Anda di halaman 1dari 98

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Pola makan masyarakat Indonesia umumnya tiga kali sehari, yakni

makan pagi (sarapan), makan siang, dan makan malam. Dalam kehidupan

sehari-hari, makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang diperlukan tubuh

dalam jumlah yang cukup sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Oleh karena

itu, dalam kesehariannya manusia tak lepas dari makanan(Almatsier, 2002).

Berdasarkan pedoman gizi seimbang oleh Kementerian Kesehatan RI

(2014) terdapat pesan agar masyarakat Indonesia membiasakan untuk

sarapan. Masyarakat Indonesia masih banyak yang belum membiasakan

sarapan. Padahal dengan tidak sarapan akan berdampak buruk bagi anak

sekolah, menurunkan aktivitas fisik, menyebabkan kegemukan pada remaja,

orang dewasa, dan meningkatkan risiko jajan tidak sehat.

Berdasarkan Riskesdas 2010 oleh Kementerian Kesehatan RI (2010)

dalam Hardinsyah (2013), menyatakan bahwa 16,9 – 59 % anak usia sekolah

dan remaja, serta rata-rata 31,2 % orang dewasa di Indonesia tidak biasa

sarapan. Beberapa hasil penelitian terkait sarapan menunjukkan bahwa

kebiasaan sarapan dapat mempengaruhi konsentrasi belajar (Larega, 2015),

mempengaruhi kesegaran jasmani (Ulvie, 2011), dan apabila tidak sarapan

memiliki risiko rendahnya kadar glukosa darah hingga 1.9 kali lebih besar

(Rizkyta & Tatik, 2014).

1
2

Saat ini, tingkat mutu gizi sarapan di Indonesia masih di bawah standar,

gizi yang diperoleh pada konsumsi sarapan belum mencukupi kebutuhan dan

tingkat ketersediaan secara biologis bagi tubuh (Pertiwi dkk, 2013). Padahal

wakil ketua komisi IX DPR-RI, Ermalena (2017) dalam diskusi panel The 4th

Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) menyampaikan

bahwa target pencapaian Suistainable Development Goals (SDGs) di bidang

kesehatan adalah Zero Hunger dengan harapan bahwa pada tahun 2030 dapat

mengakhiri kelaparan dan menjamin akses pangan yang aman, bergizi dan

mencukupi bagi semua orang.

Kecenderungan penelitian yang dilakukan terkait sarapan merujuk pada

kebiasaan sarapan remaja berjenis kelamin perempuan. Jika melihat hasil

penelitian oleh Ulvie (2011) menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan

energi dan protein sarapan remaja laki-laki berdasarkan Angka Kecukupan

Gizi (AKG) 2013 yaitu 16.4% dan 19.8% sementara perempuan yaitu 20.3%

dan 20.8%. Padahal sarapan yang baik adalah memenuhi 20-25% AKG

(Yusnalaini, 2004). Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayanti

(2015) bahwa laki-laki memiliki frekuensi sarapan lebih rendah dibandingkan

perempuan yaitu masing-masing 38.1% dan 66.7%. Sehingga perlu dilakukan

penelitian terhadap kebiasaan sarapan remaja berjenis kelamin laki-laki.

Rata-rata penduduk Indonesia berdasarkan Riskesdas 2010 menunjukkan

bahwa asupan rata-rata dari sarapan anak remaja laki-laki usia 16-18 tahun

sebanyak 74.1% yang seharusnya kebutuhan akan terpenuhi jika sebesar 90%
3

- 110%. Sehingga dapat dikatakan remaja laki-laki usia tersebut tidak

terpenuhi asupan zat gizi dari sarapan.

Sumantri dalam modul pertumbuhan dan perkembangan anak (2014)

mengemukakan bahwa remaja putra, khususnya usia 17-18 tahun merupakan

gerbang puncak pertumbuhan laki-laki. Pemenuhan zat gizi sebelum masa

tersebut perlu dimaksimalkan. Golongan ini mulai mencari identitas diri dan

sering mengabaikan hal-hal penting termasuk kebiasaan sarapan. Meskipun

sarapan, mereka hanya akan makan pada jam 10, pada waktu istirahat di

sekolah.

Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 yang diterbitkan oleh

Kementerian Kesehatan RI (2013) menunjukkan bahwa kejadian gizi lebih

naik dari 1.7% pada tahun 2007 menjadi 7.3% di tahun 2013. Padahal kondisi

ini dapat dikontrol dengan membiasakan masyarakat Indonesia untuk

sarapan. Sebagaimana yang termaktub dalam pesan gizi seimbang dan cita-

cita dari Pekan Sarapan Nasional.

Contento (2011) mengatakan bahwa pemilihan makanan dan perilaku

diet dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor intrapersonal dan

interpersonal. Beberapa item interpersonal yang dimaksud adalah persepsi,

kepercayaan, sikap, dan pengetahuan. Sementara faktor intrapersonal yang

dimaksud adalah keluarga dan jaringan sosial yang salah satu contohnya yaitu

sosial ekonomi keluarga.

Penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari (2013) menunjukkan bahwa

gambaran pengetahuan tentang sarapan siswa kelas XI keahlian tata boga di


4

SMK Negeri 3 Klaten yaitu 19,59% sangat tinggi, 40,21% kategori tinggi,

28,86% kategori rendah, dan 11,34% sangat rendah. Kemudian untuk sikap

terhadap sarapan dan jajan di sekolah, hasil penelitian Purnamasari (2013)

menunjukkan hasil dengan kategori sangat tinggi sebesar 10,30%, kategori

tinggi sebesar 35,05%, kategori rendah 29,90%, dan dalam kategori sangat

rendah yaitu 20,62%.

Sarapan juga dipengaruhi oleh keyakinan seseorang. Berdasarkan hasil

penelitian oleh Reeves et al (2013) tentang keyakinan dan aktivitas sehari-

hari terkait hubungannya dengan sarapan menunjukkan bahwa keyakinan

mengenai manfaat sarapan dan dengan sarapan dipercaya dapat membuat

tubuh menjadi lebih kuat daripada yang melewatkan sarapan. Sehingga

sarapan membantu mengendalikan atau menurunkan berat badan.

Persepsi siswa dalam penelitian yang dilakukan oleh Indrasari dkk (2018)

menunjukkan bahwa 17.5% siswa memiliki persepsi yang rendah terhadap

sarapan. Persepsi tentang sarapan pagi mampu mengembangkan perilaku

makan dalam memilih variasi dan jumlah makanan. Persepsi adalah salah

satu elemen psikologis yang membentuk dan mempengaruhi kebiasaan

sarapan berkualitas tinggi. Spronk menyebutkan bahwa persepsi

mempengaruhi sikap, artinya mereka bisa membangun perilaku seseorang

untuk menentukan kualitas sarapan (Spronk et al, 2014 dalam Indrasari dkk,

2018).

Sosial ekonomi dikatakan memiliki hubungan dengan sarapan. Hal ini

dibuktikan dengan penelitian oleh Galani dkk (2014) yang menunjukkan


5

bahwa beberapa kriteria sosial ekonomi yaitu pendidikan dan pendapatan

ayah memiliki hubungan yang signifikan terhadap asupan karbohidrat di pagi

hari pada siswa sekolah dasar di SDN Cambaya kecamatan Ujung Tanah kota

Makassar.

Jeneponto merupakan kabupaten di Sulawesi Selatan yang memiliki

status indeks pembangunan manusia terendah di provinsi Sulawesi Selatan

yaitu berada pada peringkat 24 dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan

(Badan Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto, 2017a). Adapun persentase

siswa laki-laki di Kabupaten Jeneponto menurut Badan Pusat Statistik (BPS)

Kabupaten Jeneponto (2017b) sebanyak 64,90% yang tersebar di 23 sekolah

menengah umum baik negeri maupun swasta. Selain itu, Jeneponto

merupakan daerah binaan fakultas kesehatan masyarakat universitas

hasanuddin.

Menurut BPS Sulawesi Selatan (2017), Jeneponto masuk dalam kategori

enam dari sepuluh besar terpadat penduduknya. Namun jika dilihat

berdasarkan jenis kelamin dan usia remaja 15-19 tahun menunjukkan bahwa

Jeneponto menduduki urutan ke empat mengalahkan Pinrang dan Wajo (BPS

Jeneponto (2017b), BPS Pinrang (2017), dan BPS Wajo (2017)). Penduduk

Jeneponto yang berjenis kelamin laki-laki dan berusia 15-19 tahun sebanyak

17.637 jiwa, pinrang sebanyak 16.576 jiwa dan Wajo sebanyak 17.391 jiwa.

Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah pelajar dari 17 sekolah di

Jeneponto, diketahui bahwa SMA Negeri 9 Jeneponto merupakan sekolah

dengan jam masuk yang tercepat yaitu 06.45 pagi sementara sekolah lain
6

memiliki waktu masuk sekolah pukul 07.00 WITA sampai 07.30 WITA.

Sehingga menurut peneliti, risiko terjadinya tidak sarapan semakin besar.

Oleh karena itu, peneliti menjadikan sekolah ini sebagai lokasi penelitian

terhadap kebiasaan sarapan. Selain itu, sebagai pembanding kebiasaan

sarapan terhadap waktu masuk sekolah, maka diambil pulalah MAN Binamu

Kabupaten Jeneponto sebagai lokasi penelitian dengan waktu masuk sekolah

yaitu 07.30.

B. Rumusan Masalah.
Pada food choice theory oleh Contento (2011) pada latar belakang

masalah di atas maka diketahui bahwa pilihan melakukan sarapan atau tidak,

bisa dipengaruhi oleh faktor intrapersonal dan interpersonal. Faktor

intrapersonal yang menjadi masalah penelitian ini meliputi bagaimana

pengetahuan, kepercayaan, persepsi, dan sikap terhadap sarapan pada remaja

putera di kabupaten Jeneponto.

Kemudian faktor interpersonal lebih menjurus kepada sesuatu yang

berada diluar diri individu (remaja putera) yaitu keluarga. Hal ini dirumuskan

dalam masalah penelitian terkait apakah sarapan tersedia dirumah, siapa yang

membuatkan sarapan dirumah, dan bagaimana distribusi pangan sarapan

dirumah pada remaja putera di kabupaten Jeneponto.

C. Tujuan Penelitian.
1. Tujuan Umum.

Adapun tujuan secara umum dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui determinan intrapersonal, interpersonal, dan sarapan pada

remaja putra di Kabupaten Jeneponto.


7

2. Tujuan Khusus.

Adapun tujuan secara khusus dari penelitian ini akan dijabarkan

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan tentang sarapan pada

remaja putera di kabupaten Jeneponto.

2. Untuk mengetahui gambaran kepercayaan tentang sarapan pada

remaja putera di kabupaten Jeneponto.

3. Untuk mengetahui gambaran persepsi tentang sarapan pada remaja

putera di di kabupaten Jeneponto.

4. Untuk mengetahui gambaran sikap tentang sarapan pada remaja

putera di di kabupaten Jeneponto.

5. Untuk mengetahui gambaran ketersediaan sarapan di rumah pada

remaja putera di kabupaten Jeneponto.

6. Untuk mengetahui gambaran pelaku pembuat sarapan di rumah pada

remaja putera di kabupaten Jeneponto.

7. Untuk mengetahui gambaran distribusi pangan sarapan di rumah

pada remaja putera di kabupaten Jeneponto.

8. Untuk mengetahui persentase frekuensi sarapan pada remaja putera

di kabupaten Jeneponto.

D. Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh baik secara implisit maupun

eksplisit akan dijabarkan sebagai berikut :


8

1. Manfaat Praktis.

Penelitian ini bermanfaat bagi remaja putra dan pihak sekolah sebagai

sumber informasi agar dapat meningkatkan pengetahuan mengenai

masalah gizi utamanya kebiasaan sarapan.

2. Manfaat Ilmiah.

Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan pengembangan

ilmu yang dapat menjadi suatu proses pendidikan dan referensi dalam

membuat suatu program gizi kedepannya.

3. Manfaat Bagi Peneliti.

Penelitian ini akan menjadi pengalaman berharga bagi peneliti dalam

memperluas pengetahuan terkait kebiasaan sarapan terhadap remaja

dengan basis sekolah.


9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Remaja Putra.


Masa remaja (adolescent) merupakan masa terjadinya perubahan yang

berlangsung cepat dalam hal pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial.

Masa ini merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju remaja yang

ditandai dengan banyak perubahan, diantaranya pertambahan massa otot,

jaringan lemak tubuh, dan perubahan hormon. Perubahan tersebut

memengaruhi kebutuhan gizi. Selain itu, kebutuhan gizi pada remaja juga

dipengaruhi oleh faktor psikologis dan sosial (Hardinsyah & I Dewa, 2016).

Pemenuhan kebutuhan gizi pada masa remaja perlu diperhatikan karena

(Hardinsyah & I Dewa, 2016) :

1. Terjadi peningkatan kebutuhan zat gizi untuk mendukung pertumbuhan

dan perkembangan fisik dan psikis;

2. Perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan pada remaja mempengaruhi

kebutuhan dan asupan zat gizi.

3. Kebutuhan zat gizi khusus perlu diperhatikan, terutama pada kelompok

remaja dengan aktivitas olah raga tinggi, kehamilan, gangguan perilaku

makan, diet ketat, konsumsi alkohol, dan obat-obatan.

Proses perkembangan fisik dari usia anak menjadi dewasa disebut dengan

pubertas. Pertumbuhan lambat selama masa anak mulai meningkat menjelang

masa remaja, dan akhirnya pada masa remaja terjadi laju pertumbuhan cepat

seperti masa bayi. Masa remaja merupakan waktu tumbuh cepat kedua setelah

9
10

bayi. Saat terjadinya perubahan laju pertumbuhan ini sangat bervariasi.

Remaja dengan usia kronologis sama mungkin sekali perkembangan

fisiologisnya berbeda. Karena perbedaan antar-individu inilah usia menjadi

indicator yang kurang baik untuk menentukan kematangan (maturitas)

fisiologis dan kebutuhan gizi remaja (Almatsier dkk, 2011).

Tingkat kematangan seksual (TKS) atau Sexual Maturity Rating, yang

sering disebut sebagai tingkat Tanner, banyak digunakan untuk mengevaluasi

pertumbuhan dan perkembangan pada usia remaja. Pada laki-laki, tanda

pertama pubertas adalah pembesaran organ kemaluan (testis), namun hal ini

kadang-kadang susah dievaluasi. Apabila perkembangan organ kemaluan

tidak terjadi pada usia 14.5 tahun, pubertas dianggap terlambat walaupun hal

ini mungkin juga merupakan etiologi biologis. Puncak penambahan tinggi

badan pada laki-laki terjadi setelah pertumbuhan rambut pubis mencapai

TKS-3; seringkali perkembangan alat kelamin sudah mencapai TKS-4.

Perbedaan individu juga terjadi dalam kecepatan menyelesaikan suatu tahap

pertumbuhan (Almatsier dkk, 2011).

Pada anak laki-laki, pertumbuhan kumis tipis pada ujung bibir

menunjukkan tingkat TKS-3. Ini merupakan dimulainya puncak laju

pertumbuhan tinggi badan, yang merupakan saat puncak kebutuhan energi

dan zat-zat gizi. Dibandingkan dengan perempuan, laki-laki mempunyai masa

pertumbuhan anak lebih lama sebelum memilai pertumbuhan cepatnya pada

masa remaja. Kecepatan tumbuh maksimum laki-laki pun lebih tinggi,


11

sehingga menghasilkan perbedaan rata-rata tinggi badan akhir anak laki dan

perempuan kurang lebih 13,3 cm (Almatsier dkk, 2011).

Pada remaja laki-laki terjadi lebih banyak pertumbuhan otot dan tulang

dengan lemak tubuh normal sekitar 12%. Tinggi badan remaja laki-laki akan

bertamabh setinggi 18 cm, sedangkan remaja perempuan lebih rendah.

Perbedaan tersebut yang menyebabkan terjadinya perbedaan zat gizi pada

remaja laki-laki dan perempuan (Kathleen & Escott-stump, 2004).

Makanan tinggi gula seperti minuman ringan dan permen serta barang-

barang yang tinggi lemak, termasuk kue kering, daging berlemak, dan

makanan gorengan, dimakan secara teratur oleh banyak remaja. Anak laki-

laki dan perempuan mendapatkan 20% kkal dari gula tambahan, 33% dari

lemak, dan 13% dari lemak jenuh. Dua puluh satu persen remaja

menggunakan suplemen vitamin-mineral, namun pengguna suplemen

memiliki diet yang lebih baik dan mendapatkan nutrisi nutrisi yang lebih

tinggi dari makanan. Remaja juga menikmati perilaku berisiko: sekitar

sepertiga asap, dan 28% anak perempuan dan 35% anak laki-laki melaporkan

setidaknya satu episode pesta minum per bulan (Schlenker & Sara, 2007).

B. Tinjauan Tentang Sarapan.


Breakfast berasal dari kata break dan fast yang berarti sarapan. Sarapan

merupakan cadangan energi awal untuk beraktivitas. Saat tidur pada malam

hari, tubuh mengalami seperti dalam keadaan puasa. Ketika itu terjadi

peningkatan glucagon, yaitu hormone yang dapat meningkatkan kadar gula


12

dalam darah. Keseimbangan konstan di dalam lingkungan internal tubuh akan

dicapai kembali melalui sarapan (Michaud dkk, 1991).

Sarapan adalah kegiatan makan dan minum yang dilakukan antara

bangun pagi sampai jam 9 untuk memenuhi sebagian kebutuhan gizi harian

(15-30% kebutuhan gizi) dalam rangka mewujudkan hidup sehat, aktif, dan

produktif (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Menurut Hardinsyah (2012), sarapan merupakan makan di awal hari

biasanya dilakukan di pagi hari berupa makanan dan minuman. Makanan dan

minuman yang dikonsumsi di pagi hari menyediakan energi dan zat gizi agar

perasaan, berpikir, dan bekerja atau stamina yang lebih baik. Sarapan sehat

mengandung energi cukup (15-25% dari kebutuhan energi per hari), serat

makanan cukup, rendah lemak, tidak ada lemak trans, rendah glukosa dan

karbohidrat sederhana (Indeks glikemik tinggi), minuman (air putih, susu,

the, atau kopi).

Masyarakat Indonesia masih banyak yang belum membiasakan sarapan.

Padahal dengan tidak sarapan akan berdampak buruk terhadap proses belajar

di sekolah bagi anak sekolah, menurunkan aktivitas fisik, menyebabkan

kegemukan pada remaja, orang dewasa, dan meningkatkan risiko jajan yang

tidak sehat (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Sebaliknya, sarapan membekali tubuh dengan zat gizi yang diperlukan

untuk berpikir, bekerja, dan melakukan aktivitas fisik secara optimal setelah

bangun pagi. Bagi anak sekolah, sarapan yang cukup terbukti dapat

meningkatkan konsentrasi belajar dan stamina. Bagi remaja dan orang dewasa
13

sarapan terbukti dapat mencegah kegemukan. Membiasakan sarapan juga

berarti membiasakan disiplin bangun pagi dan beraktivitas pagi dan tercegah

dari makan berlebihan dikala makan kudapan atau makan siang (Kementerian

Kesehatan RI, 2014).

Sarapan pagi memberikan kontribusi yang penting terhadap total asupan

gizi sehari. Sarapan pagi akan meyumbangkan sekitar 25% dari total asupan

gizi sehari. Ini jumlah yang cukup signifikan. Jika kecukupan energi dan

protein dalam sehari adalah 2000 kkal dan 50 g, maka sarapan pagi

menyumbangkan 500 kkal energi dan 12,5 g protein. Seseorang yang tidak

sarapan sulit memenuhi kebutuhan gizinya (Khomsan, 2003). Anak yang

tidak makan pagi, kurang dapat mengerjakan tugas di kelas yang memerlukan

konsentrasi, sering mempunyai nilai hasil ujian yang rendah, mempunyai

daya ingat yang terbatas, dan sering absen (Soekirman, 2000).

Seseorang membutuhkan sarapan karena dapat mempertahankan kadar

glukosa darah agar stabil setelah puasa sepanjang malam; memenuhi

kebutuhan gizi di pagi hari yang diperlukan oleh tubuh, sebagai bagian dari

gizi seimbang sehari-hari agar perasaan yang lebih baik dan berpikir dan

bekerja optimal; mencegah hipoglikemia, sakit kepala, dan kelebihan berat

badan; dan untuk membentuk perilaku sarapan sehat (Hardinsyah, 2012).

Makan pagi atau sarapan sangat bermanfaat bagi setiap orang. Bagi anak

sekolah, makan pagi dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan

memudahkan menyerap pelajaran sehingga prestasi belajar menjadi lebih

baik. Membiasakan sarapan memang terasa sulit. Padahal kebiasaan sarapan


14

membantu seseorang untuk memenuhi kecukupan gizinya sehari-hari.

Seseorang yang tidak sarapan memiliki risiko menderita gangguan kesehatan

berupa menurunnya kadar gula darah dengan tanda-tanda antara lain lemah,

keluar keringat dingin, kesadaran menurun bahkan pingsan. Bagi anak

sekolah kondisi ini menyebabkan merosotnya konsentrasi belajar yang

mengakibatkan menurunnya prestasi belajar (Depkes, 2005).

Menurut Kral dkk (2011), tingkat konsumsi energi pada seseorang yang

tidak sarapan lebih rendah 362 kkal dibandingkan seseorang yang sarapan.

Pola sarapan yang teratur dapat memperbaiki kondisi glikemia, insulinemia,

dan lipidemia. Smith K.J. dkk (2010) juga mengungkapkan bahwa seseorang

yang melewatkan sarapan selama masa kecil pada masa dewasanya akan

memiliki kolesterol jahat (LDL) dan total kolesterol yang lebih tinggi

dibandingkan dengan sarapan. Mekanisme yang terjadi tidak secara langsung

dimana kadar insulin serum turun sehingga produksi kolesterol di hepar

menurun melalui inhibisi 3-hidroksi-3-metil-glutaryl-KoA reduktase.

Karena itu sarapan merupakan salah satu perilaku penting dalam

mewujudkan gizi seimbang. Pekan Sarapan Nasional (PESAN) yang

diperingati setiap tanggal 14-20 Februari diharapkan dapat dijadikan sebagai

momentum berjaka setiap tahun untuk selalu mengingatkan dan mendorong

masyarakat agar melakukan sarapan yang sehat sebagai bagian dari upaya

mewujudkan Gizi Seimbang (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Sarapan sehat setiap pagi dapat diwujudkan dengan bangun pagi,

mempersiapkan dan mengkonsumsi makanan dan minuman pagi sebelum


15

melakukan aktivitas harian. Sarapan yang baik terdiri dari pangan

karbohidrat, pangan lauk-pauk, sayuran atau buah-buahan dan minuman. Bagi

orang yang tidak biasa makan kudapan pagi dan kudapan siang, porsi

makanan saat sarapan sekitar sepertiga dari total makanan sehari. Bagi orang

yang biasa makan kudapan oagi dan makan kudapan siang, jumlah porsi

makanan sarapan sebaiknya seperempat dari makanan harian (Kementerian

Kesehatan RI, 2014).

C. Tinjauan Tentang Sarapan pada Remaja.


Kebiasaan makan yang buruk, berpangkal pada kebiasaan makan

keluarga yang tidak baik sudah tertanam sejak kecil akan terus terjadi pada

usia remaja. Mereka makan seadanya tanpa mengetahui kebutuhan akan

berbagai zat gizi dan dampak tidak dipenuhinya kebutuhan zat gizi tersebut

terhadap kesehatan mereka (Adriani & Bambang, 2012).

Sarapan berfungsi untuk menjaga kondisi tubuh, meningkatkan

konsentrasi belajar, dan sumber tenaga untuk beraktivitas. Remaja biasa

melewatkan sarapan dan makan siang karena aktivitas yang tinggi baik di

sekolah maupun di luar sekolah. Padahal sarapan sangat penting, karena

sarapan berfungsi untuk menjaga kondisi tubuh, dan meningkatkan

konsentrasi belajar di sekolah. Sarapan juga berfungsi sebagai sumber tenaga

untuk melakukan kegiatan (Adriani & Bambang, 2012).


Gambar 1.
Peta persebaran skipping sarapan remaja

Sumber : Data sekunder dari tabel sintesa


16
17

Menurut Khan (2005), adapun alasan remaja melewatkan sarapan lebih

banyak terkait dengan kebebasan remaja dalam menentukan pilihan tindakan

yang lebih disukai, terlambat bangun, tidak merasa lapar, makanan belum

tersedia, dan tidak ada yang menyiapkan makanan daripada alasan yang

terkait dengan persepsi body image dan program diet. Namun, berbeda

dengan penelitian Shaw (1998) yang menjelaskan bahwa alasan seseorang

melewatkan waktu sarapan antara lain tidak memiliki waktu untuk sarapan,

tidak suka makan pada pagi hari, tidak menyukai makanan yang tersedia, dan

takut kegemukan. Kebiasaan menghindari sarapan dengan tujuan menurunkan

berat badan merupakan kekeliruan yang dapat mengganggu kondisi

kesehatan, antara lain gangguan pada saluran pencernaan (Depkes, 2005).

Penelitian Zullig dkk (2006) juga menegaskan bahwa remaja yang

melewatkan sarapan secara signifikan seperti berpuasa untuk menurunkan

berat badan. Menurut Fiore dkk (2006) remaja yang sarapan cenderung

memiliki IMT lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak sarapan.

IMT yang lebih tinggi dapat menyebabkan kegemukan dan obesitas. Affenito

(2007) juga menekankan dalam penelitiannya di Afrika dan Amerika bahwa

perempuan yang tidak sarapan cenderung memiliki Indeks Massa Tubuh

(IMT) lebih tinggi dan konsumsi serat dan kalsium yang rendah.

Pola makan sehat yang terbentuk selama masa kanak-kanak dikaitkan

dengan pola makan yang lebih sehat di tahun-tahun berikutnya. Penelitian

telah menunjukkan bahwa siswa yang makan makanan di sekolah lebih

banyak mengkonsumsi sayuran dan biji-bijian, minum lebih banyak susu, dan
18

mengkonsumsi lebih sedikit minuman beraroma dan makanan yang

mengandung lemak dan gula tinggi daripada siswa yang membuat pilihan

makanan lainnya (USDA, 2015).

Berdasarkan A Social Framwork for Nutrition and Physical Actifity

Decisions yang dimaktub dalam Dietary Guidelines for Americans 2015-2020

Eight Edition (2015) mengemukakan terkait bukti konsisten yang

menunjukkan bahwa menerapkan banyak perubahan pada berbagai tingkat

model ekologi-sosial efektif dalam memperbaiki perilaku aktivitas makan dan

fisik. Sebagai contoh, bukti kuat dari penelitian dengan desain dan temuan

yang konsisten umumnya menunjukkan bahwa kebijakan sekolah yang

dirancang untuk meningkatkan pengaturan makanan sekolah ini

menyebabkan perbaikan perilaku pembelian anak-anak yang menghasilkan

kualitas makanan yang lebih tinggi dari makanan yang dikonsumsi selama

hari sekolah. Adapun model terkait ekologi sosial dapat membantu seorang

dengan professional kesehatan dalam memahami bagaimana lapisan pengaruh

berpotongan dan membentuk makanan seseorang dan pilihan aktivitas fisik.

Model dibawah ini menunjukkan bagaimana berbagai faktor mempengaruhi

makanan dan minuman asupan pola aktivitas fisik hingga berdampak pada

kesehatan.

D. Tinjauan umum tentang determinan Interpersonal dan Intrapersonal.

Dalam beberapa kasus, terdapat banyak gambaran umum terkait faktor

penentu pilihan dan perubahan pola makan pada seseorang, tidak terkecuali
19

sarapan. Contento (2011) melakukan overview terhadap beberapa faktor

pemilihan makanan dan perubahan pola diet.

Gambar 2.
Overview determinan dalam pemilihan makanan dan perubahan pola makan

Sumber : Contento, I.R., 2011.

1. Determinan Intrapersonal

Pilihan makanan dan praktik diet kita dipengaruhi oleh berbagai

faktor pribadi, seperti keyakinan kita tentang apa yang akan kita dapatkan

dari pilihan ini. Kami ingin makanan kami enak, nyaman, terjangkau,

kenyang, akrab, atau nyaman. Pilihan makanan kita mungkin ditentukan

oleh makna pribadi yang kita berikan pada makanan atau praktik tertentu,

seperti sup ayam saat kita sakit, atau coklat saat kita merasa memanjakan

diri sendiri. Kita mungkin juga termotivasi oleh bagaimana makanan


20

tersebut akan berkontribusi pada bagaimana kita melihat, seperti apakah

akan menggemukkan atau, sebaliknya, bagus untuk kulit kita (Contento,

2011).

a. Persepsi.

Dalam mengubah persepsi seseorang, banyak metode yang telah

ditawarkan salah satunya metode di Amerika yaitu Breakfast in the

Classroom (BIC). Hanya saja program tersebut masih dalam tahap

diskusi panjang. Program tersebut didiskusikan bersama dan

menunjukkan bahwa peran para petinggi terhadap penerapan BIC

sangat dibutuhkan agar dapat terimplimentasi dengan baik. Harapan

dari program ini adalah perubahan persepsi, sikap, kepercayaan, dan

motivasi terhadap sarapan pada anak sekolah.

Penelitian oleh Salomon (2009) menunjukkan bahwa persepsi

guru terhadap sarapan berbeda antara guru yang disekolahnya

terdapat program BIC dengan guru yang disekolahnya tidak terdapat

program BIC. Beberapa guru menganggap bahwa program ini adalah

penghalang bagi waktu belajar siswa.

b. Sikap.

Perilaku makanan dan gizi kita juga ditentukan oleh sikap kita

terhadap mereka - misalnya, sikap kita terhadap cara menyusui atau

praktik keamanan makanan tertentu. Identitas kita dalam kaitannya

dengan makanan juga dapat mempengaruhi perilaku kita. Misalnya,

beberapa remaja mungkin melihat diri mereka sebagai orang yang


21

sadar kesehatan, tapi banyak lainnya mungkin menganggap diri

mereka sebagai bagian dari makanan sampah (Contento, 2011).

Dalam sarapan, sikap merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi. Di Indonesia sekitar 20-40% anak-anak sekolah

tidak terbiasa sarapan. Perilaku kebiasaan yang masih kurang

tersebut dilatarbelakangi oleh rendahnya pengetahuan anak tentang

gizi dan kesehatan. Akan tetapi, setelah dilakukan kampanye oleh

Briawan dkk (2013) dengan beberapa media, terjadi perubahan

signifikan rata-rata sikap anak-anak sekolah dasar di bogor sebelum

dan sesudah di intervensi.

c. Kepercayaan.

Kita mungkin melihat bahwa ada manfaat kesehatan untuk

makan lebih sehat tapi mungkin mempertimbangkan penghalang,

seperti biaya tinggi atau usaha yang diperlukan untuk menyiapkan

makanan dengan cara yang sehat, terlalu bagus untuk bertindak.

Atau mungkin kita kurang percaya diri dalam menyiapkan makanan

dengan cara yang enak dan menyehatkan. Atau lagi, kita mungkin

spesifik meskipun konsep keseimbangan dan moderasi umum di

antara banyak budaya, individu mungkin berasal dari budaya di

mana makanan dipercaya memiliki kualitas panas dan dingin dan

harus dimakan sedemikian rupa untuk menyeimbangkan dingin dan

panas. kondisi tubuh Keyakinan budaya ini dapat memiliki pengaruh

besar pada pilihan makanan (Contento, 2011).


22

Sarapan juga dipengaruhi oleh kepercayaan seseorang.

Berdasarkan hasil penelitian oleh Reeves et al (2013) tentang

keyakinan dan aktivitas sehari-hari terkait hubungannya dengan

sarapan menunjukkan bahwa keyakinan mengenai manfaat sarapan

dan dengan sarapan dipercaya dapat membuat tubuh menjadi lebih

kuat daripada yang melewatkan sarapan. Sehingga sarapan

membantu mengendalikan atau menurunkan berat badan.

d. Norma sosial

Manusia adalah makhluk sosial. Kita semua hidup dalam

konteks sosial dan budaya dan mengalami norma sosial masyarakat

luas dan harapan budaya, yang bisa sangat kuat. Kami merasa

terdorong untuk berlangganan norma dan harapan ini sampai tingkat

yang berbeda-beda. Misalnya, remaja mungkin merasa tertekan

untuk makan makanan cepat saji bergizi dalam situasi pilihan dengan

teman sebayanya (mis., Sepulang sekolah), atau individu mungkin

mengalami harapan anggota keluarga bahwa mereka akan makan

dengan cara tertentu (Contento, 2011).

e. Norma budaya.

Peran sarapan sebagai bagian penting dari diet sehat baru-baru

ini dikembangkan sejak zaman pertengahan. Sarapan telah berubah

seiiring waktu tergantung pada budaya dan ketersediaan makanan

tradisional di berbagai Negara. Ini adalah aspek yang ditekankan

oleh banyak budaya primitif yang memberikan ciri khas di pagi hari,
23

yang sebagian dikaitkan dengan pengalaman malam hari kita.

Terlepas dari aspek-aspek psiko-eksistensial ini, paradigm budaya

juga bisa digunakan untuk menafsirkan sarapan. Pada gilirannya,

paradigm ini sering dikaitkan dengan cuaca. Kabut pagi di Italia

Utara telah memberi kontribusi pada sarapan yang lebih substansial

dengan gula dan protein. Sementara pagi hari yang sejuk dan cerah

di Selatan tampak kondusif untuk sarapan yang lebih ringan,

berwarna dan penuh vitamin. Di Italia sebuah cappuccino and

croissant dimakan di luar kantor di sebyah kafe telah menjadi model

istirahat di tengah hari untuk meberi kompensasi sarapan pagi yang

tergesa-gesa (Affinita dkk, 2013).

f. Motivasi dan penilaian.

Pikiran dan perasaan kita berinteraksi dengan apa yang kita

alami di lingkungan. Misalnya, kita mungkin melihat berita tentang

peran buah dan sayuran dalam mengurangi risiko kanker, atau teman

kita yang terkena kanker usus besar (rangsangan eksternal). Kami

memproses rangsangan lingkungan atau kejadian eksternal baik

secara kognitif maupun emosional. Rangsangan ini disaring melalui

serangkaian reaksi internal pribadi dari jenis yang tercantum

sebelumnya, seperti persepsi, keyakinan, nilai, harapan, atau emosi

kita, dan bersama-sama filter ini menentukan tindakan apa yang akan

kita ambil. Misalnya, kita dapat memproses gagasan untuk memakan

lebih banyak buah dan sayuran dalam hal rasa, kenyamanan, manfaat
24

yang diharapkan, hambatan yang dirasakan, atau apa yang dilakukan

teman dan keluarga kita, selain kekhawatiran kita tentang terkena

kanker. Konsekuensinya, keputusan kita tentang apakah akan

memakan lebih banyak buah dan sayuran untuk mengurangi risiko

kanker didasarkan pada keyakinan dan kekurangan kita tentang

dugaan yang diharapkan (memakan buah dan sayuran), motivasi dan

nilai kita tentang konsekuensi buruk (pengurangan risiko kanker),

dan makna dan nilai pribadi (sehubungan dengan pengembangan

kanker) (Contento, 2011).

Asumsi tentang manfaat sarapan untuk belajar anak-anak

sebagian besar didasarkan pada bukti yang menunjukkan efek akut

sarapan pada kinerja kognitif anak-anak dari penelitian

eksperimental berbasis laboratorium. Meskipun bukti cukup

beragam, penelitian pada umumnya menunjukkan bahwa sarapan

pagi memiliki efek positif pada kinerja kognitif anak-anak, terutama

di bidang memori dan perhatian. Selain itu, efek positif dari sarapan

lebih dapat ditunjukkan pada anak-anak yang dianggap kurang gizi,

biasanya didefinisikan sebagai satu standar deviasi di bawah tinggi

atau berat badan normal untuk usia dengan menggunakan referensi

National Center for Health Statistics (NCHS) Amerika Serikat.

Bukti yang lebih baru membandingkan makanan sarapan yang

berbeda dalam Glycemic Load (GL), Indeks Glikemik (GI) atau

keduanya. Bukti ini secara umum menunjukkan bahwa respons


25

glikemik postprandial yang lebih rendah bermanfaat bagi kinerja

kognitif anak-anak namun buktinya samar-samar. Selain itu, masih

belum jelas apakah efek ini secara khusus disebabkan oleh GI atau

GL, atau keduanya, atau efek lain yang tidak terkait dengan respons

glikemik (Adolphus dkk, 2013).

g. Pandangan pribadi.

Dalam proses pemilihan makanan, seringkali kita juga perlu

melakukan trade-off antara berbagai kriteria atau alasan pilihan

makanan, seperti pertimbangan kesehatan, selera, dan harapan

budaya. Orang mungkin juga melakukan pertukaran antara item

dalam makanan atau di antara waktu makan. Misalnya, individu

dapat memilih item untuk pengisiannya (mis., Donat) namun

kemudian menyeimbangkannya dengan sesuatu yang dianggap lebih

menyehatkan (misalnya jus jeruk). Atau individu dapat memilih

makan malam sehat untuk menyeimbangkan apa yang mereka

anggap sebagai makan siang yang menyehatkan (Contento, 2011).

h. Pengetahuan dan keterampilan.

Pengetahuan dan keterampilan terkait makanan juga

mempengaruhi apa yang mereka makan. Secara khusus,

kesalahpahaman mereka mungkin memainkan peran penting.

Sebagai contoh, sebuah survei nasional menemukan bahwa sekitar

sepertiga dari individu berpikir bahwa merekomendasikan jumlah

porsi buah dan sayuran per hari adalah satu, dan sepertiga lainnya
26

mengira jumlahnya dua, hanya 8% yang mengira berusia lima tahun.

Banyak konsumen memiliki kesalahpahaman besar tentang jumlah

lemak dan energi dalam banyak makanan umum dan dalam makanan

mereka sendiri. Kurangnya keterampilan dalam menyiapkan

makanan juga mempengaruhi apa yang orang makan (Contento,

2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari (2013)

menunjukkan bahwa gambaran pengetahuan tentang sarapan siswa

kelas XI keahlian tata boga di SMK Negeri 3 Klaten yaitu 19,59%

sangat tinggi, 40,21% kategori tinggi, 28,86% kategori rendah, dan

11,34% sangat rendah. Kemudian untuk sikap terhadap sarapan dan

jajan di sekolah, hasil penelitian Purnamasari (2013) menunjukkan

hasil dengan kategori sangat tinggi sebesar 10,30%, kategori tinggi

sebesar 35,05%, kategori rendah 29,90%, dan dalam kategori sangat

rendah yaitu 20,62%.

2. Determinan Interpersonal

a. Keluarga dan jaringan sosial.

Dalam masyarakat, kita semua berpartisipasi dalam jaringan

hubungan sosial, tingkat kepegawaian dan kerapatannya bervariasi

antar individu. Jaringan ini melibatkan keluarga, teman sebaya,

rekan kerja, dan orang-orang di berbagai organisasi tempat kita

berada. Misalnya, dalam satu penelitian, pilihan makanan adalah

94% serupa antara pasangan, 76% sampai 87% serupa antara remaja
27

dan orang tua mereka, dan 19% serupa antara remaja dan teman

sebayanya. Pilihan makanan dan pola makan juga dipengaruhi oleh

kebutuhan untuk bernegosiasi dengan orang lain dalam keluarga

tentang apa yang harus dibeli atau dimakan. Hubungan dengan

teman sebaya dan orang-orang dengan siapa kita bekerja juga

memberi dampak pada pilihan kita sehari-hari (Contento, 2011).

Memang, konteks makan dan pengelolaan hubungan sosial

dalam banyak konteks ini memainkan peran utama dalam apa yang

orang makan. Misalnya, jika wanita hamil termotivasi untuk

mengurangi asupan lemaknya dengan menggunakan susu tanpa

lemak dan tidak ingin beralih. Dia harus memutuskan apakah akan

pergi bersama dengan keinginan keluarga atau untuk membeli susu

rendah lemak secara terpisah untuk dirinya sendiri. Dia juga harus

mempertimbangkan apakah dia memiliki ruang di lemari es untuk

menjaga kedua jenis susu tersebut, yang kemudian menjadi

penghalang untuk berubah (Contento, 2011).

1) Peran Sosial Ekonomi dalam Sarapan Remaja

Sosial ekonomi dikatakan memiliki hubungan dengan

sarapan. Hal ini dibuktikan dengan penelitian oleh Galani dkk

(2014) yang menunjukkan bahwa beberapa kriteria sosial

ekonomi yaitu pendidikan dan pendapatan ayah memiliki

hubungan yang signifikan terhadap asupan karbohidrat di pagi


28

hari pada siswa sekolah dasar di SDN Cambaya kecamatan

Ujung Tanah kota Makassar.

Konsumsi sarapan secara teratur dapat memiliki banyak

manfaat kesehatan yang positif, namun orang muda lebih

cenderung melewatkan sarapan daripada makanan lainnya.

Mengingat bukti bahwa perilaku diet yang terbentuk pada masa

kanak-kanak dan remaja berlanjut sampai dewasa dan dengan

bukti bahwa sarapan pagi meningkat seiring bertambahnya usia,

mengidentifikasi berkorelasi perilaku sarapan anak-anak dan

remaja sangat penting. Sarapan yang apabila makan dan tinggal

di keluarga dengan kedua orang tua berkorelasi dalam jumlah

dan bukti terbesar sehubungan dengan konsumsi sarapan remaja.

Hasilnya menunjukkan bahwa orang tua harus didorong untuk

menjadi panutan yang positif bagi anak-anak mereka dengan

menargetkan perilaku diet mereka sendiri dan bahwa struktur

keluarga harus dipertimbangkan saat merancang program untuk

mempromosikan perilaku sarapan yang sehat (Pearson dkk,

2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2013) menunjukkan

bahwa baik pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pendapatan

orang tua memiliki hubungan yang bermakna terhadap

kebiasaan sarapan remaja siswi SMK di Bogor. Siega et al

(1998) dan Rohayati (2001) dalam Sari (2013) mengemukakan


29

bahwa anak yang diasuh oleh ibu yang bekerja di luar rumah

memiliki kebiasaan sarapan yang lebih rendah. Faktor kesibukan

ibu seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat untuk membuat

sarapan. Frekuensi sarapan anak dapat dipengaruhi oleh

pekerjaan ibu. Pekerjaan ibu mempengaruhi frekuensi sarapan

anak karena ibu terlibat langsung dala kegiatan rumah tangga

khususnya penyelenggaraan makan keluarga, termasuk dalam

pemilihan jenis pangan dan penyusunan menu keluarga.

Orang tua yang dengan pendapatan sedang hingga tinggi

memiliki kebiasaan sarapan yang lebih baik. Hal ini terkait

dengan kemampuan keluarga dalam menyediakan sarapan (Sari,

2013). Sukandar (2007) dalam Sari (2013) mengemukakan

bahwa keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar

akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya, sehingga

pendapatan diduga berkaitan dengan kebiasaan sarapan

seseorang. Penelitian pada tahun 1998 oleh Siega-Riz dkk juga

menunjukkan adanya kaitan antara pendapatan dengan

kebiasaan sarapan, yaitu semakin tinggi tingkat pendapatan

keluarga maka kebiasaan konsumsi sarapan juga semakin tinggi.


30

E. KERANGKA TEORI
Bagan 1.
Kerangka teori.

Faktor sensori Kepercayaan, norma, Pengaruh sosial / Pemilihan


afektif sikap, dan kemampuan lingkungan makanan dan
periaku diet

Keterangan : bagian yang diteliti


Sumber : Contento (2011).
31

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar pemikiran variabel.


Kebiasaan sarapan adalah hal yang sangat penting mengingat sarapan

merupakan kegiatan pengisian kembali zat-zat gizi setelah melakukan puasa

malam. Sebagaimana yang telah dituangkan pada kerangka teori pada bab II,

ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku diet termasuk kebiasaan

sarapan salah satunya adalah faktor individu yakni faktor interpersonal dan

intrapesonal. Sehubungan dengan itu, penulis merasa bahwa kondisi pribadi

memberi pengaruh yang cukup besar dalam penentuan kebiasaan sarapan.

Terlebih lagi, bahwa remaja sudah memiliki intuisi yang membuat mereka

dapat memilih apa yang ingin dia makan dalam sarapan atau tidak ingin

sarapan sama sekali dalam diet nya.

Sarapan dikatakan terpenuhi apabila memenuhi kriteria 15-30% dari

AKG harian (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Sarapan yang baik adalah

sarapan yang mengandung karbohidrat sederhana yang rendah, lemak jenuh

yang rendah, dan protein yang tinggi. Mengingat sarapan adalah hal yang

sangat penting bagi pemenuhan gizi seseorang, sehingga Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia memasukkan kebiasaan sarapan dalam

pedoman umum gizi seimbang. Tidak hanya itu, pemerintah Republik

Indonesia telah mencanangkan PESAN atau Pekan Sarapan Nasional setiap

tanggal 14-20 Februari guna mendukung kebiasaan sarapan masyarakat

Indonesia.

31
32

B. Kerangka konsep.

Berikut kerangka konsep yang menggambarkan penelitian yang akan

dilakukan :

Bagan 2.
Kerangka konsep penelitian
Intrapersonal
- Pengetahuan
sarapan
- Kepercayaan
tentang sarapan
- Persepsi tentang
Sarapan
sarapan
Frekuensi sarapan
- Sikap tentang
sarapan

Interpersonal
- Ketersediaan
sarapan dirumah
- Pembuat sarapan
dirumah
- Distribusi pangan
sarapan

C. Definisi operasional dan kriteria objektif.


1. Pengetahuan sarapan

Definisi operasional : Gambaran mengenai informasi yang diketahui

sampel tentang sarapan yang didapatkan melalui

kuesioner dengan pernyataan tertutup sebanyak 7

pertanyaan dan dianalisa menggunakan skala

Guttman dengan model sebagai berikut :

Benar =1
33

Salah =0

Kriteria objektif : Kurang jika < 60% jawaban benar

Baik jika ≥ 60% - 80% jawaban benar (Khomsan,

2000).

2. Kepercayaan tentang sarapan

Definisi Operasional : Anggapan terhadap sarapan yang sampel percayai

melalui tanggapan/alasan yang diberikan ketika

melakukan/tidak melakukan sarapan yang

didapatkan melalui kuesioner dengan pertanyaan

tertutup sebanyak 12 butir pernyataan. Pertanyaan

dianalisa dengan menggunakan skala Likert

sebagai berikut :

Sangat setuju =5

Setuju =4

Netral =3

Tidak setuju =2

Sangat tidak setuju =1

Skala akan dibalik jika pernyataan berupa penyataan

negatif.

Kriteria objektif : Percaya jika total skor > nilai median

Tidak percaya jika total skor ≤ nilai median (Reeves

et al, 2013).
34

3. Persepsi tentang sarapan

Definisi Operasional : Pandangan subjektif sampel terhadap manfaat atau

keuntungan sarapan yang diperoleh dari kuesioner

tertutup sebanyak 19 butir pernyataan. Penilaian

dilakukan dengan menggunakan skala Likert dengan

model penelitian seperti :

Sangat setuju =5

Setuju =4

Netral =3

Tidak setuju =2

Sangat tidak setuju =1

Skala akan dibalik jika pernyataan berupa penyataan

negatif.

Kriteria objektif : Bermanfaat > nilai median

Tidak bermanfaat ≤ nilai median (Indrasari dkk,

2018).

4. Sikap tentang sarapan

Definisi Operasional : Respon positif atau negatif remaja terhadap

sarapan yang diketahui melalui kuesioner tertutup

sebanyak 10 butir pernyataan. Penilaian dilakukan

dengan menggunakan skala Likert dengan model

penelitian seperti :

Sangat setuju =1
35

Setuju =2

Netral =3

Tidak setuju =4

Sangat tidak setuju =5

Skala akan dibalik jika pernyataan berupa penyataan

positif.

Kriteria Objektif : Positif jika total skor sikap > nilai median

Negatif jika total skor sikap ≤ nilai median (Tapper

et al, 2008).

5. Ketersediaan sarapan di rumah

Definisi operasional : Ada atau tidaknya sarapan yang tersedia di rumah

yang digambarkan selama satu minggu yang

diperoleh menggunakan kuesioner tertutup.

Kriteria objektif : Tidak tersedia sarapan

Kadang kadang jika 1-3 kali/minggu

Tersedia jika 4-7 kali/minggu (Sari dkk, 2013)

6. Pembuat sarapan

Definisi operasional : Pelaku yang membuatkan sarapan kepada

sampel saat dirumah yang diperoleh

menggunakan kuesioner tertutup dengan

pertanyaan terbuka.

Kriteria objektif : Diri sendiri

Ibu
36

Anggota keluarga selain ibu (Sari dkk, 2013).

7. Distribusi pangan sarapan

Definisi operasional : Gambaran distribusi pangan melalui banyaknya

anggota keluarga yang tinggal bersama dalam satu

rumah yang diperoleh melalui kuesioner dengan

pertanyaan terbuka.

Kriteria objektif : Keluarga kecil jika ≤4 orang

Keluarga besar jika > 4 orang (BKKBN, 2007

dalam Sari dkk, 2013).

8. Frekuensi Sarapan

Definisi operasional : Kegiatan konsumsi pangan yang rutin saat pagi

hari hingga pukul 09.00 WITA yang dikategorikan

berdasarkan frekuensi sarapan selama satu minggu

dan diperoleh menggunakan kuesioner.

Kriteria objektif : Tidak pernah

Jarang (1-3 kali/minggu)

Kadang-kadang (4-6 kali/minggu)

Setiap hari (7 kali/minggu).


37

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian.

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei deskriptif.

B. Lokasi dan waktu penelitian.

Lokasi penelitian dilakukan di SMA Negeri 9 Jeneponto, kelurahan

Empoang, dan MAN Binamu, kelurahan Balang, kecamatan Binamu,

kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Pemilihan tempat dilakukan secara

purposive, dengan pertimbangan kemudahan akses untuk melaksanakan

penelitian dan karakteristik sosial ekonomi sampel yang heterogen dan waktu

masuk sekolah yang tercepat se-kabupaten Jeneponto. Adapun penelitian ini

dimulai pada bulan April 2018.

C. Populasi dan sampel.


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa laki-laki kelas X dan

kelas XI di SMA Negeri 9 Jeneponto dan MAN Binamu. Populasi di masing-

masing sekolah digambarkan dalam tabel 1 berikut :

Tabel 1.
Jumlah populasi disetiap sekolah
No Nama sekolah Jumlah
1 SMA Negeri 9 Jeneponto 38
2 MAN Binamu 185
Total populasi 223

37
38

Adapun perhitungan sampel menggunakan formula descriptive study with

cross-sectional (one grup) sebagai berikut (Aday dan Llewellyn, 2006) :

𝑍 21−𝛼/2 𝑃(1 − 𝑃)
𝑛=
𝑑2

Dimana :

n = Besar sampel

Z1-α/2 = Standard errors yang terkait dengan interval keyakinan

1.00 = 68%

1.645 = 90%

1.96 = 95%

2.58 = 99%

P = Estimasi proporsi

d = Presisi yang diinginkan (0.01 sampai 0.1)

1.962 × 0.402 (1 − 0.402)


𝑛=
0.082

3.84 × 0.402 (0.598)


𝑛=
0.0064

0.92
𝑛=
0.0064

𝑛 = 144.23 𝑑𝑖𝑏𝑢𝑙𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 144

Berdasarkan perhitungan sampel diatas maka didapatkan sampel

sebanyak 144 siswa dari kedua sekolah. Kemudian untuk pengambilan

sampel dengan menggunakan metode convenience (purposive) non

probability sampling yaitu pengambilan sampel didasari atas kemudahan

dalam proses pengambilan sampel tersebut. Besar sampel di SMA 9


39

Jeneponto diambil seluruhnya dari total populasi di sekolah tersebut, dan

sisanya menjadi besaran sampel di MAN Binamu. Sehingga pembagian

sampel dapat diketahui berdasarkan tabel 2 berikut :

Tabel 2.
Jumlah sampel disetiap sekolah
No Nama sekolah Jumlah
1 SMA Negeri 9 Jeneponto 38
2 MAN Binamu 106
Total populasi 144

Pemilihan sampel dilakukan dengan memperhatikan kriteria inklusi dan

eksklusi sampel sebagai berikut :

1. Kriteria Inklusi

Adapun kriteria inklusi sampel adalah sebagai berikut :

a) Siswa laki-laki kelas I dan II.

b) Usia 14-18 tahun.

2. Kriteria Eksklusi

Adapun yang menjadi kriteria eksklusi sampel adalah menjalani

puasa selama waktu penelitian.

D. Jenis dan instrumen data.

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer meliputi data yang langsung diambil oleh peneliti

tanpa perantara. Adapun data sekunder meliputi data yang diambil oleh

peneliti dengan bantuan pihak kedua.

Pada saat sebelum dilakukannya pengumpulan data, remaja putra SMAN

9 Jeneponto dan MAN Binamu diberikan penjelasan secara umum terkait


40

maksud dan tujuan dilakukannya penelitian dan data yang akan dikumpulkan.

Data diperoleh dengan cara memberikan kuesioner tertutup. Remaja putera

yang mengisi secara berkelompok dalam ruang kelas, ditempatkan pada

bangku yang tidak berdempetan. Pengambilan data juga dibantu oleh seorang

sukarelawan yang telah dilatih terlebih dahulu dengan tujuan untuk

membantu peneliti dalam mengawasi remaja putera saat mengisi kuesioner.

1. Uji Validitas

Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat

kesahihan suatu instrumen (Ahmad, 2012). Dalam hal ini uji validitas

digunakan untuk menguji tingkat pengetahuan, kepercayaan, sikap,

persepsi, dan sosial ekonomi sampel dengan metode kuesioner.

Berdasarkan hasil yang didapat dari metode kuesioner yang telah

diujicobakan, maka kemudian data diolah menggunakan rumus korelasi

Pearson, yang dikenal dengan rumus korelasi product moment. Korelasi

product moment digunakan untuk menentukan hubungan antara dua

variabel.

Setelah diuji validitasnya dengan bantuan aplikasi computer SPSS

ternyata terdapat beberapa item gugur. Adapun kaidah yang digunakan

untuk mempertahankan suatu butir apabila mempunyai korelasi yang

lebih besar dari rtabel (rxy > rtabel) dengan sginifikansi 5%, dan tidak valid

apabila nilai pertanyaan mempunyai korelasi yang lebih kecil dari rtabel

(rxy > rtabel). Rangkuman yang gugur dicantumkan pada tabel berikut :
41

Tabel 3.
Rangkuman hasil analisis validitas.
Jumlah No. Item Jumlah Item
No. Variabel
Item Gugur Valid
1 Pengetahuan 10 8, 9 8
2 Kepercayaan 12 0 12
3 Sikap 13 1, 8, 13 10
4 Persepsi 20 5 19

Dari hasil uji validitas ternyata terdapat butir soal yang tidak valid

dan mengharuskan untuk mengugurkan soal tersebut sehingga

mengurangi jumlah soal. Mulanya saat peneliti pertama kali melakukan

uji validitas, terdapat lebih dari setengah jumlah soal yang gugur.

Sehingga peneliti melakukan Reinforsing dan menambah jumlah

pertanyaan dan didapatkanlah hasil seperti pada tabel 3 diatas. Akan

tetapi instrumen tersebut juga harus memenuhi persyaratan reliabilitas

suatu instrumen, sehingga diperlukan uji reliabilitas instrumen.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas berhubungan dengan ketepatan hasil pengukuran.

Pengujuanreliabilitas instrument menggunakan formula alpha dari

Cronbach, karena skornya merupakan rentangan antara beberapa nilai.

Dengan uji reliabilitas instrument, akan diketahui taraf

keajegan/keteraturan yang sifatnya tetap dan tidak berubah.

Menginterpretasikan tingkat reliabilitas dari instrumen digunakan

patokan dari Suharsimi Arikunto (2006), sebagai berikut :


42

Tabel 4.
Interpretasi hasil uji reliabilitas.
R Interpretasi
Antara 0,800 sampai dengan 1,00 Tinggi
Antara 0,600 sampai dengan 0,800 Cukup
Antara 0,400 sampai dengan 0,600 Agak rendah
Antara 0,200 sampai dengan 0,400 Rendah
Antara 0,000 sampai dengan 0,200 Sangat rendah
Sumber : Arikunto, 2006

Adapun hasil uji reliabilitas instrumen pengetahuan adalah 0.598

(sangat rendah). Sehingga peneliti harus menggugurkan satu nomor agar

instrumen tersebut dapat reliabel. Nomor yang digugurkan adalah nomor

dua, sehingga jumlah soal pengetahuan berkurang menjadi tujuh nomor.

Untuk hasil uji reliabilitas secara keseluruhan dalam penelitian ini

dituunjukkan sebagai berikut :

Tabel 5.
Hasil uji reliabilitas instrumen penelitian.
Variabel R Interpretasi
Pengetahuan 0.603 Cukup
Kepercayaan 0.830 Tinggi
Sikap 0.878 Tinggi
Persepsi 0.935 Tinggi

Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, maka dapat dikatakan

bahwa instrumen untuk mengetahui variabel pengetahuan, kepercayaan,

sikap, persepsi, dan sosial ekonomi dalam penelitian ini sudah layak

untuk digunakan. Adapun kisi-kisi dan bentuk pertanyaan dalam

instrument tersebut akan dijabarkan dalam tabel 6 berikut :


43

Tabel 6.
Bentuk pertanyaan kuesioner tertutup setelah dilakukan uji coba kuesioner.
Kunci Jawaban/ Pernyataan
No Variabel
Indikator Positif* Negatif*
1 Pengetahuan A, C, B, A, A, C, - -
A
2 Kepercayaan - 2, 4, 5, 7, 9, 10, 1, 3, 6, 8
11, 12
3 Sikap - 1, 4, 10 2, 3, 5, 6, 7, 8,
9
4 Persepsi - 1, 7, 8, 9, 10, 11, 2, 3, 4, 5, 6,
12, 15, 16, 17, 13, 14, 19
18
* hanya untuk variabel kepercayaan, sikap, dan persepsi.

E. Pengolahan dan analisis data.


1. Pengolahan Data

Data yang telah diambil dari hasil penelitian kemudian diolah dengan

cara :

a. Koding, yaitu kegiatan memeriksa kembali setiap data yang ada

kemudian memberikan kode pada jawaban yang telah tersedia di

lembar pertanyaan sesuai dengan jawaban responden.

b. Editing, yaitu kegiatan meneliti kembali setiap daftar pertanyaan

yang telah diisi pada kuesioner. Dalam hal ini editing meliputi

kelengkapan dan kesalahan dalam pengisian pertanyaan yang telah

dilakukan.

c. Grouping, yaitu pengelompokan data berdasarkan jawaban yang

dilakukan. Untuk data dengan pertanyaan terbuka akan dilakukan

editing dengan mengelompokkan jawaban yang peneliti rasa

memiliki maksud yang sama. Untuk data pertanyaan tertutup akan


44

dikelompokkan dengan mengumpulkan jawaban dengan pilihan

yang sama.

d. Tabulasi, yaitu kegiatan yang dilakukan setelah proses grouping

telah dilakukan dengan cara menyajikan hasil grouping dalam

bentuk tabel.

e. Processing, yaitu memproses data dengan memasukkan data dari

kuesioner ke paket program komputer. Pengolahan data

menggunakan program komputer SPSS 25 dan Microsoft Excel.

f. Cleaning, merupakan kegiatan untuk mengecek kembali data guna

melihat apakah ada kesalahan yang dilakukan.

2. Analisis Data

Data akan dianalsis secara deskriptif dengan bantuan SPSS 25.

F. Penyajian data.

Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi

untuk menggambarkan kebiasaan sarapan remaja putra di kabupaten

Jeneponto.
45

Bagan 3.
Alur Perekrutan Sampel

Mendatangi lokasi
penelitian

Perekrutan sampel

Bersedia menjadi sampel Tidak bersedia menjadi sampel

Mengisi form pernyataan kesediaan menjadi Drop out


responden

Sampel dikumpulkan dalam satu kelas


sebanyak 5-10 sampel, kemudian duduk
selayaknya peserta ujian

Peneliti memberikan penjelasan terkait


maksud dan tujuan peneltian kepada
sampel

Sampel mengisi kuesioner yang


diberikan
46

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a. SMA Negeri 9 Jeneponto

SMA Negeri 9 Jeneponto terletak di Kelurahan Empoang,

Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan.

Pada awal berdirinya, SMA dikenal dengan nama SMA Negeri

Khusus Kabupaten Jeneponto. Namun, sejak tahun 2017 nama seluruh

sekolah menengah di Provinsi Sulawesi Selatan yang dibawah

naungan UPT Pendidikan mengalami perubahan nama sesuai dengan

urutan berdirinya sekolah di kabupaten tersebut.

Secara geografis, SMA Negeri 9 Jeneponto berada dalam satu

lingkungan dengan SMP Negeri 9 Jeneponto dan SLB Negeri 2

Jeneponto dengan luas keseluruhan 20.000 km2. Terkhusus untuk

SMA Negeri 9 Jeneponto memiliki luas 5.000 km2. Terdapat 8

ruangan kelas dengan pembagian 3 kelas untuk kelas X dan XI serta 2

kelas untuk kelas XII.

Saat ini, SMA Negeri 9 Jeneponto dipimpin oleh bapak Drs.

Muhammad Hasbi. Jumlah guru di sekolah ini sebanyak 10 orang

laki-laki dan 11 orang perempuan. Adapun jumlah siswa laki-laki

sebanyak 51 orang dan perempuan sebanyak 133 orang (tabel 7).

46
47

Dengan membawa label sekolah unggulan, SMA Negeri 9

Jeneponto memiliki waktu masuk yang tercepat dari seluruh SMA se-

derajat di Kabupaten Jeneponto yaitu 06:45 WITA dan waktu pulang

15:00 WITA (kecuali pada hari Jum’at). Terdapat empat kantin di

lingkungan sekolah SMA Negeri 9 Jeneponto dan ke dua sekolah

lainnya. Seluruh kantin tersebut buka pada pukul 06:30 WITA. Ke

empat kantin tersebut menyediakan makanan berupa makanan berat

seperti bakso, nasi kuning, gorengan, snack, dan kebutuhan siswa

berupa alat tulis kantor (ATK).

Tabel 7.
Distribusi jumlah siswa per jenjang kelas di kabupaten Jeneponto
tahun ajaran 2017/2018.
Nama Sekolah
SMA Negeri 9 MAN Total
Kelas
Jeneponto Binamu
n % n % n %
X 60 32.8 269 34.8 329 34.4
XI 68 37.2 238 30.7 306 32
XI 55 30.0 267 34.5 322 33.6
Total 183 100 774 100 957 100

b. MAN Binamu

MAN Binamu adalah sekolah yang terletak di Jl. Lanto Dg

Pasewang No.358 Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto. Sekolah

ini adalah sekolah Madrasah Aliyah (MA) pertama di kabupaten

Jeneponto. MAN Binamu memiliki jumlah kelas sebanyak 22 ruangan

kelas dan memiliki 774 siswa dan siswi (tabel 7) yang disebar disetiap

kelas pada masing-masing tingkatan kelas.


48

MAN Binamu memiliki waktu masuk sekolah pada pukul 07:30

WITA dan waktu pulang pada pukul 14:45 WITA (terkecuali hari

Jum’at). Terdapat tiga kantin di MAN Binamu namun hanya satu

yang menyediakan makanan berat berupa nasi kuning dan bakso.

Sementara dua kantin lainnya menyediakan snack, gorengan, dan

ATK. Ketiga kantin tersebut biasanya buka pada pukul 07:30 WITA.

2. Karakteristik Sampel

Setelah dilakukan penelitian kurang lebih dua minggu, terdapat

kondisi dimana sampel di SMA Negeri 9 Jeneponto harus di Drop Out

sebanyak tiga sampel dikarenakan sampel tersebut tengah melakukan

pelatihan Pasukan Pengibar Bendera (PASKIBRAKA) dan akan kembali

ke sekolah selama kurang lebih dua bulan sejak tanggal dimulainya

penelitian. Sehingga berdasarkan kejadian tersebut, terdapat pengurangan

jumlah sampel dari yang awalnya 144 sampel menjadi 141 sampel.

Berikut disajikan karakteristik sampel penelitian.

Tabel 8.
Distribusi umur siswa di kabupaten Jeneponto tahun 2018.
Nama Sekolah
SMA Negeri 9 Total
Umur MAN Binamu
Jeneponto
n % n % n %
14 1 2.9 1 0.9 2 1.4
15 18 51.4 36 34 54 38.3
16 10 28.6 48 45.3 58 41.1
17 6 17.1 19 17.9 25 17.7
18 0 0 2 1.9 2 1.4
Total 35 100 106 100 141 100
(Sumber : Data primer, 2018)
49

Berdasarkan tabel 8 diatas, diketahui bahwa umur 14 tahun sama-

sama berjumlah satu orang. Secara umum, umur 16 tahun paling banyak

menjadi sampel. Sementara di kedua sekolah, umur yang paling banyak

menjadi sampel penelitian adalah umur 15 tahun di SMA Negeri 9

Jeneponto yaitu 51.4% dan umur 16 tahun di MAN Binamu yaitu 45.3%.

3. Karakteristik keluarga sampel.

Berdasarkan temuan di lokasi penelitian terdapat satu orang sampel

dari SMA Negeri 9 Jeneponto yang tidak memiliki ayah dikarenakan sang

ayah telah meninggal dunia. Oleh karena itu, terjadi ketidaklengkapan

orang tua pada data ayah sehingga mengurangi jumlah ayah sampel

menjadi 140.
50

a. Pekerjaan orang tua.

Tabel 9.
Distribusi pekerjaan orang tua di kabupaten Jeneponto tahun 2018.
Nama Sekolah
Pekerjaan SMA Negeri 9 Total
MAN Binamu
Orang Tua Jeneponto
n % n % n %
Ayah
Nelayan 3 8.6 3 2.8 6 4.3
Pedagang 0 0 6 5.7 6 4.3
Petani 8 22.9 40 37.7 48 34
PNS 17 48.6 39 36.8 56 39.7
Polisi 1 2.9 2 1.9 3 2.1
Supir 0 0 3 2.8 3 2.1
Swasta 3 8.6 7 6.6 10 7.1
Tentara 0 0 2 1.9 2 1.4
Wiraswasta 2 5.7 4 3.8 6 4.3
Total 34 100 106 100 140 100
Ibu
IRT 19 54.3 69 65.1 88 62.4
Pedagang 5 14.3 9 8.5 14 9.9
PNS 11 31.4 25 23.6 36 25.5
Swasta 0 0 3 2.8 3 2.1
Total 35 100 106 100 141 100
(Sumber : Data Primer, 2018)

Berdasarkan tabel 9 diatas, diketahui bahwa sebagian besar ayah

remaja putera di kabupaten Jeneponto bekerja sebagai Pegawai Negeri

Sipil (PNS) yaitu sebanyak 39.7%. Kemudian pekerjaan terbanyak

dari ayah remaja putera di SMA Negeri 9 Jeneponto yaitu bekerja

sebagai PNS (48.6%). Petani merupakan pekerjaan ayah remaja putera

yang paling banyak ditemui yaitu sebanyak 37.7% di MAN Binamu.

Selain itu, dari tabel 9 diatas juga diketahui bahwa rata-rata

62.4% remaja putera di kabupaten Jeneponto memiliki ibu dengan

pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT). Untuk remaja putera di SMA

Negeri 9 Jeneponto dan MAN Binamu IRT juga menjadi pekerjaan


51

ibu yang mendominasi yakni masing-masing 54.3% dan 65.1%.

Pekerjaan orang tua terbanyak di kedua sekolah adalah PNS (39.7%)

untuk ayah dan IRT (62.4%) untuk ibu.

b. Pendidikan orang tua.

Tabel 10.
Distribusi pekerjaan orang tua di kabupaten Jeneponto tahun 2018.
Nama Sekolah
Pendidikan SMA Negeri 9 Total
MAN Binamu
Orang Tua Jeneponto
n % n % n %
Ayah
SD 0 0 2 1.9 2 1.4
SMP 3 8.6 12 11.3 15 10.6
SMA 15 42.9 52 49.1 67 47.5
Diploma 1 2.9 4 3.8 5 3.5
Universitas 15 42.9 36 34 51 36.2
Total 34 100 106 100 140 100
Ibu
Tidak tamat SD 1 2.9 1 0.9 2 1.4
SD 2 5.7 14 13.2 16 11.3
SMP 3 8.6 16 15.1 19 13.5
SMA 16 45.7 47 44.3 63 44.7
Diploma 6 17.1 8 7.5 14 9.9
Universitas 7 20 20 18.9 27 19.1
Total 35 100 106 100 141 100
(Sumber : Data Primer, 2018)

Berdasarkan tabel 10 diatas, diperoleh hasil bahwa di SMA

Negeri 9 Jeneponto dengan pendidikan ayah paling banyak adalah

Universitas dan SMA yaitu 42.9%. Kemudian di MAN Binamu,

pendidikan ayah paling banyak adalah SMA yaitu 47.5%. Pendidikan

ayah paling banyak pada remaja putera di kabupaten Jeneponto yaitu

SMA (47.5%). Selain itu, pada tabel 10 diatas juga menunjukkan

bahwa di SMA Negeri 9 Jeneponto dan MAN Binamu, pendidikan ibu

paling banyak adalah SMA yaitu masing-masing 45.7% dan 44.3%.


52

c. Pendapatan orang tua.

Tabel 11.
Distribusi pendapatan orang tua di kabupaten Jeneponto tahun 2018.
Nama Sekolah
Pendapatan SMA Negeri 9 Total
MAN Binamu
orang tua Jeneponto
n % n % n %
< 2.670.000 14 40 54 50.9 68 48.2
≥ 2.670.000 21 60 52 49.1 73 53.2
Total 35 100 106 100 141 100
(Sumber : Data primer, 2018)

Data pendapatan diperoleh dengan menggunakan kuesioner

pengeluaran Kementerian Kesehatan (2013) yang digunakan dalam

survei Riskesdas 2013 yang kemudian total pendapatan tiap orang tua

sampel dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP)

Sulawesi Selatan yaitu Rp.2.670.000. Berdasarkan tabel 11 diatas,

diketahui bahwa orang tua remaja putera di SMA Negeri 9 Jeneponto

memiliki pendapatan diatas UMP yaitu sebesar 60%. Sementara

persentase pendapatan orang tua remaja putera terbesar pada MAN

Binamu berada dibawah UMP yaitu 50.9%. Selanjutnya ditemukan

bahwa persentase pendapatan orang tua remaja putera di kabupaten

Jeneponto terbesar berada diatas UMP yaitu 53.2%. Adapun menurut

Alpharesy dkk (2012) pendapatan rumah tangga akan berhubungan

dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar (pengeluaran). Dimana

pendapatan seharusnya tidak melebihi jumlah pengeluaran rumah

tangga.
53

4. Determinan intrapersonal sarapan pada remaja putera di kabupaten

Jeneponto.

a. Gambaran pengetahuan remaja putera tentang sarapan.

Tabel 12.
Distribusi pengetahuan tentang sarapan pada remaja putera di
kabupaten Jeneponto tahun 2018.
Nama Sekolah
Pengetahuan SMA Negeri 9 Total
MAN Binamu
sarapan Jeneponto
n % n % n %
Kurang 10 28.6 28 26.4 38 26.9
Baik 25 71.4 78 73.6 103 73.1
Total 35 100 106 100 141 100
(Sumber : Data primer, 2018)

Berdasarkan tabel 12 diatas, tingkatan pengetahuan terbanyak ada

pada tingkat baik yaitu 71.4% remaja putera di SMA Negeri 9

Jeneponto dan 73.6% remaja putera di MAN Binamu. Kemudian

ditemukan sebanyak 73.1% remaja putera di kabupaten Jeneponto

berada pada kategori pengetahuan yang baik.

b. Gambaran kepercayaan remaja putera tentang sarapan.

Tabel 13.
Distribusi kepercayaan tentang sarapan pada remaja putera di
kabupaten Jeneponto tahun 2018.
Nama Sekolah
Kepercayaan SMA Negeri 9 Total
MAN Binamu
sarapan Jeneponto
n % n % n %
Percaya 15 42.9 53 50 68 48.2
Tidak percaya 20 57.1 53 50 73 51.8
Total 35 100 106 100 141 100
(Sumber : Data primer, 2018)

Berdasarkan tabel 13 diatas, digambarkan bahwa lebih banyak

remaja putera di kedua sekolah masih tidak percaya bahwa sarapan


54

memiliki efek yang baik jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini dibuktikan dengan 51.8% remaja putera di kabupaten

Jeneponto berada pada kategori tidak percaya. Sementara itu, SMA

Negeri 9 Jeneponto memiliki 57.1% remaja putera yang berada pada

kategori tidak percaya bahwa sarapan memilik dampak yang baik bagi

tubuh dan sehari-hari.

Berbeda dengan MAN Binamu, dimana terjadi kondisi sebanding

antara percaya dengan tidak percaya tentang sarapan. Hasil penelitian

pada tabel 13 menunjukkan bahwa masing-masing 50% remaja putera

di MAN Binamu memiliki rasa percaya dan tidak percaya bahwa

sarapan memiliki dampak yang baik bagi tubuh dan sehari-hari.

c. Gambaran persepsi remaja putera tentang sarapan.

Tabel 14.
Distribusi persepsi tentang sarapan pada remaja putera di kabupaten
Jeneponto tahun 2018.
Nama Sekolah
SMA Negeri 9 Total
Persepsi sarapan MAN Binamu
Jeneponto
n % n % n %
Bermanfaat 16 45.7 50 47.2 66 46.8
Tidak bermanfaat 19 54.3 56 52.8 75 53.2
Total 35 100 106 100 141 100
(Sumber : Data primer, 2018)

Tabel 14 menggambarkan tentang persepsi remaja putera tentang

sarapan. Persepsi dalam penelitian ini digambarkan sebagai

pandangan subjektif remaja putera terkait sarapan yang dalam hal ini

adalah manfaat atau keuntungan yang diperoleh remaja putera ketika

melakukan sarapan dimana persepsi berada di bawah kepercayaan.


55

Dari data tabel 14 diatas, diketahui bahwa 54.3% remaja putera di

SMA Negeri 9 Jeneponto merasa bahwa sarapan tidak bermanfaat.

Begitupula dengan 52.8% remaja putera di MAN Binamu yang

memiliki persepsi bahwa sarapan tidak bermanfaat. Kemudian untuk

di kedua sekolah, diketahui 53.2% remaja putera berada pada kategori

tidak bermanfaat.

d. Gambaran sikap remaja putera tentang sarapan.

Tabel 15.
Distribusi sikap tentang sarapan pada remaja putera di kabupaten
Jeneponto tahun 2018.
Nama Sekolah
SMA Negeri 9 Total
Sikap sarapan MAN Binamu
Jeneponto
n % n % n %
Positif 12 34.3 55 51.9 67 47.5
Negatif 23 65.7 51 48.1 74 52.5
Total 35 100 106 100 141 100
(Sumber : Data primer, 2018)

Tabel 15 diatas menunjukkan bahwa lebih banyak remaja putera

memiliki sikap negatif terhadap sarapan lebih dominan dari pada

sikap positif yaitu 52.5% remaja putera di kabupate Jeneponto berada

pada kategori sikap negatif. SMA Negeri 9 Binamu di dominasi oleh

sikap negatif yaitu 65.7% sementara di MAN Binamu didominasi oleh

sikap positif yaitu 51.9%.


56

5. Determinan interpersonal sarapan pada remaja putera di kabupaten

Jeneponto.

a. Gambaran ketersediaan sarapan di rumah sampel.

Gambaran tentang ketersediaan sarapan dirumah tersedia dirumah

dalam satu minggu akan dijabarkan pada tabel 17 di bawah. Namun

sebagai informasi tambahan, disajikan pula gambaran terkait

keberadaan sarapan di rumah atau sampel diwajibkan oleh orang tua

untuk sarapan di rumah sebelum berangkat ke sekolah pada tabel 16.

Tabel 16.
Distribusi ketersediaan sarapan di rumah tangga di kabupaten
Jeneponto tahun 2018.
Nama Sekolah
Ketersediaan SMA Negeri 9 Total
MAN Binamu
sarapan di rumah Jeneponto
n % n % n %
Tidak pernah 9 25.7 8 7.5 17 12.1
Kadang-kadang 5 14.3 24 22.6 29 20.6
Sering 21 60 74 69.8 95 67.4
Total 35 100 106 100 141 100
(Sumber : Data primer, 2018)

Berdasarkan tabel 16 telah tersajikan data tentang ketersediaan

sarapan di rumah. Diketahui dari tabel 16 tersebut bahwa kebanyakan

rumah tangga menyediakan sarapan sebanyak 4-7 kali dalam

seminggu (sering). Hal ini dibuktikan dengan persentase pada kategori

tersebut sebanyak 67.4% remaja putera di kabupaten Jeneponto.

Untuk SMA Negeri 9 Jeneponto, kategori sarapan tidak pernah

tersedia lebih tinggi dari ketersediaan sarapan dengan frekuensi 1-3


57

kali per minggu (jarang) yaitu masing-masing persentasenya 25.7%

dan 14.3%.

Berbeda halnya dengan MAN Binamu, dimana persentase

ketidaktersedianya sarapan di rumah tangga lebih rendah dari

tersedianya sarapan dirumah dengan frekuensi 1-3 kali per minggu

yaitu masing-masing 6.6% dan 23.6%. Sehingga tergambarkan bahwa

keluarga sampel di MAN Binamu lebih mengutamakan kebiasaan

sarapan di rumah dibandingkan keluarga remaja putera di SMA

Negeri 9 Jeneponto.

Tabel 17.
Distribusi aturan sarapan di rumah tangga di kabupaten Jeneponto
tahun 2018.
Nama Sekolah
Aturan sarapan SMA Negeri 9 Total
MAN Binamu
dirumah Jeneponto
n % n % n %
Ada 23 88.5 87 88.8 110 88.7
Tidak ada 3 11.5 11 11.2 14 11.3
Total 26 100 98 100 124 100
(Sumber : Data primer, 2018)

Selanjutnya berdasarkan tabel 17, diketahui 88.7% remaja putera

di kabupaten Jeneponto mengakui bahwa keluarga memberikan aturan

untuk sarapan dirumah. Untuk SMA Negeri 9 Jeneponto terdapat

88.5% remaja putera di sekolah tersebut yang mengakui bahwa

keluarga memberikan aturan untuk sarapan di rumah. Kemudian,

88.8% remaja putera di MAN Binamu juga mengakui bahwa keluarga

memiliki aturan untuk sarapan di rumah.


58

b. Gambaran pembuat sarapan sampel di rumah.

Tabel 18.
Distribusi pelaku pembuat sarapan di rumah tangga di kabupaten
Jeneponto tahun 2018.
Nama Sekolah
Pelaku pembuat SMA Negeri 9 Total
MAN Binamu
sarapan Jeneponto
n % n % n %
Ibu 23 88.5 83 84.7 106 85.5
Sendiri 1 3.8 12 12.2 13 10.5
Lainnya 2 7.7 3 3.1 5 4
Total 26 100 98 100 124 100
(Sumber : Data primer, 2018)

Berdasarkan tabel 18 diatas, diketahui bahwa ibu memiliki

persentase paling besar sebagai pelaku yang membuatkan sarapan

pada sampel. Hal itu dibuktikan dengan data bahwa 85.5% remaja

putera di kabupaten Jeneponto mengaku bahwa ibu adalah pelaku

pembuat sarapan dirumah. Kemudian di kedua sekolah, SMA Negeri

9 Jeneponto dan MAN Binamu masing-masing ditemukan 84.7% dan

88.5% dari sampel di tiap sekolah tersebut mengakui bahwa ibu yang

menyiapkan sarapan dirumah mereka.


59

c. Gambaran distribusi pangan sarapan di rumah sampel.

Distribusi pangan sarapan dirumah sampel dibagi berdasarkan

besar keluarga sampel. Berikut adalah tabel distribusi nya.

Tabel 19.
Distribusi besar keluarga di rumah tangga di kabupaten Jeneponto
tahun 2018.
Nama Sekolah
SMA Negeri 9 Total
Besar keluarga MAN Binamu
Jeneponto
n % n % N %
≤ 4 orang 14 53.8 48 49 62 50
> 4 orang 12 46.2 50 51 62 50
Total 26 100 98 100 124 100
(Sumber : Data primer, 2018).

Dari tabel 19 diatas, SMA Negeri 9 Jeneponto lebih banyak

memiliki besar keluarga ≤ 4 orang yaitu sebanyak 53.8% dan MAN

Binamu didominasi oleh keluarga besar atau lebih dari 4 orang dalam

satu rumah yaitu 51%. Kemudian untuk kabupaten Jeneponto secara

keseluruhan remaja putera masing-masing 50% untuk kedua kategori

keluarga.

Tabel 20.
Distribusi frekuensi sarapan remaja putera terhadap besar keluarga di
rumah tangga di kabupaten Jeneponto tahun 2018.
Besar keluarga
Frekuensi Total
≤ 4 orang > 4 orang
sarapan
n % n % n %
Tidak pernah 1 1.6 1 1.6 2 1.6
Jarang 12 19.4 11 17.7 23 18.5
Kadang-kadang 12 19.4 16 25.8 28 22.6
Sering 37 59.7 34 54.8 71 57.3
Total 62 100 62 100 124 100
(Sumber : Data primer, 2018).
60

Tabel 20 menyajikan distribusi frekuensi sarapan remaja putera

terhadap besar keluarga untuk mengetahui distribusi pangan sarapan

di tingkat rumah tangga. Berbeda dengan tabel 21 yang menyajikan

frekuensi sarapan remaja putera secara keseluruhan, data pada tabel

20 di atas mengarah pada

6. Gambaran frekuensi sarapan remaja putera di kabupaten

Jeneponto.

Pada bagian ini, tidak hanya akan memuat data terkait frekuensi

sarapan tapi juga memuat waktu sarapan dan tempat sarapan remaja

putera di kabupaten Jeneponto. Berikut tabel distribusinya.

Tabel 20.
Distribusi frekuensi sarapan remaja putera di kabupaten Jeneponto
tahun 2018.
Nama Sekolah
SMA Negeri 9 MAN Total
Frekuensi sarapan
Jeneponto Binamu
n % n % n %
Tidak pernah 9 25.7 19 17.9 28 19.9
Jarang 6 17.2 17 16.1 23 16.3
Kadang-kadang 4 11.4 24 22.6 28 19.8
Setiap hari 16 45.7 46 43.4 62 44
Total 35 100 106 100 141 100
(Sumber : Data primer, 2018)

Berdasarkan tabel 20 diatas, diketahui bahwa terdapat 19.9%

remaja putera yang tidak pernah sarapan. SMA Negeri 9 Jeneponto

lebih banyak ditemukan remaja putera yang tidak pernah sarapan


61

(25.7%) dibandingkan MAN Binamu (17.9%). Kemudian, SMA

Negeri 9 Jeneponto memiliki siswa yang setiap hari sarapan lebih

tinggi dari MAN Binamu yaitu 43.4% dan 45.7% dari remaja putera

di masing-masing sekolah.

Jika melihat frekuensi sarapan kadang-kadang dan setiap hari,

maka disimpulkan bahwa frekuensi sarapan remaja putera sudah

cukup baik yaitu 57.1% di SMA Negeri 9 Jeneponto dan MAN

Binamu 66%. Kemudian 63.8% remaja putera di kabupaten Jeneponto

terbiasa sarapan.

Tabel 21.
Distribusi waktu sarapan pada remaja putera di kabupaten Jeneponto
tahun 2018.
Nama Sekolah
SMA Negeri 9 MAN Total
Waktu sarapan
Jeneponto Binamu
n % n % n %
<06:00 3 11.5 4 4.4 7 5.7
06:00 – 06:59 20 76.9 70 72.9 90 73.8
07:00 – 07:59 2 7.7 16 16.3 18 14.8
08:00 – 09:00 1 3.8 6 6.4 7 5.7
Total 26 100 96 100 122 100
(Sumber : Data primer, 2018)

Berdasarkan data pada tabel 21 diatas, diketahui bahwa 73.8%

remaja putera di kabupaten Jeneponto melakukan sarapan di waktu

06:00 hingga 06:59. Adapun di kedua sekolah sama-sama di


62

dominasi oleh waktu sarapan pukul 06:00 hingga 06:59 yaitu 76.9%

untuk SMA Negeri 9 Jeneponto dan 72.9% untuk MAN Binamu.

Tabel 22.
Distribusi tempat sarapan pada remaja putera di kabupaten
Jeneponto tahun 2018.
Nama Sekolah
SMA Negeri 9 MAN Total
Tempat sarapan
Jeneponto Binamu
n % n % n %
Rumah 21 80.8 84 87.5 105 86.1
Sekolah 5 19.2 12 12.5 17 13.9
Total 26 100 96 100 122 100
(Sumber : Data primer, 2018)

Berdasarkan tabel 22 diatas, diketahui bahwa rumah menjadi

tempat terbanyak yang dijadikan remaja putera untuk tempat sarapan.

Dikarenakan di SMA Negeri 9 Jeneponto yaitu 80.8% sampel dan

MAN Binamu yaitu 87.5% sampel atau sebanyak 86.1% dari remaja

putera di kabupaten Jeneponto melakukan sarapan di rumah.

B. Pembahasan

1. Intrapersonal sarapan remaja putera di kabupaten Jeneponto.

a. Gambaran pengetahuan tentang sarapan pada remaja putera di

kabupaten Jeneponto.

Data pada tabel 12, menunjukkan bahwa pengetahuan pada

remaja putera di kabupaten Jeneponto tentang sarapan berada pada

kategori baik. Hal tersebut dibuktikan dengan persentase sebesar

73.1% berada pada kategori baik dari sampel di kedua lokasi

penelitian. Untuk persentase tertinggi di SMA Negeri 9 Jeneponto

yaitu 71.4% remaja putera berada pada kategori baik, begitupun


63

dengan 73.6% remaja putera di MAN Binamu yang juga berada pada

kategori baik.

Hasil analisis dari setiap soal kuesioner pengetahuan (Lampiran 3.

Diagram 1) menunjukkan tiga besar soal yang paling sulit dijawab

oleh remaja putera di kabupaten Jeneponto. Sebanyak 83% remaja

putera di kabupaten Jeneponto kesulitan menjawab soal terkait waktu

sarapan. Berdasarkan pedoman gizi seimbang (Kemenkes, 2014)

dikatakan bahwa sarapan yang baik adalah sebelum pukul 9 pagi.

Namun remaja putera menganggap bahwa sebelum jam 8 pagi adalah

waktu yang baik untuk sarapan. Jawaban tersebut benar adanya,

namun masih kurang tepat.

Kemudian sebanyak 80.1% remaja putera di kabupaten Jeneponto

tidak tahu bahwa kerugian sarapan bagi siswa adalah lambat berpikir

(Lampiran 3, Diagram 1). Sebagian besar remaja putera menjawab

kerugian tidak sarapan bagi siswa adalah sakit perut. Selanjutnya

sebanyak 62.4% remaja putera di kabupaten Jeneponto tidak tahu

bahwa menu sarapan seharusnya sering berganti. Sebagian besar

remaja putera menganggap menu sarapan sebaiknya kadang-kadang

berganti. Padahal jika melihat pesan gizi seimbang (Kemenkes, 2014),

agar terjadi keberagaman makanan, maka menu sehari-hari sangat

dianjurkan untuk berganti-ganti.

Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia atau hasil tahu

seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata,


64

hidung, telinga, dan sebagainya). Pengetahuan seseorang tentang

suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek

negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang,

semakin banyak aspek positif yang diketahui, maka akan menimblkan

sikap makin positif terhadap objek tertentu (Notoatmodjo,2003).

Terdapat penelitian sebelumnya oleh Purnamasari (2013) terkait

pengetahuan makan pagi pada siswa kelas XI program studi keahlian

tata boga SMK N 3 Kleaten. Berbeda dengan penelitian ini, penelitian

oleh Purnamasari (2013) tersebut membagi tingkatan pengetahuan ke

dalam empat kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah, dan sangat

rendah. Adapun hasil dalam penelitian tersebut terdeskripsi bahwa

40.21% merupakan persentase tertinggi dimana pengetahuan sarapan

siswa berada pada kategori tinggi. Secara rinci, penelitian tersebut

menunjukkan hasil dengan kategori sangat tinggi (19.59%), kategori

tinggi (40.21%), kategori rendah (28.86%) dan kategori sangat rendah

(11.34%).

Telah diketahui bersama, bahwa pengetahuan merupakan hasil

tahu dan ini terjadi setelah melakukan pengindraan terhadap suatu

objek tertentu. Pengindraan tersebut sebagian besar berasal dari

penglihatan dan pendengaran, dapat dijelaskan bahwa pengetahuan

diperoleh dari berbagai sumber, misalnya lewat media massa, media

elektronik, buku petunjuk, media poster, petugas kesehatan, kerabat

dekat, dan sebagainya.


65

Salah satu upaya intervensi pengetahuan tentang sarapan yang

telah dilakukan dengan melihat pengaruh media kampanye sarapan

sehat pada anak sekolah dasar di kabupaten Bogor yang dilakukan

oleh Briawan dkk (2013). Dari berbagai media kampanye,

peningkatan rata-rata skor tertinggi terdapat pada penggunaan media

kartu bergambar sebesar 19.55 (sebelum intervensi kampanye sarapan

sehat 53.65±1.28 menjadi 73.23±1.14). Hasil paired t-test

menunjikkan abhwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-

rata total skor pengetahuan sebelum dan setelah intervensi kampanye

sarapan sehat (p<0.05). Hasil paired t-test menunjukkan abhwa

perbedaan skor pengetahuan hanya diperoleh dari media kartu

bergambar dan drama, sedangkan pada media power point dan

wayang tidak terdapat perbedaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Ristiana (2009) terdapat hubungan

antara pengetahuan tentang sarapan dengan tindakan sarapan pagi

dengan menggunakan uji Chi Square test dimana p=0.002 (p<0.05).

Hasil penelitian Tumiwa (2016) menunjukkan bahwa pengetahuan

sarapan pagi tidak berkaitan dengan prestasi belajar anak yang

menyebabkan tidak adanya hubungan antara pengetahuan sarapan

pagi dengan prestasi belajar anak. Walaupun ditemukan bahwa 83.3%

siswa dalam penelitian tersebut memiliki pengetahuan sarapan yang

baik, namun pengetahuan yang baik tersebut tidak memiliki hubungan


66

dengan prestasi belajar siswa tanpa disertai sikap dan perilaku sarapan

pagi.

Berdasarkan penelitian ini, terlihat bahwa pengetahuan yang baik

dari remaja putera di kabupaten Jeneponto (73.1%) cukup untuk

mengimbangi kebiasaan sarapan remaja putera (63.8%). Ada sekitar

10.7% remaja putera yang berpengetahuan baik namun tidak biasa

sarapan, hal tersebut bisa saja dipengaruhi oleh factor lain. Meski

begitu, pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru

didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka

perilaku tersebut akan bersifat langgeng (Purnamasari, 2013).

b. Gambaran kepercayaan tentang sarapan pada remaja putera di

kabupaten Jeneponto.

Kepercayaan dalam penelitian ini terdefinisi sebagai anggapan

terhadap sarapan yang dipercayai atau diyakini melalui ketika

melakukan atau tidak melakukan sarapan. Tabel 13 menunjukkan

bahwa 51.8% remaja putera tidak percaya bahwa sarapan memiliki

pengaruh yang baik bagi tubuh dan sehari-hari. SMA Negeri 9

Jeneponto memiliki persentase remaja putera yang memiliki anggapan

tidak percaya terhadap sarapan lebih besar dari MAN Binamu yaitu
67

57.1%. Sementara MAN Binamu memiliki persentase masing-masing

50% untuk rasa percaya dengan tidak percaya.

Remaja putera di kabupaten Jeneponto ditemukan sebanyak

51.8% yang memiliki anggapan tidak percaya jika sarapan memiliki

efek yang baik bagi tubuh. Sebanyak 24.1% remaja putera di

kabupaten Jeneponto yakin jika sarapan tidak akan mempengaruhi

aktivitas sehari-hari mereka (Lihat lampiran 3 pada diagram 2). Selain

itu sebanyak 22% pada tiga poin pernyataan menunjukkan bahwa

remaja putera di kabupaten Jeneponto tidak merasakan apa-apa jika

tidak sarapan, entah cemas ataupun was-was. Remaja putera di

Jeneponto hanya akan melakukan sarapan jika melakukan aktivitas

yang padat dan berat, namun aktivitas sekolah yang mereka yakini

bukanlah hal yang banyak menguras tenaga sehingga tidak perlu

sarapan.

Kepercayaan (beliefs) adalah penerimaan bahwa ada sesuatu atau

benar, bahkan tanpa bukti atau bukti yang sebenarnya. Keyakinan

biasanya didasarkan pada kepercayaan dan kepercayaan diri.

Seseorang dapat mengembangkan kepercayaan tertentu melalui

metode yang berbeda. Keyakinan bisa berasal dari apa yang dia alami,

baca, dengar, atau lihat. Selain itu, kepercayaan atau keyakinan juga

bisa datang dari apa yang diajarkan. Seringkali kepercayaan

mempengaruhi interpersonal lainnya seperti persepsi dan sikap.


68

Berdasarkan hasil penelitian oleh Reeves et al (2013) tentang

kepercayaan dan aktivitas sehari-hari terkait hubungannya dengan

sarapan menunjukkan bahwa keyakinan mengenai manfaat sarapan

dan dengan sarapan dipercaya dapat membuat tubuh menjadi lebih

kuat daripada yang melewatkan sarapan. Sehingga sarapan membantu

mengendalikan atau menurunkan berat badan. Para pengonsumsi

sarapan yang sering mengindikasikan jika ingin lebih kuat maka

mereka harus makan sebelum melakukan aktivitas fisik yang kuat

dibandingkan dengan mereka yang kadang-kadang atau tidak pernah

makan sarapan (17,6 ± 3,6; 14,6 ± 3,7 dan 11,8 ± 3,3 masing-masing;

p <.0005), tetapi kepercayaan akan menunjukkan kebutuhan untuk

ukuran porsi yang lebih besar karena persiapan untuk olahraga yang

hanya berbeda antara mereka yang makan sarapan setidaknya kadang-

kadang dan mereka yang tidak pernah makan sarapan (7,7 ± 2,1; 7,9 ±

2,2 dan 6,0 ± 2,3 masing-masing; p <0,0005; pairwise perbandingan

post-hoc menggunakan Scheffe Tes tidak mencapai signifikansi untuk

perbandingan mereka yang makan sarapan secara teratur dan mereka

yang makan sarapan kadang-kadang) (Reeves et al, 2013).

Keyakinan tentang sarapan juga dapat mempengaruhi

kemungkinan seseorang untuk mengonsumsi sarapan dan reaksi

psikologis berikutnya terhadap pola makan ini (Chapman et al, 1998

dalam Reeves et al, 2013). Sebagai contoh, kandungan kalori dari

makanan yang dimakan saat sarapan telah dikaitkan dengan kepuasan


69

citra tubuh (Geshwind et al, 2008 dalam Reeves et al, 2013) dan

indikator kesehatan dan kesejahteraan lainnya. Secara khusus,

Lattimore et al 2010 dalam Reeves et al, 2013 melaporkan bahwa

wanita secara signifikan kurang merasakan lebih kenyang, lebih

bahagia dan lebih rileks dan puas dengan citra tubuh dan berat badan

mereka setelah mengkonsumsi sarapan berbasis sereal dibandingkan

dengan muffin, meskipun mirip dengan kalori yang disediakan oleh

kedua jenis sarapan tersebut.

Temuan selanjutnya dalam penelitian ini adalah dari 51.8%

remaja putera di kabupaten Jeneponto yang tidak percaya atau tidak

meyakini bahwa sarapan memiliki manfaat dalam kehidupan sehari-

hari, ditemukan hanya 36.2% remaja putera di kabupaten Jeneponto

yang memiliki frekuensi sarapan 0-3 kali dalam satu minggu. Artinya

kurang lebih sebanyak 15.6% masih sering sarapan dengan frekuensi

4-7 kali dalam satu minggu.

Keyakinan bahwa belum makan jika bukan makan nasi masih saja

menjadi polemik di masyarakat sekitar. Sehingga banyak remaja

putera yang menganggap bahwa main course dengan nasi lah yang

menjadi definisi makan (pagi, siang, atau malam) bagi remaja putera

di kabupaten Jeneponto. Padahal pedoman gizi seimbang (Kemenkes,

2014) telah mengatakan bahwa yang menjadi pokok utama dalam

makanan bukanlah “apa yang dimakan?” melainkan “zat apa yang ada

di dalam makanan itu”. Hal ini didukung dengan pertanyaan


70

pengetahuan nomor 5 (lihat lampiran 3, diagram 1) dimana 24.1%

remaja putera salah menjawab atau sebanyak 75.9% remaja putera

menganggap bahwa sarapan yang baik terdiri atas menu yang lengkap.

Itu benar adanya, namun setelah ditelusuri ternyata jawaban tersebut

didasari oleh keyakinan bahwa bukan makan jika tidak makan nasi.

c. Gambaran persepsi tentang sarapan pada remaja putera di

kabupaten Jeneponto.

Persepsi mengacu pada cara seseorang memperhatikan sesuatu

dengan menggunakan indera atau cara seseorang memahami atau

memikirkan sesuatu. Persepsi lebih mengarah pada cara seseorang

memandang atau mengnggap sesuatu. Persepsi orang yang berbeda

dapat bervariasi sesuai dengan factor yang berbeda. Latar belakang,

pendidikan, pengetahuan, agama dan budaya adalah beberapa factor

yang mempengaruhi cara seseorang memandang sesuatu. Perbedaan

utama antara persepsi dan kepercayaan adalah bahwa persepsi

hanyalah cara untuk melihat atau memahami sesyatu tapi bukan

keyakinan Oleh karena itu, persepsi seseorang bisa berubah seiiring

berjalannya waktu. Dalam penelitian ini, 51.8% remaja putera di

Jeneponto tidak percaya serta 53.2% remaja putera di Jeneponto

memiliki persepsi yang mengatakan bahwa sarapan tidak bermanfaat

(negatif). Meskipun terdapat 1.4% yang berbeda dari teori yang ada,

namun dominasi memiliki kesesuaian antara teori yang ada.


71

Berdasarkan tabel 14 menunjukkan bahwa 53.2% remaja putera

di kabupaten Jeneponto menunjukkan persepsi bahwa sarapan tidak

bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. SMA Negeri 9 Jeneponto

memiliki persentase lebih besar tetang persepsi bahwa sarapan tidak

bermanfaat yaitu 54.3% sementara MAN Binamu menunjukkan

persentase 52.8%. Namun, kedua lokasi penelitian menunjukkan

dominasi persepsi ke arah sarapan tidak bermanfaat. Ditemukan

sebanyak 53.2% remaja putera di kabupaten Jeneponto memiliki

persepsi bahwa menurut mereka sarapan tidak bermanfaat. Sebanyak

77.3% remaja putera di Jeneponto memiliki persepsi bahwa ibu tidak

perlu menyiapkan sarapan sendiri, cukup membelinya (lihat lampiran

3, diagram 3). Selain itu, 58.1% remaja putera di kabupaten Jeneponto

menganggap bahwa tempe dan tahu bisa digunakan sebagai pengganti

karbohidrat (lihat lampiran 3, diagram 3).

Penelitian sebelumnya terhadap persepsi siswa dalam penelitian

yang dilakukan oleh Indrasari dkk (2018) menunjukkan bahwa 17.5%

siswa memiliki persepsi yang rendah terhadap sarapan. Persepsi

tentang sarapan pagi mampu mengembangkan perilaku makan dalam

memilih variasi dan jumlah makanan. Persepsi adalah salah satu

elemen psikologis yang membentuk dan mempengaruhi kebiasaan

sarapan berkualitas tinggi. Spronk menyebutkan bahwa persepsi

mempengaruhi sikap, artinya mereka bisa membangun perilaku


72

seseorang untuk menentukan kualitas sarapan (Spronk et al, 2014

dalam Indrasari dkk, 2018).

Persepsi remaja putera di kabupaten Jeneponto yang

menunjukkan bahwa sarapan tidak bermanfaat (53.2%) bertentangan

dengan perilaku sarapan dimana 63.8% remaja putera memiliki

perilaku sarapan yang baik. Terdapat perbedaan sebanyak 10.6%

diantara keduanya. Beberapa remaja putera melakukan sarapan karena

hanya ingin melakukannya saja.

Persepsi yang cukup tentang sarapan disebabkan oleh penerimaan

stimulasi anak dari berbagai sumber informasi tentang sarapan yang

dapat diterima oleh mereka. Namun, dalam proses reaksi, seorang

individu yang persepsinya telah terbentuk tidak perlu

mempraktikkannya secara langsung ke dalam tindakan sesuai dengan

persepsi yang telah terbentuk dalam rangsangan. Persepsi yang

memadai tentang sarapan dengan lebih sedikit variasi makanan dapat

disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah

kurangnya makanan yang tersedia untuk sarapan. Hal ini bisa juga

karena kurangnya kesediaan responden dalam melakukan tindakan

(sarapan) sesuai dengan persepsi yang telah terbentuk dari informasi

yang didapat (Indrasari dkk, 2018).

Pareek & Khanna (2011) dalam Indrasari dkk (2018) telah

menunjukkan bahwa untuk membentuk reaksi terhadap tindakan,

kesediaan dan dorongan untuk bertindak diperlukan. Albashtawy


73

(2015), Mcdonnell et al (2004), Perera et al (2015), Perera & Frei

(2015) dalam Indrasari dkk (2018) mengungkapkan bahwa sumber

utama informasi tentang kebiasaan sarapan dapat diperoleh dari

dukungan keluarga, teman dan kelompok sebaya, guru, orang tua dan

seluruh masyarakat, terutama pada masalah penting tentang kebiasaan

makanan sehat.

d. Gambaran sikap tentang sarapan pada remaja putera di

kabupaten Jeneponto.

Sikap remaja putera di kabupaten Jeneponto berdasarkan tabel 15

menunjukkan bahwa 52.5% remaja putera di kabupaten Jeneponto

memiliki sikap yang negatif terhadap sarapan. Namun remaja putra di

MAN Binamu memiliki sikap positif terhadap sarapan yaitu 51.9%.

Berbeda dengan SMA Negeri 9 Jeneponto dimana 65.7% remaja

putera di sekolah tersebut memiliki sikap negatif terhadap sarapan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan terhadap siswa di SMK N

3 Klaten menunjukkan bahwa 35.05% siswa memiliki sikap yang

tinggi, 29.9% siswa memiliki sikap yang rendah dan sisanya terbagi

atas kategori tinggi dan sangat tinggi (Purnamasari, 2013). Perilaku

makanan dan gizi kita juga ditentukan oleh sikap kita terhadap mereka

- misalnya, sikap kita terhadap cara menyusui atau praktik keamanan

makanan tertentu. Identitas kita dalam kaitannya dengan makanan

juga dapat mempengaruhi perilaku kita. Misalnya, beberapa remaja

mungkin melihat diri mereka sebagai orang yang sadar kesehatan, tapi
74

banyak lainnya mungkin menganggap diri mereka sebagai bagian dari

makanan sampah (Contento, 2011).

Dalam sarapan, sikap merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi. Di Indonesia sekitar 20-40% anak-anak sekolah tidak

terbiasa sarapan. Perilaku kebiasaan yang masih kurang tersebut

dilatarbelakangi oleh rendahnya pengetahuan anak tentang gizi dan

kesehatan. Akan tetapi, setelah dilakukan kampanye oleh Briawan dkk

(2013) dengan beberapa media, terjadi perubahan signifikan rata-rata

sikap anak-anak sekolah dasar di bogor sebelum dan sesudah di

intervensi.

Hasil penelitian Ristiana (2009) menemukan bahwa tidak ada

hubungan antara sikap tentang sarapan dengan tindakan sarapan

dengan menggunakan Chi Square test p=0.705 (p>0.05). Sikap adalah

kecenderungan untuk bertindak praktik. Namun sikap belum tentu

terwujud dalam tindakan yang nyata, sebab terwujudnya tindakan

perlu factor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan

prasarana (Notoatmodjo, 2005). Briawan dkk (2013) secara umum

mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata skor sikap

setelah intervensi kampanye sarapan sehat. Peningkatan rata-rata skor

tertinggi terdapat pada penggunaan media kartu bergambar sebesar

10.86 (sebelum intervensi kampanye sarapan sehat 80.96±1.16

menjadi 91.84±1.09).
75

Hasil paired t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan antara rata-rata total skor sikap sebelum dan setelah

intervensi kampanye sarapan sehat (p<0.05). Hasil paired t-test

menunjukkan bahwa perbedaan skor sikap hanya diperoleh dari media

power point, kartu bergambar, dan drama, sedangkan pada media

wayang tidak terdapat perbedaan.

Terdapat 63.8% remaja putera di kabupaten Jeneponto yang rutin

sarapan 4-7 kali dalam seminggu. Sementara sikap terkait sarapan

menunjukkan hasil negative (52.5%) lebih banyak dari pada positif.

Pernyataan sikap tentang saat tidak sarapan, remaja putera akan cepat

lelah di pagi hari menjadi pernyataan yang paling banyak menjawab

tidak setuju dan sangat tidak setuju. Adanya factor interpersonal

membuat beberapa orang berbeda antara interpersonal dan tindakan

yang dilakukan.

2. Intrapersonal sarapan remaja putera di kabupaten Jeneponto.

a. Gambaran ketersediaan sarapan di rumah sampel.

Berdasarkan tabel 16 diketahui bahwa 67.4% keluarga telah

sering menyiapkan sarapan dirumah. Peranan ibu dalam pembentukan

kebiasaan sarapan pada anak sangat menentukan karena ibu terlibat


76

langsung dalam penyediaan makanan di rumah tangga. Penelitian

yang dilakukan oleh Rohayati (2001) mengemukakan bahwa

pekerjaan ibu memperngaruhi frekuensi sarapan anak karena ibu

terlibat langsung dalam kegiatan rumah tangga khususnya

penyelenggaraan makanan keluarga, termasuk dalam pemilihan jenis

pangan dan penyusunan menu untuk keluarga.

Kondisi ibu tidak dapat menyiapkan sarapan dapat ditaktisi oleh

beberapa sampel dengan membuat sarapan sendiri atau meminta

bantuan dari anggota keluarga lain seperti ayah, kakak, nenek, dan

sebagainya. Adapula sampel yang memilih sarapan disekolah atau

tidak sarapan sama sekali. Penelitian sebelumnya dari Sari (2013)

menunjukkan hasil yang serupa dimana ibu rumah tangga secara

umum lebih sering menyiapkan sarapan (55.9%) dibandingkan ibu

yang bekerja.

Selanjutnya berdasarkan tabel 17, diketahui 88.7% remaja putera

di kabupaten Jeneponto mengakui bahwa keluarga memberikan aturan

untuk sarapan dirumah. Untuk SMA Negeri 9 Jeneponto terdapat

88.5% remaja putera di sekolah tersebut yang mengakui bahwa

keluarga memberikan aturan untuk sarapan di rumah. Kemudian,

88.8% remaja putera di MAN Binamu juga mengakui bahwa keluarga

memiliki aturan untuk sarapan di rumah.

Adapun aturan yang berlaku adalah wajib mengonsumsi pangan

apabila telah disediakan meskipun tidak banyak. Namun, aturan ini


77

tidak berlaku jika tidak ada pangan yang tersedia di rumah tangga.

Untuk remaja putera yang tidak memiliki aturan ini di rumah mereka,

dikarenakan paham yang berbeda yang dianut oleh keluarga mereka

(bukan warga lokal).

Aturan ini juga didukung oleh keberadaan ibu/wali yang

menyiapkan sarapan dirumah. Berdasarkan tabel 9, diketahui bahwa

ada sekitar 62.4% ibu sampel yang tidak bekerja atau berperan sebagai

ibu rumah tangga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Svenskarin (2012) menunjukkan bahwa kualitas dari kebiasaan

sarapan baik pada anak dengan ibu bekerja maupun tidak bekerja

berhubungan signifikan positif dengan p<0.01 dengan aturan sarapan

keluarga dan ketersediaan waktu ibu dalam penyediaan pangan

sarapan.

Norma dan nilai dalam keluarga berlaku sebagai tata tertib

hubungan antar keluarga. Sebuah keluarga juga berlaku kebiasaan

tertentu yang biasa disebut kebiasaan keluarga, misalnya sebuah

keluarga mempunyai kebiasaan sarapan dengan ansi dan lauk pauk

dan secara umum semua anggota keluarga melakukan sarapan. Makan

bersama keluarga biasanya dilakukan pada saat sarapan atau makan

malam. Aturan sarapan yang teratur didalam keluarga akan

menyebabkan kebiasaan sarapan yang baik. Ibu memiliki peranan

yang besar terhadap pembentukan kebiasaan sarapan makan anak di

rumah karena ibu yang mempersiapkan makanan, mengatur menu,


78

menyiapkan hidangan, dan mendistribusikan makanan, serta

mengajarkan tata cara makan kepada anak Suku melalui sistem sosial

budaya mempunyai pengaruh terhadap apa, kapan, dan bagaimana

makanan dikonsumsi oleh keluarga. Kebiasaan makan keluarga

dipengaruhi pula oleh aturan yang didasarkan kepada adat istiadat dan

agama (Pearson et al, 2009 dalam Sari, 2013).

Khomsan (2002) menyatakan bahwa apabila ibu memiliki peran

ganda yakni tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai

pencari nafkah keluarga, maka terdapat perbedaan dalam

pembentukan kebiasaan makan anak. Peranan ibu dalam pembentukan

kebiasan sarapan pada anak sangat menentukan karena ibu terlibat

langsung dalam penyediaan makanan di rumah tangga. Ibu yang

bekerja seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat untuk membuat

sarapan.

b. Gambaran pembuat sarapan di rumah sampel.

Secara umum pada tabel 18, sarapan remaja putera di kabupaten

Jeneponto dibuat oleh ibu (75.2%). SMA Negeri 9 Jeneponto 65.7%

dibuat oleh ibu dan begitupula di MAN Binamu sebanyak 78.3%

sarapan dirumah dibuat oleh ibu. Dalam beberapa kondisi, ditemukan

bahwa sarapan remaja putera di kabupaten Jeneponto dibuat oleh

orang lain selain ibu (3.5%) dan diri sendiri (9.3%). Kondisi tersebut

terjadi dikarenakan ibu tidak sempat membuat sarapan di rumah.


79

Penyebabnya adalah ibu malas, terlambat bangun, dan melakukan

kegiatan rumah tangga lainnya seperti menyapu dan mencuci pakaian.

Ada banyak faktor yang menyebabkan ibu tidak dapat membuat

sarapan di rumah. Di antaranya pengetahuan ibu tentang sarapan yang

masih kurang dan pekerjaan ibu. Hasil studi pada siswa SD di

kabupaten Kudus menemukan adanya hubungan antara pengetahuan

ibu dengan kebiasaan sarapan siswa (Rohayati, 2003). Kemudian di

Amerika, hasil penelitian menunjukkan anak yang ibunya bekerja

memiliki kebiasaan sarapan yang rendah dari pada anak yang ibunya

tidak bekerja (Siega et al, 1998). Hal ini didukung dengan penelitian

di Yogyakarta dimana ditemukan bahwa 59.4% sarapan disiapkan

oleh ibu. Penelitian-penelitian tersebut membuktikan bahwa peran ibu

sangat penting terkait ketersediaan makanan di keluarga (Ramadhani

& Auliana, 2014).

Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan

sarapan anak adalah dengan melakukan kampanye Gerakan Sarapan

Sehat Anak Sekolah (Sarasehan) dalam penelitian Fatma (2015). Hasil

penelitian ini berupa peningkatan pengetahuan ibu tentang sarapan

dan perubahan perilaku ibu dalam menyiapkan sarapan dirumah.

Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan ibu tentang

sarapan sehat yang meningkat siginifikan (p=0.001) antara sebelum

(82±2.0) dan setelah gerakan sarasehan (96±2.0).

c. Distribusi pangan sarapan


80

Distribusi pangan sarapan ditingkat keluarga bisa menjadi faktor

intrapersonal remaja putera melewatkan atau melakukan sarapan.

Hasil penelitian pada tabel 19 menunjukkan besar keluarga yang

tinggal bersama sampel di rumah. Sampel dengan proporsi keluarga

lebih dari 4 orang (keluarga besar) sebanyak 44% dan sama dengan

sampel dengan proporsi keluarga kurang dari atau sama dengan 4

orang (keluarga kecil) sebanyak 44%.

Besar keluarga adalah sekelompok orang yang terdiri dari ayah,

ibu, anak, dan anggota keluarga yang lainnya yang hidup dari

pengeluaran dan sumberdaya yang sama (Sari, 2013). Banyaknya

jumlah anggota keluarga mempengaruhi distribusi pangan keluarga

dan akhirnya mempengaruhi status gizi anggota keluarga (World

Bank, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Sukandar (2007),

menunjukkan hubungan antara besar keluarga, pendapatn, serta

konsumsi pangan. Dimana keluarga miskin dengan jumlah anak

banyak akan lebih sulit dalam memenuhi kebutuhan pangannya jika

dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anak sedikit.

Selain itu, besar keluarga berkaitan dengan pendistribusian

makanan dalam keluarga yaitu pemenuhankebutuhan individu.

Semakin besar keluarga maka semakin kecil peluang terpenuhinya

kebutuhan individu terkait dengan kemampuan keluarga (Sari, 2013).

Meskipun 81.6% sampel dalam penelitian ini mengaku sarapan cukup

untuk seluruh anggota keluarga (Tabel 28) namun itu bukanlah


81

jaminan apakah zat gizi yang diasup juga turut cukup atau tidak.

Berdasarkan hasil studi Pearson et al (2009), sarapan bersama

keluarga berkolerasi besar hubungannya dalam konsumsi sarapan

remaja. Orang tua menjadi contoh teladan yang positif terhadap anak-

naka mereka dengan mendukung kebiasaan makan dan struktur

keluarga harus dipertimbangkan dalam merrancang program untuk

mengenalkan kebiasaan sarapan sehat (Sari, 2013).

Adapun aksesibilitas pangan sarapan di tingkat rumah tangga juga

akan mempengaruhi distribusi pangan di tingkat rumah tangga.

Diketahui bahwa pangan yang dikonsumsi saat sarapan berasal dari

makanan yang tidak habis dikonsumsi saat malam hari. Tidak ada

satupun remaja putera yang mengakui bahwa pangan saat sarapan

(main course) diperoleh dengan cara dibeli. Pangan yang dibeli saat

sarapan dirumah hanyalah roti kemasan dan kue tradisional seperti

pawa, bola-bola, dan barongko.

3. Gambaran sarapan remaja putera di kabupaten Jeneponto.

a. Gambaran frekuensi sarapan remaja putera.

Skipping sarapan mengurangi asupan energi di pagi hari, hal ini

terkait dengan peningkatan prevalensi kelebihan berat badan dan

obesitas. Peningkatan frekuensi sarapan berkorelasi positif dengan

kinerja akademik baik pada remaja pria dan wanita yang sehat di

Korea, tanpa memandang usia, indeks massa tubuh, frekuensi


82

merokok, frekuensi minum, tingkat pendidikan orang tua, status

ekonomi keluarga, frekuensi physical activity (PA) yang kuat,

frekuensi PA moderat, frekuensi latihan kekuatan otot, dan tingkat

stres mental (So, 2013).

Berdasarkan tabel 20, diketahui bahwa terdapat 19.9% remaja

putera di kabupaten Jeneponto yang tidak pernah sarapan. Kemudian,

SMA Negeri 9 Jeneponto memiliki siswa yang setiap hari sarapan

lebih tinggi dari MAN Binamu yaitu 45.7% dan 43.4% dari sampel di

masing-masing sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Wi-Young So

(2013) baru-baru ini, yang menunjukkan bahwa beberapa penelitian

telah melaporkan jika konsumsi sarapan dikaitkan dengan beberapa

aspek fungsi otak, seperti aktivitas jaringan saraf dan kinerja kognitif.

Karena sarapan penting untuk perkembangan otak pada remaja,

sarapan berkualitas tinggi sangat disarankan. Menariknya dari

penelitian Wi-Young So (2013) ini juga ditemukan bahwa remaja

laki-laki yang setidaknya melakukan sarapan lima hari per minggu

menunjukkan keterkaitan terhadap kinerja akademik di sekolah.

Berbeda dengan remaja perempuan yang hanya sarapan dua hari per

minggu untuk menunjukkan keterkaitan positif terhadap kinerja

akademik di sekolah. Meskipun belum ada penelitian lebih lanjut

terkait masalah ini namun kesimpulan awal dapat ditarik bahwa laki-

laki harus lebih sering sarapan jika ingin memiliki kinerja dalam

akademik yang baik.


83

Kemudian berdasarkan data pada tabel 21, diketahui bahwa

63.7% remaja putera di kabupaten Jeneponto melakukan sarapan di

waktu 06:00 hingga 06:59. Kemudian diketahui pula bahwa terdapat

5% remaja putera yang sarapan saat jam pelajaran dikarenakan guru

yang mengajar sering terlambat dan kadang remaja putera

meninggalkan kelas secara diam-diam untuk sarapan di kantin.

Jika merujuk pada pedoman gizi seimbang (PGS) yang

dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI (2014), waktu sarapan

ideal adalah sebelum pukul 09.00. Namun beberapa literatur

menunjukkan waktu yang berbeda. Pendapat Aranceta et al (2001)

dalam Monteiro et al (2017) yang menentukan sarapan berdasarkan

waktu konsumsi dengan pertimbangan sarapan sebagai asupan

makanan padat atau cair antara pukul 6 hingga 10 pagi pada hari kerja

dan pukul 6 hingga 11 pagi pada akhir pekan atau hari libur. Affenito

et al (2005) dalam Monteiro et al (2017) pun menentukan sarapan

berdasarkan dengan waktu konsumsi. Monteiro et al (2017)

berpendapat bahwa sebagian besar peneliti mencirikan sarapan

sebagai konsumsi makanan apapun antara pukul 5 sampai 10 pagi

pada hari kerja dan antara pukul 5 sampai 11 pagi pada hari libur.

Hanya saja ada pendapat yang berbeda dari Matthys et al (2007)

dalam Monteiro et al (2017) yang mendefinisikan sarapan sebagai

makanan yang dimakan pertama pada hari itu.


84

Jika pada paragraph sebelumnya beberapa referensi mengatakan

bahwa waktu sarapan dimulai pada pukul 5 hingga 10 pagi atau

hingga pukul 11 pagi, maka referensi lain mengatakan hal yang

berbeda. Teori Human Body Clock yang ditulis dalam

holistichealthlibrary.com bahwa para ilmuwan china telah mengamati

hal ini selama ratusan tahun. Temuan tersebut menunjukkan bahwa

waktu kerja perut seseorang dimulai pukul 7 hingga pukul 9 pagi. Hal

ini sangat dianjurkan oleh Prof. dr. Soeharsoyo, Sp.Ak agar

mengonsumsi makanan bergizi pada waktu ini. Meskipun belum pada

penelitian lanjutan terkait ini, hal ini bisa dijadikan sebagai acuan

mengapa harus melakukan sarapan sebelum jam 9 pagi.

Berdasarkan tabel 22, diketahui bahwa rumah menjadi tempat

terbanyak yang dijadikan remaja putera di kabupaten Jeneponto untuk

tempat sarapan. Dikarenakan di SMA Negeri 9 Jeneponto yaitu 60%

remaja putera dan MAN Binamu yaitu 79.2% remaja putera atau

sebanyak 74.5% remaja putera di kabupaten Jeneponto melakukan

sarapan di rumah. Lokasi sarapan diperoleh berdasarkan kuesioner

yang ditanyakan langsung kepada sampel. Hasil studi di Australia

mengungkapkan bahwa beberapa anak sekolah yang memiliki

kebiasaan sarapan diperjalanan atau di sekolah umumnya

mengkonsumsi pangan sarapan dengan jumlah kandungan gizi yang

lebih rendah dibandingkan anak sarapan di rumah (Khan, 2005).


85

4. Gambaran intrapersonal, interpersonal, dan sarapan remaja putera

di kabupaten Jeneponto.

Secara umum, terlihat bahwa determinan intrapersonal remaja putera

di kabupaten Jeneponto masih kurang baik. Padahal jika dilihat

determinan interpersonal sudah cukup baik, dimana keluarga telah

menyiapkan sarapan dirumah. Aturan sarapan dirumah pun juga dimiliki

oleh keluarga remaja putera. Jika melihat aspek budaya di kabupaten

Jeneponto, terdapat paham yang berkembang yang dalam bahasa

setempat dikatakan kodi a’lampa punna tassara mi kanrea yang artinya

tidak baik pergi (meninggalkan rumah) jika makanan sudah disajikan.

Menurut masyarakat setempat, pergi setelah makanan tersaji sama saja

menolak rezeki dari Tuhan dan jika menolak rezeki tersebut, maka akan

terkena bahaya. Jika melihat ke perilaku sarapan siswa, dengan adanya

paham ini maka jika keluarga telah menyajikan sarapan di rumah, maka

seharusnya remaja putera akan rutin mengonsumsi sarapan.

Setelah penelusuran lanjut, dominan remaja putera mengakui bahwa

keluarga akan marah jika meninggalkan rumah dalam keadaan makanan

telah tersaji. Meskipun ada pula remaja putera yang tidak peduli dengan

hal itu dikarenakan memilih sarapan di sekolah. Ada pula remaja putera

yang mengaku bahwa keluarga mereka bukan bagian dari penganut

paham tersebut, dalam artian keluarga bukan asli kabupaten Jeneponto

seperti pendatang dari pulau Jawa. Suku melalui sistem sosial budaya

mempunyai pengaruh terhadap apa, kapan, dan bagaimana makanan di


86

konsumsi oleh keluarga. Kebiasaan makan keluarga juga dipengaruhi

oleh adat-istiadat dan agama (Pearson et al., 2009 dalam Sari, 2013).

Tidak hanya itu, setelah penelusuran lanjut dilakukan, ternyata

remaja putera akan sarapan di rumah apabila dipaksa oleh keluarga dan

bukan kemuan dari diri sendiri. Selain itu, remaja putera yang sarapan di

sekolah karena hanya karena lapar. Sehingga meskipun tanpa melalui uji

statistik, tergambarkan bahwa interpersonal siswa memang tidak

memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan kebiasaan sarapan

remaja putera.

C. Keterbatasan Penelitian.

Penelitian dilakukan di area SMA Negeri 9 Jeneponto dan MAN

Binamu, baik di ruang kelas maupun di halaman sekolah. Kendala yang

terjadi saat penelitian adalah peneliti hanya dibiarkan melakukan penelitian

setelah waktu sholat Dhuhur selesai meskipun terdapat kelas yang sedang

tidak belajar atau memasuki jam istirahat. Hal ini membuat peneliti harus

masuk saat siswa sedang lelah dan sulit berkonsentrasi saat mengisi

kuesioner. Hal tersulit di SMA Negeri 9 Binamu adalah ketika peneliti harus

datang kembali ke SMA Negeri 9 Binamu meski hanya satu sampel yang

ingin dicukupkan karena di sekolah ini peneliti mengambil seluruh siswa

putra sebagai sampel. Selain itu, di SMA Negeri 9 Jeneponto juga ditemukan

siswa yang sering mengikuti lomba, sehingga sulit menemui siswa tersebut di

sekolah, namun kondisi itu bisa ditaktisi dengan menunggu siswa tersebut
87

masuk sekolah kembali. Akan tetapi, berbeda dengan siswa yang di drop out

dari penelitian dikarenakan mengikuti lomba dan mengikuti latihan

paskibraka guna memperingati hari jadi kabupaten.


88

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat

disimpulkan bahwa :

1. Pengetahuan tentang sarapan pada siswa di kabupaten Jeneponto berada

kategori baik yaitu sebanyak 73.1%.

2. Kepercayaan tentang sarapan pada siswa di kabupaten Jeneponto berada

kategori tidak percaya yaitu sebanyak 51.8%.

3. Persepsi tentang sarapan remaja putera di kabupaten Jeneponto berada

pada kategori tidak bermanfaat yaitu 53.2%.

4. Sikap tentang sarapan pada remaja putera di kabupaten Jeneponto

didominasi oleh sikap negatif dimana 52.5% remaja berada pada

kategori ini.

5. Ketersediaan sarapan dirumah didominasi oleh kategori sering yaitu

67.4% keluarga remaja putera di kabupaten Jeneponto sering

menyediakan sarapan.

6. Pelaku yang membuatkan sarapan sampel dirumah remaja putera di

kabupaten Jeneponto didominasi oleh Ibu yaitu sebanyak 75.2%.

7. Distribusi pangan sarapan berdasarkan besar keluarga ditemukan bahwa

distribusi pangan sarapan dari kategori keluarga besar (> 4 orang) dan

keluarga kecil (≤4 orang) adalah sama yaitu 44%.

87
89

8. Frekuensi sarapan sampel paling tinggi pada kategori setiap hari yaitu

44% remaja putera di kabupaten Jeneponto.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di atas dan dalam

upaya mengembangkan perilaku gizi seimbang utamanya terkait sarapan,

dikemukakan beberapa saran sebagai berikut.

1. Melihat kondisi intrapersonal remaja putera yang masih banyak berada

pada kategori bawah sementara secara interpersonal sudah cukup baik,

maka dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, khususnya kepada

para guru yang paling dekat dengan siswa disarankan untuk memberikan

pengajaran terkait betapa pentingnya sarapan, sehingga remaja putera

senantiasa berperilaku sarapan yang baik. Apabila nantinya kebiasaan

sarapaan remaja khususnya remaja putera yang tengah berstatus pelajar

tersebut telah baik, maka ini akan menjadi batu loncatan bagi kabupaten

Jeneponto agar memiliki pelajar yang berprestasi. Adapun materi-materi

pembelajaran intrapersonal, dapat melihat lampiran 3 pada penelitian ini.

2. Kepada para pemegang kebijakan dalam pendidikan dan kesehatan,

disarankan beberapa hal sebagai berikut :

a. Dalam rangka usaha mewujudkan generasi muda yang bergizi dan

berprestasi di era gizi holistik ini, hendaknya disediakan suatu

perangkat pendukung berupa aturan sarapan sebelum memulai

pelajaran. Sosialisasi terkait sarapan yang masih kurang di kalangan


90

remaja khususnya remaja putera di kabupaten Jeneponto membuat

intrapersonal remaja putera menjadi rendah.

b. Melakukan pemberdayaan kepada keluarga di rumah dan tenaga

pendidik di sekolah serta memanfaatkan sumber daya pendidikan

lainnya yang ada di daerah untuk dilibatkan dalam penyusunan

upaya memperbaiki intrapersonal sarapan pada remaja putera di

kabupaten Jeneponto agar remaja putera tidak hanya melakukan

sarapan jika disuruh melainkan melakukan sarapan atas kehendak

sendiri.

c. Meningkatkan komunikasi dan konsultasi dengan berbagai pihak

yang dalam hal ini orang tua, kepala sekolah, guru, siswa, akademisi,

budayawan, tokoh agama, dan tokoh masyarakat untuk

mensosialisasikan gagasan, konsep dan tujuan dari pentingnya

sarapan bagi pelajar secara umum dan remaja putera secara khusus.

d. Mengusahakan tersedianya sumber dana, sumber informasi, dan

sarana prasarana pendukung ketercapaian program.

3. Dengan adanya beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, kepada

peneliti lain diharapkan untuk mengadakan penelitian sejenis lebih lanjut

dengan mengambil kuantitas sarapan pada remaja putera dan

menggunakan rancangan penelitian yang lebih kompleks seperti

eksperimen, etnografi, dan lainnya. Sehingga dapat ditemukan hasil yang

lebih optimal dan bisa digeneraliasikan pada wilayah yang lebih luas.
91

DAFTAR PUSTAKA

Aday, L.A., & Llewellyn, J.C., 2006. Designing and conducting health surveys : a
comprehensive guide third edition. San Fransisco : Jossey-Bass.

Adriani, M., & Bambang, W., 2012. Peranan gizi dalam siklus kehidupan edisi
pertama. Jakarta : Prenadamedia Group.

Adolphus, K., Clare, L.L., & Louise, D., 2013. The effects of breakfast on
behaviour and academic performance in children and adolescents. Frountiers in
Human Neuroscience, 7 (425), p. 1-28.

Affenito, S.G., 2007. Breakfast : a missed opportunity. Journal of American


Dietetic Association, [Online]. 107 (4). Abstract from Journal of the Academy of
Nutrition and Dietetics database. http://jandonline.org/article/S0002-
8223(07)00018-1/abstract [diakses pada 13 Januari 2017]

Affinita, A. et al. 2013. Breakfast : a multidiciplinary approach. Italian Journal of


Pediatrics, 39 (44), p. 1-10.

Agusanty, S.F., Istiti, K., & I Made, A.G., 2014. Faktor risiko sarapan pagi dan
makanan selingan terhadap kejadian overweight pada remaja sekolah menengah
atas. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 10 (03), hal. 139-149.

Ahmad, F., 2013. Hubungan status gizi dengan tingkat sosial ekonomi orang
tua/wali murid siswa kelas atas Sekolah Dasar Negeri 3 Jatiluhur kecamatan
Karanganyar kabupaten Kebumen. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Keolahragaan.
Universitas Negeri Yogyakarta, D.I.Yogyakarta.

Almatsier, S., 2002. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Almatsier, S., Susirah, S., & Moesijanti, S., 2011. Gizi seimbang dalam daur
kehidupan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Amrin, S.H., Rahayu, I., & Ulfah, N., 2014. Hubungan kebiasaan sarapan dan
konsumsi suplemen dengan status hemoglobin pada remaja putri di sman 10
makassar. Reporsitory Universitas Hasanuddin [Online]. 24 Sep.
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/11304 [diakses pada 3 Februari
2018]

90
92

Arikunto, S., 2006. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta :


Rineka Cipta.

Australia New Zealand Food Authority (ANZFA), 2001. Standar-standar


keselamatan makanan – syarat-syarat pengawasan suhu. Indonesia : Anzfa
Factsheet.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional [BKKBN], 2007. BKKBN No


:28/HK/-010/B5/2007 tentang visi, misi, dan grand strategi. Jakarta : Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto, 2017a. Indeks pembangunan manusia


kabupaten Jeneponto 2016. Jeneponto : Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto, 2017b. Kabupaten Jeneponto dalam


angka 2016. Jeneponto : Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pinrang, 2017. Kabupaten Pinrang dalam angka
2016. Pinrang : Badan Pusat Statistik.

Badang Pusat Statistik Kabupaten Wajo, 2017. Kabupaten Wajo dalam angka
2016. Wajo : Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2017. Provinsi Sulawesi Selatan
dalam angka 2016. Sulawesi Selatan : Badan Pusat Statistik.

Betteng, R., Damayanti, P., & Nelly, M. 2014. Analisis faktor risiko penyebab
terjadinya diabetes mellitus tipe 2 pada wanita usia produktif di puskesmas
Wawonasa. Jurnal e-Biomedik, 2 (2), hal 404-412.

Briawan, D., Ikeu, E., & Ratu, D.K., 2013. Pengaruh media kampanye sarapan
sehat terhadap perubahan pengetahuan, sikap, dan kebiasaan sarapan anak sekolah
dasar di kabupaten Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan, 8 (2), p. 115-122.

Contento, I.R., 2011. Nutrition education linking research, theory, and practice
second edition. [e-book]. United States of America : Jones and Bartlett Publishers.

Departemen Kesehatan RI., 2005. Pedoman umum gizi seimbang. Departemen


Kesehatan RI : Jakarta.
93

Devi, S., Ali, D., & Setiawan, 2015. Breakfast compotition in junior high school
students. Althea Medical Journal, 2 (4), hal. 525-528.

Dewi, A.N., & Tatik, M., 2014. Hubungan kebiasaan sarapan dengan kadar
hemoglobin pada remaja putri (studi penelitian di smp negeri 13 semarang).
Journal of Nutrition College, 3 (4), hal. 824-830.

Dinas Kesehatan kabupaten Jeneponto., 2014. Profil kesehatan kabupaten


Jeneponto tahun 2014. Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto : Jeneponto.

Erison, M., 2014. Hubungan antara body image dan kebiasaan makan dengan
status gizi remaja di sma padang. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekologi Manusia.
Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.

Ermelena, 2017. Indikator kesehatan sdgs di indonesia. Proc. The 4th Indonesian
Conference on Tobacco or Health, Balai Kartini, Jakarta. 15th May 2017.

Fiore, H., Travis, S., Whalen, A., Auinger, P., & Ryan, S., 2006. Potentially
protective factors associated with healthful body mass index in adolescents with
obese and nonobese parents: a secondary data analysis of the third national health
and nutrition examination survey 1988-1994. Journal of American Dietetic
Association, [online] 106 (1), p. 55-64.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16390667 [diakses pada 13 Januari 2018]

Food Standards Agency, 2017. Avoiding cross-contamination. [Online] (diupdate


18 Desember 2017). https://www.food.gov.uk/safety-hygiene/avoiding-cross-
contamination [diakses pada 21 Mei 2018].

Folta, S.C. et al., 2016. School staff, parent and student perceptions of a breakfast
in the classroom model during initial implementation. Public Health Nutrition, 19
(9), p. 1696-1706.

Galani, M.R., Saifuddin, S., & Alharini, S., 2014. Hubungan karakteristik sosial
ekonomi dan asupan makan pagi dengan status gizi pada anak Sekolah Dasar
Negeri Cambaya kecamatan Ujung Tanah kota Makassar. Reporsitori Universitas
Hasanuddin. [online]. Abstrak dari data base Reporsitori Universitas Hasanuddin.
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/11350 [diakses pada 4 Maret
2018].

Hardinsyah & I Dewa, N.S. (editor), 2016. Ilmu gizi teori dan aplikasi. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
94

Hardinsyah, 2012. Keynote speech for healthy breakfast symposium. [online].


Pergizi Pangan Indonesia. http://pergizi.org/index.php/berita-dan-kegiatan/16-hbs-
simposium.html [diakses pada 13 Januari 2018]

Hardinsyah, 2013. Sarapan sehat salah satu pilar gizi seimbang. Proc. Simposium
Nasional Sarapan Sehat, Krida Bakti Setneg, Jakarta. 8 Januari 2013.

Hermina, Nofitasari, A., & Anggorodi, R., 2009. Faktor-faktor yang


mempengatuhi kebiasaan makan pagi remaja putri di Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, 32 (2), hal. 94-100.

Indrasari, A.P., Mutalazimah, M., Dewi, K., & Ajeng, P.B., 2018. Perception and
quality of breakfast on primary school children. Journal of Nutraceuticals and
Herbal Medicine, 1 (1), hal. 33-39.

Jayanti, S.D., 2015. Hubungan pengetahuan gizi, kebiasaan sarapan, aktivitas


fisik, dan status gizi remaja di SMA X Bogor. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekologi
Manusa. Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.

Kathleen, L.M., & Escott-Stump, S., 2004. Krause’s food, nutrition, & diet
therapy. Philadelphia : Saunders Company.
Kementerian Kesehatan RI, 2010. Riset kesehatan dasar 2010. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI, 2014. Pedoman gizi seimbang. Jakarta : Kementerian


Kesehatan RI.

Khomsan, A., 2000. Tehnik pengukuran pengetahuan gizi. Diktat. Institut


Pertanian Bogor : Jawa Barat.

Khomsan, A.. 2003. Pangan dan gizi kesehatan. Gramedia : Jakarta.

Kral, T.V.E., Linda, M.W., Moonseong, H., & Myles, S.F., 2011. Effect of eating
breakfast compared with skipping breakfast on ratings of appetite and intake at
subsequent meals in 8 to 10 years old children. American Journal of Clinical
Nutrition, 93 (2), p. 284-91.

Khan, A., 2005. The relationship between breakfast, academic performance, and
vigilance in school aged children. M.Ed. tesis. Univ. of Mudorch, Australia.
95

Larega, T.S.P., 2015. Effect of breakfast on the level of concentration in


adolescents. Journal of Majority, 4 (2), hal. 115-121.

Lazzeri, G. et al., 2016. Trends from 2002 to 2010 in daily breakfast consumption
and its socio-demographic correlates in adolescents across 31 countries
particippating in the hbsc study. PLoS ONE, 11 (3), p. 2-13.

Lentini, B., & Ani, M., 2014. Hubungan kebiasaan sarapan dan status hidrasi
dengan konsentrasi berpikir pada remaja. Journal of Nutrition College, 3 (4), hal.
631-637.

Lingga, M., 2011. Studi tentang pengetahuan gizi, kebiasaan makan, aktivitas
fisik, status gizi, dan body image remaja putri yang bersatuts gizi normal dan
gemuk/obes di SMA Budi Mulya Bogor. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekologi
Manusia. Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.

Melinda, D., Rahaju, N., & Sri, L., 2017. Studi komparatif kadar hemoglobin pada
remaja yang sarapan dan tidak sarapan. Jurnal Borneo Cendikia, 1 (1), hal. 70-78.

Michaud, C., Musse, N., Nicholas, J.P., & Mejean, L., 1991. Effect of breakfast
size on short term memory, concentration, mood, and blood glucose. Journal of
Adolescent Health, [Online]. 12 (1). Abstract from Science Direct database.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/019700709190042K?_rdoc=1&
_fmt=high&_origin=gateway&_docanchor=&md5=b8429449ccfc9c30159a5f9ae
aa92ffb [diakses pada 13 Januari 2018]

Muchtar, M., Madarina, J., & Indria, L.G., 2011. Sarapan dan jajan berhubungan
dengan kemampuan konsentrasi pada remaja. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 8 (1),
hal. 28-35.

Mutari, F., 2014. Kebiasaan sarapan, konsumsi buah dan sayur, dan status gizi
siswa sekolah menengah pertama di Bogor. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekologi
Manusia. Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.

Niswah, I., Rizal, M.M.D., Karina, R.E., 2014. Kebiasaan sarapan, status gizi, dan
kualitas hidup remaja SMP Bosowa Bina Insani Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan, 9
(2), hal.97-102.

Nursyafitri, Sirajuddin, & Abdullah, T., 2014. Kebiasaan sarapan dan kemampuan
menghapal al-quran di pondok pesantren moderen Ulul Albab kelurahan Sudiang
Raya kecamatan Biring Kanaya kota Makassar. Media Gizi Pangan, 18 (2).
96

Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat : Prinsip-prinsip. Dasar.


Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S., 2005. Metodologi penelitian kesehatan edisi revisi. Jakarta :


Penerbit Rineka Cipta.

Pearson, N., Biddle, S.J., Gorely, T. 2009. Family correlates of breakfast


consumption among children and adolescents : a systematic review. Appetite,
[Online] 52 (1). Abstract from Science Direct database.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0195666308005370?via%3Dih
ub [diakses pada 3 Februari 2018].

Pertiwi, K.I., Hardinsyah, & Ekadwiyani, K.R., 2013. Konsumsi pangan dan gizi
serta skor pola pangan harapan pada anak usia sekolah 7-12 tahun di Indonesia.
Jurnal Gizi dan Pangan, 9 (2), p. 159-166.

Purnamasari, I., 2013. Pengetahuan dan sikap pada makan pagi dan jajan siswa
kelas XI program studi keahlian tata boga SMK N 3 Klaten. Skripsi Sarjana.
Fakultas Teknik. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Pramesti, A.D.A., 2016. Hubungan kebiasaan makan pagi dan aktivitas fisik
dengan status gizi pada siswi SMA Muhammadiyah 1 Surakarta. Skripsi Sarjana.
Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah.

Ramadhani, A., & Auliana, R., 2014. Kebiasaan sarapan pagi siswa kelas V SDN
Caturnunggal IV Ddepok Sleman Yogyakarta. E-Jurnal Universitas Negeri
Yogyakarta, [Online]. 3 (1). Abstract from E-Jurnal Universitas Negeri
Yogyakarta database. http://journal.student.uny.ac.id/jurnal/artikel/7787/27/821
[diakses pada 21 Mei 2018]

Reeves, S., Lewis, G.H., Yvone, M.M., & Jörg, W.H., 2013. Breakfast habits,
beliefs, and measures of health and wellbeing in a nationally representative uk
sample. Appetite. 60 (1), p. 51-57.

Rizkyta, T., & Tatik, M., 2014. Hubungan kebiasaan sarapan dengan kadar
glukosa darah remaja puteri (studi penelitian di SMP Negeri 13 Semarang). Jurnal
of Nutrition College, 3 (4), hal. 723-729.

Rinanti, O.S., 2016. Perbedaan asupan karbohidrat dan kebiasaan sarapan


antara status gizi siswa overweight dan non-overweight di SMK 2
Muhammadiyah. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah.
97

Ristiana, S.M., 2009. Hubungan pengetahuan, sikap, tindakan sarapan dengan


status gizi dan indeks prestasi anak sekolah dasar di SD Negeri No.101835
Bingkawan kecamatan Sibolangit Tahun 2009. Skripsi Sarjana. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara.

Rohayati, I., 2003. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kebiasaan sarapan
dan prestasi belajar siswa SD 2 Jepang kecamatan Mejobo kabupaten Kudus.
Skripsi Sarjana. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro, Jawa
Tengah.

Salomon, J.E., 2009. Wisconsin school teachers’ perceptions about breakfast in


the classroom survey findings 2009. [e-book]. United States of America :
University of Winconsin-Extension.
https://fyi.uwex.edu/wischoolbreakfast/files/2009/10/Perceptions-About-
Breakfast-in-the-Classroom-in-Wisconsin11.pdf [diakses pada 13 Januari 2018].

Sari, A.F.I., 2013. Kebiasaan sarapan pada remaja siswi sekolah menengah
kejuruan di bogor. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian
Bogor, Jawa Barat.

Sari, A.F.I., Dodik, B., & Cesila, M.D. 2012. Kebiasaan dan kualitas sarapan pada
siswi remaja di kabupaten Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan, 7 (2), hal. 97-102.

Schlenker, E.D., & Sara, L., 2007. Williams’ essentials of nutrition and diet
therapy. United State of America : Mosby Elsevier.

Sety, L.M., & Darisman, P., 2013. Tingkat asupan energi, protein, kebiasaan
makan pagi, dan prestasi belajar siswa SMP Negeri 7 Kendari. Jurnal Kesehatan,
4 (2), hal. 333-343.

Siega-Riz, A.M., Barry, M.P., & Terry, C., 1998. Trends in breakfast
consumption for children in United States from 1965 to 1991. American Journal
of Clinical Nutrition, 67 (suppl), hal. 7488-568.

Shaw, M.E., 1998. Adolescent breakfast skipping : an australian study.


Adolescent, 33 (132), p. 851-861.

Smith, K.J. et al., 2010. Skipping breakfast : longitudinal associations with


cardiometabolic risk factors in the childhood determinants of adult health study.
American Journal of Clinical Nutrition, 92 (6), p. 1316-25.
98

So, W.Y., 2013. Association between frequency of breakfast consumption and


academic performance in healthy Korean adolescents. Iranian Journal of Public
Health, 42 (1), p. 25-32.

Soekirman, 2000. Ilmu gizi dan aplikasinya. Jakarta : Dirjen Dikti Depdiknas RI.
Sumantri, M., 2014. Modul pertumbuhan dan perkembangan anak. Makassar :
Universitas Terbuka.

Tapper, K., et al, 2008. Development of a scale to measure 9-11 year olds’
attitudes towards breakfast. European Journal of Clinical Nutrition, 62, p. 511-
518.

Tumiwa, E.S., Sisfani, S., & Amatus, Y.I., 2016. Hubungan pengetahuan tentang
sarapan pagi dengan prestasi belajar anak di SD Inpres Talikuran kecamatan
Kawangkoan Utara. E-Journal Keperawatan (eKp), 4 (1).

Ulvie, Y.N.S., 2011. Tingkat jasmani, status gizi, dan asupan zat gizi makan pagi
pada siswa SMP Negeri di kota Yogyakarta. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan
Indonesia, 1 (1), hal. 60-67.

USDA, 2015. Dietary guidelines for americans 2015-2020. 8. United State of


America : United State Department of Agriculture.

Wawan, A., & Dewi. 2010. Teori dan pengukuran pengetahuan sikap dan
perilaku manusia. Yogyakarta : Penerbit Nuha Medika.

World Bank, 2006. Repositioning nutrition as central to evelopment, a strategy


for large-scale action. USA : World Bank.

Yusnalaini. 2004. Gizi dan Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Zullig K., Ubbes, V.A., Pyle, J., & Valois, R.F., 2006. Self-reported weight
perceptions, dieting, behaviour, and behaviour eating among hing school
adolescents. Journal of School Health, [Online] 76 (3), p. 87-92.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1746-1561.2006.00074.x/full.
[diakses pada 13 Januari 2018].

Anda mungkin juga menyukai