Anda di halaman 1dari 6

A.

Penanganan Anestesi Preoperatif


Tujuan penanganan preoperatif pasien dengan asma yaitu untuk
memaksimalkan fungsi paru pasien tersebut. Evaluasi pasien asma sebelum
tindakan anestesia dan pembedahan sangat penting untuk mencegah ataupun
mengendalikan kejadian serangan asma, baik saat intraoperatif maupun post
operatif. Evaluasi yang dilakukan meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorik, pemeriksaan fungsi paru, analisis gas darah,
dan foto rontgen toraks. Hasil evaluasi akan dipakai untuk menentukan status
fisik praanestesia.1
Pasien disarankan berhenti merokok dua bulan sebelum pembedahan.
Jika pasien memiliki infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka
operasi elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan
napas. Tidak adanya wheezing dan sesak nafas menunjukkan pasien tidak sedang
mengalami serangan asma. Penelitian menunjukan pada asma terjadinya
komplikasi paru meningkat bila pasien masih dijumpai mengi atau arus puncak
eksiprasi < 80% dari nilai prediksi. Risiko terjadinya bronkospasme pada masa
perioperatif rendah bila asma dalam keadaan stabil atau terkontrol dan kalaupun
terjadinya komplikasi biasanya ringan. Oleh karena itu pasien asma yang akan
menjalani operasi diupayakan secepatnya dalam keadaan terkontrol.2
Pengamatan jumlah eosinofil darah berhubungan dengan tingkat inflamasi
dan sensitifitas jalan nafas yang dapat memberikan gambaran mengenai keadaan
penyakit pasien tersebut. Tes faal paru sebelum dan sesudah terapi bronkodilator
dapat dilakukan pada pasien yang menderita asma bronkial yang akan melakukan
operasi elektif. Fisioterapi, hidrasi sistemik, pemberian antibiotik yang tepat serta
terapi bronkodilator dapat memperbaiki komponen-komponen asma yang bersifat
menetap sebelum dilakukan operasi. Foto thorak dibandingkan dengan foto thorak
sebelumnya dapat digunakan untuk membandingkan status dari proses penyakit.
Analisa gas darah diindikasikan apabila ada permasalahan tentang ketepatan
oksigenasi.3
Pengelolaan anestesi pada pasien asma termasuk intubasi dan ekstubasi
sampai terjadi anestesi yang dalam bertujuan untuk menurunkan stimulasi vagal
dan bronkokonstriksi. Pasien dengan bronkospasme yang frekuensi sering harus
diobati dengan preparat bronkodilator yang berisi β-adenergik agonis, dosis terapi
teopilin dan kortikosteroid. Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan
elektrolit perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.2,3

Obat-obat yang direkomendasikan perioperatif


a. Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan bronkodilatasi
melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan
juga neurotransmiter kolinergik.4
1) Obat dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol (ventolin) 2
puffs atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL NaCl setiap
4-6 jam. Salmeterol (serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan
metaproterenol (Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam
atau 0,5mL/2mL NaCl setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan
terapi β-bloker hendaknya β bloker yang tidak menimbulkan spasme
bronkus seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol.4
2) Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin
(adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik obat-
obat ini perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung.
Pemberian intervena dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan pada
pasien bronkospasme. Pada dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2 dominan,
dengan meningkatkan denyut jantung akibat stimulasi betal adrenergik.
Pada dosis tinggi epinefrin, efek alfa adrenergik menjadi dominan, dengan
peningkatan tekanan darah sistemik.4
b. Parasimpatolitik
Mempunyai efek bronkodilatasi langsung dengan memblok kerja asetilkolin
pada second messenger seperti cAMP. Obat-obat ini meningkatkan FEV1 pada
pasien PPOK bila diberikan secara inhalasi.
 Ipratropium bromide, merupakan obat aksi singkat yang diberikan dengan
inhaler dosis terukur atau dengan nebulizer.
 Sulfas atropin, 0,2-0,8 mg perlu diprtimbangkan karena dapat
menyebabkan takikardi.4
c. Metilxantin
Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu enzim
yang bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner obat ini lebih
komplek termasuk pelepasan katekolamin, blokade pelepasan histamin, dan
stimulasi diafragma. Teofilin kerja panjang peroral digunakan pada pasien
dengan gejala nocturnal. Namun teofilin memiliki terapi range yang sempit,
level terapi dalam darah sekitar 10-20g/ml. Level yang lebih rendah mungkin
efektif. Aminofilin merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara intravena.
d. Kortikosteroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap
bronkodilator. Mekanisme kerjanya kemungkinan dengan menurunkan
inflamasi, edema, sekresi mukosa, kontriksi otot polos, stabilisasi membran
mast sel. Meskipun sangat berguna pada eksaserbasi akut, efek klinisnya
membutuhkan waktu beberapa jam. Steroid dapat diberikan melalui inhalasi.
Steroid intravena yang sering digunakan meliputi hidrokortisone 100 mg tiap 8
jam dan metilpredisolon 0,5 mg/kg setiap 6 jam pada asma bronkial dan dosis
lebih besar pada eksaserbasi asma berat. Kortikosteroid dapat meningkatkan
efek langsung pada otot polos, kortikosteroid juga meningkatkan jumlah
reseptor beta 2 adrenergik dan responnya terhadap agonis beta 2 adrenergik.
e. Kromolin, merupakan obat inhalasi yang digunakan untuk profilaksis pada
asma. Bekerja dengan menstabilisasi membran sel mast dan mengumpulkan
pelesan akut mediator bronkoaktif. Obat ini tidak berguna pada serangan akut
bronkospasme.2,4
f. Mukolitik
 Asetilsitein, diberikan melalui nebulisasi, dapat menurunkan viskositas
mukus dengan memecahkan ikatan disulfida pada mukoprotein.4
Tabel 1. Obat-obat yang direkomendasikan perioperatif5
Golongan obat Contoh Rekomendasi catatan
perioperatif
β2 agonis Salbutamol, Diberikan dengan Dosis tinggi dapat
terbutaline, nebulizer menurunkan K+,
salmeterol menyebabkan
takikardi dan
tremor.
Antikolinergik Ipratropium Diberikan dengan
nebulizer
Steroid inhalasi Beclomethasone, Diberikan dengan Jika
budesonide, inhalasi secara Beclomethasone
fluticasone terus-menerus diberikan >1500
mcg/hari akan
menekan fungsi
adrenal.
Steroid oral Prednisolone Dilanjutkan Jika > 10 mg/hari
dengan akan menekan
hydrocortisone IV fungsi adrenal.
atau secara oral (1
mg prednisolone =
5mg
hydrokortisone)
Leukotriene Montelukast, Mulai dengan obat
inhibitor (efek zafirlukast oral
antiinflamasi)
Stabilizer sel mast Disodium Ditruskan dengan
cromoglycate inhalasi
Phosphodiesterase Aminophylline Diberikan jika Efektifitas pada
inhibitor memungkinkan asma masih
diperdebatkan.

Premedikasi
Tujuan utama untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek
bronkonstriksi terhadap iritasi jalan nafas.

a. Benzodiazepin adalah agen yang paling aman untuk premedikasi.


Benzodiazepin efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat
dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada
pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.
b. Narkotik (Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih
yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil.
c. Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika terdapat
sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi.
Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena
tindakan intubasi.
d. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara
teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan
menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1
yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan
bronkokonstriksi.
e. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau
kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80
mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai
proses pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama
glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi
adrenal. Hidrokortison 50-100 mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama
1-3 hari post operasi.
f. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau
Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.
Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium
dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.1,2,4
Daftar pustaka
1. Suhartono, Tambajong, Lalenoh. Penanganan Perioperatif pada Asma.
JBM. 2013;5(1): 10-16.
2. Abidin A, Keliat EN, Sitorus HM. Tatalaksana perioperatif pada penyakit
paru. JURI. 2016;1(2): 1-19.
3. Louis L, Bready R M, Mullins, Swan HN, Smith B. Decision Making in
Anesthesiologi, An Algorithmic Approach. J Mosby Inc. 2000; 3(1):86 –
105.
4. Morgan G.E. Anestesi for patients with Respiratory Disease in Clinical
Anaesthesiology third edition. 2006 : 571-576.
5. Sidemen IGPS. Managemen perioperatif pasien gravida dengan asma berat
yang menjalani sectio caesarea [case report]. Denpasar: FKUNUD/RSUP
Sanglah Denpasar; 2018.

Anda mungkin juga menyukai