TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Nevus pigmentosus disebut juga nevus nevoseluler dan orang awam biasa
mengenalnya dengan sebutan tahi lalat. Sebenarnya, kata nevus memiliki arti
setiap lesi kongenital yang ada di kulit. Namun, nevus pigmentosus itu sendiri
berarti setiap neoplasma melanosit yang kongenital atau didapat (Robbins,
dkk., 2007). Dalam kondisi tertentu, nevus yang mengalami perubahan
mempunyai risiko 400 kali lebih tinggi untuk menjadi ganas (Casson dan
Colen, 1993; Silver, 2003; Sudiono, 2008).
B. Etiologi
Sel-sel nevus berasal dari neural crests yang berproliferasi abnormal. Hal
tersebut menghasilkan makula yang berwarna coklat kehitam-hitaman.
Melanosit dan sel Schwann juga berasal dari neural crests, tetapi sel nevus
tidak berdiferensiasi menjadi hal tersebut (Shimizu Dermatology, 2013).
C. Epidemiologi
2
D. Faktor Risiko
3
Pada dasarnya nevus tidak memberikan gejala apa-apa jika memang nevus
itu jinak. Namun kita perlu mengenal tanda-tandanya jika nevus itu ganas,
antara lain (Rata IGA, 1999):
1. Ulserasi (luka) dan perdarahan spontan.
2. Membesar dan warna lebih gelap.
3. Pigmen menyebar dari ke kulit sekitarnya.
4. Disekitarnya ada lesi-lesi yang lebih kecil mengelilinginya.
5. Inflamasi tanpa didahului trauma.
6. Nyeri dan gatal.
F. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Nevus pigmentosus termasuk dalam tumor jinak. Tumor jinak adalah
suatu keadaan di mana sel-selnya tidak memiliki kemampuan untuk
bermetastasis dan akan hilang dengan pengangkatan. Hal ini berbeda
dengan tumor ganas yang mampu bermetastasis, menginfiltrasi jaringan
yang dihadapinya, dan tumbuh kembali. Walaupun tidak mengancam
kehidupan manusia tersebut, keadaan ini tidak seluruhnya baik, karena
tumor jinak terkadang dapat bermutasi atau mendapatkan kemampuan
untuk bermetastasis (Melloni, dkk., 2004).
Tidak ada anamnesis khusus untuk menegakkan diagnosis nevus
pigmentosus. Namun untuk memastikan adanya tanda-tanda jika nevus itu
ganas, maka dapat ditanyakan mengenai ukuran dan warna nevus tersebut.
Hal tersebut perlu untuk mengetahui apakah terjadi pembesaran maupun
perubahan warna. Anamnesis perlu juga untuk mengetahui asal dari nevus
pigmentosus tersebut, apakah sejak lahir ataupun de novo (Argenziano,
dkk., 1998).
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi dan palpasi secara manual bias dilakukan. Pada nevus
pigmentosus, salah satu pemeriksaan mandiri yang bisa dilakukan adalah
ABCD rule, yakni dengan memperhatikan perkembangan asimetrisitas,
batas (border), warna (color), dan diameter dari lesi yang bersangkutan.
4
Jika ditemukan kelainan pada pemeriksaan tersebut, ada indikasi bahwa
nevus tersebut telah berkembang menjadi ganas dan perlu pemeriksaan
lebih lanjut di laboratorium. Dengan melihat hal-hal di atas, inspeksi dan
palpasi saja sebenarnya sudah cukup untuk menegakkan diagnosis karena
tumor-tumor tersebut memiliki gambaran dan gejala khas (American
Cancer Society, 2011).
Pemeriksaan nodus limfa bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
Pada tumor jinak, karena tidak adanya reaksi inflamasi, sistem imun tidak
bereaksi dan ditunjukkan dengan kelenjar limfa yang normal. Hal ini
berbeda dengan kasus keganasan di mana sistem imun dipaksa bekerja
keras dan mengakibatkan pembengkakan. Nodus yang biasa diperiksa
adalah daerah lipatan paha, aksial, atau leher, tergantung lokasi tumor
yang bersangkutan (Tim Penyusun BPP Modul KJP FKUI, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan biopsi kulit adalah hal utama yang biasa dilakukan karena
tidak adanya reaksi imunologis pada tumor jinak. Pada pemeriksaan
biopsi, hal terpenting yang bisa dilihat adalah proliferasi sel-sel yang tidak
normal, tetapi tidak ditemukan adanya reaksi inflamasi, seperti serbukan
sel-sel PMN, limfosit, dan jaringan nekrosis. Hal ini menjelaskan bahwa
tumor jinak bukan merupakan sesuatu yang mengancam tubuh
(threatening), walaupun terdapat kemungkinan untuk menjadi ganas.
(Wolff, dkk., 2008).
Selain pemeriksaan fisik standar, pemeriksaan dermatoskopi juga sering
dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Dermatoskopi (juga dikenal
dengan nama dermoskopi, epiluminescene microscopy atau ELM, atau
surface microscopy) dilakukan dengan menggunakan dermatoskop, alat
yang terdiri atas lensa pembesar, sumber cahaya, dan medium cair di
antara kulit dan dermatoskop tersebut. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
inspeksi. Sebenarnya, teknik ini bertujuan untuk memperjelas bidang
pandang yang tidak bisa dilihat oleh penglihatan normal (Argenziano,
dkk., 1998).
5
Gambar 2.2. Pemeriksaan dengan Menggunakan Dermatoskop
(Cardiff University’s Departement of Dermatology, 2010)
6
Sebenarnya, beberapa teknik lanjutan bisa digunakan untuk mematiskan
diagnosis, terutama jika tumor tersebut hampir tidak bisa dibedakan karena
adanya trauma lain atau atas permintaan pasien sendiri. Pemeriksaan sinar-
X, CT scan, MRI, PET, bone scan, dan teknik scanning lainnya digunakan
untuk memastikan tidak ada metastasis dari tumor tersebut. Namun, teknik
ini sangat tidak disarankan karena selain hasil yang diharapkan negatif
(karena lesi yang akan didiagnosis adalah tumor jinak), dari aspek
ekonomis juga tidak terlalu baik (Tim Penyusun BPP Modul KJP FKUI,
2011).
G. Patogenesis
H. Patofisiologi
Sel-sel nevus kulit berasal dari neural crests, sel-sel ini membentuk
sarang-sarang kecil pada lapisan sel basal epidermis dan pada zona taut
dermoepidermal (Djuanda, 2011). Sel-sel ini membelah dan memasuki
dermis, lalu membentuk sarang-sarang pada dermis. Nevus pigmentosus
memiliki faktor predisposisi berupa faktor genetik, sinar UV, trauma,
hormonal maupun infeksi virus, namun hal yang sering menjadi komplikasi
7
adalah karena radiasi ultraviolet. Radiasi ultraviolet dapat berperan sebagai
agen inisiator, promotor, karsinogen, dan agen immunosupresi. Fungsi
melanin adalah mengabsorpsi proton ultraviolet, kulit yang sedikit
mengandung melanin lebih rentan terhadap kerusakan ultraviolet. Radiasi
UVA dan UVB diabsorpsi oleh asam deoksiribosanukleat (DNA) yang
mengakibatkan mutasi DNA, proliferasi melanosit, peningkatan deposisi
melanin dalam keratinosit, dan penebalan kulit (Corwin, 2009).
Melanosit memiliki protein anti-apoptotik Bcl-2 berkadar tinggi, sehingga
mutasi mengakibatkan berkurangnya apoptosis dan melanosit yang rusak
akan terus membelah diri dengan sedikit perbaikan atau tanpa perbaikan
DNA sama sekali. Melanosit yang mengalami mutasi menghasilkan faktor
pertumbuhan fibrinogen dasar (basic fibrinogen growth factor, bFGF)
berkadar tinggi yang menstimulasi proliferasi melanosit autoimun.
Peningkatan aktivitas bFGF berhubungan dengan mutasi p53 (Barnhill dan
Llewellyn, 2008). Gangguan cross talk selular oleh reseptor kadherin,
konneksin, dan adhesi mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan dan
diferensiasi sel, apoptosis, dan migrasi sel. Proliferasi melanosit maligna
secara intraepidermal diikuti oleh sarang-sarang sel maligna dan penyebaran
sel tunggal keluar, serta menuruni dermis dan ke lemak subkutan, akibatnya
timbul kulit yang hiperpigmentasi (Corwin, 2009).
I. Gambaran Histopatologi
8
Gambar 2.4. Klasifikasi Nevus Pigmentosus Secara Histologi
(Lever, 2005)
J. Penatalaksanaan
9
b. Tabir surya mungkin membantu, tetapi penelitian belum bisa
menyimpulkannya.
c. Asuhan primer yang teratur atau penapisan dermatologi memungkinkan
lesi terdiagnosis pada stadium awal.
2. Nonmedikamentosa
a. Terapi Lama
Secara umum, nevus pigmentosus tidak diperlukan pengobatan.
Namun bila menimbulkan masalah sesara kosmetik atau sering terjadi
iritasi karena gesekan pakaian, dapat dilakukan bedah eksisi. Bila ada
kecurigaan ke arah keganasan dapat dilakukan eksisi dengan
pemeriksaan histopatologi.
b. Terapi Baru
Pada penatalaksanaan nevus pigmentosus dapat digunakan beberapa
pengobatan dari hasil penelitian (Jang, dkk., 2009),
1) Interferon alfa-2b digunakan sebagai terapi adjuvant pada pasien
yang berisiko tinggi mengalami kekambuhan dan meningkatkan
ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan nodus positif.
2) Interleukin-2 diberikan secara tunggal atau dalam kombinasi dengan
sel pembunuh yang diaktivasi limfokin, memberikan angka respons
15% sampai 25%, tetapi memiliki toksisitas yang tinggi.
3) Imunoterapi nonspesifik dengan Bacille Calmette-Guerin (BCG) via
injeksi intra-lesional dapat mengontrol penyakit lokal, tetapi tidak
memperbaiki hasil akhir.
4) Vaksin tumor yang dibuat dari sel tumor atau antigen menyebabkan
induksi sel T sitotoksik dan antibodi dengan sedikit respons klinis.
5) Pada keadaan biopsi tidak dapat dilaksanakan, diperlukan suatu cara
untuk lebih mendekati diagnosis histopatologi. Berdasarkan hal
tersebut, maka dikembangkan alat yang disebut surface microscopy
dengan menggunakan teknik mikroskop epiluminesen. Teknik ini
noninvasive yang memungkinkan untuk melihat secara in vivo
gambar histomorfologi kulit dan memberikan harapan bagi para
klinis untuk membuat diagnosis kelainan pigmentasi kulit secara
10
lebih akurat. Apabila gambaran klinis nevus bisa dipertajam dengan
tehnik epiluminesen, maka banyak manfaat yang akan didapat.
K. Komplikasi
L. Prognosis
Pada umumnya baik, tetapi pada nevus junctional dan nevus compound
harus mendapat perhatian lebih karena ada kemungkinan untuk berubah
menjadi ganas (Putra, 2008).
11