Anda di halaman 1dari 3

BAB 3

IDENTIFIKASI MASALAH & PEMBAHASAN

3.1 Berikut beberapa masalah yang dibahas dalam penelitian ini:

1. Untuk memenuhi kepuasan konsumen dan memperpanjang masa simpan,


banyak penjual bakso tidak bertanggung jawab dengan manambahkan bahan-
bahan kimia yang dilarang.
2. Apakah bakso dan cilok di sekitar Universitas Jember mengandung Boraks?
3. Apakah bakso dan cilok di sekitar Universitas Jember mengandung Formalin?
4. Berdasarkan metode TPC (total plate count) atau ALT (angka lempeng total)
apakah bakso dan cilok di sekitar Universitas Jember tercemar mikroba?

3.2 Pembahasan

3.2.1 Analisa Boraks

Boraks biasa digunakan sebagai bahan pengawet oleh para pembuat bakso atau cilok.
Selain itu juga digunakan sebagai bahan tambahan untuk memberikan tekstur yang
kenyal. Penggunaan boraks sudah dilarang oleh pemerintah, dikarenakan dapat
mengakibatkan terjadinya penyerapan dan penyimpanan boraks secara akumulatif di
kulit, pencernaan, hati, otak, dan testis. Dalam dosis yang tinggi boraks dapat
mengakibatkan pusing, muntah-muntah, diare dan kram perut. Pengujian adanya
kandungan boraks dalam bakso dan cilok di sekitar Universitas Jember ini
menggunakan boraks test kit (easy test kit). Dimana terbentuknya warna merah dari
senyawa rosocyanine akibat reaksi senyawa boron yang ada di dalam boraks dengan
kurkumin yang berada dalam suasana asam. Hasil analisa boraks terhadap 43 sampel
bakso dan cilok yang terdiri dari 30 sampel bakso dan 13 sampel cilok ini menunjukan
bahwa 17% dari 30 sampel bakso dan 92% dari 17 sampel aci mengandung boraks.

3.2.2 Analisa Formalin


Formalin masih saja sering digunakan sebagai bahan pengawet dalam pangan.
Formalin sangat dilarang penggunaanya didalam pangan, karena formalin memiliki
efek dalam jangka pendek (akut) yaitu jika tertelan akan terasa sensasi terbakar dan
dalam jangka panjang yaitu salah satunya infeksi saluran pernapasan. Analisis formalin
dilakukan dengan menggunakan alat tes kit Merckoquan. Dimana terbentuknya
senyawa senyawa purple-red tetrazine akibat adanya reaksi formaldehid dengan 4-
amino-3-hydrazino-5-mercapto-1,2,4-treazole. Kemudian diukur secara
semikuantitatif dengan perbandingan visual antara zona reaksi yang terbentuk dalam
strip tes dengan skala warna yang ada. Dari ke 43 sampel bakso dan cilok, tidak ada
yang menunjukan reaksi positif terhadap metode ini. Sehingga artinya, bakso dan cilok
dalam pengujian ini tidak mengandung formalin.

3.2.3 Analisa TPC (Total Plate Count)

Analisis TPC perlu dilakukan sebagai parameter keamanan produk untuk dikonsumsi
dan tingkat kerusakan produk pangan. Bakso daging memiliki batasan maksimal total
plate count yaitu sebesar 105 cfu/g. Analisis TPC terhadap bakso ini dengan mengikuti
metode SNI yaitu pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu, serta hasil
olahannya. Sampel sebanyak 25 gram diencerkan dalam larutan garam fisiologis dan
dilakukan pengenceran hingga 10-8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% dari
sampel bakso dan 92% dari sampel cilok memiliki nilai TPC melebihi batas maksimum
atau batasan standar yang dimiliki oleh bakso daging. Dimana kandungan TPC pada
penelitian ini mencapai 1010 cfu/g, menurut Frazier dan Westhoff (1988) jumlah
populasi mikroba atau nilai TPC ketika terbentuk lendir adalah 3.106 hingga 3 x 108
cfu/g, ketika terdeteksi bau kurang enak sebesar 1.2 x 106 sampai 108 cfu/g. Hasil TPC
pada penelitian ini yang tinggi dapat disebabkan karena panjangnya rantai distribusi,
dan program sanitasi yang diterapkan oleh pembuat bakso dan cilok yang rendah.

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa bakso dan
cilok yang berada disekitar Universitas Jember bahaya untuk dikonsumsi. Sebagian
besar masih mengandung boraks dan kebersihannya yang masih kurang karena
memiliki kandungan populasi mikroba hingga mencapai 1010 cfu/g dari batasan
maksimum 105 cfu/g.

Anda mungkin juga menyukai