Anda di halaman 1dari 11

SGI DAN SGL

GEREJA DI INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

OLEH: KELOMPOK IV

NOVITA P. MAIL

RATU H. LOIN

SARTERA SAETBAN

SEPRIANCE TEFU

VIVIN RIWU

YESI M. PELLO

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN NEGERI

KUPANG

2014
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selama tahun pertama kehadiran orang Jepang di Indonesia, mereka mengambil


beberapa tindakan yang menyangkut kehidupan gereja. Di beberapa daerah, Mereka
menghentikan penganiayaan orang Kristen oleh oknum-oknum tertentu. Tetapi di daerah
lainnya, mereka membakar rumah sakit milik gereja, membunuh seorang pekabar
Belanda karena menolak untuk mengingkari imannya, dan sejumlah orang Kristen
dianiaya dengan alasan yang sama.

Sebelum Jepang masuk, orang Eropa termasuk, para pelayan gereja dan zending,
menduga mereka akan dibiarkan meneruskan pekerjaannya. Sebaliknya, orang Jepang
hendak melenyapkan pengaruh Barat dari masyarakat Indonesia. Sebagian dari orang
Eropa ditawan dan sebagiannya baru ditahan dalam tahun 1943/1944.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan di Asia pada masa Jepang?
2. Bagaiamana Jepang menduduki Indonesia?
3. Bagaimana keadaan gereja pada masa Jepang?
BAB II

PEMBAHASAN

GEREJA DI INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)

A. Keadaan Di Asia

B. Jepang Menduduki Indonesia


Pada tahun 1941, Jepang menyerang Amerika Serikat (Pearl Harbor, 7 Desember
1941) dan dalam waktu singkat angkatan laut dan tentara Jepang berhasil menundukkan
seluruh Asia Tenggara termasuk wilayah Hindia-Belanda. Minahasa sudah direbut pada
bulan Januari; Ambon dan Timor bulan Febuari; Jawa dan Sumatera Utara bulan Maret.
Orang Jepang membagi dua wilayah Indonesia. Pulau Jawa dan Simatera berada di
bawah pemerintahan Angkatan Darat, sedangkan Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia
Timur di bawah pemerintahan Angkatan Laut dengan pusat di Makassar. Pemerintahan
militer untuk urusan sipil di Jawa dan Sumatera disebut Gunseibu, di wilayah AL
Minseibu. Kantor-kantor Minseibu, di antaranya Kantor Agama, terdapat di Banjarmasin,
Makassar, Ambon, dan Kupang. Pegawai bangsa Belanda di pecat dan ditawan, sama
seperti semua warga Negara Sekutu. Jabatan untuk mereka sebagian diduduki oleh
Indonesia. Pemerintah militer memerlukan dukungan penduduk dank arena itu
melancarkan propaganda yang hebat untuk memperkenalkan kesemakmuran bersama
Asia Timur Raya kepada rakyat. Pun mereka membentuk sejumlah organisasi yang
menjadi sarana bagi penyebaran semangat Jepang dan bagi pembinaan orang Indonesia
menjadi tenaga kerja yang ikut memperkuat ekonomi Jepang dan prajurit-prajurit yang
akan berjuang bahu-membahu dengan Jepang melawan Sekutu.
Dalam tahun 1942 terdapat “Gerakan Tiga A”, yang diganti oleh organisasi
“peotera”, kemudian oleh “Djawa Heikoko”. Para pemuda dimasukkan ke dalam barisan
“Seinendan” yang semi-militer atau “Heiho”, pasukan pembantu tentara Jepang, bagi
yang di atas 25 tahun ada “Keibodan”. Mereka diindoktrinasi secara intensif. Sekolah-
sekolah menjadi sarana untuk menanamkan semangat Jepang ke dalam anak-anak.
Diadakan kursus-kursus penerangan bagi pemimpin-pemimpin agama, baik Islam
maupun Kristen. Sikap Jepang terhadap agama-agama di Indonesia berbeda-beda
menurut keadaan tempat dan waktunya. Pada dasarnya tidak benar apa yang digembar-
gemborkan oleh orang Islam, yaitu bahwa Jepang suka pada agama Islam. Bahkan mula-
mula tentara Jepang di sana sini bertindak sangat kasar melukai hati penganut agama
Islam. Tetapi karena alasan politik maka penguasa Jepang menghormati Islam dan
memungkinkan perkembangan organisasi-organisasi Islam, meskipun dengan maksud
mempergunakannya sebagai alat propaganda Jepang. Orang Jepang cenderung
mencurigai orang Kristen karena mereka merupsksn anak buah zendeling Belanda dan
seagama dengan Amerika dan Inggris musuh Jepang. Meskipun demikian orang Jepang
tidak melakukan penindasan secara umum terhadap golongan itu dan bila perlu, mereka
melindungi orang Kristen dari serangan golongan lain.

C. Keadaan Gereja Pada Masa Jepang


Pada umumnya orang Belanda masih menempati kedudukan yang penting dalam
badan-badan pimpinan pusat (Sinode, Pengurus, dsb). Di sejumlah gereja, Konferensi
para Zending tetap merupakan badan pimpinan pusat, sehingga sama sekali belum
ada orang Indonesia ikut serta di dalamnya (Sangir, Poso, Halmahera, Irian). Gereja-
gereja yang sudah bersinode ada yang ketua sinodenya seorang Belanda (GBKP,
GKP, GDE/GKE), ada yang sudah diketuai bangsa Indonesia (GKJW). Di antara
anggota pengurus GPI, hanya satu orang bangsa Indonesia. Pendeta-Ketua GMIM,
GPM dan gereja di Timor adalah seorang Belanda. Di banyak tempat, orang Belanda
masih menempati pula kedudukan-kunci sebagai ketua resort, dosen pada lembaga
pendidikan teologi.
Pelayan-pelayan gereja bangsa Indonesia ada yang telah menjadi ketua sinode
(HKBP dan GKJW sejak tahun 1940). Di beberapa daerah mereka menjabat pendeta
resort (yang kedudukannya sama dengan kedudukan seorang zending atau pendeta
seorang bangsa Belanda), mis. Pendeta A. Z. R. Wenas, yang menjadi direktur
STOVIL, ketua klasis Tomohon, dan wakil ketua sinode GMIM. Tetapi jumlah
mereka belum seberapa. Kebanyakkan tenaga Indonesia itu melayani satu jemaat.
Terkadang mereka telah diberi wewenang untuk melayankan sakramen’ demikianlah
pada umumnya dalam gereja-gereja yang sudah berdiri sendiri secara formal seperti
HKBP, GKP, GKJ, dan GKJW, kendati di situpun banyak penghantar jemaat yang
baru berstatus guru jemaat. Dalam GPI, lebih-lebih dalam gereja zending yang belum
berdiri sendiri, jumlah orang yang sudah berhak melayankan sakramen masih kecil;
mereka itu pun biasanya baru menerimanya menjelang kedatangan orang Jepang.
Kalau kita memandang persoalannya dari sudut pendidikan sebagai guru sekolah desa
(normaalcursus) dengan tambahan mata pelajaran teologi tingkat sederhana. Ada
sejumlah pelayan yang mendapat pendidikan lebih memadai bagi tugas jemaat,
seperti para tamatan Seminari Depok (didirikan atas prakarsa pendeta J. A.
Schuurman, salah seorang pendeta GPI yang berminat akan usaha zending.
Tujuannya menyediakan pendidikan untuk menjadi guru Injil bagi orang-orang muda
bagi seluruh Indonesia), Seminar Narumonda, STOVIL di Ambon, Manado, dan SoE
(Kupang). Sejumlah kecil, antara lain Pdt. Wenas, telah menerima pendidikan
bersama para zending Eropa di Oegstgeest, Nederland. Dan menjelang perang Duni II
angkatan pertama Sekolah Toelogi Tinggi di Jakarta sudah tamat dan kembali ke
gerejanya masing-masing. Jumlah mereka Cuma 18 orang yang berasal dari 9 gereja.
Angkatan kedua sebanyak 11 orang, hamper selesai studinya ketika terpaksa pulang
karena pecah perang. Dari ke-29 orang ini, tiga orang dibunuh Jepang. Di antara
lulusan STT yang muda itu ada yang diberi kedudukan penting di dalam gerejanya
setelah orang Belanda pergi. S. Marantika pada tahun 1942 terpilih menjadi ketua
sinode GPM, W. J. Rumambi diperbantukan oleh GMIM pada Biro Agama Minseibu
di Manado sehingga menjadi pengantara antara gerejanya dengan penguasa Jepang.
Tetapi gereja terbanyak selama masa perang dipimpin oleh tokoh-tokoh pelayan yang
telah mendapat pendidikan teologi yang sederhana, namun sudah lama berkecimpung
dalam praktek kehidupan jemaat.
Di bidang keuangan, gereja-gereja pada umumnya belum berdiri sendiri. Jemaat
sendiri yang menanggung biaya (melalui kolekte) pembangunan dan pemeliharaan
gedung gereja dan rumah penghantar jemaat. Tiap-tiap gereja menghadapi sendiri
kejadian-kejadian yang menimpanya dan harus menentukan sendiri kebijakkan
terhadap tindakan dan tuntutan orang Jepang.
Selama tahun pertama kehadiran orang Jepang di Indonesia, mereka mengambil
beberapa tindakan yang menyangkut kehidupan gereja. Di beberapa daerah, Mereka
menghentikan penganiayaan orang Kristen oleh oknum-oknum tertentu. Tetapi di
daerah lainnya, mereka membakar rumah sakit milik gereja, membunuh seorang
pekabar Belanda karena menolak untuk mengingkari imannya, dan sejumlah orang
Kristen dianiaya dengan alasan yang sama.
Sebelum Jepang masuk, orang Eropa termasuk, para pelayan gereja dan zending,
menduga mereka akan dibiarkan meneruskan pekerjaannya. Sebaliknya, orang Jepang
hendak melenyapkan pengaruh Barat dari masyarakat Indonesia. Sebagian dari orang
Eropa ditawan dan sebagiannya baru ditahan dalam tahun 1943/1944.
Orang Jepang memutuskan supaya semua sekolah yang sebelumnya dikelola oleh
zending dan misi, diserahkan kepada pemerintah (1 April 1943). Hal itu berarti di
sekolah-sekolah itu tak dapat lagi diberikan pengajaran agama, diganti dengan
pengajaran “semangat Jepang”. Mereka juga mengeluarkan larangan beribadah di
gedung sekolah. Dengan demikian zending (gereja) kehilangan tenaga penghantar
jemaat.sekolah zending itu dijadikan sekolah negeri, dan setelah status guru dari
zending menjadi pegawai negeri, maka kebanyakkan guru tidak bersedia lagi untuk
mencurahkan tenaga di jemaat di samping pekerjaannya di sekolah. Sehingga di
banyak jemaat di cari tenaga pengganti yaitu penatua jemaat atau siswa pendidikan
guru Injil dan sebagainya yang telah pulang kampong akibat perang.
Tindakan lain yang diambil orang Jepang ialah penyesuaian ibadah jemaat dengan
“tuntutan zaman”, dengan maksud hendak mengikutsertakan segala organisasi yang
ada dalam upaya mengerahkan bangsa Indonesia untuk menjadi pembantu dalam
upaya perjuangan lawan Sekutu. Dalam tahun 1943, kepada para pemimpin gereja
diajukan tuntutan supaya dalam ibadah dibacakan pidato berisi penjelasan tentang
Perang Asia Raya, sebab-sebabnya, dan tujuannya. Dan sebelum kebaktian semua
hadirin menghadap ke Tokyo dan membungkuk kea rah itu, di depan bendera Jepang
yang harus di gantung di dalam gedung gereja.
Sama seperti di Jepang, begitu pula di Indonesia jajahan Jepang juga ingin supaya
gereja-gereja bersatu. Dengan demikian, di Minahasa, Sulawesi Selatan, Kalimantan
dan Maluku terbentuk “Kiristokyo Rengokai” atau “Dewan Kristen” yang
didatangkan pada tahun 1942-1944 dari Jepang, yang dipimpin oleh pendeta-pendeta
Jepang. Yang pertama datang ialah pendeta Shusho Miyahira (Kepala kantor Agama
Minseibu dan sekretaris Gubernur Sulawesi di Makassar yang fasih berbahasa
Indonesia) yang telah berada di Indonesia pada tahun 1927-1939 sebagai Perwira
Bala Keselamatan, kemudian pendeta suatu jemaat Jepang (Holiness Church) di
Surabaya. Pemerintah mengusirnya karena menganggap dia mata-mata Jepang tetapi
kemudian ia kembali ke Indonesia dengan pangkat Perwira AL Jepang dalam bulan
februari 1942. Dalam tahun 1944, dikirim Sembilan pendeta dari Jepang atas usul
Miyahira kepada Kyodan. Ada yang di tempatkan di Kalimantan (Seiichi Honda dan
Kazuo Kaneda), di Sulawesi Utara (Jiro Hamazaki), Sulawesi Selatan (Shigeharu
Seya dan Hachiro Shirato), dan Maluku (Ryoichi Kato).
Kedudukan Para pendeta yang didatangkan dari Jepang itu serba sulit, karena
mereka dicurigai oleh orang Kristen Indonesia maupun oleh kaum militer Jepang
sendiri. Mereka pada umumnya bersikap kritis terhadap kebijakkan pemerintahan
militer Jepang.di Indonesia mereka berusaha menunjukkan kestiaannya pada tanah air
dengan menganjurkan pandangan Jepang dalam khotbah serta pidato mereka. Dipihak
lain, mereka ingin meneguhkan iman saudara-saudaranya orang Kristen Indonesia.
Seringkali mereka melindungi orang Kristen dari tindakan dari pihak penguasa
Jepang ataupun orang yang bukan Kristen. Di Ambon, pendeta Kato melindungi para
gadis Ambon terhadap upaya kaum militer untuk menjadikan mereka sebagai wanita
penghibur untuk tentara Jepang. Kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan
tugasnya selaku pendeta meliputi: mengadakan ibadah, memberi kursus-kursus,
kadang-kadang juga menahbiskan seorang penghantar jemaat mnejadi pendeta.
Karena dari semula mereka bersikap waswas terhadap orang Kristen, orang
Jepang mudah percaya pada tuduhan dan fitnahan seakan-akan orang Kristen tertentu
adalah mata-mat musuh (bersikap pro-Belanda). Maka tidak kurang dari 150
pendeta/penghantar dibunuh, di samping sejumlah anggota jemaat. Banyak orang lain
yang masuk bui, namun masih lolos. Salah satu pulau yang paling menderita adalah
pulau Babar (sebagian penduduk tewas terbunuh). Orang Maluku (Irian, Tana Toraja)
banyak menderita. Di Sangir para raja Kristen hamper semua dibunuh Jepang. Di
beberapa daerah lain ada pelayan gereja meninggal atau masuk tahanan akibat
perselisihan dikalangan sendiri.
Di lihat dari segi organisasi, keadaan gereja pada masa Jepang kurang baik.
Hubungan pusat dengan jemaat-jemaat merosot, disebabkan factor keuangan dan
perhubungan yang sulit serta larangan yang berlaku terhadaptiap kumpulan yang
tidak mendapat izin penguasa. Dengan demikian kehidupan gereja-gereja tidaklah
tergantung pada kecakapan sekelompok kecil para pemimpin yang terdidik baik,
tetapi dari kesadaran penghantar jemaat, yang sesudah bulan April 1943 sering
seseorang yang tidak berpendidikan formal lebih daripada sekolah rakyat, dan dari
kesetiaan anggota jemaat sendiri.

D. Dampak Negatif dan Dampak Positif


 Dampak Negatif
Sejumlah orang Kristen mati karena imannya, yang dibunuh oleh orang
Jepang ataupun oleh teman-teman sebangsanya sendiri. (di sini kita belum bicara
tentang mereka, khususnya di pulau Jawa, yang mati bersama-sama saudaranya
yang bukan Kristen sebagai Romusya atau karena kelaparan atau disebabkan hal
ihwal peperangan lainnya) Juga 50 utusan zending dan pendeta GPI bangsa Eropa
yang dibunuh atau yang mati dalam kamp tahanan (yaitu sepertiga dari tenaga
Eropa pada tahun 1942), belum terhitunh istri-istri dan anak-anak mereka yang
meninggal. Di antaranya terdapat tokoh-tokoh yang sudah berjasa besar terhadap
gereja-gereja di Indonesia, seperti Dr. B. M. Schuurman dari Bale Wiyata di
Malang. Penderitaan yang dialami banyak orang yang dianiaya, tetapi boleh hidup
terus. Orang Kristen mengalami kekurangan sandang-pangan. Gereja-gereja
kehilangan jaringan sekolah dan rumah sakit yang telah dimlikinya dan yang
menjadi saran penting dalam usaha pekabaran Injil.

 Dampak Positif
Setelah orang Jepang yang telah sekian lama itu terpaksa melepaskan
mereka, baru banyak orang Kristen menjadi sadar bahwa mereka sanggup
berjalan sendiri. Dalam beberapa gereja, sesudah perang tokoh-tokh pmimpin
dengan senang hati mau mengembalikan kedudukan kepemimpinan kepada
zendeling. Selanjutnya, jemaat menjadi lebih sadar akan tanggung jawab sendiri
dalam hal keuangan. Segi lain lagi yang patut diperhatikan ialah peningkatan
kesadaran oikumenis yang telah berlangsung di beberapa daerah akibat
pembentukan dewan-dewan Kristen (Kriristokyo Rengokai) yang dipaksakan
kepada gereja-gereja oleh Jepang. Di Jawa Barat dan Jawa Timur oleh angin
taufan perang mereka dicampurkan dengan penduduk bukan Kristen sehingga
terpaksa keluar dari isolasi mereka.
BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

End, Th. Van den dan Wertjens J.2008.Ragi Carita 2.Jakarta:BPK. Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai