Anda di halaman 1dari 28

Deteksi dan Penatalaksanaan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus

Pada Infeksi Kulit


Gede Putra Kartika Wijaya, Widyawati Djamaluddin, Safruddin Amin, Anni Adriani,
Dirmawati Kadir, Sri Vitayani
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar

1. PENDAHULUAN

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus atau MRSA merupakan strain dari S.


aureus yang resisten terhadap isoxazoyl penicillin seperti methicillin, oxacillin dan
flucloxacillin. MRSA juga bersifat resisten silang terhadap seluruh antibiotik golongan
beta lactam. MRSA memilki gen mecA yang mengkode protein penicillin-binding
protein 2a atau PBP2a dan gen mecC. Gen ini mengkode S. aureus untuk menghasilkan
enzim penicillinase kemudian dikenal sebagai β-laktamase. Gen-gen ini memberikan
resistansi terhadap semua antibiotik beta-laktam, termasuk cephalosporins dan
carbapenems. Enzim ini menyebabkan kegagalan pengobatan yang timbul segera
setelah penggunaan penicillin.(1) MRSA didefinisikan sebagai konsentrasi hambat
minimum atau MIC oksasilin ≥4 mcg / mL.(2)

Pasien dengan infeksi kulit dan jaringan lunak yang disebabkan MRSA dapat
bermanifestasi sebagai impetigo, selulitis, abses atau kombinasinya.(3) Pasien dengan
infeksi kulit harus diterapi dengan antibiotik. Pasien dengan infeksi kulit yang
bermanifestasi klinis sebagai abses harus menjalani insisi dan drainase, dan material
debridemen atau pus harus dikirim untuk kultur dan uji sensitivitas. (4) Pada infeksi kulit
karena bakteri MRSA memerlukan penatalaksanaan dan pemilihan antibiotik khusus
tergantung pada keadaan klinis individu. (5)

2. EPIDEMIOLOGI

MRSA merupakan bakteri patogen terpenting penyebab infeksi terkait perawatan di


rumah sakit di dunia. Antibiotik penisilin tahun 1959, infeksi S. aureus dapat diatasi
dengan pemberian penisilin,(6,7) kemudian pertama kali dipaparkan tahun 1961 di
United Kingdom, setelah itu banyak laporan MRSA di seluruh dunia. Data di Canada
tahun 2005 didapatkan infeksi MRSA terjadi pada 32% infeksi S.aureus. Di China
tahun yang sama 80% infeksi S.aureus merupakan MRSA. Di negara berkembang,
termasuk Indonesia, belum banyak didapatkan data endemisitas MRSA, terutama

1
prevalensi MRSA di rumah sakit atau hospital-acquired MRSA/HA-MRSA. Di RSUD
Dr. Saiful Anwar, Malang tahun 2010-2014, dari sampel darah, pus, sputum, dan urin,
isolat MRSA paling banyak ditemukan dari pus yaitu sebanyak 49%. Laporan yang
sama juga didapakan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada tahun 2010, 50% isolat
(1,8)
MRSA didapatkan pada pus. Niswati et al melaporkan data di IGD Rumah Sakit
Universitas Hasanuddin, dari 68 sampel hidung pasien diperoleh 13 sampel (19,1%)
membawa S.aureus, yang terdiri dari 4 sampel (5,9%) positif MRSA.(9)

3. METODE DETEKSI MRSA

3.1 Metode Deteksi Konvensional

3.1.1 Kultur Isolat Bakteri

Spesimen darah pasien ditempatkan dalam botol kultur darah dimasukkan ke dalam
inkubator khusus darah BACTEC® untuk diinkubasi sampai dideteksi adanya
pertumbuhan mikroorganisme atau maksimal 5-7 hari. Apabila dideteksi adanya
pertumbuhan mikroorganisme dalam botol darah yang ditandai alarm detektor
menyala, maka selanjutnya darah tersebut akan ditanam di media agar darah (blood
agar) dan dibuat preparat garam. Media agar tersebut selanjutnya diinkubasi selama
18-24 jam dalam suhu 37°C. Selanjutnya dilakukan pengamatan pertumbuhan
koloni bakteri terpisah atau murni yang ada setelah masa inkubasi selesai, kemudian
dilakukan pengecatan gram dari koloni bakteri tersebut.(10) Spesimen yang
memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap kultur adalah bila ditemukan sel
bakteri, sel PMN >25 sel/lpb, dan sel epitel skuamus untuk spesimen pus dan sputum
<10 sel/lpb atau terlihat bakteri pada spesimen urin. Bila ditemukan bakteri gram
positif, maka kultur primer dilakukan pada medium blood agar atau nutrient agar,
bila ditemukan bakteri gram negatif, kultur primer dilakukan pada medium
MacConkey, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam.(10)

3.1.2 Metode Tes Katalase


Tes katalase digunakan untuk membedakan genus Staphylococcus dengan
Streptococcus. Kedua genus tersebut memiliki sifat pewarnaan gram yang sama,
yaitu gram positif dan berbentuk kokus. Perbedaan kedua genus tersebut adalah
keberadaan enzim sitokrom oksidase, yaitu genus Staphylococcus mempunyai
enzim tersebut, sedangkan Streptococcus tidak. Prosedur pelaksanaan tes katalase
pertama adalah membersihkan gelas objek yang akan digunakan dengan melewatkan

2
gelas objek di atas nyala api sebanyak 3 kali. Selanjutnya dengan ose steril ambil 2-
3 koloni kuman yang terpisah kemudian diletakkan di gelas objek. 1 tetes hidrogen
peroksida atau H2O2 3% diteteskan di atas koloni bakteri tersebut. Diamati
terbentuknya gelembung udara, bila terbentuk gelembung udara dengan cepat dan
banyak dinyatakan tes katalase positif. Sebaliknya, bila terbentuk gelembung sedikit
dan terjadi setelah 20-30 detik tidak dapat dikatakan tes katalase positif. Bakteri
kokus gram positif yang menghasilkan tes katalase positif tersebut adalah golongan
Staphylococcus sp. Apabila tes katalase negatif berarti bakteri yang tumbuh adalah
golongan Streptococcus sp.(9) Dari tes katalase ini, sampel yang diambil adalah isolat
spesimen yang menghasikan tes katalase positif.

3.1.3 Manitol Salt Agar

Koloni ditanamkan pada media Manitol Salt Agar (MSA) kemudian didiamkan 2-5
menit agar bakteri meresap ke dalam media. Setelah itu kultur diinkubasi pada suhu
37 ̊C selama 24-48 jam. Kemudian diperhatikan perubahan warna yang terjadi pada
media. Apabila media berubah menjadi kuning, maka bakteri adalah S.aureus.(9)

3.1.4 Metode Tes Koagulase


Tes koagulase adalah tes lanjutan setelah mengidentifikasi bakteri Staphylococcus
sp. setelah tes katalase. Hanya S.aureus yang menghasilkan tes koagulase positif di
antara genus bakteri Staphylococcus sp., dikarenakan mempunyai enzim koagulase.
Prosedurnya dengan lembar kertas karton hitam tahan air khusus tes koagulase dari
Remel®. Kemudian meneteskan 1 tetes larutan Staphaurex® Latex koagulase di atas
kertas tersebut. Satu koloni murni bakteri yang teridentifikasi katalase positif dari
medium perbenihan bakteri, diletakkan di atas larutan Staphaurex menggunakan lidi
kayu. Kemudian kertas karton digoyang selama 30-60 detik. Jika timbul bentukan
endapan seperti pasir-pasir kecil berwarna putih keabu-abuan yang merupakan
endapan fibrin, maka dinyatakan tes koagulase positif, menandakan isolat tersebut
spesies S.aureus. Apabila tidak didapat, maka isolat bakteri tersebut adalah spesies
Staphylococcus koagulase negatif.(10) Dari tes katalase ini, maka sampel yang
diambil adalah isolat spesimen yang menghasikan tes koagulase positif.
3.1.4 Metode Uji Kepekaan Antibiotik

Digunakan metode disc diffusion atau metode Kirby Bauer dan pedoman menurut
tabel CLSI 2014. Metode ini menggunakan kertas cakram diameter 6 mm yang telah

3
berisi antibiotik konsentrasi tertentu. Koloni bakteri S. aureus yang terpisah dan
murni diambil dengan ose steril kemudian dilarutkan dalam 2 ml larutan NaCl
fisiologis sampai mencapai konsentrasi 0.5 McFarland atau setara dengan kepadatan
sel bakteri sebesar 1,5x108 bacteria/ml. Larutan NaCl fisiologis yang sudah berisi
bakteri tersebut kemudian divortex agar homogen. Lidi kapas steril dimasukkan
kedalam tabung larutan NaCl tersebut untuk mengambil inokulum bakteri dan
diinkubasi dalam suhu 37°C selama 30 menit. Selanjutnya, larutan NaCl fisiologis
yang telah diinkubasi dikeluarkan dari inkubator, lidi kapas ditekan pelan ke
permukaan bagian dalam dinding tabung yang berisi larutan NaCl tersebut,
dipastikan tidak ada kelebihan cairan, kemudian lidi kapas ditarik keluar dari tabung.
Lidi kapas digoreskan di atas agar Mueller Hinton untuk membuat streaking pada
permukaan agar tersebut. Pembuatan streaking ini bertujuan untuk menumbuhkan
koloni bakteri S. aureus pada seluruh permukaan agar. Agar Mueller Hinton
dibiarkan mengering selama 2 menit, kemudian kertas cakram antibiotik cefoxitin,
chloramphenicol, ciprofloxacin, erythromycin, gentamicin, tetracycline, dan
trimethophrim- sulfametoxazole diletakkan di atas agar Mueller Hinton dengan jarak
sebesar 24mm dari bagian tengah kertas cakram satu antibiotik ke antibiotik lainnya.
Agar Mueller Hinton diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24 jam.
Selanjutnya pengukuran diameter hambatan pertumbuhan bakteri untuk setiap jenis
cakram antibiotik. Hasil pengukuran disesuaikan tabel kepekaan antibiotik CLSI
2014, sehingga ditentukan bakteri yang diujikan masih sensitif atau sudah resisten
terhadap antibiotik. Bakteri S.aureus strain MRSA teridentifikasi apabila didapatkan
hasil resisten terhadap antibiotik cefoxitin didapatkan hambatan pertumbuhan
bakteri S.aureus berdiameter <21mm.(11)

4
3.2 Deteksi Cepat MRSA

Metode deteksi cepat merupakan komponen strategi pengendalian MRSA. Pada


infeksi kulit MRSA, sampel yang digunakan adalah pus, namun bisa juga dengan
swab pada ulkus, atau darah. Pemilihan teknik deteksi cepat tergantung pada
kebutuhan, logistik rumah sakit, kapasitas untuk spesimen batch, keahlian teknis staf
laboratorium, dan sumber daya keuangan .

3.2.1 Cefoxitin Disk Screen Test

Tes fenotipik paling akurat untuk keberadaan gen mecA / mecC di S.aureus adalah
uji difusi cakram cefoxitin. Cefoxitin digunakan karena merupakan induser ekspresi
mecA / mecC yang lebih kuat daripada agen lain seperti oxacillin dan mudah
ditafsirkan. Tes ini melibatkan inkubasi isolat uji agar Mueller Hinton + 2% natrium
klorida dalam kondisi standar dengan cawan cefoxitin (30 mcg). Menurut CLSI,
zona penghambatan pertumbuhan di sekitar cefoxitin disk lebih dari ≥22 mm bukan
MRSA; ukuran zona <22 mm menunjukkan bahwa gen mecA ada dan dilaporkan
sebagai MRSA. Tes ini membutuhkan inkubasi semalam (4).

3.2.2 Rapid Culture

Rapid culture menggunakan agar Chromogenic, yang mengandung substrat media


yang berubah warna dengan adanya S.aureus; memungkinkan identifikasi MRSA
dari piring isolasi primer dalam 24-48 jam.(12) Chromogenic agar untuk identifikasi

5
MRSA dalam kultur darah memiliki sensitivitas 97,6% dan spesifisitas 100% pada
18 - 24 jam.(13) Deteksi konvensional dalam jangka waktu 48 hingga 72 jam.(14)

3.2.3 Enrichment Broth

Metode kultur baru BacLite rapid MRSA test memungkinkan hasil negatif untuk
dilaporkan dalam 5 jam, pengujian ini tidak tersedia di Amerika Serikat. Metode ini
menggunakan kaldu pengayaan selektif yang mengandung cefoxitin dan magnetik
mikropartikel ekstraksi S.aureus diikuti dengan deteksi adenilat kinase sebagai
penanda sel nonspesifik. Hasil positif biasanya dapat dilaporkan pada hari
berikutnya. Sensitivitas dan spesifisitas 94,6% dan 96,9%.(15)

3.2.4 Teknik Bakteriofag

Tes Kultur Darah MRSA/MSSA KeyPath, menggunakan bakteriofag yang hanya


bereplikasi pada S.aureus untuk mendeteksi dan membedakan antara MRSA dan S.
aureus yang susceptible methicillin atau MSSA dalam kultur darah dengan gram
cocci positif dalam waktu sekitar lima jam. Sensitivitas 91% dan spesifisitas 98%,
dibandingkan dengan kultur.(16)

3.2.5 Metode Molekuler Polymerase Chain Reaction (PCR)

Pengujian molekuler mentargetkan pada urutan DNA yang mencakup elemen


SCCmec yang umum pada S. aureus serta staphylococci negatif koagulase, bersama
dengan tambahan urutan nukleus khusus untuk S.aureus. Tes yang berbeda
menggunakan kombinasi target yang berbeda. Khususnya, tidak semua tes
molekuler mendeteksi varian mecc yang ada di beberapa MRSA. Hasil positif, tetap
memerlukan konfirmasi kultur sebelum diagnosis definitif kolonisasi MRSA.(17)

PCR konvensional, PCR multipleks, PCR real time atau RT-PCR, dan hibridisasi
gen-probe memungkinkan deteksi MRSA dalam 2-6 jam. Namun, biaya yang relatif
mahal mengharuskan batching spesimen, memperpanjang waktu perputaran. Uji
molekuler generasi pertama menargetkan SCCmec-orfX junction. Target ini ada
pada beberapa staphylococci koagulase-negatif yang resisten methicillin MRCoNS,
sehingga positif palsu dapat terjadi pada MRCoNS. Tes ini tidak secara langsung
mendeteksi gen mecA. Ini berarti bahwa kadang-kadang isolat dengan SCCmec
tetapi tanpa mecA dapat salah mengidentifikasi sebagai MRSA. Akhirnya, tes ini
tidak mendeteksi strain MRSA yang membawa gen mecC. Sensitivitas 90-98% dan
spesifisitas 91-99%.(18,19) Tes generasi kedua, disetujui oleh Food and Drug

6
Administration atau FDA 2008, menargetkan tiga gen: SCCmec-orfX junction, gen
mecA, dan gen staphylococcal protein A atau spa. Ketiga target harus positif agar
MRSA dianggap ada. Tes ini tidak mendeteksi MRSA karena mecC. Tes generasi
ketiga mengandung target yang ada dalam tes generasi kedua ditambah target mecC.

3.2.7 Kit MRSA Evigene

Mendeteksi mecA serta dua rangkaian terpisah spesifik untuk S.aureus


menggunakan tiga probe DNA spesifik. Sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 99%
untuk MRSA dalam darah.(20)

4. PEMILIHAN ANTIBIOTIK

Pengobatan empiris MRSA dibenarkan mengingat prevalensi MRSA tinggi di


masyarakat. Pasien dikatakan berisiko tinggi MRSA apabila 1) Pasien dengan riwayat
MRSA; 2) Pasien perawatan intensif di ICU; 3) Pasien immunocompromised; 4) Pasien
perawatan jangka panjang; 5) Pasien hemodialisis; 6) Pasien dirawat di RS 12 bulan
terakhir; 7) Pasien mendapat antibiotik 3 bulan terakhir; 8) Pasien dengan infeksi kulit
atau jaringan lunak saat masuk; 9) Penggunaan narkoba suntik.

Faktor-faktor yang terkait wabah MRSA meliputi 1) Riwayat ditahan di penjara, 2)


pelayanan militer; 3) berbagi peralatan olahraga 4) berbagi jarum, pisau cukur, atau
benda tajam lainnya. Terapi antibiotik empiris dengan aktivitas terhadap MRSA sangat
penting dalam situasi berikut 1) Terdapat episode infeksi MRSA sebelumnya; 2) Tidak
ada respon klinis yang memadai dalam waktu 72 jam untuk terapi antibiotik tanpa
aktivitas terhadap MRSA.(21,22).

Terapi antibiotik harus disesuaikan dengan data kultur dan sensitivitas bila tersedia.
Pertimbangan dalam pemilihan antibiotik termasuk profil sensitivitas terhadap
antibiotik di daerah setempat dan keadaan pasien, termasuk penyakit penyerta yang
(23)
mendasari jika pemberian obat bersamaan dengan obat lain , toksisitas dan biaya
yang akan dikeluarkan oleh pasien Tabel 2.

7
Pemilihan antibiotik mempertimbangakn tingkat keparahan infeksi yang terjadi, berikut
pertimbangan klinis pemberian antibiotik pada Tabel 3.

4.1 Antibiotik Oral

Diberikan pada infeksi ringan atau tanpa gejala sistemik atau diduga MRSA dapat
diobati terapi antibiotik oral. Pilihan antara agen disesuaikan oleh keadaan klinis
individu termasuk pola lokal resistensi antibiotik, riwayat alergi, dan obat-obatan

8
secara bersamaan. Dalam pengaturan terapi antibiotik empiris, khasiat agen di atas
terhadap kelompok patogen potensial A Streptococcus harus dipertimbangkan,
clindamycin dan TMP-SMX aktif terhadap GAS; doksisikline memiliki aktivitas
tertentu.(24,25)

4.1.1 Tetrasiklin (Doksisiklin atau Minoksiklin)

Tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri dengan mencegah asosiasi aminoasil-


tRNA dengan ribosom bakteri. Doksisiklin mencapai tingkat keberhasilan 92%
dibandingkan keberhasilan 73% pada minoksikline. Berdasarkan uji mikrobiologi in
vitro, doksisiklin terbukti agen sangat kuat terhadap MRSA dengan nilai konsentrasi
penghambatan minimum sebesar 0,25 μg/mL. Dosis doksisiklin adalah 100mg/12jam,
durasi terapi bervariasi berdasarkan respons klinis, durasi rata-rata pengobatan mulai
dari 10-21 hari. Doksisiklin merupakan antibiotik kategori D, penggunaan golongan
tetrasiklin setelah 18 minggu pertama kehamilan mempengaruhi pembentukan gigi bayi
dan perubahan warna, jika pasien hamil saat menggunakan obat ini, pasien harus
diberitahu tentang potensi bahaya pada janin, pemberian doksisikline 40 mg harus
dihentikan sekaligus jika pasien menjadi hamil.(26)

4.1.2 Klindamisin.

Klindamisin bekerja sebagai bakteriostatik dengan menghambat sintesis protein bakteri


dengan mengikat RNA 23S dari 50S subunit dari ribosom. Khasiat klindamisin dan
TMP-SMX untuk pengobatan infeksi kulit sebanding; dalam dua uji acak termasuk
pasien dengan infeksi kulit tanpa komplikasi, tingkat kesembuhan untuk klindamisin
dan TMP-SMX adalah antara 78% dan 83%.(24,27) Pemantauan resistensi lokal
klindamisin penting. Beberapa klinisi menghindari penggunaan klindamisin sebagai
terapi empiris karena tingkat resistensi MRSA lokal terapi klindamisin empiris
diperkirakan 10-15%.(28) Selain itu, isolat yang sensitif terhadap klindamycin dan
resisten terhadap eritromisin mungkin mampu menginduksi resistensi terhadap
klindamisin. Dokter harus merujuk pada hasil laboratorium mikrobiologi tentang
evaluasi isolat sebelum pengobatan dengan klindamisin.(29) Efek samping yang
mungkin terjadi adalah nyeri perut, kolitis pseudomembran, esophagitis, mual, muntah,
dan diare, reaksi hipersensitivitas, pruritus, vaginitis, angioedema, transien
neutropenia, leukopenia, eosinophilia, agranulositosis dan trombositopenia.
Fluoroquinolones terlepas dari delafloxacin, tidak boleh digunakan untuk pengobatan

9
infeksi kulit dan jaringan lunak akibat MRSA; resistensi dapat berkembangkan selama
terapi.(30) Dosis pemberian klindamisin adalah 300mg/8 jam hingga ada perbaikan
klinis atau bakteriologis. Kategori kehamilan FDA adalah B yaitu studi pada hewan
gagal menunjukkan risiko janin dan tidak ada studi cukup pada wanita hamil.

4.1.3 Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX)

TMP-SMX bekerja melawan MRSA melalui penghambatan sintase dihidropteroat oleh


sulfamethoxazole dan tetrahydrofolate reductase oleh trimetoprim, yang menyebabkan
gangguan biosintesis timidin pada sel S. aureus. Tingkat keseluruhan resolusi klinis
73,9% pada pasien dengan TMP oral/SMX dalam penelitian ini sebanding dengan yang
dalam penelitian oleh Cenizal et al. Trimethoprim-sulfamethoxazole tampaknya efektif
dalam pengobatan infeksi kulit dan jaringan lunak yang disebabkan oleh MRSA, dan
studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa obat setidaknya sama efektifnya dengan
pilihan antimikroba oral lain yang tersedia seperti doksisiklin atau klindamisin.(31)
Tingkat kesembuhan untuk TMP-SMX adalah 83%. Namun, berdasarkan penelitian
Bishara et al, TMP-SMX tidak direkomendasikan untuk infeksi kulit yang disertai
bakteremia.(32) Adapun dosis rekomendasi TMP-SMX untuk infeksi kulit dan jaringan
lunak adalah 160/800mg setiap 12 jam selama 7-15 hari. Dosis lebih tinggi ditemukan
memiliki hasil efektivitas klinis yang sama. Efek samping dengan pemberian obat ini
adalah mual, muntah, ruam kulit, pruritus, nefrotoksisitas walau jarang terjadi,
hepatitis, hipoglikemia, hiponatremia. Berdasarkan FDA, TMP-SMX merupakan obat
kategori D karena terbukti positif berisiko pada janin manusia.(33)

4.1.4 Rifampisin

Rifampisin bekerja dengan menghambat aktivitas DNA dependent-RNA polimerase,


secara khusus, rifampisin berinteraksi dengan polimerase RNA bakteri tetapi tidak
menghambat enzim mamalia. Satu penelitian membandingkan minoksiklin dengan
rifampisin, dengan rifampisin menjadi lebih efektif dalam eradikasi MRSA dari semua
lokasi infeksi pada hari ke 30 (RR= 0,16; CI 95% 0,02 - 1,00), tetapi perbedaan pada
90 hari tidak signifikan secara statistic.(34) Rifampisin atau asam fusidat dapat
digunakan sebagai tambahan dengan obat aktif lain atau bersama-sama; sebaiknya tidak
digunakan sebagai monoterapi karena resistensi cenderung muncul selama terapi
tunggal.(35) Dosis rifampicin adalah 600 mg digabungkan dengan doksisiklin 100 mg 2
kali sehari selama 7-10 hari atau hingga perbaikan bakteriologis maupun klinis. Efek

10
samping adalah sindrom flu yaitu demam, menggigil dan malaise, reaksi hematopoietik
seperti leukopenia, trombositopenia, atau anemia hemolitik akut, gastrointestinal,
gangguan hati, sesak napas, syok, anafilaksis, dan gagal ginjal. Menurut FDA kategori
kehamilan adalah C dimana studi reproduksi hewan telah menunjukkan efek buruk
pada janin dan tidak ada studi yang cukup dan terkontrol pada manusia.(36)

4.2 Antibiotik Parenteral

Digunakan apabila: 1) Keterlibatan jaringan lunak yang luas; 2) Perkembangan yang


cepat dari manifestasi klinis, perkembangan gejala setelah 48 hingga 72 jam terapi oral;
3) Immunocompromais; 4) Kedekatan infeksi jaringan lunak ke perangkat seperti sendi
prostetik atau cangkok vaskular; infeksi jaringan lunak harus dianggap sebagai
manifestasi dari infeksi pada prostetik jika berasal pada kulit langsung melapisi situs
prosthesis.(28) Agen parenteral pilihan untuk pengobatan kulit dan infeksi jaringan lunak
ketika diketahui MRSA atau diduga adalah vankomisin dan daptomycin.

4.2.1 Vankomisin

Vankomisin adalah antibiotik dengan pengalaman klinis kumulatif paling banyak untuk
perawatan kulit dan infeksi jaringan lunak yang disebabkan oleh MRSA. Vankomisin
adalah antibiotik glikopeptida bakterisidal yang menghambat sintesis dinding sel;
penetrasi jaringan bervariasi dan tergantung pada tingkat peradangan. Vankomisin
memiliki profil keamanan yang relatif baik dan farmakokinetik yang
menguntungkan.(37) Vankomisin membunuh stafilokokus lebih lambat daripada
antibiotik beta-laktam in vitro dan jelas lebih rendah daripada beta-laktam untuk
pengobatan bakteremia yang suseptibel methicillin atau MSSA.(38) Adapun tingkat
perbaikan klinis pada pasien yang mendapat vankomisin adalah 74,4%, (CI 95%:
64.1%–83.5%).(39) Dauner et al tahun 2010 mendapatkan keberhasilan klinis pada
pemberian vankomisin adalah 90%.(40) Dosis loading vankomisin awal yaitu 25-30
μg/kg dapat diberikan. Dosis pemeliharaan intermiten diberikan untuk mencapai target
serum melalui konsentrasi 15 - 20 μg / mL. Pasien dengan infeksi S. aureus disebabkan
oleh isolat dengan konsentrasi hambat minimum vankomisin tinggi pada kisaran rentan
yaitu ≥2 μg / ml mungkin tidak merespon terapi, serta orang-orang dengan infeksi
disebabkan oleh isolat dengan MIC rendah. Dalam kasus tersebut, respon klinis buruk
terhadap vankomisin, digunakan daptomisin atau agen lain.(41) Vankomisin memiliki
penetrasi pada jaringan lunak yang rendah tapi masih menjadi pilihan pada berbagai

11
infeksi MRSA termasuk pada infeksi kulit dan jaringan lunak, dikhususkan pada infeksi
ringan hingga sedang.

Alternatif untuk vankomisin harus dipertimbangkan jika terdapat efek samping


terhadap vankomisin. Pemberian dosis > 15 μg/ml meningkatkan resiko nefrotoksisitas.
FDA memberikan kategori B pada vankomisin dikarenakan tidak ada penelitian yang
cukup mengenai keamanan vankomisin selama kehamilan manusia. Studi toksikologi
reproduksi pada hewan tidak menunjukkan efek pada perkembangan embrio, janin atau
periode kehamilan. Namun, vankomisin menembus plasenta dan sehingga potensi
risiko ototoxisitas embrional dan neonatal dan nefrotoksisitas tidak dapat
dikesampingkan. Oleh karena itu, vankomisin harus diberikan pada kehamilan hanya
jika jelas diperlukan dan setelah evaluasi risiko/manfaat yang cermat.(42)

4.2.2 Daptomycin

Daptomycin adalah antibiotik kelas lipopeptida yang bekerja dengan mengganggu


fungsi membran sel melalui pengikatan tergantung kalsium, yang menghasilkan
aktivitas bakterisidal. Daptomycin adalah alternatif dari vankomisin. Tingkat
keberhasilan klinis daptomycin menurut Logman et al adalah 78,1%(39) Penelitian lain
mendapatkan tingkat kesuksesan daptomycin 63% vs 33% pada pemberian vankomisin
selama 4-7 hari.(43) Daptomycin adalah antibiotik lipopeptida siklik bakterisidal yang
menyebabkan depolarisasi membran sel bakteri (44,45). Dosis untuk bakteremia adalah 6
mg / kg intravena atau IV sekali sehari; dapat dinaikan hingga 10 mg / kg IV sekali
(46,47)
sehari. Dosis lebih tinggi harus diperhatikan pada pasien dengan sakit kritis .
Daptomisin non-inferior terhadap penicillin atau vancomycin ditambah gentamicin

12
dosis rendah untuk pengobatan bakteremia akibat S. aureus. Daptomycin tidak boleh
digunakan untuk pengobatan bakteremia MRSA yang berhubungan dengan pneumonia.
Konsentrasi hambat minimum daptomycin dapat meningkat selama terapi dan mungkin
dipengaruhi oleh paparan sebelumnya terhadap vankomisin.(48) Oleh karena itu,
pengujian sensitivitas daptomisin harus dilakukan sebelum terapi dan diulang pada
kultur positif, terutama jika terapi berkepanjangan diberikan dan / atau ada bukti
mikrobiologis dari infeksi persisten selama terapi. Daptomisin aman dan dapat
ditoleransi dengan baik dengan pemberian 4mg/kgBB. Efek samping termasuk mual,
muntah, miopati, neuropati perifer, dan pneumonia eosinofilik.(49) Pengukuran serial
serum kreatine kinase harus dipantau setidaknya setiap minggu pada pemberian dengan
dosis lebih dari 6mg/kgBB, dan daptomycin harus dihentikan pada pasien dengan
miopati simtomatik dan creatine phosphokinase /CPK ≥5 kali batas atas normal atau
pada pasien asimtomatik dengan CPK ≥10 kali lipat batas normal. FDA memberikan
kategori B pada daptomisin. Pada kehamilan, daptomisin pada hewan tidak
menunjukkan efek berbahaya langsung atau tidak langsung pada kehamilan,
perkembangan embrional / janin, kelahiran atau perkembangan postnatal.(50)

4.2.3. Teicoplanin

Teicopanin dapat digunakan sebagai obat pilihan awal untuk patogen gram positif, atau
untuk pasien dengan intoleransi vankomisin.(51) Teicoplanin lipoglikopeptida alami
yang membunuh gram-positif cocci dengan menghambat sintesis peptidoglikan dinding
sel. Efikasinya dilaporkan sebanding dengan vankomisin, tetapi memiliki efek samping
yang lebih sedikit daripada vankomisin terutama kejadian nefrotoksisitas. Keberhasilan
klinis teicoplanin 72,8% dan keberhasilan mikrobiologis adalah 66,2%.(52) Efek
samping lain yang perlu diperhatikan adalah trombositopenia, dan ototoksisitas. Dosis
teicoplanin adalah 6 dan 12mg /kgBB /hari dengan pemberian intravena/intramuscular.
Lama pemberian berdasarkan respons klinis. Pada infeksi berat dapat diberikan hingga
21 hari. Teicoplanin menurut FDA kategori keamanan pada kehamilan adalah C.(53)

4.2.4 Linezolid

Linezolid merupakan oksazolidinon yang memiliki aktivitas bakteriostatik terhadap


MRSA dan streptokokus. Linezolid menghentikan pertumbuhan dan reproduksi bakteri
dengan merusak protein tRNA dalam ribosome. Linezolid secara selektif terikat ke unit
ribosom 50S dan menghambat inisiasi sintesis protein kompleks.(54) Penggunaan obat

13
ini dibatasi oleh biaya dan toksisitas; mereka harus disediakan untuk pasien yang tidak
resposif atau tidak bisa mentolerir agen lainnya. Dosis linezolid adalah 600 mg oral
atau intravena dua kali sehari atau 10mg/kgBB untuk anak di bawah 12 tahun.(55)
Linezolid dan vankomisin telah diamati memiliki tingkat kesembuhan klinis setara
untuk MRSA. Satu review sistematis termasuk 3144 pasien dengan infeksi kulit dan
jaringan lunak mencatat linezolid sama efektifnya dengan vankomisin.(54) Linezolid
terbukti efektif eradikasi MRSA dibandingkan vankomisin untuk pengobatan kulit dan
infeksi jaringan lunak (RR 1.80; 95% CI 1.20-2.68).(56) Linezolid tersedia bentuk oral
maupun intravena dengan bioavaibilitas 100%. Konsentrasi penetrasi jaringan lunak
dibandingkan konsentrasi serum adalah 105%. Penurunan dosis tidak diperlukan
bahkan dalam kondisi insufisiensi renal. Efek samping adalah trombositopenia dan
anemia, walaupun ringan dan reversibel. Rekomendasi lama pemberian 28 hari.(43)
Kategori keamanan kehamilan menurut FDA adalah C dengan data terbatas. Studi pada
hewan menunjukkan toksisitas reproduksi. Potensi risiko bagi manusia ada.

4.2.5 Tedizolid

Tedizolid disetujui FDA tahun 2014 untuk pengobatan infeksi kulit. Tedizolid
diberikan sebagai infus IV 200 mg atau sebagai dosis oral sekali sehari. Tedizolid
merupakan oxazolidinones yang menghambat sintesis protein bakteri dengan mengikat
ke 50S ribosom subunit.(57) Tedizolid terbukti non-inferior dibanding linezolid untuk
perawatan kulit dan infeksi jaringan lunak.(58) Dosis oral dapat diberikan tanpa makanan
dan setiap infus IV harus diberikan selama 1 jam. Dibandingkan linezolid, tedizolid
menawarkan dosis harian tunggal, kemanjuran serupa dengan terapi yang lebih singkat,
dan profil keamanan yang lebih baik. Sebuah studi fase 3, randomized, mengevaluasi
keefektifan tedizolid untuk infeksi kulit dan jaringan lunak pada orang dewasa di
Jepang, dimana pasien menerima tedizolid 200 mg sekali sehari atau linezolid 600 mg
dua kali sehari selama 7-14 hari. Tingkat penyembuhan klinis adalah 93% pada
tedizolid dan 89% pada linezolid, (95% CI:15,6-37,6) dan eradikasi mikrobiologis
adalah 96% dan 100%. Tedizolid memiliki efek samping serupa dangan linezolid
seperti mual, muntah, diare, dispepsia, trombositopenia, sindrom serotonin. Kategori
kehamilan menurut FDA adalah C.(59)

14
4.2.6 Delafloxacin

Merupakan golongan fluorokuinolon disetujui tahun 2017 oleh FDA untuk


penatalaksanaan infeksi kulit dan jaringan lunak.(60) Delafloxacin memiliki aktivitas
terhadap staphylococcus, termasuk MRSA, dan bakteri gram negatif termasuk
Pseudomonas aeruginosa dan Enterobacteriaceae, bakteri anaerob termasuk
Clostridium difficile; namun tidak memiliki aktivitas terhadap enterococci.(61)
Delafloxacin bekerja dengan menghambat aktivitas topoisomerase DNA bakteri dan
girase DNA topoisomerase II sehingga mengganggu replikasi DNA bakteri.(62)
Dilaporkan bahwa delafloxacin secara statistik non-inferior dengan kombinasi
vankomisin dan aztreonam pada 48 - 72 jam post treatment, dan uji klinis fase III
dinyatakan bahwa delafloxacin dapat ditoleransi.(63) Delafloxacin memiliki tingkat
(64)
keberhasilan klinis 86,1%. Delafloxacin tersedia dalam bentuk intravena dan oral,
dengan dosis 300 mg intravena setiap 12 jam selama 3 hari, atau 450 mg tablet setiap
12 jam selama 2-11 hari. Efek samping paling sering adalah diare, gelisah, kencing
berwarna merah, warna kebiruan pada kulit, nyeri dada, keringat dingin, telinga
berdenging, depresi, mulut kering, bau nafas seperti buah-buahan, sakit kepala, mual
dan muntah. Delafloxacin belum diteliti pada wanita hamil atau menyusui, dan tidak
digunakan pada pasien yang lebih muda dari 18 tahun.(65)

4.2.7 Ceftaroline

Ceftaroline adalah generasi kelima sefalosporin dengan spektrum luas terhadap bakteri
gram-positif dan negatif. Ceftaroline memiliki aktivitas terhadap MRSA dan
staphylococcus yang sensitivitasnya terhadap vankomisin, daptomycin, atau linezolid
berkurang serta gram-negatif pathogen.(66) Aktivitas ceftaroline melawan MRSA
adalah hasil dari afinitas tinggi untuk protein penicillin-binding, tetapi terutama untuk
situs alosterik PBP2a dekat domain transpeptidase. Ceftaroline mengikat ke situs ini
menyebabkan perubahan konformasi yang membuka situs aktif dari molekul,
memungkinkan pengikatan molekul ceftaroline kedua dengan penghambatan akibat
aktivitas enzimatiknya.(67) Obat ini telah diakui oleh FDA sejak 2010 untuk pengobatan
infeksi kulit dan jaringan lunak. Untuk pengobatan infeksi kulit dengan komplikasi,
ceftaroline telah ditemukan untuk menjadi non-inferior terhadap vankomisin-
aztreonam.(68) Pada 56% pasien mengalami kesembuhan secara klinis setelah
pemberian ceftarolin.(67) Ceftarolin tersedia dalam bentuk intravena 600 mg,
pemberiannya adalah setiap 12 jam dengan loading selama 60 menit, diberikan selama

15
5-14 hari. Efek samping obat terjadi pada 10-15% pasien rawat inap, dengan
hipersensitivitas obat terjadi pada seperlima dari semua kasus efek samping. Efek
samping obat pada cephalosporine terjadi di 0,0001% hingga 3% dari administrasi.
Paling umum adalah ruam makulopapular, reaksi hipersensitivitas berat, termasuk
anafilaksis, akut nefritis interstisial atau AIN, sindrom Stevens-Johnson atau SJS, dan
ruam obat eosinophilia dan Sindrom Gejala Sistemik atau DRESS.(69) FDA belum
memberikan pernyataan mengenai kategori kehamilan pada ceeftaroline. Data
penggunaan ceftaroline pada wanita hamil sangat terbatas. Penelitian pada hewan yang
dilakukan pada tikus dan kelinci tidak menunjukkan efek berbahaya sehubungan
dengan toksisitas reproduksi pada konsentrasi terapeutik.(70)

4.2.8 Ceftobiprole

Ceftobiprole adalah generasi kelima sefalosporin dengan aktivitas spektrum luas


terhadap bakteri gram-positif dan gram negatif organisme. Ceftobiprole memiliki
aktivitas terhadap MRSA, penisilin-resistant Staphylococcus pneumoniae, enterococci,
dan Enterobacteriaceae.(71) Ceftobiprole memiliki aktivitas bakterisidal melalui
pengikatan pada penicillin-binding protein (PBP) pada bakteri Gram-positif, termasuk
MRSA, ceftobiprole berikatan dengan PBP2a. Ceftobiprole telah menunjukkan
aktivitas in vitro terhadap strain dengan mecA homolog yang berbeda mecC atau
mecALGA251.(72) Ceftobiprole telah diamati sama efektifnya dengan vankomisin
dengan atau tanpa ceftazidime. Keberhasilan klinis ceftobiprole didapatkan adalah
91,8% dibandingkan grup yang mendapatkan vankomisin dengan 90%(40) Obat ini
dapat diberikan dengan dosis 500 mg tiga kali sehari, atau menerima 750 mg dua kali
sehari dan mengharuskan rawat inap. Ceftobiprole tidak tersedia di Amerika Serikat,
tetapi tersedia di Kanada dan Eropa.(73) Efek samping yang paling umum terjadi pada
≥ 3% adalah mual, muntah, diare, iritasi pada tempat diinfus, hipersensitivitas termasuk
urtikaria, ruam pruritus dan hipersensitivitas obat. Trombositopenia, dan
agranulocytosis kadang terjadi. Penelitian pada hewan tidak menunjukkan efek
berbahaya baik langsung atau tidak langsung sehubungan dengan kehamilan,
perkembangan embrional / janin, kelahiran dan perkembangan postnatal. FDA belum
memberikan pernyataan mengenai kategori kehamilan pada ceftobirole. Belum ada
data pada kehamilan manusia.(72)

16
4.2.9 Iclaprim

Iclaprim adalah agen parenteral bakterisidal terhadap bakteri gram positif termasuk
MRSA. Iclaprim adalah inhibitor enzim dihydrofolate reductase, memblokir timidin
sintesis. Dalam uji coba acak, iclaprim non-inferior terhadap vankomisin untuk
pengobatan infeksi kulit dan jaringan lunak pada penelitian fase 2 dan fase 3 dengan
dosis tetap 80 mg intravena pengenceran ke dalam 250 mL atau 500 mL normal saline,
5% dekstrosa, atau ringer laktat; diinfuskan selama 120 menit setiap 12 jam, selama 5-
14 hari. Morgan et al, 2009 mendapatkan kesembuhan klinis 92,9% dan eradikasi
bakteriologis 84,7%.(74) Obat ini belum tersedia di Amerika Serikat(73) Iclaprim
dirancang untuk mengatasi resistensi trimetoprim dengan peningkatan potensi tanpa
perlu digabungkan dengan sulphonamides, sehingga menghindari efek samping terkait
sulfonamide seperti ruam, reaksi hipersensitivitas misalnya, sindrom stevens johnson,
perdarahan gastrointestinal, dan hiperkalemia.(75) Efek samping yang dilaporkan pada
pemberiam iclaprim adalah perpanjangan interval QTc, perubahan aktivitas jantung.
FDA belum memberikan pernyataan mengenai kategori kehamilan pada iclaprim.
Penelitian keamanan pada kehamilan belum diketahui.

4.2.10 Dalbavancin

Dalbavancin adalah lipoglycopeptides yang menghambat sintesis dinding sel dan


mengganggu permeabilitas membran sel; mereka memiliki aktivitas bakterisidal
terhadap MRSA dan organisme gram positif lainnya. Dalbavancin adalah agen long-
acting, memiliki paruh 14 hari; agen ini mungkin berguna untuk pasien terapi parenteral
tetapi tidak memerlukan rawat inap.(76) Dosis dalbavancin yang dianjurkan pada pasien
dewasa dengan infeksi kulit dan jaringan lunak adalah 1500 mg diberikan sebagai infus
tunggal atau 1000 mg diikuti satu minggu kemudian oleh 500 mg.(77) Dalbavancin
terbukti non-inferior terhadap vankomisin dan linezolid oral untuk pada dua studi yang
dilakukan pada 1200 pasien. Logman et al, tahun 2010 mendapatkan keberhasilan klinis
pada pemberian dalbavancin adalah 87,7%(39) Efek samping yang berhubungan dengan
dalbavancin termasuk intoleransi gastrointestinal mual, diare, sembelit, transaminitis,
hipokalemia, dan hipotensi.(78) Tidak ada data penggunaan dalbavancin pada wanita
hamil, sedangkan studi pada hewan menunjukkan adanya toksisitas reproduksi
sehingga FDA memberikan kategori kehamilan.(77)

17
4.2.11 Oritavancin

Oritavancin non-inferior terhadap vankomisin untuk perawatan kulit dan infeksi


jaringan lunak pada uji acak pada hampir 1.000 pasien. Oritavancin bekerja
menghambat sintesis dinding sel pada mikroba dengan menghambat sintesis
peptidoglikan, mengikat asam amino di dalam dinding sel mencegah penambahan unit
baru ke peptidoglikan sehingga bersifat bakterisidal. Efikasi dosis tunggal intravena
1200 mg oritavancin sama dengan pemberian dua kali sehari vankomisin selama 7
hingga 10 hari. Perbaikan klinis oritavacin adalah 79,6% dibandingkan 80,0% pada
vankomisin.(79) Oritavancin dapat memperpanjang waktu activated tromboplastin
parsial atau aPTT hingga 5 hari, memperpanjang waktu protrombin atau PT dan
international normalized ratio atau INR hingga 12 jam, dan memperpanjang activated
waktu pembekuan darah utuh ACT sampai 24 jam. Untuk pasien mendapatkan
oritavancin membutuhkan aPTT monitoring 5 hari. Oritavancin adalah agen long-
acting; oritavancin memiliki paruh 10 hari. Agen ini diberikan sebagai dosis tunggal,
berguna bagi pasien terapi parenteral tetapi tidak memerlukan rawat inap dan mungkin
menyederhanakan kepatuhan.(79) Efek samping lain dari oritavancin termasuk mual,
muntah, sakit kepala dan diare. Profil keamana pada kehamilan berdasarkan FDA
adalah kategori C dimana pada studi reproduksi hewan telah menunjukkan efek buruk
pada janin dan tidak ada studi yang terkontrol yang baik pada manusia.(80)

4.2.12 Telavancin

Telavancin adalah lipoglikopeptida turunan sintesis dari vankomisin. Obat ini bekerja
dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri, mengganggu polimerisasi dan cross-
linking dari peptidoglikan; telavancin mengikat membran bakteri, mengganggu fungsi
penghalang membrane.(81) Telavancin telah menunjukan sama efektifnya dengan
vankomisin. Penelitian Wilson et al, mendapatkan angka kesembuhan klinis pasien
infeksi kulit MRSA dengan komorbiditas bakteremia pada kelompok telavancin adalah
57,1% sedangkan kelompok vankomisin 54,5%.(82) Dosis rekomendasi telavancin
adalah 10 mg / kgBB melalui infus intravena setiap 24 jam selama 7 - 14 hari. Periode
infus setidaknya 60 menit dianjurkan untuk mengurangi risiko reaksi infus.(83) Efek
samping dari telavancin termasuk rasa gangguan, mual, muntah, dan disfungsi ginjal.
Televancin merupakan obat kategori C, penelitian pada hewan menunjukkan
penurunan berat janin, kelainan jari dan kaki, dan yang lahir mati. Tidak ada data
terkontrol pada kehamilan manusia.(81)

18
4.2.13 Tigecycline

Tigecycline adalah antibiotik tetrasiklin generasi terbaru, glycylcycline sistemik


aktivitas spektrum luas terhadap bakteri gram-positif dan gram-negatif aerob dan
anaerob. Tigecycline aktif in vitro melawan bakteri resisten antibiotik seperti VRE
Enterococcus faecalis, E. faecium dan MRSA. Tigecycline bekerja dengan
menghambat translasi protein pada bakteri dengan mengikat subunit ribosom 30S dan
menghalangi masuknya molekul amino-asil tRNA ke dalam situs A ribosom.
Tigecycline telah disetujui untuk pengobatan pasien dewasa dengan infeksi kulit dan
jaringan oleh FDA pada tahun 2005 (43). Perbaikan klinis tigecycline 86,4% sedangkan
vancomycin 86,9%.(84) Namun, berdasarkan meta analisis angka kesembuhan
tigecycline masih di bawah terapi pembanding.(85) Dosis awal tigecycline 100 mg,
diikuti 50 mg setiap 12 jam. Infus intravena tygecycline harus diberikan selama 30-60
menit setiap 12 jam.(86) Efek samping yang sering adalah gastrointestinal seperti mual,
muntah, pankreatitis akut setelah pemberian tigecycline juga telah diamati. Kategori
kehamilan adalah D karena terbukti membahayakan janin manusia.(87)

4.2.14 Quinupristin-Dalfopristin

Quinupristin-Dalfopristin adalah kombinasi 30%: 70% dari dua molekul streptogramin:


komponen dalfopristin pertama mengikat ke ribosome bakteri 50 S, menginduksi
perubahan konformasi yang memungkinkan pengikatan tambahan quinupristin. Hasil
kombinasi dalam penghambatan kedua aminoacyl-tRNA, mengakibatkan pelepasan
awal rantai polipeptida dari ribosom sehingga bersifat bakterisidal. Pada pemberian
obat ini didapatkan perbaikan klinis 68,2%, eradikasi bakteri 66,6%.(88) Dosis yang
dianjurkan untuk infeksi kulit adalah 7,5 mg/kgBB diberikan setiap 12 jam. Durasi
perawatan minimum yang disarankan untuk infeksi kulit dan jaringan lunak adalah 7
hari. Efek samping yang paling sering adalah nyeri dan peradangan pada daerah infus,
mual, thrombophlebitis, diare, sakit kepala, hingga gatal-gatal. Pada binatang tidak ada
bukti gangguan kesuburan atau membahayakan janin karena quinupristin-dalfopristin.
Namun, tidak ada studi cukup dengan quinupristin-dalfopristin pada wanita hamil (2).

4.3 Antibiotik Topikal

4.3.1 Mupirocin

Mupirosin merupakan antibiotik topikal yang paling banyak digunakan untuk infeksi
MRSA, dan sudah diakui untuk dekolonisasi MRSA. Mupirocin diproduksi dari

19
Pseudomonas fluorescens yang mengandung bagian asam 9-hidroksi-nonanoik yang
menghambat sintesis protein bakteri secara spesifik dan mengikat isoleucyl tRNA
sintetase bakteri, dengan demikian mencegah penggabungan isoleusin ke dalam
pembentukan rantai protein. Mupirocin dapat diaplikasikan 2-3 kali sehari selama 5
hari. Pada 32 pasien rawat inap dengan kolonisasi MRSA di beberapa situs tubuh
seperti nares, dahi, axillae, leher, dan/atau selangkangan yang diberikan salep
mupirocin 2% 3 kali / hari selama 5–7 hari. Dekolonisasi seluruh tubuh terjadi pada
53,1% dari pasien dalam 24-48 jam dan di 64% setelah 7–9 hari. Mupirocin terdiri atas
formulasi dengan petrolatum dan salep dalam polietilen glikol. Campuran dengan
polietilen glikol memiliki efek iritasi minimal.(89) Efek samping umum dari mupirocin
ointment meliputi rasa terbakar, gatal, kemerahan, kulit kering, bengkak, atau nyeri saat
pertama aplikasi. Efek samping lain berupa mual dan reaksi alergi termasuk anafilaksis.
Hingga saat ini FDA belum memberikan pernyataan mengenai status keamanan
mupirocin pada kehamilan.

4.3.2 Asam Fusidat

Asam fusidat bekerja mengganggu sintesis protein bakteri, dengan mencegah


translokasi faktor perpanjangan G atau EF-G dari ribosom. Asam fusidat tersedia dalam
formulasi topikal krim dan sodium fusidate ointment. Asam fusidat memiliki penetrasi
baik dengan mampu menembus stratum korneum. Karena kualitas penyerapannya yang
signifikan, pemberian topikal asam fusidat menghasilkan konsentrasi lokal yang jauh
lebih tinggi. Asam fusidat baik dalam bentuk krim maupun ointment dapat
diaplikasikan 2-3 kali sehari, selama 7 hari.(90) Efek samping asam fusidat adalah reaksi
alergi berat, iritasi ma`ta, iritasi kulit, dan diare. Di Inggris tahun 1995-2002, strain
epidemi MRSA yang dominan tetap sensitif asam fusidat walaupun ada 7,3% yang
mengalami resistensi asam fusidat.(91) Berdasarkan FDA asam fusidat merupakan
kategori B dan dinyatakan aman diberikan pada kehamilan.(92)

4.3.3 Retapamulin

Tahun 2007, salep retapamulin topikal 1% disetujui FDA untuk pengobatan infeksi
kulit orang dewasa dan pasien anak berusia  9 bulan namun, belum disetujui untuk
MRSA. Retapamulin salep 1% adalah anggota pertama dari kelas antibakteri agen
pleuromutilan, bekerja mencegah pembentukan aktif 50S ribosom subunit,
menghambat sintesis protein bakteri. Retapamulin memiliki profil keamanan yang baik

20
karena minimal penyerapan sistemik dan efek samping seperti iritasi lokal minimal.
Efikasi respon klinis pada follow-up pasien dengan MRSA tidak signifikan pada
pemberian 2 kali sehari selama 5 hari dibanding plasebo; namun hasilnya sangat baik,
dengan 7 dari 7 pasien menunjukkan keberhasilan klinis. Kurangnya signifikansi
karena sampel total yang kecil.(93) Efek samping Retapamulin adalah rasa terbakar
ringan, gatal, iritasi kulit, mual, diare, sakit kepala, hidung tersumbat, dan sakit
tenggorokan. Kategori kehamilan FDA B, studi pada hewan gagal menunjukkan risiko
pada janin dan tidak ada studi yang cukup dan terkontrol pada wanita hamil.
Pengobatan topikal retapamulin, asam fusidat atau mupirocin selama 3 hari
menghasilkan penurunan signifikan dengan P <0,001 jumlah bakteri pada lesi kulit
dibandingkan tanpa pengobatan. Perawatan infeksi 6 hari menghasilkan pengurangan
beban bakteri lebih banyak. Dibandingkan tanpa pengobatan topikal, pengurangan
jumlah bakteri adalah 5.0, 4.2 dan 5.1 log10 CFU untuk retapamulin, asam fusidat dan
mupirocin. Tidak ada perbedaan signifikan antara retapamulin, asam fusidat atau
mupirocin. Namun, berdasarkan systematic review Cochrane didapatkan tidak ada
perbedaan yang signifikan mengenai penurunan jumlah koloni MRSA pada ekstra nasal
pada pemberian antibiotik topikal saja dengan pemberian antibiotik sistemik yaitu asam
fusidat versus rifampicin atau minoksikliln, dan mupirosin yang dilanjutkan asam
fusidat vs oral trimethoprim-sulfamethoxazole.

5. FOLLOW UP PASCA TERAPI

Kultur dapat dilakukan setelah memulai pengobatan pada infeksi kulit yang disertai
bakteremia MRSA. Kegagalan pengobatan jika dalam waktu 48 jam setelah memulai
terapi tidak ditemukan perbaikan klinis harus kultur dilanjutkan dengan tes sensitivitas.
Dugaan kegagalan antibiotik mendorong penyesuaian antibiotik yaitu meningkatkan
dosis obat atau beralih ke rejimen alternatif, setelah 3-4 hari. Bakteremia persisten jika
hasil kultur darah positif > 7 hari setelah inisiasi terapi vankomisin. Semakin lama
bakteremia MRSA, semakin besar risiko komplikasi.

Keputusan untuk mengalihkan pasien dari terapi iv ke oral tergantung pada 1) Pasien
tidak demam > 24 jam klinis stabil; 3) WBC batas normal; 4) tidak ada kelainan
kardiovaskular yaitu tidak ada takikardia dan tekanan darah sistolik ≥100 mgHg; 5)
telah menerima terapi antibiotik IV selama> 24 jam; 6) Pasien dapat mentolerir cairan
oral atau diet memungkinkan pemberian oral tanpa komplikasi gastrointestinal.
Peralihan ke terapi oral merupakan kontraindikasi pada pasien dengan muntah berat

21
dan diare, keganasan hematologi atau neutropenia, gangguan absorpsi gastrointestinal,
demensia, dan infeksi berat pada muskuloskeletal, sistem saraf pusat, atau sistem
vaskular. Adanya komorbiditas, tidak tersedianya pengasuh, dan usia lanjut dapat
secara umum menunda penggantian ke terapi oral dan keluar dari rumah sakit.(94)

6. PENCEGAHAN INFEKSI MRSA

Secara umum, tindakan kontak pencegahan dengan MRSA dapat dihentikan setelah 6
bulan dengan hasil kultur negatif setelah kultur positif terakhir pada pasien tanpa risiko
kolonisasi persisten. Faktor pada transmisi dan kolonisasi adalah pertahanan host yang
terganggu, dan kontak dengan kulit atau fomites yang terkontaminasi.(95) Pendekatan
klinis untuk pencegahan infeksi MRSA antara lain:

6.1 Di Pusat Perawatan Kesehatan

6.1.1 Pencegahan MRSA


Prinsip pencegahan infeksi dasar 1) Kebersihan tangan, cuci tangan dengan sabun dan
air atau gel berbasis alkohol sebelum dan sesudah bertemu pasien MRSA. Terdapat
korelasi peningkatan kepatuhan kebersihan tangan 48-66% dengan penurunan
transmisi MRSA dari 2,16 menjadi 0,93 episode per 10.000 pasien/hari dan tingkat
keseluruhan infeksi terkait perawatan kesehatan 16,9 menjadi 9,9%; 2) Pencegahan
kontak, termasuk penggunaan gaun dan sarung tangan jika bersentuhan dengan pasien
(96)
MRSA ; Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat,
menyarankan tindakan pencegahan kontak dapat dihentikan jika 3 kultur MRSA
negatif selama satu-dua minggu pada pasien yang tidak mendapat antibiotik selama
beberapa minggu, dengan luka yang mengering.(97)

Upaya dekolonisasi selama 5-10 hari dengan: 1) Larutan chlorhexidine gluconate 2-4%
untuk mencuci pakaian harian atau penggunaan pakaian sekali pakai; memandikan
pasien dengan klorheksidin terbukti mengurangi kolonisasi dan infeksi MRSA; 2)
Salep Mupirocin 2% diaplikasikan pada lubang hidung dengan aplikator berujung
kapas 2-3 kali sehari pada pasien yang sebelumnya pernah terinfeksi MRSA.(98)
Namun, penggunaan jangka panjang agen topikal atau sistemik tidak tepat karena
resisten antibiotik. Resistensi mupirocin dilaporkan pada satu penelitian 24% dari isolat
MRSA. Gen resistansi mupirocin, mupA, telah ditemukan pada plasmid dalam klon
MRSA USA 300.(99) Pembersihan lingkungan meliputi membersihkan permukaan
barang yang sering disentuh pasien seperti pinggir tempat tidur, sakelar lampu, tombol

22
pintu. Spidol ultraviolet berguna memantau pembersihan ruangan. MRSA dapat
bertahan hidup di permukaan benda selama berjam-jam, berhari-hari, atau berbulan-
bulan sensitif namun terhadap disinfektan rumah tetapi. Kelangsungan hidupnya
tergantung pada suhu, kelembaban, jumlah organisme, dan jenis permukaan.
Penggunaan alat medis sebaiknya sekali pakai untuk menghindari transfer patogen.

6.1.2 Skrining MRSA

Strategi konvensional untuk pengendalian MRSA (HAMRSA/CAMRSA) difokuskan


pada pencegahan penyebaran dari pasien ke pasien (transmisi horizontal). Strategi ini
telah gagal mengendalikan MRSA secara memadai. Kultur klinis rutin mungkin
melewatkan pasien yang merupakan karier asimtomatik dan reservoir. Skrining MRSA
potensialnya mengidentifikasi karier MRSA untuk mencegah penularan lebih lanjut.
Strategi skrining MRSA diterapkan pada pasien rawat inap atau rawat jalan (skrining
universal), serta populasi tertentu, pasien rawat inap ICU, pasca bedah, pengguna
antibiotik lama, dan populasi pasien yang ditargetkan.(100) Skrining MRSA dengan
kultur swab hidung adalah metode standar untuk mengidentifikasi pembawa dengan
sensitivitas 70.9% dan spesifitas 90.3%.(101)

6. 2 Di Masyarakat

1) Tangan dibersihkan sabun dan air atau pembersih tangan berbasis alkohol, setelah
menyentuh kulit atau benda yang bersentuhan dengan luka yang mengering; 2) Luka
mengering harus ditutup perban bersih dan kering. Pasien luka terbuka tidak boleh
melibatkan kontak kulit dengan orang lain sampai luka sembuh; 3) Individu harus
menghindari berbagi barang pribadi yang terkontaminasi dengan drainase luka, seperti
handuk, pakaian, tempat tidur, sabun batangan, pisau cukur, atau peralatan atletik yang
menyentuh kulit; 4) Transmisi silang MRSA manusia dan hewan peliharaan.(102)

7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Pasien infeksi kulit dan jaringan lunak MRSA tampak sebagai impetigo, selulitis,
abses atau kombinasinya harus diterapi antibiotik. Pasien abses harus menjalani
insisi dan drainase dan antibiotik.
2. Terapi empiris MRSA diperlukan mengingat tingginya prevalensi MRSA. Faktor
klinis dan epidemiologi saja tidak cukup memprediksi kemungkinan infeksi
MRSA. Terapi antibiotik harus disesuaikan kultur dan sensitivitas jika tersedia.

23
3. Pasien infeksi ringan tanpa gejala sistemik dapat diterapi antibiotik oral. Agen
antibiotik oral pilihan termasuk trimethoprim-sulfamethoxazole, tetracyclines
(doksisiklin atau minoksikline), dan klindamisin.
4. Pasien berikut diprioritaskan terapi parenteral a) Keterlibatan jaringan lunak luas;
b) Tanda-tanda toksisitas sistemik; c) Perburukan cepat dari manifestasi klinis; d)
Progresivitas gejala setelah 48-72 jam terapi oral; e) Immunocompromais; f)
Kedekatan infeksi jaringan lunak ke organ dalam sekitar (seperti sendi prostetik
atau cangkok vaskular). Infeksi jaringan lunak harus dianggap sebagai manifestasi
dari infeksi perangkat jika berasal dari kulit langsung di atas tempat prosthesis.
Antibiotik oral pilihan adalah vankomisin dan daptomisin.
5. Pemilihan antibiotik didasarkan pada administrasi, logistik, efek samping,
ketersediaan, dan biaya. Agen parenteral seperti linezolid dan tedizolid,
delafloxacin, ceftaroline, ceftobiprole, dalbavancin, oritavancin, dan telavancin.
6. Durasi terapi tergantung presentasi klinis dan respons klinis. Pasien responsif
terapi oral dirawat 5 hari; 14 hari pada infeksi berat dan/atau respons yang lambat
terhadap terapi. Pasien terapi parenteral tanpa bakteremia atau keterlibatan di luar
jaringan lunak dirawat 5-14 hari. Setelah perbaikan klinis tanpa bukti toksisitas
sistemik, antibiotik parenteral dapat dialihkan ke oral.

24
REFERENCES
1. Liana P. Gambaran Kuman Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) di Laboratorium
Mikrobiologi Departemen Patologi Klinik Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Periode Januari -
Desember 2010. MKS. 2014;46(3):171–5.
2. Patel J, Cockerill F, Bradford P. Performance Standards for Antimicrobial M100-S23. In: Vol 35 No 3. 2015.
3. Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, Dellinger EP, Goldstein EJ, Gorbach SL, Hirschmann JV, Kaplan SL,
Montoya JG, Wade JC IDS of A. Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft
tissue infections: 2014 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis.
2014;59(2):e10-52.
4. Singer AJ, Talan DA. Management of Skin Abscesses in the Era of Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus. N Engl J Med. 2014;370(11):1039–47.
5. Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF. Stevens DL et al (Clin Infect Dis 2014; 59:147-59). [Internet]. Vol.
60, Clinical infectious diseases : an official publication of the Infectious Diseases Society of America. 2015.
p. 1448. Available from: http://cid.oxfordjournals.org
6. Moellering Jr RC. MRSA: The First Half Century. J Antimicrob Chemother. 2012;67(1):4–11.
7. Fey PD, Said-Salim B RM. Comparative Molecular Analysis of Community- or Hospital- Acquired
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Antimicrob Agents Chemother. 2003;47(1):196–203.
8. Dewi Erikawati, Dewi Santosaningsih SS. Tingginya Prevalensi MRSA pada Isolat Klinik Periode 2010 -
2014 di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang, Indonesia. J Kedokt Brawijaya. 2016;29(2):149–56.
9. Nismawati, Rizalinda Sjahril RA. Deteksi Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Pada Pasien
Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Dengan Metode Kultur. In: Seminar Nasional Megabiodiversitas
Indonesia. 2018. p. 15–21.
10. Santoso S, Santosaningsih D ED. Panduan Praktik Klinis Prosedur Tindakan. 1st ed. Malang: Instalasi
Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Saiful Anwar; 2013. 2-50 p.
11. Patel JB, Cockerill III FR AJ. Performance Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing Twenty
Fourth Informational Supplement. 1st ed. Pennsylvania; 2014. 68-75 p.
12. Fitch MT, Manthey DE, McGinnis HD, Nicks BA, Pariyadath M. Abscess Incision and Drainage. N Engl J
Med. 2007;357(19):e20.
13. Pape J, Wadlin J, Nachamkin I. Use of BBL CHROMagar MRSA medium for identification of methicillin-
resistant Staphylococcus aureus directly from blood cultures. J Clin Microbiol. 2006;44(7):2575 –6.
14. Malhotra-Kumar S, Haccuria K, Michiels M, Ieven M, Poyart C, Hryniewicz W, et al. Current trends in
rapid diagnostics for methicillin-resistant Staphylococcus aureus and glycopeptide-resistant Enterococcus
Species. J Clin Microbiol. 2008;46(5):1577–87.
15. Ohara S, Malhotra-Kumar S, Haccuria K, Van Heirstraeten L, Ieven M GH. Novel rapid culture-based
detection method for methicillin-resistant Staphylococcus aureus. J Clin Microbiol. 2008;46(9):381.
16. Administration UF and D. FDA clears first test to quickly diagnose and distinguish MRSA and MSSA
[Internet]. 2011. Available from: http://www.fda.gov
17. Paterson GK, Harrison EM, Craven EF, Petersen A, Larsen AR, Ellington MJ, et al. Incidence and
Characterisation of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) from Nasal Colonisation in
Participants Attending a Cattle Veterinary Conference in the UK. PLoS One. 2013;
18. Holfelder M, Eigner U, Turnwald AM, Witte W, Weizenegger M, Fahr A. Direct detection of methicillin -
resistant Staphylococcus aureus in clinical specimens by a nucleic acid-based hybridisation assay. Clin
Microbiol Infect. 2006;12(12):1163–7.
19. Paule SM, Hacek DM, Kufner B, Truchon K, Thomson RB, Kaul KL, et al. Performance of the BD
GeneOhm methicillin-resistant Staphylococcus aureus test before and during high-volume clinical use. J Clin
Microbiol. 2007;45(9):2993–8.
20. Levi K TK. Detection of methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in blood with the EVIGENE
MRSA detection kit. J Clin Microbiol. 2003;41(8):3890.
21. Chambers HF. The changing epidemiology of staphylococcus aureus? In: Emerging Infectious Diseases.
2001. p. 178–82.
22. Miller LG, Remington FP, Bayer AS, Diep B, Tan N, Bharadwa K, et al. Clinical and Epidemiologic
Characteristics Cannot Distinguish Community-Associated Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
Infection from Methicillin-Susceptible S. aureus Infection: A Prospective Investigation. Clin Infect Dis.
2007;44(4):471–82.
23. Ruhe JJ, Smith N, Bradsher RW, Menon A. Community-Onset Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
Skin and Soft-Tissue Infections: Impact of Antimicrobial Therapy on Outcome. Clin Infect Dis.
2007;44(6):777–84.
24. Miller LG, Daum RS, Creech CB, Young D, Downing MD, Eells SJ, et al. Clindamycin versus
Trimethoprim–Sulfamethoxazole for Uncomplicated Skin Infections. N Engl J Med. 2015;372(12):1093 –

25
103.
25. Bowen AC, Carapetis JR, Currie BJ, Fowler V, Chambers HF, Tong SYC. Sulfamethoxazole-Trimethoprim
(Cotrimoxazole) for Skin and Soft Tissue Infections Including Impetigo, Cellulitis, and Abscess. Open
Forum Infect Dis. 2017;4(4).
26. Collagenex P. Doxycycline Pregnancy and Breastfeeding Warnings [Internet]. 2018 [cited 2018 Dec 5].
Available from: https://www.drugs.com
27. Daum RS, Miller LG, Immergluck L, Fritz S, Creech CB, Young D, et al. A Placebo-Controlled Trial of
Antibiotics for Smaller Skin Abscesses. N Engl J Med. 2017;376(26):2545–55.
28. RS D. Clinical practice. Skin and soft-tissue infections caused by methicillin-resistant Staphylococcus
aureus. N Engl J Med. 2007;357(4):380.
29. Frank AL, Marcinak JF, Mangat PD, Tjhio JT, Kelkar S, Schreckenberger PC, et al. Clind amycin treatment
of methicillin-resistant Staphylococcus aureus infections in children. Pediatr Infect Dis J. 2002;21(6):530 –4.
30. Moran GJ, Krishnadasan A, Gorwitz RJ, Fosheim GE, McDougal LK, Carey RB, et al. Methicillin-Resistant
S. aureus Infections among Patients in the Emergency Department. N Engl J Med. 2006;355(7):666–74.
31. Cadena J, Nair S, Henao-Martinez AF, Jorgensen JH, Patterson JE, Sreeramoju P V. Dose of trimethoprim-
sulfamethoxazole to treat skin and skin structure infections caused by methicillin-resistant Staphylococcus
aureus. Antimicrob Agents Chemother. 2011;55(12):5430–2.
32. Paul M, Bishara J, Yahav D, Goldberg E, Neuberger A, Ghanem-Zoubi N, et al. Trimethoprim-
sulfamethoxazole versus vancomycin for severe infections caused by meticillin resistant Staphylococcus
aureus: randomised controlled trial. BMJ. 2015;350:h2219.
33. Sicor P. Sulfamethoxazole / trimethoprim Pregnancy and Breastfeeding Warnings [Internet]. 2018 [cited
2018 Dec 5]. Available from: https://www.drugs.com
34. Loeb MB, Main C, Eady A, Walkers-Dilks C. Antimicrobial drugs for treating methicillin-resistant
Staphylococcus aureus colonization. In: Cochrane Database of Systematic Reviews [Internet]. 2003.
Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.CD003340
35. Frank R DeLeo, Michael Otto, Barry N Kreiswirth HFC. Community-associated meticillin-resistant
Staphylococcus aureus. Lancet. 2010;375:1557–68.
36. FDA. RIFADIN (rifampin capsules USP) and RIFADIN IV (rifampin for injection USP) [Internet]. 20 18
[cited 2018 Dec 17]. p. 1–18. Available from: https://www.accessdata.fda.gov
37. Mohr JF, Murray BE. Point: Vancomycin Is Not Obsolete for the Treatment of Infection Caused by
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Clin Infect Dis. 2007;44(12):1536–42.
38. Kim SH, Kim KH, Kim H Bin, Kim NJ, Kim EC, Oh MD, et al. Outcome of vancomycin treatment in
patients with methicillin-susceptible Staphylococcus aureus bacteremia. Antimicrob Agents Chemother.
2008;52(1):192–7.
39. Logman JFS, Stephens J, Heeg B, Haider S, Cappelleri J, Nathwani D, et al. Comparative effectiveness of
antibiotics for the treatment of MRSA complicated skin and soft tissue infections. Curr Med Res Opin.
2010;26(7):1565–78.
40. Dauner DG, Nelson RE, Taketa DC. Ceftobiprole: A novel, broad-spectrum cephalosporin with activity
against methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Am J Heal Pharm. 2010;67(12):983–93.
41. Sakoulas G, Moise-Broder PA, Schentag J, Forrest A, Moellering RC, Eliopoulos GM. Relationship of MIC
and bactericidal activity to efficacy of vancomycin for treatment of methicillin-resistant Staphylococcus
aureus bacteremia. J Clin Microbiol. 2004;42(6):2398–402.
42. Emc. Vancomycin [Internet]. 2018 [cited 2018 Dec 4]. Available from: https://www.medicines.org. uk
43. Eckmann C DM. Treatment of complicated skin and soft-tissue infections caused by resistant bacteria: value
of linezolid, tigecycline, daptomycin and vancomycin. Eur J Med Res. 2013;15:554 –63.
44. Boucher HW SG. Perspectives on Daptomycin resistance, with emphasis on resistance in Staphylococcus
aureus. Clin Infect Dis. 2017;45:601.
45. Humphries RM, Pollett S SG. A current perspective on daptomycin for the clinical microbiologist. Clin
Microbiol Rev. 2013;26:759.
46. Falcone M, Russo A VM. Considerations for higher doses of daptomycin in critically ill patients with
methicillin-resistant Staphylococcus aureus bacteremia. Clin Infect Dis. 2013;57:1568.
47. Figueroa DA, Mangini E A-GM. Safety of high-dose intravenous daptomycin treatment: three-year
cumulative experience in a clinical program. Clin Infect Dis. 2009;49:177.
48. Fowler VG Jr, Boucher HW CG. Daptomycin versus standard therapy for bacteremia and endocarditis
caused by Staphylococcus aureus. N Engl J Med. 2006;355:653.
49. DJ S. Treatment failure resulting from resistance of Staphylococcus aureus to daptomycin. J Clin Microbiol.
2006;44:655.
50. Emc. Daptomycin 500mg powder fo solution for injection/infusion [Internet]. 2018 [cit ed 2018 Dec 18].
Available from: https://www.medicines.org.uk
51. Cavalcanti AB, Goncalves AR, Almeida CS, Gomes DB, Silva E. Teicoplanin versus vancomycin for proven

26
or suspected infection. Cochrane Database Syst Rev. 2008;(2).
52. Khamesipour F, Hashemian SM, Tabarsi P, Velayati AA. A review of teicoplanin used in the prevention and
treatment of serious infections caused by gram-positive bacteria and compared its effects with some other
antibiotics. Biomed Pharmacol J. 2015;
53. Sanofi. Targocid 400mg - Summary of Product Characteristics (SmPC) - (eMC) [Internet]. 2018 [cited 2018
Dec 3]. Available from: https://www.medicines.org.uk
54. Yue J, Dong BR YM. Linezolid versus vancomycin for skin and soft tissue infections. Cochrane Database
Syst Rev 2016. 2013;(7):1–62.
55. Lambert M. IDSA guidelines on the treatment of MRSA infections in adults and children. Am Fam
Physician. 2011;84(4):455–63.
56. Gurusamy KS, Koti R, Toon CD, Wilson P, Davidson BR. Antibiotic therapy for the treatment of
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in non surgical wounds. Cochrane Database Syst Rev.
2013;2013(11).
57. Hall RG, Smith WJ, Putnam WC, Pass SE. An evaluation of tedizolid for the treatment of MRSA infections.
Expert Opin Pharmacother. 2018;19(13):1489–94.
58. Burdette SD TR. Tedizolid: The First Once-Daily Oxazolidinone Class Antibiotic. Clin Infect Dis.
2015;(61):1315.
59. EMC. Sivextro 200 mg powder for concentrate for solution for infusion [Internet]. 2014 [cited 2018 Dec 4].
Available from: https://www.medicines.org.uk
60. Candel FJ PM. Delafloxacin: design, development and potential place in therapy. Drug Des Devel Ther.
2017;11:881.
61. F VB. Delafloxacin, a non-zwitterionic fluoroquinolone in Phase III of clinical development: evaluation of
its pharmacology, pharmacokinetics, pharmacodynamics and clinical efficacy. Futur Microbiol.
2015;10:1111.
62. Canadian Institutes of Health Research. Delafloxacin [Internet]. 2016 [cited 2018 Dec 18]. Available from:
https://www.drugbank.ca
63. O’Riordan W, McManus A TJ. A Comparison of the Efficacy and Safety of Intravenous Followed by Oral
Delafloxacin With Vancomycin Plus Aztreonam for the Treatment of Acute Bacterial Skin and Skin
Structure Infections: A Phase 3, Multinational, Double-Blind, Randomized Study. Clin Infect Dis.
2018;67:657.
64. Pullman J, Gardovskis J, Farley B, Sun E, Quintas M, Lawrence L, et al. Efficacy and safety of delafloxacin
compared with vancomycin plus aztreonam for acute bacterial skin and skin structure infections: A Phase 3,
double-blind, randomized study. J Antimicrob Chemother. 2017;72(12):3471–80.
65. Eudaley S. Delafloxacin (Baxdela) for Skin Infections. Am Fam Physician. 2018;98(4):246 –7.
66. Saravolatz LD, Stein GE JL. Ceftaroline: a novel cephalosporin with activity against methicillin-resistant
Staphylococcus aureus. Clin Infect Dis. 2011;52:1156.
67. Choo EJ, Chambers HF. Treatment of methicillin-resistant Staphylococcus aureus bacteremia. Infect
Chemother. 2016;48(4):267–73.
68. Corey GR, Wilcox M TG. Integrated analysis of CANVAS 1 and 2: phase 3, multicenter, randomized,
double-blind studies to evaluate the safety and efficacy of ceftaroline versus vancomycin plus aztreonam in
complicated skin and skin-structure infection. Clin Infect Dis. 2010;51:641.
69. Kimberly G. Blumenthal, James L. Kuhlen Jr, Ana A. Weil, Christy A. Varughese, David W. Kubiak,
Aleena Banerji ESS. Adverse drug reactions associated with ceftaroline use: A twocenter retrospective
cohort. J Allergy Clin Immunol Pr. 2016;4(4):740–6.
70. Place H. Zinforo 600 mg powder for concentrate for solution for infusion [Internet]. Vol. 44. 2014 [cited
2018 Dec 18]. p. 1–10. Available from: https://www.medicines.org.uk
71. Sader HS, Flamm RK JR. Antimicrobial activity of ceftaroline tested against staphylococci with reduced
susceptibility to linezolid, daptomycin, or vancomycin from U.S. hospitals, 2008 to 2011. Antimicrob Agents
Chemother. 2013;57:3178.
72. Emc. Zevtera 500 mg powder for concentrate for solution for infusion [Internet]. 2018. [cited 2018 Dec 4].
Available from: https://www.medicines.org.uk
73. Bush K, Heep M, Macielag MJ NG. Anti-MRSA beta-lactams in development, with a focus on ceftobiprole:
the first anti-MRSA beta-lactam to demonstrate clinical efficacy. Expert Opin Investig Drugs. 2007;16:419.
74. Morgan A, Cofer C, Stevens DL. Iclaprim: A novel dihydrofolate reductase inhibitor for skin and soft tissue
infections. Future Microbiol. 2009;4(2):131–43.
75. David B. Huang, Catherine D. Strader, James S. MacDonald, Mark VanArendonk, Richard Peck and TH.
An Updated Review of Iclaprim: A Potent and Rapidly Bactericidal Antibiotic for the Treatment of Skin and
Skin Structure Infections and Nosocomial Pneumonia Caused by Gram-Positive Including Multidrug-
Resistant Bacteria. Open Forum Infect Dis. 2018;5(2):1–8.
76. Billeter M, Zervos MJ CA. Dalbavancin: a novel once-weekly lipoglycopeptide antibiotic. Clin Infect Dis

27
2008. 46:577.
77. Emc. Xydalba 500 mg powder for concentrate for solution for infusion [Internet]. 2018 [cited 2018 Dec 4].
Available from: https://www.medicines.org.uk
78. Boucher HW, Wilcox M TG. Once-weekly dalbavancin versus daily conventional therapy for skin infection.
N Engl J Med. 2014;370:2169.
79. Corey GR, Kabler H MP. Single-dose oritavancin in the treatment of acute bacterial skin infections. N Engl J
Med. 2014;370:2180.
80. Company TM. Oritavancin Pregnancy and Breastfeeding Warnings [Internet]. 2018 [cited 2018 Dec 4].
Available from: https://www.drugs.com
81. Theravance I. Telavancin Pregnancy and Breastfeeding Warnings [Internet]. 2018 [cited 2018 Dec 8].
Available from: https://www.drugs.com
82. Samuel E. Wilson, Donald R. Graham, Whedy Wang, Jon B. Bruss BCR. Telavancin in the Treatment of
Concurrent Staphylococcus aureus Bacteremia: A Retrospective Analysis of ATLAS and ATTAIN Studies.
Infect Dis Ther. 2017;6:413–22.
83. Rodvold KA. Telavancin for the Treatment of MethicillinResistant Staphylococcus aureus Infection s. Clin
Infect Dis. 2015;61(2):s35–7.
84. I. Florescu, M. Beuran, R. Dimov, A. Razbadauskas, M. Bochan, G. Fichev, G. Dukart, T. Babinchak, C. A.
Cooper, E. J. Ellis-Grosse ND, Gandjini H. Efficacy and safety of tigecycline compared with vancomycin or
linezolid for treatment of serious infections with methicillin-resistant Staphylococcus aureus or vancomycin-
resistant enterococci: a Phase 3, multicentre, double-blind, randomized study. J Antimicrob Chemother.
2018;62:i17–28.
85. Shen, F., Han, Q., Xie, D., Fang, M., Zeng, H., Deng Y. Efficacy and safety of tigecycline for the treatment
of severe infectious diseases: an updated meta-analysis of RCTs. Int J Infect Dis. 2015;39:25–33.
86. Pharmaceuticals W. Tygacil [Internet]. 2018 [cited 2018 Dec 4]. Available from: https://www.rxlist.com
87. Slover CM, Rodvold KA DL. Tigecycline Pregnancy and Breastfeeding Warnings [Internet]. 2007 [cited
2018 Dec 4]. Available from: https://www.drugs.com
88. Eliopoulos GM. Quinupristin‐Dalfopristin and Linezolid: Evidence and Opinion. Clin Infect Dis.
2003;36(4):473–81.
89. McConeghy, K. W., Mikolich, D. J., LaPlaMcConeghy, K. W, Mikolich, D. J, LaPlante KL. Agents for the
Decolonization of Methicillin-ResistantStaphylococcus aureus. Pharmacotherapy. 2009;29(3):263–280.
90. Long BH. Fusidic acid in skin and soft-tissue infections. Acta Derm Venereol. 2008;216:14–20.
91. D Dobie JG. Fusidic acid resistance in Staphylococcus aureus. Arch Dis Child. 2004;89:74–77.
92. NHS. Fusidic Acid [Internet]. 2018 [cited 2018 Dec 18]. Available from: https://www.nhs.uk
93. Bohaty BR, Choi S, Cai C, Hebert AA. Clinical and bacteriological efficacy of twice daily topical
retapamulin ointment 1% in the management of impetigo and other uncomplicated superficial skin
infections. Int J Women’s Dermatology. 2015;1(1):13–20.
94. Leong HN, Kurup A, Tan MY, Andrea Lay Hoon Kwa KHL, Wilcox MH. Management of complicated skin
and soft tissue infections with a special focus on the role of newer antibiotics. Infect Drug Resist.
2018;11:1959–74.
95. Miller LG, Eells SJ DM. Staphylococcus aureus skin infection recurrences among household members: an
examination of host, behavioral, and pathogen-level predictors. Clin Infect Dis. 2015;60:753.
96. Liu C, Bayer A CS. Clinical practice guidelines by the infectious diseases society of america for the
treatment of methicillin-resistant Staphylococcus aureus infections in adults and children. Clin Infect Dis.
2011;52:e18.
97. Prevention C for DC and. Multidrug-resistant organisms (MDRO) Management [Internet]. 2018 [cited 2018
Dec 4]. Available from: http://www.cdc.gov
98. Huang SS, Septimus E KK. Targeted versus universal decolonization to prevent ICU infection. N Engl J
Med. 2013;368:2255.
99. Lee AS, Macedo-Vinas M FP. Impact of combined low-level mupirocin and genotypic chlorhexidine
resistance on persistent methicillin-resistant Staphylococcus aureus carriage after decolonization therapy: a
case-control study. Clin Infect Dis. 2011;52:1422.
100. Noorani HZ, Adams E GS. Screening for Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA): Future
Research Needs: Identification of Future Research Needs From Comparative Effectiveness Review No. 102
[Internet]. Future Research Needs Papers. 2013. Available from: www.ncbi.nlm.nih.gov
101. Martin J. Antibiotic Stewardship: Role of MRSA Nasal Screening. Infectious Disease Advisor. 2018.
102. Cluzet VC, Gerber JS MJ. The Effect of Total Household Decolonization on Clearance of Colonization With
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Infect Control Hosp Epidemiol. 2016;37:1226.

28

Anda mungkin juga menyukai