai F*=2/3 tan .

Sudut  di atas merupakan sudut geser tanah yang minimal dihasilkan dari
pengujian di laboratorium. Untuk perkuatan lereng, besarnya  untuk
timbunan yang diperkuat umumnya didapat melalui pengujian, akibat
bervariasinya material timbunan yang digunakan. Nilai terendah yang biasa
digunakan adalah 280.

2) Gesekan antar permukaan


Gesekan antar permukaan geosintetik dan tanah timbunan seringkali lebih
rendah daripada sudut geser tanah, sehingga dapat membentuk bidang
gelincir. Sudut gesek antar permukaan  ditentukan dari uji geser langsung
antara tanah dan geosintetik dengan acuan ASTM D 5321 atau ISO 12957-
1:2005. Apabila hasil pengujian tidak tersedia, maka koefisien gesekan
antar permukaan ditentukan dengan persamaan 2/3 tan  untuk geotekstil,
geogrid dan drainase komposit tipe geo-net.

75
Teknologi perkuatan timbunan ini dimaksudkan agar memenuhi persyaratan
disain sesuai dengan yang direncanakan agar ketinggian maksimumnya
dicapai. Teknologi ini dapat dilakukan bilamana tanah dasar yang
mendukung timbunan cukup mantap sehingga terhindar dari keruntuhan
dalam atau keruntuhan pondasi.

Dengan menerapkan teknologi perkuatan timbunan maka satbilitas lereng


timbunan terhadap keruntuah lereng dapat dicapai.

4.3.3 Prinsip Dasar Perkuatan Timbunan dengan Bahan Geosintetik

Material Geosintetik memiliki banyak kegunaan dalam rekayasa teknik


bangunan sipil seperti timbunan jalan. Salah satunya adalah sebagai fungsi
stabilisasi tanah untuk meningkatkan sifat mekanis massa tanah,
meningkatkan faktor keamanan lereng dan menstabilkan lereng dengan
kemiringan curam (kurang dari 700). Beberapa pertimbangan dalam
penerapan geosintetik untuk perkuatan lereng:
1) Lereng timbunan tanah yang diperkuat umumnya terdiri dari timbunan
padat yang diperkuat dengan bahan geosintetik yang disusun kearah
melintang jalan sehingga menjadi struktur komposit. Ketika tanah dan
geosintetik digabungkan sebagai materiall komposit menghasilkan
kekuatan tarik sehingga dapat menahan gaya horizontal yang
menyebabkan deformasi.
2) Pada tahapan tersebut, geosintetik berlaku sebagai bagian tahanan tarik
karena memberikan nilai tanmbah terhadap gesekan dan adhesi,
sehingga terjadi ikatan (interlocking) akibat tanah dibungkus
(confinement)) dan akan meningkatkan stabilitas massa tanah terhadap
keruntuhan lereng.

76
3) Sebagai perkuatan lereng tanah, maka Gambar 4- 8 memperlihatkan
dasar mekanisme perkuatan lereng tanah dengan geosintetik untuk

Bidang
Runtuh/longsor

Lereng
tanah Reaksi geosintetik menahan
beban tarik

mengatasi permasalahan longsoran.

Gambar 4- 8, Bidang Runtuh dan Assumsi Bekerjanya Perkuatan


Geosintetik

4.3.4 Fungsi Perkuatan Geosintetik

4.3.4.1 Perkuatan Geosintetik pada lereng timbunan


Fungsi utama perkuatan deosintetik adalah diterapkan pada lereng timbunan
tanah yang dan diperlihatkan pada Gambar 4- 9 untuk tujuan:

1) Meningkatkan stabilitas lereng dari keruntuhan lereng atau longsoran


lereng, terutama jika diinginkan sudut kemiringan lereng lebih besar tetapi
tetap aman dibandingkan dengan lereng yang tidak diperkuat, atau setelah
terjadinya maka perlu perkuatan keruntuhan lereng timbunan agar dicapai
stabilitasnya.

2) Memberikan tambahan tahanan lateral selama proses pemadatan


dengan menerapkan susunan geosintetik pada tepi timbunan sehingga
memungkinkan beroperasinya alat berat secara aman pada bagian tepi
lereng timbunan dan terhindar dari kemungkinan terjadinya longsoran
akibat getaran dan beban alat berat saat proses pemadatan berlangsung.

77
Gambar 4- 9 Penanganan dengan Perkuatan Geosintetik

Lajur Jalan

Geosintetik/geotekstil
Perkuatan sekunder TANAH TIMBUNAN

LERENG TIMBUNAN
Geosintetik/geotekstil

Perkuatan primer

Drainase

Tanah Dasar Cukup stabil

78
Gambar 4- 10. Perkuatan Geosintetik / Geotekstil (Sumber: Elias dkk, 2001)

Gambar 4- 11. Perkuatan Geosintetik / Geotekstil

4.3.4.2 Perkuatan Bahan geosintetik pada Dasar Timbunan

Fungsi utama perkuatan Bahan Geosintetik pada dasar timbunan adalah untuk
meningkatkan stabilitas timbunan dari keruntuhan lereng dalam atau longsoran
timbunan yaitu dengan menempatkan susunan bahan geosintetik pada
dasar timbunan. Ada dua jenis bahan geosintetik yang dapat
digunakan yaitu geotekstil dan geogrid yang tentunya mempunyai kinerja
berbeda. Penerapannya dilapangan kadang-kadang sering dikombinasikan
antara geotekstil dan geogrid, sehingga produk komposit yang terdiri dari dua
bahan tersebut mulai diproduksi.

1) Bahan Geotekstil dan Geomembrane


Bahan geotekstil yang merupakan kelompok geosintetik terdiri dari
beberapa macam yaitu mempunyai fungsi diantaranya sebagai sistim untuk
perkuatan jenis geotekstil woven, filter dengan jenis geotekstil non-woven
dan pemisah umumnya jenis gomembrane non-woven serta kombinasi
antara ke tiga fungsi tersebut.

79
2) Bahan Geogrid

Bahan geogrid yang juga merupakan kelompok bahan geosintetik yang


pada dasarnya merupakan sistim perkuatan untuk timbunan sehingga
difungsikan sebagai bahan yang dapat memberikan kontribusi kuat tarik.

Gambar 4- 12, Perkuatan tebing dengan Geogride

80
Gambar 4- 13, Perkuatan tebing dengan Reinforced soil structures

81
4.4 Aplikasi Perkuatan Bahan Geosintetik

Konstruksi jalan yang melalui tanah problematik termasuk lunak, ekspansif dan
gambut, umumnya memerlukan ketebalan lapisan pondasi dan kemantapan
tanah dasar yang baik. Untuk konstuksi jalan yang dibangun diatas timbunan
maka lapisan subgrade. Yang stabil diperlukan. Permasalahannya untuk
melakukan timbunan, daya dukung tanah problematik sangat kecil dengan sifat
kompresibilitas yang besar untuk itu diperlukan kemantapan timbunan untuk
memperoleh daya dukung lapisan tanah dasar yang cukup memadai dan stbil
agar tidak mengalami kerusakan seperti kedalaman alur perkerasan (rut depth).
Sebelum teknologi geosintetik ditemukan, untuk mendapatkan lapisan
subgrade yang stabil, maka beberapa alternatif dilakukan:
1) Dengan menggali tanah atau mendesak tanah problematik dan
menggantikannya dengan tanah yang lebih baik, atau
2) Dengan melakukan perbaikan tanah, misalnya dengan teknologi soil-
cement atau dengan mencampur tanah subgrade dengan batu kapur, dll.

Setelah geosintetik ditemukan dan diterapkan di lapangan bertujuan untuk


meningkatkan stabilitas lapisan konstruksi perkerasan jalan.

4.4.1 Perkuatan Lereng Timbunan

4.4.1.1 Ketentuan Implementasi Perkuatan

Lereng yang diperkuat dengan bahan geosintetik diantaranya pada pekerjaan-


pekerjaan sebagai berikut yang prinsipnya agar tercapai syarat geometrik jalan
m perlu ketinggian timbunan yang cukup (Gambar 4- 14):
1) Konstruksi timbunan jalan baru dengan keuntungan ekonomis diantaranya;
a) Lereng yang diperkuat dapat menghasilkan lereng stabil yang lebih
tegak dibandingkan dengan lereng tanpa perkuatan pada kondisi tanah
yang sama;

82
b) Mengurangi pemakaian lahan karena lereng dengan perkuatan dapat
lebih tegak;
c) Mengurangi volume bahan timbunan;
d) Memungkinkan digunakannya timbunan dengan kualitas yang lebih
rendah atau tanah setempat untuk kebutuhan keseimbangan volume
pekerjaan tanah.

Lereng Timbunan
yang diperkuat

ndai

Tanah Dasar Cukup stabil

Gambar 4- 14. Perkuatan Geosintetik / Geotekstil pada Jalan Baru dengan


ROW terbatas (Sumber: Elias dkk, 2001)

2) Pelebaran timbunan jalan lama dengan keuntungan ekonomis diantaranya


Gambar 4- 15;
a) Pelebaran timbunan jalan dapat dilakukan lebih lebar dari lereng awal
tanpa perkuatan tanpa melewati batas ruang milik jalan (ROW=Road of
Wide) yang tersedia;
b) Memungkinkan digunakannya timbunan dengan kualitas yang lebih
rendah atau tanah setempat untuk kebutuhan keseimbangan volume
pekerjaan tanah.

LERENG STABIL
TANPA PERKUATAN UNTUK PELEBARAN JALAN

83
Gambar 4- 15. Pelebaran Jalan dengan Perkuatan Geosintetik / geotekstil jenis
woven yang mempunyai sifat kekuatan tarik (Sumber: Elias dkk, 2001)
3) Perbaikan keruntuhan lereng timbunan agar dicapai ketinggian
dalam memenuhi persyaratan alinyemen jalan diantaranya (Gambar 4- 16);
a) Memungkinkan dicapainya ketinggian timbunan dengan perkuatan
geosintetik;
b) Kemiringan lereng timbunan menjadi stabil.

PENIMBUNAN ULANG
LONGSORAN DENGAN
SUDUT LERENG SEMULA

Gambar 4- 16. Aplikasi Lereng Tanah yang Diperkuat untuk perbaikan


keruntuhan lereng (Sumber: Elias dkk, 2001)

4.4.1.2 Kriteria Peningkatan Kapasitas Daya Dukung Tanah Dasar

Pemilihan sifat-sifat teknis tanah dasar harus difokuskan untuk penentuan daya
dukung, potensi penurunan, dan posisi muka air tanah. Penentuan
kapasitas daya dukung membutuhkan parameter kohesi (c), sudut geser
() dan berat isi () serta posisi muka air tanah. Untuk penentuan
penurunan tanah dasar diperlukan parameter koefisien konsolidasi (cv), nilai
parameter dari pengujian indeks, yaitu yang berhubungan dengan klasifikasi
dan batas konsistensi atterberg (LL, PL, SL dan PI).
Pemilihan kriteria tanah timbunan yang diperkuat harus mempertimbangkan
kinerja jangka panjang struktur, stabilitas masa konstruksi dan faktor
degradasi lingkungan yang terjadi terhadap perkuatan (Gambar 4- 17).

84
Perkuatan
geotekstil

Gambar 4- 17. Ilustrasi tanah timbunan yang diperkuat

Perkuatan lereng tanah dan secara mekanis selama ini hanyalah dengan
menggunakan tanah timbunan berbutir (non-kohesif) karena berhubungan
dengan distribusi tegangan internal, tahanan cabut dan bentuk bidang
keruntuhan yang mempunyai konsistensi signifikan dengan sifat-sifat teknis dari
jenis tanah tersebut.
Berdasarkan hal tersebut di atas, persyaratan timbunan yang diperkuat dengan
bahan geosintetik yang direkomendasikan adalah seperti diperlihatkan pada
yang dinyatakan dalam Table 4 - 7 dapat digunakan untuk tanah timbunan

85
yang ditahan, bukan tanah timbunan yang diperkuat.

Table 4 - 7. Rekomendasi Persyaratan untuk Timbunan yang Diperkuat


(Spesifikasi Umum Bina Marga, 2010)

Tanah timbunan harus dipadatkan hingga mencapai 95% berat isi kering (d)
pada kadar air optimum wopt, ( 2%) sesuai dengan SNI 03-1742-1989 Metode
Pengujian Kepadatan Ringan untuk Tanah (AASHTO T-99). Tanah kohesif
sebaiknya dipadatkan dengan ketebalan penghamparan 15 cm sampai dengan
20 cm, sedangkan tanah granular dipadatkan dengan ketebalan penghamparan
20 cm sampai dengan 30 cm.

Kisaran nilai sifat parameter indeks dan mekanis tanah yang dapat digunakan
sebagai acuan dalam menilai keandalan hasil pengujian tanah timbunan
diperlihatkan pada Table 4 - 8 (CUR, 1996) dan nilai-nilai untuk tanah merah
(laterit) diambil dari hasil pengujian laboratorium (Puslitbang Jalan dan
Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum, 2014).

Table 4 - 8. Kisaran Nilai Sifat-sifat parameter Indeks dan Mekanis Tanah

86
(CUR, 1996)

4.4.1.3 Konsep perencanaan

Persyaratan perencanaan untuk lereng yang diperkuat dengan bahan


geosintetik pada intinya sama dengan perencanaan lereng tanpa perkuatan
yang mensyaratkan faktor keamanan harus terpenuhi untuk jangka panjang
dan jangka pendek terhadap mode keruntuhan yang dapat terjadi. Tiga mode
keruntuhan yang dapat terjadi adalah (Gambar 4- 17):

1) Keruntuhan internal, dimana bidang keruntuhan memotong elemen


perkuatan;
2) Keruntuhan eksternal, dimana bidang keruntuhan melewati bagian
belakang dan di bawah massa tanah yang diperkuat;
3) Keruntuhan gabungan, dimana bidang keruntuhan melewati bagian
belakang dan juga memotong massa tanah yang diperkuat.

4.4.2 Pemilihan Prosedur perkuatan lereng tanah

Prosedur perencanaan lereng yang diperkuat dengan bahan geosintetik


ditunjukkan dengan bagan alir yang diperlihatkan pada Gambar 4- 17.
Langkah pertama adalah dengan mengontrol stabilitas eksternal yang

87
melakukan evaluasi parameter rencana perkuatan terhadap:

1) kekuatan izin
2) kriteria ketahanan (durabilitas)
3) interaksi tanah dan perkuatan
4) cek stabilitas lereng tanpa perkuatan

A
interna
l

Geosintetik
C umumn
ya
A

eksterna
l
Geogri
d

Gambar 4- 18. Moda Keruntuhan Lereng Tanah yang Diperkuat


Pada Gambar 4- 18 diperlihatkan stabilitas lereng timbunan yang terbagi
menjadi:

1) Stabilitas internal (A) yang dipengaruhi oleh sifat fisik karakteristik dari
properties tanah yang mencerminkan nilai kuat geser dan sudut geser
dalamnya dalam membentuk lereng yang stabil. Kondisi ini stabilitasnya
dapat terganggu terhadap sudut lerengnya dan ketinggiannya sehingga
perlu dilakukan perkuatan lereng dengan geosintetik.
2) Stabilitas external (B) yang dipengaruhi oleh kondisi perlapisan tanah
dibawah badan jalan dan umumnya berupa timbunan, sehingga
stabilitasnya dipengaruhi oleh karakteristik propertis yang mempengaruhi

88
nilai kuat gesernya dan kompresibilitasnya dari lapisan tanah tersebut yang
umumnya berupa endapan sedimen kuarter. Problem yang terjadi
disamping permasalahan penurunan juga permasalahan longsoran dalam.
Untuk mengatasi permasalahan ini khususnya longsoran lereng dalam
maka diperlukan teknologi yang perkuatan geosintetik sebagai perkuatan
tarik pondasi timbunan.
3) Stabilitas kombinasi (C) yang merupakan kombinasi gabungan dari
stabilitas internal (A) dan stabilitas external (B).

Dengan memperhatikan 3 konsep dasar perkuatan lereng timbunan dengan


geosintetik maka perlu dilakukan langkah prosedur yang diperlihatkan pada
Gambar 4- 19.

89
Geometrik
Konstruksi

Tetapkan persyaratan geometri, pembebanan dan kinerja untuk


perencanaan

Check Stabilitas Internal Timbunan tanpa perkuatan

Stabilitas Internal
Tentukan sifat-sifat teknis tanah di lapangan Memenuhi
Lakukan evaluasi parameter rencana perkuatan No

kekuatan izin
kriteria ketahanan (durabilitas) yes
interaksi tanah dan perkuatan

Check Stabilitas Internal dengan perkuatan

yes
Cek stabilitas lereng tanpa perkuatan
Stabilitas
Memenuhi
No

Rencanakan perkuatan yang menghasilkan kestabilan lereng

Check Stabilitas Internal tanpa / dengan perkuatan

Cek stabilitas eksternal


Keruntuhan
Keruntuhan Penurunan
Gelincir daya dukung Seismik (gempa)
dalam global tanah dasar
lokal

Evaluasi persyaratan pengendalian air bawah permukaan dan air permukaan

Buat spesifikasi dan dokumen kontrak

Gambar 4- 19. Tahapan Prosedur Perencanaan Stabilitas Lereng


Timbunan Tanah (Sumber: Elias dkk, 2001)

90
4.4.3 Prosedur Perencanaan Perkuatan Timbunan
Prosedur perencanaan dengan metode analisis tegangan total diperlihatkan pada
Gambar 4.19 sebagai berikut

Langkah 1: Tetapkan dimensi timbunan dan kondisi pembebanan.


A. Tinggi timbunan, H;
B. Panjang timbunan, L;
C. Lebar atas/puncak timbunan, W;
D. Kemiringan lereng, b/H; lihat Gambar 3.4.
E. Beban luar (beban tambahan atau surcharge, beban sementara, beban
dinamik atau beban lalu lintas);
F. Pertimbangan lingkungan (kembang susut, erosi, dan penggerusan)
G. Kecepatan tahap konstruksi (batasan proyek dan rencana kecepatan tahap
konstruksi).

Gambar 4.20 Simbol untuk Dimensi Timbunan

Untuk analisis stabilitas, Panduan Geoteknik 4 No Pt T-10-2002-B (DPU, 2002b)


memberikan panduan dalam menentukan beban lalu lintas berdasarkan kelas
jalan seperti diperlihatkan pada Tabel 3.1. Beban lalu lintas tersebut dimodelkan
sebagai beban merata yang harus diperhitungkan pada seluruh lebar permukaan
timbunan.

91
Beban lalu lintas tidak perlu dimasukkan dalam analisis penurunan pada tanah
lempung. Untuk gambut berserat pembebanan pada Tabel 4-9 harus
ditambahkan,dan diperhitungkan pada seluruh lebar permukaan timbunan.
Untuk kasus tanah dasar yang sangat lunak (cu antara 1-5 kPa), timbunan rendah
kurang dari 1m serta untuk jalan akses maka tidak diperlukan beban lalu lintas
dalam analisis stabilitas.

Tabel 4-9: Beban Lalu-lintas untuk Analisis Stabilitas


Fungsi Sistem Lalu Lintas Beban Lalu
Jaringan Harian Ratarata Lintas
(LHR) (kN/m2)
Arteri Semua 15
Primer Kolektor > 10.000 15
< 10.000 12
Arteri > 20.000 15
< 20.000 12
Kolektor > 6.000 12
Sekunder
< 6.000 10
Lokal > 500 10
< 500 10
Sumber: Panduan Geoteknik 4 No Pt T-10-2002-B (DPU, 2002b)

Langkah 2: Buat profil tanah dan tentukan sifat teknis tanah pondasi
A. Berdasarkan penyelidikan tanah pondasi tentukan:
1) Stratigrafi dan profil tanah pondasi
2) Lokasi muka air tanah (kedalaman, fluktuasi);
B. Sifat teknik tanah pondasi adalah sebagai berikut:
1) Kuat geser tak terdrainase (undrained) cu untuk kondisi jangka pendek
(akhir konstruksi);
2) Parameter kuat geser terdrainase (drained), c’ dan φ’, untuk kondisi jangka
panjang;
3) Parameter konsolidasi (Cc, Cr, cv, σp’);
4) Faktor kimia dan biologis yang dapat merusak perkuatan seperti daerah
tambang, pembuangan limbah dan daerah industri.
C. Variasi sifat tanah terhadap kedalaman dan sebaran daerah

92
Langkah 3: Tentukan sifat fisik tanah timbunan
A. Klasifikasi tanah;
B. Hubungan kadar air-kepadatan;
C. Kuat geser tanah timbunan (φ');
D. Faktor kimia dan biologis yang dapat merusak perkuatan.

Langkah 4: Tentukan faktor keamanan minimum dan kriteria penurunan


timbunan
Faktor keamanan minimum yang disarankan adalah:
A. Kapasitas daya dukung global: 1,5;
B. Stabilitas geser global (rotasional) pada akhir konstruksi: 1,3;
C. Stabilitas internal, jangka panjang: 1,5;
D. Pergerakan lateral (gelincir): 1,5;
E. Pembebanan dinamik: 1,1;
F. Kriteria penurunan timbunan: tergantung pada persyaratan proyek.

Langkah 5: Cek kapasitas daya dukung


A. Kasus apabila lapisan tebal tanah lunak jauh lebih besar daripada lebar
timbunan:
1) Hitung kapasitas daya dukung ultimit:
....
......………...................................................................... [4-1]

dengan pengertian :
qult = kapasitas daya dukung ultimit (kN/m2)
cu = kuat geser tak terdrainase/undrained (kN/m2)
Nc = faktor daya dukung =5.14 + 0.5 (B/D)
B = lebar dasar timbunan (m)
D = ketebalan rata-rata tanah lunak (m)

2) Hitung beban maksimum pada kondisi tanpa geosintetik:

93
................................................................................. [4-2]

dengan pengertian :
Pmax = beban maksimum (kN/m2)
γm = berat isi tanah timbunan (kN/m3)
H = tinggi timbunan (m)
q = beban merata (kN/m2)

3) Hitung faktor keamanan daya dukung (tanpa perkuatan geotekstil)1:


...............................................................................
[4-3]

dengan pengertian :
FKU = faktor keamanan daya dukung tanpa perkuatan

4) Hitung beban maksimum pada kondisi dengan geosintetik2:


..................................................................
[4-4]

dengan pengertian :
Pavg = beban maksimum pada kondisi dengan geosintetik (kN/m2)
Ag = luas penampang melintang timbunan (m2)
q = beban merata (kN/m2)
W = Lebar atas/puncak timbunan (m)
B = lebar dasar timbunan (m)

1 Apabila faktor keamanan telah memenuhi syarat, maka tidak diperlukan perkuatan geosintetik
2 Dengan adanya geosintetik, diasumsikan akan terjadi distribusi beban yang merata pada seluruh lebar
geosintetik

5) Hitung faktor keamanan daya dukung, FKR, (dengan perkuatan geotekstil):

94
................................................................................... [4-5]

B. Kasus apabila lapisan tanah lunak tidak terlalu tebal, lakukan analisis
peremasan (squeezing). Jika tebal lapisan tanah lunak (Ds) di bawah timbunan
kurang dari panjang lereng b, maka faktor keamanan terhadap keruntuhan
akibat peremasan dihitung dengan persamaan berikut:
.................................................... [4-6]

dengan pengertian :
cu = kuat geser tak terdrainase/undrained (kN/m2)
γm = berat isi tanah timbunan (kN/m3)
Ds = tebal tanah lunak di bawah timbunan (m)
β = sudut kemiringan lereng (derajat)
H = tinggi timbunan (m)

C. Jika faktor keamanan daya dukung telah memenuhi syarat, maka lanjutkan
pada Langkah 6. Jika tidak, pertimbangkan untuk memperlebar timbunan,
melandaikan lereng, menambah berm, melakukan konstruksi bertahap,
memasang drainase vertikal, atau alternatif lain seperti relokasi alinyemen
jalan atau menggunakan struktur jalan layang.

Langkah 6: Cek stabilitas terhadap geser rotasional


A. Lakukan analisis bidang keruntuhan rotasional pada timbunan yang tidak
diperkuat untuk menentukan bidang keruntuhan kritis dan faktor keamanan
(Gambar 3.5):

................................................................................. [4-7]

dengan pengertian :
FKU = faktor keamanan geser rotasional tanpa perkuatan
MD = momen pendorong (kN.m) = w. x

95
MR = momen penahan (kN.m) = (Στs.L).R

Gambar 4.21. Analisis Stabilitas Geser Rotasional Tanpa Perkuatan Geosintetik

B. Apabila faktor keamanan pada timbunan yang tidak diperkuat lebih besar
daripada nilai minimum yang disyaratkan, maka tidak dibutuhkan perkuatan.
Lanjutkan ke Langkah 7;
C. Apabila faktor keamanan lebih kecil daripada nilai minimum yang dibutuhkan,
maka hitung kekuatan geosintetik yang dibutuhkan (Tg) untuk memperoleh
factor keamanan yang ditargetkan (lihat Gambar 3.6):

................................................................... [4-8]

dengan pengertian :
Tg = kekuatan geosintetik yang dibutuhkan untuk stabilitas geser rotasional
(kN)
FKR = faktor keamanan terhadap geser rotasional yang ditargetkan
MD = momen pendorong (kN.m)
MR = momen penahan (kN.m)
R = jari-jari lingkaran (m)
θ = sudut antara garis tangen busur lingkaran dan garis horizontal (o)

β = sudut orientasi perkuatan geosintetik Tg dengan garis horizontal (o)

96
Gambar 4.22. Kekuatan Geosintetik yang Dibutuhkan untuk Stabilitas
Rotasional

Untuk menentukan nilai β, nilai perkiraan di bawah ini dapat


dipertimbangkan:
β=0 untuk tanah pondasi yang getas dan sensitif (contohnya lempung
marina yang terlindikan) atau jika suatu lapisan kerak permukaan
(crust) akan dipertimbangkan dalam analisis untuk meningkatkan daya
dukung
β= θ/2 untuk D/B < 0.4 dan tanah dengan kompresibilitas sedang hingga
tinggi (contohnya lempung lunak dan gambut)
β= θ untuk D/B ≥ 0.4 dengan tanah yang sangat kompresibel (contohnya
lempung lunak dan gambut); dan perkuatan dengan regangan
potensial (εrencana ≥ 10%) serta jika deformasi yang besar dapat
diijinkan.
β = 0 jika terdapat keraguan !

97
D. Kekuatan geosintetik yang dibutuhkan untuk stabilitas geser rotasional (Tg)
harus dinaikkan untuk memperhitungkan kerusakan saat pemasangan dan
durabilitas:
......................................................................... [4-9]

dengan pengertian:
Tg,ult = kekuatan geosintetik ultimit yang dibutuhkan untuk stabilitas geser
rotasional (kN)
RFID = faktor reduksi kerusakan saat instalasi; Nilainya bervariasi antara 1,05
sampai dengan 3,0, tergantung pada gradasi material timbunan dan
berat geosintetik per berat isi. Nilai minimum biasanya diambil 1,1;
RFD = faktor reduksi ketahanan terhadap mikroorganisme, senyawa kimia,
oksidasi panas dan retak tegangan (stress cracking). Nilainya
bervariasi antara 1,1 sampai dengan 2,0. Faktor reduksi minimum
adalah 1,1.

Langkah 7: Cek stabilitas terhadap pergerakan (gelincir) lateral


A. Lakukan analisis stabilitas pergerakan lateral atau analisis stabilitas gelincir
baji (Gambar 3.7);
B. Apabila faktor keamanan hasil perhitungan lebih besar daripada FK minimum
yang dibutuhkan, maka perkuatan untuk moda keruntuhan ini tidak dibutuhkan;
C. Apabila faktor keamanan tidak mencukupi, maka tentukan kekuatan geosintetik
yang dibutuhkan untuk stabilitas gelincir lateral, Tls (lihat Gambar 3.7);

...............................................................
[4-10]

dengan pengertian :

98
Tls = kekuatan geosintetik yang dibutuhkan untuk stabilitas gelincir lateral
(kN)
FKR = faktor keamanan pergerakan (gelincir) lateral yang ditargetkan
H = tinggi timbunan (m)

Γm = berat isi tanah timbunan (kN/m3)


q = beban (kN/m2)
b = lebar lereng timbunan (m)
ca = kohesi antara geosintetik-timbunan (kN/m2); ca sebaiknya diasumsikan
0 untuk tanah pondasi yang sangat lunak dan timbunan rendah.

(Sumber: Hotlz dkk, 1998)


Gambar 4.23. Putusnya Perkuatan dan Tergelincirnya Timbunan pada Tanah
Pondasi

D. Kekuatan geosintetik yang dibutuhkan untuk stabilitas gelincir lateral (Tls)


harus
dinaikkan untuk memperhitungkan kerusakan saat instalasi, rangkak dan
durabilitas:

........................................................ [3-11]

99
dengan pengertian:
Tls,ult = kekuatan geosintetik ultimit yang dibutuhkan untuk stabilitas geser
rotasional (kN);
RFCR = faktor reduksi rangkak, yaitu perbandingan kuat tarik puncak terhadap
kuat batas rangkak dari uji rangkak di laboratorium. Tabel 3.2
memperlihatkan rentang umum nilai RFCR untuk geosintetik berjenis
polimer;
RFID = faktor reduksi kerusakan saat instalasi; Nilainya bervariasi antara 1,05
sampai dengan 3,0 tergantung pada gradasi material timbunan, teknik
pemadatan, struktur produk dan berat geosintetik per berat isi. Faktor
reduksi minimum adalah sebesar 1,1 untuk mempertimbangkan
ketidakpastian pengujian.
RFD = faktor reduksi ketahanan terhadap mikroorganisme, senyawa kimia,
oksidasi panas dan retak tegangan (stress cracking). Nilainya
bervariasi antara 1,1 sampai dengan 2,0. Faktor reduksi minimum
adalah 1,1.

Tabel 4.10. Rentang RFCR Geosintetik Jenis Polimer (Holtz dkk, 1998)

E. Untuk kasus umum, tentukan kuat tarik rencana Td yang merupakan nilai
terbesar dari Tg,ult (persamaan 3.9) dan Tls,ult (persamaan 3.11);
F. Periksa gelincir di atas perkuatan (lihat Gambar 3.8).
..........

....................................................
[4-12]

100
dengan pengertian :
FK = faktor keamanan gelincir lateral timbunan di atas perkuatan
H = tinggi timbunan (m)

γm = berat isi tanah timbunan (kN/m3)


q = beban (kN/m2)
b = lebar lereng timbunan (m)
φsg = sudut geser antara geosintetik-timbunan (derajat); sebagai perkiraan
awal, asumsikan φsg = 2/3 φ.

(Sumber: Hotlz dkk, 1998)


Gambar 4-.24. Tergelincirnya Timbunan di atas Perkuatan

Langkah 8: Tetapkan persyaratan deformasi geosintetik yang diizinkan dan


hitung modulus perkuatan, J, berdasarkan uji tarik lebar (ASTM
D 4595).
Gunakan persamaan berikut untuk menghitung modulus perkuatan: geosintetik

……........................................................................ [4-13]

101
dengan pengertian:
J = modulus perkuatan (kN/m)
Tls, ult = kekuatan geosintetik ultimit yang dibutuhkan untuk stabilitas geser
rotasional (kN)
∈geosintetik = batas regangan (%)

Batasan regangan ∈ berdasarkan jenis tanah timbunan adalah:


- Tanah tak berkohesi: ∈geosintetik = 2% sampai dengan 5%
- Tanah berkohesi : ∈geosintetik = 2%

Batasan regangan untuk timbunan di atas gambut adalah:


- Gambut : ∈geosintetik = 2% sampai dengan 10%

Langkah 9: Tetapkan persyaratan kekuatan geosintetik pada arah


longitudinal timbunan (arah alinyemen timbunan).
A. Cek kapasitas daya dukung dan stabilitas geser rotasional di ujung timbunan
(Langkah 5 dan Langkah 6);
B. Gunakan kekuatan dan elongasi dari Langkah 7 dan Langkah 8 untuk
mengontrol penyebaran timbunan selama konstruksi serta penyimpangan pada
konstruksi selanjutnya;
C.Karena kekuatan sambungan yang tegak lurus terhadap alinyemen timbunan
menentukan syarat kekuatan, maka syarat kekuatan sambungan merupakan
nilai terbesar yang ditentukan dari Langkah 9A atau Langkah 9B.

Langkah 10: Tetapkan sifat geosintetik yang dibutuhkan.


A. Tentukan kekuatan tarik rencana dan elongasi rencana menurut ASTM D 4595
atau RSNI M-05-2005. Modulus geosintetik harus ditentukan dengan modulus
sekan yang didefinisikan dengan titik regangan nol dan titik batas regangan
rencana (dari Langkah 8);

102
B. Tetapkan kekuatan sambungan (T keliman) yang diukur dengan metode uji
ASTM D4884 atau ISO 10321:2008, yaitu sama dengan kekuatan yang
dibutuhkan pada arah memanjang timbunan;
C. Tentukan nilai gesekan antara tanah dengan geosintetik φsg berdasarkan
ASTM D5321 atau ISO 12957-1:2005 dengan menggunakan contoh tanah
setempat. Sebagai perkiraan awal, untuk tanah timbunan pasir dapat
asumsikan φsg = 2/3φ (φ adalah sudut geser tanah pasir). Untuk tanah
lempung, harus dilakukan pengujian pada situasi apapun;
D. Pilih persyaratan ketahanan dan kinerja konstruksi geosintetik berdasarkan
kondisi setempat.

4.4.4 Aplikasi Perkuatan Lereng Timbunan


Tahapan perencanaan lereng tanah timbunan yang diperkuat adalah sebagai
berikut:
1) Langkah 1: Tetapkan persyaratan geometri, pembebanan dan kinerja untuk
perencanaan (lihat Gambar 4- 16) meliputi :

a) persyaratan perencanaan geometri dan pembebanan meliputi:


i) Tinggi lereng, H;
ii) Sudut lereng, 
iii) Beban luar, terdiri dari:
(1) Beban tambahan, q, yaitu beban mati yang akan dipikul lereng,
misalnya bangunan gedung, jalan dsb di atas lereng timbunan;
(2) Beban hidup sementara, q;

(3) Percepatan gempa rencana, Am (merujuk ke SNI Gempa 03-33-


1992) dan magnitude Gempa (SNI 1726:2012, Tata Cara
Perencanaan Bangunan Tahan Gempa,
(4) Beban pembatas jalan (trafficbarriers)

b) Persyaratan kinerja:
i) Stabilitas eksternal dan penurunan;

(1) Geser horizontal massa tanah yang diperkuat terhadap tanah

103
dasar, FK  1,3;
(2) Keruntuhan eksternal, keruntuhan daya dukung dalam, FK  1,3;
(3) Keruntuhan daya dukung lokal (peremasan/squeezing lateral),
FK  1,3;
(4) Pembebanan dinamik, FK  1,1;

(5) Besaran dan kecepatan penurunan pasca konstruksi;

ii) Mode keruntuhan gabungan, FK  1,3;

iii) Stabilitas internal, FK  1,3.

2) Langkah 2: Tentukan sifat-sifat teknis tanah di lapangan Gambar 4- 20)


meliputi :
a) Tentukan profil tanah dasar dan tanah yang ditahan yaitu di bawah dan
di belakang zona yang diperkuat di sepanjang alinyemen lereng. Profil
dibuat setiap 30 m sampai 60m tergantung pada homogenitas profil
tanah dasar dan cukup dalam sehingga dapat dilakukan evaluasi
terhadap keruntuhan dalam. Kedalaman pengujian disarankan dua

kali dari tinggi lereng atau sampai tanah keras.

b) Untuk perbaikan lereng dan longsor, lakukan identifikasi penyebab


ketidakstabilan serta lokasi bidang keruntuhan yang telah terjadi
c) Ukur muka air tanah, dw, dan permukaan pisometrik (terutama untuk air
yang keluar dari permukaan lereng);
d) Tentukan parameter kuat geser untuk tanah dasar dan tanah yang
ditahan (cu, u atau c’ dan ’); berat isi (basah dan kering); parameter
konsolidasi Cc , Cr , dan cv dan p’.

104
Gambar 4- 25. Distribusi Pembebanan Stabilitas Lereng Timbunan

H = tinggi lereng (m)


 = sudut lereng (derajat)
Tr = kekuatan perkuatan (kN/m)
L = panjang perkuatan (m)
Sv = spasi vertikal perkuatan (m)
2
q = beban tambahan (kN/m )
q = beban hidup sementara (kN)

Am atau Mg = percepatan gempa rencana


m/det2)

dw = kedalaman muka air tanah dalam


lereng (m)
dwf = kedalaman muka air tanah dalam
tanah pondasi (m) cu dan c’ = kohesi tanah total dan
2
efektif (kN/m )

105
’ dan u = sudut geser dalam total dan efektif
(derajat)
b = berat isi tanah timbunan yang
3
ditahan (kN/m )
r = berat isi tanah timbunan yang
3
diperkuat (kN/m )
 = berat isi tanah pondasi
3
(kN/m )
p’, Cc, Cr, cv = parameter kon dasi
Ao 64 tanah
= koefisien percepatan 2
dasar (m/det )
g = percepatan gravitasi
2
(m/det )

3) Langkah 3: Tentukan sifat-sifat teknis timbunan yang diperkuat dan


timbunan yang ditahan (Gambar 4- 16) meliputi :

a) Gradasi ukuran butir dan indeks plastisitas;


b) Karakteristik pemadatan berdasarkan 95% berat isi kering maksimum d
berdasarkan SNI 03-1742-1989 Metode Pengujian Kepadatan Ringan
untuk Tanah (AASHTO T-99) dan ± 2% kadar air optimum.
c) Syarat tebal penghamparan;
d) Parameter kuat geser, cu , u atau c’, ’;
e) Komposisi kimiawi tanah (pH).

4) Langkah 4: lakukan evaluasi parameter rencana perkuatan meliputi:

a) Kuat tarik
T
T  al

T
ult
............................................... [4-1]
a FK RF.FK

Dimana:

Tal = kuat tarik jangka panjang per satuan lebar geosintetik (kN/m)

106
Tult = kuat tarik ultimit geosintetik (kN/m), diperoleh dari uji tarik pita lebar
(ASTM D 4595 atau RSNI M-05-2005) berdasarkan Nilai Gulungan
Rata-rata Minimum (Minimum Average Roll Value MARV)

RF = faktor reduksi = RFCR x RFID X RFD

FK = faktor keamanan = 1 karena faktor keamanan diperhitungkan dalam


analisis stabilitas

Karena FK=1, maka Ta = Tal dan kuat tarik jangka panjang geosintetik
dihitung dengan persamaan:

T
ult
T = 
T

ult ........................... [4-2]


al RF RF x RF x RF
CR ID D

Dimana : RFCR = faktor reduksi rangkak, yaitu perbandingan kuat tarik puncak
terhadap kuat batas rangkak dari uji rangkak di laboratorium. Table 4 - 9
memperlihatkan rentang nilai RFCR umum untuk geosintetik berjenis polimer.

RFID= faktor reduksi kerusakan saat instalasi; Nilainya bervariasi antara 1,05
sampai dengan 3,0, tergantung pada gradasi material timbunan, teknik
pemadatan, struktur produk dan berat geosintetik per berat isi. Faktor reduksi
minimum adalah sebesar 1,1 untuk mempertimbangkan ketidakpastian
pengujian.

RFD= faktor reduksi ketahanan terhadap mikroorganisme, senyawa kimia,


oksidasi panas dan retak tegangan (stress cracking). Nilainya bervariasi antara
1,1 sampai dengan 2,0. Faktor reduksi minimum adalah 1,1.

107
Table 4 - 9. Rentang RFCR Geosintetik Jenis Polimer (Elias dkk,
2001)

Jenis polimer RFCR


Poliester 1,6 – 2,5
Polipropilena 4,0 – 5,0
Polietilena 2,6 – 5,0

b) Tahanan cabut (pull out).


i) Gunakan: FKPO = 1,5 untuk tanah berbutir

i) Gunakan: FKPO = 2,0 untuk tanah kohesif

ii) Panjang pembenaman (embedment) minimum, Le = 1,0 m

5) Langkah 5: Cek stabilitas lereng tanpa perkuatan.

a) Lakukan evaluasi stabilitas tanpa perkuatan yang bertujuan untuk


menentukan apakah dibutuhkan perkuatan, sifat kritis perencanaan (yaitu
apakah faktor keamanan tanpa perkuatan lebih besar atau kurang dari 1
(<1)), masalah potensi keruntuhan dalam, dan panjang zona yang perlu
diperkuat;
b) Lakukan analisis stabilitas yang umum digunakan untuk menentukan faktor
keamanan tanpa perkuatan (FKU) dan momen pendorong untuk bidang-
bidang keruntuhan yang dapat terjadi;
c) Gunakan metode busur lingkaran dan bidang gelincir-baji, serta
pertimbangkan keruntuhan pada kaki lereng, permukaan lereng, dan
keruntuhan daya dukung dalam di bawah kaki lereng. Titik terminasi
(termination points) bidang keruntuhan harus berada di setiap zona
keruntuhan potensial tersebut;
d) Tentukan luas zona kritis yang perlu diperkuat;
e) Lakukan analisis untuk seluruh bidang keruntuhan potensial dengan faktor

108
keamanan kurang atau sama dengan target faktor keamanan lereng (atau
faktor keamanan tanpa perkuatan FKU ≤ target faktor keamanan FKR).
f) Gambarkan semua bidang keruntuhan pada penampang melintang lereng
(Gambar 4- 21);
g) Bidang keruntuhan yang memberikan faktor keamanan yang hampir sama
dengan target faktor keamanan akan memberikan batas zona kritis yang
perlu diperkuat (lihat Gbr. 4- 22).
h) Bidang keruntuhan kritis yang terjadi di bawah kaki lereng
mengindikasikan terjadinya masalah keruntuhan daya dukung dalam.
Untuk kasus ini, suatu analisis pondasi yang lebih rinci harus dilakukan.
Geosintetik dapat digunakan untuk memperkuat dasar timbunan dan untuk
membuat berm kaki sehingga stabilitas timbunan dapat meningkat.
Tindakan perbaikan pondasi lainnya juga harus dipertimbangkan.

Gambar 4- 26. Zona Kritis yang Memenuhi Target Faktor Keamanan


Berdasarkan Bidang Rotasi dan Gelincir(Sumber:
Elias dkk, 2001)

109
6) Langkah 6: Rencanakan perkuatan untuk mendapatkan lereng yang
stabil.

Tentukan gaya tarik maksimum perkuatan per satuan lebar perkuatan, Ts-
max, dari beberapa bidang keruntuhan potensial yang berada dalam zona
kritis dari Langkah 5.
iv) Sebagai catatan, faktor keamanan terkecil yang dihitung dari
Langkah 5 biasanya tidak memberikan nilai Ts terbesar (Ts-max);
v) bidang keruntuhan yang paling kritis adalah bidang keruntuhan yang
membutuhkan
nilai perkuatan Ts terbesar. Nilai Ts dihitung dengan persamaan
berikut (lihat Gambar 3.5):

…………………………………….…………………
…(4.3)

Dimana

Ts= jumlah gaya tarik yang dibutuhkan per satuan lebar perkuatan
di seluruh lapisan perkuatan yang memotong bidang keruntuhan
(kN/m);

MD = momen pendorong (kN.m) terhadap pusat rotasi


lingkaran keruntuhan D = adalah lengan momen
Ts terhadap pusat rotasi lingkaran keruntuhan.
= jari-jari lingkaran, R, untuk jenis perkuatan geosintetik
lembaran menerus (diasumsikan membentuk tangen
terhadap lingkaran) (m);

= jarak vertikal, Y, terhadap titik rotasi TS untuk jenis perkuatan elemen


terpisah atau jenis perkuatan pita. Asumsikan H/3 di atas lereng
untuk perhitungan awal yaitu asumsikan beraksi pada suatu bidang
horizontal yang memotong bidang keruntuhan pada H/3 di atas dasar
lereng

110
FKR = faktor keamanan dengan perkuatan

yang ditargetkan

FKU = faktor keamanan lereng tanpa perkuatan dari

Langkah 5.

Faktor keamanan dengan perkuatan: FKR = FKu + Ts.d/ MD

Gambar 4- 27. Pendekatan Geser Rotasional untuk Menentukan Kekuatan


Geosintetik yang Dibutuhkan (Sumber: Elias dkk, 2001)

4.4.5 Aplikasi untuk Perkuatan Dasar Timbunan

Aplikasi geotekstil yang dihamparkan sebelum bahan timbunan dilakukan


bila lapisan tanah lunak tidak terlalu tebal maka hal ini merupakan suatu
solusi sebagai filter dalam menerapkan penggantian material dengan
bahan timbunan terpilih, misalnya untuk lapisan tanah lunak atau gambut
atau tanah ekspansif yang ketebalannya hanya mencapai 2 sd 3 meter.

111
Penggantian material mempunyai fungsi utama adalah untuk memperoleh
lapisan tanah dasar sebagai daya dukung sistim konstruksi perkerasan
jalan yang memenuhi syarat yaitu CBR 6 % dan diperlihatkan pada
Gambar 4- 19.

Dikarenakan metode ini juga sifatnya merupakan metode pendesakan


lapisan tanah lunak yang umumnya berupa lumpur maka bahan geotekstil
dapat digunakan. Geotekstil yang digunakan adalah jenis “non-woven”
yang bersifat sebagai filter tetapi juga mempunyai kekuatan tarik karena
dikhawatirkan sobek saat pemasangan.

Untuk tanah problematik seperti tanah ekspansif yang tidak terlalu dalam
maka penggantian material dengan cara digali dan diganti dengan
membungkus menggunakan bahan geotekstil dengan sifat pemisah dapat
dilakukan seperti diperlihatkan pada Gambar 4- 23, baik untuk timbunan
jalan maupun pondasi bangunan.

Gambar 4- 28. Teknologi Penggantian Material dengan Geotekstil

112
1. Timbunan

2.Pondasi
Bangunan

Tanah keras

Gambar 4- 29. Teknologi Penggantian Material untuk Tanah Ekspansif


yang dangkal dengan Geomembrane

4.4.6 Distribusi Beban pada Subgrade (Tanah Dasar)

Di dalam konstruksi jalan, ketebalan badan jalan (lapisan base dan subbase)
pada dasarnya ditentukan oleh besarnya beban kendaraan yang harus dipikul
dan kekuatan tanah dasar (subgrade) dari jalan. Berdasarkan konsep

113
sebaran beban, beban roda dipermukaan jalan disebarkan oleh badan jalan
(lapisan base dan sub-base) ke tanah dasar (subgrade), dan tekanan yang
terjadi di permukaan tanah dasar (subgrade)
… adalah sbb:

………………………………………..(4.5)

Dimana:

Beban total yang bekerja di permukaan subgrade adalah kombinasi dari beban
mati berupa, berat konstruksi jalan plus beban hidup yang timbul dari tekanan
ban. Dengan demikian beban total yang bekerja dipermukaan subgrade
adalah:

… ……………………………………………………………... (4.6)

Dimana:

Dengan demikian, bilamana berat isi base dan sub-base berbeda diketahui,
maka tentunya formula (4.6) diatas harus disesuaikan dengan mengambil
berat isi dan ketinggian masing- masing lapisan untuk menghitung berat

114
sendiri konstruksi jalan.

Gambaran dari distribusi beban dan penyebarannya diperlihatkan pada


Gambar 4- 25. Tekanan beban Roda Pada Perkerasan Jalan dan Gambar 4-
26. Sebaran Distribusi Beban Melalui Badan Jalan ke Tanah Dasar
Gambar 4-30. Tekanan beban Roda Pada Perkerasan Jalan

Pw

Subgrade /
Timbunan
Tanah Lunak

Gambar 4- 31. Sebaran Distribusi Beban Melalui Badan Jalan ke


Tanah Dasar

115
Bilamana tanah subgrade berupa tanah lempung dan lanau lunak, maka dalam
kondisi undrained, daya dukung ijin subgrade diperhitungkan sbb:

…………………………………………….………….(4.7)

Dimana:

Untuk konstruksi jalan tanpa menggunakan geosintetik, ketinggian konstruksi


jalan (lapisan base dan subbase serta timbunan pilihan) dapat dihitung dengan
menyamakan persamaan (4.6) dengan (4.7).

4.4.6.1 Pemanfaatan Perkuatan Getekstil

Untuk geotekstil (yang berbentuk lembaran), beban kerja menimbulkan


deformasi pada geotekstil. Deformasi ini menyebabkan geotekstil tertarik dan
reaksi berupa gaya tarik pada geotekstil. Komponen vertikal dari gaya tarik
geotekstil, Fvg, ini mengeliminasi sebagian beban yang bekerja, dengan
demikian gaya yang harus dipikul subgrade menjadi lebih kecil dan ketebalan
konstruksi jalan dapat dikurangi. Mekanisme kerja pada perkuatan dengan
geotekstil ini dikenal dengan nama efek kurva (curvature effect) atau juga
dikenal dengan nama efek membran diperlihatkan pada . Gambar 4- 27.
Distribusi beban dan gaya reaksi pada geotekstil

Gambar 4- 32. Distribusi beban dan gaya reaksi pada geotekstil

116
Tanpa analisa dengan menggunakan metoda elemen hingga sangat sulit untuk
memperkirakan besarnya deformasi yang terjadi pada geotekstil dan otomatis
sulit untuk memperkirakan besarnya gaya Fvg Geotekstil, Koerner, (2005)
merekomendasikan pendekatan sebagai berikut:

……………………………………………………..
(4.8)

Dimana:

Ketebalan lapisan base dan sub-base dengan menggunakan perkuatan


geotekstil ini kemudian dihitung dengan menyamakan persamaan di atas
sebagai berikut:

………………………………………………………..……
(4.9)

Yaitu : persamaan (4.7) = (4.6) – (4.8) sehingga mendapatkan persamaan


sebagai berikut:

…………..(4.10)

Dari persamaan (4.10) selanjutnya Giroud dan Noiray, membuat desain chart
seperti diperlihatkan dalam , dengan ketentuan penjelasan sebagai berikut:

117
Dimana:

ho’ = ketebalan lapisan aggregate atau lapisan base dan sub-base bila
tanpa geotekstil Δh = ketebalan lapisan aggregate (lapisan base dan
sub-base)
Cu = S = Kuat geser undrained subgrade

CBR = Nilai CBR (California Bearing


Ratio) subgrade E = Modulus
kekakukan geotekstil
uε = Regangan Geotekstil
N = jumlah lintasan kendaraan

Gambar 4- 33. Desain Chart untuk Konstruksi Jalan dengan Perkuatan


Geotextile (contoh: untuk beban gandar = 80 kN;
tekanan angin roda = 480kPa; maka kedalaman alur
(ruth depth) = 0.3m))

118
4.4.6.2 Perkuatan dengan geogrid
Mekanisme kerja geogrid sebagai perkuatan jalan berbeda dengan cara kerja
geotekstil. Geogrid yang berbentuk lembaran seperti jaring – jaring bekerja
lebih kurang dengan cara seperti ditunjukkan dalam Gaya yang bekerja
diterima lapisan aggregate.

Gambar 4- 34. Gaya yang bekerja diterima lapisan aggregate


Lapisan aggregate yang menerima gaya dari beban kendaraan akan
berdeformasi, terdorong ke arah vertikal dan lateral. Pergerakan lateral
aggregate yang terjebak dalam jaring-jaring geogrid tertahan oleh kekuatan
jaring-jaring geogrid tersebut. Mekanisme ini dikenal dengan nama
“confinement effect”. Disamping confinement effect tersebut juga ada efek
membrane sebagaimana pada geotekstil. Mekanisme kerja perkuatan geogrid
ini amat kompleks dan sulit dikuantifikasi secara matematis. Karena itu, hingga
saat ini desain perkuatan jalan dengan geogrid ini pada umumnya didasarkan
atas percobaan laboratorium ataupun percobaan lapangan. Penggunaan
desain chart pada Gambar 4- 30 didasarkan atas percobaan dengan
menggunakan georid tertentu, jadi tidak dapat diaplikasikan begitu saja untuk
geogrid jenis.

119
Gambar 4- 35. Contoh Desain Chart Perkuatan Geogrid HDPE (Carroll et
al, 1989)

4.4.6.3 Perbandingan perkuatan dasar timbunan dan geogrid

Bila diperhatikan dari uraian sebelumnya terhadap distribusi penyebaran gaya


akibat beban yang bekerja maka tanah dasar yang diperkuat dengan geogrid
lebih baik dari pada geotekstil karena perilaku kekakuannya walaupun
keduanya mempunyai kuat tarik yang hampir sama lihat Gambar 4- 31.

120
Gambar 4- 36. Contoh Desain Penerapan Perkuatan Geogrid HDPE (Carroll
et al, 1989)

4.5 RANGKUMAN
Prinsip Penanggulangan Tanah Problematik perlu dilakukan dengan
mempelajari keberadaannya dan penerapannya apakah sebagai pondasi
perkerasan jalan yang mempunyai batasan dan disyaratkan dalam
spesifikasi umum Bina Marga pada divisi 3 tentang pekerjaan tanah yang
mensyaratkan CBR terhadap kemantapan kondisi subgrade.
Pada Bab ini juga menjelaskan keberadaan subgrade sesuai dengan
standar jalan menurut Undang-Undang Jalan yang menyaratkan harus
dapat mendukung baik secara fungsionalitasnya maupun struktur
kekuatanya.
Disamping itu pada Bab ini juga beberapa teknologi untuk memperoleh
kondisi lapisan tanah dasar atau subgrade yang dapat mendukung
stabilitas konstruksi jalan dan untuk itu beberapa teknologimperkuatan
yang perkuatan yang diperlukan juga dijelaskan.

4.6 LATIHAN
Untuk keperluan latihan dapat diberikan permasalahan yang
berhubungan dengan bab-bab yang terdapat dalam modul ini.

121
PENUTUP

Permasalahan konstruksi jalan yang dibangun pada tanah problematik terdapat


beberapa permasalahan yang pada dasarnya harus dapat mendukung
ketentuan yang disyaratkan berdasarkan undang-undang jalan yaitu agar dapat
mendunjang fungsionalitasnya serta mempunyai kekuatan struktural yang
memdai sehingga aspek nyaman, aman dan kuat dapat terpenuhi.

Permasalahan tanah problematik sudah cukup jelas disebutkan dalam


spesifikasi umum Bina Marga bahwa tidak boleh digunakan sebagai pondasi
dalam mendukung konstruksi jalan baik sebagai lapisan tanah dasar maupun
sbagai lapisan yang dapat mendukung stabilitas konstruksi jalan secara total.

Dalam bab ini di uraikan keberadaan tanah problematic yang difungsikan


sebagai subgrade sesuai dengan standar jalan menurut Undang-Undang Jalan
yang menyaratkan harus dapat mendukung baik secara fungsionalitasnya
maupun struktur kekuatanya. Disamping itu juga beberapa teknologi untuk
memperoleh kondisi lapisan tanah dasar atau subgrade yang dapat
mendukung stabilitas konstruksi jalan dibahas beberapa teknologi perkuatan
yang diperlukan dalam mengatasi keruntuhan lereng lereng baik dangkal
maupun lereng dalam seperti penggunaan bahan geosintetik pada lereng
timbunan dan dasar timbunan.

122
DAFTAR PUSTAKA

1. AASHTO (1988), Manual on Subsurface Investigations, American


Association of State Highway and Transportation Officials, Washington,
DC, USA.
2. Arie Syahruddin S, PENGUJIAN DAYA DUKUNG PERKERASAN JALAN
DENGAN DYNAMIC CONE PENETROMETER (DCP) SEBAGAI
STANDAR UNTUK EVALUASI PERKERASAN JALAN
3. ASTM Standards (1994), Section 4, Construction : Volumes 04.08 and
04.09, Soils and Rock, American Society for Testing and Materials,
Philadelphia,USA.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (1999), Daftar
IstilahStandar Bidang ke-PU-an, Tahun Anggaran 1998/1999,
Departemen PekerjaanUmum, Jakarta, Indonesia.
5. Barksdale R.D., Brown F.S. and Chan F. (1989), Potential Benefits of
Geosynthetics in Flexible Pavement Systems, Report 315, Transportation
Research Board, Washington DC, USA.
6. Bina Marga (2010), Spesifikasi Umum Pekerjaan Jalan dan Jembatan,
Jakarta
7. Bowles, J. E. 1989, Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika
Tanah) Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta
8. BS 1377 (1990), Methods of Test for Soils for Civil Engineering Purposes,
Parts 1-9, British Standards Institution, London, UK.
9. BS 5930 (1981), Code of Practice for Site Investigation, British Standards
Institution, London, UK.
10. BS 8006 (1995), Code of Practice for Strengthened/Reinforced Soils and
OtherFills, British Standards Institution, London, UK.
11. BSN Pedoman No.8-2000 (Mei 2000), Penulisan Standar Nasional
Indonesia, Badan Standardisasi Naional.

123
12. Carrol R.G. Jr, Walls J.G. and Haas R. (1987), Granular Base
Reinforcement of Flexible Pavements Using Geogrids, Proc.of the
Geosynthetics ’87 Conference, IFAI, 1987, pp. 46- 57.
13. Das Braja M. 1995, Mekanika Tanah, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta
14. Direktorat Jenderal Bina Marga (1983), Manual Penyelidikan Geoteknik
untukPerencanaan Fondasi Jembatan, Badan Penerbit Departemen
Pekerjaan Umum,Jakarta, Indonesia.
15. Direktorat Jenderal Bina Marga (1992), Manual Desain Jembatan (Draf),
Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, Indonesia.

16. Direktorat Jenderal Bina Marga (1994), Perencanaan Geometrik Jalan


antarKota, Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta,
Indonesia.
17. Djoko Untung Soedarsono, 1979, Konstruksi Jalan Raya, Pekerjaan Umum,
Jakarta
18. DPU. 2009. Pedoman Konstruksi dan Bangunan: Perencanaan dan
Pelaksanaan Perkuatan Tanah dengan Geosintetik, No. 003/BM/2009.
Departemen Pekerjaan Umum (DPU), Indonesia.
19. Eddie Sunaryo, M, Ph D (2010 - 2014); Paparan Bahan Ajar Pembekalan
Teknis untuk Perencana dan Pengawas Lapangan, P2 JN Propinsi Aceh
20. Eddie Sunaryo, M, Ph D (2015); Paparan Bahan Ajar Pembekalan Teknis
untuk Perencana dan Pengawas Lapangan, P2 JN Propinsi Aceh
21. FHWA-NHI-10-024&FHWA-NHI-10-025.2009. Design and Construction of
Mechanically Stabilized Earth Walls and Reinforced Soil Slopes – Volume I
& II. National Highway Institute.
22. Giroud J.P. and Noiray L. (1981), Design of Geotextile Reinforced unpaved
Roads, Journal of Geotechnical Engineering, ASCE, vol. 107, no. GT9,
September 1981, pp. 1233-1254.
23. Gouw Tjie-Liong, Konsep Desain Geosynthetics Untuk Konstruksi Jalan
(Geosynthetics Design Concept for Road Construction), Seminar on “Road
Construction in Indonesia with Special Reference to the Role of

124
Geosynthetics”, Organised by Indonesian Chapter of IGS on 6 th April
2006.
24. Indria Eklesia Pokaton, Oscar Hans Kaseke dan Lintong Elisabeth,
Pengaruh Kandungan Material Plastis Terhadap Nilai CBR Lapis Pondasi
Agregat Kelas‒S, thesis Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik
Jurusan Sipil Manado
25. ISO/IEC (1999), International Standard ISO/IEC 17025: 1999 (E),
GeneralRequirements for the Competence of Testing and Calibration
Laboratories, TheInternational Organization for Standardization and the
International Electrotechnical Commission, Geneva, Switzerland.
26. ISSMFE (1981), International Manual for the Sampling of Soft Cohesive
Soils, The Sub- Committee on Soil Sampling (ed), International Society for
Soil Mechanics and Foundation Engineering, Tokai University Press, Tokyo,
Japan.
27. Japanese Standards Association (1960), Method of Test for Consolidation
of Soils, Japanese Industrial Standard JIS A 1217-1960.
28. Japanese Standards Association (1977), Method of Unconfined
Compression Testof Soil, Japanese Industrial Standard JIS A 1216-1958
(revised 1977).
29. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga “Spesifikasi
Umum 2010”
30. Koerner R.M. (2005), Designing With Geosynthetics, 5 th Edition, Pearson
Prentice Hall, New Jersey, USA

31. Koerner, Robert M. 2005. Designing with Geosynthetic, 5th Edition.


Pearson Prentice Hall, Pearson Education, Inc. Amerika.
32. Media Teknik No. 2 Tahun XVII (1995), Tata Istilah Teknik Indonesia, No.
ISSN 0216-3012.
33. NAVFAC (1971), Design Manual: Soil Mechanics, Foundations and
EarthStructures, Dept of Navy, USA.
34. Pusat Litbang Prasarana Transportasi Bandung, Guideline
RoadConstruction over Peat and Organic Soil, Draft Version 4.0/4.1,

125
Ministry ofSettlement and Public Infrastructure of the Republic of Indonesia
in co-operation with The Ministry of Transport, Public Works and Water
Management (Netherlands), January 2001.
35. Puslitbang Geologi Bandung (1996), Peta Geologi Kuarter Lembar
Semarang,Jawa,5022-II.
36. Richardson H.H. et al (1988), Soil Mechanics in Engineering Practice,
Report 1188, Transportation Research Board, Washington DC, USA
37. Shukla, S.K., dan Yin, J.H. 2006. Fundamentals of Geosynthetic
Engineering. Taylor & Francis/Balkema. Belanda.
38. SNI (1990), Metoda Pengukuran Kelulusan Air pada Tanah Zona Tak
Jenuhdengan Lubang Auger, SK-SNI-M-56-1990-F, Dewan Standardisasi
Nasional.
39. SNI (1999), Metoda Pencatatan dan Interpretasi Hasil Pemboran Inti, SNI
03-2436 – 1991, Dewan Standardisasi Nasional.
40. SNI (1999), Metoda Pengujian Lapangan Kekuatan Geser Baling, SNI 06-
2487 – 1991, Dewan Standardisasi Nasional.
41. SNI 03-4153-1996, Metode pengujian penetrasi dengan standar penetration
tests (SPT) Overseas Road Note 31 (1993).
42. SNI(1999), Metoda Pengujian Lapangan dengan Alat Sondir, SNI 03- 2827
– 1992, Dewan Standardisasi Nasional.
43. Sukirman S. 1992, Perkerasan Lentur Jalan Raya, Bandung
44. Transport Research Laboratory. United Kingdom Austroads (1992). A guide
to the structural design of bitumen-surfaced roads in tropical and sub-
tropical countries. Pavement Design. A Guide to the structural design of
roads pavements.
45. TRB TRB Subject Code:62-7 Soil Foundation Subgrades February 2003,
Publication No.: FHWA/IN/JTRP-2002/30, SPR-2362, Dynamic Cone
Penetration Test (DCPT) for Subgrade Assessment
46. Wesley L. D. 1977, Mekanika Tanah, Badan Penerbit Pekerjaan Umum,
Jakarta

126

Anda mungkin juga menyukai