Anda di halaman 1dari 26

Hiperglikemia

Portofolio Medik
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Internship Dokter Indonesia

Disusun oleh

dr. Muchammad Kemal Irhamsyah

Pembimbing

dr. Sri Sunarti, SpPD

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP KEMENKES

RS BEN MARI MALANG

KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR

2019
Nama peserta : dr. Muchammad Kemal Irhamsyah
Nama wahana: RS Ben Mari Malang
Topik: Hiperglikemia
Tanggal (kasus): 20 Mei 2019
Nama Pasien: Ny. N No. RM: 062858
Tanggal presentasi: Nama pendamping: dr. Nyimas Izzati Auliyah
Tempat presentasi: RS Ben Mari Malang
Obyektif presentasi:
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi: Ny. N pendidikan terakhir SLTA
□ Tujuan: Mampu mengetahui, mendiagnosis dini, dan terapi Hiperglikemia
Bahan bahasan: □ Tinjauan pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara membahas: □ Diskusi □ Presentasi □ Email □ Pos
dan diskusi
Data pasien: Nama: Ny N Usia: 61 th Nomor RM: 062858
Nama klinik: RS Ben Mari Telp: (0341) 837666 / 837777 Terdaftar sejak: 2009
Malang
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/ gambaran klinis:
Keluhan Utama : Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS Ben Mari dengan badan lemas disertai pusing memberat
dirasakan sejak pagi pukul 04.00 hari, karena badan terasa lemas pasien pun terjatuh
posisi duduk saat itu, keluhan nyeri dada(-), nyeri perut(-), sesak(-), demam(-), mual
(-), muntah (-), kesadaran menurun (-). BAK dan BAB dalam batas normal.

2. Riwayat pengobatan: pasien rutin menggunakan insulin karena diabetes melitus yang
diderita, namun selama puasa pasien tidak menggunakannya selama 3 hari terakhir.

3. Riwayat kesehatan/ penyakit:


Riwayat alergi makanan maupun obat (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (+) diderita
sejak tahun 2005.
4. Riwayat keluarga:
Ibu pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak 15 tahun terakhir.
5. Riwayat Sosial
Pasien sehari-hari bekerja sebagai IRT
6. Lain-lain:
Status Interna
Keadaan Umum : tampak lemas
GCS : 456
Kesadaran : Compos Mentis
Vital sign : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/ mnt
Suhu : 36ᵒ C
RR : 20x/menit, saturasi 94-95%
GD Stick : High (>500mg/dl?)
Kepala/ leher :
Inspeksi: anemia (-), ikterus (-), sianosis (-), dyspsneu (-)
Palpasi: JVP meningkat (-), pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
Thorak :
Paru :
Inspeksi: Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi: Pergerakan dinding dada simetris, krepitasi (-), stem fremitus (+)
Perkusi: sonor/sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler/vesikuler, rh -/-, wh -/-
Jantung :
Inspeksi: ictus cordis (-)
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat, thrill/fremissment (-)
Perkusi: normal
Auskultasi : S1 S2 Tunggal, murmur (-), gallop (–)
Abdomen:
Inspeksi: flat
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : BU (+) N.
Extermitas:
Akral hangat, CRT < 2 detik

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 21-5-2019)

 Hemoglobin : 9,6
 Leukosit : 6.700
 Diff count (Eos/Ba/St/Seg/Lim/Mo) : -/-/-/83/11/6
 Eritrosit : 3.680.000
 MCV : 86,5
 MCH : 26
 MCHC : 30,1
 Trombosit : 239.000
 PCV : 31,8

Diagnosis
Diagnosis Klinis : Hiperglikemia d.t DM type II

Terapi
Non medikamentosa :
 Bedrest
 Diet rendah gula dan cukupi kebutuhan cairan
Medikamentosa IGD
 Infus NS tetes cepat 1Liter, lanjutkan maintenance 30 tpm
 Drip NS 500cc + 20iu Insulin drip dalam 3 jam
 Cek GDS berkala/30 menit

Konsul Dokter Spesialis Penyakit Dalam


Terapi tambahan :
 Inj Levemir 20iu-0-0
 Amitriptiline 1x25mg tab
Monitoring
 Keadaan umum
 GCS dan kesadaran
 Vital sign (tekanan darah, nadi, frekuensi nafas, suhu)
 Keluhan pasien

Edukasi
 Memberitahu pasien dan keluarga pasien tentang keadaan pasien, penyakit yang
diderita, dan pengobatan yang diberikan.
 Memberitahu tentang prognosis penyakit yang diderita.
 Menginfomasikan pasien dan keluarga tentang pencegahan kondisi tersebut terulang
kembali
 Jika pasien diijinkan KRS, pasien harus rajin kontrol dan meminum obat secara teratur.

Prognosis
Bonam

Follow up harian
Hari/Tgl Subjektif Objektif Assesment Planning
Senin, 20 Pasien datang ke KU : cukup Diagnosis : Terapi:
Mei 2019 IGD RS Ben Vital Sign: Hiperglikemia - Infus NS
Mari dengan TD: 120/80mmHg d.t DM type II tetes cepat
badan lemas Nadi : 80 x/menit 1L, lanjutkan
disertai pusing RR: 20x/m 30 tpm
memberat Temp ax: 36 0C - Inj Rapid
dirasakan sejak acting insulin
pagi pukul 04.00 Status generalis: 10iu
hari, karena K/L: a/i/c/d -/-/-/-
badan terasa Thorax : P.o
lemas pasien - Pulmo: dbn Amitriptiline
pun terjatuh - Cor: dbn
posisi duduk Abdomen: dbn 1x25mg tab
saat itu, Ekstremitas: dbn
dirasakan nyeri Monitoring:
pada punggung - Vital sign
belakang - Keluhan
sebelah kiri pasien
.akibat terjatuh - GDS
berkala/30
menit

Selasa, 21 Nyeri punggung KU : cukup Diagnosis : Terapi:


Mei 2019 berkurang, Vital Sign: Hiperglikemia - Infus NS 30
lemas TD: 110/80mmHg d.t DM type II tpm
berkurang, Nadi : 92x/menit - Inj Levemir
pusing RR: 20x/m
20iu-0-0
.berkurang Temp ax: 36,4 0C

Status generalis: P.o


K/L: a/i/c/d -/-/-/- Amitriptiline
Thorax :
1x25mg tab
- Pulmo: dbn
- Cor: dbn
Abdomen: dbn Monitoring:
Ekstremitas: dbn - Vital sign
- Keluhan
Lab : pasien
HB : 9,6 - GDS serial /
Leukosit : 6.700 8jam
RBC : 3.680.000
Trombosit : 239.000
HCT : 31,8%
MCV : 86,5
MCH : 26
MCHC : 30,1
GD I/II : 300/308

Rabu, 22 Nyeri punggung KU : cukup Diagnosis : Terapi:


Mei 2019 berkurang, Vital Sign: Hiperglikemia - Infus NS 30
lemas TD: 110/70mmHg d.t DM type II tpm
berkurang, pusig Nadi : 86x/menit - Inj Levemir
.erkrang RR: 18x/m
20iu-0-0
Temp ax: 36,5 0C

Status generalis: P.o


K/L: a/i/c/d -/-/-/- Amitriptiline
Thorax :
1x25mg tab
- Pulmo: dbn
- Cor: dbn
Abdomen: dbn Monitoring:
Ekstremitas: akral - Vital sign
hangat CRT <2dtk - Keluhan
pasien
- GDS serial /
8jam
Hasil pembelajaran:
Pembahasan :

Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa dalam darah
melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas penyakit diabetes
mellitus (DM), meskipun juga mungkin didapatkan pada beberapa keadaan yang lain. Saat ini
penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan
prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi
adanya peningkatan jumlah penyandang DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan
global. Pada buku pedoman ini, hiperglikemia yang dibahas adalah yang terkait dengan DM
tipe-2. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada
tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan
International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang
DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan mengacu pada pola
pertambahan penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk
yang berusia diatas 20 tahun.

Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen
Kesehatan, menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi DM di daerah urban untuk usia di atas 15
tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar
di Propinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi
toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di
Propinsi Papua Barat dengan rerata sebesar 10.2%.’

Data-data diatas menunjukkan bahwa jumlah penyandang DM di Indonesia sangat besar.


Dengan kemungkinan terjadi peningkatan jumlah penyandang DM di masa mendatang akan
menjadi beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter
spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada.

Penyakit DM sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia dan berdampak
pada peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar. Oleh karenanya semua pihak, baik
masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut serta secara aktif dalam usaha
penangglukosangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan.

Peran dokter umum sebagai ujung tombak di pelayanan kesehatan primer menjadi sangat
penting. Kasus DM sederhana tanpa penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh dokter umum
di pelayanan kesehatan primer. Penyandang DM dengan kadar glukosa darah yang sulit
dikendalikan atau yang berpotensi mengalami penyulit DM perlu secara periodik
dikonsultasikan kepada dokter spesialis penyakit dalam atau dokter spesialis penyakit dalam
konsultan endokrin metabolik dan diabetes di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi di
rumah sakit rujukan. Pasien dapat dikirim kembali kepada dokter pelayanan primer setelah
penanganan di rumah sakit rujukan selesai.

DM merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur hidup. Pengelolaan


penyakit ini memerlukan peran serta dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga kesehatan lain.
Pasien dan keluarga juga mempunyai peran yang penting, sehingga perlu mendapatkan edukasi
untuk memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan
penatalaksanaan DM. Pemahaman yang baik akan sangat membantu meningkatkan
keikutsertaan keluarga dalam upaya penatalaksanaan DM guna mencapai hasil yang lebih baik.
Keberadaan organisasi profesi seperti PERKENI dan IDAI, serta perkumpulam pemerhati DM
yang lain seperti PERSADIA, PEDI, dan yang lain menjadi sangat dibutuhkan. Organisasi
profesi dapat meningkatkan kemampuan tenaga profesi kesehatan dalam penatalaksanaan DM
dan perkumpulan yang lain dapat membantu meningkatkan pengetahuan penyandang DM
tentang penyakitnya dan meningkatkan peran aktif mereka untuk ikut serta dalam pengelolaan
dan pengendalian DM.

Saat ini diperlukan standar pelayanan untuk penanganan hiperglikemia terutama bagi
penyandang DM guna mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil guna, serta
dapat menekan angka kejadian penyulit DM. Penyempurnaan dan revisi standar pelayanan
harus selalu dilakukan secara berkala dan disesuaikan dengan kemajuan ilmu mutakhir yang
berbasis bukti, sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi penyandang DM.

I. Definisi, Patogenesis, Klasifikasi

I.1 Definisi

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia


yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

I.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan
sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot,
liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi
glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam
gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang:

1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya untuk
menurunkan HbA1c saja

2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada gangguan
multipel dari patofisiologi DM tipe 2.

3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat


progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan toleransi
glukosa.

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat
organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet (gambar-1)dibawah 38.5
o C.
Gambar-1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2

(Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type 2
Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet)
berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas:

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat
anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan
DPP-4 inhibitor.

2. Liver:

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic
glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang
menekan proses gluconeogenesis.

3. Otot

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di


intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

4. Sel lemak:

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan
proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma.
Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin
di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh
FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.

5. Usus:

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1
(glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau
disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darahsetelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.

6. Sel Alpha Pancreas:

Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan
basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat
sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor
dan amylin.

7. Ginjal:

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa
akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.
Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.

8. Otak:

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang
DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi
dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya
resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis,
amylin dan bromokriptin.
II. Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2

II.1 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan


glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM


perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.

2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP, sehingga harus hati-hati
dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia,
hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang mempengaruhi umur
eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang


diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati


dan makroangiopati.

3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.

Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari
upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara
holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat
lanjutan.

1. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer yang
meliputi:
a. Materi tentang perjalanan penyakit DM.

b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan.

c. Penyulit DM dan risikonya.

d. Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.

e. Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia oral
atau insulin serta obat-obatan lain.

f. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).

g. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.

h. Pentingnya latihan jasmani yang teratur.

i. Pentingnya perawatan kaki.

Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:


2. Obat Antihiperglikemia Suntik

Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin dan
agonis GLP-1.

a. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan :

 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik

 Penurunan berat badan yang cepat

 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

 Krisis Hiperglikemia

 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)

 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan


perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :

 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)

 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)

 Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)

 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)

 Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)

Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (Premixed insulin)

Jenis dan lama kerja masing-masing insulin dapat dilihat pada tabel 10.
1. Efek samping terapi insulin

 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia

 Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut DM

 Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin


Dasar pemikiran terapi insulin:

 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu menyerupai pola sekresi insulin yang fisiologis

 Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan

 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap


defisiensi yang terjadi.

 Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal


(puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun
insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal
adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang)

 Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.

 Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan HbA1c
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial
(meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah
prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) yang disuntikan 5-10 menit
sebelum makan atau insulin kerja pendek (short acting) yang disuntikkan 30
menit sebelum makan.

 Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat antihiperglikemia oral


untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat
sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan
karbohidrat dari lumen usus (acarbose), atau metformin (golongan biguanid)

 Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

Cara penyuntikan insulin:

 Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan


arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit

 Padakeadaankhususdiberikan intramuskular atau drip

 Insulin campuran (mixedinsulin)merupakan kombinasi antara insulin kerja


pendek dan insulin kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu,
namun bila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan
perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua
jenis insulin tersebut.

 Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan


dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.

 Penyuntikan insulin dengan menggunakan semprit insulin dan jarumnya


sebaiknya hanya dipergunakan sekali, meskipun dapat dipakai 2-3 kali oleh
penyandang diabetes yang sama, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin.
Penyuntikan insulin dengan menggunakan pen, perlu penggantian jarum suntik
setiap kali dipakai, meskipun dapat dipakai 2-3 kali oleh penyandang diabetes
yang sama asal sterilitas dapat dijaga.

 Kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit


yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit) harus diperhatikan, dan dianjurkan
memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100
unit/ml).

 Penyuntikan dilakukan pada daerah: perut sekitar pusat sampai kesamping,


kedua lengan atas bagian luar (bukan daerah deltoid), kedua paha bagian luar.
Monitoring

Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau secara terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:

1. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah Tujuan pemeriksaan glukosa


darah:

a. Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai


b. Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
c. Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah:
d. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
e. Glukosa 2 jam setelah makan, atau
f. Glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
Diabetes dengan Ibadah Puasa

Bagi penderita DM, kegiatan berpuasa (dalam hal ini puasa Ramadhan) akan
mempengaruhi kendali glukosa darah akibat perubahan pola dan jadual makan serta aktifitas
fisik. Berpuasa dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko terjadinya
komplikasi akut seperti hipoglikemia, hiperglikemia, ketoasidosis diabetikum, dan dehidrasi
atau thrombosis. Risiko tersebut terbagi menjadi risiko sangat tinggi, tinggi, sedang dan
rendah. Risiko komplikasi tersebut terutama muncul pada pasien DM dengan resiko sedang
sampai sangat tinggi (lihat tabel 15).
Pertimbangan medis terkait resiko serta tatalaksana DM secara menyeluruh harus
dikomunikasikan oleh dokter kepada pasien DM dan atau keluarganya melalui kegiatan
edukasi. Jika pasien tetap berkeinginan untuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan, maka ada
beberapa hal yang harus diperhatikan.

1. Satu-dua bulan sebelum menjalankan ibadah puasa, pasien diminta untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh meliputi kadar glukosa darah, tekanan darah,
dan kadar lemak darah, sekaligus menentukan resiko yang akan terjadi bila pasien tetap
ingin berpuasa.

2. Pasien diminta untuk memantau kadar glukosa darah secara teratur, terutama
pertengahan hari dan menjelang berbuka puasa

3. Jangan menjalankan ibadah puasa bila merasa tidak sehat.

4. Harus dilakukan penyesuaian dosis serta jadwal pemberian obat hipoglikemik oral dan
atau insulin oleh dokter selama pasien menjalankan ibadah puasa

5. Hindari melewatkan waktu makan atau mengkonsumsi karbohidrat atau minuman


manis secara berlebihan untuk menghindari terjadinya hiperglikemia post prandial yang
tidak terkontrol. Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi karbohidrat kompleks saat
sahur dan karbohidrat simple saat berbuka puasa, serta menjaga asupan buah, sayuran
dan cairan yang cukup. Usahakan untuk makan sahur menjelang waktu imsak (saat
puasa akan dimulai).

6. Hindari aktifitas fisik yang berlebihan terutama beberapa saat menjelang waktu berbuka
puasa.

7. Puasa harus segera dibatalkan bila kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dL (3.3
mmol/L). Pertimbangkan untuk membatalkan puasa bila kadar glukosa darah kurang
dari 80 mg/dL (4.4 mmol/L) atau glukosa darah meningkat sampai lebih dari 300 mg/dL
untuk menghindari terjadi ketoasidosis diabetikum.

8. Selalu berhubungan dengan dokter selama menjalankan ibadah puasa.

Daftar Pustaka :

1. International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition,


International Diabetes Federation (IDF). 2013.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta. 2011.
3. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013.
4. Executive summary: Standards of medical care in diabetes--2013, Diabetes Care. 2013,
36 Suppl 1, S4-10.
5. Soewondo, P. Current Practice in the Management of Type 2 Diabetes in Indonesia:
Results from the International Diabetes Management Practices Study (IDMPS), J
Indonesia Med Assoc. 2011, 61.
6. Widyahening, I. S.; van der Graaf, Y.; Soewondo, P.; Glasziou, P.; van der Heijden, G.
J. Awareness, agreement, adoption and adherence to type 2 diabetes mellitus
guidelines: a survey of Indonesian primary care physicians. See
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24755412 for further details.
7. American Diabetes Association, Standards of medical care in diabetes 2014, Diabetes
Care. 2014, 37 (Suppl 1), S14-80.
8. Little, R. R.; Roberts, W. L. A Review of Variant Hemoglobins Interfering with
Hemoglobin A1c Measurement, Journal of Diabetes Scienece and Technology. 2009, 3,
446-451.
9. American Diabetes, A. Executive summary: Standards of medical care in diabetes--
2014, Diabetes Care. 2014, 37 Suppl 1, S5-13.
10. Lipska, K. J.; Bailey, C. J.; Inzucchi, S. E. Use of metformin in the setting of mild-to-
moderate renal insufficiency, Diabetes Care. 2011, 34, 1431-1437.
11. Ovalle, F. Thiazolidinediones: A Review of Their Benefits and Risks See
http://www.medscape.com/viewarticle/444913 for further details.
12. Garber, A. J.; Abrahamson, M. J.; Barzilay, J. I., et al. AACE Comprehensive Diabetes
Management Algorithm 2013, Endocrine Practice. 2013, 19, 327-336.
13. Defining and reporting hypoglycemia in diabetes: a report from the American Diabetes
Association Workgroup on Hypoglycemia, Diabetes Care. 2005, 28, 1245–1249.

Pembimbing Pendamping

dr. Sri Sunarti, SpPD dr. Nyimas Izzati Auliyah

Anda mungkin juga menyukai