Anda di halaman 1dari 10

Nama / NIM :

1. Vincenti Serlinta Putri / (19110090)


2. Essy Caroline / (1911)

Tugas Epidemiologi Penyakit Menular

1. Reduksi (Difteri)

a. Definisi difteri
Difteri adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium.
Gejalanya berupa sakit tenggorokan, demam, dan terbentuknya lapisan di amandel
dan tenggorokan. Dalam kasus yang parah, infeksi bisa menyebar ke organ tubuh lain
seperti jantung dan sistem saraf. Beberapa pasien juga mengalami infeksi kulit.
Bakteri penyebab penyakit ini menghasilkan racun yang berbahaya jika menyebar ke
bagian tubuh lain.
b. Gejala difteri
Walau bakteri difteri dapat menyerang jaringan apa saja pada tubuh, tanda-tanda
yang paling menonjol adalah pada tenggorokan dan mulut. Tanda-tanda dan gejala
umum dari difteri adalah:

 Tenggorokan dilapisi selaput tebal berwarna abu-abu


 Radang tenggorokan dan serak
 Pembengkakan kelenjar pada leher
 Masalah pernapasan dan saat menelan
 Cairan pada hidung, ngiler
 Demam dan menggigil
 Batuk yang keras
 Perasaan tidak nyaman
 Perubahan pada penglihatan
 Bicara yang melantur
 Tanda-tanda shock, seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat dan jantung
berdebar cepat.
c. Penyebab difteri
Difteri disebabkan oleh Corynebacterium, yaitu bakteri yang menyebarkan penyakit
melalui partikel di udara, benda pribadi, serta peralatan rumah tangga yang
terkontaminasi
Jika Anda menghirup partikel udara dari batuk atau bersin orang yang terinfeksi,
Anda dapat terkena difteri. Cara ini sangat efektif untuk menyebarkan penyakit,
terutama pada tempat yang ramai.
Penyebab lainnya adalah kontak dengan benda-benda pribadi yang terkontaminasi.
Anda dapat terkena difteri dengan memegang tisu bekas orang yang terinfeksi, minum
dari gelas yang belum dicuci, atau kontak sejenisnya dengan benda-benda yang
membawa bakteri. Pada kasus yang langka, difteri menyebar pada peralatan rumah
tangga yang digunakan bersama, seperti handuk atau mainan.
Menyentuh luka yang terinfeksi juga dapat membuat Anda terekspos bakteri yang
menyebabkan difteri.

d. Faktor yang meningkatkan risiko seseorang terkena difteri


Ada banyak faktor yang meningkatkan risiko (pemicu) seseorang terkena difteri,
yaitu:

 Lokasi yang Anda tinggali


 Tidak mendapat vaksinasi difteri terbaru
 Memiliki gangguan sistem imun, seperti AIDS
 Memiliki sistem imun lemah, misalnya anak-anak atau orang tua
 Tinggal di kondisi yang padat penduduk atau tidak higienis

e. Komplikasi difteri
Jika tidak diobati dengan tepat, difteri dapat mengakibatkan komplikasi yang
berbahaya, dan bahkan bisa berujung dengan kematian. Beberapa komplikasi
tersebut adalah:

 Saluran napas yang tertutup


 Kerusakan otot jantung (miokarditis)
 Kerusakan saraf (polineuropati)
 Kehilangan kemampuan bergerak (lumpuh)
 Infeksi pary (gagal napas atau pneumonia)

f. Pencegahan difteri
Cara terbaik mencegah Defteri adalah dengan Vaksin. Di Indonesia, vaksin
difteri biasanya diberikan lewat imunisasi DPT (Difteri, Tetanus, Pertusis), sebanyak
lima kali semenjak bayi berusia 2 bulan. Anak harus mendapat vaksinasi DTP lima
kali pada usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 18 bulan, dan usia 4-6 tahun.
Untuk anak usia di atas 7 tahun diberikan vaksinasi Td atau Tdap. Vaksin
Td/Tdap akan melindungi terhadap tetanus, difteri, dan pertusis harus diulang setiap 10
tahun sekali. Ini juga termasuk untuk orang dewasa.

2. Eliminasi (Tetanus Neonatorium)

a. Definisi Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum adalah penyebab kejang yang dijumpai pada bayi yang baru
dan bukan karena trauma pada kelahiran ataupun asfiksia, akan tetapi disebabkan
infeksi selama neonatal, yang diantaranya terjadi sebagai akibat proses pemotongan
tali pusat ataupun perawatan yang tak aseptic

Tetanus neonaturom merupakan penyakit tetanus yang dialami oleh neonatus atau
bayi yang berumur kurang dari 1 bulan. Adapun spora kuman akan masuk dalam
tubuh bayi lewat pintu masuk satu-satunya pada bayi yaitu tali pusat, hal ini bisa
terjadi saat pemotongan bagian tali pusat saat bayi lahir dan perawatannya sebelum
puput atau terlepasnya tali pusat.

Misalnya saja pemotongan tali pusat dengan menggunakan gunting yang tak steril
atau sesudah tali pusat dipotong kemudian dibubuhi abu, daun-daunan, minyak, dan
sebagainya

Tetanus neonaturom merupakan penyakit tetanus yang dialami oleh neonatus atau
bayi yang berumur kurang dari 1 bulan. Adapun spora kuman akan masuk dalam
tubuh bayi lewat pintu masuk satu-satunya pada bayi yaitu tali pusat, hal ini bisa
terjadi saat pemotongan bagian tali pusat saat bayi lahir dan perawatannya sebelum
puput atau terlepasnya tali pusat.

Misalnya saja pemotongan tali pusat dengan menggunakan gunting yang tak steril
atau sesudah tali pusat dipotong kemudian dibubuhi abu, daun-daunan, minyak, dan
sebagainya.

b. Penyebab Tenatus Neonatorium


Adapun penyebabnya yaitu kuman Clostridium Tetani, merupakan kuman yang
dapat mengeluarkan toksin atau racun dan juga menyerang bagian sistem saraf pusat
bayi. Kuman atau Basil ini memiliki sifat an aerob, yang berbentuk spora selama
berada di luar tubuh manusia serta bisa mengeluarkan toksin yang bisa
menghancurkan sel-sel darah merah, dan merusak leukosit serta menyebabkan
tetanospasmin, yaitu racun atau toksin yang memiliki sifat neurotropik yang bisa
menyebabkan ketegangan serta spasme otot.

c. Gejala Tetanus Neonatorum

1) Tiba-tiba tubuh bayi menjadi panas


2) Bayi yang awalnya bisa menetek namun tiba-tiba menjadi sulit menetek atau
trismus sebab kejang pada bagian otot rahang dan juga tenggorok
3) Mulut bayi menjadi mecucu menyerupai mulut ikan (merupakan gejala yang khas)
4) Kejang-kejang terutama jika terkena rangsangan cahaya, sentuhan, dan suara
5) Kadang disertai dengan sesak nafas dan bagian wajah bayi membiru
6) Mengalami kaku kuduk hingga opistotonus (kepala menjadi mendongak ke atas)
7) Bagian dinding abdomen menjadi kaku, mengeras dan kadang terjadi kejang
8) Dahi berkerut, bagian alis mata terangkat, bagian sudut mulut tertarik menuju ke
bawah, muka mengalami rhisus sardonikus
9) Suhu tubuh meningkat
10) Ekstermitas biasanya terulur serta kaku
11) Tiba-tiba bayi menjadi sensitif terhadap rangsangan, menjadi gelisah dan kadang
menangis
12) Adapun tetanus neonatorum harus mempunyai kriteria, diantaranya yaitu bayi
terlahir hidup, bisa menangis dan juga menetek secara normal minimal 2 hari,
namun di bulan pertama hidupnya muncul gejala sulit untuk menetek yang
disertai dengan kekakuan an ataupun kejang otot

d. Penatalaksanaan Tetanus Neonatorium


Bayi yang menderita penyait ini sebaiknya dirijuk untuk segera dirawat menuju ke
rumah sakit, sebebab sering erjadi komplikasi yang terutama sepsis, sebelumnya
pasanglah infuse cairan rumat berupa glukosa sebanyak 5% NaCl (4:1) dengan jumlah
75cc/KgBB/hari, lalu diberikan:
1) Diberikan ATS dengan dosis 10.000 IU/hari dalam waktu 2 hari berturut-turut
2) Diberikan Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari secara i.v. yang
dilanjutkan hingga 10 hari
3) Diberikan Diazepam i.v secara perlahan-lahan dengan titrasi hingga kejang,
maksimal diberikan 2,5 mg lalu dilanjutkan dengan dosis 3-4 mg/kgBB/hari
diberikan dalam cairan infuse
4) Tali pusat sebaiknya diberikan atau dikompres dengan menggunakan alkohol
70% atau dapat juga menggunakan betadin 10%.
5) Selalu perhatikan jalan nafas serta tanda-tanda vital yang lainnya, jika perlu
berikan oksigen

e. Komplikasi Tetanus Neonatorium

1) Bronkhopneumonia
2) Asfiksia yang diakibatkan oleh obstruksi jalan nafas karena lendir
3) Sianosis yang diakibatkan oleh obstruksi jalan nafas karena lendir
4) Sepsis neonatorum

f. Pencegahan Tetanus Neonatorum

1) Berikanlah imunisasi TT kepada ibu hamil sebanyak 3 kali sebelum masa trimester
ke III secara berturut-turut.
2) Lakukanlah pemotongan dan juga perawatan tali pusat dengan cara steril
3. Eradikasi (Polio)
a. Definisi Polio
Polio atau poliomyelitis adalah penyaki paralisis atau lumpuh yang disebabkan
oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus
(PV), masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan mengalir ke system saraf pusat menyebabkan
melemahnya otot dan kelumpuhan (paralisis).
Penyakit ini dapat menyerang pada semua kelompok umur, namun yang
peling rentan adalah kelompok umur kurang dari 3 tahun. Gejala meliputi demam,
lemas, sakit kepala, muntah, sulit buang air besar, nyeri pada kaki, tangan, kadang
disertai diare. Kemudian virus menyerang dan merusakkan jaringan syaraf ,
sehingga menimbulkan kelumpuhan yang permanen.

b. Penyebab Polio
Poliovirus (genus enterovirus) tipe 1, 2 dan 3, semua tipe dapat menyebabkan
kelumpuhan. Tipe 1 dapat diisolasi dari hampir semua kasus kelumpuhan, tipe 3 lebih
jarang, demikian pula tipe 2 paling jarang. Tipe 1 paling sering menyebabkan wabah.
Sebagian besar kasus Vaccine associated disebabkan oleh tipe 2 dan 3. Sifat virus polio
seperti halnya virus yang lain yaitu stabil terhadap ph asam selama 1-3  jam. Tidak
aktif pada suhu 560 selama 30 menit. Virus polio berkembangbiak dalam sel yang
terinfeksi dan siklus yang sempurna berlangsung selama 6  jam. Virus tersebut dapat
hidup di air dan manusia, meskipun juga bisa terdapat pada sampah dan lalat.

c. Epidemiologi Polio
 Agent : Poliovirus (genus enterovirus) tipe 1, 2, dan 3.
 Host : Manusia, anak-anak dibawah 5 tahun rentan virus polio
 Environment : sanitasi yang kurang baik, (tidak ada toilet, buang air besar
sembarangan, dll)
 Transmisi : Respons pertama terhadap infeksi poliovirus biasanya bersifat infeksi
asimptomatik, yakni tidak menunjukkan gejala sakit apa pun. Sekitar 4 sampai 8
persen infeksi poliovirus tidak menimbulkan gejala serius. Infeksi itu hanya
menimbulkan penyakit minor (abortive poliomyelitis) berupa demam, lemah,
mengantuk, sakit kepala, mual, muntah, sembelit dan sakit tenggorokan. Setelah
itu, pasien dapat sembuh dalam beberapa hari. Namun, bila poliovirus
menginfeksi sel yang menjadi sasaran utamanya, yaitu susunan sel syaraf pusat di
otak, terjadilah poliomyelitis nonparalitik (1 sampai 2 persen) dan poliomyelitis
paralitik (0,1 sampai 1 persen). Pada kasus poliomyelitis nonparalitik, yang
berarti poliovirus telah mencapai selaput otak (meningitis aseptik), penderita
mengalami kejang otot, sakit punggung dan leher.

d. Gejala Polio
1) Poliomyelitis asimtomatis
Gejala klinis : setelah masa inkubasi 9-12 hari, tidak terdapat gejala. Kejadian
ini sulit untuk dideteksi tapi biasanya cukup tinggi terutama di daerah-daerah yang
standar higienenya jelek. Penyakit ini hanya diketahui dengan menemukan virus di
tinja atau meningginya titer antibodi.
2) Poliomyelitis abortif
Timbul mendadak dan berlangsung 1-3 hari dan gejala klinisnya berupa panas
dan jarang melebihi 39,5ºC, sakit tenggorokkan, sakit kepala, mual, muntah, malaise,
dan nyeri perut. Diagnosis pasti hanya dengan menemukan virus pada biakan
jaringan.
3) Poliomyelitis non paralitik  
Gejala klinis hampir sama dengan poliomyelitis abortif yang berlangsung 1-2
hari. Setelah itu suhu menjadi normal, tetapi lalu naik kembali (dromedary chart)
disertai dengan gejala nyeri kepala, mual dan muntah lebih berat, dan ditemukan
kekakuan pada otot belakang leher, punggung dan tungkai, dengan tanda Kernig dan
Brudzinsky yang positif. Tanda-tanda lain adalah Tripod yaitu bila anak berusaha
duduk dari sikap tidur, maka ia akan menekuk kedua lututnya ke atas, sedangkan kedua
lengan menunjang ke belakang pada tempat tidur.
4) Poliomyelitis paralitik
Gejala klinisnya sama seperti poliomyelitis non paralitik disertai dengan
kelemahan satu atau beberapa kelumpuhan otot skelet atau kranial. Gejala ini dapat
menghilang selama beberapa hari dan kemudian timbul kembali disertai dengan
kelumpuhan (paralitik) yaitu berupa paralisis flaksid yang biasanya unilateral dan
simetris. Adapun bentuk-bentuk gejalanya antara lain :
 Bentuk spinal : Gejala kelemahan / paralisis atau paresis otot leher, abdomen,
tubuh, diafragma, thoraks dan terbanyak ekstremitas bawah.
 Bentuk bulbar : Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak dengan atau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernapasan dan sirkulasi.
 Bentuk bulbospinal : Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan
bentuk bulbar. Kadang ensepalitik dapat disertai gejala delirium, kesadaran
menurun, tremor dan kadang kejang

e. Pencegahan dan pengendalian Polio


1) Pengobatan
Belum ada pengobatan antivirus spesifik untuk penyakit polio sampai
saat ini. Pencegahan merupakan satu-satunya jalan terbaik dalam
menanggulangi penyebarn penyakit ini. Selain itu, sanitas lingkungan serta
kebersihan perorangan akan meminimalkan virus yang masuk melalui saluran pencernaan
ini (Deswati Furqonita dan Tetty Setiowati, 2007)
2) Pencegahan Poliomielitis
Pencegahan yang paling efektif terhadap penyakit poliomeilitis adalah
dengan pemberian vaksin.
3) Vaksin Poliomeilitis
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio, yaitu OPV (Oral polio
vaccine) dan IPV (Inactivated polio vaccine). OPV diberikan dua tetes melalui
mulut, sedangkan IPV diberikan melalui suntikan (dalam kemasan sendiri atau
kombinasi dpat).
Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan
dengan imunisasi dasar. Untuk imunisas dasar, diberikan pada umur 2, 4, dan
6. Pada PIN (Pekan imunisasi Nasional) semua balita harus mendapat
imunisasi tanpa memandang status imunisasi kecuali pada penyakit dengan
daya tahan tubuh menurun (imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat,
jangan mengulang pemberiannya dari awaltetapi lanjutkan dan lengkapi
imunisasi sesuai dengan jadwal. Pemberian imunisasi polio pada remaja dan
dewasa yang belum pernah imunisasi dan pekerja kontak dengan penderita polio atau
anak yang diberik OVP. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan dua tetes dengan
jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh
terhadap respon pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat pemberian vaksin,
anak tetap bisa meminum ASI.
Imunisasi polio ulangan (penguat) diberikan saat masuk sekolah (5–6)
dan dosis berikutnya diberikan pada usia 15 –19 tahun. Sejak tahun 2007, semua calon
jemaah haji dan umroh di bawah usia 15 tahun harus mendapat dua tetes OPV.
4) Efek samping vaksin polio
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomeilitis terjadi setelah
pemberian vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat
menimbulkan gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak
dianjurkan diberikan pada keadaan ketika seseorang sedang demam (> 38,5ºC), muntah,
diare, sedang dalam pengobatan radio terapi atau obat penurun daya tahan
tubuh, kanker, penderita HIV, ibu hamil trimester pertama, dan alergi pada
vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih di rumah sakit karena OPV berisi
virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini dieksresikan (dibuang) melalui
tinja selama enam minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi yang dirawat
di rumah sakit, disarankan pemberian IPV.
 

Anda mungkin juga menyukai