Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian
Trauma abdomen adalah trauma yang melibatkan daerah antara diafragma pada
bagian atas dan pelvis pada bagian bawah. Trauma abdomen dibagi menjadi dua tipe
yaitu trauma tumpul abdomen dan trauma tembus abdomen. (Guillion, 2011).
Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma
tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang berbeda sehingga algoritma
penanganannya berbeda. Trauma abdomen dapat menyebabkan laserasi organ tubuh
sehingga memerlukan tindakan pertolongan dan perbaikan pada organ yang mengalami
kerusakan.
2.2 Klasfikasi
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis:
1. Trauma penetrasi: Trauma Tembak
Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan
luka pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum
yang disebabkan oleh tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam
dikenal dalam tiga bentuk luka yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus
scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum). Luka tusuk
maupun luka tembak akan mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun
terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi
kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa
temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan
kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh
darah atau organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar
ke dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum.
2.. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul
Diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi
(hantaman), tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga kompresi (compression or
concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap
objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan, atau sabuk pengaman yang
salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah hantaman, efeknya dapat
menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera. Hantaman
juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga dan
menyebabkan ruptur. Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam
kavum abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh
pemeriksa, dan akhir-akhir ini kegagalan dalam mengenali perdarahan
intraabdominal adalah penyebab utama kematian dini pasca trauma. Selain
itu, sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat operatif dan perlu
tindakan segera dalam menegakan diagnosis dan mengirim pasien ke ruang
operasi.
2.3 Etiologi
Penyebab trauma abdomen menurut Sjamsuhidajat (1997) antara lain: trauma,
iritasi, infeksi, obstruksi dan operasi. Kerusakan organ abdomen dan pelvis dapat
disebabkan trauma tembus, biasanya tikaman atau tembakan dan trauma tumpul akibat
kecelakaan mobil, pukulan langsung atau jatuh.. Luka yang tampak ringan bisa
menimbulkan cedera eksterna yang mengancam nyawa (Boswick,1996).
2.4 Patofisiologi
Trauma abdomen terjadi karena trauma, infeksi, iritasi dan obstruksi.
Kemungkinan bila terjadi perdarahan intra abdomen yang serius pasien akan
memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah dan
akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi,
maka tanda–tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda
dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan
distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum. Bila syok telah
lanjut pasien akan mengalami tatikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat
leukositosis. Biasanya tanda–tanda peritonitis belum tampak. Pada fase awal perforasi
kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk
kerongga abdomen, maka operasi harus dilakukan (Sjamsuhidajat ,1997).
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis trauma abdomen dapat meliputi: Nyeri (khususnya karena
gerakan), nyeri tekan dan lepas (mungkin menandakan iritasi peritonium karena cairan
gastrointestinal atau darah) distensi abdomen, demam, anoreksia, mual dan muntah,
tatikardi, peningkatan suhu tubuh ( Smeltzer,2001).
2.6 Pathways
2.7 Epidemiologi
Trauma merupakan penyebab kematian tersering ketiga pada populasi umum
setelah penyakit kardiovaskular dan kanker. Pada subgrup pasien usia dibawah 40 tahun,
trauma merupakan penyebab kematian utama (Guillion, 2011). Di Amerika Serikat,
angka korban akibat trauma diperkirakan sekitar 57 juta setiap tahunnya, yang
mengakibatkan sekitar 2 juta jiwa harus dirawat inap dan 150.000 kematian (Elliot dan
Rodriguez, 1996). Dengan beban ekonomi yang disebabkan oleh trauma cukup
signifikan, diperkirakan trauma mengakibatkan hilangnya angka kehidupan sebesar 26%
dan lebih dari separuhnya kehilangan usia produtifnya (Tentillier dan Mason, 2000).
Trauma abdomen, merupakan penyebab kematian yang cukup sering, ditemukan
sekitar 7– 10% dari pasien trauma (Costa, 2010). Di Eropa, trauma tumpul abdomen
sering terjadi, sekitar 80% dari keseluruhan trauma abdomen. Pada tigaperempat kasus
trauma tumpul abdomen, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering dan sering
ditemukan pada pasien politrauma. Diikuti oleh jatuh sebagai penyebab kedua tersering.
Hal ini seringnya berhubungan dengan tindakan percobaan bunuh diri, kecelakaan kerja,
dan kecelakaan saat olahraga (Guillion, 2011).
Di Indonesia, didapatkan bahwa prevalensi cedera secara nasional adalah sebesar
8,2%, dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah
di Jambi (4,5%). Penyebab cedera secara umum yang terbanyak adalah jatuh (40,9%)
dan kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena
benda tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%).
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4
persen) dan terendah di Papua (19,4%) (Riskesdas 2013).
Pada trauma tumpul abdomen, cedera organ intra abdomen yang didapatkan
umumnya merupakan organ solid, terutama lien dan hepar dimana kedua organ ini dapat
menyebabkan perdarahan intra abdomen. Sedangkan untuk organ berongga cukup jarang
terjadi, dan seringnya dihubungkan dengan seat-belt atau deselerasi kecepatan tinggi
(Guillion, 2009; Demetrios, 2011).
2.8 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada evaluasi trauma tumpul abdomen, anamnesis yang detil dan akurat sangat
diperlukan untuk memastikan kemungkinan terjadinya cedera organ intraabdomen
akibat trauma tumpul abdomen (Sugrue, 2000). Informasi diperoleh dari paramedis,
polisi atau yang mendampingi pasien saat transportasi dan juga dari pasien sendiri jika
pasien sadar baik (Richard et al, 2007). Saat melakukan anamnesis, digunakan sistem
MIST, yaitu:
a. Mekanisme cedera
b. Injury (cedera yang didapat)
c. Signs (tanda atau gejala yang dialami)
d. Treatment (penanganan yang telah diberikan) (Sugrue, 2000).
2. Pemeriksaan fisis
Penilaian klinis terhadap pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen
terkadang sulit dilakukan dan tidak akurat, dan dapat ditemukan pada sekitar 50%
pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen (Legome dan Geibel, 2016; Sugrue,
2000). Selain penurunan kesadaran, efek hemoperitoneum dan variasi cedera dari
berbagai variasi gejala cedera organ padat atau berongga membuat interpretasi yang
sulit dilakukan. Adanya cedera lainnya pada pasien multi trauma memberikan
tantangan tambahan (Sugrue, 2000). Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada
pasien yang sadar baik yaitu:
a. Nyeri perut
b. Nyeri tekan pada abdomen
c. Perdarahan gastrointestinal
d. Hipovolemik
e. Tanda-tanda peritonitis (Legome dan Geibel, 2016)
Bagaimanapun, akumulasi darah dalam jumlah yang banyak di intraperitoneum
dan rongga pelvis dapat memberikan perubahan pemeriksaan fisik yang tidak
signifikan. (Legome, Geibel. 2016) Keluhan nyeri perut maupun nyeri tekan pada
abdomen memiliki sensitifitas yang baik untuk mengidentifikasi cedera organ intra
abdomen, tetapi sensitifitas tersebut dapat menurun bila didapatkan penurunan skor
Glasgow Coma Scale (GCS) (Adelgais, 2014).
Evaluasi terhadap cedera penyerta yang berhubungan sangat diperlukan pada
pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen (Sugrue, 2000). Pada pemeriksaan
fisis, ada beberapa tanda yang dapat membantu untuk memprediksi kemungkinan
cedera organ intraabdomen, yaitu :
a. Lap belt marks : berhubungan dengan ruptur usus halus
b. Kontusio dengan steering wheel shaped
c. Ekimosis pada daerah panggul (Grey Turner sign) atau umbilicus (Cullen sign) :
mengindikasikan perdarahan retroperitoneal tetapi biasanya timbul setelah
beberapa jam sampai beberapa hari
d. Distensi abdomen
e. Terdengar bising usus pada daerah thorak : mengindikasikan cedera pada diafragma
f. Bruit pada abdomen: Mengindikasikan adanya penyakit vaskuler yang mendasari
atau adanya fistel arteriovenous fistula.
g. Nyeri tekan lokal atau difus, disertai rigiditas : kemungkinan cedera peritoneum.
h. Krepitasi atau thoracic cage yang tidak stabil mengindikasikan kemungkinan
cedera lien atau hepar (Legome dan Geibel, 2016).
3. Pemeriksaan penunjang
Pasien dengan trauma tumpul abdomen yang berat, organ intra-abdomen harus
dievaluasi dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif dibandingkan hanya
dengan pemeriksaan fisis sendiri bila didapatkan nyeri yang signifikan dan disertai
dengan penurunan kesadaran. Pemeriksaan yang umum digunakan untuk evaluasi
abdomen adalah:
a. Computed Tomography (CT) abdomen
Computed Tomography abdomen merupakan baku emas untuk diagnostik
cedera organ intraabdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan ini
menggunakan kontras intravena, sehingga pemeriksaan ini sensitif terhadap darah
dan dapat mengevaluasi masing-masing organ, termasuk struktur organ
retroperitoneal (Boffard, 2012). Helical CT Scan sagital dan koronal rekonstruksi
berguna untuk mendeteksi cedera diafragma. Selain itu, juga dapat meningkatkan
diagnosis cedera gastrointestinal (Radwan dan Zidan, 2006).
Computed Tomography abdomen memiliki akurasi yang tinggi, mencapai
95% dan memiliki negative predictive value yang sangat tinggi yaitu hamper
100%. Tetapi pasien dengan kecurigaan trauma tumpul abdomen harus dirawat di
rumah sakit selama paling sedikit 24 jam untuk observasi meskipun hasil CT
abdomen negatif. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menentukan derajat
cedera organ padat dan menjadi penuntun untuk penatalaksanaan nonoperatif dan
juga keputusan untuk dilakukan tindakan pembedahan (Radwan dan Zidan, 2006).
Pemeriksaan CT abdomen juga memiliki batasan yaitu diperlukan petugas
yang ahli untuk melakukannya dan dokter spesialis radiologi untuk membuat
interpretasi hasil. Pemeriksaan CT abdomen walaupun sangat sensitif terhadap
organ padat, tetapi tidak menunjukkan adanya robekan pada mesenterium, cedera
pada usus terutama robekan yang kecil, cedera diafragma bila rekonstruksi sagital
dan coronal tidak dilakukan, dan cedera pankreas bila dilakukan segera setelah
trauma. Adanya cairan bebas intraperitoneal pada keadaan tidak adanya cedera
pada organ padat dapat menyebabkan keraguan dimana terdapat 25% lesi pada usus
tidak terdeteksi. Sehingga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan Diagnostic
Peritoneal Lavage (DPL) bila disepakati untuk tatalaksana konservatif (Radwan
dan Zidan, 2006).
Kerugian CT abdomen yaitu perlunya mentransfer pasien ke unit CT scan,
bahaya radiasi yang didaptkan, pasien dapat tidak koperatif atau mengambil posisi
yang baik bila kesakitan atau dengan penurunan kesadaran. Gagal ginjal atau
riwayat syok anafilaktik sebelumnya dapat menghalangi penggunaan CT abdomen.
Pemeriksaan tanpa menggunakan kontras dapat menurunkan sensitifitas CT
abdomen dalam mendiagnosis cedera organ padat. (boutros, Nassef, Ghany, 2015).
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada saat melakukan
pemeriksaan CT abdomen, yaitu:
1) Tidak boleh dilakukan pada pasien dengan status hemodinamik tidak stabil.
2) Jika dari mekanisme cedera dicurigai cedera pada duodenum, maka pemberian
kontras peroral dapat membantu diagnosis.
3) Jika dicurigai cedera pada rektum dan kolon distal dengan adanya darah pada
pemeriksaan rektum, pemberian kontras melalui rektum dapat membantu
(Boffard, 2002).
b. Focused Assessment Sonography for Trauma (FAST)
Focus Assesment Sonography for Trauma awalnya dilakukan di Eropa dan
Jepang pada tahun 80-an yang kemudian diadopsi oleh Amerika Utara pada tahun
90-an, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia. Kuwait merupakan salah
satu negara di Timur Tengah yang pertama kali menggunakan FAST di unit
gawat darurat (Radwan, Zidan, 2006).
Focus Assesment Sonography for Trauma merupakan suatu pemeriksaan
yang mendeteksi ada tidaknya cairan intraperitoeneal. Pemeriksaan ini merupakan
alat diagnosis yang aman dan cepat serta dapat dengan mudah untuk dipelajari.
Pemeriksaan FAST juga sangat berguna bagi pasien dengan hemodinamik tidak
stabil dan tidak dapat dibawa ke ruang CT abdomen, bahkan dapat dilakukan
disamping pasien selama dilakukan resusitasi tanpa harus dipindahkan dari
ruangan resusitasi (Radwan, Zidan, 2006). Pada beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 79 – 100% dan
spesifitas 95 – 100%, terutama pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil
(Boutros, Nassef, Ghany, 2015).
Pada pemeriksaan FAST difokuskan pada 6 area, yaitu perikardium,
hepatorenal, splenorenal, parakolik gutter kanan dan kiri, dan rongga pertioneaum
di daerah pelvis (Boffard, 2002). Pada evaluasi trauma tumpul abdomen, FAST
menurunkan angka penggunaan CT Scan dari 56% menjadi 26% tanpa
meningkatkan resiko kepada pasien. (Branney dkk., 1997). Pemeriksaan ini
akurat untuk mendeteksi darah sebanyak >100 mililiter, namun hasil pemeriksaan
sangat bergantung pada operator yang mengerjakan dan akan terutama pada
pasien obesitas atau usus-usus terisi udara. Cedera organ berongga sangat sulit
untuk didiagnosis dan memiliki sensitivitas yang rendah sekitar 29–35% pada
cedera organ tanpa hemoperitoneum (Boffard, 2002).
Keterbatasan ultrasound harus dipahami ketika menggunakan FAST.
Ultrasound tidak akurat pada pasien obesitas akibat kurangnya kemampuan
penetrasi gelombang sonografi. Selanjutnya, akan sulit juga untuk memvisualisasi
struktur organ intra-abdomen pada keadaan ileus atau elfisema subkutis. USG
sangat akurat untuk mendeteksi cairan intraperitoneal tetapi tidak dapat
membedakan antara darah, urin, cairan empedu atau ascites. Organ
retroperitoneal juga sulit untuk dievaluasi (Radwan dan Zidan, 2006).
Pemeriksaan FAST ini dapat dipertimbangkan sebagai modalitas awal pada
evaluasi trauma tumpul abdomen, tidak invasive, tersedia dengan mudah, dan
membutuhkan waktu persiapan yang singkat. Ultrasonografi berulang pada pasien
trauma tumpul abdomen yang mendapat observasi ketat meningkakan sensitifitas
dan spesifisitas mendekati 100% (Boutros, Nassef, Ghany, 2015).
c. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Diagnostic Peritoneal Lavage adalah suatu pemeriksaan yang digunakan
untuk menilai adanya darah di dalam abdomen. Gastric tube dipasang untuk
mengosongkan lambung dan pemasangan kateter urin untuk pengosongan
kandung kemih. Sebuah kanul dimasukkan di bawah umbilicus, diarahkan ke
kaudal dan posterior. Jika saat aspirasi didapatkan darah (>10ml dianggap positif)
dan selanjutnya dimasukkan cairan ringer laktat (RL) hangat sebanyak 1000
mililiter (ml) dan kemudian dialirkan keluar. Jika didapatkan sel darah merah
>100.000 sel/mikroliter(μL) atau leukosit >500 sel/μL maka pemeriksaan tersebut
dianggap positif. Jika terdapat keterbatasan laboratorium, dapat menggunakan
urine dipstick. Jika didapatkan drainage cairan lavage melalui chest tube
mengindikasikan penetrasi diafragma (Boffard, 2002).
Bila hemodinamik stabil, dilakukan pemeriksaan FAST dan CT abdomen.
Apabila dengan hemodinamik tidak stabil, dilakukan pemeriksaan FAST atau
DPL (Richard et al., 2007). FAST sangat berguna sebagai alat diagnostic untuk
mendeteksi cairan intra-abdomen, sehingga indikasi DPL menjadi lebih terbatas.
Ketiga modalitas diagnostic ini saling melengkapi dan tidak kompetitif.
Kegunaan masing-masing dapat dimaksimalkan ketika digunakan secara tepat
(Radwan, Zidan, 2006)
d. Laparotomi eksplorasi
Laparotomi eksplorasi merupakan modalitas diagnostik paling akhir.
Indikasi dilakukan laparotomi eksplorasi adalah:
1) Hipotensi atau syok yang tidak jelas sumbernya
2) Perdarahan tidak terkontrol
3) Tanda – tanda peritonitis
4) Luka tembak pada abdomen
5) Ruptur diafragma
6) Pneumoperitoneum
7) Eviserasi usus atau omentum.
8) Indikasi tambahan : perdarahan signifikan dari naso-gastric tube (NGT) atau
rectum, perdarahan dari sumber yang tidak jelas, luka tusuk dengan cedera
vascular, bilier, dan usus (Richard dkk., 2007).
Prioritas pembedahan pada saat laparotomi adalah :
1) Menemukan dan mengontrol perdarahan
2) Menemukan cedera usus untuk mengontrol kontaminasi feses
3) Identifikasi cedera ogan abdomen dan struktur lainnya
4) Memperbaiki kerusakan organ dan strukturnya (Richard dkk., 2007)
2.9 Penggunaan Skor Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) pada Pasien
Trauma Tumpul Abdomen (Shojaee dkk., 2014)
Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) adalah suatu sistem skoring
yang digunakan untuk mendeteksi pasien yang dicurigai mengalami cedera organ intra-
abdomen akibat trauma tumpul abdomen. Dimana sistem skoring ini dapat menghemat
waktu, mengurangi penggunaan CT abdomen yang tidak perlu, paparan radiasi, dan
biaya yang digunakan untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya. Hal-hal
yang dinilai dalam BATTS antara lain:
1. Nyeri abdomen, nilai skor 2
2. Nyeri tekan abdomen, nilai skor 3
3. Jejas pada dinding dada, nilai skor 1
4. Fraktur pelvis, nilai skor 5
5. Focus Assesment Sonography for Trauma, nilai skor 8
6. Tekanan darah sistolik <100 mmHg, nilai skor 4
7. Denyut Nadi >100 kali/menit, nilai skor 1
Berdasarkan sistem skoring BATSS, pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu
resiko rendah yaitu jika jumlah skor BATSS kurang dari 8, resiko sedang jumlah skor
BATSS 8-12, resiko tinggi jumlah skor BATSS lebih dari 12. Pada kelompok pasien
dengan risiko sedang diperlukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menegakkan diagnosis yang tepat.
Sistem skoring yang ada saat ini yaitu Clinical Abdominal Scoring System (CASS)
sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan perlunya tindakan laparotomi
segera, dan juga meminimalisir penggunaan pemeriksaan lanjutan pada pasien trauma
tumpul abdomen. Selain itu mengurangi waktu dan biaya yang tidak perlu (Afifi, 2008).
Hal ini juga didukung oleh Avini et al, dimana skoring tersebut memberikan sensitifitas
dan spesifisitas yang baik dalam penentuan laparotomi (Avini, Nejad, Chardoli, &
Movaghar, 2011).
Sistem skoring CASS ini disusun dengan menggunakan sampel dengan rentang
usia yang luas termasuk anak usia 2 tahun pada penelitian Afifi et al. Dimana angka
hipotensi pada rentang usia anak dan dewasa berbeda. Pemeriksaan fisik atau ultrasound
sendiri tidak dapat menggambarkan kondisi pasien. Tetapi kombinasi gambaran klinis
dan hasil Focus Assesment with Sonography in Trauma (FAST), memberikan sensitivitas
dan spesifisitas yang sama dengan CT scan untuk mendiagnosis cedera organ intra-
abdomen (Shojaee et al, 2014).
Blunt Abdominal Trauma Scoring System memberikan sistem skor dengan akurasi
tinggi dalam mendiagnosis cedera organ intra-abdomen pada pasien trauma tumpul
abdomen berdasarkan gambaran klinis seperti riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan
FAST. Diagnosis yang ditegakkan berdasarkan sistem skoring ini sangat mirip dengan
hasil yang didapatkan dari CT scan.
2.10 Trauma Pada Kehamilan
Trauma diperkirakan terjadi sekitar 1 dari setiap 12 kehamilan dan merupakan
penyebab kematian maternal nonobstetrik. Dampak pada fetus akibat trauma
meningkatkan terjadinya abortus spontan, persalinan prematur, rupture uterin (Figueroa
et al., 2013)
Meskipun penilaian awal dan tatalaksana pada pasien hamil prioritas untuk
resusitasi sama dengan pasien pada umumya, terdapat beberapa perubahan anatomi,
fisiologi selama kehamilan yang dapat menurunkan respon terhadap cedera (Knudson
dan Yeh, 2013).
Terjadi perubahan kardiovakular yang normal pada kehamilan yang dapat
menurunkan gejala dan tanda syok. Tekanan darah akan menurun pada trimester pertama
sampai trimester kedua dan kembali ke keadaan sebelum hamil pada trimester ketiga.
Denyut jantung juga meningkat 10 – 15 kali per menit diatas nilai normal. Kontributor
hipotensi maternal adalah sindrom hipotensi supine, dimana saat usia gestasi 20 minggu,
uterus telah mencapai level vena cava inferior yang mengakibakan kompresi saat ibu
posisi supine. Obstruksi ini akan menurunkan cardiac output sebesar 28%, sehingga
menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 30%. Volume
darah meningkat perlahan sejak usia 6-8 minggu sebanyak 45% diatas normal. Dengan
meningkatnya volume darah ini, tanda klinis dari hipotensi maternal akibat perdarahan
dapat terlambat (Bathia dan Cranmer, 2010)
Beberapa perubahan juga pada sistem respirasi selama kehamilan. Saat terjadi
pembesaran uterus, diafragma akan naik 4 cm dan diameter dada bertambah 2 cm,
meningkatkan sudut substrenal sebanyak 50%. Hal ini harus diperhatikan saat melakukan
prosedur thorakostomi atau thorakosintesis (Knudson dan Yeh, 2013).

Anda mungkin juga menyukai