0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
258 tayangan5 halaman
Pangeran Antasari memimpin pemberontakan rakyat Banjar melawan keputusan sepihak Belanda yang mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan tanpa bukti wasiat yang sah dari Sultan Adam. Pangeran Antasari dan pasukannya melakukan serangan terhadap pos-pos Belanda di sepanjang sungai Barito untuk memperjuangkan keadilan bagi Pangeran Hidayatullah. Pangeran Antasari gugur dalam pertempuran meskipun tidak pernah menyerah melawan Bel
Pangeran Antasari memimpin pemberontakan rakyat Banjar melawan keputusan sepihak Belanda yang mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan tanpa bukti wasiat yang sah dari Sultan Adam. Pangeran Antasari dan pasukannya melakukan serangan terhadap pos-pos Belanda di sepanjang sungai Barito untuk memperjuangkan keadilan bagi Pangeran Hidayatullah. Pangeran Antasari gugur dalam pertempuran meskipun tidak pernah menyerah melawan Bel
Pangeran Antasari memimpin pemberontakan rakyat Banjar melawan keputusan sepihak Belanda yang mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan tanpa bukti wasiat yang sah dari Sultan Adam. Pangeran Antasari dan pasukannya melakukan serangan terhadap pos-pos Belanda di sepanjang sungai Barito untuk memperjuangkan keadilan bagi Pangeran Hidayatullah. Pangeran Antasari gugur dalam pertempuran meskipun tidak pernah menyerah melawan Bel
“Hei, semuanya sini berkumpul di lapangan!” seru Belanda menggunakan toa. Semua rakyat Banjar yang awalnya sibuk dengan aktivitas masing- masing pun berbondong-bondong berlarian menuju sumber suara di lapangan. Di sana, tampaklah orang-orang Belanda yang berbadan besar dan tegap dengan seorang pria yang berasal dari Banjar. “Seperti yang kita ketahui, Sultan Adam telah wafat. Sebagaimana sudah tertulis di dalam wasiat Sultan sebelumnya, bahwa yang diberi kuasa selanjutnya adalah Pangeran Tamjidillah,” ucap Belanda. Seorang pria Banjar yang berdiri di sebelah Belanda itu pun maju sambil membungkukkan badan seraya memberi hormat kepada seluruh rakyatnya. Pangeran Tamjidillah telah dikenal oleh seluruh rakyat Banjar. Bagaimana tidak, dia adalah Pangeran yang terkenal akan sifat-sifat jeleknya, seperti suka bermabuk-mabukan, dan tidak patuh dengan aturan yang ada di Kerajaan. Suasana lapangan menjadi riuh dengan kemarahan rakyat Banjar. “Tidak! Bukankah Sultan selanjutnya adalah Pangeran Hidayatullah? Selain itu, sebelum Sultan Adam wafat, Ia pernah menyampaikan hal ini pada kami,” teriak salah satu pemuda Banjar. “Tetapi yang tertulis dalam disini adalah Pangeran Tamjidillah,” Belanda menunjukkan kertas yang telah ditulis dan ditandatangani oleh Sultan Adam. “Bagaimana mungkin Sultan kami dapat mempercayai kalian untuk memberikan wasiatnya?” sahut seorang pemuda dan diikuti sorakan dari rakyat lain yang mendukungnya. Belanda tidak memedulikan perkataan orang-orang di sana, Ia bersama Pangeran Tamjidilah meninggalkan lapangan dan masuk ke mobil mewah milik mereka. Semua rakyat Banjar melihatnya kesal dan memutuskan untuk meninggalkan lapangan. Setelah mendengar pengumuman dari Belanda tadi, sekumpulan pemuda Banjar pergi menuju warung makan. Mereka berkumpul untuk berdiskusi mengenai tindakan Belanda yang dianggap lancang itu. “Apa kalian yakin, Sultan Adam benar-benar memberikan wasiatnya pada Belanda?” salah satu pemuda menghidupkan rokoknya. “Kau seperti tidak tahu saja, Belanda yang licik itu pasti hanya mengada-ada. Terlebih lagi, tidak mungkin Sultan Adam memilih Tamjidillah yang juga sama liciknya dengan Belanda,” “Iya, benar sekali, ini sangatlah di luar dugaan jika benar Sultan Adam menuliskan nama Pangeran Tamjidillah sebagai penggantinya,” lanjut pemuda yang lain. “Apa jadinya Kerajaan ini jika dia menjadi Sultan?” keluh pemuda lain. Pemuda-pemuda itu pun terdiam lesu sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika Pangeran Tamjidillah benar akan menjadi Sultan. Tak lama kemudian, datanglah seorang wanita paruh baya membawa piring, nasi beserta lauknya. “Apa yang sedang kalian diskusikan, nak?” tanya wanita yang merupakan pemilik warung tersebut. Ia membagikan piring ke masing- masing pemuda itu. “Kami berdiskusi tentang pengumuman dari Belanda, Bu. Apa Ibu tadi tidak ikut berkumpul ke lapangan?” “Pengumuman apa itu? Iya, nak. Tadi Ibu tidak sempat ke sana karena sedang masak,” “Belanda tadi mengumumkan isi wasiat dari Sultan Adam, dari yang tertulis di wasiat itu bahwa Pangeran Tamjidillah yang akan menjadi pengganti Sultan Adam,” Sama seperti reaksi rakyat Banjar lain, Ibu tersebut juga tidak percaya. Tetapi, dikarenakan warung tersebut ramai oleh pembeli, Ia tak melanjutkan diskusi tersebut. Para pemuda juga mulai menghabiskan makan siang mereka. Setelah menghabiskan makan siang, mereka pun kembali ke rumah masing-masing. Di jalan, Rasyid, yang merupakan salah satu pemuda tadi bertemu dengan Pangeran Antasari bersama prajuritnya. Rasyid sambil membungkukkan badan memberi hormat. Antasari tersenyum ramah. “Apakah Pangeran sudah mengetahui isi wasiat dari Alm. Sultan Adam?” “Sudah, pihak Kerajaan baru saja membahasnya. Kami juga telah memanggil ahli tulisan tangan untuk membuktikan kebenaran wasiat tersebut.” “Kalau begitu baiklah, Pangeran. Semoga kebenarannya akan terbukti.” “Iya, terima kasih, Rasyid.” Rasyid memberi hormat dengan membungkuk dan melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Keesokan harinya, pihak Kerajaan memanggil seluruh rakyat Banjar untuk berkumpul di lapangan. Seorang Prajurit Kerajaan mengumumkan bahwa surat wasiat yang ditunjukkan oleh Belanda adalah palsu. Selain itu, mereka juga telah menemukan bukti bahwa surat wasiat asli dari Sultan Adam telah dibakar oleh pihak Belanda. Tak lama kemudian, Belanda bergabung dengan pihak Kerajaan di hadapan rakyat Banjar. “Kami mengakui bahwa surat ini memanglah palsu. Tetapi kami juga tidak dapat mengatakan bahwa isi wasiat asli tersebut. Kami di sini hanya menginginkan pemimpin yang akan lebih baik,” kata Belanda diikuti sorakan tidak setuju oleh rakyat Banjar. “Bagaimanapun juga, kami telah mengangkat Pangeran Tamjidillah secara resmi dan sah sebagai Sultan. Kalian sudah seharusnya menerima keputusan ini,” lanjut Belanda dengan liciknya. Semua rakyat yang ada di lapangan itu protes dan merasa kecewa. Belanda yang melihatnya hanya tertawa lalu meninggalkan lapangan tersebut. Di lapangan tersebut, hanya tersisa Pangeran Antasari, beberapa Prajurit Kerajaan beserta pemuda yang masih tidak dapat menerima keputusan sepihak Belanda. “Pangeran, bukankah ini tidak adil? Apa kita hanya akan diam menerima keputusan Belanda tadi?” protes salah satu pemuda. “Tentu saja tidak, kita tidak boleh membiarkan mereka bersikap seenaknya. Kita harus memperjuangkan keadilan untuk Pangeran Hidayatullah!” seru Pangeran Antasari. “Tetapi bagaimana caranya? Senjata kita sudah pasti kalah dari mereka. Kita hanya akan membuang-buang tenaga, bahkan nyawa kita,” “Jika seluruh rakyat Banjar bersatu pasti tidak akan sulit untuk mengusir mereka dari tanah kita. Terlepas dari itu, Allah pasti akan memberikan kemudahan bagi kita yang benar, karena Allah Maha Mengetahui!” Para pemuda bertepuk tangan menyetujui seruan bijak dari Pangeran Antasari. Mereka memanggil seluruh rakyat Banjar yang ingin ikut serta melakukan pemberontakan kepada Belanda. Di sana, mereka menyusun strategi perang dengan Pangeran Antasari sebagai pemimpin pemberontakan. Keesokan harinya di Pengaron, berbekal strategi perang yang telah dibahas, Pangeran Antasari bersama ratusan prajurit dan rakyatnya menyerang tambang batu bara milik Belanda. Mereka menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu. Meskipun begitu, Belanda dengan tegas tidak mau menyerah dan sebaliknya membujuk Pangeran Antasari menyerah. Pangeran Antasari bersama pasukannya tetap pada pendirian. Hingga pada akhirnya, Pangeran Antasari wafat di tengah-tengah pasukannya yang tanpa pernah menyerah. Biodata Penulis Nama lengkap : Yemima Sipayung Tempat, tanggal lahir : Jambi, 18 Januari 2001 Nama sekolah : SMA Xaverius 1 Jambi E-mail : yemimasipayung87@gmail.com Instagram : @yemimaspyg Facebook : Yemima Sipayung