Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

LATAR BELAKANG

1.1 Latar belakang


Luka bakar adalah luka yang paling sering dialami oleh manusia
dibandingkan dengan luka lain. Luka bakar dapat terjadi karena adanya kontak
dengan sumber panas ataupun suhu yang sangat rendah, zat kimia, listrik, radiasi
dan cahaya. Berbagai aktifitas sehari-hari yang dilakukanpun dapat menjadi
penyebab terjadinya luka bakar misalnya kecelakaan yang menyebabkan
meledaknya kendaraan, memegang peralatan dalam keadaan panas sewaktu
memasak, tersengat arus listrik ataupun karena sebab lainnya (Azhari, 2012).
Luka bakar telah menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang
bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 195.000 orang per tahun.
Berdasarkan angka kejadian di Amerika Serikat luka bakar menjadi penyebab
kematian terbesar yang setiap tahunnya sejumlah 2,5 juta orang mengalami luka
bakar dan sekitar 12.000 orang meninggal dunia yang disertai cedera inhalasi.
Menurut World Fire Statistics Centre pada tahun 2003 sampai 2005 mengenai
terjadinya luka bakar negara dengan prevalensi terendah yaitu Singapura dengan
persentase 0,12% per 100.000 orang. Dan yang tertinggi adalah Hongaria dengan
persentase 1,98% (Artawan, 2013 dan Adhy dkk, 2014:386).
Tujuan penatalaksanaan luka bakar di unit gawat darurat yaitu untuk
mempertahankan jaringan yang ada, mencegah infeksi, menghentikan proses luka
bakar dan mempertahankan jalan pernapasan dan sirkulasi (Pamela, 2011: 187).
Pasien dengan cedera luka bakar dianggap sebagai pasien trauma multiple
dikarenakan efek fisiologik dari luka bakar pada sistem organ dan seringkali
pasien juga mengalami cedera traumatik. Oleh karenanya asuhan keperawatan
komprehensif yang diberikan ketika terjadi luka bakar merupakan hal penting
untuk pencegahan kematian dan kecacatan. Sehingga penting bagi perawat untuk
memiliki pengertian yang jelas tentang perubahan yang saling berhubungan pada
semua sistem tubuh setelah terjadinya cedera dan motivasi terhadap dampak
emosional dari cedera pada korban luka bakar dan keluarganya.

1
2

1.2 Rumusan masalah


Dari latar belakang di atas maka rumusan masalahhnya adalah :
1.2.1 Bagaimana penerapan hasil penelitian dalam asuhan keperawatan luka
bakar…..?

1.3 Tujuan penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui penerapan hasil penelitian dalam asuhan keperawatan
luka bakar
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hasil Penelitian


Pengkajian dilakukan pada tanggal 25 Mei 2015 pukul 11.45 WIB dengan
nama Tn. A, umur 19 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama Islam, alamat Pati,
pendidikan SMA, pekerjaan bongkar pasang sound dengan penanggungjawab Tn.
H, jenis kelamin laki-laki, agama Islam, alamat Pati, pendidikan SD yang
merupakan ayah pasien dan memiliki pekerjaan yang sama dengan pasien. Pasien
datang melalui IGD pada pukul 11.15 WIB kemudian dilakukan pemeriksaan dan
di dapatkan perhitungan ukuran berdasarkan metode Rule Of nine area luas luka
sebesar 46% (18% kaki kanan + 18% kaki kiri + 1% genitalia + 9% area perut).
Selain itu pasien juga langsung mendapat terapi infus RL 30tpm, injeksi
Ceftriaxon 1x1 gram, Ranitidin 1x1 miligram dan Ketorolax 1x1 miligram. Dari
hasil pemeriksaan didapatkan data tanda vital dengan tensi 130/70mmHg, nadi
98x/menit, suhu 38,80 Celcius, RR 24x/menit, status kesadaran compos mentis,
konjungtiva anemis, sklera ikterik, mukosa bibir kering, CRT 3 detik dan turgor
kulit menurun pada area non luka serta kerusakan integritas kulit pada area luka
bakar. Untuk pengkajian airway didapatkan hasil bebasnya jalan nafas karena luka
bakar tidak mencapai area inhalasi pasien. Pada pengkajian breathing didapatkan
hasil pernafasan yang adekuat dengan data RR 24x/menit dengan irama teratur
tanpa suara wheezing ataupun ronchi. Sedangkan pada pengkajian circulation
didapatkan hasil tensi 130/70mmHg, nadi 98x/menit reguler, suhu 38,80 Celcius,
terdapat masalah kemungkinan syok yang ditandai dengan membengkaknya luka
pada kedua kaki dari ujung jari hingga pangkal kaki, terdapat lekukan ketika
dilakukan palpasi,warna kulit abu pucat, kehitaman, kering dan mengelupas. Hal
tersebut digolongkan triase P2 yaitu gawat tidak darurat. Pasien datang dengan
keluhan lemas, merasa kepanasan dan kedua kakinya membengkak. Luka bakar
meliputi kedua kaki, genitalia sampai perut akibat konsleting listrik ketika
memasang sound. Setelah mendapat perawatan di rumah sakit terdekat pasien
akhirnya pulang namun luka tidak kunjung sembuh selama ± 1tahun dan kedua
kaki pasien bertambah bengkak tetapi pasien tidak merasakan nyeri sehingga

3
4

keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke rumah sakit RSUD RAA


SOEWONDO Pati agar mendapat perawatan. Sebelumnya belum ada keluarga
yang mengalami penyakit seperti yang diderita oleh pasien saat ini dan dari
keluarga mengatakan bahwa pasien beserta keluarga tidak memiliki riwayat
penyakit kronis seperti Diabetes Mellitus ataupun Hipertensi. Keluarga pasien
juga mengatakan bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi apapun baik dari
makanan, minuman ataupun obat-obatan. Berdasarkan analisa terhadap hasil
pengumpulan data didapatkan masalah diantaranya yaitu ketidakefektifan perfusi
jaringan berhubungan dengan edema dan hipovolemia, kekurangan volume cairan
berhubungan dengan kehilangan cairan akibat peningkatan evaporasi, dan
kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan kerusakan jaringan subkutis.

1) Diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan edema dan


hipovolemia
Tindakan keperawatan dilakukan selama 1x30 menit untuk kriteria hasil dari
ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan edema dan hipovolemia
yaitu TTV dalam batas normal(TD: sistole<130, diastol<90 mmHg, S: 36,5-
37,5˚C, RR: 16-24x/menit, HR: 60-100x/menit), menunjukkan perhatian,
konsentrasi dan orientasi.
Intervensi keperawatan dibuat sesuai dengan diagnosa keperawatan yang
ditegakkan pada Tn.A: kaji keadaan umum dan TTV, observasi perubahan pasien
dalam merespon stimulus, batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung.
Implementasi yang dilakukan pada tanggal 25 Mei 2016 jam 12.10 WIB
yaitu mengkaji keadaan umum dan tanda-tanda vital, mengobservasi perubahan
pasien dalam merespon stimulus dan membatasi gerakan pada (kepala, leher dan
punggung). Respon yang didapatkan S: pasien kooperatif, O: masih terdapat
edema pada kedua kaki pasien, CRT 3 detik, TTV (tensi 130/70mmHg, nadi
98x/menit, suhu 38,80C), A: masalah belum teratasi, dan P: lanjutkan intervensi.
Evaluasi yang diperoleh pada jam 12.45 WIB yaitu S: pasien mengatakan
kakinya masih bengkak, O: ekstremitas bawah pasien (kedua kaki) masih
membengkak, CRT 3 detik, TTV (tensi 130/70mmHg, nadi 98x/menit, suhu
38,80C), A: masalah belum teratasi dan P: lanjutkan intervensi.
5

2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan akibat


peningkatan evaporasi
Tindakan keperawatan dilakukan selama 1x30 menit dan diharapkan
kekurangan volume cairandapat terpenuhi dengan kriteria hasil dari yaitu TTV
dalam batas normal, elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, dan
tidak ada rasa haus berlebihan.
Intervensi keperawatan dibuat sesuai dengan diagnosa keperawatan yang
ditegakkan yaitu: monitor status hidrasi (kelembapan membran mukosa dan nadi
adekuat), dorong pasien untuk menambah intake oral, dan kolaborasi pemberian
cairan intravena.
Implementasi yang dilakukan pada tanggal 25 Mei 2016 jam 12.20 WIB
yaitu memonitor status hidrasi (kelembapan membran mukosa dan nadi adekuat),
medorong pasien untuk menambah intake oral, dan melakukan kolaborasi
pemberian cairan infus RL 30tpm. Respon yang didapatkan S: pasien mengatakan
masih merasa panas, O: pasien tampak lemah, mukosa bibir masih tampak kering,
konjungtiva tampak anemis dan turgor kulit pasien masih, A: masalah belum
teratasi, dan P: lanjutkan intervensi.
Evaluasi yang diperoleh pada jam 12.55 WIB yaitu S: pasien mengatakan
masih merasa panas, O: pasien tampak lemah, mukosa bibir pasien tampak kering,
konjungtiva pasien masih anemis dan turgor kulit kering, A: masalah belum
teratasi dan P: lanjutkan intervensi.

3) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan kerusakan jaringan


subkutis
Tindakan keperawatan dilakukan selama 1x30 menit untuk kriteria hasil:
diharapkan temperatur jaringan dalam rentang normal (360C), warna kulit dalam
rentang normal ( tidak kehitaman karena sel kulit mati), dan menunjukkan adanya
regenerasi jaringan kulit luka bakar.
Intervensi: observasi ekstremitas untuk warna, panas, edema, dan luka,
lakukan perawatan luka bakar yang tepat dan tindakan kontrol infeksi, monitor
warna dan temperatur kulit, kolaborasi pemberian obat (Ketorolac 3x1miligram,
6

Ranitidin 2x1miligram dan Ceftriaxone 2x1gram) serta kolaborasi dengan ahli


gizi untuk diet TKTP (tinggi karbohidrat tinggi protein).
Implementasi yang dilakukan pada tanggal 25 Mei 2016 jam 12.30 WIB
yaitu: mengobservasi ekstremitas untuk warna, panas, edema dan luka, melakukan
observasi tanda vital, dan melakukan kolaborasi pemberian obat (Ketorolac
1x1miligram, Ranitidin 1x1miligram dan Ceftriaxone 1x1gram). Respon yang
didapatkan S: pasien mengatakan kakinya masih sulit digerakkan, O:masih
terdapat lekukan ketika dilakukan palpasi ulang, kulit pada area luka masih
tampak kering dan mengelupas, warna kulit pasien masih tampak abu pucat dan
kehitaman, A: masalah belum teratasi, dan P: lanjutkan intervensi.
Evaluasi yang diperoleh pada jam 13.05 WIB yaitu S: pasien mengatakan
kakinya masihsulit digerakkan, O: masih terdapat lekukan saat dilakukan palpasi
ulang pada kulit kedua kaki, kulit pasien masih berwarna abu pucat dan
kehitaman, kulit tampak kering dan mengelupas, A: masalah belum teratasi dan P:
lanjutkan intervensi.

2.2 Pembahasan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. A dengan kasus luka bakar
berdasarkan analisa data yang diperoleh saat pengkajian tanggal 25 Mei 2015
pukul 11.45 WIB adalah ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan
Edema dan hipovolemia, kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan akibat peningkatan evaporasi dan kerusakan integritas jaringan
berhubungan dengan kerusakan jaringan subkutis. Berikut ini adalah pembahasan
dari masing-masing diagnosa :
2.2.1 Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan edema dan
hipovolemia
Apabila luas luka bakar menutupi tubuh >30%, maka perpindahan cairan
akan terjadi, baik pada jaringan yang terbakar atau jaringan yang tidak terbakar.
Edema yang berkembang sebagian besar disebabkan oleh hiponatremia akibat dari
kehilangan protein di dalam jaringan yang terbakar dan luasnya berkurang oleh
kerja substansi vasoaktif yang bersirkulasi. Selain itu cedera panas menurunkan
7

potensial membran sel, membiarkan natrium dan air masuk kedalam sel sehingga
menyebabkan pembengkakan (Mima, 2010).
Pada kasus luka bakar yang disebabkan sengatan listrik akan terjadi
penurunan cardiac output yang diakibatkan oleh penurunan tekanan darah arterial
yang akan mengaktivasi beberapa sistem saraf dan sistem hormonal. Peningkatan
aktifitas sistem saraf simpatis memacu kontraksi miocardium, frekuensi denyut
jantung, dan tonus vena (menimbulkan peningkatan perload). Takikardi dan
peningkatan kontraktilitas miocardium memacu terjadinya iskemik pada pasien
dengan penyakit arteri coroner dan peningkatan preload. Aktivasi sistem saraf
simpatis juga meningkatkan resistensi perifer, jika aktivasi ini sangat meningkat
akan menurunkan aliran darah ke ginjal dan jaringan, sehingga suplai oksigen
menjadi berkurang (Kusmastuti, 2012).
Daerah dengan luka bakar terutama yang melingkar bisa membengkak 7-10
hari setelah perlukaan. Edema dapat menghambat sirkulasi. Elevasikan anggota
gerak untuk membantu mengurangi edema. Untuk mencegah timbulnya
kontraktur akibat luka bakar, sendi harus dijaga berada dalam posisi ekstensi atau
netral selama luka bakar menyembuh (Lia Kartika dan Laura S. Himawan, 2007).
Penjelasan tersebut sesuai dengan implementasi yang diberikan yaitu batasi
gerakan pada kepala, leher dan punggung dengan tujuan untuk mencegah
kontraktur akibat luka bakar.
2.2.2 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan akibat
peningkatan evaporasi
Selama terjadi fase hipermetabolik, insulin akan meningkat, namun
peningkatan level katekolamin, glukagon, dan kortisol akan menetralkan hampir
semua efek metabolik dari insulin. Peningkatan mobilisasi asam amino dan free
fatty acids dari simpanan otot perifer dan jaringan adiposa merupakan akibat dari
ketidakseimbangan hormon-hormon tersebut. Beberapa hormon akan
mengeluarkan substrat yang digunakan untuk produksi energi salah satunyasecara
langsung sebagai trigliserid. Substrat lainnya akan berkontribusi terhadap sintesis
protein di liver, dimana mediator humoral akan meningkatkan produksi reaktan
fase akut. Sintesis protein yang serupa juga terjadi pada sistem imun guna
menyembuhkan kerusakan jaringan. Meskipun fase hipermetabolik ini melibatkan
8

proses katabolik dan anabolik, hasilnya adalah kehilangan protein secara


signifikan, yang ditandai dengan keseimbangan nitrogen negatif dan penurunan
simpanan lemak. Hal ini akan menuju pada modifikasi komposisi tubuh secara
keseluruhan, ditandai dengan kehilangan protein, karbohidrat, dan simpanan
lemak disertai dengan meluasnya kompartemen cairan ekstraselular (Fitri, 2014).
Demam merupakan kompensasi tubuh terhadap adanya infeksi yaitu
dengan bekerjanya sistem imun berupa produksi sel darah putih yang didukung
oleh pirogen. Pirogen mempunyai peranan yang kompleks dalam tubuh manusia
yaitu sebagai pengerah leukosit ke lokasi infeksi dan menimbulkan demam yang
akan membantu membunuh virus .
Penderita luka bakar memerlukan penggantian cairan segera untuk melawan
ketidakseimbangan osmotik akibat kehilangan cairan yang disebabkan evaporasi
akibat meningkatnya suhu tubuh. Bila tersedia, ganti cairan dengan resusitasi
cairan intrevena atau terapi enteral. Formula yang direkomendasikan adalah 4
mililiter cairan RL (Ringer Laktat) kali berat badan pasien (kg) kali setiap persen
total luas permukaan tubuh dengan luka bakar derajat kedua dan ketiga. Volume
ini diberikan dalam 24 jam pertama sejak waktu perlukaan, separuhnya pada 8
jam pertama. Penderita dengan tambahan cedera inhalasi dapat memerlukan
sampai 40-50% cairan lebih banyak. Untuk memperkirakan total luas permukaan
tubuh yang terkena, gunakan luasaan telapk tangan terbuka (jari mengumpul)
untuk setiap 1 persennya (Ledbetter, 2010:8). Pemberian cairan pada Tn.A
adalah infus RL 30 tpm sesuai teori yaitu bertujuan mengganti cairan untuk
melawan ketidakseimbangan osmotik karena kehilangan cairan.

2.2.3 Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan kerusakan jaringan


subkutis
Lapisan hipodermis atau subkutis adalah tenunan pengikat longgar yang
menghubungkan korium dengan bagian-bagian lain dari tubuh. Hipodermis
sebagian besar terdiri dari serat-serat kolagen dan elastin berdasarkan penelitian
oleh Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM pada tahun 2011.
9

Kerusakan yang ditimbulkan pada luka bakar full thickness yaitu kerusakan
seluruh lapisan kulit sehingga kulit berwarna kecoklatan, kasar dan tidak nyeri
(Gurnida, 2011).
Ceftriaxon merupakan golongan antibiotik cephalosporin yang digunakan
secara parenteral. Ceftriaxon bekerja untuk menghambat sintesis dinding sel
bakteri yang menyebabkan lisis bakteri. Besar dosis yang diberikan untuk dewasa
dan anak-anak yang berumur lebih dari 12 tahun sebesar 1-2 gram ceftriaxone
diberikan sekali sehari (setiap 24 jam). Pada kasus yang parah atau infeksi yang
disebabkan oleh organisme cukup sensitif, dosis dapat dinaikkan menjadi 4 gram,
diberikan sekali sehari. Untuk pemberian melalui injeksi intravena, ceftriaxon-
AFT 500 mg dilarutkan dengan air steril dalam 5ml, atau ceftriaxon-AFT 1 g
dalam 10 ml. Pemberian intravena harus diberikan selama 2-4 menit. Hal tersebut
sesuai dengan implementasi yang diberikan pada Tn.A yaitu injeksi Ceftriaxon
1x1 gram. Pemberian dosis sebesar 2x1 gram sudah sesuai dalam teori karena usia
Tn.A adalah 19 tahun. Kegunaan dari injeksi pada Tn.A adalah untuk mencegah
adanya infeksi atau sepsis pada luka bakar sesuai dengan fungsi kerjanya
(Pharmaceuticals, 2016).
Ketorolac merupakan obat non steroid anti inflamasi (NSAID). Efek dari
ketorolac ini adalah menghambat biosintesis prostaglandin dan memberikan efek
anti inflamasi. Pada pasien dewasa ketorolac diberikan dosis 30 mg ketorolac
tromethamine/dosis secara injeksi intravena. Efek analgesik ketorolac selama 2-3
jam tergantung pada dosis yang diberikan (Pharmaceuticals, 2016). Hal tersebut
sesuai dengan kondisi pasien yang mengalami pembengkakan pada kaki sehingga
ketorolac dapat mencegah peradangan pada luka bakarnya.
Pada pemberian injeksi ranitidin 1x1 miligram merupakan obat anti
histamin yang digunakan untuk mengurangi produksi asam lambung. Ranitidin
injeksi intravena ditoleransi dengan baik pada tingkat dosis sampai dengan 100
mg 4 kali sehari. Ranitidin diindikasikan untuk pengobatan ulkus duodenum,
ulkus lambung jinak, refluks esofagitis, dan kondisi lain dimana terjadi
peningkatan asam lambung seperti induksi lesi, baik ulkus dan erosi, gejala
gastrointestinal, profilaksis perdarahan berulang dari perdarahan ulkus, termasuk
pencegahan asam aspirasi syndrom (Kline, 2015).
10

Pasca trauma pasien luka bakar proses glukogenesis akan terus berlangsung.
Asam amino yang dihasilkan dari katabolisme protein di otot diambil oleh liver
dalam jumlah besar akan lebih digunakan untuk memproduksi glukosa daripada
digunakan sebagai bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan energi. Kebutuhan
energi akan disediakan oleh cadangan lemak (sekitar 80-90%). Pasien dengan luka
bakar berat mengalami empat kali peningkatan ambilan glukosa oleh ekstremitas
yang terkena luka bakar. Pada saat yang sama area yang terbakar memproduksi
sejumlah besar laktat yang merupakan hasil dari respirasi anaerobik sel. Laktat ini
akan dikembalikan ke liver untuk proses glukoneogenesis, dalam siklus Cori. Satu
mol glukosa menghasilkan 2 ATP melalui glikolisis tetapi melalui
glukoneogenesis membutuhkan 3 ATP. Hal ini menambah peningkatan laju
metabolisme berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2014:88). Dari
uraian tersebut pemberian berupa injeksi Ranitidin diperlukan sebagai terapi untuk
mencegah ulkus akibat peningkatan asam lambung.
Pengobatan yang diberikan yaitu setelah resusitasi cairan diberikan, maka
obat antibiotik dapat dititrasi dalam dosis intravena. Tekanan darah, denyut nadi,
tingkat pernapasan, dan keadaan kesadaran harus dipantau setiap saat. Jadi,
berdasarkan uraian tersebut pemberian implementasi observasi tanda-tanda vital
sudah tepat sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Stander (2011:29).
Pemberian diet tinggi protein yang dilakukan pada penderita luka bakar
harus meningkatkan jumlah asupan protein dalam diet karena protein dapat
membantu membangun dan memperbaiki kulit. Diet tinggi protein juga menjaga
kesehatan untuk melawan infeksi. Makanan kaya protein antara lain: susu,
yoghurt, dadih, keju, daging, kacang-kacangan, keledai (tempe/tahu), lentil, buah
kering, dan kacang polong (Ledbetter, 2010:9).

2.3 Keterbatasan Penelitian


1) Ketersediaan alat yang terbatas dimana pada kasus luka bakar yang
disebabkan oleh sengatan arus listrik dapat menyebabkan gangguan pada jantung
berupa penurunan curah jantung sehingga diperlukan pemasangan alat monitor
jantung otomatis untuk mengobservasi perkembangan status tanda vital pasien
tetapi di ruangan jumlah alat tidak memadai.
11

2) Riwayat pemeriksaan medis pasien tidak disertakan ketika pasien dibawa


oleh keluarga kerumah sakit sehingga perlu dilakukan pemeriksaan ulang berupa
pemeriksaan EKG (elektro kardio gram) tetapi diruang instalasi gawat darurat
tidak dilakukan padahal hal tersebut sangat penting dalam penegakan diagnosa
dimana pasien beresiko mengalami syok yang ditandai dengan adanya edema
pada kedua kaki pasien.
3) Pemeriksaan laboratorium sangat penting tetapi hasil pemeriksaan belum
didapatkan dalam penegakan diagnosa pada kasus pasien yang kedua kakinya
membengkak sejak 1 tahun yang lalu dan tidak kunjung sembuh, pada luka
terdapat lekukan ketika dilakukan palpasi serta pasien mengalami hipertermi yang
merupakan tanda adanya infeksi. Adanya infeksi dapat dipastikan melalui jumlah
leukosit dari pemeriksaan laboratorium tersebut.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengkajian dilakukan pada tanggal 25 Mei 2015 di ruang Instalasi Gawat
Darurat. Pengkajian meliputi data umum, keadaan umum, pengkajian primer dan
pengkajian sekunder. Dari pengkajian tersebut didapatkan diagnosa
ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan edema dan hipovolemia,
kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan akibat
peningkatan evaporasi, dan kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan
kerusakan jaringan subkutis. Intervensi, implementasi, dan evaluasi yang
dilakukan berdasarkan dengan diagnosa keperawatan.

3.2 Saran
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis memperoleh beberapa
saran yang dapat dipertimbangkan sebagai tambahan acuan untuk program
selanjutnya yaitu antara lain:
1. Bagi perawat
Dapat melaksanakan metode triase kegawatdaruratan yang sesuai sehingga akan
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan gawat darurat yang komprehensif
dan meminimalkan masalah yang timbul pada pasien luka bakar.
2. Bagi Mahasiswa
Sebagai sumber materi untuk menambah pengetahuan mahasiswa mengenai
asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien luka bakar di instalasi gawat
darurat dengan harapan dapat meningkatkan kualitas pendidikan sehingga dapat
tercipta tenaga keperawatan yang 12rofessional dan dapat memberikan asuhan
keperawatan secara komprehensif.
3. Bagi penulis lainnya
Untuk menggali secara lebih dalam dan meningkatkan teori serta penemuan yang
mendukung kasus Luka Bakar.

12
DAFTAR PUSTAKA

Pharmaceuticals, AFT, 2016. “Ceftriaxone – AFT”. Takapuna Auckland: Po Box


33 – 203.
Pitoyo, 2013, “Efektivitas Perawatan Luka Bakar Derajat Dua Dalam Antara
Meggunakan Madu dan Minyak Zaitun pada Punggung Tikus Galur
Wistar”, Naskah Publikasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Purwanti dan Winarsih, 2008, “Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Perubahan
Suhu Tubuh Pada Pasien Anak Hipertermia Di Ruang Rawat Inap RSUD
Dr. Moewardi Surakarta”, Jurnal, Berita Ilmu Keperawatan ISSN 19-2697,
Volume 1, No 2, Juni.
Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM, 2011,”Laporan Perkembangan
Hibah Pembelajaran”,e-learning, Yogyakarta.
Riskesdas, 2013, “Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013”, http://www.profil-
kesehatan-indonesia-2013. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta. (diakses pada 25 Maret 2016)
Stander, Melanie, 2011. “The Emergency Management And Treatment Of
Severe Burns”. Emergency Medicine International.
Wasis, S.Kep, Ns, S.Pd. Pedoman Riset Praktis Untuk Profesi Perawat. EGC:
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai