Anda di halaman 1dari 17

1.

PENGERTIAN SKABIES

Skabies merupakan salah satu penyakit infeksi kulit menular yang


disebabkan oleh tungau betina Sarcoptes scabiei varieta hominis yang
termasuk dalam kelas Arachnida. Penyakit ini merupakan penyakit kulit
endemis di wilayah beriklim tropis dan subtropis 1.

Skabies dalam Bahasa Indonesia sering disebut kudis, kutu badan,


budukan, gatas, agogo yang disebabkan infestasi dan sensitisasi terhadap
sarcoptes scabies var hominis dan produknya ditanai dengan keluhan gatal
pada malam hari dan ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung
melalui pakaian dan alas tempat tidur 2,3.

2. MORFOLOGI

Sarcoptes scabiei merupakan tungau brukuran kecil, mikroskopis,


berbentuk lonjong, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau
ini translusen dan berwarna putih keruh. Hidup dipermukaan atau di dalam
lapisan kulit dari berbagai mamalia, termasuk manusia.

Ukuran tungau sangat bervariasi, tungau betina berukuran lebih besar


dari tungau jantan dengan ukuran 330-450 x 250-350 mikron, sedangkan
tungau jantan berukuran 200-240 x 150-200 mikron.

1
Gambar 2. Sarcoptes scabiei. A. Jantan (dorsal); B. jantan (ventral);
C. betina (dorsal); D. betina (ventral); E. tungau betina dan telurnya
di dalam terowongan; F. Larva berkaki 6 (ventral).6

Tubuh tungau terbagi menjadi 2 bagian, yaitu anterior yang disebut


nototoraks dan bagian posterior yang disebut notogaster. Nototoraks dan
notogaster masing-masing mempunyai 2 pasang kaki. 2 pasang kaki pada
tungau betina berakhir dengan rambut sedangkan tungau jantan, sepasang kaki
ketiga terakhir berakhir dengan rambut dan kaki ke-empat berakhir degan
ambulacral, yaitu semacam alat untuk melekatkan diri.

Alat genital tugau betina ini berbentuk celah yang terketak pada bagian
ventral sedangkan alat genital jantan berbentuk huruf Y dan terletak diantara
pasangan kaki ke-empat. Pada stadium larva emiliki 3 pasang kaki sedangkan
nimfa mempunyai 4 pasang kaki dan bergerak degan kecepatan 2,5 cm per
menit pada permukaan kulit 6.

3. PENYEBAB DAN SIKLUS HIDUP

Infestasi tungau scabies sangat mudah menyebar dari satu individu ke


individu lain melalui kontak fisik dan sering menyerang seluruh penghuni
dalam satu rumah. Tungau betina membuat terowongan dibawah lapisan kulit
paling atas dan menyimpan telurnya dalam lubang tersebut. Setelah beberapa
hari telur tersebut menetas menjadi tungau muda (larva). Kemudian terjadi
infeksi sehingga menimbulkan gejala gatal yang hebat dan merupakan suatu
reaksi alergi terhadap tungau 4,5.

Siklus hidup Sarcoptes Scabiei memerlukan waktu 10-14 hari, terdiri


dari 4 stadium yaitu, telur, larva, nimpa, dewasa. Tungau betina dewasayang
sudah dibuahi akan bertelur sambil membuat terowongan dibawah lapisan
lkulit paling atas dan meletakkan telurnya yang berbentuk oval pada
terowongan tersebut. Setelah telur menetas, larva embuat terowongan baru
yang merupakan cabang dari terowongan utama, kemudian larva berganti kulit
dan hanya empunyai 3 pasang kaki. Setelah larva berganti kulit, dan
menghasilkan nimpa yang memiliki 4 pasang kaki, selanjutnya berkembang
menjadi dewasa.

2
Gambar 1. Siklus hidup Sarcoptes Scabiei (ilustrasi oleh Uti Nilam Sari)

Tempat yang paling disukai oleh kutu betina adalah bagian kulit yang
tipis dan lembab, seperti pada daerah sekitar sela jari tangan, siku,
pergelangan tangan, bahu dan daerah kemaluan. Pada bayi yang memeliki
kulit serba tipis, telapak tangan, kaki, muka dan kulit kepala sering diserang
kutu tersebut karena kutu mudah untuk menginvasi.

Gambar 3. Infeksi tungau skabies

4. PATOGENESIS

Sarcoptes sabiei telah hidup Bersama manusia dan mamalia lain serta
berevolusi dan beradaptasi dengan berbagai mekanisme untuk menghindari

3
respon imun hospes baik bawaan maupun didapat. Hospes menunjukkan
respon imun tipe lambat terhadap scabies. Pada manusia, gejala klinis berupa
inflamasi kulit baru timbul 4-8 minggu setelah terinfestasi. Respon imun yang
lambat tersebut merupaka dampak dari kemampuan tungau dalam memodulasi
berbagai aspek respon imun dan inflamasi hospes 8.

Sel epidermis seperti keratinosit dan sel Langerhans merupakan sel


pertama yang meghadapi tungau scabies dan produknya. Respon inflamasi
bawaan dan didapat dari kulit hospes beneran sebagai pertahanan lini pertama
terhadap invasi, kelangsungan hidup dan reproduksi tungau di dalam kulit.
Tungau keratinosit dan sel dendritic melalui molekul yang terdapat di dalam
telur, feses, ekskreta, saliva, dan cairan sekresi lain seperti enzim dan hormone,
serta aktivitas organ tubuh seperti chelicerae, pedipalps dan kaki selama proses
penggalian terowongan. Tubuh tungau mati yang membusuk juga meragsang
respon imun8.

Sarcoptes scabiei memproduksi banyak saliva saat membentuk


terowongan dan merupakan sumber molekul yang dapat memodulasi inflamasi
atau respon imun hospes. Produk tungau yang menembus dermis merangsang
sel-sel seperti fibroblast, sel endotel mikrovaskular serta sel imun seperti sel
Langerhans, makrofag, sel mast dan limfosit. Diduga sel Langerhans dan sel
dendritic lain memproses antigen tungau dan membawa antigen tersebut ke
jaringan limfe regional yaitu tempat respon imun didapat diinisiasi melalui
aktivitas sel limfosit T dan limfosit B 8.

Tungau scabies memicu sekresi anti-inflamatory cytokine interleukin-1


receptor antagonist (IL-1ra) dari sel fibroblast dan keratinosit padamodel kulit
manusia. IL-1ra menghambat aktivitas sitokin proinflamasi IL-1 dengan
mengikat reseptor IL-1 yang terdapat pada banyak sel termasuk sel limfosit T,
sel limfosit B, natural killer cell, makrofag dan neutrophil. Tungau scabies
mengandung molekul yang menghambat ekspresi molekul adhesi interselular
dan vascular yaitu intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan vascular
adhesion molecule-1 (VCAM-1) serta E-Selectin oleh kultur sel endotel
mikrovaskular kulit manusia. Supresi tersbut akan menghambat atau

4
menurunkan eksravasasi limfosit, neutrophil, dan sel lain ke dalam dermis
sehingga mengganggu respon pertahanan hospes 8.

Sarcoptes scabiei dapat menghambat interaksiko-stimulasi antara


limfosit-T dan sel penyaji antigen (antigen presenting cell) sedangkan ekstrak
tungau scabies memicu sel limfosit T regulator untuk memproduksi IL-10.
Sitokin tersebut bekerja sebagai antiinflamasi poten dengan menekan sekresi
sitokin proinflamasi lain dan ekspresi molekul MHC-II di permukaan sel APC.
Pada akhirnya interkasi kompleks MHC-II antigen dan reseptor limfosit T yang
penting untuk aktivasi dan proliferasi limfosit B menjadi sel plasma yang
memproduksi antibody menjadi berkurang 8.

Model kulit manusia serta monokultur keratin epidermis dan fibroblas


dermis manusia mensekresikan lebih banyak vascular endothelial growth factor
(VEGF) sebagai respons terhadap tungau skabies hidup maupun ekstraknya.
VEGF meningkatkan vaskularisasi dan jumlah plasma di terowongan
epidermis yang dekat dengan mulut tungau sehingga terowongan yang semula
kering menjadi kaya air dan nutrisi. Hal tersebut dibuktikan oleh pencernaan
antibodi di dalam plasma oleh tungau 8.

5. GAMBARAN KLINIS

Gatal merupakan gejala klinis utama pada scabies. Rasa gatal pada awal
masa infestasi tungau biasanya pada malam hari (pruritus nocturnal), cuaca
panas, atau ketika berkeringat. Gatal terasa disekitar lesi, namun pada scabies,
namun pada scabies kronik gatal dapat dirasakan hingga keseluruh tubuh. Gatal
disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap ekskret dan secret tungau yang
dikeluarkan pada waktu membuat terowongan. Masa inkubasi dari ifnestasi
tungau hingga muncul gejala gatal sekitar 14 hari 7.

Sarcoptes scabiei memilih lokasi epidermis yang tipis untuk menggali


terowongan misalnya disela-sela jari tangan, pergelangan tangan, penis, areola
mamae, peri-umbilikalis, lipat payudara, lipat payudara, pinggang, bokong
bagian bawah intergluteal, paha serta lipatan aksila anterior dan posterior.
Terowongan yang digali tungau tampak sebagai lesi beruoa garis halus yag
berwarna putih keabu-abuan sepanjang 2-15 mm, berkelok-kelok dan sedikit

5
meninggi dibandingkan sekitarnya. Diujung terowongan terdapat papul atau
vesikel kecil berukuran <5mm tempat tungau berada. Di daerah beriklim
tropis, jarang ditemukan lesi terowongan. Lesi tersebut sulit ditemukan karena
sering disertai ekskoriasi akibat garukan dan infeksi sekunder oleh bakteri.
Meskipun demikian, terowongan dapat berada di tangan, sela-sela jari tangan,
pergelangan tangan, dan pergelangan kaki. Pustul tanpa lesi terowongan sering
terdapat di genitalia eksterna. Pada infestasi ringan, lokasi yang harus diperiksa
adalah sela jari tangan dan genitalia eksterna.

Pada orang dewasa, lesi scabies jarang ditemukan leher, wajah, kulit
kepala yang berambut, punggung bagian atas, telapak kaki dan tangan, namun
pada bayi daerah tersebut sering berinfestasi babhkan lesi dapat ditemukan di
seluruh tubuh. Lesi scabies biasanya tidak terdapat di kepala namun pada anak
kecil dan bayi dapat ditemukan pustule gatal. Gejala scabies pada anak
biasanya berupa vesikel, pustule, dan nodus. Anakmenjadi gelisah dan nafsu
makan berkurang. Gambaran klinis scabies pada anak-anak sering sulit
dibedakan dengan infantile acropustulosis dan dermatitis vesiko bulosa. Kesi
terowongan jarang atau bahkan tidak ditemukan.

Gejala utama adalah rasa gatal pada malam hari. Rasa gatal karena
pembuatan terowongan oleh Sarcoptes Scabies di Startum Korneum, yang pada
malam hari temperatur tubuh lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat
(Handoko, 2010). Gatal merupakan gejala utama sebelum gejala klinis lainnya
muncul. Rasa gatal hanya pada lesi, tetapi pada skabies kronis gatal dapat
terasa pada seluruh tubuh. Lesi scabies biasanya tidak terdapat di kepala
namun pada anak kecil dan bayi dapat ditemukan pustule yang gatal. Gejala
scabies pada anak biasanya berupa vesikel, pustule, dan nodus, anak menjadi
gelisah dan nafsu makan berkurang. Gambaran klinis scabies pada anak-anak
sering sulit dibedakan dengan infatile acropustulosis dan dermatitis vesiko
bulosa. Lesi terowongan jarang atau bahkan tidak ditemukan9.

Scabies menimbulkan rasa gatal yang hebat sehingga penderita sering


menggaruk dan timbul luka lecet yang diikuti dengan infeksi sekunder oleh
bakteri streptococcus grup A serta streptococcus aureus. Infeksi tersebut
menimbulkan pustule, ekskoriasi dan pembesaran kelenjar getah bening. Pada
6
infeksi sekunder dapat timbul bula sehingga disebut scabies bulosa. Di negara
tropis sering terjadi infeksi bakteri sekunder dengan lesi pustular atau krusta di
daerah predileksi scabies dan pada anak-anak lesi terdapat di wajah mirip
dengan impetigo. Scabies dengan infeksi sekunder harus segera ditangani
terlebih dahulu sebelum memberikan skabisida8.

Tingkat keparahan scabies bergantung dari jumlah tungau dan


penatalaksanaannya. Jika diagnosis dan pengobatan tidak dilakukan sesegera
mungkin maka jumlah tungau akan meningkat dan gejala menjadi lebih berat.
Berat ringannya kerusakan kulit tergantung pada derajat sensitisasi, lama
infeksi, kebersihan individu, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Pada
stadium kronis, scabies mengakibatkan penebalan kulit dan berwarna lebih
gelap.

Gambar
4.

Lesi
scabies di
pergelangan tangan berupa papul, vesikel, erosi dan skuama kolaret, multiple,
diskret

7
Gambar 5.

Lesi scabies di sela jari berupa papul eritematosa, vesikel, pustule, erosi
dan skuama kolaret, multiple, diskret.

Gambar 6.

Lesi scabies di telapak dan jari tangan berupa pustule, bula purulent dan
krusta hitam, multiple, diskret.

8
Gambar 7.

Lesi
scabies di penis, skrotum, lipat, dan pangkal pahabilaeral asimetris berupa
papul eritematosa, multiple, diskret

Gambar 8.

Lesi scabies di bokong berupa papul, erosi, ekskoriasi, krusta merah


kehitaman dan skuama kolaret, multiple, diskret.

9
Gambar 9.

Lesi scabies
di perut berupa papul eritematosa, ekskoriasi, dan krusta merah kehitaman,
mulitpel, diskret.

Gambar 10.

Lesi scabies di sela jari tangan berupa plak eritematosa, nummular,


batas tegas, ireguler, soliter dengan pustule di atasnya.

10
Gambar 11.

Lesi scabies di penis dan skrotum berupa papul eritematosa, multiple,


diskret.

6. PENULARAN DAN TRANSMISI

Prevalensi yang tinggi yang ditunjukkan pada lingkungan dengan


tingkat kepadatan penghuni yang tinggi dan tingkat kebersihan yang rendah
menyebabkan penyakit ini mudah menular. Penularan umumnya terjadi karena
tungau dapat berpindah dengan cepat dari satu orang ke orang lain yang sehat,
terutama jika orang sehat tersebut melakukan kegiatan sehari-hari bersama
dengan penderita skabies dan bersentuhan. Penderita umumnya adalah orang
yang sangat jarang mandi serta menjaga kebersihan Iingkungannya.

Sehingga dikatakan bahwa penularan skabies terutama adalah karena


kontak Iangsung, seperti berjabat tangan, tidur besama dan hubungan seksual.
Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan cara tersering, sedangkan
pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya.

11
Gambar 12. Saling berjabat tangan adalah cara penularan kontak
langsung

Penularan melalui kontak tidak Iangsung, misalnya melalui


perlengkapan tidur, pakaian atau handuk yang saling bertukar atau bergantian
secara berkelompok dan sering, yang dahulu dianggap mempunyai peran kecil
dalam penularan. Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa cara ke dua
ini menjadi lebih berperan dalam penularan skabies, dan dinyatakan sebagai
sumber penular utama adalah selimut, pakaian, sarung, pakaian dalam yang
saling bergantian maupun ditempatkan tidak pada tempatnya dan penderita
wanita.

Gambar 13.

Pakaian yang bertumpuk sebagai tempat hidup kutu skabies

7. PEMERIKSAAN DAN PENEMUAN KUTU

12
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan: anamnesis, yaitu adanya
pruritus nokturna dan erupsi kulit berupa papul, vesikel dan pustul di tempat
predileksi. Selain itu diperoleh keterangan bahwa gejala ini juga terdapat pada
sekelompok orang. Diagnosis pasti ditetapkan dengan menemukan tungau
atau telurnya pada pemeriksaan laboratorium. Namun kadang sulit untuk
menemukan tungau ini, karena jumlahnya yang sedikit pada penderita skabies.
Selain itu membutuhkan waktu untuk melakukan pemeriksaan sebagai metode
bantu untuk menegakkan diagnosis skabies (kudis) pada penderita.

Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menemukan telur, tungau


atau terowongan adalah:

a. Kerokan kulit.
Papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh ditetesi dengan minyak
mineral atau KOH, kemudian dikerok dengan skalpel steril untuk mengangkat
atap papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan pada gelas obyek dan
ditutup dengan kaca tutup, lalu diperiksa di bawah mikroskop.
b. Mengambil tungau dengan jarum
Jarum ditusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan
digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat
diangkat ke luar. Dengan cara ini tungau sulit ditemukan, tetapi bagi orang
yang berpengalaman, cara ini dapat meningkatkan ketepatan diagnosis.
c. Kuretasi terowongan
Cara ini dilakukan secara superficial mengikuti sumbu panjang
terowongan atau puncak papul. Hasil kuret diletakkan pada gelas obyek dan
ditetesi minyak mineral / KOH lalu diperiksa di bawah mikroskop.

d. Swab kulit
Kulit dibersihkan dengan eter, lalu dilekatkan selotip dan diangkat
dengan cepat. Selotip diletakkan pada gelas obyek kemudian diperiksa dengan
mikroskop. Dari 1 lesi dibuat 6 sediaan.
e. Burow ink test
Papul skabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu
dibiarkan selama 20-30 menit, kemudian dihapus dengan alkohol. Tes

13
dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk
gambaran khas berupa garis zig-zag.

Gambar 14. Gambaran pemeriksaan burrow ink test

f. Pemeriksaaan histopatologik.
Gambaran histopatologik menunjukkan bahwa terowongan terletak
pada stratum korneum, dan hanya ujung terowongan tempat tungau betina
berada terletak di irisan dermis. Pemeriksaan ini sesungguhnya tidak penting
kecuali pada daerah tersebut ditemukan tungau atau telurnya. Daerah yang
berisi tungau menunjukkan sejumlah eosinofil dan sulit dibedakan dengan
reaksi gigitan arthropoda lainnya seperti kutu busuk maupun nyamuk.

8. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

Pencegahan dan penanggulangan penyakit skabies dapat dilakukan


dengan memperbaiki diri serta lingkungan. Seperti sanitasi, menjaga
kebersihan tubuh seperti mandi 2 kali sehari, menghindari kontak langsung
dengan penderita karena skabies/kudis/parasit mudah menular pada kulit biasa,
tidak membahayakan jiwa namun sangat mengganggu kehidupan seharihari,
sehingga sangat penting hal tersebut dilakukan untuk mencegah infestasi kutu
skabies. Semua orang yang kemungkinan dekat dan kontak secara langsung
maupun tidak langsung dengan penderita dalam keluarga/pondok/asram harus
juga diperiksa hingga di obati. Hal tersebut karena penyakit skabies adalah
penyakit yang mudah menular melalui kontak perorangan, apabila ada salah
satu anggota keluarga/pondokan yang menderita skabies harus segera diobati
agar tidak menular kepada anggota yang lain/warga sekitar. Selain itu, juga
14
bertujuan untuk mencegah keparahan penyakit pada penderita jika anggota
keluarga lain dan lingkungan sudah bebas dari kutu skabies.

Beberapa macam obat dipakai dalam pengobatan skabies yaitu:

1. Gamma benzen hexaklorida (Gameksan).


Insektisida ini merupakan obat pilihan untuk scabies karena dapat
membunuh tungau dan telurnya. Cara pemakaiannya adalah dengan
mengoleskan salep atau losio dalam konsentrasi 1% pada seluruh badan, dari
leher ke bawah lalu dibersihkan setelah 12 jam. Pemakaian cukup sekali, dan
dapat diulang seminggu kemudian untuk membasmi larva yang baru menetas
dan telur yang tersisa. Gameksan diabsorbsi melalui kulit sehingga pemakaian
berulang-ulang dapat meningkatkan kadar obat dalam darah, dan akan bersifat
toksik terhadap susunan saraf pusat. Karena absorbsi perkutan lebih banyak
pada bayi dan anak, maka obat ini sering tidak dianjurkan oleh dokter pada
penderita skabies anak, juga ibu hamil dan menyusui, namun ada yang
menyatakan tidak berbahaya jika penggunaan hanya selama 6 jam saja.
2. Krotamiton.
Krotamiton konsentrasi 10% dalam bentuk krim atau losio, juga
merupakan skabisida yang cukup efektif, Cara pemakaian adalah dengan
mengoleskan bahan tersebut di seluruh badan mulai dari leher, dan dilakukan
pengulangan setelah 24 jam. Dilaporkan bahwa aplikasi selama 5 hari berturut-
turut memberikan hasil yang memuaskan. Efek sampingnya adalah iritasi kulit
dan pada pemakaian lama dapat menyebabkan sensitisasi.
3. Sulfur.
Sulfur konsentrasi 5%-10% dalam vaselin dapat dipakai sebagai
skabisida. Obat ini hanya membunuh larva dan tungau tetapi tidak membunuh
telur, sehingga pemakaian harus dilakukan selama 3 hari berturut-turut. Untuk
anak-anak dosis sulfur adalah setengah dosis orang dewasa. Bentuk aktif sulfur
adalah H2S dan asam pentationik yang mempunyai sifat keratinolitik. Obat ini
murah harganya dan cukup efektif hasilnya, namun karena baunya kurang
enak, lengket dan dapat mewarnai pakaian sehingga kurang disuka.
4. Benzil benzoat.

15
Obat ini dipakai dalam bentuk emulsi atau losio dengan konsentrasi 20-
35%. Obat ini cukup efektif namun sering menyebabkan iritasi dan menambah
rasa gatal.
5. Kotikosteroid dan preparat ter.
Pada nodus persisten dapat dipakai preparat ter dan kortikosteroid
intralesi.
6. Permethrin
Diberikan berupa krim, mempunyai efektifitas sama dengan gameksan,
namun Iebih aman.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chosidow, 2009. Skabies. The New England Journal Of Medicine.


35,1-16 Zayyid, MM, S
16
2. Soemirat J. Kesehatan Lingkungan. Revisi. Gadjah Mada University
Press. 2011

3. Safar R. Parasitologi Kedokteran, Protozologi Helmitologi


Entomologi, Yrama Widya Bandung, 2009.

4. Wardhana,A.H., Manurung, J., Iskandar,T. Skabies : Tantangan


Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. Wartazoa
2006;16(1):40-52.

5. Departemen Kesehatan RI. Analisis Data Laporan Jamkesmas 2010.


Buletin Kajian Aspek Epidemiologi Skabies Pada Manusia
(Majematang Mading dan Ira Indriaty P.B.Sopi) Jendela Data dan
Informasi Kesehatan (Triwulan 4). Jakarta, 2011.

6. Belding DL., 1965. Text Book of Parasitology. 3rd ed. Appleton


Century Crofts. New York.

7. Asiyah, Nur and Balgies, Sofy (2017) Tranformasi kesehatan santri.


Raziev Jaya, Surabaya. ISBN 978-602-73828-2-4

8. California Department of Public Health Division of Communicable


Disease Control. Prevention and control of skabies in California
longterm care facilities. 2008 [Diakses pada 19 Maret 2012].
Diunduh
dari:http://www.cdph.ca.gov/pubsforms/guidelines/documents/
prevconofskabies.pdf

9. Hay RJ, Steer AC, Engelman D, Walton S. Scabies in the developing


world–its prevalence, complications, and management. Clin
Microbiol Infect. 2012;18:313-23.

17

Anda mungkin juga menyukai