Anda di halaman 1dari 10

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Nevus pigmentosus disebut juga nevus nevoseluler dan orang awam biasa
mengenalnya dengan sebutan tahi lalat. Sebenarnya, kata nevus memiliki arti
setiap lesi kongenital yang ada di kulit. Namun, nevus pigmentosus itu sendiri
berarti setiap neoplasma melanosit yang kongenital atau didapat (Robbins,
dkk., 2007). Dalam kondisi tertentu, nevus yang mengalami perubahan
mempunyai risiko 400 kali lebih tinggi untuk menjadi ganas (Casson dan
Colen, 1993; Silver, 2003; Sudiono, 2008).

B. Etiologi

Sel-sel nevus berasal dari neural crests yang berproliferasi abnormal. Hal
tersebut menghasilkan makula yang berwarna coklat kehitam-hitaman.
Melanosit dan sel Schwann juga berasal dari neural crests, tetapi sel nevus
tidak berdiferensiasi menjadi hal tersebut (Shimizu Dermatology, 2013).

C. Epidemiologi

Kebanyakan nevus pigmentosus muncul dari bayi lahir hingga usia 20


tahun, tetapi ada juga yang muncul selama proses perkembangan janin.
Potensi kemungkinan munculnya nevus pigmentosus banyak terjadi pada
mereka yang sering berjemur di terik matahari, pemakaian obat-obat pemutih
kulit, makan makanan cepat saji atau bahan yang mengandung arsen, dan
faktor genetik (Richard, 2013).
Kasus nevus pigmentosus yang berpotensi berkembang menjadi melanoma
maligna terjadi cukup banyak pada 30 hingga 40 tahun terakhir dan terus
meningkat pada US, Kanada, Australia, dan Eropa. Tumor tersebut secara
pesat menjadi masalah utama kesehatan pada daerah dengan paparan sinar
matahari yang tinggi. Degenerasi maligna nevus pigmentosus terjadi pada
pasien di atas 35 tahun (Richard, 2013).

2
D. Faktor Risiko

Selain faktor genetik, faktor-faktor yang berpotensi untuk meningkatkan


resiko munculnya nevus pigmentosus adalah orang-orang yang tinggal di
daerah dengan paparan sinar matahari yang cukup tinggi atau mereka yang
sering berjemur di terik matahari. Kemudian pemakaian obat-obat pemutih
kulit dan kebiasaan memakan makanan cepat saji atau bahan yang
mengandung arsen pun bisa menjadi faktor kemunculan nevus pigmentosus
(Richard, 2013).

E. Tanda dan Gejala

Nevus pigmentosus dapat terjadi di semua bagian kulit tubuh, termasuk


membrana mukosa dekat permukaan tubuh. Lesi dapat datar, papuler, atau
papilomatosa, biasanya berukuran 24 mm, namun dapat bervariasi dari
sebesar peniti sampai sebesar telapak tangan. Pigmentasinya juga bervariasi,
dari warna kulit sampai warna coklat kehitaman (Putra, 2008).
Nevus pigmentosus kongenital merupakan nevus yang terdapat sejak lahir
atau timbul beberapa bulan setelah kelahiran. Menurut ukurannya, nevus
pigmentosus dapat dibagi menjadi: lesi kecil bila diameter nevus lebih kecil
dari 1,5 cm sampai dengan 20 cm dan lesi luas (giant) bila bergaris tengah
lebih dari 20 cm (Putra, 2008).

Gambar 2.1. Nevus Pigmentosus (DermIS, 2013)

3
Pada dasarnya nevus tidak memberikan gejala apa-apa jika memang nevus
itu jinak. Namun kita perlu mengenal tanda-tandanya jika nevus itu ganas,
antara lain (Rata IGA, 1999):
1. Ulserasi (luka) dan perdarahan spontan.
2. Membesar dan warna lebih gelap.
3. Pigmen menyebar dari ke kulit sekitarnya.
4. Disekitarnya ada lesi-lesi yang lebih kecil mengelilinginya.
5. Inflamasi tanpa didahului trauma.
6. Nyeri dan gatal.

F. Penegakkan Diagnosis

1. Anamnesis
Nevus pigmentosus termasuk dalam tumor jinak. Tumor jinak adalah
suatu keadaan di mana sel-selnya tidak memiliki kemampuan untuk
bermetastasis dan akan hilang dengan pengangkatan. Hal ini berbeda
dengan tumor ganas yang mampu bermetastasis, menginfiltrasi jaringan
yang dihadapinya, dan tumbuh kembali. Walaupun tidak mengancam
kehidupan manusia tersebut, keadaan ini tidak seluruhnya baik, karena
tumor jinak terkadang dapat bermutasi atau mendapatkan kemampuan
untuk bermetastasis (Melloni, dkk., 2004).
Tidak ada anamnesis khusus untuk menegakkan diagnosis nevus
pigmentosus. Namun untuk memastikan adanya tanda-tanda jika nevus itu
ganas, maka dapat ditanyakan mengenai ukuran dan warna nevus tersebut.
Hal tersebut perlu untuk mengetahui apakah terjadi pembesaran maupun
perubahan warna. Anamnesis perlu juga untuk mengetahui asal dari nevus
pigmentosus tersebut, apakah sejak lahir ataupun de novo (Argenziano,
dkk., 1998).
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi dan palpasi secara manual bias dilakukan. Pada nevus
pigmentosus, salah satu pemeriksaan mandiri yang bisa dilakukan adalah
ABCD rule, yakni dengan memperhatikan perkembangan asimetrisitas,
batas (border), warna (color), dan diameter dari lesi yang bersangkutan.

4
Jika ditemukan kelainan pada pemeriksaan tersebut, ada indikasi bahwa
nevus tersebut telah berkembang menjadi ganas dan perlu pemeriksaan
lebih lanjut di laboratorium. Dengan melihat hal-hal di atas, inspeksi dan
palpasi saja sebenarnya sudah cukup untuk menegakkan diagnosis karena
tumor-tumor tersebut memiliki gambaran dan gejala khas (American
Cancer Society, 2011).
Pemeriksaan nodus limfa bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
Pada tumor jinak, karena tidak adanya reaksi inflamasi, sistem imun tidak
bereaksi dan ditunjukkan dengan kelenjar limfa yang normal. Hal ini
berbeda dengan kasus keganasan di mana sistem imun dipaksa bekerja
keras dan mengakibatkan pembengkakan. Nodus yang biasa diperiksa
adalah daerah lipatan paha, aksial, atau leher, tergantung lokasi tumor
yang bersangkutan (Tim Penyusun BPP Modul KJP FKUI, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan biopsi kulit adalah hal utama yang biasa dilakukan karena
tidak adanya reaksi imunologis pada tumor jinak. Pada pemeriksaan
biopsi, hal terpenting yang bisa dilihat adalah proliferasi sel-sel yang tidak
normal, tetapi tidak ditemukan adanya reaksi inflamasi, seperti serbukan
sel-sel PMN, limfosit, dan jaringan nekrosis. Hal ini menjelaskan bahwa
tumor jinak bukan merupakan sesuatu yang mengancam tubuh
(threatening), walaupun terdapat kemungkinan untuk menjadi ganas.
(Wolff, dkk., 2008).
Selain pemeriksaan fisik standar, pemeriksaan dermatoskopi juga sering
dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Dermatoskopi (juga dikenal
dengan nama dermoskopi, epiluminescene microscopy atau ELM, atau
surface microscopy) dilakukan dengan menggunakan dermatoskop, alat
yang terdiri atas lensa pembesar, sumber cahaya, dan medium cair di
antara kulit dan dermatoskop tersebut. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
inspeksi. Sebenarnya, teknik ini bertujuan untuk memperjelas bidang
pandang yang tidak bisa dilihat oleh penglihatan normal (Argenziano,
dkk., 1998).

5
Gambar 2.2. Pemeriksaan dengan Menggunakan Dermatoskop
(Cardiff University’s Departement of Dermatology, 2010)

Walaupun terlihat sederhana, penggunaan teknik ini terbukti mampu


meningkatkan akurasi diagnosis (pada melanoma) hingga 27%
dibandingkan dengan mata biasa. Selain digunakan untuk membedakan
tumor jinak dan ganas, dermatoskopi juga bisa digunakan untuk
mendeteksi kelainan lain, baik yang disebabkan oleh agen infeksisus atau
iritan. Untuk meningkatkan akurasi, beberapa perubahan bisa dilakukan,
terutama dengan mengganti sumber cahaya menjadi terpolarisasi. Ahli-ahli
biasanya memakai medium cair untuk mencegah terjadinya bias
(Argenziano, dkk., 1998).

Gambar 2.3. Berbagai hasil pencitraan oleh dermatoskop


(Rosendahl dan Cameron, 2010)

6
Sebenarnya, beberapa teknik lanjutan bisa digunakan untuk mematiskan
diagnosis, terutama jika tumor tersebut hampir tidak bisa dibedakan karena
adanya trauma lain atau atas permintaan pasien sendiri. Pemeriksaan sinar-
X, CT scan, MRI, PET, bone scan, dan teknik scanning lainnya digunakan
untuk memastikan tidak ada metastasis dari tumor tersebut. Namun, teknik
ini sangat tidak disarankan karena selain hasil yang diharapkan negatif
(karena lesi yang akan didiagnosis adalah tumor jinak), dari aspek
ekonomis juga tidak terlalu baik (Tim Penyusun BPP Modul KJP FKUI,
2011).

G. Patogenesis

Nevus pigmentosus dibentuk oleh melanosit yang telah mengalami


transformasi dari sel tunggal yang sangat dendritik (normalnya terselip di
antara sel basal) menjadi sel bulat hingga oval yang tumbuh berkelompok
atau membentuk “sarang”, di sepanjang taut dermoepidermis. Nukleus sel
nevus uniform dan bulat, mengandung nukleolus yang tidak mencolok dan
tidak atau sedikit memperlihatkan aktivitas mitotik. Lesi ini, yang
diperkirakan mencerminkan tahap perkembangan awal pada nevus
pigmentosus, disebut nevus junctional. Akhirnya sebagian besar nevus
junctional tumbuh ke dalam dermis di bawahnya sebagai sarang atau genjel
sel (nevus compound) dan pada lesi lama sarang di epidermis mungkin lenyap
seluruhnya dan menghasilkan nevus dermis murni. Secara klinis, nevus
compound dan nevus dermis sering lebih meninggi daripada nevus junctional
(Robins, dkk., 2007).

H. Patofisiologi

Sel-sel nevus kulit berasal dari neural crests, sel-sel ini membentuk
sarang-sarang kecil pada lapisan sel basal epidermis dan pada zona taut
dermoepidermal (Djuanda, 2011). Sel-sel ini membelah dan memasuki
dermis, lalu membentuk sarang-sarang pada dermis. Nevus pigmentosus
memiliki faktor predisposisi berupa faktor genetik, sinar UV, trauma,
hormonal maupun infeksi virus, namun hal yang sering menjadi komplikasi

7
adalah karena radiasi ultraviolet. Radiasi ultraviolet dapat berperan sebagai
agen inisiator, promotor, karsinogen, dan agen immunosupresi. Fungsi
melanin adalah mengabsorpsi proton ultraviolet, kulit yang sedikit
mengandung melanin lebih rentan terhadap kerusakan ultraviolet. Radiasi
UVA dan UVB diabsorpsi oleh asam deoksiribosanukleat (DNA) yang
mengakibatkan mutasi DNA, proliferasi melanosit, peningkatan deposisi
melanin dalam keratinosit, dan penebalan kulit (Corwin, 2009).
Melanosit memiliki protein anti-apoptotik Bcl-2 berkadar tinggi, sehingga
mutasi mengakibatkan berkurangnya apoptosis dan melanosit yang rusak
akan terus membelah diri dengan sedikit perbaikan atau tanpa perbaikan
DNA sama sekali. Melanosit yang mengalami mutasi menghasilkan faktor
pertumbuhan fibrinogen dasar (basic fibrinogen growth factor, bFGF)
berkadar tinggi yang menstimulasi proliferasi melanosit autoimun.
Peningkatan aktivitas bFGF berhubungan dengan mutasi p53 (Barnhill dan
Llewellyn, 2008). Gangguan cross talk selular oleh reseptor kadherin,
konneksin, dan adhesi mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan dan
diferensiasi sel, apoptosis, dan migrasi sel. Proliferasi melanosit maligna
secara intraepidermal diikuti oleh sarang-sarang sel maligna dan penyebaran
sel tunggal keluar, serta menuruni dermis dan ke lemak subkutan, akibatnya
timbul kulit yang hiperpigmentasi (Corwin, 2009).

I. Gambaran Histopatologi

Pada gambaran histologi dari Nevus pigmentosus didapatkan pembagian


berdasarkan lokasinya (Lever, 2005):
1. Junctional nevus, apabila sel nevus berada di batas antara epitel dengan
jaringan ikat.
2. Intramucosal nevus, apabila sel nevus berada pada jaringan ikat.
3. Compound nevus, apabila sel nevus berada pada dua daerah sekaligus, baik
pada jaringan ikat maupun pada sel epitel.
4. Blue nevus, apabila sel nevus terletak amat dalam pada jaringan ikat dan
berbentuk seperti gerombol.

8
Gambar 2.4. Klasifikasi Nevus Pigmentosus Secara Histologi
(Lever, 2005)

Namun pada gambaran secara histopatologi dapat diketahui bahwa pada


lapisan dermis didapatkan kelompok sel nevus yang dipisahkan oleh jaringan
ikat fibrosa. Sel tersebut memiliki inti yang sedikit oval, basofilik, dan
dengan sitoplasma eosinofilik. Beberapa lainnya menunjukkan inti yang
pleimorfik, bahkan terdapat sel nevus yang berinti banyak. Pada epidermis di
lapisan stratum basal terdapat melanosit tanpa aktivitas proliferasi (Theng dan
Kumarasinghe, 2010). Gambaran di bawah ini merupakan nevus pigmentosus
jenis intradermalis.

Gambar 2.5. Gambaran Nevus Pigmentosus (Theng, 2010)

J. Penatalaksanaan

Pada penatalaksanaan nevus pigmentosus dapat dilakukan dengan berbagai


cara, di antaranya (Hashimoto dan Lever, 2007):
1. Medikamentosa
a. Penghindaran terhadap sinar matahari yang berlebihan.

9
b. Tabir surya mungkin membantu, tetapi penelitian belum bisa
menyimpulkannya.
c. Asuhan primer yang teratur atau penapisan dermatologi memungkinkan
lesi terdiagnosis pada stadium awal.
2. Nonmedikamentosa
a. Terapi Lama
Secara umum, nevus pigmentosus tidak diperlukan pengobatan.
Namun bila menimbulkan masalah sesara kosmetik atau sering terjadi
iritasi karena gesekan pakaian, dapat dilakukan bedah eksisi. Bila ada
kecurigaan ke arah keganasan dapat dilakukan eksisi dengan
pemeriksaan histopatologi.
b. Terapi Baru
Pada penatalaksanaan nevus pigmentosus dapat digunakan beberapa
pengobatan dari hasil penelitian (Jang, dkk., 2009),
1) Interferon alfa-2b digunakan sebagai terapi adjuvant pada pasien
yang berisiko tinggi mengalami kekambuhan dan meningkatkan
ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan nodus positif.
2) Interleukin-2 diberikan secara tunggal atau dalam kombinasi dengan
sel pembunuh yang diaktivasi limfokin, memberikan angka respons
15% sampai 25%, tetapi memiliki toksisitas yang tinggi.
3) Imunoterapi nonspesifik dengan Bacille Calmette-Guerin (BCG) via
injeksi intra-lesional dapat mengontrol penyakit lokal, tetapi tidak
memperbaiki hasil akhir.
4) Vaksin tumor yang dibuat dari sel tumor atau antigen menyebabkan
induksi sel T sitotoksik dan antibodi dengan sedikit respons klinis.
5) Pada keadaan biopsi tidak dapat dilaksanakan, diperlukan suatu cara
untuk lebih mendekati diagnosis histopatologi. Berdasarkan hal
tersebut, maka dikembangkan alat yang disebut surface microscopy
dengan menggunakan teknik mikroskop epiluminesen. Teknik ini
noninvasive yang memungkinkan untuk melihat secara in vivo
gambar histomorfologi kulit dan memberikan harapan bagi para
klinis untuk membuat diagnosis kelainan pigmentasi kulit secara

10
lebih akurat. Apabila gambaran klinis nevus bisa dipertajam dengan
tehnik epiluminesen, maka banyak manfaat yang akan didapat.

K. Komplikasi

Secara histopatologi dikenal nevus junctional, nevus compound, dan nevus


dermal. Seperempat sampai sepertiga kasus melanoma maligna dikatakan
berasal dari nevus pigmentosus. Tipe nevus penting diketahui untuk
menentukan prognosis. Dari ketiga tipe nevus, dikatakan bahwa nevus
junctional lebih mempunyai potensi untuk menjadi ganas. Kita dapat
mencurigai adanya keganasan bila ditemui (Goral, 2011):
1. Rasa gatal ataupun nyeri pada tahi lalat.
2. Perubahan warna (menjadi lebih gelap, pucat, atau terang) pada tahi lalat
yang tidak merata.
3. Ukurannya yang semakin membesar.
4. Pelebarannya tidak merata ke samping.
5. Permukaannya menjadi tidak merata.
6. Adanya luka atau trauma.
7. Tahi lalat sering berdarah walaupun hanya karena trauma ringan.
8. Adanya ulkus atau infeksi pada tahi lalat yang sukar sembuh.
9. Munculnya tahi lalat pada daerah, seperti di pangkal kuku, sekitar anus,
vulva vagina, langit-langit lidah, rongga hidung, dan gusi.

L. Prognosis

Pada umumnya baik, tetapi pada nevus junctional dan nevus compound
harus mendapat perhatian lebih karena ada kemungkinan untuk berubah
menjadi ganas (Putra, 2008).

11

Anda mungkin juga menyukai