Saib Suwilo
Departemen Matematika
Universitas Sumatera Utara
USU Press
Art Design, Publishing & Printing
Gedung F
Jl. Universitas No.9, Kampus USU
Medan, Indonesia
ii
Kata Pengantar
P embuatan Buku ini didorong oleh dua hal pokok. Yang pertama
adalah kurangnya bahan bacaan dalam bahasa Indonesia yang terse-
dia dalam bidang ini. Kedua, kekurangmampuan mahasiswa dalam
membaca dan memahami buku-buku teks yang berbahasa asing.
Materi yang terkandung dalam buku ini dimaksudkan sebagai
materi dalam kuliah ALjabar Abstrak. Materi dirancang sehingga
cukup diberikan dalam satu semester, dengan asumsi bahwa para
mahasiswa telah memperoleh dasar-dasar teori himpunan dan logika
matematika, aljabar linier dan bilangan kompleks. Materi disusun
mengikuti pola pengenalan definisi dan kemudian diberikan dalil-
dalil singkat baik berupa lemma maupun teorema, dan di akhir se-
tiap bab diberikan soal-soal latihan untuk lebih memahami konsep-
konsep yang telah dibicarakan pada bab tersebut. Untuk memu-
dahkan pengertian terhadap konsep, kepada setiap definisi yang diper-
kenalkan diberikan contoh aktualnya, demikian juga untuk mem-
berikan pemahaman yang baik bagi teorema-teorema yang diberikan
juga dilengkapi dengan contoh-contohnya. Pada setiap akhir dari su-
atu bukti diberikan tanda dan pada akhir setiap contoh diberikan
tanda ¤.
Materi buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama
mengandung konsep dasar matematika yang dibutuhkan untuk mema-
hami konsep Aljabar Abstrak. Konsep dasar dicakup dalam Bab
1 dan 2. Bagian kedua berisi materi tentang grup yang tercakup
dari Bab 3 hingga Bab 12, dan bagian ketiga berisi pengantar teori
gelanggang yang tercakup dari Bab 13 hingga Bab 17. Materi pada
iii
buku ini sebaiknya diberikan secara berurutan dimulai dari Bab 1
hingga Bab 17. Hal ini disebabkan materi yang dikandung dalam
setiap bab sangat berpengaruh pada materi-materi ang disajikan
pada bab-bab sebelumnya, dengan pengecualian Bab 8 dan Bab 9
dapat diberikan tanpa mengikuti urutan. Bab 1 secara khusus men-
cakup teknik-teknik pembuktian baku yang sangat diperlukan pada
bab-bab selanjutnya. Bab 2 memperkenalkan konsep-konsep dasar
seperti relasi, fungsi dan konsep bilangan bulat yang sangat berguna
pada bab-bab selanjutnya. Bab 3 berisikan konsep operasi biner dan
sifat-sifatnya yang merupakan konsep dasar bagi pengenalan grup.
Bab 4 dan Bab 5 mengandung pembahasan yang terperinci tentang
grup dan subgrup. Pada Bab 6 diperkenalkan grup siklik. Bab 7
berisikan konsep tentang kesamaan struktur aljabar. Pada bab ini
dibicarakan grup-grup yang mempunyai struktur aljabar yang sama.
Pada Bab 8 dan Bab 9 diperkenalkan grup baru, masing-masing grup
permutasi dan perkalian langsung luar dari beberapa grup. Bab 10
dan Bab 11 membahas konsep kosep dari grup koset, serta konsep-
konsep dasar yang berhubungan dengan koset seperti subgrup normal
dan teorema Lagrange. Bab 12 mencakup konsep homomorfisma dan
akibat-akibatnya. Pada Bab 13 hingga Bab 17 diperkenalkan kon-
sep struktur aljabar dengan dua operasi biner. Pada Bab 13 hingga
Bab 15 dibahas kembali hasil-hasil yang telah diperoleh pada struk-
tur aljabar dengan satu operasi biner. Pada Bab 16 dan Bab 17
diperkenalkan konsep gelanggang polinomial.
Selesainya buku ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan rasa terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan buku ini.
Kepada Sdr Sutarman dan Mardiningsih atas jerih payahnya untuk
mengkoreksi naskah buku ini. Kepada teman-teman yang tergabung
di Departemen Matematika USU atas dorongannya. Kepada seluruh
mahasiswa matematika, karena merekalah buku ini ada. Rasa terima
kasih juga ditujukan kepada pihak USU Press. Atas kerjasamanya
buku ini dapat diterbitkan.
Saib Suwilo
iv
Daftar Isi
Daftar Isi v
1 Metode Pembuktian 1
1.1 Pembuktian Langsung . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Pembuktian dengan Kontrapositif . . . . . . . . . . . . 5
1.3 Bukti dengan Kontradiksi . . . . . . . . . . . . . . . . 7
1.4 Bukti yang melibatkan Kuantifier . . . . . . . . . . . . 9
1.5 Induksi Matematika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
1.6 Teknik-teknik Khusus . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
1.7 Soal-Soal Latihan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
3 Operasi Biner 33
3.1 Pengertian Operasi Biner . . . . . . . . . . . . . . . . 33
3.2 Sifat-sifat Operasi Biner . . . . . . . . . . . . . . . . . 36
3.3 Tabel Dari Operasi Biner . . . . . . . . . . . . . . . . 40
3.4 Soal-Soal Latihan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
4 Pengantar Grup 45
4.1 Pengertian Grup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45
4.2 Sifat-Sifat Grup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 52
v
4.3 Grup Hingga . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 56
4.4 Soal-Soal Latihan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59
6 Grup Siklik 75
6.1 Orde Dari Suatu Unsur . . . . . . . . . . . . . . . . . 75
6.2 Grup Siklik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 79
6.3 Soal-Soal Latihan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 85
7 Isomorfisma 87
7.1 Definisi dan Contoh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 87
7.2 Sifat-Sifat Isomorfisma . . . . . . . . . . . . . . . . . . 92
7.3 Soal-Soal Latihan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 96
8 Grup Permutasi 99
8.1 Pengertian Grup Permutasi . . . . . . . . . . . . . . . 99
8.2 Notasi Lingkaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 109
8.3 Soal- Soal Latihan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 116
vi
12 Homomorfisma Grup 151
12.1 Definisi dan Sifat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 151
12.2 Teorema-teorema Isomorfisma . . . . . . . . . . . . . . 158
12.3 Soal-soal Latihan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 162
Indeks 241
vii
Bab 1
Metode Pembuktian
1
2 Bab 1: Metode Pembuktian
• perlihatkan bahwa bilangan yang satu lebih kecil dari yang lain
dan sebaliknya, dalam kasus ini perlihatkan x ≤ z dan x ≥ z,
atau
Catatan
Pada Seksi 1.1 telah kita diskusikan kecanggihan dari metode pem-
buktian langsung dengan teknik “maju-mundur”, namun demikian
metode ini tidak terlepas dari kelemahan. Kesulitan dalam peng-
gunaan metode pembuktian langsung terutama terjadi bila hipotesis
tidak memberikan informasi yang cukup untuk menjawab bagaimana
memperlihatkan kesimpulan adalah benar. Sebagai contoh perhatikan
persoalan berikut.
Berikut adalah bukti formal dari Proposisi 1.2.1. Pada bukti ini
proses kita lakukan dengan menggunakan informasi yang ada pada
hipotesis untuk untuk mendapatkan kesimpulan yang diinginkan.
yakni
n+1
X
k = n(n + 1)/2 + (n + 1)
k=1
= n(n + 1)/2 + 2(n + 1)/2
= (n + 1)(n + 2)/2
= (n + 1)(n + 1 + 1)/2.
Jadi n + 1 ∈ S.
P
Sekarang kita dapat simpulkan bahwa S = N, yakni nk=1 k = n(n +
1)/2 adalah benar untuk semua bilangan bulat n ≥ 1.
Sehingga
P n + 1 ∈ S. Oleh prinsip induksi kita dapat menyimpulkan
bahwa nk=1 k = n(n + 1)/2 untuk semua n ≥ 1.
1.7 Buktikan bahwa bila x dan y adalah bilangan riil, maka nilai
dari max{x, y} + min{x, y} = x + y. Gunakan bukti dengan
kasus.
P ada bab ini kita akan mempelajari beberapa konsep dasar yang
sangat penting bagi diskusi kita pada bab-bab selanjutnya. Konsep-
konsep tersebut adalah konsep relasi ekivalensi, fungsi atau pemetaan,
dan bilangan bulat. Tentu saja bagian ini dapat dilewatkan oleh para
pembaca yang sudah terbiasa terhadap konsep-konsep tersebut di
atas.
Kita mulai diskusi kita pada bagian ini dengan memperkenalkan is-
tilah relasi dan relasi ekivalensi.
19
20 Bab 2: Relasi, Fungsi dan Bilangan Bulat
Contoh 2.1.2
Andaikan S = {a, b, c, d}. Himpunan
Contoh 2.1.4
Relasi ”=” atas himpunan bilangan bulat adalah suatu relasi eki-
valensi. Untuk setiap bilangan bulat a ∈ Z, tentu saja a = a. Se-
hingga “=” adalah refleksif. Bila a, b ∈ Z sehingga a = b, maka b = a.
Hal ini menyatakan bahwa relasi “=” adalah simetrik. Untuk setiap
a, b, c ∈ Z, kita ketahui bahwa bila a = b dan b = c, maka a = c.
Yakni, relasi “=” adalah transitif. Jadi relasi “=” atas himpunan
bilangan bulat Z adalah suatu relasi ekivalensi. ¤
Contoh 2.1.5
Kita perhatikan himpunan bilangan bulat Z. Pada himpunan bilan-
gan bulat Z kita definisikan relasi R atas Z dengan (a, b) ∈ R jika
a + b adalah bilangan genap. Perlihatkan R adalah relasi ekivalensi.
Untuk setiap bilangan bulat a ∈ Z, a + a adalah bilangan genap.
Sehingga (a, a) ∈ R. Jadi R adalah relasi refleksif. Andaikan a, b ∈ Z
sehingga (a, b) ∈ R. Maka a + b adalah bilangan genap. Tetapi
a + b = b + a sehingga b + a adalah bilangan genap, karenanya
(b, a) ∈ R. Yakni R adalah simetrik. Selanjutnya, jika (a, b) ∈ R dan
(b, c) ∈ R, maka a + b adalah genap dan b + c adalah genap. Hal ini
berakibat
a + c = (a + b) + (b + c) − 2b
adalah bilangan genap. Sehingga (a, c) ∈ R. Jadi R adalah relasi
transitif. Karena relasi R adalah refleksif, simetrik dan transitif,
maka R adalah relasi ekivalensi atas Z. ¤
Kelas ekivalensi dari Z yang mengandung unsur 0 adalah
Dengan cara yang sama kita peroleh kelas ekivalensi dari Z yang
mengandung 1 adalah
Contoh 2.1.7
Salah satu partisi dari himpunan bilangan bulat Z adalah himpunan
22 Bab 2: Relasi, Fungsi dan Bilangan Bulat
Contoh 2.1.9
Bila kita perhatikan relasi ekivalensi yang kita definisikan pada Con-
toh 2.1.5, maka Z = [0] ∪ [1]. ¤
Contoh 2.2.3
Misalkan φ dan ϕ adalah pemetaan dari himpunan bilangan riel R ke
R itu sendiri, yang didefinisikan oleh (x)φ = 2x + 3 dan (x)ϕ = x + 1,
untuk semua x ∈ R maka
(x)(φ ◦ ϕ) = ((x)φ)ϕ = (2x + 3)ϕ = (2x + 3) + 1 = 2x + 4
dan
(x)(ϕ ◦ φ) = ((x)ϕ)φ = (x + 1)φ = 2(x + 1) + 3 = 2x + 5.
24 Bab 2: Relasi, Fungsi dan Bilangan Bulat
Contoh 2.2.5
Perhatikan pemetaan φ : R → R yang didefinisikan oleh (x)φ =
2x. Bila (x)φ = (y)φ, maka 2x = 2y yang mengakibatkan x = y.
Sehingga φ : R → R adalah pemetaan injektif. ¤
Contoh 2.2.7
Perhatikan pemetaan φ : R → R pada Contoh 2.2.5. Karena untuk
setiap x ∈ R, terdapat x2 ∈ R sehingga ( x2 )φ = 2( x2 ) = x, maka
φ adalah pemetaan surjektif. Tetapi pemetaan θ : Z → Z yang
didefinisikan oleh (x)θ = 2x untuk semua x ∈ Z bukanlah pemetaan
surjektif. Dalam hal ini untuk unsur 3 ∈ Z tidak terdapat x ∈ Z
sehingga (x)θ = 2x = 3. Persamaan 2x = 3 dipenuhi oleh x = 32 ,
tetapi x = 23 ∈
/ Z. ¤
Contoh 2.2.9
Pemetaan φ : R → R pada Contoh 2.2.5 adalah pemetaan bijektif.
¤
2.3 Bilangan Bulat 25
Bukti. Ada dua hal yang harus kita perlihatkan. Pertama keberada-
an bilangan bulat q dan r sehingga a = bq+r, dan kedua ketunggalan
bilangan bulat q dan r tersebut.
Kita perlihatkan keberadaan bilangan bulat q dan r dengan cara
untuk setiap bilangan bulat a dan b dibentuk bilangan q dan r yang
bergantung pada a dan b. Perhatikan himpunan
Contoh 2.3.3
Untuk bilangan bulat −3 dan 7, terdapat bilangan −1 dan 4 sehingga
−3 = (−1)(7) + 4 dengan 0 ≤ 4 < 7. Untuk dua bilangan 3 dan 7,
terdapat bilangan 2 dan 1 sehingga 7=(2)(3)+1 dengan 0 ≤ 1 < 3.
¤
Contoh 2.3.6
Pembagi persekutuan terbesar dari 6 dan 10 adalah gcd(6, 10) = 2.
Untuk bilangan 6 dan 10 terdapat bilangan bulat 2 dan −1 sehingga
(2)(6) + (−1)(10) = 2. Untuk bilangan 4 dan 7, perhatikan bahwa
gcd(4, 7) = 1 sehingga 4 dan 7 adalah prima relatif. Juga untuk
bilangan bulat 4 dan 7, terdapat bilangan bulat 2 dan −1 sehingga
(2)(4) + (−1)(7) = 1. ¤
Contoh 2.3.10
Perhatikan beberapa contoh berikut:
• Oleh algoritma pembagian 4 = 0 · 6 + 4, maka 4 mod 6 = 4.
• Oleh algoritma pembagian 11 = 2 · 4 + 3, maka 11 mod 4 = 3.
• Oleh algoritma pembagian −10 = −2·7+4, maka −10 mod 7 =
4. ¤
Contoh 2.3.12
4 mod 6 = 10 mod 6, karena 10 − 4 habis dibagi oleh 6. −3 mod 7 =
11 mod 7, karena 11 − (−3) habis dibagi oleh 7. ¤
dan
(2). (ab) mod n = ((qn + ra )(q 0 n + rb )) mod n
= (ra rb + n(qrb + q 0 ra + qq 0 n)) mod n
= (ra rb ) mod n
= ((a mod n)(b mod n)) mod n.
Sebagai akibat dari Teorema 2.3.13 kita peroleh sifat asosiatif dari
aritmatika modular. Yakni ([(a mod n)(b mod n)](c mod n)) mod n =
((a mod n)[(b mod n)](c mod n)]) mod n.
2.5 Hitung nilai dari (7·3) mod 5, (7+ 3) mod 5, (15·4) mod 7, dan
(15 + 4) mod 7.
2.6 Tentukan nilai k dan ` sehingga 4k+7` = 1. Perlihatkan bahwa
k dan ` tidak tunggal.
2.7 Andaikan a dan b adalah bilangan bulat sehingga a | c dan
b | c. Bila a dan b adalah prima relatif perlihatkan bahwa
ab | c. Perlihatkan dengan contoh bahwa bila a dan b tidak
prima relatif, maka ab tidak perlu membagi c.
32 Bab 2: Relasi, Fungsi dan Bilangan Bulat
Pada bagian ini kita membahas suatu operasi biner dalam konteks
yang lebih umum, tentu saja akibatnya akan lebih abstrak. Kare-
nanya kita akan menotasikan suatu operasi biner dengan simbol abs-
trak ∗.
33
34 Bab 3: Operasi Biner
Contoh 3.1.2
Operasi perkalian biasa, ×, atas himpunan
S = {x ∈ Z : x habis dibagi 2}
Contoh 3.1.3
Operasi ∗ atas himpunan bilangan riel positip R+ yang didefinisikan
oleh x ∗ y = x log y bukanlah suatu operasi biner. Karena bila x = 2
dan y = 51 , diperoleh
1
x ∗ y = 2 log = 2(log 1 − log 5)
5
/ R+ .
= −2 log 5 ∈
Contoh 3.1.4
Perhatikan himpunan
½· ¸ ¾
a b
H= : a, b, c, d ∈ R .
c d
Operasi perkalian
· matriks
¸ · adalah
¸ oberasi biner atas H. Untuk setiap
a b e f
dua matriks , ∈ H, diperoleh
c d g h
· ¸· ¸ · ¸
a b e f ae + bg af + bh
= .
c d g h ce + dg cf + dh
Karena (ae + bg), (af + bh), (ce + dg), (cf + dh) ∈ R, maka
· ¸
ae + bg af + bh
∈ H.
ce + dg cf + dh
Contoh 3.1.5
Operasi perkalian matriks atas himpunan
½· ¸ ¾
a b
K= : a, b, c, d ∈ R, a 6= 0 ,
c d
36 Bab 3: Operasi Biner
bukanlah·suatu operasi
¸ biner. Sebagai
· contoh
¸ penyangkal perhatikan
1 2 2 0
matriks dan matriks di K. Hasil kali dari dua
0 0 −1 0
matriks tersebut adalah
· ¸· ¸ · ¸
1 2 2 0 0 0
= ∈
/ K.
0 0 −1 0 0 0
Karena terdapat beberapa matriks di K demikian sehingga perkalian
matriks-matriks tersebut tidak berada di K, operasi perkalian ma-
triks atas himpunan K bukanlah suatu operasi biner. ¤
x ∗ y = y ∗ x.
e∗x=x∗e=x
a ∗ b = b ∗ a = e,
Contoh 3.2.1
Operasi perkalian × atas himpunan bilangan riel R adalah asosiatif
dan komutatif. Karena untuk setiap x, y, z ∈ R, berlaku hubungan
x × (y × z) = (x × y) × z,
dan
x × y = y × x.
Unsur identitas pada R relatif terhadap operasi × adalah 1, karena
untuk semua x ∈ R
1 × x = x × 1 = x.
Untuk setiap x 6= 0 di R, unsur kebalikan dari x relatif terhadap
operasi × adalah x1 ∈ R, karena
1 1
× x = x × = 1.
x x
Perlu dicatat bahwa unsur 0 ∈ R tidak mempunyai unsur kebalikan
relatif terhadap operasi × di R. ¤
38 Bab 3: Operasi Biner
Contoh 3.2.2
Operasi biner pada Contoh 3.1.4 adalah asosiatif, tetapi
· tidak
¸ ko-
a b
mutatif. Perhatikan bahwa untuk setiap unsur A = ,B =
c d
· ¸ · ¸
e f r s
, dan C = yang berada di H, diperoleh
g h t u
· ¸ µ· ¸· ¸¶
a b e f r s
A(BC) =
c d g h t u
· ¸· ¸
a b er + f t es + f u
=
c d gr + ht gs + hu
· ¸
a(er + f t) + b(gr + ht) a(es + f u) + b(gs + hu)
= ,
c(er + f t) + d(gr + ht) c(es + f u) + d(gs + hu)
dan
µ· ¸· ¸¶ · ¸
a b e f r s
(AB)C =
c d g h t u
· ¸· ¸
ae + bg af + bh r s
=
ce + dg cf + dh t u
· ¸
(ae + bg)r + (af + bh)t (ae + bg)s + (af + bh)u
=
(ce + dg)r + (cf + dh)t (ce + dg)s + (cf + dh)u
· ¸
a(er + f t) + b(gr + ht) a(es + f u) + b(gs + hu)
= .
c(er + f t) + d(gr + ht) c(es + f u) + d(gs + hu)
tetapi
· ¸· ¸ · ¸
1 2 1 2 1 8
BA = = .
1 4 0 3 1 14
Sehingga AB 6= BA, yakni operasi perkalian matriks atas H tidak
3.2 Sifat-Sifat Operasi Biner 39
· ¸
a b
komutatif. Untuk sebarang ∈ H, diperoleh
c d
· ¸· ¸ · ¸· ¸ · ¸
a b 1 0 1 0 a b a b
= = .
c d 0 1 0 1 c d c d
Contoh 3.2.3
Kita perhatikan himpunan bilangan riel R. Untuk setiap x, y ∈ R
kita mendefinisikan x ∗ y = x cos y. Relasi ∗ adalah suatu operasi
biner atas R. Selanjutnya, untuk unsur 1, 0 dan 2 di R kita peroleh
(1 ∗ 0) ∗ 2 = (1 cos 0) ∗ 2
= 1 ∗ 2 = 1 cos 2 = cos 2,
sementara
1 ∗ (0 ∗ 2) = 1 ∗ (0 cos 2)
= 1 ∗ 0 = 1 cos 0 = 1.
a ∗ x = 2nπ cos x 6= x.
Pada bagian ini kita mendiskusikan operasi biner atas suatu him-
punan dengan banyak unsur yang relatif kecil. Bila banyaknya unsur
pada suatu himpunan S adalah relatif kecil, kita dapat menuliskan
operasi biner atas S dalam suatu tabel yang disebut dengan tabel
Cayley. Struktur dari suatu tabel Cayley dapat dilihat pada Gam-
bar 3.1.
∗ Bagian utama
horizontal
¼©
©
Operasi biner
Bagian isi
¼©
©
Bagian utama
vertikal
Gambar 3.1
Pada bagian utama dari tabel di letakkan semua unsur dari him-
punan. Urutan unsur pada bagian utama horizontal hendaknya sama
dengan urutan unsur pada bagian utama vertikal. Bagian isi terdiri
dari hasil operasi biner dari dua unsur, seperti diperlihatkan oleh
Gambar 3.2.
∗ y
x - x ∗?y
Gambar 3.2
+ 0 1 2 3 + 0 1 2 3
0 0 0 1 2 3
1 1 1 2 3 0
2 2 2 3 0 1
3 3 3 0 1 2
Tabel 3.3 Tabel 3.4
Bila Tabel 3.3 kita lengkapi, maka tabel Cayley dari operasi ini
dapat kita tuliskan seperti pada Tabel 3.4.
Perhatikan operasi biner ∗ atas himpunan S = {a, b, c} yang
didefinisikan oleh Tabel 3.5 di bawah ini.
∗ a b c
a a a a
b b b b
c c c c
Tabel 3.5
alasan anda.
a. Relasi ∗ atas Q, a ∗ b = ab
3.
p
b. Relasi ∗ atas Q, a ∗ b = |ab|.
c. Relasi ∗ atas Z, a ∗ b = a − b.
d. Relasi ∗ atas Z+ , a ∗ b = ab − a − b.
e. Relasi ∗ atas R, a ∗ b = a+b
ab .
+
f. Relasi ∗ atas R , a ∗ b = a sin b.
2 2
g. Relasi ∗ atas R+ , a ∗ b = aa2 +b
−b2
.
h. Relasi ∗ dimana a ∗ b didefinisikan sebagai akar dari per-
samaan x2 + (a + b)x + ab = 0.
3.2 Untuk masing-masing operasi biner yang didefinisikan di bawah
ini, tentukan apakah ia komutatif atau apakah ia asosiatif
a. Atas Z, a ∗ b = a − b.
b. Atas R, a ∗ b = 2a+b .
c. Atas R, a ∗ b = |a + b|.
d. Atas R, a ∗ b = ab + 1.
e. Atas R, a ∗ b = max{a, b}.
ab
f. Atas R, a ∗ b = a+b .
g. Atas Q, a ∗ b = √
a + b + ab.
h. Atas R, a ∗ b = a2 + b2 .
3.3 Untuk masing-masing operasi biner pada Soal 3.2, cari (bila
ada) unsur identitas dan unsur kebalikan dari setiap unsur.
3.4 Perhatikan suatu himpunan S dengan dua unsur S = {a, b}.
Definisikan semua operasi biner yang mungkin atas S (ada 16
buah). Untuk setiap operasi biner tentukan apakah ia asosiatif
atau apakah ia komutatif. Tentukan juga unsur identitas dan
unsur kebalikan dari setiap unsur (bila ada).
3.5 Operasi biner ∗ didefinisikan atas suatu himpunan S = {a, b, c, d}
dengan empat unsur seperti yang diperlihatkan pada Tabel 3.6.
∗ a b c d
a a b a b
b b c a d
c a a d b
d b d b b
Tabel 3.6
3.6 Isi bagian kosong dari Tabel 3.7 sehingga ∗ adalah asosiatif.
∗ a b c d
a a b c d
b a c
c d a
d b a
Tabel 3.7
3.7 Tentukan apakah pernyataan berikut ini benar atau salah. Bila
pernyataan tersebut adalah salah, beri alasan atau cari contoh
penyangkalnya.
(a ∗ b) ∗ (c ∗ d) = [(d ∗ b) ∗ a] ∗ c.
Bab 4
Pengantar Grup
Secara sepintas dapat dikatakan bahwa suatu grup adalah suatu him-
punan dengan operasi biner yang memenuhi aturan-aturan tertentu.
Definisi formal dari suatu grup diberikan oleh Definisi 4.1.1 berikut
ini.
Suatu grup G dengan operasi biner ∗ kita notasikan dengan hG, ∗i.
Ada satu hal penting yang perlu kita perhatikan dari Definisi 4.1.1.
Pada definisi dinyatakan bahwa “suatu grup adalah suatu himpunan
tak kosong bersama dengan suatu operasi biner ...”, sehingga un-
tuk memperlihatkan suatu himpunan tak kosong adalah suatu grup,
pertama sekali harus kita perlihatkan bahwa ∗ adalah benar-benar
merupakan suatu operasi biner atas himpunan tersebut. Kemudian
kita perlihatkan ∗ memenuhi aksioma (1), (2) dan (3) pada Definisi
4.1.1. Bila salah satu aksioma pada Definisi 4.1.1 tidak dipenuhi oleh
45
46 Bab 4: Pengantar Grup
Contoh 4.1.2
Himpunan-himpunan hR, +i, hZ, +i, hQ, +i, hR∗ , ·i, dan hQ∗ , ·i adalah
suatu grup. Tetapi himpunan hZ∗ , ·i bukanlah suatu grup, karena
untuk unsur 3 ∈ Z∗ , 31 ∈
/ Z∗ . Yakni unsur 3 ∈ Z∗ tidak mempunyai
unsur kebalikan di Z∗ . ¤
Contoh 4.1.3
Pada himpunan bilangan bulat Z kita definisikan suatu relasi ∗ den-
gan ketentuan untuk setiap a, b ∈ Z, a∗b = a+b+5. Kita perlihatkan
bahwa hZ, ∗i adalah suatu grup.
4.1 Pengertian Grup 47
a ∗ (b ∗ c) = a ∗ (b + c + 5) = a + (b + c + 5) + 5
= a + b + c + 10,
dan
(a ∗ b) ∗ c = (a + b + 5) ∗ c = (a + b + 5) + c + 5
= a + b + c + 10.
a ∗ (−10 − a) = a + (−10 − a) + 5 = −5
dan
(−10 − a) ∗ a = (−10 − a) + a + 5 = −5
dengan −5 adalah unsur identitas.
Karena ∗ adalah suatu operasi biner atas Z dan ∗ memenuhi
semua aksioma pada Definisi 4.1.1, hZ, ∗i adalah sebuah grup. ¤
Catatan
Kita perhatikan kembali Contoh 4.1.3. Unsur identitas dari Z relatif
terhadap operasi biner ∗ kita peroleh dengan cara sebagai berikut.
Andaikan e adalah unsur identitas dari Z, akibatnya a ∗ e = a untuk
semua a ∈ Z. Tetapi dari definisi operasi biner ∗, diperoleh
a ∗ e = a + e + 5,
48 Bab 4: Pengantar Grup
Contoh 4.1.4
Jika ½· ¸ ¾
a b
G= : a, b, c, d ∈ Z ,
c d
maka hG, +i, dengan + adalah operasi perjumlahan matriks, adalah
suatu grup. · ¸ · ¸
a b e f
Untuk sebarang matriks dan yang berada di
c d g h
G, diperoleh
· ¸ · ¸ · ¸
a b e f a+e b+f
+ = .
c d g h c+g d+h
· ¸
a+e b+f
Tetapi (a+e), (b+f ), (c+g), (d+h) ∈ Z, akibatnya
c+g d+h
berada di G. Jadi operasi penjumlahan matriks adalah operasi biner
atas G.
Tidak sulit untuk memperlihatkan bahwa untuk sebarang mat-
riks A, B, C ∈ G,
A + (B + C) = (A + B) + C.
· ¸ · ¸
a b −a −b
Untuk setiap di G, unsur kebalikannya adalah ∈
c d −c −d
G. Sebab
· ¸ · ¸ · ¸ · ¸ · ¸
a b −a −b −a −b a b 0 0
+ = + = .
c d −c −d −c −d c d 0 0
Contoh 4.1.5
Himpunan S pada Contoh 4.1.4 di atas dengan operasi perkalian
· ¸ ma-
1 1
triks bukan suatu grup. Bila kita perhatikan unsur A = ∈S
2 2
· ¸
1 1 1
, maka A−1 = 2−2 tidak terdefinisi. Sehingga A tidak mem-
2 2
punyai unsur kebalikan di S. Secara umum untuk sebarang B ∈ S
dengan determinan matriks B sama dengan 0, maka B tidak mem-
punyai unsur kebalikan. ¤
Contoh 4.1.6
√
Himpunan G = {a + b 2 : a, b ∈ Z} adalah suatu grup terhadap
operasi penjumlahan biasa. √ √
Perhatikan bahwa untuk sebarang (a + b 2), (c + d 2) ∈ G,
√ √ √
(a + b 2) + (c + d 2) = (a + c) + (b + d) 2.
√ √
Karena (a+c), (b+d) ∈ Z, maka (a+b 2)+(c+d 2) ∈ G. Sehingga
operasi penjumlahan biasa
√ adalah operasi
√ biner atas √ G.
Untuk setiap (a1 + b1 2), (a2 + b2 2), (a3 + b3 2) ∈ G, berlaku
√ √ √
(a1 + b1 2) + [(a2 + b2 2) + (a3 + b3 2)]
√ √
= (a1 + b1 2) + [(a2 + a3 ) + (b2 + b3 ) 2]
√
= a1 + (a2 + a3 ) + (b1 + (b2 + b3 )) 2
√
= (a1 + a2 ) + a3 + ((b1 + b2 ) + b3 )) 2
√ √
= [(a1 + a2 ) + (b1 + b2 ) 2] + (a3 + b3 2)
√ √ √
= [(a1 + b1 2) + (a2 + b2 2)] + (a3 + b3 2).
√
Unsur identitas dari G adalah unsur 0 = 0 + 0 2, karena
√ √ √ √ √
(0 + 0 2) + (a + b 2) = (a + b 2) + (0 + 0 2) = (a + b 2).
√ √
Untuk setiap (a
√ + b 2) ∈ G, unsur kebalikan dari (a + b 2) adalah
unsur (−a − b 2) ∈ G, karena
√ √ √ √ √
(a + b 2) + (−a − b 2) = (−a − b 2) + (a + b 2) = 0 + 0 2.
Contoh 4.1.7
Himpunan bilangan bulat Z dengan operasi pengurangan bukan su-
atu grup. Karena operasi pengurangan atas Z tidak bersifat asosi-
atif. Sebagai contoh 2 − (3 − 5) = 2 − (−2) = 4, tetapi (2 − 3) − 5 =
−1 − 5 = −6 6= 4. ¤
Contoh 4.1.8
Himpunan
½· ¸ ¾
a b
H= : a, b ∈ R, a dan b tidak sekaligus 0
−b a
ini
· ¸ µ· ¸ · ¸¶
a b c d f g
A(BC) =
−b a −d c −g f
· ¸ · ¸
a b cf − dg cg + df
=
−b a −(cg + df ) cf − dg
· ¸
a(cf − dg) − b(cg + df ) a(cg + df ) + b(cf − dg)
=
−b(cf − dg) − a(cg + df ) −b(cg + df ) + a(cf − dg)
dan
µ· ¸ · ¸¶ · ¸
a b c d f g
(AB)C =
−b a −d c −g f
· ¸ · ¸
ac − bd ad + bc f g
=
−(ad + bc) ac − bd −g f
· ¸
(ac − bd)f − (ad + bc)g (ac − bd)g + (ad + bc)f
=
−(ad + bc)f − (ac − bd)g −(ad + bc)g + (ac − bd)f
· ¸
a(cf − dg) − b(cg + df ) a(cg + df ) + b(cf − dg)
= .
−b(cf − dg) − a(cg + df ) −b(cg + df ) + a(cf − dg)
· ¸ · ¸ · ¸ · ¸ · ¸
1 0 a b a b 1 0 a b
= = .
0 1 −b a −b a 0 1 −b a
· ¸ · ¸
a b 1 a −b
Unsur kebalikan dari ∈ H adalah a2 +b2
∈
−b a b a
H. Karena
· ¸· ¸ · ¸ · ¸
1 a −b a b a b 1 a −b
=
a + b2
2 b a −b a −b a a2 + b2 b a
· ¸
1 0
= .
0 1
Contoh 4.1.10
Grup pada Contoh 4.1.3 adalah grup komutatif. Karena untuk setiap
a, b ∈ Z,
a ∗ b = a + b + 5 = b + a + 5 = b ∗ a.
Grup pada Contoh 4.1.8 juga
· merupakan
¸ · suatu grup
¸ komutatif. Kare-
a b c d
na untuk sebarang unsur , ∈ H,
−b a −d c
· ¸· ¸ · ¸
a b c d ac − bd ad + bc
= ,
−b a −d c −(ad + bc) ac − bd
dan · ¸· ¸ · ¸
c d a b ac − bd ad + bc
= .
−d c −b a −(ad + bc) ac − bd
Sehingga
· ¸· ¸ · ¸· ¸
a b c d c d a b
= .
−b a −d c −d c −b a
Berikut ini kita akan membahas sifat-sifat paling mendasar dari su-
atu grup. Kembali kita ingat pelajaran aljabar ketika berada di
sekolah menengah. Bila kita memiliki persamaan a + b = a + c pada
himpunan bilangan riel R maka kita dapat menyimpulkan bahwa
b = c. Hal yang sama juga terjadi pada grup, seperti yang diny-
atakan oleh Teorema 4.2.1 berikut ini.
4.2 Sifat-Sifat Grup 53
(a ∗ x) ∗ x−1 = (b ∗ x) ∗ x−1
a ∗ (x ∗ x−1 ) = b ∗ (x ∗ x−1 )
a∗e = b∗e
a = b.
a1 ∗ a = a ∗ a1 = e
54 Bab 4: Pengantar Grup
a2 ∗ a = a ∗ a2 = e.
Bukti. Ada dua hal yang harus kita perlihatkan. Pertama terda-
pat penyelesaian dari persamaan a ∗ x = b dan y ∗ a = b. Kedua,
penyelesaian tersebut adalah tunggal.
Kita perlihatkan bahwa a ∗ x = b mempunyai penyelesaian untuk
x. Perhatikan bahwa bila x = a−1 ∗ b, maka
a ∗ x = a ∗ (a−1 ∗ b) = (a ∗ a−1 ) ∗ b
= e ∗ b = b.
Catatan
Penyelesaian dari persamaan a ∗ x = b dapat ditemukan dengan cara
4.2 Sifat-Sifat Grup 55
sebagai berikut
a∗x = b
−1
a ∗ (a ∗ x) = a−1 ∗ b
(a−1 ∗ a) ∗ x = a−1 ∗ b
e ∗ x = a−1 ∗ b
x = a−1 ∗ b.
Teorema 4.2.4 Bila hG, ∗i adalah suatu grup, maka untuk setiap
a, b ∈ G berlaku
(1). (a ∗ b)−1 = b−1 ∗ a−1
(2). (a−1 )−1 = a.
(a ∗ b) ∗ (a ∗ b)−1 = e.
Catatan
Dengan cara yang sama dapat kita perlihatkan (a∗b∗c)−1 = c−1 ∗b−1 ∗
a−1 . Bukti dari persoalan ini diserahkan kepada pembaca sebagai
−1
latihan. Secara umum berlaku (a1 ∗ a2 ∗ · · · ∗ an )−1 = a−1
n ∗ an−1 ∗
· · · ∗ a−1
1 .
56 Bab 4: Pengantar Grup
Pada bagian ini kita akan mendiskusikan beberapa contoh dari grup
hingga yang ordenya relatif kecil. Karena kita berbicara mengenai
grup dengan orde kecil, ada baiknya jika kita bahas terlebih dahulu
sifat-sifat dari tabel Cayley dari suatu grup. Perhatikan tabel Cayley
dari S = {a, b, c, d} seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4.1.
∗ a b c d
a a b c d
b b c d c
c c d a b
d d a b c
Tabel 4.1
b∗b=c dan b ∗ d = c.
Karena setiap unsur dari G harus muncul tepat satu kali dalam se-
tiap baris dan setiap kolom dari tabel Cayley, bagian kosong dari
4.3 Grup Hingga 57
Tabel 4.2 harus diisi oleh unsur e. Sehingga tabel Cayley untuk grup
G = {e, a} dengan dua unsur adalah seperti pada Tabel 4.3.
Salah satu kesulitan untuk membentuk tabel Cayley dari grup-
grup berorde lebih tinggi adalah memperlihatkan bahwa operasi biner
yang didefinisikan oleh tabel tersebut adalah asosiatif. Jadi kepada
pembaca diminta untuk menerima tanpa bukti bahwa operasi biner
pada tabel Cayley, yang akan kita bicarakan selanjutnya, adalah
asosiatif.
Misalkan G = {e, a, b} adalah grup berorder tiga. Karena e
adalah unsur identitas dari G, maka e ∗ e = e, e ∗ a = a, e ∗ b = b,
b ∗ e = b, dan a ∗ e = a. Jadi sebagian dari tabel Cayley dari G dapat
diperlihatkan seperti pada Tabel 4.4.
∗ e a b ∗ e a b
e e a b e e a b
a a ♦ ♥ a a b e
b b b b e a
Tabel 4.4 Tabel 4.5
Contoh 4.3.1
Himpunan Z4 = {0, 1, 2, 3} dengan operasi biner a∗b = (a+b) mod 4
adalah suatu grup. Tabel Cayley dari Z4 diperlihatkan pada Tabel
4.6. Grup hZ4 , ∗i disebut grup bilangan bulat modulo 4.
58 Bab 4: Pengantar Grup
Contoh 4.3.2
Perhatikan himpunan U (8) = {a < 8 : a adalah prima relatif ke 8},
yakni U (8) = {1, 3, 5, 7}. Definisikan operasi biner atas U (8) dengan
a ∗ b = ab mod 8. hU (8), ∗i adalah suatu grup dengan tabel Cayley
seperti yang diperlihatkan oleh Tabel 4.7.
∗ 0 1 2 3 ∗ 1 3 5 7
0 0 1 2 3 1 1 3 5 7
1 1 2 3 0 3 3 1 7 5
2 2 3 0 1 5 5 7 1 3
3 3 0 1 2 7 7 5 3 1
Tabel 4.6 Tabel 4.7
Pada Contoh 4.3.1 dan Contoh 4.3.2 terlihat bahwa grup hZ4 , ∗i
dan hU (8), ∗i masing-masing adalah grup komutatif berorde empat.
Bila kita perhatikan Tabel 4.7, unsur identitas dari U (8) adalah 1 dan
setiap unsur merupakan unsur kebalikan terhadap dirinya sendiri.
Tetapi tidaklah demikian halnya pada Tabel 4.6, sebagai contoh un-
sur kebalikan dari unsur 3 adalah unsur 1, sehingga unsur kebalikan
dari unsur 3 bukanlah dirinya sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa
struktur dari grup berorde empat tidaklah tunggal.
Contoh 4.3.3
Perhatikan himpunan U (10) = {1, 3, 7, 9} dengan operasi biner a◦b =
ab mod 10. Maka hU (10), ◦i adalah suatu grup. Tabel Cayley dari
hU (10), ◦i diperlihatkan oleh Tabel 4.8.
◦ 1 3 7 9 ◦ 1 3 9 7
1 1 3 7 9 1 1 3 9 7
3 3 9 1 7 3 3 9 7 1
7 7 1 9 3 9 9 7 1 3
9 9 7 3 1 7 7 1 3 9
Tabel 4.8 Tabel 4.9
Bila kita perhatikan tampaknya struktur tabel Cayley dari Tabel 4.6
dan Tabel 4.8 adalah berbeda. Tetapi coba kita perhatikan Tabel 4.9,
yang diperoleh dari Tabel 4.8 dengan mengubah urutan unsurnya,
maka struktur dari kedua tabel ini (Tabel 4.6 dan Tabel 4.9) adalah
sama, artinya, bila pada Tabel 3.9
4.4 Soal-Soal Latihan 59
4.3 Perhatikan aksioma (1), (2) dan (3) pada Definisi 4.1.1. Tentu
saja untuk mendefinisikan suatu grup aksioma-aksioma ini tidak
harus diurutkan dalam urutan (1,2,3). Ada enam urutan yang
mungkin, yakni
(1, 2, 3), (1, 3, 2), (2, 1, 3), (2, 3, 1), (3, 1, 2), (3, 2, 1).
Selain dari urutan (1,2,3), cari urutan lain yang akan mem-
berikan definisi grup?
√
4.4 Misalkan S = {1, −1, i, −i} dengan i = −1. Untuk setiap
a, b ∈ S definisikan a ∗ b = ab. Bentuklah tabel Cayley dari S,
dan perlihatkan bahwa S adalah suatu grup.
60 Bab 4: Pengantar Grup
4.5 Bentuklah tabel Cayley dari U (14) = {1, 3, 5, 9, 11, 13} dengan
operasi biner a ∗ b = ab mod 14. Perlihatkan bahwa U (14)
adalah suatu grup (anda dapat menganggap operasi binernya
adalah asosiatif).
4.6 Andaikan G = {I, A, B, C, D, E} dengan
· ¸ · ¸ · ¸
1 0 0 1 0 1
I= , A= , B= ,
0 1 1 0 −1 −1
· ¸ · ¸ · ¸
−1 −1 −1 −1 1 0
C= , D= , E= .
0 1 1 0 −1 −1
Untuk setiap X, Y ∈ G definisikan X ∗ Y = XY . Bentuklah
tabel Cayley dari G. Dengan asumsi bahwa perkalian mat-
riks adalah asosiatif, perlihatkanlah hG, ∗i adalah suatu grup.
Apakah hG, ∗i adalah grup komutatif?
4.7 Tentukan pernyataan yang berikut ini salah atau benar. Bila
salah berikanlah contoh penyangkalnya.
- Bila G adalah grup hingga, maka G adalah grup komutatif.
- Suatu grup G adalah suatu himpunan dengan operasi biner ∗
yang memenuhi aksioma (1),(2) dan (3) pada Definisi 4.1.1.
- Suatu grup G adalah suatu himpunan tak kosong dengan re-
lasi ∗ yang memenuhi aksioma (1), (2) dan (3) pada Definisi
4.1.1.
- Suatu grup G dikatakan grup komutatif, bila terdapat a, b ∈ G
sehingga a ∗ b = b ∗ a.
- Pada suatu grup G bila x ∗ x = e, maka x = e.
- Pada suatu grup, persamaan b ∗ y ∗ a = c mempunyai penye-
lesaian tunggal.
- Setiap grup berorde 3 adalah komutatif.
- Setiap grup adalah semigrup.
n buah
z }| {
4.8 Pada soal ini xn = x ∗ x ∗ · · · ∗ x dan a ∗ b dinotasikan deng-
an ab. Berikut ini akan dibahas penyelesaian dari sistem per-
samaan linier simultan pada suatu grup.
Contoh: Andaikan x7 = e dan x3 = b. Carilah x.
Jawab: Karena x3 = b, maka x6 = b2 dan
xb2 = x(x6 ) = x7 = e.
4.4 Soal-Soal Latihan 61
63
64 Bab 5: Subgrup
Contoh 5.1.2
Untuk sebarang grup G, grup G dan himpunan bagian H = {e} dari
G adalah subgrup dari G. Subgrup G dan H ini disebut sebagai
subgrup tak sejati dari G. Bila H < G dan H 6= {e}, atau H 6= G,
maka H disebut sebagai subgrup sejati dari G. ¤
5.1 Subgrup Dari Suatu Grup 65
Contoh 5.1.3
Perhatikan grup U (8) = {1, 3, 5, 7} dengan tabel Cayley seperti pada
Tabel 5.5. Jika kita selidiki, maka himpunan-himpunan bagian {1, 3},
{1, 5} dan {1, 7} dari U (8) dengan operasi perkalian modulo 8, masing-
masing adalah subgrup dari U (8). ¤
∗ 1 3 5 7
1 1 3 5 7
3 3 1 7 5
5 5 7 1 3
7 7 5 3 1
Tabel 5.5
Contoh 5.1.4
hZ, +i adalah subgrup dari hQ, +i. hQ, +i adalah subgrup dari hR, +i.
Juga hQ∗ , ·i adalah subgrup dari hR∗ , ·i. ¤
Bukti. Dari aksioma (1) jelaslah bahwa operasi biner atas G adalah
tertutup pada H, sehingga operasi biner yang didefinisikan atas G
adalah juga operasi biner atas H. Karena H ⊂ G, untuk setiap
a, b, c ∈ H, maka a, b, c ∈ G. Hal ini berakibat a(bc) = (ab)c di
H, sehingga operasi biner atas H adalah asosiatif. Karenanya, ak-
sioma (1) pada Definisi 4.1.1 dipenuhi oleh H. Sekarang kita tinggal
memperlihatkan e ∈ H.
Perhatikan bahwa untuk semua unsur a ∈ H, unsur a−1 juga
berada di H. Karena H tertutup terhadap operasi biner dari G,
maka untuk pasangan unsur a dan a−1 berlaku e = aa−1 ∈ H. Jadi
himpunan H adalah subgrup dari G.
Contoh 5.1.8
Himpunan H = {6m ∈ R∗ | m ∈ Z} adalah subgrup dari R∗ ter-
hadap operasi perkalian biasa. Kita akan menggunakan Teorema
5.1.6 untuk menyelesaikan persoalan ini. Jelaslah bahwa H ⊆ R∗ .
Perhatikan bahwa bila 6m , 6n ∈ H dengan m, n ∈ Z, maka 6m 6n =
6m+n . Karena m, n ∈ Z, maka m + n ∈ Z. Hal ini berakibat 6m 6n =
6m+n ∈ H. Untuk setiap 6m ∈ H dengan m ∈ Z, diperoleh (6m )−1 =
6−m . Tetapi untuk setiap m ∈ Z, −m ∈ Z, sehingga (6m )−1 = 6−m ∈
H.Teorema 5.1.6 menjamin bahwa H adalah subgrup dari R∗ . ¤
Contoh 5.1.9
Himpunan A = {3m 5n ∈ Q+ | m, n ∈ Z} adalah subgrup dari Q+
terhadap operasi perkalian biasa. Sebagai variasi kita akan meng-
gunakan Teorema 5.1.7 untuk menyelesaikan persoalan ini. Jelaslah
bahwa A ⊆ Q+ dan 1 = 30 50 ∈ A, sehingga A 6= Ø. Untuk sebarang
3m1 5n1 , 3m2 5n2 yang berada di A dengan m1 , n1 , m2 , n2 ∈ Z, ambil
a = 3m1 5n1 dan b = 3m2 5n2 sehingga
ab−1 = (3m1 5n1 ) (3m2 5n2 )−1
= 3m1 5n1 3−m2 5−n2
= 3m1 −m2 5n1 −n2
Karena (m1 −m2 ) dan (n1 −n2 ) keduanya berada di Z, 3m1 −m2 5n1 −n2 ∈
A. Sehingga Teorema 5.1.7 menjamin A adalah subgrup dari Q+ . ¤
68 Bab 5: Subgrup
Jadi ab ∈ Z(G).
Sekarang kita tinggal memperlihatkan bahwa untuk setiap a ∈
Z(G), a−1 ∈ Z(G) yakni a−1 x = xa−1 . Karena ax = xa, kita
peroleh
Contoh 5.2.3
Perhatikan grup G = {e, a, b, c, r, s, t, u} dengan tabel Cayley seperti
pada Tabel 5.6. Bila kita perhatikan bagian isi dari Tabel 5.6, maka
urutan unsur pada baris pertama dan urutan unsur pada kolom per-
tama adalah sama. Juga urutan unsur pada baris ketiga sama den-
gan urutan unsur pada kolom ketiga. Hal ini berakibat ex = xe dan
bx = xb untuk semua x ∈ G. Sehingga sentral dari G, Z(G), adalah
Z(G) = {e, b}. ¤
e a b c r s t u
e e a b c r s t u
a a b c e u t r s
b b c e a s r u t
c c e a b t u s r
r r t s u e b a c
s s u r t b e c a
t t s u r c a e b
u u r t s a c b e
Tabel 5.6
Contoh 5.2.5
Perhatikan grup G pada Contoh 5.2.3. Kita ambil X = {s, t, u}
sebagai himpunan bagian dari G. Maka
b−1 Xb = b−1 {s, t, u}b = {b−1 sb, b−1 tb, b−1 ub} = {s, t, u}
70 Bab 5: Subgrup
dan
c−1 Xc = c−1 {s, t, u}c = {c−1 sc, c−1 tc, c−1 uc} = {r, u, t}.
¤
Catatan
Perhatikan bahwa pernyataan a−1 Ha = H bukanlah berarti bahwa
untuk setiap h ∈ H, a−1 ha = h.
Contoh 5.2.7
Perhatikan grup G pada Contoh 5.2.3. Andaikan H = {e, b}. Maka
H adalah subgrup dari G, dan
e−1 He = e−1 {e, b}e = {e−1 ee, e−1 be} = {e, b} = H
5.2 Beberapa Subgrup Penting 71
H = {am : a ∈ G, m ∈ Z}.
Contoh 5.2.9
Perhatikan grup G pada Contoh 5.2.3. Maka subgrup H = {e, a, b, c}
dari G adalah subgrup siklik dari G yang dibangun oleh unsur a.
72 Bab 5: Subgrup dari grup
5.2 Cari paling sedikit enam buah subgrup dari grup hR, +i.
5.3 Andaikan ½· ¸ ¾
a b
G= : a, b, c, d ∈ Z .
c d
Contoh 4.1.4 memperlihatkan bahwa G dengan operasi penjum-
lahan matriks adalah suatu grup. Misalkan
½· ¸ ¾
a b
H= ∈G : a+b+c+d=0 .
c d
5.4 Tabel berikut ini adalah tabel Cayley dari grup Quaternion.
1 −1 i −i j −j k −k
1 1 −1 i −i j −j k −k
−1 −1 1 −i i −j j −k k
i i −i −1 1 k −k −j j
−i −i i 1 −1 −k k j −j
j j −j −k k −1 1 i −i
−j −j j k −k 1 −1 −i i
k k −k j −j −i i −1 1
−k −k k −j j i −i 1 −1
Tabel 5.7
5.5 Pada Tabel 5.7, tentukan semua subgrup dari G, dan kemudian
carilah orde dari setiap subgrup tersebut. Apakah yang dapat
anda simpulkan mengenai orde suatu grup dan orde subgrup-
nya?
e a b c x y z w
e e a b c x y z w
a a e x y b c w z
b b x e z a w c y
c c y z e w a b x
x x b a w e z y c
y y c w a z e x b
z z w c b y x e a
w w z y x c b a e
Tabel 5.8
Cari :
a. semua subgrup siklik dari G.
b. semua subgrup tak siklik dari G.
5.7 Tentukan apakah pernyataan berikut ini benar atau salah. Bila
salah berikan contoh penyangkalnya.
- Suatu himpunan bagian H dari grup G adalah subgrup dari
G.
- Bila G adalah grup hingga, maka G mempunyai subgrup sik-
lik.
- Sentral dari G, Z(G), adalah himpunan semua unsur a ∈ G
sehingga ax = xa.
- Andaikan G adalah suatu grup dan H subgrup dari G. Maka
H adalah subgrup dari N (H).
- Himpunan kosong adalah subgrup dari setiap grup G.
- Andaikan H adalah subgrup dari G. Untuk setiap a ∈ H
unsur kebalikan dari a di H adalah unsur kebalikan dari a di
G.
- Setiap subgrup dari grup komutatif adalah komutatif.
C(a) = {g ∈ G : ag = ga}.
H = {x ∈ G : xm = e, m ∈ Z}.
P ada bab ini kita diskusikan suatu grup khusus yang disebut seba-
gai grup siklik, yakni, suatu grup yang setiap unsurnya dapat dinya-
takan sebagai perpangkatan (kelipatan bila operasi dari grup tersebut
adalah penjumlahan) dari suatu unsur tertentu pada grup tersebut.
Sebelum kita mendiskusikan grup siklik dan sifat-sifatnya, kita ter-
lebih dahulu membahas sifat orde dari suatu unsur pada suatu grup.
Kita mulai bagian ini dengan mendefinisikan orde dari suatu unsur,
dan kemudian kita bahas sifat-sifat orde dari suatu unsur. Andaikan
G adalah suatu grup dan misalkan a ∈ G. Untuk sebarang unsur
a di G perhatikan bahwa bila terdapat m ∈ Z sehingga am = e,
maka terdapat bilangan bulat positip n ∈ Z sehingga an = e. Tentu
saja bila m > 0, maka kita dapat mengambil n = m, sebaliknya bila
m < 0 kita dapat mengambil n = −m, sehingga
Orde dari suatu unsur a pada suatu grup G didefinisikan oleh Defin-
isi 6.1.1 berikut ini.
75
76 Bab 6: Grup Siklik
Contoh 6.1.2
Mari kita tela’ah grup G = {e, a, b, c, r, s, t, u} pada Contoh 5.2.3,
dengan tabel Cayley seperti pada Tabel 6.1.
e a b c r s t u
e e a b c r s t u
a a b c e u t r s
b b c e a s r u t
c c e a b t u s r
r r t s u e b a c
s s u r t b e c a
t t s u r c a e b
u u r t s a c b e
Tabel 6.1
Contoh 6.1.3
Perhatikan grup bilangan bulat Z dengan operasi penjumlahan biasa.
Untuk setiap unsur a ∈ Z, dengan a 6= 0, tidak terdapat m ∈ Z
m buah
z }| {
sehingga ma = a + a + · · · + a = 0. Jadi setiap a ∈ Z berorde tak
hingga. ¤
6.1 Orde Dari Suatu Unsur 77
Bukti. Ada dua hal yang harus kita perlihatkan pada Teorema 6.1.4
ini. Pertama harus kita perlihatkan untuk setiap m ∈ Z, am adalah
salah satu dari a0 = e, a1 , a2 , . . . , an−1 . Kedua, harus kita perli-
hatkan bahwa untuk setiap bilangan bulat positip k, ` < n, dengan
k 6= `, berlaku ak 6= a` , yakni semua unsur a0 , a1 , . . . , an−1 adalah
berbeda.
Pertama, kita akan memperlihatkan bahwa untuk setiap m ∈
Z, am adalah salah satu dari a0 , a1 , a2 , . . . , an−1 . Oleh algoritma
pembagian, untuk setiap bilangan bulat m dan bilangan bulat positif
n terdapat bilangan bulat q dan r sehingga m = qn + r, dengan
0 ≤ r < n. Karenanya
a` a−k = ak a−k = e
a`−k = e.
Hal ini tidak mungkin karena 0 < ` − k < n (ingat bahwa n adalah
bilangan bulat terkecil sehingga an = e). Jadi haruslah ak 6= a` .
ak = aqn = (an )q = eq = e.
am a−n = an a−n
am−n = an (an )−1
am−n = e
6.2 Grup Siklik 79
Contoh 6.2.1
Perhatikan grup bilangan bulat modulo 6, Z6 = {0, 1, 2, 3, 4, 5} den-
gan operasi penjumlahan modulo 6. Salah satu unsur pembangun
dari Z6 adalah unsur 1. Karena
1 = 1
2 = 1+1
3 = 1+1+1
4 = 1+1+1+1
5 = 1+1+1+1+1
0 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1,
Contoh 6.2.2
hZ, +i adalah suatu grup siklik tak hingga. Unsur 1 dan unsur −1
keduanya adalah unsur pembangun dari Z. ¤
80 Bab 6: Grup Siklik
am an = am+n = an+m = an am .
Konvers dari Teorema 6.2.3 adalah tidak benar, yakni suatu grup
komutatif belum tentu merupakan suatu grup siklik. Sebagai con-
toh penyangkal, grup U (8) = {1, 3, 5, 7} pada Contoh 4.3.2 adalah
grup komutatif. Karena untuk setiap a ∈ U (8), dengan a 6= 1, a
adalah suatu unsur yang berorde 2, maka U (8) tidak mempunyai
unsur pembangun. Sehingga U (8) bukan suatu grup siklik.
an = a`q+r = a`q ar ,
atau
ar = an (a`q )−1 = an (a−` )q .
Karena a` ∈ H, maka (a−` )q ∈ H. Ini berakibat ar = an (a−` )q ∈ H.
Tetapi 0 ≤ r < ` dan ` adalah bilangan bulat terkecil sehingga
6.2 Grup Siklik 81
Contoh 6.2.5
Perhatikan grup siklik Z12 dengan Tabel Cayley seperti pada Tabel 6.2.
Dari Tabel 6.2 kita dapat melihat bahwa himpunan bagian H1 =
{0, 2, 4, 6, 8, 10}, H2 = {0, 3, 6, 9}, H3 = {0, 4, 8} dan H4 = {0, 6}
masing-masing adalah subgrup dari Z12 . Karena H1 = h2i, H2 = h3i,
H3 = h4i, dan H4 = h6i, maka setiap subgrup dari Z12 adalah juga
siklik. ¤
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0
2 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0 1
3 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0 1 2
4 4 5 6 7 8 9 10 11 0 1 2 3
5 5 6 7 8 9 10 11 0 1 2 3 4
6 6 7 8 9 10 11 0 1 2 3 4 5
7 7 8 9 10 11 0 1 2 3 4 5 6
8 8 9 10 11 0 1 2 3 4 5 6 7
9 9 10 11 0 1 2 3 4 5 6 7 8
10 10 11 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
11 11 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 6.2
Konvers dari Teorema 6.2.4 adalah tidak benar. Yakni, bila setiap
subgrup dari suatu grup G adalah siklik, tidaklah perlu G adalah
grup siklik. Sebagai contoh penyangkal kembali kita perhatikan grup
U (8) pada Contoh 4.3.2. Subgrup U (8) adalah H1 = {1, 3}, H2 =
{1, 5} dan H3 = {1, 7} yang kesemuanya adalah subgrup siklik, tetapi
grup U (8) itu sendiri bukanlah grup siklik.
Teorema berikut ini menyatakan hubungan antara orde dari su-
atu grup siklik dengan orde dari subgrup-subgrupnya, yakni orde
dari suatu subgrup dari grup siklik adalah pembagi dari orde dari
grup siklik tersebut. Satu hal perlu dicatat bahwa orde dari suatu
grup siklik sama dengan orde dari unsur pembangunnya.
Contoh 6.2.7
Perhatikan grup siklik berorde 12, Z12 , pada Contoh 6.2.5. Subgrup-
subgrup dari Z12 adalah H1 = {0, 2, 4, 6, 8, 10} berorde 6, H2 =
{0, 3, 6, 9} berorde 4, H3 = {0, 4, 8} berorde 3 dan H4 = {0, 6}
berorde 2. Sehingga orde dari setiap subgrup dari Z 12 adalah pem-
bagi orde dari Z12 . ¤
k buah
z }| {
Bukti. Untuk setiap k ∈ Zn , maka k = 1 + 1 + · · · + 1 dengan
1 ∈ Zn adalah unsur pembangun dari Zn .
75 mod 26 = 11
77 mod 26 = 19
711 mod 26 = 15
6.1 Cari orde dari setiap elemen dalam grup Z5 , Z12 , dan Z15 .
6.3 Andaikan hai, hbi dan hci masing-masing adalah suatu grup
siklik yang berorde 5, 12 dan 15. Tentukan semua unsur pem-
bangun dari masing-masing grup hai, hbi dan hci.
6.5 a. Tuliskan semua unsur dari subgrup siklik h5i dan subgrup
siklik h15i dalam Z20 .
b. Tuliskan semua unsur dari subgrup siklik h4i dan h14i dalam
Z18 .
Apakah yang dapat anda simpulkan dari kedua persoalan di
atas?
H = {am bn : a, b ∈ G dan m, n ∈ Z}
Kita perhatikan kembali diskusi kita pada akhir Bab 4. Untuk mem-
87
88 Bab 7: Isomorfisma
Ada dua hal yang harus kita sikapi secara bijak ketika kita meng-
gunakan Definisi 7.1.1.
• Pertama, karena φ adalah pemetaan yang bijektif (injektif dan
surjektif), maka setiap unsur dari F dapat dinyatakan sebagai
bayangan dari unsur di G oleh pemetaan φ, yakni setiap unsur
di F dapat dinyatakan dalam bentuk (a)φ dengan a ∈ G.
• Kedua, kembali kita perhatikan pernyataan (ab)φ = (a)φ (b)φ.
Karena a, b ∈ G maka notasi penggandaan ab dilakukan den-
gan menggunakan operasi biner atas G. Karena (a)φ dan (b)φ
keduanya berada di F , maka penggandaan (a)φ (b)φ dilakukan
dengan menggunakan operasi biner atas F .
Beberapa kemungkinan penotasian dari (ab)φ = (a)φ (b)φ untuk
operasi ∗ dan ◦ diperlihatkan pada Tabel 7.1 oleh bawah ini.
Operasi Operasi
di G di F ab (a)φ (b)φ (ab)φ = (a)φ (b)φ
∗ ∗ a∗b (a)φ ∗ (b)φ (a ∗ b)φ = (a)φ ∗ (b)φ
∗ ◦ a∗b (a)φ ◦ (b)φ (a ∗ b)φ = (a)φ ◦ (b)φ
◦ ∗ a◦b (a)φ ∗ (b)φ (a ◦ b)φ = (a)φ ∗ (b)φ
◦ ◦ a◦b (a)φ ◦ (b)φ (a ◦ b)φ = (a)φ ◦ (b)φ
Tabel 7.1
7.1 Definisi dan Contoh 89
Contoh 7.1.2
Andaikan R adalah grup bilangan riel dengan operasi penjumla-
han biasa dan R+ adalah grup bilangan riel positip dengan operasi
perkalian biasa. Pemetaan φ : R → R+ yang didefinisikan oleh
(x)φ = ax , dengan a > 0 adalah suatu isomorfisma.
Kita akan memperlihatkan bahwa φ adalah pemetaan yang in-
jektif, surjektif dan mempertahankan operasi.
Bila (x)φ = (y)φ, maka ax = ay . Tetapi hal ini berakibat x = y,
sehingga φ adalah pemetaan yang injektif. Perhatikan bahwa untuk
setiap z ∈ R+ , maka loga z ∈ R. Pada sisi lain (loga z)φ = aloga z =
z. Sehingga untuk setiap z ∈ R+ terdapat loga z ∈ R sehingga
(loga z)φ = z. Jadi φ adalah pemetaan surjektif.
Selanjutnya untuk setiap x, y ∈ R diperoleh (x)φ = ax dan
(y)φ = ay , dan
Contoh 7.1.3
Andaikan C adalah grup dari himpunan bilangan ½· kompleks
¸ dengan
¾
a b
operasi penjumlahan biasa. Misalkan H = : a, b ∈ R
−b a
adalah grup dengan operasi penjumlahan matriks. Kita perlihatkan
bahwa C ∼ = H. Ingat bahwa himpunan bilangan kompleks C dapat
dinyatakan dalam bentuk C = {a+bi : a, b ∈ R}. Sehingga · pemetaan
¸
a b
φ : C → H dapat didefinisikan sebagai (a + bi)φ = . Kita
−b a
akan memperlihatkan bahwa φ adalah pemetaan yang injektif, sur-
jektif dan mempertahankan operasi. · ¸ · ¸
a1 b1 a2 b2
Bila (a1 + b1 i)φ = (a2 + b2 i)φ, maka = .
−b1 a1 −b2 a2
Hal ini berakibat a1 = a2 dan b1 = b2 , sehingga a1 + b1 i = a2 + b2 i.
Jadi φ adalah pemetaan yang injektif.
· ¸
a b
Jelaslah bahwa untuk setiap ∈ H, maka a, b ∈ R. Pada
−b a
sisi lain untuk setiap a, b ∈ R kita· dapat¸membentuk a + bi ∈ C.
a b
Hal ini berarti bahwa untuk setiap ∈ H terdapat a + bi ∈ C
−b a
· ¸
a b
sehingga (a + bi)φ = . Jadi φ adalah pemetaan surjektif dari
−b a
C ke H.
Perhatikan bahwa untuk setiap (a1 +b1 i), (a2 +b2 i) ∈ C, diperoleh
((a1 + b1 i) + (a2 + b2 i))φ = ((a1 + a2 ) + (b1 + b2 )i)φ
· ¸
a1 + a2 b1 + b2
=
−(b1 + b2 ) a1 + a2
· ¸ · ¸
a1 b1 a2 b2
= +
−b1 a1 −b2 a2
= (a1 + b1 i)φ + (a2 + b2 i)φ.
Sehingga pemetaan φ mempertahankan operasi. Jadi φ adalah suatu
isomorfisma dari C ke H, akibatnya C ∼
= H. ¤
Contoh 7.1.4
Andaikan hai adalah grup siklik berorde n, maka hai ∼
= Zn .
Dengan cara yang sama dapat diperlihatkan bahwa bila hai adalah
grup siklik tak hingga, maka hai ∼
= Z. Bila G adalah suatu grup
berorde tak hingga, maka terdapat kemungkinan bahwa G mempun-
yai suatu subgrup yang isomorfik dengan G, seperti yang diperli-
hatkan oleh contoh berikut ini.
Contoh 7.1.5
Grup bilangan bulat Z adalah isomorfik dengan grup bilangan bulat
kelipatan n, nZ. Perhatikan bahwa
Z = {· · · , −3, −2, −1, 0, 1, 2, 3, · · · }
dan
nZ = {· · · , −3n, −2n, −n, 0, n, 2n, 3n, · · · }.
Definisikan φ : Z → nZ oleh (x)φ = nx. Bila (x)φ = (y)φ, maka
nx = ny yang berakibat x = y. Jadi φ adalah pemetaan yang
injektif. Untuk setiap kn ∈ nZ, terdapat k ∈ Z sehingga (k)φ = kn.
Jadi φ adalah juga pemetaan surjektif.
Untuk setiap x, y ∈ Z, maka
(x + y)φ = n(x + y) = nx + ny = (x)φ + (y)φ,
92 Bab 7: Isomorfisma
Contoh 7.1.6
Andaikan G adalah suatu grup dan misalkan a ∈ G. Untuk setiap
x ∈ G definisikan φ : G → G oleh (x)φa = a−1 xa. Pemetaan φa
adalah suatu isomorfisma.
Perhatikan bahwa bila (x)φa = (y)φa , maka a−1 xa = a−1 ya. Se-
hingga Teorema 4.2.1 menjamin bahwa x = y. Jadi φa adalah
pemetaan injektif. Untuk setiap y ∈ G terdapat aya−1 ∈ G sehingga
(aya−1 )φa = a−1 (aya−1 )a = y.
Jadi φ adalah pemetaan surjektif.
Untuk setiap x1 , x2 ∈ G, maka
(x1 x2 )φ = a−1 x1 x2 a = a−1 x1 ex2 a
= a−1 x1 aa−1 x2 a = (a−1 x1 a)(a−1 x2 a)
= (x1 )φ (x2 )φ,
yakni φ mempertahankan operasi. Sehingga φ adalah suatu isomor-
fisma.
Sekarang kita ketahui bahwa (a)φ ((a)φ)−1 = (a)φ (a−1 )φ, Teorema
4.2.1 menjamin (a−1 )φ = ((a)φ)−1 .
Contoh 7.2.4
Berikut ini akan kita perlihatkan Z4 ∼
= U (10).
Z4 ..................
U (10) ....................
Z4 ..................
U (10) ....................
..... ..... ..... ..... ..... .....
.... . .....
....
... .... . .....
....
...
... .......................................................................................................... ... ..........................................................................................................
..
.
... 0 ....
... ..... .. 1 ...
...
... ..
.
... 0 ....
... .
.. .... 1 ...
...
...
.... ... .
.
. .. ... .... ... .... ...
........................................................................................................
...
... 1 ...
... ..
. ..
. 3 ...
...
...
...
... 1 .......... ...
...........
............... ..
. ........
.
. ..............
.
.......... ...
3
.
...
...
...
... ... . . ... ... ... ..
.......... .
.. .
...... ...
.... .. .. .... .. ..
... .
..
.............. ... . ..
... .
... .... . ... ... ..
.. ..... . ..
... ... ... .. ... ... ..
....... ................. ..... ..
... ....... .. . .
.... ... .............. ..
...
...
...
2 .................. .
.
.................
...
..
...
................................. ... ..
...........................
. .
.
7 ...
.
.... ...
...
...
2 .................. ........
.....................
.
.... .................
.... ...
................ .... ..
.
.
. .
... . . . .. . ..
7 ...
..
.
..
Contoh 7.2.5
Perhatikan grup bilangan riel R dengan operasi penjumlahan biasa
dan grup bilangan riel tanpa nol R∗ dengan operasi perkalian biasa.
Maka R tidak isomorfik dengan R∗ .
Harus kita perlihatkan bahwa tidak terdapat suatu isomorfisma
dari R ke R∗ . Sebaliknya andaikan terdapat suatu isomorfisma φ :
R → R∗ . Karena φ adalah pemetaan surjektif, untuk setiap x ∈ R∗
terdapat y ∈ R sehingga (y)φ = x. Pada kondisi khusus untuk
−1 ∈ R∗ , terdapat y ∈ R sehingga (y)φ = −1. Tetapi
y y y y y
(y)φ = ( + )φ = ( )φ · ( )φ = [( )φ]2 = −1.
2 2 2 2 2
Bertentangan dengan kenyataan bahwa kuadrat dari suatu bilangan
riel adalah positip. Sehingga tidak terdapat isomorfisma dari R ke
R∗ .
e a1 a2 b1 b2 b3 I A B C D K
e e a1 a2 b1 b2 b3 I I A B C D K
a1 a1 a2 e b2 b3 b1 A A I C B K D
a2 a2 e a1 b3 b1 b2 B B K D A I C
b1 b1 b3 b2 e a2 a1 C C D K I A B
b2 b2 b1 b3 a1 e a2 D D C I K B A
b3 b3 b2 b1 a2 a1 e K K B A D C I
7.9 Bila G1 ∼
= G2 , perlihatkan G2 ∼
= G1 .
7.15 Andaikan √
G = {a + b 2 : a, b ∈ Q}
adalah suatu grup dengan operasi penjumlahan biasa, dan mi-
salkan ½· ¸ ¾
a 2b
H= : a, b ∈ Q
b a
adalah grup dengan operasi penjumlahan matriks. Perlihatkan-
lah bahwa G ∼= H.
xHx−1 = {xhx−1 : h ∈ H, x ∈ G}
99
100 Bab 8: Grup Permutasi
atau tiga unsur. Kemudian kita akan menyelidiki kasus ini secara
umum.
Andaikan A = {1, 2} adalah suatu himpunan dengan dua un-
sur. Berapa banyakkah permutasi yang mungkin atas himpunan A
dengan dua unsur?
ι α
1 −→ 1 1 −→ 2
2 −→ 2 2 −→ 1
Gambar 8.1
Perhatikan Gambar 8.1, dari gambar ini kita ketahui bahwa terda-
pat dua buah permutasi atas dua unsur, yakni permutasi identitas
ι (iota) dan permutasi α. Semua komposisi dari ι dan α kita perli-
hatkan pada Gambar 8.2 berikut ini
ι ι ι α
1 −→ 1 −→ 1 1 −→ 1 −→ 2
2 −→ 2 −→ 2 2 −→ 2 −→ 1
ι◦ι ι◦α
α ι α α
1 −→ 2 −→ 2 1 −→ 2 −→ 1
2 −→ 1 −→ 1 2 −→ 1 −→ 2
α◦ι α◦α
Gambar 8.2
1 2 3 1 2 3 1 2 3
β1 = ↓ ↓ ↓ ; β2 = ↓ ↓ ↓ ; β3 = ↓ ↓ ↓ .
1 3 2 3 2 1 2 1 3
102 Bab 8: Grup Permutasi
α1 β1
1 −→ 2 −→ 3
2 −→ 3 −→ 2
3 −→ 1 −→ 1.
Gambar 8.4
α1 ◦ β1 = β2 tetapi β1 ◦ α1 = β3 ,
sehingga α1 ◦ β1 6= β1 ◦ α1 .
Sekarang marilah kita bahas persoalan ini secara umum, baik
untuk himpunan hingga maupun himpunan tak hingga. Andaikan
SA adalah himpunan semua permutasi atas unsur di A. Perhatikan
bahwa untuk sebarang himpunan A, terdapat satu pemetaan identi-
tas ι : A → A yang didefinisikan oleh (a)ι = a untuk semua a ∈ A.
Tidaklah sulit untuk memperlihatkan bahwa ι adalah suatu permu-
tasi. Untuk sebarang permutasi α : A → A dan untuk setiap a ∈ A
berlaku
(a)(ι ◦ α) = ((a)ι)α = (a)α
dan
(a)(α ◦ ι) = ((a)α)ι = (a)α.
Jadi (ι ◦ α) = (α ◦ ι) = α, yakni ι bertindak sebagai unsur identitas
dari SA .
104 Bab 8: Grup Permutasi
a1 = a2 . Tetapi (a01 )α−1 = a1 dan (a02 )α−1 = a2 jika dan hanya jika
(a1 )α = a01 dan (a2 )α = a02 . Karena a1 = a2 , maka (a1 )α = (a2 )α,
yang berakibat a01 = a02 . Jadi α−1 adalah pemetaan injektif.
Ingat bahwa untuk setiap a ∈ A, (a)α = a0 . Karena (a)α = a0
jika dan hanya jika (a0 )α−1 = a, maka untuk setiap a ∈ A terdapat
a0 ∈ A sehingga (a0 )α−1 = a, yakni α−1 adalah suatu pemetaan
surjektif. Jadi α−1 : A → A adalah suatu permutasi.
Sekarang perhatikan bahwa untuk setiap a ∈ A dan a0 ∈ A
(a)(α ◦ α−1 ) = ((a)α)α−1 = (a0 )α−1 = a,
dan
(a0 )(α−1 ◦ α) = ((a0 )α−1 )α = (a)α = a0 .
Jadi (α ◦ α−1 ) = (α−1 ◦ α) = ι, yang berarti bahwa untuk setiap
α ∈ SA unsur kebalikan dari α adalah α−1 ∈ SA .
Teorema 2.2.6 menjamin bila α : A → A dan β : A → A adalah
permutasi atas A, maka (α ◦ β) adalah juga suatu permutasi atas A.
Sehingga operasi komposisi pemetaan adalah operasi biner atas him-
punan semua permutasi atas A, SA . Teorema 2.2.6 juga menjamin
bahwa operasi komposisi pemetaan adalah asosiatif. Kita rangkum
hasil diskusi kita di atas pada teorema berikut ini.
Contoh 8.1.3
Dari pembahasan kita mengenai grup S3 dengan
µ mudah
¶ kita peroleh
1 2 3
bahwa unsur kebalikan dari unsur α1 = adalah unsur
2 3 1
µ ¶
1 2 3
α2 = . Hal ini kita peroleh dengan menggunakan tabel
3 1 2
Cayley dari S3 . ¤
Secara umum bagaimanakah cara untuk menentukan unsur ke-
balikan dari sebarang unsur di Sn ?. Misalkan
µ ¶
1 2 3 4 5 6 7
α=
2 4 5 7 6 3 1
Sehingga
µ ¶ µ ¶
−1 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
α◦α =
2 4 5 7 6 3 1 7 1 6 2 3 5 4
µ ¶
1 2 3 4 5 6 7
= =ι
1 2 3 4 5 6 7
dan
µ ¶ µ ¶
−1 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
α ◦α =
7 1 6 2 3 5 4 2 4 5 7 6 3 1
µ ¶
1 2 3 4 5 6 7
= = ι.
1 2 3 4 5 6 7
di S8 adalah
µ ¶
1 2 3 4 5 6 7 8
β −1 =
1 8 2 4 3 5 7 6
Pada era awal dari aljabar modern, istilah grup mempunyai mak-
na yang berbeda dengan istilah grup yang kita gunakan sekarang ini.
Pada masa itu grup mempunyai arti hanyalah sebagai grup permu-
tasi. Berikut ini kita diskusikan hubungan antara grup permutasi
dan grup secara umum.
dan
Contoh 8.1.7
Kita perhatikan suatu grup G dengan tabel Cayley berikut ini :
e a b c x y z w
e e a b c x y z w
a a e x y b c w z
b b x e z a w c y
c c y z e w a b x
x x b a w e z y c
y y c w a z e x b
z z w c b y x e a
w w z y x c b a e
Tabel 8.4
8.2 Notasi Lingkaran 109
Pada bagian ini kita akan mendiskusikan suatu notasi yang mempun-
yai keunggulan dalam membahas sifat-sifat grup permutasi. Untuk
memudahkan diskusi kita pada notasi baru ini, kita perhatikan con-
toh sebagai berikut. Perhatikan suatu permutasi
µ ¶
1 2 3 4 5 6 7 8
α=
3 7 6 1 8 4 2 5
~
1 3 2 5
µ µ Á
α α α
/
4 6 7= 8À
}
Notasi dalam bentuk barisan seperti (1, 3, 6, 4), (2, 7) dan (5, 8) dise-
but sebagai notasi lingkaran.
Contoh 8.2.2
Notasi lingkaran α = (1, 4, 6, 8) di S8 berarti α memetakan 1 ke 4, 4
ke 6, 6 ke 8 dan 8 ke 1, dan memetakan unsur yang lain kedirinya
sendiri. Sehingga α dapat ditulis menjadi
µ ¶
1 2 3 4 5 6 7 8
α= .
4 2 3 6 5 8 7 1
Contoh 8.2.3
Tulislah µ ¶
1 2 3 4 5 6 7 8
α=
3 4 5 6 1 8 7 2
di S8 dalam notasi lingkaran.
Catatan
(1) Bila setiap unsur dari A = {1, 2, . . . , n} hanya terdiri dari satu
digit, maka lingkaran (s1 , s2 , . . . , sk ) ditulis (s1 s2 . . . sk ) tanpa
memakai tanda koma.
(2) Bila terdapat satu 1-lingkaran, maka dalam penulisan biasanya
dihilangkan. Sebagai contoh α = (135)(2468)(7) ditulis men-
jadi (135)(2468) saja. Jadi bila terdapat satu unsur yang tidak
muncul dalam notasi lingkaran, maka hal itu berarti unsur terse-
but dipetakan ke dirinya sendiri.
Contoh 8.2.4
Tulislah unsur kebalikan dari α = (147)(265) di S9 dalam notasi
lingkaran.
112 Bab 8: Grup Permutasi
Perhatikan bahwa
α = (147)(265)
µ ¶
1 2 3 4 5 6 7 8 9
= ,
4 6 3 7 2 5 1 8 9
sehingga
µ ¶
1 2 3 4 5 6 7 8 9
α−1 =
7 5 3 1 6 2 4 8 9
= (174)(256).
α = (1)(2) · · · (n).
Perhatikan bahwa
Contoh 8.2.8
Andaikan α = (1472)(568). Maka α dapat dinyatakan sebagai kom-
posisi transposisi-transposisi
α = (14)(17)(12)(56)(58)
atau
α = (21)(24)(27)(68)(65).
Sehingga penulisan α dalam komposisi transposisi-transposisi tidak-
lah tunggal. ¤
ι = θ1 θ2 · · · θk
(1) Kasus 1
θi+1 = (m, x), maka θi θi+1 = (m, x)(m, x) = ι. Sehingga ι da-
pat disederhanakan menjadi komposisi dari (k − 2) transposisi.
(2) Kasus 2
θi+1 = (m, y), y 6= m, x. Maka θi θi+1 = (m, x)(m, y). Tetapi
(m, x)(m, y) = (x, y)(m, x). Sekarang kita gantikan θi θi+1 deng-
an (x, y)(m, x) sehingga m pertama kali muncul di θi+1 (den-
gan perkataan lain kemunculan m yang pertama kali kita geser
satu langkah ke kanan). Lakukan hal ini berulang-ulang. Ingat
karena m tidak mungkin muncul pertama kali di θk , maka ter-
dapat θs , sehingga θs+1 = θs . Akibatnya kita kembali ke kasus
1, yakni ι dapat disederhanakan menjadi komposisi dari (k − 2)
transposisi.
(3) Kasus 3
θi+1 = (x, y), y 6= m, x. Maka
(4) Kasus 4
θi+1 = (y, z), m 6= y, z. Maka
Kita akhiri diskusi kita pada bab ini dengan mengetengahkan dua
teorema yang cukup penting.
ι = β1 β2 · · · βk θr θr−1 · · · θ1 .
8.8 Apakah hubungan yang anda peroleh tentang orde dari suatu
permutasi dan orde dari lingkaran-lingkaran yang mengkompo-
sisi permutasi tersebut?
8.15 Buktikan orde dari suatu permutasi yang ditulis sebagai kom-
posisi dari lingkaran-lingkaran yang saling asing adalah keli-
patan persekutuan terkecil dari orde lingkaran-lingkaran terse-
but.
Kita mulai diskusi kita pada bagian ini dengan memperkenalkan is-
tilah perkalian langsung luar dari beberapa grup.
G1 × G2 × · · · × Gn = {(g1 , g2 , . . . , gn ) : gi ∈ Gi , i = 1, 2, . . . , n}.
Satu hal perlu dicatat, bila kita mempunyai dua grup G1 dan G2 ,
secara umum berlaku bahwa G1 × G2 6= G2 × G1 .
119
120 Bab 9: Perkalian Langsung Luar
Contoh 9.1.2
Perhatikan grup Z2 = {0, 1} dan grup Z3 = {0, 1, 2}. Maka
Z2 × Z3 = {(0, 0), (0, 1), (0, 2), (1, 0), (1, 1), (1, 2)}
sementara
Z3 × Z2 = {(0, 0), (0, 1), (1, 0), (1, 1), (2, 0), (2, 1)}.
Jadi Z2 × Z3 6= Z3 × Z2 . ¤
Dari Tabel 9.1 kita peroleh unsur identitas dari Z2 ×Z3 adalah unsur
(0, 0). Unsur kebalikan dari setiap unsur di Z2 × Z3 adalah sebagai
berikut
(0, 0)−1 = (0, 0) (1, 0)−1 = (1, 0)
(0, 1)−1 = (0, 2) (1, 1)−1 = (1, 2)
(0, 2)−1 = (0, 1) (1, 2)−1 = (1, 1).
9.1 Definisi dan Contoh 121
(g1 h1 , g2 h2 , . . . , gn hn ) ∈ G1 × G2 × · · · × Gn ,
dan
Contoh 9.1.4
Perhatikan grup siklik Z2 = {0, 1}. Maka Z2 × Z2 = {(0, 0), (0, 1),
(1, 0), (1, 1)} adalah suatu grup dengan tabel Cayley seperti yang
9.2 Sifat-Sifat Perkalian Langsung Luar 123
Contoh 9.1.5
Perhatikan grup siklik Z2 = {0, 1} dan Z3 = {0, 1, 2}. Tabel Cayley
dari
Z2 × Z3 = {(0, 0), (0, 1), (0, 2), (1, 0), (1, 1), (1, 2)}
telah kita perlihatkan pada Tabel 9.1. Bila kita perhatikan lebih
lanjut, grup Z2 × Z3 adalah grup siklik dengan salah satu unsur
pembangunnya adalah unsur (1, 1). Perhatikan bahwa
1(1, 1) = (1, 1)
2(1, 1) = (1, 1) + (1, 1) = (0, 2)
3(1, 1) = 2(1, 1) + (1, 1) = (0, 2) + (1, 1) = (1, 0)
4(1, 1) = 3(1, 1) + (1, 1) = (1, 0) + (1, 1) = (0, 1)
5(1, 1) = 4(1, 1) + (1, 1) = (0, 1) + (1, 1) = (1, 2)
6(1, 1) = 5(1, 1) + (1, 1) = (1, 2) + (1, 1) = (0, 0).
atau
(g1 h1 , g2 h2 , . . . , gn hn ) = (h1 g1 , h2 g2 , . . . , hn gn )
yang berakibat gi hi = hi gi untuk setiap gi , hi ∈ Gi , i = 1, 2, . . . , n,
yakni setiap Gi adalah grup komutatif.
(g1 , g2 , . . . , gn )s = (e1 , e2 , . . . , en ),
Contoh 9.2.3
Perhatikan grup Z2 ×Z3 pada Contoh 9.1.5. Perhatikan unsur (1, 2) ∈
Z2 × Z3 . Unsur 1 ∈ Z2 berorde 2 dan unsur 2 ∈ Z3 berorde 3, se-
hingga menurut Teorema 9.2.2 orde dari unsur (1, 2) adalah kelipatan
persekutuan terkecil dari 2 dan 3. Yakni orde dari (1, 2) adalah 6.
Dalam hal ini kita peroleh
1(1, 2) = (1, 2)
2(1, 2) = (1, 2) + (1, 2) = (0, 1)
3(1, 2) = 2(1, 2) + (1, 2) = (0, 1) + (1, 2) = (1, 0)
4(1, 2) = 3(1, 2) + (1, 2) = (1, 0) + (1, 2) = (0, 2)
5(1, 2) = 4(1, 2) + (1, 2) = (0, 2) + (1, 2) = (1, 1)
6(1, 2) = 5(1, 2) + (1, 2) = (1, 1) + (1, 2) = (0, 0).
Sekarang kita bandingkan hasil diskusi kita yang kita bahas pada
Contoh 9.1.4 dan Contoh 9.1.5. Dari kedua contoh ini kita peroleh
fakta bahwa perkalian langsung luar dari dua grup siklik tidak harus
126 Bab 9: Perkalian Langsung Luar
siklik. Dari kedua contoh ini terlihat bahwa perkalian langsung luar
dari dua grup siklik akan merupakan grup siklik bila orde kedua grup
tersebut adalah prima relatif. Andaikan G dan H adalah grup siklik
hingga. Teorema berikut ini menyatakan bahwa syarat perlu dan
syarat cukup agar G × H merupakan grup siklik adalah pembagi
persekutuan terbesar dari orde grup G dan orde grup H adalah 1.
Teorema 9.2.4 Z m × Z n ∼
= Z mn jika dan hanya jika m dan n
adalah prima relatif.
Contoh 9.2.6
Perhatikan grup Z2 × Z3 × Z3 × Z5 . Karena 2 dan 3 adalah prima
relatif maka Z2 × Z3 × Z3 × Z5 ∼ = Z6 × Z3 × Z5 . Karena 3 dan 5
adalah prima relatif, maka Z6 × Z3 × Z5 ∼= Z6 × Z15 .
Sekarang kita perhatikan grup Z4 × Z3 × Z2 × Z5 . Karena 3, 2,
dan 5 adalah prima relatif, maka Z4 × Z3 × Z2 × Z5 ∼ = Z4 × Z30 .
Tetapi 4 dan 3 adalah prima relatif, dan juga 2 dan 5 adalah prima
relatif, sehingga Z4 × Z3 × Z2 × Z5 ∼= Z12 × Z2 × Z5 ∼= Z12 × Z10 .
Perhatikan bahwa Teorema 9.2.4 menjamin
Z4 × Z3 × Z2 × Z5 ∼
= Z3 × Z4 × Z5 × Z2 ∼
= Z3 × Z20 × Z2 .
9.1 Tulis semua unsur dari Z3 × Z6 dan tentukan orde dari setiap
unsurnya.
128 Bab 9: Perkalian Langsung Luar
P ada bagian ini kita akan mendiskusikan suatu konsep dasar yang
membahas hubungan aritmatik dalam suatu grup. Yakni, bila G
adalah suatu grup terbatas, maka orde dari sebarang subgrup dari G
adalah pembagi dari orde dari grup tersebut. Sebelum kita memba-
has hubungan aritmatik tersebut akan diperkenalkan terlebih dahulu
konsep koset.
129
130 Bab 10: Koset Dari Subgrup
Contoh 10.1.2
Perhatikan grup Z12 dengan operasi penjumlahan modulo 12. An-
daikan H adalah subgrup {0, 4, 8} dari grup Z12 . Semua koset kiri
dari H adalah
0 + H = {0 + 0, 0 + 4, 0 + 8} = {0, 4, 8} = H
1 + H = {1 + 0, 1 + 4, 1 + 8} = {1, 5, 9}
2 + H = {2 + 0, 2 + 4, 2 + 8} = {2, 6, 10}
3 + H = {3 + 0, 3 + 4, 3 + 8} = {3, 7, 11}
4 + H = {4 + 0, 4 + 4, 4 + 8} = {4, 8, 0} = H
5 + H = {5 + 0, 5 + 4, 5 + 8} = {5, 9, 1} = 1 + H
6 + H = {6 + 0, 6 + 4, 6 + 8} = {6, 10, 2} = 2 + H
7 + H = {7 + 0, 7 + 4, 7 + 8} = {7, 11, 3} = 3 + H
8 + H = {8 + 0, 8 + 4, 8 + 8} = {8, 0, 4} = H = 4 + H
9 + H = {9 + 0, 9 + 4, 9 + 8} = {9, 1, 5} = 1 + H = 5 + H
10 + H = {10 + 0, 10 + 4, 10 + 8} = {10, 2, 6}
= 2+H =6+H
11 + H = {11 + 0, 11 + 4, 11 + 8} = {11, 3, 7}
= 3 + H = 7 + H.
Contoh 10.1.3
Perhatikan grup permutasi S3 atas tiga unsur {1, 2, 3}. Himpunan
H = {(1), (123), (132)} adalah subgrup dari S3 . Perhatikan bahwa
10.1 Definisi dan Sifat Koset 131
G = H ∪ a1 H ∪ · · · ∪ as−1 H.
Contoh 10.2.2
Perhatikan grup Z12 . Subgrup dari Z12 adalah H = {0}, H1 = {0, 6},
H2 = {0, 4, 8}, H3 = {0, 3, 6, 9}, H4 = {0, 2, 4, 6, 8, 10} dan Z12 .
Perhatikan bahwa orde dari H adalah 1, orde dari H1 adalah 2, orde
dari H2 adalah 3, orde dari H3 adalah 4, dan orde dari H4 adalah 6
yang masing-masing merupakan pembagi dari orde dari grup (Z12 ),
yakni 12. ¤
10.2 Teorema Lagrange dan Akibatnya 135
Bukti. Ingat bahwa orde dari suatu unsur a pada grup G adalah
sama dengan orde dari subgrup siklik hai yang dibangun oleh unsur
a. Menurut teorema Lagrange orde dari subgrup siklik hai meru-
pakan pembagi dari orde grup G. Sehingga orde dari unsur a adalah
pembagi dari orde grup G.
Contoh 10.2.4
Andaikan G adalah grup quaternion dengan tabel Cayley di bawah
ini.
1 −1 i −i j −j k −k
1 1 −1 i −i j −j k −k
−1 −1 1 −i i −j j −k k
i i −i −1 1 k −k −j j
−i −i i 1 −1 −k k j −j
j j −j −k k −1 1 i −i
−j −j j k −k 1 −1 −i i
k k −k j −j −i i −1 1
−k −k k −j j i −i 1 −1
Tabel 10.1
Contoh 10.2.9
Perhatikan grup G = Z8 . Himpunan H = {0, 2, 4, 6} dan himpunan
10.3 Soal-Soal Latihan 137
10.2 Perhatikan grup siklik hai yang berorde 15. Tentukan semua
koset dari H = ha5 i.
H = {· · · , −8, −4, 0, 4, 8, · · · }.
Tentukan [G : H].
P ada bab ini kita akan memperkenalkan suatu grup baru yang
unsur-unsurnya terdiri dari koset-koset dari suatu subgrup. Pada
diskusi kita, akan kita lihat bahwa tidak semua himpunan koset-koset
membentuk suatu grup. Hanya subgrup-subgrup dengan sifat ter-
tentu yang himpunan semua kosetnya akan membentuk suatu grup.
11.1 Pengantar
Kita ingat kembali diskusi kita pada Bab 10. Pada Contoh 10.1.2
kita telah mengetahui bahwa himpunan semua koset kiri dari subgrup
H = {0, 4, 8} dalam Z12 adalah
M = {0 + H, 1 + H, 2 + H, 3 + H},
139
140 Bab 11: Grup Koset
Dengan cara seperti ini tabel Cayley dari M dengan operasi penjum-
lahan modulo 12 adalah seperti yang diperlihatkan oleh Tabel 11.1.
Dari Tabel 11.1 kita ketahui bahwa operasi yang kita definisikan
atas M merupakan suatu operasi biner dan juga kita ketahui bahwa
unsur identitas dari M adalah 0 + H = H. Kemudian kita juga
mengetahui bahwa 3+H, 2+H, dan 1+H masing-masing adalah un-
sur kebalikan dari 1+H, 2+H dan 3+H. Tentu saja unsur kebalikan
dari 0 + H adalah 0 + H itu sendiri. Kita dapat memeriksa bahwa
operasi biner atas M yang didefinisikan pada Tabel 11.1 adalah aso-
sisatif, karena operasi ini asosiatif atas Z12 . Sehingga M adalah su-
atu grup yang unsur-unsurnya terdiri dari koset-koset dari subgrup
H. Grup yang demikian kita sebut sebagai grup koset.
Demikian juga halnya bila kita perhatikan subgrup
(1)H (13)H
(1)H (1)H (13)H
(13)H (13)H (1)H
Tabel 11.2
Jadi K dengan operasi biner yang diberikan oleh operasi biner atas
S3 adalah suatu grup.
Seperti yang telah kita kemukakan di atas, tidak semua him-
punan koset-koset dari suatu grup akan membentuk grup. Seba-
gai contoh, bila kita perhatikan subgrup H1 = {(1), (13)} dari S3 ,
11.2 Subgrup Normal dan Grup Koset 141
maka semua koset kiri dari H1 dalam S3 adalah (1)H1 = {(1), (13)};
(12)H1 = {(12), (123)} dan (23)H1 = {(23), (132)}. Dengan meng-
gunakan operasi biner atas S3 kita peroleh
yang tidak merupakan koset kiri dari H1 . Jadi himpunan koset kiri
dari H1 dalam S3 dengan operasi komposisi pemetaan tidak mem-
bentuk sebuah grup.
Sekarang kembali kita perhatikan sifat-sifat subgrup H pada Z12
dan subgrup H pada S3 . Karena grup Z12 adalah komutatif, maka
koset kiri dari H adalah juga koset kanan dari H. Demikian juga,
pada Contoh 10.1.3 sudah kita bahas bahwa koset kiri dari H =
{(1), (123), (132)} dalam S3 sama dengan koset kanan dari H dalam
S3 . Sebaliknya tidaklah demikian halnya dengan subgrup H1 dari S3 .
Dalam hal ini kita peroleh koset kiri dari H1 tidak sama dengan koset
kanan dari H1 . Sebagai contoh, koset kiri dari H1 yang ditentukan
oleh (12) adalah
(12)H1 = {(12), (123)},
dan koset kanan dari H1 yang ditentukan oleh (12) adalah
Jadi koset kiri dari H1 tidaklah sama dengan koset kanan dari H1 .
Analisa kita di atas memperlihatkan bahwa bila H adalah sub-
grup dari grup G sehingga setiap koset kiri dari H sama dengan koset
kanannya, maka himpunan semua koset dari H akan membentuk se-
buah grup. Tetapi bila koset kiri dari H tidak sama dengan koset
kanannya, maka himpunan koset dari H tidak membentuk sebuah
grup. Sekarang timbul suatu pertanyaan “Bila H adalah subgrup
dari suatu grup G sehingga setiap koset kiri dari H sama dengan
koset kanan dari H apakah himpunan semua koset kiri dari H den-
gan operasi biner “yang dipinjam” dari grup G akan membentuk su-
atu grup”?
142 Bab 11: Grup Koset
Contoh 11.2.2
Bila G adalah suatu grup komutatif, maka untuk setiap subgrup
H dari G berlaku hubungan gH = {gh : h ∈ H} = {hg : h ∈
H} = Hg untuk semua g ∈ G, yakni setiap subgrup dari suatu
grup komutatif adalah subgrup normal. Sebagai contoh perhatikan
grup Z6 , semua subgrup sejati dari Z6 adalah H1 = {0, 2, 4}, dan
H2 = {0, 3}. Perhatikan bahwa koset kiri dari H1 adalah
Contoh 11.2.3
Kita perhatikan kembali grup permutasi atas 3 unsur S3 dan subgrup
H = {(1), (132), (123)} dari S3 . Semua koset kiri dari H adalah
Sehingga koset kiri dari H sama dengan koset kanan dari H. Jadi H
adalah subgrup normal dari S3 . ¤
Contoh 11.2.4
Andaikan H adalah sebarang subgrup dari G, maka H adalah sub-
grup normal dari Penormal N (H) dari H. Selanjutnya bila H adalah
subgrup normal dari G, maka N (H) = G.
Andaikan H adalah subgrup dari G. Perhatikan bahwa Penormal
dari H didefinisikan sebagai N (H) = {a ∈ G : a−1 Ha = H}, hal ini
berarti untuk setiap a ∈ N (H) berlaku a−1 Ha = H. Pada sisi lain,
a−1 Ha = H jika dan hanya jika a(a−1 Ha) = aH, yakni Ha = aH.
Jadi H adalah subrup normal dari N (H).
Selanjutnya bila H adalah subgrup normal dari G, maka aH =
Ha untuk semua a ∈ G, yakni a−1 Ha = H untuk semua a ∈ G.
Sehingga untuk setiap a ∈ G, berlaku a ∈ N (H) yang berarti G ⊆
N (H). Tetapi N (H) adalah subgrup dari G. Jadi bila H adalah
subgrup normal dari G, maka G = N (H). ¤
Contoh 11.2.7
Perhatikan grup quaternion G dengan tabel Cayley seperti yang
diperlihatkan Tabel 10.1 pada Contoh 10.2.4.
Perhatikan bahwa grup quaternion G bukan suatu grup komu-
tatif. Sentral dari grup G adalah Z(G) = {1, −1}. Semua koset
kiri dari Z(G) adalah Z(G) = {1, −1}, iZ(G) = {i, −i}, jZ(G) =
{j, −j}, dan kZ(G) = {k, −k}. Sementara koset kanan dari Z(G)
adalah Z(G) = {1, −1}, Z(G)i = {i, −i}, Z(G)j = {j, −j},dan koset
Z(G)k = {k, −k}. Sehingga Z(G) adalah subgrup normal dari G. ¤
Catatan
Perhatikan bahwa mulai sekarang notasi aH dapat berarti koset kiri
dari subgrup H yang ditentukan oleh unsur a dan juga bisa berarti
suatu unsur pada grup G/H.
Contoh 11.2.11
Perhatikan grup bilangan bulat Z. Himpunan 4Z = {· · · , −8, −4, 0,
4, 8, · · · } adalah subgrup normal dari Z, karena Z adalah grup ko-
mutatif. Koset-koset kiri dari 4Z adalah
0 + 4Z = {· · · , −8, −4, 0, 4, 8, · · · }
1 + 4Z = {· · · , −7, −3, 1, 5, 9, · · · }
2 + 4Z = {· · · , −6, −2, 2, 6, 10, · · · }
3 + 4Z = {· · · , −5, −1, 3, 7, 11, · · · }.
Jadi himpunan semua koset kiri dari 4Z adalah
Z/4Z = {0 + 4Z, 1 + 4Z, 2 + 4Z, 3 + 4Z}.
Tabel Cayley dari Z/4Z adalah
0 + 4Z 1 + 4Z 2 + 4Z 3 + 4Z
0 + 4Z 0 + 4Z 1 + 4Z 2 + 4Z 3 + 4Z
1 + 4Z 1 + 4Z 2 + 4Z 3 + 4Z 0 + 4Z
2 + 4Z 2 + 4Z 3 + 4Z 0 + 4Z 1 + 4Z
3 + 4Z 3 + 4Z 0 + 4Z 1 + 4Z 2 + 4Z
Tabel 11.3
Dari tabel ini kita dapat melihat bahwa
1(1 + 4Z) = 1 + 4Z
2(1 + 4Z) = (1 + 4Z) + (1 + 4Z) = 2 + 4Z
3(1 + 4Z) = 2(1 + 4Z) + (1 + 4Z) = 3 + 4Z
4(1 + 4Z) = 3(1 + 4Z) + (1 + 4Z) = 0 + 4Z
11.2 Subgrup Normal dan Grup Koset 147
1 3 5 7
1 1 3 5 7
3 3 1 7 5
5 5 7 1 3
7 7 5 3 1
Tabel 11.4
gh = (ai z1 )(aj z2 )
= ai (z1 aj )z2 .
gh = ai aj z1 z2 = aj ai z2 z1
= (aj z2 )(ai z1 ) = hg.
HN = {hn : h ∈ H, n ∈ N }
HK = {hk : h ∈ H, k ∈ K}
Pada bagian ini, kita akan memberikan definisi formal dari suatu ho-
momorfisma, jenis-jenis homomorfisma, dan selanjutnya akan diba-
has beberapa sifat mendasar yang dimiliki oleh suatu homomorfisma.
151
152 Bab 12: Homomorfisma Grup
(g1 g2 )φ = g1 g2 N
= g1 N g2 N
= (g1 )φ (g2 )φ.
Contoh 12.1.5
Perhatikan grup Z8 dengan operasi penjumlahan modulo 8. Mis-
alkan N = {0, 4}, N adalah subgrup normal dari Z8 . Sehingga
Z8 /N adalah juga suatu grup. Tabel Cayley dari grup Z8 dan Z8 /N
masing-masing diperlihatkan oleh Tabel 12.1 dan Tabel 12.2.
0 1 2 3 4 5 6 7
0 0 1 2 3 4 5 6 7
1 1 2 3 4 5 6 7 0
2 2 3 4 5 6 7 0 1
3 3 4 5 6 7 0 1 2
4 4 5 6 7 0 1 2 3
5 5 6 7 0 1 2 3 4
6 6 7 0 1 2 3 4 5
7 7 0 1 2 3 4 5 6
Tabel 12.1
Tabel 12.4 identik dengan tabel Cayley dari Z8 /N seperti yang diper-
lihatkan oleh Tabel 12.2. Jadi φ adalah homomorfisma surjektif dari
Z8 ke Z8 /N . ¤
Contoh 12.1.7
Perhatikan homomorfisma φ : Z8 → Z8 /N pada Contoh 12.1.5.
Karena unsur identitas dari grup Z8 /N adalah unsur 0 + N , maka
dapat kita simpulkan bahwa himpunan N = {0, 4} adalah inti dari
homomorfisma φ. ¤
156 Bab 12: Homomorfisma Grup
Contoh 12.1.8
Perhatikan grup himpunan bilangan kompleks C dengan operasi pen-
jumlahan dan grup bilangan kompleks tanpa nol C∗ dengan operasi
perkalian. Definisikan pemetaan φ : C → C∗ oleh (z)φ = ez =
ex+iy = ex (cos y + i sin y) untuk semua z = x + iy ∈ C. Pemetaan
φ adalah suatu homomorfisma, karena untuk sebarang z1 = x1 + iy1
dan z2 = x2 + iy2 di C berlaku
Karena unsur identitas dari C∗ adalah unsur 1, maka inti dari ho-
momorfisma φ didefinisikan sebagai
Inti(φ) = {z ∈ C : ez = 1}
yakni
Inti(φ) = {2nπi : n = 0, ±1, ±2, . . .}.
Perhatikan bahwa 0 ∈ Inti(φ) dan bila 2n1 π, 2n2 π ∈ Inti(φ), maka
2n1 π − 2n2 π = 2(n1 − n2 )π ∈ Inti(φ). Jadi Inti(φ) adalah subgrup
dari C. ¤
Secara umum konvers dari Teorema 12.1.9 juga benar, yakni se-
tiap subgrup normal adalah inti dari suatu homomorfisma.
Inti(φ) = {g ∈ G : (g)φ = N }.
Contoh 12.2.2
Andaikan L = {cos x + i sin x : x ∈ R}, yakni L adalah himpunan se-
mua titik pada bidang kompleks yang terletak pada lingkaran dengan
jari-jari 1 dan berpusat di pangkal koordinat.
Soal 4.18 memperlihatkan bahwa L dengan operasi perkalian bilang-
an kompleks adalah suatu grup. Pandang pemetaan φ : R → L dari
grup himpunan bilangan riel dengan operasi penjumlahan ke grup
L yang didefinisikan oleh (x)φ = cos x + i sin x untuk semua x ∈ R.
160 Bab 12: Homomorfisma Grup
Bukti. Perhatikan bahwa Soal 11.5 dan Soal 11.6 menjamin bahwa
bentuk H/(H ∩N ) dan HN/N adalah terdefinisi dengan baik. Selan-
jutnya perhatikan bahwa unsur-unsur pada grup koset HN/N adalah
dalam bentuk
HN/N = {hnN : hn ∈ HN }.
Tetapi karena nN = N , maka HN/N = {hN : h ∈ H}.
Perhatikan pemetaan φ : H → HN/N yang didefinisikan oleh
(h)φ = hN untuk semua h ∈ H. Kita akan memperlihatkan bahwa
φ adalah suatu homomorfisma surjektif dari H ke HN/N dengan
12.2 Teorema-teorema Isomorfisma 161
(h1 h2 )φ = h1 h2 N
= h1 N h2 N
= (h1 )φ (h2 )φ.
Inti(φ) = {h ∈ H : (h)φ = N }.
12.12 Andaikan G adalah grup hingga dan Z10 adalah bayangan ho-
momorfik dari G. Apakah yang dapat kita simpulkan tentang
orde dari grup G?
165
166 Bab 13: Pengantar Gelanggang
a · (b + c) = a · b + a · c dan (a + b) · c = a · c + b · c.
Selanjutnya untuk mempermudah apabila memungkinkan penulis-
an notasi a · b cukup dituliskan ab saja.
Berikut ini kita diskusikan beberapa contoh dari gelanggang.
Contoh 13.1.2
Himpunan-himpunan bilangan riel R, bilangan rasional Q, dan bilan-
gan bulat Z dengan operasi penjumlahan dan perkalian biasa adalah
suatu gelanggang komutatif. ¤
Contoh 13.1.3
Himpunan bilangan bulat modulo 4, Z4 , dengan operasi penjumla-
han dan perkalian modulo 4 adalah suatu gelanggang dengan unsur
kesatuan.
Untuk memperlihatkan hal tersebut, perhatikan tabel Cayley dari
operasi penjumlahan dan perkalian modulo 4 dari Z4 yang diperli-
hatkan oleh Tabel 13.1 dan Tabel 13.2. Dari kedua tabel tersebut
13.1 Pengertian Gelanggang 167
+ 0 1 2 3 · 0 1 2 3
0 0 1 2 3 0 0 0 0 0
1 1 2 3 0 1 0 1 2 3
2 2 3 0 1 2 0 2 0 2
3 3 0 1 2 3 0 3 2 1
Tabel 13.1 Tabel 13.2
Contoh 13.1.4
Himpunan matriks berordo 2 × 2
½· ¸ ¾
a b
R= : a, b, c, d ∈ R
c d
· ¸ · ¸
a b e f
dua unsur , ∈ R,
c d g h
· ¸ · ¸ · ¸
a b e f a+e b+f
+ =
c d g h c+g d+h
· ¸
e+a f +b
=
g+c h+d
· ¸ · ¸
e f a b
= + .
g h c d
Karena
· ¸(ae·+ bg), (af
¸ + bh), (ce + dg), (cf + dh) ∈ R, maka hasil kali
a b e f
berada di R. Sehingga operasi perkalian matriks
c d g h
adalah suatu operasi biner atas R. Dengan cara yang sama seperti
pada Contoh 4.1.8 dapat kita perlihatkan bahwa operasi perkalian
matriks pada R adalah asosiatif.
· ¸ · ¸
a b e f
Untuk sebarang tiga unsur A1 = , A2 = , dan
c d g h
· ¸
r s
A3 = di R, maka
t u
· ¸ µ· ¸¸¶ ·
a b e f
r s
A1 (A2 + A3 ) = +
c d g h
t u
· ¸ · ¸
a b e+r f +s
=
c d g+t h+u
· ¸
a(e + r) + b(g + t) a(f + s) + b(h + u)
= .
c(e + r) + d(g + t) c(f + s) + d(h + u)
13.1 Pengertian Gelanggang 169
Sementara itu
· ¸ · ¸ · ¸ · ¸
a b e f a b r s
A1 A2 + A1 A3 = +
c d g h c d t u
· ¸ · ¸
ae + bg af + bh ar + bt
as + bu
= +
ce + dg cf + dh cr + dt
cs + du
· ¸
ae + bg + ar + bt af + bh + as + bu
=
ce + dg + cr + dt cf + dh + cs + du
· ¸
a(e + r) + b(g + t) a(f + s) + b(h + u)
= .
c(e + r) + d(g + t) c(f + s) + d(h + u)
Contoh 13.1.5
Andaikan R adalah himpunan semua pemetaan α : R → R. Him-
punan R dengan operasi yang didefinisikan oleh
dan
(x)(α · β) = (x)α (x)β
Catatan
Pada diskusi kita selanjutnya kita pergunakan aturan penulisan se-
bagai berikut.
• Untuk sebarang dua unsur a, b ∈ R, a · b cukup ditulis sebagai
ab.
• Bila n ∈ Z+ dan x ∈ R, maka notasi nx kita tulis sebagai n · x
yang bermakna
n buah
z }| {
n · x = x + x + ··· + x.
Contoh 13.3.2
Kita perhatikan gelanggang Z12 . Maka unsur 2, 3, 4, 6 ∈ Z12 masing-
masing adalah unsur pembagi nol. Hal ini disebabkan (2)(6) = 0,
(3)(4) = 0, (4)(3) = 0 dan (6)(2) = 0. ¤
Contoh 13.3.3
Kita perhatikan himpunan A = {1, 2}. Himpunan kuasa dari A,
P (A) = {Ø, {1}, {2}, A}, dengan operasi biner yang didefinisikan
oleh
X + Y = (X ∪ Y ) \ (X ∩ Y ) dan X · Y = X ∩ Y
Contoh 13.3.5
Himpunan Z5 dengan operasi penjumlahan dan perkalian modulo 5
adalah suatu gelanggang komutatif. Dengan memperhatikan tabel
Cayley dari Z5 terhadap operasi perkalian modulo 5
13.3 Daerah integral dan Lapangan 175
· 0 1 2 3 4
0 0 0 0 0 0
1 0 1 2 3 4
2 0 2 4 1 3
3 0 3 1 4 2
4 0 4 3 2 1
Tabel 13.3
Contoh 13.3.6
Gelanggang dari bilangan bulat Z adalah suatu daerah integral ,
karena untuk setiap x, y ∈ Z persamaan xy = 0 dipenuhi hanya
apabila x = 0 atau y = 0. ¤
Kembali kita ingat bahwa pada suatu grup berlaku hukum kanse-
lasi, tetapi secara umum hukum ini tidak berlaku pada gelanggang.
Teorema berikut ini memperlihatkan bahwa hukum kanselasi juga
berlaku pada daerah integral .
Contoh 13.3.9
Gelanggang komutatif himpunan bilangan riel R dan himpunan bi-
langan rasional,Q dengan operasi penjumlahan dan perkalian bi-
asa masing-masing adalah suatu lapangan dengan unsur kesatuan
1. Tetapi gelanggang komutatif Z dengan unsur kesatuan 1 bukan-
lah suatu lapangan, karena unsur 3 ∈ Z bukan unsur satuan. ¤
Contoh 13.3.10
Gelanggang komutatif Z5 dengan unsur kesatuan 1 adalah suatu la-
pangan. Dari Tabel 13.3 kita ketahui bahwa setiap unsur tak nol
dari Z5 adalah suatu unsur satuan. Perhatikan bahwa dalam hal ini
1−1 = 1, 2−1 = 3, 3−1 = 2 dan 4−1 = 4. ¤
Pada kasus daerah integral tak hingga, maka konvers dari Teo-
rema 13.3.11 juga benar seperti yang dinyatakan berikut ini.
1, a1 , a2 , . . . , an
adalah dua himpunan yang sama. Hal ini berarti bahwa terdapat j,
1 ≤ j ≤ n, sehingga aaj = 1. Jadi setiap unsur tak nol di D adalah
unsur satuan. Sehingga D adalah suatu lapangan.
Contoh 13.4.2
Perhatikan gelanggang Z4 pada Contoh 13.1.3. Karakteristik dari
Z4 adalah 4, karena 4x = 0 untuk semua x ∈ Z4 . Secara umum,
untuk sembarang bilangan bulat positif m ≥ 2 karakteristik dari
gelanggang Zm adalah m. Karakteristik dari gelanggang bilangan
bulat Z adalah 0, karena tidak terdapat bilangan bulat positip n
sehingga nx = 0 untuk semua x ∈ Z. ¤
Contoh 13.4.3
Kita perhatikan kembali gelanggang dari himpunan kuasa dari him-
punan A = {1, 2}, P (A) = {Ø, {1}, {2}, A}. Maka karakteristik dari
13.4 Karakteristik dari Gelanggang 179
2Ø = Ø + Ø = (Ø ∪ Ø) \ (Ø ∩ Ø) = Ø
2{1} = {1} + {1} = ({1} ∪ {1}) \ ({1} ∩ {1}) = {1} \ {1} = Ø
2{2} = {2} + {2} = ({2} ∪ {2}) \ ({2} ∩ {2}) = {2} \ {2} = Ø
2A = A + A = (A ∪ A) \ (A ∩ A) = A \ A = Ø.
Bukti. Jika unsur kesatuan 1 berode tak hingga, maka tidak ter-
dapat bilangan bulat n sehingga n · 1 = 0. Sehingga R mempunyai
karakteristik 0.
Sekarang, kita misalkan unsur kesatuan 1 berorde n. Maka n·1 =
0. Hal ini berakibat untuk setiap x ∈ R diperoleh
n buah
z }| {
n · x = n · (1 x) = (1 x + 1 x + · · · + 1 x)
n buah
z }| {
= (1 + 1 + · · · + 1)x
= (n · 1)x = 0x = 0.
Bukti. Menurut Teorema 13.4.4 kita cukup mencari orde dari unsur
kesatuan 1. Bila orde dari unsur kesatuan 1 adalah tak hingga, maka
karakteristik dari D adalah 0. Selanjutnya, misalkan orde dari unsur
1 adalah bilangan n yang bukan prima. Misalkan saja n = km
dengan k < n dan m < n. Maka
n · 1 = (km) · 1 = (k · 1)(m · 1) = 0.
Karena D adalah suatu daerah integral, maka D tidak mempunyai
unsur pembagi nol. Hal ini berakibat k · 1 = 0 atau m · 1 = 0.
Bertentangan dengan kenyataan bahwa orde dari unsur kesatuan 1
adalah n. Jadi n haruslah merupakan bilangan prima.
14.1 Subgelanggang
183
184 Bab 14: Subgelanggang, Ideal dan Gelanggang Faktor
Contoh 14.1.3
Dalam Contoh 13.1.4 sudah kita bicarakan bahwa himpunan
½· ¸ ¾
a b
R= : a, b, c, d ∈ R
c d
dengan operasi penjumlahan dan perkalian matriks adalah suatu
gelanggang. Berikut ini kita akan memperlihatkan bahwa himpunan
½· ¸ ¾
a 0
S= : a, b ∈ R
b 0
adalah suatu subgelanggang dari R.
Jelaslah bahwa S adalah himpunan bagian tak kosong dari R
dan unsur· identitas
¸ relatif terhadap operasi penjumlahan berada di
0 0
S, yakni berada di S. Sekarang, kita perhatikan sebarang
0 0
· ¸ · ¸
a1 0 a2 0
dua unsur A1 = dan A2 = yang berada di S.
b1 0 b2 0
Akibatnya
· ¸ · ¸
a1 0 a2 0
A1 − A2 = −
b1 0 b2 0
· ¸
a1 − a2 0
=
b1 − b2 0
juga berada di S. Selanjutnya,
· ¸ · ¸
a1 0 a2 0
A1 A2 =
b1 0 b2 0
· ¸
a1 a2 0
=
b1 a2 0
ternyata juga berada di S. Menurut Teorema 14.1.2, S adalah suatu
subgelanggang dari R. ¤
Contoh 14.1.4
Pada diskusi kita mengenai grup, sudah kita perlihatkan bahwa sen-
tral dari suatu grup adalah suatu subgrup. Berikut ini kita perli-
hatkan bahwa sentral dari suatu gelanggang adalah subgelanggang.
186 Bab 14: Subgelanggang, Ideal dan Gelanggang Faktor
Satu hal perlu diperhatikan bahwa dalam teori grup telah kita
perlihatkan bahwa unsur identitas dari suatu subgrup adalah sama
dengan unsur identitas dari grupnya. Tetapi tidak demikian halnya
dalam suatu gelanggang, unsur kesatuan dari suatu subgelanggang
mungkin saja berbeda dengan unsur kesatuan dari gelanggangnya.
Sebagai contoh, perhatikan gelanggang himpunan kuasa P (A) =
{Ø, {1}, {2}, A} dari himpunan A = {1, 2} dengan operasi penjum-
lahan yang didefinisikan sebagai
X + Y = (X ∪ Y ) \ (X ∩ Y )
X ·Y =X ∩Y
Dari kedua tabel di atas dapat dilihat bahwa P (A) adalah suatu
gelanggang dengan unsur kesatuan A. Sekarang kita perhatikan him-
punan S = {Ø, {1}}. S adalah subgelanggang dari P (A), tetapi un-
sur kesatuan dari S adalah unsur {1} 6= A. Demikian juga bila kita
perhatikan himpunan bagian S1 = {Ø, {2}}, maka S1 adalah suatu
subgelanggang dari P (A) dengan unsur kesatuan {2} 6= A.
Contoh 14.2.3
Himpunan ½· ¸ ¾
a 0
N= : a, b ∈ Z
b 0
adalah ideal kiri dari gelanggang
½· ¸ ¾
x y
R= : x, y, u, v ∈ Z
u v
14.2. Ideal dari Gelanggang 189
diperoleh
· ¸ · ¸ · ¸
2 0 1 2 2 4
= ∈
/ N.
3 0 0 1 3 6
sehingga N bukan ideal kanan dari R. ¤
Contoh 14.2.4
Himpunan
½· ¸ ¾
a b
N= : a, b ∈ Z
0 0
adalah ideal kanan dari gelanggang semua matriks berordo 2 × 2
dengan bilangan bulat sebagai unsurnya. ¤
190 Bab 14: Subgelanggang, Ideal dan Gelanggang Faktor
Contoh 14.2.5
Himpunan ½· ¸ ¾
a c
N= : a, b, c, d ∈ 2Z
b d
adalah ideal dari gelanggang
½· ¸ ¾
x y
R= : x, y, u, v ∈ Z
u v
Karena (ax + cu), (ay + cv), (bx + du), (by + dv) ∈ 2Z, maka
· ¸· ¸
a c x y
∈ N.
b d u v
Hal ini berarti bahwa N adalah ideal kanan dari R. Dengan cara
yang serupa dapat diperlihatkan bahwa
· ¸· ¸
x y a b
∈ N,
u v c d
Contoh 14.2.8
Perhatikan gelanggang Z4 . Ideal dari Z4 adalah N1 = {0}, N2 =
{0, 2} dan N3 = Z4 . Perhatikan bahwa N1 = {r(0) : r ∈ Z4 },N2 =
{r(2) : r ∈ Z4 }dan Z4 = {r(1) : r ∈ Z4 }. Sehingga setiap ideal dari
Z4 adalah ideal prinsipal. Jadi Z4 adalah sebuah gelanggang ideal
prinsipal. ¤
192 Bab 14: Subgelanggang, Ideal dan Gelanggang Faktor
Contoh 14.2.9
Ideal dari gelanggang himpunan kuasa dari himpunan A = {1, 2},
P (A) = {Ø, {1}, {2}, A}, adalah N0 = {Ø}, N1 = {Ø, {1}}, N2 =
{Ø, {2}} dan P (A). Karena
N0 = {X ∩ Ø : X ∈ P (A)
N1 = {X ∩ {1} : X ∈ P (A)}
N2 = {X ∩ {2} : X ∈ P (A)} dan
P (A) = {X ∩ A : X ∈ P (A)}
Berikut ini, kita diskusikan beberapa jenis ideal yang lain, ideal
prima dan ideal maksimal.
Contoh 14.2.11
Dalam gelanggang bilangan bulat Z, maka ideal pZ adalah suatu
ideal prima. Perhatikan semua x, y ∈ Z dengan xy ∈ pZ. Hal ini
berakibat xy = kp. Tetapi ini berarti p membagi x atau p membagi
y. Dengan perkataan lain, x ∈ pZ atau y ∈ pZ. ¤
Contoh 14.2.12
Perhatikan gelanggang Z12 dengan operasi penjumlahan dan perkla-
ian modulo 12. Semua ideal sejati dari Z12 adalah {0, 2, 4, 6, 8, 10},
{0, 3, 6, 9}, {0, 4, 8} dan {0, 6}. Ideal {0, 2, 4, 6, 8, 10} dan {0, 3, 6, 9}
masing-masing adalah ideal maksimal dari Z12 . Perhaitkan bahwa
ideal N = {0, 2, 4, 6, 8, 10} adalah suatu ideal prima, karena un-
tuk setiap x, y ∈ Z12 dengan xy ∈ N , maka x ∈ N atau y ∈ N .
Demikian juga ideal N1 = {0, 3, 6, 9} adalah ideal prima. Tetapi
ideal N3 = {0, 4, 8} dan ideal N4 = {0, 6} bukan suatu ideal prima,
14.3. Gelanggang Faktor 193
karena 2 · 2 = 4 ∈ N3 tetapi 2 ∈
/ N3 , dan 2 · 3 = 6 ∈ N4 tetapi 2 ∈
/ N4
dan 3 ∈
/ N4 . ¤
dan
(r1 + N )(r2 + N ) = r1 r2 + N
untuk semua (r1 + N ), (r2 + N ) ∈ R/N , maka hR/N, +, ·i adalah
suatu gelanggang.
14.3. Gelanggang Faktor 195
(1 + N )(r + N ) = (r + N )(1 + N ) = r + N
S = {sr + n : r ∈ R dan n ∈ N }.
Karena (r1 −r2 ) ∈ R dan (n1 −n2 ) ∈ N , maka (sr1 +n1 )−(sr2 +n2 ) ∈
S. Selanjutnya, perhatikan sebarang unsur r0 ∈ R dan sr + n ∈ S,
14.3. Gelanggang Faktor 197
(1 + N ) = sr + n0 + N = sr + N = (s + N )(r + N ).
Contoh 14.3.5
Perhatikan gelanggang Z12 dengan ideal maksimal N = {0, 3, 6, 9}.
Maka R/N = {N, 1+N, 2+N } adalah suatu gelanggang dengan tabel
Cayley dari operasi penjumlahan dan perkaliannya adalah sebagai
berikut.
Dari tabel di atas kita ketahui bahwa R/N adalah suatu la pangan
dan juga R/N adalah suatu daerah integral. ¤
15.1 Homomorfisma
Pada bagian ini, kita mendiskusikan konsep homomorfisma pada su-
atu gelanggang dan beberapa sifat-sifatnya.
201
202 Bab 15: Homomorfisma Gelanggang
Contoh 15.1.2
Perhatikan gelanggang bilangan bulat Z dengan operasi penjumlahan
dan perkalian biasa dan gelanggang
½· ¸ ¾
a b
M2 (Z) = : a, b, c, d ∈ Z .
c d
dan
· ¸ · ¸· ¸
xy 0 x 0 y 0
(xy)φ = =
0 xy 0 x 0 y
= (x)φ(y)φ.
Contoh 15.1.4
Andaikan ½· ¸ ¾
d 0
Md (Z) = :d∈Z .
0 d
Definisikan pemetaan φ : Z → Md (Z) seperti pada Contoh 15.1.2.
Dengan cara yang sama seperti Contoh 1.5.2 dapat diperlihatkan
bahwa φ adalah homomorfisma gelanggang. Perhatikan bahwa pada
15.2. Sifat-sifat Homomorfisma 203
· ¸
d 0
pemetaan tersebut untuk setiap ∈ Md (Z) terdapat d ∈
0 d
· ¸
d 0
Z sehingga (d)φ = . Jadi φ adalah pemetaan surjektif.
0 d
· ¸ · ¸
d1 0 d2 0
Selanjutnya, bila (d1 )φ = (d2 )φ, maka = .
0 d1 0 d2
Hal ini berakibat d1 = d2 , dan φ adalah pemetaan injektif. Jadi
φ : Z → Md (Z) adalah suatu isomorfisma gelanggang. ¤
Contoh 15.1.5
Pada diskusi kita mengenai grup sudah kita perlihatkan bahwa Z ∼
=
nZ untuk n 6= 0. Tetapi tidak demikian halnya pada gelanggang.
Pada konteks gelanggang Z ∼ 6 nZ untuk n 6= 1. Hal ini dise-
=
babkan gelanggang Z mempunyai unsur kesatuan, tetapi gelanggang
nZ tidak mempunyai unsur kesatuan bila n 6= 1. ¤
Pada bagian ini kita mengembangkan fakta-fakta yang telah kita per-
oleh pada homomorfisma grup ke dalam homomorfisma gelanggang.
Kita menemukan bahwa sifat homomorfisma grup juga akan berlaku
pada homomorfisma gelanggang.
dan
n buah n buah
z }| { z }| {
(rn )φ = (r · r · · · r) φ = (r)φ · (r)φ · · · (r)φ = ((r)φ)n .
Contoh 15.2.2
Kita tela’ah kembali pemetaan φ : Z → M2 (Z) yang diberikan
oleh Contoh 15.1.2. Perhatikan bahwa 2Z adalah suatu ideal dari
Z, tetapi (2Z)φ
· bukanlah
¸ suatu ideal·dari M¸2 (Z). Karena untuk
1 2 2 0
unsur-unsur ∈ M2 (Z) dan ∈ (2Z)φ, diperoleh
3 4 0 2
· ¸ · ¸ · ¸
1 2 2 0 2 4
= ∈
/ (2Z)φ. Jadi bayangan homomor-
3 4 0 2 6 8
phik dari 2Z bukanlah suatu ideal. ¤
15.2. Sifat-sifat Homomorfisma 205
Contoh 15.2.6
Perhatikan gelanggang Z6 dengan operasi penjumlahan dan perka-
lian modulo 6 dan gelanggang Z2 dengan operasi penjumlahan dan
perkalian modulo 2. Pemetaan φ : Z6 → Z2 yang didefinisikan oleh
µ ¶
0 1 2 3 4 5
φ=
0 1 0 1 0 1
Contoh 15.2.7
Perhatikan gelanggang Z dengan operasi penjumlahan dan perkalian
biasa dan gelanggang Zn dengan operasi penjumlahan dan perkalian
modulo n. Pemetaan φ : Z → Zn yang didefinisikan oleh (x)φ =
x mod n adalah suatu homomorfisma gelanggang. Karena untuk se-
tiap x, y ∈ Z berlaku (x + y)φ = (x + y) mod n
= x mod n + y mod n
= (x)φ + (y)φ dan (xy)φ = (xy) mod n = (x mod n)(y mod n) =
(x)φ (y)φ.
Inti dari homomorfisma φ adalah Inti(φ) = {x ∈ Z : (x)φ =
0 mod n}.
Bila x = kn ∈ nZ dengan k ∈ Z, maka (x)φ = (kn)φ = kn mod
n = 0 mod n. Jadi kn ∈ Inti(φ), sehingga nZ ⊆ Inti(φ). Sebaliknya,
jika y ∈ Inti(φ), maka (y)φ = 0 mod n. Ini berarti y adalah kelipatan
dari n. Hal ini berakibat y ∈ nZ, sehingga Inti(φ) ⊆ nZ. Jadi
Inti(φ) = nZ. ¤
Jadi (x − y) ∈ Inti(φ).
Selanjutnya, untuk sebarang r ∈ R dan x ∈ Inti(φ), maka
Contoh 15.2.9
Kita perhatikan kembali homomorfisma φ : Z6 → Z2 pada Con-
toh 14.2.6. Inti(φ) = {0, 2, 4} adalah suatu ideal dari Z6 .
S = {(r)φ : r ∈ R}.
Selanjutnya,
Seperti yang telah kita bicarakan pada teori grup, teorema iso-
morfisma kedua dan ketiga juga berlaku pada teori gelanggang. Berikut
ini secara formal diberikan teorema isomorfisma kedua dan ketiga
untuk gelanggang.
M + N = {m + n : m ∈ M, n ∈ N },
213
214 Bab 16: Gelanggang Polinomial
16.1 Pengantar
a0 + a1 x + a2 x2 + · · · + an xn
dan
b0 + b1 x + b2 x2 + · · · + bm xm
dikatakan sama jika dan hanya jika ai = bi untuk semua bilangan
bulat tak negatip i. Tentu saja pada definisi ini kita harus mengambil
ai = 0 jika i > n dan bi = 0 jika i > m.
Selanjutnya perhatikan suatu polinomial
a(x) = a0 + a1 x + a2 x2 + · · · + an xn
Misalkan
d(x) = a(x)b(x)
= d0 + d1 x + d2 x2 + · · · + d2n x2n
X2n
= d` x `
`=0
216 Bab 16: Gelanggang Polinomial
X
dengan d` = ai bj , ` = 0, 1, . . . , 2n. Maka
i+j=`
e(x) = [a(x)b(x)]c(x)
= d(x)c(x) = e0 + e1 x + e2 x2 + · · · + e3n x3n
X3n
= em xm
m=0
dengan
X
em = d` ck , untuk m = 1, 2, · · · , 3n
`+k=m
X X
= ai bj ck
`+k=m i+j=`
X
= ai bj ck
i+j+k=m
u(x) = b(x)c(x)
= u0 + u1 xu2 x2 + · · · + c2n x2n
X
dengan up = bj ck , sehingga bila v(x) = a(x)[b(x)c(x)], maka
j+k=p
kita peroleh
v(x) = a(x)[b(x)c(x)]
= a(x)u(x) = v0 + v1 x + v2 x2 + · · · + v3n x3n
dengan
X
vq = ai up untuk q = 0, 1, 2, . . . , 3n
i+p=q
X X
= ai bj ck
i+p=q j+k=p
X
= ai bj ck .
i+j+k=q
16.1 Pengantar 217
Tetapi
X
ai bj adalah koefisien suku ke k dari a(x)b(x),
i+j=k
dan X
ai cj adalah koefisien suku ke k dari a(x)c(x).
i+j=k
Hasil diskusi kita di atas dapat diringkas dalam teorema berikut ini.
a(x) = a0 + a1 x + a2 x2 + · · · + an xn , an 6= 0
b(x) = b0 + b1 x + b2 x2 + · · · + bm xm , bm 6= 0.
Karena an 6= 0 dan bm 6= 0, maka perkalian polinomial menghasilkan
a(x)b(x) 6= 0, hal ini disebabkan oleh an bm 6= 0. Ini berarti bahwa
a(x)b(x) = 0 dipenuhi hanya bila a(x) = 0 atau b(x) = 0. Sehingga
16.2 Pembagian Polinomial 219
D[x] tidak mempunyai unsur pembagi nol. Jadi D[x] adalah suatu
daerah integral.
Catatan
3x2 + 4x
x2 + 4x + 2 3x4 + x3 +2x2 + 1
3x4 +2x3 + x2
4x3 + x2 + 1
4x3 + x2 +3x
2x+1
f (x) = a0 + a1 x + a2 x2 + · · · + an xn
g(x) = b0 + b1 x + b2 x2 + · · · + bm xm
Dengan menggunakan teknik pembagian seperti pada contoh di atas,
misalkan
h(x) = f (x) − an b−1
m x
n−m
g(x).
Sehingga h(x) = 0 atau derajat h(x) lebih kecil dari derajat f (x).
Dengan menggunakan asumsi pada induksi, untuk polinomial h(x)
terdapat polinomial q1 (x) dan r1 (x) sehingga h(x) = g(x)q1 (x) +
r1 (x) dengan r1 (x) = 0 atau derajat r1 (x) lebih kecil dari derajat
g(x). Hal ini berakibat
f (x) = an b−1
m x
n−m
g(x) + h(x)
= an b−1
m x
n−m
g(x) + g(x)q1 (x) + r1 (x)
= g(x)[an b−1
m x
n−m
+ q1 (x)] + r1 (x)
Sehingga
g(x)[q(x) − s(x)] = r(x) − t(x).
Karena derajat dari r(x) − t(x) lebih kecil dari derajat g(x), maka
haruslah q(x) − s(x) = 0. Yakni, q(x) = s(x) dan tentunya r(x) =
s(x).
f (a) = 0 = (a − a)q(x) + r,
0 = f (β) = (β − α)g(β).
Contoh 16.2.5
Perhatikan polinomial f (x) = x4 + 4x3 + x2 + 4x ∈ Z5 [x]. Karena
f (0) = 0, f (1) = 0, f (2) = 0, f (3) = 0 dan f (4) = 4, maka f (x)
mempunyai empat buah akar di Z5 . Selanjutnya, kita perhatikan
polinomial g(x) = x4 + 3x2 + 1 ∈ Z5 [x]. Maka g(0) = 1, g(1) =
0, g(2) = 4, g(3) = 4 dan g(4) = 0. Akibatnya g(x) hanya mempun-
yai dua akar di Z5 . Suatu polinomial mungkin saja tidak mempunyai
16.3 Soal-Soal Latihan 223
akar pada suatu lapangan yang tertentu. Sebagai contoh, kita per-
hatikan polinomial h(x) = x2 + x + 1 ∈ Z2 [x]. Maka h(0) = h(1) = 1,
sehingga h(x) tidak mempunyai akar di Z2 . ¤
Contoh 16.2.6
Bila lapangan F pada hipotesis dari Akibat 16.2.4 kita ganti dengan
sebarang gelanggang, maka suatu polinomial berderajat n mungkin
saja mempunyai lebih dari n akar pada gelanggang tersebut. Seba-
gai contoh, bila f (x) = 2x2 + 2x ∈ Z4 [x], maka f (0) = 0, f (1) =
0, f (2) = 0 dan f (3) = 0. Sehingga f (x), suatu polinomial berdera-
jat dua, mempunyai empat buah akar di Z4 . ¤
16.8 Andaikan F adalah lapangan tak hingga dan f (x) ∈ F [x]. Jika
f (a) = 0 untuk tak hingga a ∈ F , perlihatkan bahwa f (x) = 0.
16.9 Andaikan F adalah lapangan tak hingga dan misalkan f (x) dan
g(x) adalah dua polinomial di F [x]. Jika f (a) = g(a) untuk
tak hingga a ∈ F , perlihatkan f (x) = g(x).
f (x) = a0 + a1 x + · · · + an xn ∈ F [x].
17.1 Pengantar
225
226 Bab 17: Faktorisasi Polinomial
Contoh 17.1.2
Polinomial f (x) = 3x2 + 6 adalah tak tereduksi atas lapangan bilan-
gan rasional Q, tetapi tereduksi atas daerah integral Z. Perhatikan
bahwa jika f (x) = 3x2 + 6 dituliskan dalam bentuk f (x) = g(x)h(x),
maka salah satu g(x) atau h(x) harus merupakan polinomial kon-
stanta di Q[x]. Sehingga g(x) atau h(x) merupakan unsur satuan
di Q[x], yang berarti f (x) tak tereduksi atas Q. Sebaliknya pada
gelanggang polinomial Z[x], f (x) = 3x2 + 6 = 3(x2 + 2). Karena
3 ∈ Z[x] dan (x2 + 2) ∈ Z[x] keduanya bukan unsur satuan di Z[x],
maka f (x) tereduksi di Z[x]. ¤
Contoh 17.1.3
Polinomial f (x) = x2 − 2 tak tereduksi atas lapangan Q, tetapi
tereduksi atas lapangan R. Dalam gelanggang polinomial Q[x], maka
f (x) = x2 − 2 tidak dapat dinyatakan dalam bentuk f (x) = g(x)h(x)
dengan g(x) dan h(x) berderajat lebih rendah dari f (x). Sehingga
f (x) tak tereduksi atas Q. Tetapi dalam gelanggang polinomial R[x],
polinomial 2
√ √ f (x) = x − 2√dapat dinyatakan
√ sebagai f (x) = (x +
2)(x − 2) dengan (x + 2) dan (x − 2) bukan unsur satuan di
R[x]. Sehingga f (x) tereduksi atas R. ¤
17.1 Pengantar 227
Catatan
Teorema 17.1.4 mungkin saja tidak dapat dipenuhi untuk polino-
mial berderajat 4 atau lebih. Dengan pengertian terdapat polinomial
berderajat 4 atau lebih yang tereduksi atas suatu lapangan F tetapi
tidak mempunyai akar di F . Sebagai contoh perhatikan polinomial
f (x) = x4 + 4x2 + 4 ∈ Q[x]. Polinomial f (x) dapat ditulis sebagai
f (x) = (x2 +2)(x2 +2). Jadi f (x) tereduksi atas Q, tetapi f (x) tidak
mempunyai akar di Q.
Contoh 17.1.5
Perhatikan polinomial f (x) = x3 + 2x + 1 ∈ Z5 [x]. Maka
x2 + x+ 4
¯ 3
x + 4 ¯x + +3x+1
x3 +4x2 +
x2 +3x+1
x2 +4x
4x+1
4x+1
0
Contoh 17.2.2
Isi dari polinomial f (x) = 6 + 4x + 10x2 + 18x6 adalah 2, karena
17.2 Kriteria Tereduksi dan Tak Tereduksi 229
tidak primitip, maka kita dapat membagi koefisien dari f (x) dan
g(x)h(x) dengan isi dari f (x). Misalkan m adalah kelipatan perseku-
tuan terkecil dari semua penyebut koefisien dari g(x) dan misalkan
n adalah kelipatan persekutuan terkecil dari semua penyebut koe-
fisien dari h(x). Maka mg(x) nh(x) = mnf (x) ∈ Z[x]. Misalkan
r dan s masing-masing adalah isi dari mg(x) dan nh(x). Maka
mg(x) = rg1 (x) dan nh(x) = sh1 (x) dengan g1 (x)h1 (x) ∈ Z[x],
dan mnf (x) = rsg1 (x)h1 (x). Karena f (x) adalah primitip, maka isi
dari f (x) adalah 1. Hal ini berakibat bahwa isi dari mnf (x) adalah
mn. Selanjutnya perhatikan bahwa karena r dan s masing-masing
adalah isi dari g(x) dan h(x), maka g1 (x) dan h1 (x) adalah prim-
itip. Lemma 17.2.3 menjamin bahwa g1 (x)h1 (x) adalah primitip,
dan akibatnya isi dari rsg1 (x)h1 (x) adalah rs. Jadi rs = mn dan
f (x) = g1 (x)h1 (x), yakni f (x) tereduksi atas Z.
Contoh 17.2.7
Perhatikan polinomial
at = b0 ct + b1 ct−1 + · · · + bt c0 .
Contoh 17.2.9
Polinomial f (x) = 4x4 − 3x3 + 6x2 + 6x + 6 adalah tak tereduksi
atas Q. Hal ini kita peroleh dengan mengaplikasikan Teorema 17.2.8
dengan memilih p = 3. ¤
(x + 1)p − 1 (x + 1)p − 1
Φp (x + 1) = =
(x + 1) − 1 x
atau
µ ¶ µ ¶
p−1 p p−2 p
Φp (x + 1) = x + x + ··· + x + p.
1 p−2
Contoh 17.2.11
Perhatikan bahwa Akibat 17.2.10 menjamin polinomial siklotomik
x`−1 + x`−2 + · · · + x + 1 tak tereduksi atas Q hanya untuk ` yang
merupakan bilangan prima. Jadi polinomial x + 1, x2 + x + 1 adalah
tak tereduksi atas Q, tetapi tidak ada jaminan bahwa polinomial
x3 + x2 + x + 1 tak tereduksi atas Q. Dalam hal ini x3 + x2 + x + 1 =
(x + 1)(x2 + 1) tereduksi atas Q. ¤
f (x) adalah faktor dari g(x) atau f (x) adalah faktor dari h(x). Se-
hingga derajat dari g(x) atau derajat dari h(x) tidak lebih kecil dari
derajat f (x). Jadi f (x) tidak dapat ditulis sebagai f (x) = g(x)h(x)
dengan derajat g(x) dan h(x) lebih kecil dari derajat f (x). Kare-
nanya f (x) tak tereduksi atas F .
Sebaliknya andaikan f (x) tak tereduksi atas lapangan F . Kita
perlihatkan bahwa hf (x)i adalah ideal maksimal. Andaikan N adalah
ideal dari F [x] sehingga hf (x)i ⊆ N ⊆ F [x]. Kita perlihatkan ideal
hf (x)i = N atau N = F [x]. Teorema 16.2.7 menyatakan bahwa F [x]
adalah gelanggang ideal prinsipal, sehingga terdapat g(x) ∈ F [x]
sehingga N = hg(x)i. Karena f (x) ∈ N , maka f (x) = g(x)h(x)
untuk suatu polinomial h(x) di F [x]. Tetapi f (x) tak tereduksi,
akibatnya g(x) adalah konstanta atau h(x) adalah konstanta. Bila
g(x) adalah kontanta, maka N = F [x]. Bila h(x) adalah konstanta,
hf (x)i = hg(x)i = N . Jadi hf (x)i adalah ideal maksimal.
Contoh 17.2.13
Perhatikan lapangan Z2 dan polinomial f (x) = x2 + x + 1 ∈ Z2 [x].
Karena f (0) = 1 dan f (1) = 1, menurut Teorema 17.1.4 polino-
mial x2 + x + 1 adalah tak tereduksi atas Z2 . Jadi berdasarkan
Akibat 17.2.13, gelanggang faktor Z2 [x]/hx2 + x + 1i adalah suatu
lapangan. Karena unsur dari ideal hx2 + x + 1i adalah polinomial
17.3 Faktorisasi Tunggal 235
+ 0 1 x 1+x · 0 1 x 1+x
0 0 1 x 1+x 0 0 0 0 0
1 1 0 1+x x 1 0 1 x 1+x
x x 1+x 0 1 x 0 x 1+x 1
1+x 1+x x 1 0 1+x 0 1+x 1 x
Tabel 17.1 Tabel 17.2
g(x) ∈ hf (x)i atau h(x) ∈ hf (x)i. Yakni f (x) membagi g(x) atau
f (x) membagi h(x).
a. x5 + 9x4 + 12x2 + 6 b. x4 + x + 1
c. x4 + 3x2 + 3 d. x5 + 5x2 + 1
e. 52 x5 + 92 x4 + 15x3 + 37 x2 + 6x + 14
3
.
a. x2 − 12 b. 8x3 + 6x2 − 9x + 24
c. 4x10 − 9x3 + 24x − 18 d. 2x10 − 25x3 + 10x2 − 30
[11] Shanti N. dan Sat Pal, A Text Book of Modern Abstract Algebra,
S. Chand & Company LTD, New Delhi, 1979.
239
240 Daftar Pustaka
aksioma, 26 grup
algoritma pembagian, 26 komutatif, 52, 58, 60, 61,
annihilator, 199 69, 80, 94, 142
koset, 140
bayangan, 23 orde, 52, 129, 134
bayangan homomorfik, 152–153 permutasi, 99, 104, 106
biimplikasi, 15, 16 siklik, 75, 79–81, 94, 96,
134, 136, 147
contoh penyangkal, 36 simetri, 104
tak hingga, 52
daerah integral, 173–176, 197,
198, 200, 219
hasil bagi, 27
divisor of zero, 174
homomorfisma, 151
domain, 23
Frobenius, 212
epimorfisma, 152 gelanggang, 212
external direct product, 119 inti, 155, 206, 212
natural, 157
field, 175
fungsi, 19 ideal, 183
kanan, 187
gelanggang, 165, 214 kiri, 187
Boole, 181 maksimal, 192, 196
faktor, 183 prima, 192, 197, 225
homomorfisma, 201 prinsipal, 200
ideal prinsipal, 191 sejati, 192
isomorfisma, 201 induksi, 12, 221
karakteristik, 178 induksi matematika, 15
komutatif, 166 inti, 155
polinomial, 214 isomorfik, 59, 88
sentral, 185 isomorfisma, 88
241
242 Indeks
partisi, 21 semigrup, 46
pembagi, 26 sentral, 69, 144
pembagi persekutuan terbesar, sisa, 27
27 struktur aljabar, 45, 87
Indeks 243