Anda di halaman 1dari 31

1

Mencari Model Pendidikan Sekolah Katholik


untuk
Menjawab Era Inovasi Disruptif

oleh Haryatmoko SJ

Disrupsi digital mengubah secara radikal pendidikan karena belajar bukan


lalgi hanya bagaimana (know-‐how), apa (know-‐what), tetapi juga di mana
menemukan pengetahuan/ketrampilan (know-‐where). Generasi digital
mengharap belajar untuk bisa menjawab kebutuhan. Generasi digital sudah berbeda
cara belajarnya dari pada generasi pendidik dewasa ini. Masalahnya, apakah
pendidik, orangtua, lembaga pendidikan dan pengambil kebijakan pendidikan
bersedia untuk berubah dan tidak terpaku pada “cara yang sudah biasa kita
lakukan”?
Makalah ini terdiri dari dua bagian: bagian pertama membahas tentang
inovasi disrupsi yang mempengaruhi ekonomi sehingga mengubah secara radikal
pendidikan (halaman 1-‐10). Logika yang menggerakan dinamika ekonomi platform
ini mempengaruhi pendidikan. Maka baru di bagian ke dua, dijelaskan perubahan
model pendidikan untuk bisa menjawab inovasi disrupsi (halaman 11-‐29).
Dewasa ini, hampir tidak ada bidang kegiatan yang tidak kena dampak
kemajuan teknologi digital pendorong Revolusi Industri 4.0. Bukan pertama-‐tama
wacana ilmiah tentang “apa” dan “bagaimana”, tapi teknologi digital telah mengubah
secara radikal banyak segi kehidupan, bahkan sampai menyentuh “siapa kita”.
Dampak dahsyat memporak-‐porandakan sistem yang ada, menggoncang banyak
segi kehidupan. Orang sampai menggunakan istilah “disrupsi”. Oleh karena itu,
pendidik dan pengambil kebijakan pendidikan tidak bisa menghindar dari
tanggungjawabnya untuk mereorganisasi diri dan melakukan perubahan segera.
Biasanya istilah “disrupsi” memiliki konotasi negatif: mengganggu,
mengacau, atau proses yang menginterupsi program. Namun bila mau berubah
disrupsi digital perlu dipahami secara positif. Makna positif istilah “disrupsi
digital” kelihatan ketika disandingkan dengan “destruksi kreatif”, yang dipopulerkan
oleh Joseph Schumpeter, meski sebetulnya pertama kali dipakai oleh Werner
Sombart (E.Topol 2013: 14). “Destruksi kreatif” menunjuk pada transformasi yang
menyertai inovasi kreatif karena teknologi digital.
Disrupsi digital yang diterjemahkan sebagai destruksi kreatif ini merupakan
sisi optimis Revolusi Industri 4.0. Penggunaan angka “4.0” mengandaikan sejarah
yang mencatat adanya tiga bentuk revolusi industri sebelumnya. Klaus Schwab
menjelaskan empat tahap revolusi industri (2017: 3): pertama, revolusi industri
yang berlangsung tahun 1760-‐1840 dipicu oleh pembangunan jalan kereta api dan
penemuan mesin uap sehingga mendorong produksi secara mekanik.
Ke dua, dari akhir abad 19 sampai awal abad 20, revolusi industri ditandai
dengan produksi massal berkat listrik dan perakitan. Revolusi industri kedua ini
hanya menyentuh atau dinikmati oleh 17% penduduk dunia.
Ke tiga, mulai pada tahun 1960, revolusi industri ditentukan oleh komputer
berkat semi-‐konduktor, komputasi mainframe (1960), komputasi pribadi (1970-‐
1980) dan internet (1990). Yang diuntungkan oleh perkembangan teknologi
komputer dan internet ini mencapai 50% penduduk dunia.
Akhirnya, ke empat, revolusi industri 4.0 ditandai dengan internet di mana-‐
mana dan sangat mobile, sensor makin kecil, tapi lebih kuat dan lebih murah, dan
terutama merebaknya kecerdasan buatan (artificial intelligence). Hanya dalam
waktu sepuluh tahun sampai 2015 sudah ada 2 miliar smartphones. Luasnya
penyebaran teknologi ini membantu memahami dari mana daya disrupsi digital.
Memang untuk pebisnis, pendidik, lembaga pendidikan atau pemimpin
organisasi yang tidak mau berubah, disrupsi digital dianggap mengganggu, merusak
dan merugikan. Disrupsi digital yang mendasarkan pada platform mengakibatkan
banyak perubahan mendasar. Yang diubah adalah perilaku, trust, sistem pengawas-‐
an, orientasi ke kepuasan pengguna, cara belanja dan segi kehidupan lainnya.

Paradigma Baru Ekonomi: Bisnis Platform dan Investasi Teknologi


Grab, Go Car, Uber adalah perusahaan transportasi yang tidak memiliki
armada kendaraan. Anda cukup menggunakan smartphone anda untuk memesannya
dan taksi itu datang. Pelayanan mereka lebih cepat, murah, aman dan transparan,
artinya langsung tahu jarak tempuh, kelihatan trayeknya, harganya, pengguna bisa
memberi rating bila tidak memuaskan dan pengemudi kena sanksi. Sistem digital
mencegah semua bentuk wanprestasi. Penemuan teknologi digital ini membuat
perusahaan taksi konvensional hancur atau harus mengubah secara radikal strategi.
Demikian pula Airbnb, perusahaan pelayanan penyediaan penginapan melalui
jaringan digital tanpa memiliki bangunan, bahkan jaringan hotel Accor dan Mariot
dipaksa mengubah strategi pasar mereka. Di bidang retail, Alibaba, Amazon,
Tokopedia, Bukalapak menyebabkan banyak perusahaan retail bangkrut karena
pelayanan online lebih cepat, murah dan menjamin kualitas. Semua bisa dilakukan
dari jarak jauh dan diatur secara otomatis: pesan taksi, pesawat, beli barang,
membayar apa saja, mendengarkan musik, melihat film (Schwab, 2017: 12).
Ketika kecerdasan buatan dan sensor semakin maju, kemampuan mesin
otonom semakin canggih langsung bermanfaat: drone yang bisa melakukan tugas
mencek jaringan listrik, supply obat di daerah sulit/perang; di bidang pertanian bisa
untuk pengaturan penggunaan air, pupuk, obat secara lebih efisien (Schwab,
2017:15). Alat transportasi yang dilengkapi sensor mudah dipantau secara waktu
real sampai di mana, berapa waktu dibutuhkan, kondisi kendaraan seperti apa
semua bisa dimonitor. Model pertanian tradisional, pelayanan kesehatan,
pengiriman barang dan dunia usaha harus berubah secara radikal.
Ilustrasi di atas menunjukkan betapa pentingnya perubahan radikal di
perusahaan atau lembaga-‐lembaga lain sehingga perlu investasi besar di bidang
teknologi digital dan internet. Maka perusahaan, lembaga pendidikan, pelayanan
kesehatan harus mampu memanfaatkan Internet of Things (IoT) bila tidak mau
ditinggalkan pelanggan/pengguna. Internet of Things (IoT) berfungsi untuk
menjembatani antara hal-‐hal fisik dan penerapan digital di mana hubungan antara
barang (produk, pelayanan, tempat) dan orang dimungkinkan berkat teknologi
yang dihubungkan dan berkat diciptakannya berbagai platform (Schwab, 2016: 18).

Internet of Things (IoT) Mensyaratkan Analytical Reasoning


Internet of Things adalah konsep yang menunjukkan objek punya kemampuan
transfer data melalui jaringan tanpa harus melalui interaksi manusia ke manusia
atau manusia ke komputer. Bentuknya bisa berupa sensor (microchip) untuk
menghubungkan barang di dunia fisik dengan jaringan maya, murah dan cerdas
dipasang di rumah (memantau keamanan, mengatur penggunaan listrik) dipakai di
tubuh (mengukur tensi, gula darah), digunakan di bidang transportasi (mengukur
lamanya penggunaan ban, service mesin), sebagai pengatur jaringan energi atau
proses manufaktur: implant jantung, transponder biochip di peternakan, atau built--
‐ in sensor di mobil.
Ilustrasi Internet of Things ialah Radio Frequency Identification (RFID) yang
digunakan oleh perusahaan untuk melacak rangkaian supply dan mengukur kinerja,
pelanggan juga bisa melacak pengiriman barang. IoT yang menentukan tumbuhnya
trust ialah blockchain, yaitu protokal aman di mana jaringan komputer secara
kolektif memverifikasi transaksi sebelum direkam dan disetujui seperti yang
dipakai Uber, GoCar, Grab, atau bentuk-‐bentuk transaksi laundry, belanja, homestay.
Semua membentuk platform bisnis (Schwab, 2017: 18).
Internet of Things (IoT), pertama-‐tama memikirkan kepentingan dan kebutuhan
pelanggan atau pengguna. Maka perlu mendesain strategi dan ekosistem IoT di
sekitar tujuan kebutuhan pengguna/pelanggan agar bisa memuaskan kebutuhan
mereka sesuai dengan yang dikehendaki, responsif dan kontekstual menjadi kunci
keberhasilan di dunia IoT (K. Srivastana, 2018: 20). Yang disebut berhasil dalam
perspektif ini berarti membangun strategi IoT dengan mempertimbangkan
aspek-‐ aspek empati, kenyamanan pelanggan/pengguna. Sekaligus perusahaan perlu
menjamin data yang dikumpulkan dan bagaimana dikumpulkan supaya prosesnya
tidak mengganggu tujuan pengguna, tidak melawan harapan pengguna/pelanggan
karena tujuan utamanya hanya untuk memenuhi kepuasan pelanggan (K.
Srivastana, 2018: 20).
Internet memungkinkan adanya Big data yang mudah diakses melalui sistem
cloud baik semua bentuk informasi dari data kesehatan, cuaca, flora, fauna, bisnis,
olahraga, pendidikan, kesehatan (Data of Things disingkat DoT). Big data memiliki
kapasitas luar biasa data, sumber dan berbagai kegiatan. Bentuk pencatatan data
bisa ditemukan dalam berbagai satuan waktu: tahun, bulan, minggu, jam, menit,
detik. Bahkan formatnya beragam: data terstruktur, teks, numerik, video, audio.
DoT ini diperlukan untuk meningkatkan nilai bisnis lebih dari hanya sekedar
memelihara atau manajemen operasional. DoT ini tersebar, mengalir dan berasal
dari berbagai alat, sistem, proses, penerapan dan pengguna. Maka diperlukan
kecepatan analisis data, merumuskan hipotesis dan melakukan eksperimentasi.
Tersedianya big data ini menuntut perusahaan mampu mengolah dan
menganalisis beragam data yang diperoleh dari pengguna dan dari Internet. Maka
tantangan bagi perusahaan atau organisasi ialah pertama, bagaimana seharusnya
signal-‐signal yang relevan didefinisikan, dihasilkan dan dikumpulkan; kedua,
bagaimana signal-‐signal itu disimpan dan diproses; ketiga, bagaimana nilai
bisnis dihasilkan dan terutama bagaimana signal-‐signal itu digunakan untuk
memperbaiki kinerja organisasi. Upaya menjawab ketiga tantangan ini tergantung
kemampuan analytical reasoning: kemampuan menganalisis data, informasi dan
memilah-‐milah pola-‐polanya seperti struktur dasar hubungannya, mengenali logika
pernyataannya, menyimpulkan apa yang benar/tepat berdasarkan fakta dan
aturan-‐aturan ilmiah sehingga bisa meningkatkan kinerja bisnis atau organisasi.
Kemampuan mengevaluasi beragam sumber daya -‐ data, fakta, fenomena, dan
temuan – dalam kerangka memilah detil-‐detil berguna/tidak, potensial/tidak
untuk memecahkan masalah dalam pengambilan keputusan. Pendidik harus
melatih pembelajar menguasai analytical reasoning ini menghadapi sumber-‐sumber
disrupsi-‐kreatif.

Sumber-‐Sumber Disrupsi Digital


Perlengkapan hasil teknologi digital akan semakin menjadi bagian dari
ekosistem pribadi kita, ekosistem sekolah, mendengarkan kita, mengantisipasi
kebutuhan kita dan membantu kita ketika dibutuhkan, bahkan kalau tidak kita
minta (Schwab, 2017: 11). Dengan demikian, teknologi digital ikut menentukan
bagaimana kita belajar, berbelanja, berkomunikasi, menghibur diri, mengungkap,
mencari informasi, menyampaikan pendapat, menampilkan diri dan mengejar
pemenuhan diri, sudah tidak lagi seperti sebelum kehadiran teknologi digital.
Mengapa perubahan itu menghasilkan daya dobrak yang luas dan mendasar?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu masuk ke sumber-‐
sumber disrupsi menurut Schwab: pertama, komputasi grid mempercepat
pergeseran ke sumberdaya yang tidak terpusat berupa infrastruktur perangkat
keras dan lunak yang menyediakan akses ke komputasi yang bisa diandalkan,
konsisten, tahan lama
dan murah seperti Software as as service (Schwab, 2017: 51); ke dua, meluasnya
penggunaan pencetakan tiga dimensi mempermudah distribusi manufaktur, lalu
pengadaan suku cadang menjadi lebih mudah dan murah; ke tiga, kecerdasan
buatan seperti drone, mobil tanpa sopir, asisten virtual, smart device. Di bidang
kesehatan tak kalah canggihnya: super komputer Watson, sensor Zephyr, Skin Vision
app, sistem Epidermal Electronic (L. Engelen, 2018: 56); ke empat, kecerdasan
waktu real mampu menyediakan informasi aktual dan relevan pada saat yang tepat
sehingga meningkatkan kemampuan mengambil keputusan berdasar pada data
lapangan yang berjangkauan luas, lebih efisien, produktif dan terjamin
keamanannya; ke lima, Internet of Things (IoT) memungkinkan objek memiliki
kemampuan transfer data melalui jaringan tanpa perlu interaksi manusia ke
manusia, atau manusia ke komputer; ke enam, perubahan besar dalam hal
permintaan yang menuntut adanya transparansi, keterlibatan pengguna, serta pola
baru perilaku konsumen mengubah design produk/layanan, pasar dan cara
pengiriman; ketujuh, digitalisasi dan smartphone yang bisa dibawa kemana-‐
mana. Digitalisasi memungkinkan perusahaan yang sudah mendapatkan trust dari
penggunanya dengan mudah akan masuk dan menyeberangi berbagai bentuk bisnis
lain. Amazon dari usaha buku berkembang ke retail dan sekarang sudah masuk ke
pelayanan kesehatan.
Dengan mempertimbangkan sumber-‐sumber dan tantangan disrupsi
digital di atas, mudah tersingkap motivasi utamanya, yaitu mencari cara lebih baik
dalam memenuhi kebutuhan pengguna akan produk atau jasa. Perubahan yang
dibidik sampai ke semua aspek produk dan pelayanan serta proses inti organisasi:
fisik, kemitraan, jaringan, pengumpulan data, manajemen, sumberdaya dan tenaga
kerja (Schwab, 2017: 13). Jadi nilai lebih didapat dari menempatkan pengguna
sebagai pusat, artinya empati dan kepuasan pengguna menjadi prioritas kebijakan
organisasi, lembaga pendidikan atau perusahaan.

Inti Inovasi: Memecahkan Masalah untuk Kepuasan Pengguna


Nilai lebih bisnis mengarahkan cara memecahkan masalah. Perusahaan atau
organisasi harus mulai dengan pemecahan masalah yang lebih sesuai dengan
keinginan pengguna, artinya lebih murah, lebih cepat dan lebih nyaman. Disrupsi
digital menekankan inti dasar keuntungan yang diperoleh bila tujuan memahami
profil pengguna atau pelanggan tercapai. Prinsip ini mengubah model penyediaan
produk/layanan sehingga akan menyingkirkan pasar yang ada. Inovasi disruptif ini
akan menciptakan nilai pasar baru dan menggantikan pasar yang ada. Itulah bisnis
yang disebut platform.
Cara beroperasi model platform: mempertemukan langsung antara pemasok
produk/jasa dengan pengguna melalui cara yang paling mudah diakses, murah dan
memungkinkan ke dua belah pihak berinteraksi serta memberikan feedback
(Schwab, 2017: 18-‐20). Contoh bisnis model platform ini ialah Uber, Gocar,
Grab, Airbnb, Alibaba, Amazon, Tokopedia, dan masih banyak lagi.
Schwab menunjukkan beberapa keuntungan model platform ini: pertama,
mencipta nilai baru dengan mengikis peran perantara yang dianggap sebagai
penghalang karena menyulitkan akses atau menyebabkan distorsi harga; Schwab
memberi catatan bahwa platform digital mereduksi transaksi dan beaya yang
dikeluarkan ketika orang/organisasi berbagi penggunaan aset dan penyediaan
pelayanan (2017: 20); ke dua, produktivitas naik karena ada pemerataan, menekan
inefisiensi dan menciptakan fleksibilitas; ke tiga, menciptakan akses ke aset dari
berbagai sumber daya yang nganggur; catatan Schwab, platform menjadi benih trust
sehingga memungkinkan penggunaan lebih efektif aset atau idle capacity: mobil,
kamar tidur, perbaikan rumah (Schwab, 2017: 18-‐20) dan ke empat, orang
bisa menjadi lebih altruistik, lebih mudah dipercaya karena sistem digital
memungkinkan transparansi berkat sistem pengawasan panoptikon. Platform
menempatkan pengguna/pelanggan sebagai pusat ekonomi digital. Semua kegiatan
fokusnya pada bagaimana pengguna dilayani: harapan dan pengalaman mereka.
Model platform unggul dalam empat dimensi berikut ini (Schwab, 2017: 53-‐
56): pertama, dimensi interaksi manusiawi menjadi pusat proses seperti akses dan
penggunaan data, menyaring produk dan pengalaman; ke dua, memanfaatkan
sumber data yang menawarkan insight detil proses pembelian, kebutuhan, perilaku
pelanggan sehingga menentukan pemasaran dan penjualan; ke tiga, digitalisasi
mendorong transparansi karena tersedianya data dari sisi supply memudahkan
pengguna/pelanggan membandingkan kualitas produk/pelayanan. Dengan
demikian daya tawar pengguna/pelanggan naik; dan ke empat, dimungkinkan untuk
memprediksi kinerja produk, misalnya, ban mobil bisa diukur dan dipantau
kemungkinan toleransi operasionalnya (ban – 1000 km).
Semua mekanisme ekonomi digital ini sangat bergantung pada teknologi.
Maka bila sensor tidak berfungsi, misalnya tidak bisa memberi sampel yang
representatif, penyampaian data tidak optimal, data hilang atau rusak dan sistem
prosesing tidak efektif/efisien berarti proses dilumpuhkan. Data tidak akan mampu
lagi memberi wawasan dan informasi untuk mengambil keputusan dan mengoreksi
sistem, padahal sistem koreksi ini mengandalkan pada umpan balik. Akibatnya sulit
bagi perusahaan, organisasi, lembaga pendidikan menghasilkan nilai tambah dan
meningkatkan kepuasan pengguna atau pembelajar. Perlu perubahan.

Model Platform: Tuntutan Ketrampilan Baru dan Perubahan


Dari model platform, akan terbentuk semangat atau mentalitas altruis kreatif
karena kemampuan memahami konteks dan lingkungan pengguna atau pelanggan
semakin ditempa. Orang akan selalu berusaha menjalin relasi yang baik dengan
mitra perusahaan atau stakeholders organisasi. Kedua sikap itu mengasah kepekaan
terhadap informasi untuk mengubah bagaimana agar teknologi dan bisnis mampu
menyesuaikan diri. Teknologi digital mendorong bentuk-‐bentuk interaksi
dan transaksi menjadi lebih transparan sehingga model platform menumbuhkan
trust dan kejujuran karena kalau tidak sistem akan memberi sanksi.
Mentalitas altruis kreatif, transparansi dan trust itu memberi ruang kepada
optimisme dalam menghadapi revolusi industri 4.0, kendati ada juga
kelemahan-‐ kelemahannya. Sumber optimisme, menurut Schwab, ada beberapa:
pertama, revolusi industri 4.0 membuka peluang untuk menjawab kebutuhan-‐
kebutuhan lebih dari dua miliar orang yang selama ini tidak terpenuhi dan
meningkatkan potensi yang mendorong permintaan tambahan terhadap produk dan
pelayanan karena ekonomi digital memberdayakan dan menghubungkan orang-‐
orang dan komunitas-‐komunitas dari berbagai pelosok dunia ((2017: 33).
Ke dua, revolusi industri 4.0 meningkatkan kemampuan menghadapi
tantangan yang merugikan. Polusi karbon, memicu orang untuk mengembangkan
energi yang diperbarui. lalu meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi (2017: 34).
Ke tiga, revolusi industri 4.0 menuntut struktur ekonomi dan organisasi berubah
secara baru sama sekali, bukan lagi hierarkis, tapi jejaring dan
mengandalkan teknologi bila mau menangkap nilai perubahan (2017: 34).
Akhirnya ke empat, produktivitas di masa depan akan semakin tinggi dengan
penggantian pekerja oleh teknologi, pekerjaan baru akan tercipta. Sejarah
menunjukkan bahwa di Amerika Serikat pada awal abad 19, sebanyak 90%
penduduk bekerja di lahan pertanian dan perubahan besar terjadi dengan kemajuan
teknologi sehingga sekarang hanya sekitar 2% saja (Schwab, 2017: 36).
Ilustrasi yang mendukung optimisme terdapat dalam data tentang
bentuk-‐ bentuk hard skills dan soft skills yang dibutuhkan dewasa ini: hard skills yang
banyak dicari adalah cloud computing, artificial intelligence, analytical reasoning,
people management, dan user experience design, sedangkan soft skills yang
dibutuhkan adalah kreativitas/inovasi, kemampuan persuasi dan komunikasi,
kolaboras, adaptasi dan manajemen waktu. Berbagai ketrampilan tersebut berarti
membuka peluang untuk jenis-‐jenis pekerjaan baru yang tercipta seperti UX
designer, Scrum Master, Drone controller, Growth Engineer, atau spesialis
media sosial. Bidang-‐ bidang baru itu tetap menjaga asa masa depan lapangan
kerja dan pasar kerja. Memang ada aspek destruktif yang merugikan dari model
platform ini.
Syarat-‐syarat perusahaan siap melakukan transformasi inovatif: pertama,
siap membangun kerjasama, investasi sistem keamanan dan data, menjawab
tuntutan ketrampilan baru, keluar dari struktur hierarki organisasi, tempat kerja
menekankan kecepatan teknologi dan IoT, tim inovasi ramping-‐lincah,
leadership inspiratif (Schwab, 2017: 59-‐60; J. McQuivey, 2013: 114; T. Wilen, 2018:
64, 67).
Contoh kerjasama antara Siemens dan Ayasdi, Standford University:
masing-‐ masing investasi untuk mengembangkan strategi perusahaan, mencari mitra
yang cocok, menentukan saluran komunikasi dan menyelaraskan proses-‐proses
untuk menjawab situasi yang cepat berubah (Schwab, 2017: 57). Untuk eksplorasi
ini, diciptakan tim inovasi yang kecil tapi lincah; mengidentifikasi bagian-‐
bagian
perusahaan yang tersekat-‐sekat agar dihilangkan; harus ada eksekutif senior
yang memiliki komitmen untuk mendukung proyek mereka; dan menekankan
kerangka waktu perkembangan yang pendek (J. McQuivey, 2013: 114).
Ke dua, mengutamakan investasi dalam sistem keamanan cyber dan data.
Tujuannya untuk menghindari disrupsi langsung dari penjahat, aktivis atau bila
terjadi kegagalan dalam infrastruktur digital; ke tiga, harus merekrut tenaga yang
memiliki ketrampilan baru yang memiliki kemampuan analytical reasoning untuk
cepat menganalisa data karena sangat penting dalam pengambilan keputusan dan
pengoperasian model-‐model, membaharui proses-‐proses sehingga
perlu mengembangkan budaya organisasi yang baru (Schwab, 2017: 59-‐60).
Ke empat, struktur organisasi harus berubah dari struktur hierarki ke model
jaringan dan kerjasama. Maka bisnis diorganisir lebih dalam bentuk berbagai tim,
pekerja jarak jauh dan dinamika kolektifnya dalam pertukaran data dan wawasan
untuk memecahkan masalah.
Ke lima, tempat kerja mencerminkan perubahan dengan memperhitungkan
kecepatan teknologi terjalin dengan Internet of Things (IoT). Tempat semacam ini
memungkinkan perusahaan untuk menyelaraskan pengalaman digital dan fisik
demi keuntungan pekerja dan konsumen. Peralatan canggih bisa digunakan dalam
situasi pelik berkat teknologinya bisa membantu mendesign dan mereparasi
komponen-‐komponennya, mengunduh, mengunggah, mengupdate untuk menjamin
untuk mengikuti perkembangan terbaru (Schwab, 2017: 60).
Ke enam, pemimpin disruptif harus selalu mencari pemecahan-‐
pemecahan dan cara lebih lebih baik untuk meningkatkan proses-‐proses dan
organisasi/bisnis (T. Wilen, 2018: 64). Ia akan selalu memeriksa strategi organisasi
masih efektif atau tidak karena harus membiasakan diri menghadapi ketakpastian.
Maka pemimpin diharapkan bisa menciptakan kecerdasan kolektif melampaui
kemampuan dirinya sehingga paham dan mampu mencari tahu bagaimana
berinteraksi. Kemampuan ini akan menumbuhkan kredibilitas di antara para
pemangku kepentingan karena trust adalah mata uang revolusi industri 4.0 (T.
Wilen, 2018: 67). Syarat-‐syarat kesiapan untuk berubah itu mengandaikan adanya
perubahan juga dalam sistem pendidikan dan terutama perubahan mindset
pendidik.
Alasan Mengapa Mindset Pendidik Harus Berubah
Salah satu aplikasi penting untuk menumbuhkan trust agar responsif terhadap
kebutuhan pengguna ialah user experience design. Aplikasi ini dimaksud bisa
menjawab kepuasan pengguna karena membantu: pertama, perusahaan memiliki
kemampuan untuk memahami konteks/ lingkungan pengguna; kedua, bisa menjalin
relasi baik dengan mitra perusahaan; ketiga lebih peka terhadap informasi sehingga
mampu mengubah cara menyesuaikan dengan cepat teknologi dan bisnis. Ke tiga
tuntutan itu melahirkan profesi baru, yaitu user experience designer. Tugasnya ialah
merancang, memberi makna dan relevansi terhadap pengalaman pengguna dan
situasi riil dalam interaksi dengan produk atau layanan. Rancang design meliputi
seluruh proses memperoleh dan mengintegrasikan produk/layanan: aspek merek,
penggunaan, fungsi, perilaku, motivasi, sasaran dan kebutuhan pengguna.
Digitalisasi kegiatan menjamin transparansi dan banyak data bisa diakses, bisa
dibandingkan kualitas produk atau layanan. Maka masukan atau feedback dari
pengguna menjadi sangat penting. Masukan atau feedback seperti itu dipermudah
dengan diciptakannya user interface, yaitu aplikasi yang memungkinkan pengguna
berinteraksi serta memberi feedback. User interface bagus bila jelas, singkat,
familiar, responsif, konsisten, efisien, forgiving dan menarik.
Selain user experience designer, profesi-‐profesi lain sangat dibutuhkan di era
inovasi disruptif meliputi scrum master, specialis media sosial, pengendali drone,
insinyur sosial, dan manager sumberdaya. Sedangkan kepakaran yang akan paling
dicari terkait dengan hard skills : komputasi awan, kecerdasan buatan, penalaran
analitis-‐kritis, people management dan user experience design. Kebutuhan
menyangkut soft skills, yaitu kreativitas dan inovasi, kemampuan persuasi dan
komunikasi, ketrampilan kolaborasi, adaptasi dan manajemen waktu.
Faktor dominan yang harus diperhitungkan ialah semakin tingginya
pekerjaan yang menuntut kreativitas dan inovasi. Richard Florida (2014), seperti
dikutip oleh Ian Jukes dan Ryan Schaaf, meneliti kecenderungan perubahan
lapangan kerja yang dibaginya dalam empat kategori dasar: pertanian, karya (white
and blue collar), pelayanan dan kerja kreatif (2019: 34-‐36). Ke depan,
persentase lapangan kerja kreatif akan semakin tinggi. Pertanian semakin turun,
karya (white &
blue collar) cenderung menurun, pelayanan meningkat tetapi sangat mengandalkan
pada teknologi sehingga mengurangi lapangan kerja. Kerja kreatif yang menjadi
warna domina Revousi Industri 4.0 menuntut ketrampilan dan kompetensi berbeda:

Ekonomi Industri 3.0&Revolusi Industri 4.0


! 1.Tambang, manufaktur, 1.Data-Informasi-Pengetahuan-
asembling, ! Keahlian-Marketing-Pelayanan
(produksi)
marketing, distribusi produk/!
pelayanan!

2.Perangkat industri: 2.Teknologi


mesin,! informasi & komuni- kasi: komputer, server, printer 3D,
tambang, alat pertanian, energi,! software, smartphone,
! manufaktur, transportasi, konstruksi !
perlengkapan & sistem network
!

! 3.Ekonomi pabrik mur & baut 3. Ekonomi data, informasi,


pengetahuan & keahlian

4. Mengubah sumberdaya
4.Teknologi alam,keahlian
informasi, besi ! & inovasi diubah ke pelayanan, layanan kesehatan & j
minyak ke mobil & bahan bakar

Kita semua tahu kerja kreatif tidak hanya membutuhkan ketrampilan


hardware, tetapi istilah yang dipakai oleh Jukes dan Schaaf, terutama ketrampilan
headware: kemampuan kepemimpinan, pikiran kritis, problem solving, kemampuan
adaptasi, produktivitas, akuntabilitas, komunikasi, manajemen informasi,
kreativitas, inovasi, kewargaan global dan kerjasama. Salah satu fokus kemampuan
kepemimpinan ialah menumbuhkan kecerdasan kolektif. Lapisan kelas kreatif
merupakan tipe orang yang melakukan pekerjaan kognitif dengan menerapkan
keterampilan higher thinking level untuk pekerjaan mereka (2019: 35). Dengan
demikian teknologi menggantikan model pekerjaan kelas pelayanan (menurut
taxonomy Bloom: lower order thinking skills).
Pendidik dan sekolah Katholik harus berubah: membantu pembelajar
menyiapkan dunia baru dan ekonomi yang sangat berbeda karena kebutuhan untuk
mendidik kelas pekerja kreatif. Oleh Florida, seperti dikutip Jukes dan Schaaf,
diproyeksikan sampai mencapai lebih dari 50 persen tenaga kerja yang dibutuhkan
(2019: 37). Pendidik, sekolah dan orang tua harus menjawab apa yang bisa segera
dilakukan untuk mempersiapkan secara memadai kebutuhan kompetensi inovasi
dan kreativitas? Masalah ini sangat mendesak karena adanya penelitian yang
dilakukan Richard Elmore (2006), seperti dilansir Jukes dan Schaaf, bahwa ternyata
80 sampe 85 persen model pembelajaran di sekolah masih pekerjaan kognitif yang
biasa (mendengarkan, membaca, menghafal dan ujian). Padahal model
pembelajaran ini semakin dialihdayakan ke teknologi awan, dan otomatisasi (2019:
38). Kita menyaksikan hal yang sama masih dilakukan di kebanyakan sekolah di
Indonesia. Maka perubahan model pendidikan dan mindset pendidik sudah menjadi
keharusan yang tidak bisa ditunda lagi. Tiga pertanyaan di bawah ini akan
mengarahkan dalam mengelaborasi model pendidikan yang responsif:
Pertama, ketrampilan, pengetahuan dan kompetensi macam apa diperlukan
para pembelajar agar berhasil di masa depan? Kedua, apa saja indikator yang bisa
menunjukkan bahwa kita berhasil menyiapkan orang muda menghadapi masa
depan? Ketiga, bagaimana kita bisa membuat agar institusi pendidikan menjadi
lebih relevan untuk menghadapi masa depan?

Pendidik Harus Mulai Mengubah Diri Agar Relevan


Sadar atau tidak kebanyakan sekolah itu didesain sejalan dengan perusahaan
dalam hal standardisasi prosedur, produksi massal, efisiensi teknis dan proses yang
berjalan seragam. Namun di era inovasi disruptif, sekolah pertama-‐tama harus
berperan sebagai pencipta budaya profesional, tanggungjawab, rasa memiliki dan
mengatur diri. Sedangkan dalam hal pendidikan karakter, sekolah didorong untuk
mengembangkan budaya pribadi penuh perhatian, rasa hormat, trust, kerjasama
dan orientasi ke komunitas. Untuk kedua tujuan itu, sekolah berupaya
meningkatkan kualitas kerja peserta didik lewat kerjasama, pemodelan, mentoring
dan leadership yang terintegrasi. Maka strategi perlakuan terhadap peserta didik di
era inovasi disruptif berbeda dengan model klasik.
STRATEGI PENEMPATAN PEMBELAJAR

SASARAN MODEL INOVASI DISRUPTIF MODEL KLASIK


1. Tanggungjawab 1.Beban tanggungjawab pembelajaran lebih ke 1.Beban tanggungjawab pada guru
peserta didik, bukan guru.
2. Konteks & Proses 2. Karena mudah lupa isi materi yang diajar 2. Materi diajarkan secara
secara terpisah, tapi mengajar proses & konteks ter-‐ isolasi tidak diletakkan dalam
terkait materi lain memudahkan diingat Belajar konteks dan proses. Belajar sama
”just in time” dengan menimbun pengetahuan bila
sewaktu-‐waktu dibutuhkan

3. Kegagalan yang 3. Kegagalan itu berguna: proses membiarkan 3. Lemah mengelaborasi kegagal-‐
bermanfaat peserta didik gagal tapi di zona yang aman & an sebagai bagian proses pembe-‐
dibantu untuk membingkai ulang kekeliruan lajaran yang berharga
sbg pengalaman pembelajaran yang berharga.

4. Berpikir ke depan: peserta didik dari mindset 4. Fokus ke sekarang: mengajar


4. Mindset ke depan sekarang ke depan, selalu belajar yang baru lagi sama dengan berbicara, belajar
sama dengan mendengarkan

5. Membuka lingkup 5. Menantang sistem keyakinan: peserta didik 5. Kecenderungan untuk mengha-‐
perspektif luas perlu membuka visinya tentang dunia untuk fal dan jawaban hanya satu pe-‐
memperluas pemahaman tentang keyakinan, mecahan masalah membuat
perspektif, opini dan nilai orang sistem keyakinan sempit dan tidak
mengembangkan pemahaman global terbuka terhadap perspektif, opini
keyakinan dan nilai yang berbeda

Skema ini dikembangkan dari Strategies for Placing Learners at Forefront of Their Own Learning (Jukes & Schaaf, 2019: 17)
Pendidik, orang tua, dan para pengambil kebijakan harus membantu
mendorong perubahan dalam sistem pendidikan untuk mempersiapkan peserta
didik menghadapi ketrampilan yang selalu berubah dan berkembang. Peserta didik
generasi digital belajar secara berbeda dari generasi pendidik: mereka berpikir,
memroses informasi dan komunikasi dengan cara lain. Peserta didik generasi digital
belajar mengetik sebelum belajar menulis dan lebih banyak memakai keybord dari
pada pena. Maka cara pembelajaran mereka juga berbeda.

Cara Pembelajaran Generasi Digital


Cara pembelajaran generasi digital, menurut Jukes dan Schaaf, berbeda dari
generasi pendidik. Generasi digital lebih cenderung (2019: 46-‐63): 1. Mencari
informasi dari berbagai sumber digital dan hyperlinks; 2. Memilih memroses
pekerjaan secara paralel dan multitasking; 3. Lebih suka memroses gambar, suara,
warna dan video dari pada teks; 4. Organisasi bukan hierarkis, tapi memilih jaringan
dan kerjasama simultan dengan banyak pihak. 5. Terbiasa membaca teks di layar
secara cepat. 6. Lebih menyukai belajar sesuatu just-‐in-‐time. 7. Mengharapkan
imbalan dan gratifikasi instan, meski membutuhkan proses panjang. 8. Terbiasa
berselancar antara dunia digital dan dunia nyata. 9. Apa yang ingin dipelajari adalah
yang sekaligus relevan, aktif, langsung berguna dan menyenangkan.
Pertama, bagi mereka konsultasi ke Google, Siri, Alexa atau Cortana lebih
cepat untuk mendapatkan jawaban masalah dari pada belajar, diskusi atau baca teks
di kelas. Maka bentuk pendampingan pendidik ialah pertama, membantu
pembelajar mampu menyaring dan kritis dalam menganalisis data atau informasi:
mampu membedakan informasi, disinformasi dan mythinformasi dari
sumber-‐ sumber online; dan kedua, membantu pembelajar mendapat beragam
perspektif agar bisa menerima dan menggunakan informasi dengan cerdas dan
kritis.
Bentuk pelatihannya, menurut Jukes & Schaaf, membuat penelitian online
menggunakan WebQuest sebagai aplikasi sumberdaya terpandu untuk memecahkan
masalah nyata. Arah pelatihan ini harus bertolak dari masalah nyata yang menjadi
pusat pengajaran, pembelajaran dan asesmen untuk menghasilkan sesuatu produk.
Bisa juga membuat catatan dengan menggunakan aplikasi Evernote, Google Keep,
Microsoft OneNote: mengubah konten menjadi catatan: teks, catatan audio, catatan
video, gambar dan file. Fasilitas E-‐books memungkinkan pembaca
menyeleksi hyperlinks untuk mencari makna lebih dalam atau mendefinisikan
perbendaharaan kata, riset, atau topik yang ditonjolkan.
Ke dua, generasi digital terbiasa bekerja secara paralel dan multitasking.
Multitasking sebetulnya memang tidak seefektif pekerjaan yang fokus hanya pada
satu tugas. Manusia tidak mampu sekaligus memroses banyak hal dan berbagai
informasi. Menurut Medina (2008), seperti dikutip Jukes dan Schaaf (2019: 48),
multitasking generasi digital sebetulnya lebih merupakan perhatian acak pada
sebagian tugas karena pergantian pengerjaan terus-‐menerus dari tugas yang satu ke
yang lain. Pergantian dalam mengerjakan tugas berikutnya diberi jeda pendek. Cara
kerja seperti ini dimungkinkan karena alat digital meningkatkan kemampuan
berpikir: akses instan ke informasi menggantikan lower-‐order-‐thinking agar bisa
lebih fokus ke tugas higher-‐order-‐thinking.
TAXONOMY BLOOM
(Fractus Learning, dalam: Ian Jukes & R. Schaaf, 2019: 136)
EVALUASI menilai, berargumen, memilih, membandingkan, Higher-‐Order
menyimpulkan, mengontras, mempertahankan,
Melakukan & mempertahankan
menafsir, meramal, menyeleksi, meringkas,
Thinking Skills
penilaian dg mendasarkan pd bukti
internal & kriteria eksternal memberi nilai

Mengatur, mengumpulkan, mengategori,


SINTESIS menyususn, mengonstruksi, mengembangkan,
Menyusun bagian-‐bagian gagasan merekonstruksi, mereorganisasi, mensitesis,
ke pemecahan masalah menyelu-‐ merevisi, merencanakan, menyiapkan,
ruh baru, solusi alternatif menghubungkan
Menganalisis, memerinci, menghitung,
mengategorisasi, mengritisi, membedakan,
ANALISIS memeriksa, mengidentifikasi, mengilustrasi,
Memerinci objek/gagasan ke membuat model, memberi garis besar,
bagian-‐bagian lebih sederhana dan memecahkan masalah, memisahkan
bukti untuk mendukung
generalisasi
menerapkan, mengubah, memilih, menghitung,
mendemonstrasikan, menemukan, memberi
APLIKASI ilustrasi, menafsirkan, memanipulasi,
Menerapkan pengetahuan ke memodifikasi, meramalkan, menghasilkan,
situasi aktual membuat skedul, memecahkan masalah

menglasifikasi, mengubah, mendeskripsi,


mendiskusikan, membedakan, memperkirakan,
PEMAHAMAN mengungkapkan, menjelaskan, memperluas,
Menjelaskan pemahaman tentang memberi contoh, mengidentifikasi,
fakta menunjukkan, mengenali kembali, merevisi,
menerjemahkan, meringkas, menyeleksi

mengatur, mendefinisikan, mendeskripsi,


menyalin, mengidentifikasi, memberi label,
PENGETAHUAN mendaftar, mencocokkan, menghubungkan,
Lower-‐Order
Mengingat informasi yang pernah mengingat, mengulangi, mereproduksi, memilih, Thinking Skills
dipelajari menyatakan
Latihan pembelajaran yang bisa diterapkan ialah bekerjasama dalam tim-‐tim
kecil yang terpisah untuk suatu tugas. Pembelajar boleh menggunakan HP untuk
akses langsung ke informasi dan data. Untuk mempermudah dalam merekam atau
membuat catatan, pembelajar didorong menggunakan apps speech-‐to-‐text
dan Dragon Naturally Speaking.
Ke tiga, generasi digital lebih suka memroses gambar, suara, warna dan video
dari pada teks karena dibesarkan di dunia visual: TV, komputer, tablet, video atau
permainan digital. Semua peralatan digital itu memungkinkan generasi digital
kontak dengan pengalaman warna yang penuh ekspresi, realistis dan melibatkan
multi-‐indera. Memang gambar mampu mengomunikasikan pesan secara lebih cepat.
Model pembelajaran pendidik disarankan menggunakan You Tube, Teacher
Tube, Khan Academy dan TED karena sudah siap saji untuk ditayangkan. Pembelajar
diarahkan untuk mencatat dengan gambar sebagai metode untuk mempermudah
mengingat isi pengetahuan. Merangkai gambar-‐gambar ke dalam kisah akan
memudahkan pembelajar mengingat pengetahuan yang dipelajari.
Ke empat, generasi digital lebih terbiasa bekerjasama dalam jaringan dan
dengan banyak pihak. Perlengkapan digital (laptop, tablet, smarphone, Bluetooth, Wi-‐
Fi, Instagram, Snapchat, Skype, FB, Twitter) menjadi bagian hidup mereka
sehingga memudahkan untuk selalu terhubung kapanpun, di manapun dan dengan
siapapun. Perlengkapan digital itu memungkinkan secara transparan bekerja dan
berkomunikasi dengan pihak lain baik secara virtual maupun tatap muka. Model
pekerjaan dan komunikasi semacam ini membutuhkan ketrampilan kritis.
Tekanan pembelajaran lebih pada kerjasama dengan menggunakan fasilitas
digital. Pelatihan yang bisa dilakukan: mengembangkan tanggungjawab dalam tim,
menciptakan tim dengan peran setara, mengalami kesempatan sekaligus menjadi
pemimpin dan anggota biasa. Platform kerjasama di ruang virtual yang bisa dipakai:
Google Drive, Microsoft OneDrive, Dropbox. Hasil pelatihan bisa berupa presentasi
yang bisa memanfaatkan Google Slides, database dengan Google Sheets atau survey
dengan menggunakan Google Forms. Sarana perlengkapan interaksi bisa
menggunakan Slack, Skype dan Google Hangouts. Sedangkan Evernote bisa dipakai
untuk memanage proyek dan membuat konten.
Ke lima, generasi digital memiliki kebiasaan membaca cepat dengan
mengikuti pola gerak mata “F”. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang terbiasa
dengan pola membaca gerak mata “Z”.
Ke enam, generasi digital, menurut Jukes & Schaaf, lebih menyukai belajar
just-‐in-‐time, berbeda dengan model pembelajaran klasik yang lebih menekankan
belajar just-‐in-‐case. Di era disrupsi, orang dituntut untuk cepat mengambil
keputusan, maka tersedianya informasi lengkap yang dibutuhkan mengandaikan
kelincahan berselancar di berbagai sumber. Dengan demikian mereka yang lemah
dalam ketrampilan penelitian dan pemikiran kritis akan tersingkir. Pembelajar yang
masuk ke lapangan kerja dituntut untuk selalu melatih diri terus-‐menerus
pengetahuan dan ketrampilannya. Keberhasilannya sangat tergantung pada
mentalitas just-‐in-‐time untuk belajar pengetahuan baru, tugas baru,
memecahkan
masalah baru dan memiliki passion. Belajar just-‐in-‐time untuk meningkatkan
motivasi mengandaikan adanya persiapan pembelajar di kelas dan pendidik
merancangkan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masing-‐masing pembelajar.
Latihan pembelajarannya bisa dilakukan dengan bantuan You Tube atau
Vimeo yang menyediakan program budaya partisipatif sehingga pembelajar bisa
menyumbangkan gagasannya untuk memberi isi dan memroduksi sesuatu. Ada
video cara mengganti ban mobil, cara membuat perangkap tikus, cara mendesain
interior rumah. Maka skenario dibuat interkatif dalam memecahkan masalah nyata
sehingga menumbuhkan dorongan belajar dari dalam. Pembelajar akan termotivasi
mengembangkan informasi atau ketrampilan baru.
Ke tujuh, mengharapkan gratifikasi dan imbalan segera. Generasi digital
terbiasa menggunakan alat-‐alat digital yang otomatis selalu memberi feedback
ke pengguna. Sistem feedback instan ini (like, love, comment) memberi rasa senang
atau hiburan atas usaha atau prestasinya. Demi memperoleh gratifikasi semacam
itu, orang rela bekerja keras. Jadi generasi digital ini sabar melakukan kerja keras
untuk mengembangkan teknik, yang sebetulnya menjadi kesempatan refleksi dan
menjadi lebih rasional, bukan impulsif.
Model pembelajarannya membolehkan pembelajar menggunakan medium
belajar yang dipilih. Kemudian pendidik bisa menilai karyanya. (http://www.

teachthought.com/60-‐things-‐student-‐can-‐create-‐to-‐demonstrate-‐what-‐they-‐know). Bisa juga


menggunakan permainan sebagai alat pembelajaran. Tim Infosavvy21 menyediakan
presentasi, workshop, disain kurikulum, perencanaan strategis dan asesmen serta
sumberdaya digital. Cara gratifikasi segera bisa dibuat menggunakan papan buletin
dengan sentuhan digital (kamera digital, smartphones, tablet) yang diambil dari
karya-‐karya para pembelajar.
Ke delapan, generasi digital canggih berselancar di dunia digital dan riil. Oleh
karena itu bisa dibayangkan dampak dahsyat cyberbully secara psikologis bagi
mereka. Aspek positifnya kebiasaan berselancari di dunia hybrid tersebut bisa
diskusi dengan siapapun, keluarga, teman di dunia maya dan ambil bagian dalam
kegiatan penelitian, keterlibatan sosial, altruisme dan crowdsourcing. Alat digital
bagi mereka meski sangat didamba, tapi hanya sebagai alat untuk mengalihdayakan
sebagian dari otak, terutama yang masuk kategori lower-‐order-‐thinking.
Model pembelajarannya, seperti ditulis Jukes & Schaaf (2019:59), dengan
mengajak pembelajar menikmati turisme atau study tour maya melalui situs-‐situs:
— a. The National WWII Museum (http://bit.ly/2AtLxnV)
— b. Colonial Williamsburg (http://research.history.org/vw1776)
— c. Global Trek (http://teacher.scholastic.com/activities/globaltrek)
— d. Arctic Adventure (www.polarhusky.com)
e. Ancient Egypt for Kids (www.touregypt.net/kids)
Masuk ke realitas augmented melalui Google Expedition Pioneer Program yang
menyediakan realitas maya 3 D (www.google.com/edu/expeditions). Atau bisa juga
belajar menggunakan media sosial dengan bijaksana melalui Schoology & Edmodo:
dua jaringan media sosial untuk sekolah memberi arah untuk pembelajaran virtual.
Kesembilan, belajar harus selalu relevan, aktif, berguna dan fun. Maka
pembelajaran model klasik ‘guru bicara, pembelajar mendengarkan’ harus
ditinggalkan. Belajar harus lebih interaktif, dalam kerjasama dan melibatkan higher--
‐ order thinking. Cara yang praktis adalah masuk ke lingkungan virtual karena
memungkinkan pengembangan budaya partisipasi berkat interaksi dengan teman
dan pihak yang berada di tempat jauh.
Model pelatihannya bisa beberapa macam: pertama, Genius Bars, dalam latihan
ini, pembelajar memilih tema eksplorasi dan hasilnya/produknya dipresentasikan
di kelas. Kedua, menyediakan ruang kreatif yang dilengkapi dengan perlengkapan
untuk programming dan pola pikir inovatif yang bertujuan menciptakan produk.
Ketiga, mendorong pembelajar untuk melakukan role-‐playing. Permainan ini
merupakan strategi yang memungkinkan untuk eksplorasi ketrampilan bicara dan
mendengarkan. Dengan memahami generasi digital memiilih cara belajar akan
membantu pendidik mengatur bagaimana materi pembelajaran, komunikasi
pedagoginya dan proses pembelajaran harus berlangsung. Ketiga hal ini juga harus
disesuaikan dengan ketrampilan macam apa yang harus diperoleh para pembelajar.
Ketrampilan-‐Ketrampilan untuk Menghadapi Inovasi Disruptif
Sebelum penjelasan rinci tentang ketrampilan-‐ketrampilan strategis maupun
teknis, ada ketrampilan dasar yang tidak bisa tidak harus dikuasai pembelajar, yaitu
coding literacy sebagai ekosistem inovasi disruptif. Penguasaan coding literacy
merupakan kunci masuk ke dunia digital inovatif.
Coding adalah pengetahuan untuk membuat program komputer atau aplikasi.
Coding memungkinkan melakukan kegiatan komunikasi dengan menggunakan
sistem perangkat komputer (bahasa komputer dan teknologi). Coding Literacy
bagaimana alat teori literacy membantu untuk memahami programming dalam
konteks sejarah, sosial dan konseptual, bukan hanya teknik. Memprogram komputer
menjadi bagian ketrampilan komunikasi yang penting dalam keseharian hidup.
Mentalitas komputasi harus berkembang “coding proficiency” menjadi syarat
inovasi digital dan masuk dunia kerja.
Coding bagi dunia pendidikan di negara-‐negara maju sudah
dijadikan kompetensi inti dunia inovasi disruptif. Mayoritas interaksi dimediasi
komputer di pasar kerja dan pemecahan masalah teknis dalam logika instrumental
teknologi jejaring. Di Australia sejak 2015 coding in School menjadi program
kurikulum literacy wajib generasi digital. Di Inggris mulai 2014 coding literacy
dikenalkan di Kindergarden juga di Vietnam, Kanada dan Singapura (Shane B.
Duggan, 2019:101). Di Finlandia, coding dan programming menjadi bagian
kurikulum sejak kecil, tapi diajarkan sebagai alat eksplorasi untuk berbagai mata
pelajaran.
Salah satu prasarana pendorong tumbuhnya kreativitas adalah design thinking,
yaitu proses kognitif, strategis dan praktis untuk mengembangkan konsep design
(proposal produk, bangunan, mesin, pemasaran). Biasanya dikembangkan oleh
designer atau tim design. Design Thinking dikaitkan dengan resep untuk inovasi
produk dan pelayanan dalam konteks bisnis atau sosial. Design thinking sebagai
proses merupakan analisis konteks, penemuan dan framing masalah untuk
menghasilkan pemecahan masalah dan ide baru, berpikir kreatif, membuat sketsa,
menggambar, membuat prototype dan pemodelan, menguji dan mengevaluasi.
Tujuan belajar design thinking ialah agar bisa menawarkan pemecahan masalah
yang tidak dirumuskan dengan baik atau masalah-‐masalah pelik. Jadi
strateginya
adalah fokus ke pemecahan masalah dengan menggunakan penalaran yang
produktif, biasanya yang dominan adalah logika abduktif. Sedangkan sarana yang
biasa digunakan adalah non-‐verbal entah grafik, media atai pemodelan spasial.
Design thinking menekankan bentuk penalaran atau logika abduktif.

Perbedaan & Contoh Tiga Jenis Penalaran

DEDUKSI INDU ABDUKSI


KSI
Premis mayor: Semua kacang dari Kasus : Kacang*kacang ini diseleksi Pernyataan umum: Semua kacang
tas secara acak dari tas ini dari tas ini berwarna
ini berwarna putih putih
Premis minor: Kacang*kacang ini Hasil : Kacang*kacang ini warna* Hasil : Kacang*kacang ini
berasal dari tas ini nya putih berwarna putih

Kesimpulan : Kacang ini berwarna Generalisasi: Semua kacang dari Kasus (hipotetis): Kacang*kacang
Putih tas ini berwarna putih ini berasal dari tas
ini

Pelatihan logika abduktif membantu untuk menumbuhkan pemikiran kreatif


karena bentuk kesimpulannya hipotetis sehingga dimungkinkan adanya banyak
pemecahan masalah. Sedangkan pada logika induktif dan deduktif kesimpulannya
satu dalam bentuk generalisasi untuk induktif, dan untuk deduktif harus mengikuti
premis mayor dan premis minornya.
Ketiga ketrampilan tersebut di atas menjadi ekosistem pembelajaran yang wajib
diperoleh untuk memperoleh ketrampilan-‐ketrampilan lain. Menurut Jukes dan
Schaaf, ada delapan ketrampilan sebagai syarat pembelajar siap masuk ke lapangan
kerja (2019: 115-‐126): 1. Ketrampilan intrapersonal; 2. Ketrampilan interpersonal;
3. Ketrampilan memecahkan masalah; 4. Kerjasama; 5. Analisis informasi; 6.
Komunikasi informasi; 7. Kreativitas; 8. Kewargaan global.
Pertama, ketrampilan intrapersonal adalah ketrampilan yang bisa membantu
bekerja dalam situasi nyata yang terungkap dalam persepsi, sikap, kebiasaan dan
pikiran. Ketrampilan ini diukur dari kemampuannya merespon melalui kesadaran,
pikiran dan strategi agar bisa memperoleh hasil yang positif. Penguasaan
ketrampilan intrapersonal ini nampak dari self-‐esteem, pikiran terbuka, mampu
belajar, percaya diri, mampu memahami, manajemen emosi, disiplin, motivasi diri,
sabar, dan mampu mengatasi kebosanan. Pembelajar yang memiliki ketrampilan ini
sangat potensial untuk menjadi inisiator, pionir, bisa kerja mandiri, tekun, memiliki
sikap positif dan terampil dalam manajemen waktu.
Ke dua, ketrampilan interpersonal adalah kemampuan memahami situasi di luar
dirinya dan mampu berkomunikasi dengan pihak lain. Kemampuan terlibat dlm
komunikasi non-‐verbal, memberi masukan positif, mendengarkan, membujuk,
debat, menularkan kesadaran sosial dan budaya, serta bisa menerima kritik.
Ke tiga, ketrampilan problem-‐solving adalah kemampuan memecahkan masalah
secara real time. Seorang yang memiliki pikiran analitis bisa membandingkan,
mengontraskan, menilai, membuat sintesis dan menerapkan analisis. Kemampuan
ini masuk dalam penerapan ketrampilan higher-‐order thinking. Problem-‐solving
ini melibatkan penentuan langkah-‐langkah yang jelas dalam pemecahan
masalah, habitus pemikiran untuk menjelaskan, belajar, praktik, menerapkan,
membatinkan dan upaya memperbaiki. Langkah problem-‐solving, seperti ditulis
Jukes & Schaaf, terdiri dari definisi masalah, menyingkap konteks dan latar
belakang, mengidentifikasi audience atau pemangku kepentingan, mimpi (imajinasi
melalui brainstorming, visualisasi pemecahan yang mungkin), disain (langkah
proses), menyerahkan solusi atau produk, mendiagnosa (masukan sejawat/guru),
kemudian mengevaluasi ke 7 langkah sebelumnya (kinerja) baru mengambil
keputusan.
Ke empat, ketrampilan bekerjasama terdiri dari kemampuan membuat
perencanan dan cara memfasilitasi penerapannya. Lalu mampu mengorganisir tim
fungsional dengan menempatkan anggota-‐anggota agar bisa saling
melengkapi sehingga masing-‐masing bisa mengambil peran dalam kelompok. Dari
sisi interaksi, terlibat aktif dalam brainstorming dan mampu mengritisi gagasan
tanpa memakai argumen ad hominem. Akhirnya mampu bernegosiasi dalam
memecahkan masalah
bersama kelompok, termasuk memperoleh dan mendengarkan feedback. Semua itu
mengandaikan bisa bertanggungjawab atas tugas yang dibebankan (2019: 11).
Ke lima, ketrampilan menganalisis informasi terdiri dari kemampuan
merumuskan pertanyaan kritis: identifikasi kata-‐kata kunci, bertanya atas dasar
kata kunci, brainstorming, berpikir kreatif, memahami masalah etisnya,
membedakan informasi yang bisa dipercaya atau hoax. Membiasakan diri
mengakses ke data dari sumber digital dan non-‐digital yang kredibel
dengan menggunakan strategi pencarian, scan, periksa sumberdaya data yang
relevan, menyaring informasi, mencatat, menentukan informasi yang tidak lengkap.
Pendekatan ilmiah dikedepankan seperti analisis data untuk otentifikasi
kesahihannya supaya bisa menjadi pengetahuan. Metodenya mengorganisir, cek
dengan triangulasi, meringkas data, membedakan data dari opini, memeriksa
makna dan biasnya, probabilitas dan arah trendnya. Prioritas adalah menerapkan
pengetahuan untuk memecahkan masalah kongkrit dengan menulis essay, mencipta
grafik, melengkapi argumen, membuat presentasi, ikut debat, lengkapi eksperimen
pengetahuan, membuat video, partisipasi di media sosial. Penilaian proses dan
produk bertolak dari bagaimana belajarnya, mana yang jalan atau tidak jalan,
bagaimana meningkatkan proses/produk serta merefleksikan bagaimana agar bisa
menerapkan proses itu ke situasi-‐situasi yang sama atau berbeda.
Ke enam, ketrampilan komunikasi informasi. Komunikasi bukan lagi hanya
masalah gambar, tapi di era You Tube, komunikasi merupakan konstruksi pesan
dengan standar audiovisual. Standar ini menuntut bukan hanya grafik namun juga
alat produksi video. Fasilitas seperti ini memungkinkan pembelajar bukan lagi
hanya menjadi konsumer, tapi prosumer. Disain visual harus menjadi bagian
kurikulum di setiap tingkat pendidikan. Pembelajar dilatih bisa komunikasi secara
efektif di multimedia seperti halnya generasi sebelumnya fasih menulis dan
membaca. Prosumer yang berkualitas memerlukan pengetahuan terkait dengan ciri
generasi digital, prinsip disain grafis, psikologi warna, prinsip produksi suara dan
komposisi video.
Ke tujuh, ketrampilan kreatif. Untuk mengetahui apakah seseorang pembelajar
memiliki tingkat kreativitas tertentu, ada tes, menurut Jukes & Schaaf, untuk
mengukur tingkat kreativitas itu, yaitu Creative Quotient, yang diciptakan oleh Ellis
Paul Torrance (2019: 121). Maka nama tes itu Torrance Test of Creative Thinking
(TTCT). Tes kreativitas ini melibatkan metode mengukur pemikiran yang mampu
berbeda dan ketrampilan memecahkan masalah yang meliputi empat komponen:
pertama, fluency, yaitu total jumlah gagasan yang bisa ditafsirkan, bermakna dan
relevan muncul sebagai response terhadap stimulus; kedua, flexibility adalah jumlah
beragam kategori response yang relevan; ketiga, originalitas terkait dengan
response yang jarang muncul secara statistik; dan keempat, elaborasi yaitu jumlah
penjelasan yang sampai rinci dalam response. Muncul kekhawatiran bahwa angka
kreativitas kebanyakan pembelajar mengalami penurunan.
Menurut data Kim (2010), seperti dikutip Jukes & Schaaf (2019: 122), dari tahun
1984 ke 1990, nilai TTCT (kemampuan kreasi & kembangkan gagasan, pemikiran
analitis & termotivasi untuk kreatif) turun 19,41%. Pada tahun 1998, TTCT turun
24, 62%, pada tahun 2008 TTCT turun 36,80%. Menurut pengamatan Kim,
sebab-‐ sebab penurunan kreativitas ada tiga: 1. Terlalu banyak waktu habis untuk
menonton TV dan komputer, melihat acara dan main video game, bukan eksplorasi;
2. Kurang fokus pada kreativitas dalam kurikulum pembelajaran di sekolah; dan 3.
Abstraksi, pemikiran terbuka dan fokus pada originalitas kalah penting dibanding
persiapan tes yang lebih mendominasi pendidikan.
Ke delapan, ketrampilan kewargaan global harus mengarahkan untuk bersikap
dan bertindak secara bertanggungjawab dan penuh hormat. Kewargaan global
berkaitan dengan upaya melindungi diri, melindungi yang lain dan melindungi
karya pihak lain di dunia nyata maupun di dunia maya. Oleh karena itu, pembelajar
dilatih untuk peduli etiket, kesopanan dan mampu rekfleksi tentang hak privacy
(email, pesan, media sosial, browsing web). Pembelajaran dan pelatihan kewargaan
global difokuskan ke pemahaman yang dalam tentang etika dan akuntabilitas.
Bentuk komunikasi pedagogi ke 8 ketrampilan itu harus melibatkan pembelajar
dengan mendapat perhatian pribadi sambil dibiasakan untuk bekerjasama. Tugas
dimotivasi oleh pertanyaan yang relevan dan reflektif sehingga rumusan masalah
dan design solusi lebih kreatif. Pembelajar diajak memecahkan masalah nyata dan
proyek menantang. Komunikasi pedagogi ini jadi orientasi peran baru pendidik.
Peran Baru Pendidik
Inovasi disruptif berkat teknologi digital mengubah semua segi kehidupan
(ekonomi, sosial, budaya, cara berkomunikasi). Perubahan ini berdampak besar
pada ekonomi digital ketika tuntutan pasar kerja mengubah materi pembelajaran
dan ketrampilan. Model pembelajaran di sekolah harus berubah, terutama pendidik
harus bersedia segera berubah menyesuaikan tuntutan-‐tuntutan cara pembelajaran
baru karena generasi digital menghadapi tantangan yang baru sama sekali.
Gambaran pendidik sebagai penyedia ilmu pengetahuan yang tahu semua sudah
tidak relevan lagi. Untuk menyesuaikan dengan tuntutan perubahan karena inovasi
disruptif, peran pendidik dalam proses pembelajaran mengerucut ke tiga fungsi:
pertama, menjadi perancang pembelajaran; kedua, menjadi model bagi para
pembelajar; dan ketiga, merupakan mentor, guide dan pemimpin kelas.
Ketiga fungsi ini dirinci lebih jelas oleh Jukes & Schaaf ke dalam sepuluh peran
baru pendidik (2019: 127-‐149): 1. Membantu pembelajar untuk fokus ke masa
depan; 2. Selalu mau belajar lagi; 3. Fasilitator pembelajaran; 4. Selalu menekankan
penemuan; 5. Meningkatkan pembelajaran dengan fokus makna dunia nyata; 6.
Mampu memperluas lingkup makna kurikulum; 7. Evaluator pada tingkat
pemikiran; 8. Mengajar seluruh bagian pikiran; 9. Menggunakan teknologi sebagai
alat pembelajaran; 10. Evaluator menyeluruh.
Pertama, peran pendidik untuk membantu pembelajar untuk fokus ke masa
depan. Fokus ke masa depan mengandaikan keberanian pendidik untuk melakukan
eksperimentasi. Maka pendidik harus mengembangkan eksperimentasi dengan
mencoba sesuatu yang baru bersama pembelajar. Salah satunya model
pembelajaran berbasis masalah/produk. Cara pembelajaran lain ialah flipped
classroom di mana pembelajar diberi materi yang berbasis problem-‐solving
untuk mempelajarinya di rumah. Sedangkan di kelas hanya untuk verifikasi atau
diskusi pemecahan masalah dan diskusi bersama pendidik dan pembelajar lain.
Langkah pertama, pendidik mendisain rencana pelajaran, kemudian menciptakan
materi menggunakan video dan menggunan pembelajaran berbasis tim untuk
mempermudah kegiatan di kelas.
Ke dua, pendidik harus memiliki mindset untuk selalu mau belajar lagi. Banyak
pendidik yang sudah mapan dengan ‘Itulah cara yang sudah biasa kita lakukan’.
Maka ketiak banyak laporan adanya temuan baru dan kemajuan alam metodologi
pengajaran, mereka tetap tidak berubah, bahkan tidak peduli. Padahal pendidik bisa
menggunakan Twitter dan Pinterset untuk menciptakan jaringan pembelajaran
profesional. Dengan partisipasi aktif di jejering sosial, pendidik didorong untuk
membagikan gagasan dan sumberdaya. Berkembangnya komunitas Edutopia,
TeachThought dan Edchat Interactive menjadi beberapa contoh komunitas guru
yang tetap mau saling belajar. Dengan demikian membuka perspektif pendidik
bahwa sekolah bukan bukan satu-‐satunya lokasi mengembangkan ketrampilan dan
memperoleh pengetahuan baru.
Ke tiga, pendidik menjadi fasilitator pembelajaran. Kebiasaan selama ini
pembelajaran dirumuskan sebagai ‘pendidik berbicara-‐pembelajar mendengarkan’.
Padahal tugas pendidik adalah memberdayakan pembelajar menjadi pemikir
mandiri dan kreatif. Maka pihak yang seharusnya bekerja keras di kelas adalah
pembelajar bukan pendidik. Pendidik harus mendampingi agar bisa melepas
ketergantungan pembelajar. Pembelajaran berubah ke budaya pemberdayaan, yaitu
budaya percaya diri, mengambil inisiatif berani berpikir secara berbeda dan kreatif.
Indikator keberhasilan terlihat ketika begitu pembelajar lulus, mereka tidak
membutuhkan pendidik lagi.
Ke empat, pendidik harus selalu menekankan penemuan. Dengan menerapkan
metode pencarian, eksplorasi untuk penemuan, pembelajar dipaksa masuk ke
higher order thinking. Pembelajar harus melatih diri menganalisis, mengritik dan
menciptakan gagasan baru. Pendidik perlu menemukan fasilitas, sarana atau sistem
agar pembelajaran bisa memompa rasa ingin tahu pembelajar dan melibatkan
ketertarikannya untuk memajukan kemandirian pemikiran.
Ke lima, pendidik ditantang untuk meningkatkan pembelajaran dengan fokus
pada makna dunia nyata. Pendidik harus mengutamakan kebutuhan pembelajar
untuk mengembangkan proses ketrampilan secara efektif dalam riset, problem--
‐ solving, komunikasi dan kreativitas. Caranya, memberi kerangka pengalaman
pembelajaran menggunakan konten, ketrampilan dan proses untuk diterapkan di
dunia real. Maka peran pendidik lebih sebagai instruktor proses dan konteks dari
pada penyedia isi pengetahuan. Prinsipnya, manfaat informasi adalah untuk
memecahkan masalah riil dan menciptakan sesuatu yang baru. Maka pendidik harus
menyusun masalah untuk dipecahkan atau mendorong pembelajar menghasilkan
suatu produk yang harus dikonseptualisai dan diciptakan.
Ke enam, pendidik harus mampu memperluas lingkup makna kurikulum. Dalam
pembelajaran klasik, pengetahuan dibagi ke serangkaian mata pelajaran yang
terpisah. Dalam setiap ujian masing-‐masing mata pelajaran itu hanya ada satu
jawaban yang benar yang harus diingat pembelajar. Tekanan bukan pada hasil
pikiran sendiri pembelajar. Sedangkan model pembelajaran era inovasi, matematika
dipelajari dalam kaitan dengan statistik, logika, probabilitas aljabar dan dalam
hubungannya dengan musik, science, seni, ilmu-‐ilmu sosial atau psikologi. Jadi
matapelajaran itu saling melengkapi, bukan diajarkan secara terisolasi, namun
terintegrasi satu sama lain bahkan dikaitkan dengan dunia di luar kelas. Maka
istilah-‐istilah seperti “pembelajaran integratif”, “transdisiplinaritas”, “berpikir out of
the box”, “perencanaan kolaboratif lintas kurikulum” banyak digunakan. Tujuan
yang mau dicapai adalah kreativitas dan kemandirian pembelajar dalam pemikiran.
Ke tujuh, pendidik membantu pembelajar bisa berpikir berbeda. Caranya
pendidik harus bisa memberi masalah dengan skenario terbuka sehingga ada
banyak kemungkinan jawaban. Latihan seperti itu akan mendorong pembelajar
berpikir out of the box. Contoh soal seperti buatlah pengumuman untuk publik agar
mereka memahami adanya bahaya air yang terpolusi. Memang bukannya
meninggalkan sama sekali metode mengingat, tetapi pendidik harus mencari
keseimbangan antara pembelajaran yang menekankan jawaban hanya satu dan
kemungkinan banyak jawaban.
Ke delapan, pembelajaran yang memberdayakan seluruh bagian otak. Pendidik
ditantang untuk menyediakan kepada pembelajar semua pendekatan pengajaran,
strategi, sumberdaya, peralatan dan pengalaman. Berbagai pendekatan ini
digunakan untuk mendiversifikasi dan memperkaya masa pendidikan pembelajar.
Otak menyukai pola, suara dan warna, maka ketiga hal ini perlu digunakan sesering
mungkin. Pembelajar dilatih belajar sendiri tapi juga dilatih bisa bekerjasama.
Menekankan sarana visual dalam pembelajaran menjadi cara agar ada kesempatan
lebih baik bagi otak untuk menyimpan informasi di memori jangka panjang.
Pembelajaran dengan mengajak ke luar ruang untuk meningkatkan kepedulian dan
imajinasi bermanfaat: study tour, community service, live-‐in, digital voluntarisme.
Ke sembilan, pendidik perlu menjadikan teknologi sebagai alat pembelajaran
yang tak terpisahkan. Fokusnya jelas, yaitu bahwa penggunaan teknologi diarahkan
ke mengembangkan pada diri pembelajar ketrampilan untuk melakukan penelitian
yang diperlukan agar bisa menjadi pembelajar efektif dengan berbasis riset. Bila
fokusnya pada tugas, belajar menggunakan alat digital menjadi by-‐
product pembelajaran. Pembelajaran yang bersifat teknis: keybord, proses word atau
coding sebaiknya dibuat berkelindan dengan pengajaran proses menulis seni, ilmu
sosial dan science. Dengan demikian terbukti bahwa pendidikan merupakan tugas
manusia yang melibatkan perbaikan kondisi manusiawi. Teknologi memperbaiki
kondisi menjadi lebih manusiawi.
Ke sepuluh, pendidik diharapkan bisa menjadi evaluator menyeluruh. Peniliaian
yang fair dan bermanfaat bila sampai menyentuh pada semua aspek pembelajaran
dan penerapannya dalam kehidupan. Maka pembelajaran harus kontekstual dan
aplikatif. Dari tuntutan ini muncul apa yang disebut kecerdasan praktis yang
melibatkan street smarts, yaitu kecerdasan yang bisa menyesuaikan dengan situasi
sehingga mampu memberdayakan situasi/lingkungan untuk memecahkan masalah
dan menjawab kebutuhan. Tentu kemampuan itu mengandaikan bisa menyeleksi
atau menciptakan lingkungan untuk menggantikan yang lama. Ketika di sebuah
kampung, orang menghadapi kesulitan untuk mendapatkan air bersih padahal tidak
jauh dari tempat itu ada sumber air yang besar tetapi terletak lebih rendah dari
kampung mereka. Orang yang memiliki street smarts mengusahakan pipa
berdiameter 30 cm sepanjang 30 m untuk mengalirkan air turun ke jurang sedalam
20 m kemudian disambung ke pipa yang hanya berdiameter 5 cm dinaikkan ke
kampung tersebut. Tanpa generator air kampung tersebut mendapat aliran air.
Kecerdasan kreatif mengandaikan pembiasaan untuk bisa berpikir berbeda.
Pemikiran yang berbeda mendorong melahirkan gagasan/solusi baru. Ujian yang
distandardisasi tidak mampu menjawab evaluasi terhadap kreativitas dan
higher-‐
order thinking. Maka evaluasi pembelajaran perlu memberi prioritas ke kemampuan
berpikir analitis, kerja, presentasi, diskusi dengan pendidik dan exit tickets.
Evaluasi disebut menyeluruh bila mengombinasi ujian terstandar dengan
beragam sarana evaluasi formal/informal: kualitati-‐kuantitatif, sumatif-‐
formatif, sendiri-‐rekan sebaya, basis kinerja-‐basis hasil, produk-‐proses. Asesmen
sumatif biasa dilakukan di akhir mata pelajaran berupa ujian atau presentasi.
Asesmen formatif: pendidik mengarahkan pembelajar ke pengetahuan, membangun
dasar pengetahuan, perolehan pembelajaran, dan selalu ada koreksi/pendampingan
dan refleksi, yaitu exit tickets, portofolio, bukti tulisan, kinerja, atau hasil
pengamatan.
Belajar, menurut Ardi Handojoseno, tidak hanya lewat interaksi sosial, namun
melalui interaksi antar simpul-‐simpul jaringan (orang, tempat, perangkat). Jaringan
sebagai perpanjangan pikiran berarti belajar menjadi proses yang menghubungkan
simpul-‐simpul dan sumber-‐sumber informasi untuk pemahaman dan penerapan
konsep-‐konsep serta proses-‐proses individu. Prinsip belajar terus-‐menerus
adalah “stay connected” & “belong to”. Maka jaringan sendiri adalah dasar proses
belajar. Cara untuk selalu bisa belajar dalam masyarakat pengetahuan: para
anggotanya dituntut untuk terus mengupdate pengetahuannya dan
merawat koneksi-‐ koneksinya (Ardi Handojoseno 2016: 48-‐49)
Pengetahuan didistribusikan melalui hubungan antara individu, kelompok dan
perangkat pendukung. Koneksi jaringan bukan hanya sumber informasi, tapi
merupakan pengetahuan itu sendiri. Konektivisme bukan hanya menekankan
“know-‐how” dan “know-‐what”, namun perlu pengetahuan khusus yang bisa
menemukan tempat letak pengetahuan, maka diperlukan “know-‐where” (Ardi
Handojoseno, 2016: 47).
Peran baru pendidik, model baru pembelajaran, tuntutan teknologi sebagai alat
pembelajaran, cara baru generasi digital belajar, ketrampilan-‐ketrampilan yang
harus dipelajari akhirnya hanya bermuara ke satu imperatif “pendidik dan institusi
pendidikan harus berubah”. Tidak bisa ditawar lagi dan tidak bisa ditunda lagi.
SUMBER ACUAN

Christensen, Clayton M, 2017: Disrupting Class: How Disruptive Innovation Will


Change the Way the World Learns, New York: McGraw Hill Education
D’Ancona, Matthew, 2017: Post-‐Truth: The New War on Truth and How to Fight Back,
London: Ebury Press
Duggan, Shane. B., 2019: Education Policy, Digital Disruption and the Future of Work,
Melbourne: Palgrave
Gleason, Nancy W., 2018: Higher Education in the Era of the Fourth
Industrial Revolution, Singapore: Palgrave Macmillan
Haidt, Jonathan, 2012: The Righteous Mind: Why Good People are Divided by
Politics and Religion, New York: Vintage Books
Handojoseno, A. A.M., 2016: Aku Terkoneksi Maka Aku Ada: Perspektif Pedagogi
Berbasis Koneksi di Era Digital, Yogyakarta: Sanata Dharma University
Press
Jukes, Ian & Ryan. L. Schaaf, 2019: A Brief History of The Future of Education:
Learning in the Age of Disruption, Thousand Oaks California: Corwin
Kasali, Rhenald, 2018: The Great Shifting, Jakarta: GPU
Kumar S. Srivastava, 2015: Digital Disruptions: Ideas, Tactics and Strategies for
Leading Digital Disruptions, Middletown: Strategy and Organisation, 2015
Llorente, José Antonio, The Post-‐Truth Era: Reality vs. Perception, Uno Magazine. No
27 March 2017, hlm. 9, www.Uno-‐Magazine.com
Lucas, Jr. Henry C., 2016, Technology and the Disruption of Higher Education,
New Jersey: Wolrd Scientific
McIntyre, Lee, 2018: Post-‐Truth, Cambridge: Massachusetts Institute of Technology
McQuivey, James, 2013: Digital Disruption, Las Vegas: Forrester Research
Schwab, Klaus: 2017: The Fourth Industral Revolution, New York: Crown Business
Stephens-‐Davidowitz, Seth, 2017: Everybody Lies: Big Data, New Data and What The
Internet Can Tell Us About Who We Really Are, New York: HarperCollins
Topol, Eric, 2013: The Creative Destruction: How the Digital Revolution will Create
Better Health Care, New York: Basic Book
Trilling, Bernie & Charles Fadel, 2009: 21st Century Skills: Learning for Life in
Our Times, San Francisco: Jossey-‐Bass
van Mourik Broekman (ed.), 2015: Open Education: A Study in Disruption, London:
Rowman & Littlefield
Wilen, Tracey, 2018: Digital Disruption: The Future of Work, Skills, Leadership,
Education and Careers in a Digital World, New York: Peter Lang

Anda mungkin juga menyukai