Anda di halaman 1dari 52

HUBUNGAN EDUKASI KESEHATAN TENTANG CEDERA ANKLE

DAN TERAPI LATIHANNYA TERHADAP TINGKAT


PENGETAHUAN ANGGOTA MEDSOCCER FKIK-UAJ
ANGKATAN 2016-2019

OLEH:

YOHANES JASON

(2016-060-214 / 120-1600-1602)

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
2019

ii
HUBUNGAN EDUKASI KESEHATAN TENTANG CEDERA ANKLE
DAN TERAPI LATIHANNYA TERHADAP TINGKAT
PENGETAHUAN ANGGOTA MEDSOCCER FKIK-UAJ
ANGKATAN 2016-2019

Proposal Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai


Salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN

OLEH:

YOHANES JASON

(2016-060-214 / 120-1600-1602)

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
2019

i
PERNYATAAN PERSETUJUAN

Proposal Karya Tulis Ilmiah ini telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan
dihadapan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Jakarta, 19 November 2019

Tim Penguji

Pembimbing Utama,

Dr. Zita Arieselia, M.Biomed.

Penguji,

Dr. dr. Rika Haryono, Sp.KO.

ii
ii

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………. i
PERNYATAAN PERSETUJUAN……………………………………………….. ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….… iii
DAFTAR TABEL………………………………………………………………….. vi
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………. vii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………. viii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………. 2
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………….. 2
1.3.1 Tujuan Umum………………………………………………. 2
1.3.2 Tujuan Khusus…………………………………………….... 2
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………...………..... 3
1.4.1 Bidang Akademik…………………………………,..……… 3
1.4.2 Bidang Penelitian…………..………………………….……. 3
1.4.3 Masyarakat…………………..……………………………… 3
1.5 Ruang Lingkup Penelitian………………………………………………. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………... 4
2.1 Pengetahuan……………………………………………………....……... 4
2.1.1 Hakikat Pengetahuan………………………………………….. 4
2.1.2 Tingkat Pengetahuan………………………….………………. 4
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan…………….. 5
2.2 Pendidikan Kesehatan…………………………………………………... 6
2.3 Cedera Olahraga……………………………………………………........ 7
2.3.1 Definisi…………………………………………………........... 7
2.3.2 Klasifikasi……………………………………………............... 7

iii
2.3.3 Penyebab dan Faktor Risiko……………………………........ 9
2.3.4 Pencegahan………………………………………………...... 10
2.4 Cedera Ankle………………………………………….…………….…. 11
2.4.1 Anatomi Ankle……………………………………………….. 11
2.4.2 Fisiologi Ankle……………………………………………….. 13
2.4.3 Patofisiologi………………………………………………….. 14
2.4.4 Pemeriksaan………………………………………………….. 15
2.5 Terapi Latihan….………………………………………………………. 17
2.5.1 Definisi……………………………………………………….. 17
2.5.2 Fase-Fase Terapi Latihan…………………………………….. 17
2.5.3 Bentuk-Bentuk Terapi Latihan Cedera Ankle………………... 22
2.6 Kerangka Teori………………………………………………………… 26
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL…………. 27
3.1 Kerangka Konsep………………………………………………………. 27
3.2 Variabel dan Definisi Operasional………………………………........... 27
3.2.1 Variabel Bebas……………………………………………….. 27
3.2.2 Variabel Terikat……………………………………………… 27
3.3 Hipotesis Penelitian……………………………………………………. 28
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN………………………………….……. 29
4.1 Desain Penelitian………………………………………………………. 29
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………....... 29
4.2.1 Lokasi Penelitian……………………………………………... 29
4.2.2 Waktu Penelitian……………………………………………... 29
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian………………………………………... 29
4.3.1 Populasi Penelitian………………………………………….... 29
4.3.2 Sampel Penelitian…………………………………………….. 29
4.3.3 Estimasi Besar Sampel……………………………………….. 30
4.4 Kriteria Sampel……….………………………………………………... 32
4.4.1 Kriteria Inklusi……………………………………….............. 32
4.4.2 Kriteria Eksklusi…………………………….………………... 32
4.4.3 Kriteria Drop Out……………………………….…….............. 32

iii
iv
4.5 Pengumpulan Data dan Prosedur……………………………….…... 32
4.6 Pengolahan dan Analisis Data………………………..…………....... 33
4.7 Jadwal Kegiatan Penelitian…………………………………………. 34
4.8 Anggaran Penelitian……...…………………………………………. 34
4.9 Dummy Table……………………………………………………………… 35
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 37
LAMPIRAN…………………………………………………….……………… 41

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Dummy Table Karakteristik Demografi………………………………. 35


Tabel 4.2. Dummy Table Data Univariat…………………………………............ 35
Tabel 4.3. Dummy Table Data Bivariat...…………………………………............ 36

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi pergelangan kaki (tulang dan ligamen)………….. 12


Gambar 2.2. Anatomi pergelangan kaki (otot)………………………….. 12
Gambar 2.3. Range of Motion Ankle…………………………………….. 13
Gambar 2.4. Drawer Test………………………………………………... 16
Gambar 2.5. Inversion Talar Tilt………………………………………... 16
Gambar 2.6. Eversion Talar Tilt………………………………………… 16
Gambar 2.7. Plantar Fascia Stretch…………………………………….. 23
Gambar 2.8. Towel Crunches…………………………………………… 23
Gambar 2.9. Picking Up Object…………………………………………. 23
Gambar 2.10. Unilateral Balance Activities…………………………….. 24
Gambar 2.11. Thera Band Exercise……………………………………... 24
Gambar 2.12. Triceps Surae Stretch…………………………………….. 25
Gambar 2.13. Ankle Alphabet…………………………………………… 25
Gambar 2.14. Kerangka Teori…………………………………………... 26
Gambar 3.1 Kerangka Konsep………………………………………..…. 27

viii
ii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Informed Consent Persetujuan menjadi Responden…... 41


Lampiran 2. Lembar Kuesioner……………………………………………… 42

viii
11

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera olahraga adalah cedera yang mengenai sistem muskuloskeletal serta semua
sistem yang dapat mempengaruhi sistem muskuloskeletal. Olahraga futsal sendiri
termasuk ke dalam 10 olahraga yang paling sering menyebabkan cedera, dengan tingkat
insidensi mencapai 55,2 cedera per 10000 jam partisipasi olahraga. Banyak cedera yang
mungkin terjadi pada olahraga futsal. Namun, cedera pergelangan kaki atau sering dikenal
dengan ankle merupakan cedera yang paling banyak terjadi.1
Cedera ankle yang paling banyak terjadi adalah sprain (cedera ligamen). Lin et. Al
mengkaji studi tentang cedera ankle dengan rasio perbandingan sprain dan fraktur adalah
8:1. Cedera seperti sprain dan strain merupakan sebuah hal yang masih mampu ditangani
dan disembuhkan dengan berbagai metode penyembuhan yang sederhana, seperti
massage dan terapi.2
Namun kenyataannya, di kalangan mahasiswa yang bermain futsal masih belum
memiliki tingkat pengetahuan yang tepat tentang cedera ankle dan penanganannya melalui
terapi. Cedera ankle yang tidak ditangani dengan baik bisa berakibat kepada chronic ankle
instability. Keadaan ini tentunya bisa mempengaruhi kualitas hidup mahasiswa baik di
dalam maupun di luar lapangan.
Sebelumya, sudah banyak penelitian yang serupa dengan penelitian ini. Salah
satunya adalah penelitian oleh Fidrotin Azizah, mengenai “Hubungan Pengetahuan
Dengan Terjadinya Sprain dan Strain pada Pemain Sepakbola Persibo 1949.”3 Penelitian
tersebut berkesimpulan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan terjadinya
sprain dan strain pada sampel penelitian. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Suci
Nurwijayanti, mengenai “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Pertolongan Pertama
‘RICE’ Pada Sprain Terhadap Pengetahuan Masyarakat Dukuh Morodipan Gonilan
Kartasura Sukoharjo.” Penelitian ini juga berkesimpulan bahwa adanya pengaruh
pendidikan kesehatan yang diberikaan terhadap pengetahuan masyarakat mengenai
pertolongan pertama “RICE.”4

1
2

Dalam sebuah tim olahraga profesional, ada peran penting dari fisioterapis untuk
mencegah terjadinya cedera. Fisioterapis akan memberikan arahan mengenai pengetahuan
dasar tentang cedera, pencegahan, serta penanganannya kepada setiap pemain untuk
mencegah cedera. Lalu peran fisioterapis juga memberi masukan kepada pelatih mengenai
situasi dan kondisi seorang pemain. Namun, di kebanyakan tim-tim olahraga tingkat
universitas peran fisioterapis masih sangat minim sehingga pengetahuan dasar mengenai
cedera, pencegahan, serta penanganannya belum bisa didapatkan oleh pemain.5
Berdasarkan faktor yang ada dan belum adanya kajian tentang seberapa besar
tingkat pengetahuan mahasiswa anggota Medsoccer FKIK-UAJ angkatan 2016-2019
mengenai cedera ankle dan terapi latihannya,, maka peneliti ingin meneliti lebih dalam
lagi tentang “Hubungan edukasi kesehatan tentang cedera ankle dan terapi latihannya
terhadap tingkat pengetahuan anggota Medsoccer FKIK-UAJ angkatan 2016-2019.”

1.2. Rumusan Masalah


Apakah ada hubungan edukasi kesehatan tentang cedera ankle dan terapi
latihannya terhadap tingkat pengetahuan anggota Medsoccer FKIK-UAJ angkatan 2016-
2019?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan edukasi kesehatan tentang cedera ankle dan
terapi latihannya terhadap tingkat pengetahuan anggota Medsoccer FKIK-
UAJ angkatan 2016-2019.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Melihat tingkat pengetahuan dasar tentang cedera ankle dan terapi
latihannya.
2. Mengetahui tingkat pengetahuan anggota Medsoccer FKIK-UAJ
angkatan 2016-2019 sebelum dan sesudah diberikan edukasi
kesehatan tentang cedera ankle dan terapi latihannya.
3

3. Mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan anggota Medsoccer FKIK-


UAJ angkatan 2016-2019 sebelum dan sesudah diberikan edukasi
kesehatan tentang cedera ankle dan terapi latihannya.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bidang Akademik
Memberikan wawasan terhadap hubungan edukasi kesehatan
tentang cedera ankle dan terapi latihannya terhadap pengetahuan anggota
Medsoccer FKIK-UAJ angkatan 2016-2019.
1.4.2. Bidang Penelitian
Membuka wawasan dan memberikan inspirasi bagi para peneliti
untuk melakukan penelitian mengenai hubungan edukasi kesehatan
terhadap tingkat pengetahuan tentang cedera ankle dan terapi latihannya.
1.4.3. Masyarakat
Membuka wawasan masyarakat terutama yang aktif bermain
futsal agar dapat mengetahui lebih dalam tentang cedera ankle dan terapi
latihannya guna mencegah cedera lanjutan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup pada penelitian ini yaitu mengevaluasi hubungan edukasi
kesehatan terhadap tingkat pengetahuan tentang cedera ankle dan terapi
latihannya. Peneliti mengukur efektifitas pendidikan kesehatan melalui pretest dan
posttest berisi pengetahuan dalam bidang cedera ankle dan terapi latihannya.
14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan
2.1.1. Hakikat Pengetahuan
Ada beberapa definis pengetahuan yang dikemukakan oleh
beberapa ahli. Menurut Bruce Aune, pengetahuan diartikan sebagai
pengalaman pribadi dan kemampuan mengenali bermacam pola hubungan
sebab akibat yang diperoleh dari hasil belajar dan mengamati. Sedangkan,
definisi lain dari pengetahuan menurut Noah Lemos adalah sesuatu yang
kita ketahui dan pahami, yang dapat mendorong kita untuk
memberitahukan kepada orang lain. Pengetahuan merupakan domain
penting dalam terbentuknya tindakan seseorang.6
2.1.2. Tingkat Pengetahuan
Tahun 2001, muncul sebuah revisi taksonomi Bloom yang
dilakukan oleh Kearthwohl, yang membagi tingkatan-tingkatan
pengetahuan menjadi 6 tingkat:7
a. Remembering (mengingat)
Diartikan sebagai kemampuan untuk memanggil kembali
pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang melalui proses
mengenal dan mengungkap atau mengingat kembali.
b. Understanding (memahami)
Diartikan sebagai kemampuan untuk membangun makna dari
pesan pembelajaran, lisan, tulisan, dan komunikasi grafik melalui proses
interpretasi, menerapkan dengan contoh, mengklasifikasi, merangkum,
inferensi, komparasi, dan eksplanasi.

c. Applying (menerapkan)
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan prosedur pada
situasi yang diberikan melalui proses melaksanakan dan implementasi.
d. Analyzing (menganalisa)

4
5

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau


suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu
struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Evaluating (menilai)
Diartikan sebagai kemampuan untuk membuat pertimbangan
berdasarkan kriteria dan standar melalui proses mengecek dan mengkritik.
f. Creating (mencipta)
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggabungkan unsur-unsur
secara bersama untuk membentuk sebuah hubungan yang fungsional,
mengorganisasi kemballi bagian-bagian ke dalam pola atau struktur yang
baru melalui proses membangun, merencanakan, dan menghasilkan.
2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan terbagi ke dalam
dua jenis, yaitu sebagai berikut:8
a. Faktor Internal
Faktor internal dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Pendidikan
Pendidikan adalah bimbingan yang diberikan seseorang
terhadap perkembangan orang lain menuju sebuah tujuan yang
menentukan sikap dan perbuatan untuk mencapainya.
2. Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu hal yang harus dilakukan untuk
menunjang kehidupan dan keluarga seseorang.
3. Usia
Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi
perubahan pada aspek fisik dan psikologi. Pada aspek psikologis
atau mental, taraf berpikir seseorang akan semakin matang dan
dewasa

b. Eksternal
Faktor eksternal dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Faktor Lingkungan
6

Lingkungan merupakan seluruh keadaan di sekitar yang


dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau
kelompok.
2. Sosial Budaya
Sistem yang ada di masyarakat dapat mempengaruhi sikap
dalam menerima informasi.

2.2. Pendidikan Kesehatan


Definisi dari pendidikan kesehatan ada beberapa macam. Organisasi
Kesehatan Dunia mendefinisikan pendidikan kesehatan sebagai yang kesadaran
yang dibangun untuk pembelajaran yang melibatkan beberapa bentuk komunikasi
yang dirancang untuk meningkatkan kesehatan, termasuk meningkatkan
pengetahuan, dan mengembangkan keterampilan hidup yang kondusif untuk
kesehatan individu dan masyarakat.9
Model yang sering digunakan dalam promosi kesehatan adalah Precede-
Proceed oleh Green dan Kreuter.10 Bagian petama dari model berfokus pada
perencanaan program dan bagian kedua berfokus pada pelaksanaan dan evaluasi.
Faktor yang mempengaruhi kesuksesan pendidikan kesehatan menururt Green dan
Kreuter adalah:
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi diartikan sebagai faktor pencetus timbulnya perilaku
seperti pikiran dan motivasi yang mempermudah atau mempredisposisi
terjadinya perilaku seseorang. Yang termasuk dalam faktor predisposisi adalah
pengetahuan, sikap,kepercayaan, nilai-nilai, keyakinan dan variabel
demografi.
2. Faktor pendukung
Faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terlaksananya
perilaku atau tindakan. Yang termasuk dalam faktor pendukung adalah antara
lain ketersediaan pelayanan kesehatan, keterjangkauan pelayanan kesehatan,
peraturan pemerintah, dan ketrampilan dalam bidang kesehatan.
7

3. Faktor pendorong
Faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku,
misalnya dengan adnya contoh dari para tokoh masyarakat yang menjadi
panutan. Yang dapat menjadi faktor pendorong adalah keluarga, kelompok,
pengajar, pekerja, pelayan kesehatan, dan pemimpin komunitas.

2.3. Cedera Olahraga


2.3.1. Definisi
Olahraga mempunyai peranan utama dalam perjuangan hidup dan
mmemberikan pengalaman yang bernilai dan nyata. Namun, terkadang
tekanan lingkungan dan manusia yang diterima oleh seseorang pada waktu
berolahraga sering menimbulkan cedera. Cedera ini sering dikenal sebagai
cedera olahraga. Cedera olahraga terkadang daapat mempengaruhi
kehidupan manusia. Menurut Kisner dan Colby, cedera olahraga adalah
cedera yang terjadi karena adanya pengaruh dari luar dalam olahraga itu
sendiri (kontak dengan orang lain) dengan trauma langsung dikatakan
sebagai hasil dari pengulangan beban berlebih.11

2.3.2. Klasifikasi
Cedera Olahraga banyak jenisnya dan dapat dikelompokkan atas
dasar beberapa hal. Menurut Rusli Lutan, pembagian cedera dapat
dikelompokan sebagai berikut, diantaranya:12
1. Tempat
a. Jaringan lunak: Cedera pada otot, saraf, tendo, ligamen, kulit,
pembuluh darah, dan lain-lain.
b. Jaringan keras: Cedera cedera pada tulang, berupa retak atau
patah seluruhnya.
2. Proses
a. Cedera tumbukan: Cedera yang terjadi karena tubuh
berbenturan dengan benda keras, seperti alat olahraga,
lapangan, atau lawan.
8

b. Cedera pelintiran: Cedera yang terjadi karena tubuh melakukan


gerakan berputar yang berlebihan atau tidak terduga.
c. Cedera gesekan: Cedera yang terjadi karena tubuh terkena
gesekan permukaan yang kasar, misalnya sliding dalam
sepakbola atau softball. Gerakan ini akan menyebabkan kulit
terkelupas.
3. Waktu
a. Akut: Yang dimaksud dengan cedera akut adalah cedera yang
disebabkan oleh trauma seketika, misalnya melakukan across
body-block dalam futsal. Yang termasuk dalam cedera ini
antara lain: patah tulang, memar, robek ligamen, robek otot atau
tendo, lecet, dan tergores.
b. Kronis: Cedera kronis adalah cedera yang disebabkan oleh
aktivitas yang dilakukan berulang-ulang dalam waktu lama,
seperti berlari. Cedera ini meliputi stress fracture, tendinitis,
dan epifisis atau apofistisis.
4. Tingkat keparahan
a. Ringan: Merupakan cedera dengan robekan yang hanya dapat
dilihat dengan mikroskop, sedikit keluhan, dan tidak
mengganggu performance penderita, misalnya lecet, memar,
atau robek ligamen kecil.
b. Sedang: Merupakan cedera dengan kerusakan jaringan,
menimbulkan rasa nyeri, bengkak, merah, atau panas dengan
menimbulkan gangguan fungsi dan punya pengaruh pada
performance penderita. Misalnya robek otot dan robek ligamen.
c. Berat: Cedera dengan robekan otot atau ligamen secara lengkap
atau hampir lengkap atau faktur tulang yang memerlukan
istirahat total, pengobatan intensif, bahkan operasi.

Sedangkan, ada beberapa pengelompokkan cedera olahraga yang


lebih spesifik yang dikemukakan oleh Hardianto Wibowo dan
Sudijandoko. Pengelompokkannya adalah sebagai berikut:13
9

1. Sprain
Sprain merupakan bentuk cedera berupa robekan pada ligamen
(jaringan penghubung tulang dan tulang) atau kapsul sendi yang
memberikan stabilitas sendi. Dibagi menjadi empat tingkatan:
a. Tingkat 1 (Ringan). Robekan terjadi pada serat ligamen, dan
terdapat hematom kecil dalam ligamen, namun tidak ada
gangguan fungsi.
b. Tingkat 2 (Sedang). Robekan terjadi lebih luas (<50%), terjadi
gangguan fungsi, proteksi diperlukan untuk kesembuhan.
c. Tingkat 3 (Berat). Robekan terjadi secara total atau ligamen
lepas dari tempat perlekatannya dan fungsi terganggu total,
tindakan yang diperlukan adalah segera tempatkan kedua ujung
robekan secara berdekatan.
d. Tingkat 4 (Sprain Fracture). Ligamen lepas dari tempat
perlekatannya diikuti lepasnya sebagian tulang yang di
dilekatinya.
2. Strain
Strain merupakan bentuk cedera robekan struktur musculo-
tendinous (otot dan tendo). Dibagi menjadi tiga tingkatan:
a. Tingkat 1 (Ringan). Tidak terjadi robekan, terjadi inflamasi
ringan, tidak ada penurunan kekuatan otot, cukup mengganggu
aktivitas seseorang.
b. Tingkat 2 (Sedang). Terjadi karena kerusakan yang
menurunkan kekuatan otot.
c. Tingkat 3 (Berat). Terjadi karena kerusakan hebat yang komplit
dan dibutuhkan pembedahan.

2.3.3. Penyebab dan Faktor Risiko


Menurut Bompa, cedera olahraga disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan tentang cedera dan penanggulangannya, terutama dalam hal
terapi atau penyembuhan pasca cedera Kecelakaan atau cedera bukan
sesuatu yang terjadi secara spontan, melainkan ada penyebabnya.14 Rusli
10

Lutan, mengatakan bahwa semua orang, terutama remaja dan anak-anak


yang belum berkembang ketrampilannya mempunyai potensi mengalami
cedera olahraga.15
Pendapat lain mengatakan bahwa cedera yang terjadi pada waktu
berolahraga disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Kecelakaan, pelaksanaan
latihan yang kurang baik, peralatan yang ridak sesuai, kurang persiapan
kondisi fisik, dan pemanasan atau peregangan yang tidak memadai.16

2.3.4 Pencegahan
Congeni mengatakan bahwa cara terbaik untuk menghadapi cedera
olahraga adalah dengan mencegahnya.17 Huisenga menambahkan bahwa
pengetahuan tentang cedera yang memadai juga tidak kalah penting untuk
mencegah terjadinya cedera. Pengetahuan yang memadai akan
berpengaruh juga pada penanggulangan pada upaya pengobatan cedera
olahraga yang terjadi. 18
Oleh Congeni, tindakan preventif untuk mencegah terjadinya
cedera olahraga dijabarkan secara rinci, sebagai berikut:19
1. Mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai cedera olahraga
dan penanggulangannya.
2. Mempunyai kondisi fisik yang baik pada waktu berolahraga.
3. Mengetahui dan melaksanakan aturan main.
4. Menggunakan alat pelindung yang sesuai dan baik.
5. Mengetahui cara menggunakan peralatan olahraga.
6. Melakukan pemanasan sebelum olahraga
7. Tidak berolahraga pada waktu mengalami kelelahan atau sakit.

Creighton menganjurkan langkah-langkah yang harus dilakukan


untuk menghindari terjadinya kecelakaan yang dapat menimbulkan cedera
olahraga, yaitu: mengetahui keterampilan dengan benar, memahami dan
menerapkan peraturan permainan, memakai pelindung yang sesuai,
memelihara peralatan agar tetap dalam kondisi baik, dan mempersiapkan
fisik dalam keadaan fit, terutama untuk berolahraga.20
11

Pencegahan cedera olahraga secara praktis dibagi menjadi 3, yaitu


pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Semua tindakan pencegahan
yang dikemukakan oleh pakar tersebut dilakukan sebelum cedera olahraga
terjadi. Tindakan pencegahan ini disebut pencegahan primer. Di samping
itu, ada tindakan pencegahan yang dilakukan setelah kecelakaan terjadi
dalam rangka meminimalkan kerusakan akibat yang ditimbulkan oleh
cedera olahraga, yang disebut dengan pencegahan sekunder. Tindakan
pencegahan sekunder berupa pemberian pertolongan pertama pada
kecelakaan (P3K) yang dilakukan secara profesional. Setelah itu,
dilanjutkan dengan tindakan pencegahan tersier untuk membatasi
ketidakmampuan seseorang akibat cedera dengan terapi dan rehabilitasi.21

2.4. Cedera Ankle


2.4.1. Anatomi Ankle
Sendi Ankle atau pergelangan kaki adalah sendi yang paling sering
terjadi dalam dunia olahraga. Sendi Ankle tersusun oleh tulang, ligamen,
tendo, dan jaringan penghubung. Susunan sendi ankle terdiri atas distal
tibia, fibula, dan superior talus. Ligamen anterior talofibular berfungsi
sebagai penyeimbang pertama untuk ankle bagian lateral.22
Sendi ankle disusun oleh tiga ligamen ankle utama yakni anterior
talofibular ligament (ATFL), calcaneal fibular ligament (CFL), dan
posterior talofibular ligament (PTFL). Ligamen yang terdapat pada sendi
ankle berfungsi sebagai struktur yang mempertahankan stabilitas sendi
ankle dalam berbagai posisi. Secara anatomi struktur ligament dari sendi
ankle adalah sebagai berikut:22
1. Posterior talofibular ligament adalah ligamen yang melekat pada
posterior tulang talus dan fibula.
2. Calcaneofibular ligament adalah ligamen yang melekat pada tulang
calcaneus dan fibula.
3. Anterior talofibular ligament adalah ligamen yang melekat pada
anterior tulang talus dan fibula.
12

4. Posterior tibiotalar ligament adalah ligamen pada posterior tulang


tibia.
5. Tibiocalcaneal ligament adalah ligamen yang melekat pada tulang
tibia dan calcaneus.
6. Tibionavicular ligament adalah ligamen yang melekat pada tulang
tibia dan navicular.
7. Anterior tibiotalar ligament adalah ligament yang melekat pada
anterior tulang tibia dan talus.
Ada beberapa otot-otot penggerak utama dalam sendi ankle. Otot
penggerak utama dalam gerakan dorsofleksi adalah tibialis anterior.
Sedangkan otot utama dalam gerakan plantar fleksi adalah otot
gastrocnemius dan otot soleus.Otot untuk gerakan eversi adalah otot
peroneus longus dan peroneus brevis.,22

Gambar 2.1. Anatomi pergelangan kaki (tulang dan ligamen)23


13

Gambar 2.2. Anatomi pergelangan kaki (otot)24

2.4.2. Fisiologi Ankle

Sendi ankle terdiri atas sendi talocrularis dan sendi talotarsalis.


Sendi talocrularis merupakan sendi engsel. Secara gerakan sendi ini dapat
melakukan gerakan dorsofleksi, plantarfleksi, inversi dan eversi. Range of
Motion (luas gerak sendi) dalam keadaan normal untuk dorsofleksi adalah
200, plantarfleksi adalah 500, gerakan eversi adalah 200, dan gerakan
inversi adalah 400. Penulisan yang disesuaikan dengan standar ISOM
(Internaional Standard Orthopaedic Meassurement) untuk gerak
dorsofleksi dan plantarfleksi akan tertulis (S) 20-0-50 dan gerak inversi
dan eversi tertulis (S) 20-0-40.25
Berdasarkan dari bentuk persendiannya, Pieter dan Gino
mengklasifikasikan sendi ankle sebagai sendi ginglimus dengan gerakan
yang mungkin terjadi adalah dorsofleksi (fleksi) dan plantarfleksi
(ekstensi) dengan jangkauan gerakan yang bervariasi untuk dorsofleksi
antara 13-330 dan plantarfleksi 23-560.26

Gambar 2.3. Range of Motion Ankle36


14

2.4.3. Patofisiologi
Cedera yang sering terjadi pada atlet adalah sprain yaitu cedera
pada sendi yang mengakibatkan robekan pada ligamen. Sprain terjadi
karena adanya tekanan mendadak pada sendi, atau karena penggunaan
berlebih yang berulang ulang. Sprain ringan biasanya disertai hematom
dengan sebagian serabut ligamen putus, sedangkan pada sprain sedang
terjadi efusi cairan yang menyebabkan bengkak. Pada sprain berat, seluruh
serabut ligamen putus sehingga tidak dapat digerakkan seperti biasa
dengan rasa nyeri hebat, pembengkakan dan adanya darah dalam sendi.37
Menurut Dutton sprain ankle dapat dikategorikan ke dalam
berbagai tingkatan sebagai berikut :27
a. Grade I, dengan karakteristik bengkak minimal dan nyeri lokal. Rata rata
membutuhkan waktu 11,7 hari untuk kembali beraktifitas.
b. Grade II, dengan karakteristik bengkak lokal dan nyeri lebih menyebar.
Tingkat ini membutuhkan waktu 2-6 minggu untuk kembali beraktifitas.
c. Grade III, dengan karakteristik bengkak yang signifikan, nyeri, lebam
dan harus ditangani oleh tenaga professional. Membutuhkan waktu lebih
dari 6 minggu untuk dapat berfungsi kembali.
Menurut Dutton proses penyembuhan ligamen sama dengan
jaringan tubuh lainnya. Berikut merupakan fase penyembuhan ligamen :27
a. Fase I Hemoragik
Setelah terjadinya kerusakan jaringan, celah yang ada di area
kerusakan akan diisi oleh gumpalan darah (hematoma). Leukosit dan
limfosit akan muncul yang dipicu oleh lepasnya sitokinin pada gumpalan
darah. Kemudian leukosit dan limfosit merespon sinyal autrokin dan
parakrin untuk diterjemahkan sebagai respon inflamasi karena adanya
luka.
b. Fase II Inflamasi
Makrofag akan muncul 24-48 jam dan menjadi sel utama dalam
beberapa hari. Makrofag akan memfagositosis jaringan yang nekrosis dan
menyebabkan neovaskularisasi. Setelah hari ketiga area yang rusak akan
15

mengandung makrofag, PMN leukosit, limfosit dan sel mesensimal, faktor


pertumbuhan dan platelet. Faktor pertumbuhan akan menstimulasi
fibroblas untuk berpoliferasi dan sintesis kolagen tipe I, III dan V sebagai
protein non kolagen.
c. Fase III Proliferasi
Sel terakhir yang terdapat pada jaringan yang rusak adalah
fibroblast. Fibroblas memiliki reticulum endoplasma yang berlimpah dan
memproduksi kolagen dan protein lain dalam satu minggu masa cedera.
Setelah minggu kedua baru terbentuk jaringan baru dan serabut kapiler
pembuluh darah.
d. Fase IV Remodelling dan Maturasi
Merupakan fase yang ditandai dengan penurunan bertahap di dalam
seluler pada jaringan yang mengalami proses penyembuhan. Ligamen
sudah mengalami remodeling, jaringan menjadi kuat tapi tidak seperti
morfologi normalnya. Cedera ligamen dapat pulih kembali selama tiga
tahun untuk mengembalikan kekuatannya.Biasanya ligamen dapat pulih
50% selama 6 bulan pasca cedera, 80% setelah 1 tahun dan 100% setelah
1-3 tahun.
2.4.4. Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada kasus cedera sprain ankle,
antara lain :28
a. Melakukan observasi terhadap area yang terkena cedera, melihat apakah
terdapat deformitas, bengkak dan memar.
b. Melakukan pemeriksaan gerak sendi dengan mengukur ROM (Range Of
Motion) untuk gerakan plantar fleksi, dorso fleksi, inversi dan eversi secara
aktif, pasif maupun resisted.
c. Melakukan palpasi pada area tungkai bawah secara menyeluruh untuk
mendukung penegakan diagnosa.
d. Mengukur edema / bengkak yang terdapat pada area cedera (jika terdapat
bengkak).
e. Melakukan pemeriksaan neurovaskuler (tes sensoris, tes motoris dan
16

hematom)
f. Melakukan pemeriksaan spesifik, yaitu :
1) Drawer Test
Tujuan dari tes ini adalah melihat adanya kerusakan pada ligamen,
khususnya ATFL (Anterior TaloFibular Ligamen).

Gambar 2.4. Drawer Test 29


2) Inversion Talar Tilt
Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui adanya gangguan pada
bagian lateral ankle, positif apabila terdapat nyeri.

Gambar 2.5. Inversion Talar Tilt 29


3) Eversion Talar Tilt
Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui adanya kerusakan pada
bagian medial ankle, positif apabila terdapat nyeri.

Gambar 2.6. Eversion Talar Tilt 29


17

2.5. Terapi Latihan


2.5.1. Definisi
Uqihakim mengartikan terapi latihan sebagai salah satu modalitas
fisioterapi dengan menggunakan gerak tubuh aktif ataupun pasif dengan
tujuan untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan
kardiovaskuler, mobilitas, fleksibilitas, stabilitas, relaksasi, koordinasi,
keseimbangan dan kemampuan fungsional.30
Sementara Walker mengutarakan untuk mencapai tingkat
kesembuhan 100% kita diperlukan untuk melakukan terapi latihan
(rehabilitasi). Walker, tanpa rehabilitasi keadaan ankle yang cedera hanya
mencapai tingkat 80% itupun jikalau proses penyembuhan dilakukan
dengan baik. Jadi, rehabilitasi yang hanya 20% ini sangat krusial untuk
melengkapi proses penyembuhan .Terapi latihan dilakukan setelah proses
imobilisasi dilakukan dengan tepat dan akan berpengaruh terhadap
keberhasilan proses rehabilitasi.31
Otot beregenerasi dalam 3-5 hari setelah latihan dimulai, sementara
serabut otot (serabut otot merah dan serabut otot putih) akan sembuh total
dalam 6 minggu dan kontraktil otot yang dilatih berulang kali akan normal
kembali setelah dilatih minimal 4 bulan.. Sementara ligamen akan kembali
dalam keadaan 50% setelah latihan selama 6 bulan, keadaan 80% setelah
latihan selama 1 tahun, dan kembali dalam 100% dalam 1-3 tahun. Tipe
dan panjangnya proses aktivitas terapi latihan tergantung pada jenis cedera,
kerusakan jaringan, dan nasihat dari dokter olahraga.32

2.5.2. Fase-Fase Terapi Latihan


Marcia et al membagi proses terapi latihan dalam empat fase
berkelanjutan, yaitu:33
1) Fase Pengendalian Inflamasi (Peradangan).
Tujuan utama pada fase ini adalah untuk mengurangi pendarahan,
nyeri, dan peradangan. Tanda radang yang timbul merupakan respon tubuh
saat mengalami cedera olahraga. Tanda radang yang timbul seperti rubor
18

(merah), tumor (bengkak), kalor (panas), dolor (nyeri) dan functiolesa


(gangguan fungsi). Pembuluh darah di lokasi cedera akan melebar
(vasodilatasi) tujuannya untuk mengirim lebih banyak nutrisi dan oksigen
dalam proses penyembuhan. Hal ini yang mengakibatkan lokasi cedera
terlihat berwarna merah (rubor). Cairan darah yang banyak akan merembes
keluar melalui kapiler menuju ruang antar sel dan menyebabkan bengkak
(tumor). Metabolisme di lokasi cedera akan meningkat karena dukungan
nutrisi dan oksigen yang memicu timbulnya rasa panas (kalor). Tumpukan
sisa metabolisme dan zat kimia lain akan merangsang ujung syaraf di
lokasi cedera dan menimbulkan nyeri (dolor). Empat proses di atas akan
menurunkan fungsi organ atau sendi di lokasi cedera yang dikenal dengan
functiolaesa.
Apabila terjadi tanda-tanda radang pada cedera akut, maka
penanganan yang disarankan adalah RICE (Rest, Ice, Compression, and
Elevation). Rest (istirahat) bertujuan untuk mengurangi dampak yang
lebih bahaya dan mengurangi aliran darah berlebih ke ankle. Pemberian
rest ini sangat relatif, tergantung dari cedera yang dialami pasien. Ice (es)
diberikan secepat mungkin setelah terjadi cedera dengan tujuan untuk
mengurangi pendarahan, nyeri dan rasa sakit pada bagian yang cedera .
Pemberian es efektif selama adanya radang. Compression (kompres)
berujuan untuk mengurangi pendarahan dan nyeri, juga untuk membantu
pembatasan gerak pada sendi ankle dengan menggunakan kain elastis,
lembut, dan lebar untuk dibalutkan pada persendian. Tujuan dari
compression adalah membantu mengurangi edema yang mengganggu
sendi untuk bergerak normal. Elevation (meninggikan bagian yang cedera)
tujuannya adalah untuk mengurangi dampak dari pendarahan dan nyeri
dengan sedikit mengangkat bagian yang cedera
Meninggikan posisi dari jantung akan mengurangi efek radang.
Marcia et al, mengatakan ketinggian sendi yang cedera terhadap jantung
adalah enam sampai sepuluh inchi. Apabila terjadi cedera akut, segera
lakukan RICE diikuti konsultasi medis, untuk cedera ringan bisa hanya
19

menggunakan RICE, namun untuk cedera berat perlu dibawa ke rumah


sakit. Proses imobilisasi (pengurangan gerak) lebih dari 2 atau 3 minggu
akan menyebabkan adhesi persendian dan terganggunya regenerasi serabut
otot, sementara proses ini tergantung respon tubuh terhadap peradangan
yang berpengaruh pada stabilitas dan fungsi dari jaringan. Immobilization
(proses imobilisasi) berpengaruh terhadap otot dan ligamen yang mengecil,
peredaran darah terganggu dan berkurangnya jangkauan gerak sendi.
Kekuatan otot berkurang dalam 24 jam dan kehilangan massa otot dalam
3-7 hari imobilisasi.

2) Fase Pengembalian ROM (Range of Motion/ Jangkauan Gerak Sendi).


Fase ini dimulai segera setelah peradangan telah dikendalikan
sepenuhnya (minimal 4 hari setelah cedera setelah pendarahan berhenti
atau menunggu beberapa minggu setelah cedera) dengan tujuan utama
adalah pengembalian ROM, propioception, dan kelentukan sendi yang
dapat diukur menggunakan goniometer. Faktor yang membatasi ROM
antara lain: adhesi sendi, ketegangan otot, pendarahan, nyeri, dan lemak
yang menahan pergerakan sendi. Goniometer digunakan untuk mengukur
ROM sesuai fisiologi gerak sendi (fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi, dan
rotasi). Proses imobilisasi menyebabkan menurunnya kelentukan otot dan
jaringan penghubung berkurang kecepatannya dalam melakukan peran
sebagai kontraktil (penggerak) otot, namun hal ini dapat diatasi dengan
melakukan latihan pasif dan aktif stretching seperti latihan propioseptif .
Kontraindikasi dalam proses mobilisasi sendi adalah: radang akut,
osteoarthritis lanjut, penyakit tulang keturunan, patah tulang, infeksi,
hypermobility, dan osteoporosis. Kelentukan merupakan ROM sempurna
tanpa rasa nyeri yang merupakan gabungan dari gerak mekanis sendi
secara normal, mobilitas jaringan lunak, dan ekstensibilitas otot.
Kelentukan dapat dilatih dengan ballistic stretching dan static stretching.
Tujuan dari penguluran (stretching) adalah untuk meningkatkan
suhu tubuh dan dapat dilakukan setelah ada perlakuan untuk bagian
20

permukaan tubuh. Ballistic stretching dilakukan gerakan penguluran sendi


yang diulang-ulang sampai batas ROM sementara untuk static stretching
dilakukan lebih pelan dan hanya menahan gerakan sendi yang dilatih.
Stretching dilakukan selama 10-30 detik setiap gerakan sampai terasa
nyaman dan tenang ototnya dengan diikuti pengaturan napas (berirama dan
pelan).
Propioceptive neuromuscular facilities (PNF) mampu
meningkatkan respon neuromuscular sistem yang menstimulasi
propiosepsi syaraf tepi. PNF dilakukan dengan prinsip dorong (push) atau
tarik (pull) untuk isotonik kontraksi, sementara untuk isometrik kontraksi
tahan (hold) diikuti dengan tenang (relax) yang dilakukan selama 3, 6, atau
10 detik setiap gerakan. Latihan ini akan meningkatkan kelentukan satu
kelompok otot dan menguatkan kelompok otot yang lain. Latihan ini sering
dikenal dengan AAROM (Active Assisted Range of Motion). Active Range
of Motion (AROM) yaitu melakukan gerakan. Mobilisasi dimulai pada hari
di mana ankle yang cedera mampu melakukan gerakan plantarfleksi dan
dorsofleksi tanpa nyeri. Indikasi untuk masuk ke fase berikutnya
(penguatan) adalah sebagai berikut:
a) Radang dan nyeri sudah teratasi.
b) ROM mencapai 80%.
c) Kelentukan otot sudah kembali, propioseptik didapat kembali.
d) Daya tahan jantung paru dan kekuatan umum tubuh masih sama
seperti sebelum cedera .

3) Fase Penguatan.
Tujuan fase ini adalah meningkatkan kekuatan, daya tahan, dan
daya ledak otot sendi yang cedera dibandingkan dengan sendi yang tidak
cedera. Pada fase satu dan dua latihan kekuatan statis memang sudah
dilakukan, namun pada fase ini lebih dianjurkan untuk melakukan latihan
kekuatan dinamis. Ada dua tipe latihan, yakni konsentrik dan eksentrik.
Konsentrik untuk otot yang berperan aktif (protagonist) sementara
21

eksentrik untuk otot yang tidak berperan aktif (antagonis). Kedua tipe ini
bisa dilatih bersamaan menggunakan dumbell, thera-band dan mesin
fitness. Pada latihan kekuatan ini yang pertama adalah latihan isotonik.
Latihan isotonik memadukan antara konsentrik dan eksentrik kontraksi
dengan berbagai metode. Apabila latihan dilakukan di gym (pusat
kebugaran) dapat memaksimalkan alat-alat yang ada di gym dengan
menggunakan sistem sirkuit. Latihan ini akan berpengaruh terhadap
kekuatan otot. Sementara latihan isokinetik akan berpengaruh pada daya
tahan otot, karena latihan isokinetik lebih fokus pada meningkatkan
ambang batas lelah sekelompok otot. Apabila latihan dilakukan di gym
isotonik dan isokinetik sama-sama menggunakan repetisi (pengulangan),
namun jumlahnya berbeda.
Indikasi latihan bisa dilanjutkan ke fase ke empat adalah sebagai
berikut:
a) ROM dan kelentukan sendi sudah kembali.
b) Kekuatan, daya tahan dan daya ledak otot yang cedera sudah sama atau
mendekati sama dengan sebelum cedera.
c) Daya tahan jantung paru dan kekuatan secara umum sudah sama atau
lebih baik dari sebelum cedera.
d) Batas ambang minimal sudah dapat dicapai untuk fungsi gerak dalam
olahraga spesifik.
e) Secara psikologi sudah siap kembali ke aktivitas selanjutnya

4) Fase Pengembalian ke Aktivitas Olahraga.


Tujuan dalam fase ini adalah membenarkan gerak biomekanika
yang keliru (tidak efisien), mengembalikan koordinasi dan kekuatan, daya
tahan dan kekuatam otot sesuai kemampuan olahraga prestasi yang
digeluti, dan meningkatkan daya tahan jantung paru. Koordinasi meliputi
kemampuan tubuh dalam menyelesaikan tugas dengan lembut, mengalir,
akurat, dan gerak yang terkendali. Koordinasi dibagi menjadi dua, yakni
gerakan gross motor (menggunakan sekelompok besar otot) dan gerakan
22

fine motor (menggunakan sekelompok kecil otot). Koordinasi berkaitan


dengan propioseptik, jadi ketika melatih propioseptik, tanpa disadari
koordinasi juga ikut dilatih. Latihan yang disesuaikan dengan gerak dasar
olahraga prestasi yang digelutinya. Latihan yang diberikan harus
mendukung, berkaitan dan sejalan dengan gerak dasar olahraga
prestasinya.
Daya tahan jantung paru (sering disebut kemampuan aerobik)
dilatih untuk meningkatkan efisiensi peredaran darah dan oksigen ke
seluruh tubuh. Peningkatan dilakukan pada frekuensi, intensitas, dan durasi
latihan. The American College of Sport Medicine (ACSM) menganjurkan
untuk intensitas menengah minimal 30 menit per sesi latihan dilakukan
dalam 5 hari atau lebih selama seminggu. Sementara untuk intensitas yang
rendah minimal 20 menit per sesi latihan dilakukan dalam 3 hari atau lebih
per minggu. ACSM juga merekomendasikan latihan aerobik dengan
pembebanan dilakukan dalam 30-60 menit per sesi 3-5 kali per minggu
dengan penambahan 2-3 kali per minggu.
Indikasi fase 4 selesai dan siap kembali ke aktivitas olahraga
adalah sebagai berikut:
a) Koordinasi dan keseimbangan sudah normal.
b) Sendi yang cedera sudah mampu melakukan gerakan spesifik untuk
olahraga prestasi.
c) Kekuatan, daya tahan, dan daya ledak otot sudah sama seperti sebelum
cedera.
d) Daya tahan jantung paru sudah sama atau lebih baik dari sebelum
cedera.
e) Sudah mendapat izin dari pihak kesehatan untuk melakukan aktivitas
olahraga

2.5.3. Bentuk-Bentuk Terapi Latihan Cedera Ankle


Beberapa bentuk latihan spesifik yang bisa digunakan untuk terapi latihan
cedera ankle adalah sebagai berikut:34
23

a. Plantar Fascia Stretch dengan cara menarik ankle menggunakan handuk,


dengan cara melilitkan handuk pada telapak kaki dan mengulur tendon
Achilles.

Gambar 2.7. Plantar Fascia Stretch35


b. Towel Crunches dengan cara meletakkan handuk dibawah telapak kaki dan
melakukan gerakan menggulung dan melepaskan gulungan handuk.

Gambar 2.8 Towel Crunches36

c. Picking Up Object dengan cara mengambil suatu objek dan memindahkan ke


tempat lain.

Gambar 2.9. Picking Up Object36


24

d. Unilateral Balance Activities dengan cara berdiri dengan satu kaki diawali
dengan mata terbuka dilanjutkan dengan mata tertutup.

Gambar 2.10. Unilateral Balance Activities36

f. Thera Band Exercise dengan cara dililitkan pada ankle dan kaki meja dilanjutkan
dengan melatih gerakan dorsifleksi, plantar fleksi, inverse dan eversi.

Gambar 2.11. Thera Band Exercise37


25

e. Triceps Surae Strecth dengan cara mengkontraksikan otot gastrocnemius pada


lantai atau dinding.

Gambar 2.12. Triceps Surae Stretch37

f. Ankle Alphabet dengan cara membuat huruf A-Z huruf kapital dan huruf kecil
sebanyak tiga kali pengulangan.

Gambar 2.13. Ankle Alphabet37


26

2.6. Kerangka Teori

Faktor-faktor yang
memengaruhi
pengetahuan cedera
olahraga

Pengetahuan mengenai Pengetahuan mengenai Pengetahuan mengenai


pengertian cedera: kategori cedera: terapi cedera:

Pengetahuan mengenai cedera


ankle dan terapi latihan
sebelum diberikan edukasi
kesehatan

Pengetahuan mengenai cedera


ankle dan terapi latihan setelah
diberikan edukasi kesehatan

Gambar 2.14. Kerangka Teori


1
27

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Pengetahuan sebelum Pengetahuan setelah


diberikan edukasi diberikan edukasi
kesehatan tentang cedera kesehatan tentang cedera
ankle dan terapi latihan ankle dan terapi latihan

Pendidikan kesehatan
tentang cedera ankle
dan terapi latihan

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

3.2 Variabel dan Definisi Operasional


3.2.1 Variabel Bebas
3.2.1.1 Edukasi Kesehatan Tentang Cedera Ankle dan Terapi Latihannya Anggota
Medsoccer FKIK-UAJ Angkatan 2016-2019
a. Definisi :Bentuk edukasi kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang cedera ankle
dan terapi latihan.
b. Skala ukur : Nominal
c. Alat ukur : Menggunakan alat bantu slideshow dalam
bentuk power point
3.2.2 Variabel Terikat
3.2.2.1 Pengetahuan Anggota Medsoccer FKIK-UAJ Angkatan 2016-2019
a. Definisi : Pengetahuan tentang cedera ankle dan terapi latihan
meliputi pengertian dan kategori cedera serta terapi
latihan.

27
28

b. Cara Ukur : Pengukuran dilakukan dengan pengisian kuesioner


mengenai pengetahuan anggota Medsoccer FKIK-
UAJ tentang cedera ankle dan terapi latihan.
Kuesioner terdiri dari 30 pernyataan dengan
memberikan jawaban ya atau tidak. Pernyataan
tersebut terdiri dari 14 pernyataan positif dan 16
pernyataan negatif. Untuk pertanyaan positif, jawaban
“Ya” diberi skor (1), dan jawaban “Tidak” diberi skor
(0), sedangkan untuk pertanyaan negatif, jawaban
“Ya” diberi skor (0), dan jawaban “Tidak” diberi skor
(1). Total skor akan dikallikan 10/3 untuk
mendapatkan hasil akhir antara 0-100.
c. Skala Ukur : Ordinal
d. Alat Ukur :Kuesioner yang telah diuji validitas dan
reliabilitasnya.
e. Hasil ukur : Nilai total nilai dengan rentang 0-100.

3.3 Hipotesis Penelitian


Ho : Pemberian pendidikan kesehatan tentang cedera ankle dan terapi latihan
tidak berhubungan dengan tingkat pengetahuan anggota Medsoccer FKIK-UAJ
angkatan 2016-2019.
H : Pemberian pendidikan kesehatan tentang cedera ankle dan terapi
latihan berhubungan dengan peningkatan pengetahuan anggota Medsoccer FKIK-
UAJ angkatan 2016-2019.
129

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Metode penelitian adalah eksperimental dengan desain penelitian
menggunakan one group pre and post test deisgn.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


4.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Ruang Kelas Fakultas
Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Pluit, Jakarta Utara.
4.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada rentang waktu bulan Agustus 2019
hingga September 2019.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1. Populasi Penelitian
1. Populasi target
Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa
anggota Medsoccer FKIK-UAJ.
2. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah mahasiswa anggota
Medsoccer FKIK-UAJ angkatan 2016-2019.
4.3.2. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi terjangkau
yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

29
30

4.3.3. Estimasi Besar Sampel


Besar sampel dihitung menggunakan rumus besar sampel
penelitian analitik yang bersifat kategorik (Cochran’s sample size
formula):

Keterangan:
no = besar sampel
Z = simpangan rata-rata distribusi normal standar sesuai dengan
derajat kepercayaan yang ditentukan
p = proporsi penyakit atau keadaan yang dicari (dari pustaka,
pengalaman, studi pendahuluan)
q =1p
e = limit dari error

Dalam penelitian ini, ditentukan derajat kepercayaan sebesar 0,05


sehingga nilai Z sebesar 1,96 dan limit dari error sebesar 10%, sehingga:
Z = 1,96
p = tidak diketahui, sehingga digunakan nilai p terbesar yaitu 0,5
q = 1  p = 0,5
e = 0,1

Cochran’s sample size formula:


𝑍2 𝑥 𝑝 𝑥 𝑞
no =
𝑒2
1,96 𝑥 1,96 𝑥 0,5 𝑥 0,5
no =
0,1 𝑥 0,1
31

0,9604
no =
0,01

no = 96,04 ≈ 97 orang

Digunakan Cochran’s formula yang telah disesuaikan (Cochran’s


formula for finite population):
𝑛0
n= (𝑛0 −1)
1+ 𝑁

Keterangan:
n = besar sampel pada perhitungan menurut Cochran’s formula for
finite population
no = besar sampel pada perhitungan menurut Cochran’s formula for
finite population
N = besar populasi

Cochran’s formula for finite population:


𝑛0
n= (𝑛0 −1)
1+ 𝑁

96,04
n= (96,04 −1)
1+ 40
96,04
n=
1+2,376
96,04
n=
3,3776

n = 28,44 ≈ 29 orang
Untuk mencegah drop out, maka ditambahkan 10% dari jumlah
sampel minimal, sehingga 28+2,8= 30,8 ≈ 31 orang.
Untuk menguji validitas dari jumlah sampel, diperlukan hasil
perhitungan:
𝑝𝑥𝑛>5
0,5 𝑥 31 = 15,5 > 5
32

Oleh karena uji validitas menunjukkan 𝑝 𝑥 𝑛 > 5, maka jumlah


pada sampel penelitian ini valid.
Maka, estimasi besar sampel pada penelitian ini adalah sebesar 31
mahasiswa anggota Medsoccer FKIK-UAJ Angkatan 2016-2019
4.4. Kriteria Sampel
4.4.1. Kriteria Inklusi
1. Mahasiswa yang aktif mengikuti latihan futsal dalam organisasi
Medsoccer FKIK-UAJ angkatan 2016-2019.
2. Mengikuti pre-test dan post-test serta pemberian edukasi kesehatan
secara lengkap yang diadakan peneliti.
4.4.2. Kriteria Eksklusi
Subjek penelitian tidak bersedia berpartisipasi pada penelitian
dengan tidak menandatangani informed consent.
4.4.3. Kriteria Drop Out
1. Subjek penelitian mengundurkan diri dari penelitian ini.
2. Subjek penelitian tidak mengikuti pre-test dan post-test serta
pemberian edukasi kesehatan secara lengkap.

4.5. Pengumpulan Data dan Prosedur


1. Peneliti akan memberikan kuesioner kepada mahasiswa anggota
Medsoccer FKIK-UAJ angkatan 2016-2019 yang telah berkumpul di ruang
kelas yang ditentukan.
2. Pengambilan data pertama yaitu pre-test adalah sebagai berikut:
 Identitas responden yang mencakup nama, usia, jenis kelamin.
 Jawaban kuesioner yang berisi tentang pemahaman akan cedera
ankle dan terapi latihan. Pemahaman dan pengetahuan yang dinilai
meliputi pengertian dan kategori cedera ankle, dan terapi latihan.
3. Peneliti akan memberikan presentasi mengenai cedera ankle dan terapi
latihan.
4. Pengambilan data kedua yaitu post-test dilakukan setelah presentasi
diberikan dengan menggunakan kuesioner yang sama seperti yang
33

digunakan pada saat pre-test untuk mengevaluasi kembali pengetahuan


responden.

4.6. Pengolahan dan Analisis Data


Pengolahan dan analisis data akan dilakukan dengan program pengolah data,
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Editing Data, yaitu memeriksa kesalahan atau ketidaklengkapan data pada
kuesioner.
2. Coding Data, yaitu memindahkan data ke dalam kode-kode pada program
pengolah data.
3. Entry Data, yaitu memindahkan data dari kuesioner ke program pengolah
data.
4. Cleaning Data, yaitu memeriksa terjadinya kesalahan pada waktu
melakukan coding.
5. Analysis Data
Melakukan analisis univariat pada data hasil pre-test dan post-test serta
analisis bivariat pada data dengan menggunakan uji T test berpasangan
untuk mengetahui pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang
cedera ankle dan terapi latihan terhadap pengetahuan. Data primer diukur
secara kuantitatif dan dianalisa secara statistik dengan program statistik
StataSE 13 untuk menguji hipotesis penelitian.
34

4.7. Jadwal Kegiatan Penelitian


2019
Kegiatan
Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari
Penyusunan
proposal
Pengajuan
proposal
Ethical
clearance
Pengambilan
data
Analisa data
Sidang hasil
penelitian

4.8. Anggaran Penelitian


No. Keterangan Jumlah Satuan Harga Satuan Total
A. Persiapan Proposal
1. Cetak proposal 100 Lembar Rp 500.00 Rp 50,000.00
2. Jilid 4 Buah Rp 3,000.00 Rp 12,000.00
3. Konsumsi seminar 3 Kotak Rp 35,000.00 Rp 105,000.00
Subtotal Rp 167,000.00
B. Kaji Etik
4. Fotokopi 200 Lembar Rp 200.00 Rp 40,000.00
5. Jilid 5 Buah Rp 3,000.00 Rp 15,000.00
Subtotal Rp 55,000.00
C. Penelitian
6. Cetak inform consent & 100 Lembar Rp 500.00 Rp 50,000.00
kuesioner
7. Gimmick (pen) 50 buah Rp 2,000.00 Rp 100,000.00
Subtotal Rp 150,000.00
D. Seminar Hasil
8. Cetak proposal 200 Lembar Rp 500.00 Rp 100,000.00
9. Jilid 3 Buah Rp 5,000.00 Rp 15,000.00
10. Konsumsi seminar 3 Kotak Rp 35,000.00 Rp 105,000.00
Subtotal Rp 220,000.00
Total Anggaran Penelitian Rp 592,000.00
35

4.9. Dummy Table

1. Karakteristik Demografi
Tabel 4.1. Dummy Table Karakteristik Demografi
Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)

2016
Tahun Angkatan 2017
2018
2019

2. Data Univariat
Tabel 4.2. Dummy Table Data Univariat
Tingkat Pengetahuan Frekuensi (n) Persentase (%)
Sebelum Pendidikan
Kesehatan
 Baik
 Sedang
 Kurang
Sesudah Pendidikan
Kesehatan
 Baik
 Sedang
 Kurang
36

3. Data Bivariat
Tabel 4.3. Dummy Table Data Bivariat
Hasil
Pretest Posttest P value
n % n %

Tingkat Baik
Pengetahuan Cukup
Kurang
37
1

DAFTAR PUSTAKA

1. Schmikli SL, Backx FJ, Kemler HJ, van Mechelen W. National survey on sports
injuries in the Netherlands: target populations for sports injury prevention programs.
Clin J Sport Med. 2009 Mei;19(2):101–86.

2. Lin, Chung-Wei Christine, Claire E. Hiller, and Rob A. de Bie. Evidence- based
Treatment for Ankle Injuries. Journal of Manual and Manipulative Therapy : 2010
Oktober;18(1): 22-28.

3. Fidrotin A. Hubungan Pengetahuan dengan Terjadinya Sprain dan Strain pada


Pemain Sepak Bola Persibo 1949 [Skripsi]. Bojonegoro: Prodi Keperawatan
Rajekwesi; 2013.

4. Nurwijayanti S. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Pertolongan Pertama


RICE pada Sprain terhadap Pengetahuan Masyarakat Dukuh Morodipan Gonilan
Kartasura Sukoharjo [Skripsi]. Surakarta: Prodi Keperawatan Stikes Kusuma
Husada; 2016.

5. National Health Service. Physiotherapy [Internet]. Nhs.uk. 2019 [cited 12 April


2019]. Available from: https://www.nhs.uk/conditions/physiotherapy/

6. Lemos, Noah. An Introduction to The Theory of Knowledge. Cambridge: Cambridge


University Press. 2007

7. Achmad Syamsudin. Aspek-Aspek Penilaian (Ranah Kognitif, Afektif, dan


Psikomotor) Asessmen Pembelajaran Fisika [Skripsi]. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia; 2010.

8. Yuliana W. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku Ibu yang Mempunyai


Anak Usia Pra sekolah dalam Membawa Anak ke Posyandu Wilayah Kerja Desa
Giriroto [Skripsi]. Surakarta: Stikes Kusuma Husada; 2014. Halaman 10

9. World Health Organization. List of Basic Terms. Health Promotion Glossary


[Internet]. Apps.who.int. 2019 [cited 12 April 2019]. Available from:
http://www.who.int/hpr/NPH/docs/hp_glossary_en.pdf.

10. Soleiman Ekhtiari Y, Shojaeizadeh D, Rahimi Foroushani A, Ghofranipour F,


Ahmadi B. The Effect of an Intervention Based on the PRECEDE- PROCEED

37
38

Model on Preventive Behaviors of Domestic Violence Among Iranian High School


Girls. Iran Red Crescent Med J. 2013 Jan;15(1):21–8.

11. Kisner C, Colby LA. Therapeutic exercise: foundations and techniques. 5th Ed.
Philadelphia: FA Davis Company; 2007. 296-298,305-307.

12. Rusli L. Penanggulangan Cedera Olahraga pada Anak Sekolah Dasar. Jakarta: Ditjen
Olahraga; 2001. 30-33

13. Slamet S. Pengetahuan Mahasiswa PKS PJKR Kelas N FIK UNY Terhadap
Perawatan Cedera Olahaga Lutut dan Engkel [Skripsi]. Yogyakarta: FIK UNY;
2010.

14. Bompa, T.O. Total Training for Young Champions. USA: Human Kinetics. 2012.

15. Rusli L. Penanggulangan Cedera Olahraga pada Anak Sekolah Dasar. Jakarta: Ditjen
Olahraga; 2001. 53-54

16. Dunkin, M.A. Sports Injuries [Internet]. Niams.nih.gov. 2019 [cited 12 April 2019].
Available from:http://www.niams.nih.gov/hi/topics/sport_injuries/SportInjuries.html.

17. Congeni, J.A. Dealing With Sport Injursies [Internet]. Kidshealth.org. 2019 [cited 13
April2019]. Available
from:http:/kidshealth.org/teen/safety_fitness/sports/sport_injuries.html.

18. Huisenga,D. Sports and Exercise Safety. [Internet]. Kidshealth.org. 2019 [cited 13
April 2019]. Available from:
Http://www.kidshealth.org/teen/food_fitness/exercise/sport_safety.html.

19. Congeni, J.A. Dealing With Sport Injursies [Internet]. Kidshealth.org. 2019 [cited 13
April2019]. Available
from:http:/kidshealth.org/teen/safety_fitness/sports/sport_injuries.html.

20. Creighton, H. Health Education: Safety. Sydney: The Health Commission of MSW;
2007.

21. Florio, A.E. Safety Education. New York: McGraw-Hill Book Company;1979.

22. Kelly S. Ankle Sprains and Fractures in Adults. Orthopedic Essential. 2009;28:314-
320.
39

23. Ratcliff T. Anatomy of Lower Extremity [Internet]. 2019 [cited 15 April 2019].
Available from: http://www.gleneagles.com/anatomy/lower_extremity.html.

24. Widianto B. Anatomi pergelangan kaki [Internet]. 2019 [cited 15 April 2019].
Available from: http://www.apki.or.id/anatomi_pergelangan_kaki.html.

25. Russe, O. International SFTR Method of Measuring and Recording Joint Motio.
Berlin: Hans Huber Publishers; 1974.

26. Gino M.M.J. Ankle In Football Sport: Springer-Verlag; 2014.

27. Dutton, M. Dutton’s Orthopaedic Examination, Evaluation and Intervention. 3rd Ed.
China: McGraw-Hill Companies, Inc; 2012. 943-963.

28. Mattacola, Carl G., Maureen K. Rehabilitation of the Ankle After Acute Sprain or
Choric Instability. Journal of Athletic Training. 2002; 37(4): 413-429.

29. Morten J. Stress Tests for Ankle Ligaments [Internet]. 2019 [cited 15 April 2019].
Available from: http://epomedicine.com/emergency-medicine/stress-tests-ankle-
ligaments/html.

30. Hollis, M., Phyl F.C. Practical Exercise Therapy. 4th Ed. Oxford: The Alden Press;
1998.

31. Walker, Brad. The Sports Injury Handbook. Queensland: Walkerbout Healthy Pty Ltd;
2005.

32. Krugger, J. Community Options for Outdoor Recreation as an Alternative to Maintain


Population Health and Wellness. USA: 2014.

33. Anderson, K., Susan J. Foundations of Athletic Training Prevention, Assessment, and
Management. 4th Ed. Maryland: Wolters Kluwer Business; 2009.

34. Husney A. Sprained Ankle: Rehabilitation Exercises [Internet]. Uofmhealth.org.


2019 [cited 25 April 2019]. Available from: https://www.uofmhealth.org/health-
library/te7604

35. Morrison W. Plantar Fascitis Stretches [Internet]. 2019 [cited 29 April 2019].
Available from: https://www.healthline.com/health/fitness-exercise/plantar-fasciitis-
stretches
40

36. Thompson G. Rehabilitation for Ankle Injury [Internet]. 2019 [cited 29 April 2019].
Available from: https://www.myhealth.alberta.ca/Health/aftercareinformation

37. Walden M. Ankle Sprain Exercises [Internet]. 2019 [cited 29 April 2019]. Available
from: https://sportsinjuryclinic.net/ssport-injuries/ankle-pain/acute-ankle-
injuries/ankle-sprain-exercises
1 41

Lampiran 1. Lembar Informed Consent Persetujuan menjadi Responden

Dengan hormat,

Saya, mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik


Indonesia Atma Jaya:
Nama : Yohanes Jason
NIM : 2016060214/12016001602
bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Pendidikan Kesehatan
Tentang Cedera Ankle dan Terapi Latihan Terhadap Tingkat Pengetahuan Anggota
Medsoccer FKIK-UAJ Angkatan 2016-2019”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu
syarat dalam penyelesaian Program Studi Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Partisipasi ini bersifat sukarela dan semua informasi yang Saudara berikan akan
dijaga kerahasiaannya. Tidak ada keharusan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Meskipun demikian, saya mengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi responden
dalam penelitian ini dengan melakukan pengisian kuesioner berikut.
Setelah membaca lembar ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Nim :
Dengan ini menyatakan bahwa saya dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan
dari pihak manapun bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Adapun bila
terdapat kekurangan data terlampir, saya bersedia untuk dihubungi lebih lanjut.Atas
kesediaan dan partisipasi Saudara dalam mengisi kuesioner ini, saya ucapkan terima kasih.

Jakarta, …………………..………..2019
Yang menyatakan,

(…………………………………………)
Nama Jelas

41
42

Lampiran 2. Lembar Kuesioner


Nama :
Nim :
No. Pertanyaan Ya Tidak
1. Sekali terkena cedera akan menjadi cedera kambuhan.
2. Cedera akut adalah cedera yang sudah parah
3. Cedera kronis adalah cedera yang sudah berlangsung
lama.
4. Terputusnya tendo Achilles merupakan cedera ringan.
5. Terapi latihan adalah jenis penanganan cedera melalui
aktivitas fisik.
6. Komponen dasar proses terapi latihan adalah
penguluran sendi.
7. Tendo terputus merupakan Sprain.
8. Ligamen sobek merupakan Strain.
9. Lokasi sekitar persendian yang mengalami cedera
akan memerah, hangat, nyeri, dan bengkak.
10. Thera-band/elastic-band digunakan untuk melatih
fleksibilitas.
11. Latihan kekuatan dilakukan pada awal terapi latihan.
12. Ligamen atau tendo yang sobek merupakan tanda dari
cedera berat bagi atlet.
13. Kompres air hangat boleh diberikan setelah bengkak
tidak bertambah besar.
14. Kompres es pada kasus cedera akut bisa untuk
mengurangi rasa nyeri.
15. Bengkak karena cedera bisa diterapi dengan
mengoleskan balsem.
16. Apabila terjadi kram otot, gunakan balsam atau koyo
untuk meringankan rasa nyeri.
43

17. Istirahatkan sendi ankle yang mengalami cedera


sampai rasa nyeri hilang.
18. Terapi latihan adalah terapi untuk menyembuhkan
posisi sendi yang bergeser atau keseleo.
19. Latihan kekuatan dilakukan untuk mengembalikan
ruang gerak sendi.
20 Terapi latihan hanya diberikan pada atlet yang cedera
saja.
21. Bagi atlet, proses terapi latihan selesai pada tahap
penguatan sendi ankle yang mengalami cedera.
22. Fase dalam terapi latihan antara lain fase pengendalian
peradangan, pengembalian ruang gerak sendi,
penguatan, koordinasi, dan daya tahan.
23. Penguluran sendi ankle dilakukan untuk melatih
kekuatan otot persendian.
24. Pembebanan diberikan untuk melatih kekuatan otot
agar terhindar dari terjadinya cedera kambuhan.
25. Sendi ankle yang telah diposisikan kembali dan terasa
enak bisa langsung digunakan latihan kembali.
26. Latihan kekuatan menggunakan thera-band dengan
melakukan gerakan-gerakan sendi ankle.
27. PNF digunakan untuk mengembalikan ruang gerak
sendi ankle yang cedera.
28. Latihan menuliskan huruf alfabet adalah bentuk terapi
latihan pengembalian ruang gerak sendi ankle.
29. Latihan keseimbangan menggunakan satu kaki
diluruskan dan kaki yang lain ditekuk (jongkok
dengan satu kaki).
30. Model gerakan latihan diawali dari yang sulit ke yang
mudah dilakukan untuk memaksimalkan hasil latihan.

Anda mungkin juga menyukai