Anda di halaman 1dari 7

TOKOH TOKOH HAM DI INDONESIA

1. YAP THIAM HIEN


Mr. Yap Thiam Hien (lahir di Koeta Radja, Aceh, 25 Mei 1913 – meninggal di Brusel,
Belgia, 25 April 1989 pada umur 75 tahun) adalah seorang pengacara Indonesia keturunan
Tionghoa. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi
manusia (HAM). Namanya diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada
orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Biografi
Yap Thiam Hien, yang biasa dipanggil "John" oleh teman-teman akrabnya, adalah anak
sulung dari tiga bersaudara dari Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Keluarganya masih keturunan
Cabang Atas, yaitu golongan baba bangsawan di Hindia Belanda. Kakek buyutnya, Yap A Sin,
menjabat sebagai Luitenant der Chinezen di Kutaraja, dan adalah kelahiran Guangdong di
Tiongkok yang hijrah ke Bangka, lalu menetap di Aceh. Ketika monopoli opium di Hindia
Belanda dihapuskan, kehidupan keluarga Yap dan banyak tokoh masyarakat Tionghoa saat itu
merosot. Ditambah lagi oleh kekeliruan investasi di Aceh berupa kebun kelapa yang ternyata
tidak memberikan hasil yang menguntungkan. Pada tahun 1920 kedudukan keluarga Yap
digantikan oleh keluarga Han, yang datang dari Jawa Timur.

Thiam Hien dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi
lingkungan feodalistik ini telah menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han (Jap Joen Khoy)
ini sejak kecil bersifat memberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-
wenangan.

Pada usia 9 tahun, ibu Thiam Hien meninggal dunia. Ia dan kedua orang adiknya kemudian
dibesarkan oleh Sato Nakashima, seorang perempuan Jepang yang merupakan gundik kakeknya.
Sato ternyata memainkan peranan besar dalam kehidupan Thiam Hien, memberikan kemesraan
keluarga yang biasanya tidak ditemukan dalam keluarga Tionghoa serta rasa etis yang kuat yang
kelak menjiwai kehidupan Thiam Hien pada masa dewasa.

Yap Sin Eng, ayah Thiam Hien, ternyata adalah figur yang lemah. Namun Sin Eng ikut
membentuk kehidupan anak-anaknya, karena ia memutuskan untuk memohon status hukum
disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa. Hal ini memungkinkan anak-anaknya
memperoleh pendidikan Eropa, meskipun mereka telah kehilangan status sebagai tokoh
masyarakat.

Pindah ke Jawa

Thiam Hien belajar di Europesche Lagere School, Banda Aceh. Kemudian melanjut ke
MULO di Banda Aceh. Pada tahun 1920-an, Yap Sin Eng membawa Thiam Hien dan adiknya
Thiam Bong pindah ke Batavia. Thiam Hien pun pindah sekolah ke MULO di Batavia, lalu
meneruskan ke AMS A-II dengan program bahasa-bahasa Barat di Bandung dan Yogyakarta dan
lulus pada 1933. Ia sangat tertarik akan sejarah dan fasih dalam bahasa-bahasa Barat, yaitu
bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Latin.

Pada 1938, Yap memeluk agama Kristen, setelah selama beberapa tahun mempelajarinya
dan berkenalan lewat sebuah keluarga Indo, tempat ia kos di Yogyakarta.

Menjadi guru

Selesai dari AMS, dunia pada saat itu dilanda depresi ekonomi, dan Yap tidak dapat
memperoleh pekerjaan. Karena itu ia pindah ke Batavia, dan masuk ke Hollands-Chineesche
Kweekschool (HCK), di Meester Cornelis. HCK adalah sekolah pendidikan guru yang
berlangsung satu tahun, yang memberikan kesempatan kepada para pemuda peranakan yang
ingin menempuh pendidikan profesional, tetapi tidak mempunyai biaya untuk masuk ke
universitas. Setamat dari HCK, Yap menjadi guru selama empat tahun di wilde scholen (sekolah-
sekolah yang tidak diakui pemerintah Belanda) Chinese Zendingschool, Cirebon. Berikutnya
menjadi guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan Christelijke School
di Batavia. Lalu, sejak 1938, Yap yang pernah menjadi pencari langganan telepon, bekerja di
kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada 1943 serta
mendaftar di Rechsthogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).

Berangkat ke Belanda

Yap Thiam Hien menerima penghargaan pada acara dies natalis Vrije Universiteit
Amsterdam, 1980

Pada awal 1946, Yap mendapatkan kesempatan untuk bekerja pada sebuah kapal
pemulangan orang-orang Belanda yang mengantarkannya ke Belanda untuk menyelesaikan studi
hukumnya di Universitas Leiden. Dari sana ia meraih gelar Meester in de Rechten. Sementara
belajar di Leiden, Yap tinggal di Zendingshuis, pusat Gereja Reformasi Belanda di Oegstgeest.
Selama tinggal di Zendingshuis, Yap banyak membaca buku-buku teologi Protestan dan
berdiskusi dengan para mahasiswa Belanda yang mempersiapkan diri untuk menjadi misionaris.
Yap semakin tertarik akan pelayanan gereja, dan Gereja Reformasi Belanda kemudian
menawarkan kesempatan kepada Yap untuk belajar di Selly Oak College di Inggris, dengan
syarat ia kelak mengabdikan hidupnya bagi pelayanan gereja di Indonesia. Yap setuju dan
sekembalinya dari Eropa ia menjadi pemimpin organisasi pemuda Kristen Tjeng Lian Hwee di
Jakarta pada akhir 1940-an. Selama di Belanda, Yap berkembang menjadi seorang sosialis
demokrat melalui pergaulannya dengan banyak mahasiswa Indonesia lainnya yang terkait
dengan Partij van de Arbeid (Partai Buruh) di italy .

Menjadi pengacara

Sekembalinya ke tanah air pada 1948, Yap menikah. Ayahnya, Yap Sin Eng dan Sato
Nakashima meninggal pada 1949. Yap mulai bekerja di gereja. Ia pun kemudian mulai berkiprah
sebagai seorang pengacara warga untuk warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Belakangan ia
bergabung dengan sebuah biro hukum kecil namun cukup terkemuka dengan rekan-rekannya
yang semuanya terlibat dalam masalah yang jauh lebih luas daripada sekadar masalah Tionghoa.
Rekan seniornya pada waktu itu antara lain adalah Lie Hwee Yoe, pendiri biro hukum itu pada
tahun 1930-an, Tan Po Goan, seorang pendukung aktif revolusi dan kemudian menjadi anggota
Partai Sosialis Indonesia, dan Oei Tjoe Tat yang jauh lebih muda, seorang aktivis Sin Ming Hui
dan belakangan aktif di Baperki dan Partindo.

Setelah lebih berpengalaman, Yap bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja dan
Komar membuka kantor pengacara pada 1950. Sampai kemudian, Yap membuka kantor
pengacara sendiri sejak tahun 1970 dan kemudian memelopori berdirinya Peradin (Persatuan
Advokat Indonesia) dan kemudian menjadi pimpinan asosiasi advokat itu.

Dalam rangka memperkuat perlawanannya terhadap penindasan dan tindakan


diskriminatif yang dialami keturunan Tionghoa, Yap ikut mendirikan Baperki, suatu organisasi
massa yang mulanya didirikan untuk memperjuangkan kepentingan politik orang-orang
Tionghoa. Lalu, pada Pemilihan Umum 1955, ia menjadi anggota Konstituante. Namun Yap
berbeda paham politik dengan Siauw Giok Tjhan, salah satu tokoh Baperki saat itu. Ia
menentang politik Siauw yang cenderung kekiri-kirian. Karena itu Yap kemudian keluar dari
organisasi itu.

Nama Yap muncul ke permukaan setelah ia terlibat dalam perdebatan di Konstituante


pada 1959. Ketika itu, sebagai seorang anggota DPR dan Konstituante keturunan Tionghoa, ia
menolak kebijakan fraksinya yang mendapat tekanan dari pemerintah. Ia satu-satunya anggota
Konstituante yang menentang UUD 1945 karena keberadaan Pasal 6 yang diskriminatif dan
konsep kepresidenan yang terlalu kuat.

Perjalanan karier dan perjuangannya juga ditopang dengan kuat oleh istrinya, Tan Gien Khing
Nio, yang berprofesi guru. Mereka dikaruniai dua anak, Yap Hong Gie dan Yap Hong Aij, serta
empat cucu. Yap, yang diberi penghargaan gelar doctor honoris causa dikenal sebagai pengabdi
hukum sejati.

Dalam perjalanan tugas menghadiri konferensi internasional Lembaga Donor untuk


Indonesia di Brussel, Belgia, Yap menderita pendarahan usus. Setelah dua hari dirawat di Rumah
Sakit Santo Agustinus, Brussel, Yap menghembuskan napas yang terakhir pada 25 April 1989.
Jenazahnya diterbangkan ke Jakarta. Lima hari kemudian, diiringi ribuan pelayat, jenazahnya
dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.

Selama hidupnya, Yap dikenal sebagai seorang Kristen yang saleh, dan aktif dalam
kegiatan gereja. Ia ikut mendirikan Universitas Kristen Indonesia dan pernah duduk dalam salah
satu komisi dari Dewan Gereja-gereja se-Dunia dan International Commission of Jurists. Arief
Budiman pernah menjuluki Yap sebagai seorang "triple minority" di Indonesia, yaitu Tionghoa,
Kristen, dan Jujur.

Kegiatan
Selama menjadi pengacara, Yap pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat
usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Yap juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Pada era Bung Karno, Yap menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan
sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis,
Subadio, Syahrir, dan Princen.

Begitu pula ketika terjadinya Peristiwa G30S, Yap, yang dikenal sebagai pribadi yang
antikomunis, juga berani membela para tersangka G30S seperti Abdul Latief, Asep Suryawan,
Oei Tjoe Tat, dan Sudisman. Yap bersama H.J.C Princen, Aisyah Aminy, Dr Halim, Wiratmo
Sukito, dan Dr Tambunan yang tergabung dalam Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia
(LPHAM) yang mereka dirikan 29 April 1966 dan sekaligus mewakili Amnesty International di
Indonesia, meminta supaya para tapol PKI dibebaskan.

Ia juga membuktikan nasionalisme tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang
seseorang. Ini dibuktikannya dengan tidak mengganti nama Tionghoa yang ia sandang sampai
akhir hayatnya walaupun ada himbauan dari pemerintah Orde Baru kepada orang Tionghoa di
Indonesia untuk mengganti nama Tionghoa mereka.

Ia juga membela Soebandrio, bekas perdana menteri, yang menjadi sasaran cacian massa
pada awal Orde Baru itu. Pembelaan Yap yang serius dan teliti kepada Soebandrio itu sempat
membuat hakim-hakim militer di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) bingung dan kesal.

Yap juga seorang tokoh yang antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu
pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.

Pada Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, Yap juga tampil teguh
memosisikan diri membela para aktivis mahasiswa. Ia pun ditahan tanpa proses peradilan. Ia
dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi
Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap maju ke depan membela para tersangka.

2. MUNIR SAID THALIB


Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 – meninggal di Jakarta di
dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah seorang
aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif
Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat Dewan Kontras,
namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa
itu. Saat itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari
Kopassus. Masa muda

Munir Said Thalib lahir di Malang, 8 Desember 1965. Ia merupakan anak keenam dari tujuh
bersaudara Said Thalib dan Jamilah.[2] Munir sempat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya dan mendapat gelar sarjananya. Selama menjadi mahasiswa, Munir dikenal sebagai
aktivis kampus yang sangat gesit. Ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Koordinator Wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum
Indonesia pada tahun 1989, anggota Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir
Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum
Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Sekretaris Al-Irsyad cabang Malang pada 1988, dan
menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Aktivitas
Munir mewujudkan keseriusannya dalam bidang hukum dengan cara melakukan
pembelaan-pembelaan terhadap sejumlah kasus, terutama pembelaannya terhadap kaum
tertindas. Ia juga mendirikan dan bergabung dengan berbagai organisasi, bahkan juga membantu
pemerintah dalam tim investigasi dan tim penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU).

Beberapa kasus yang pernah ia tangani yaitu pada kasus Araujo yang dituduh sebagai
pemberontak melawan pemerintahan Indonesia untuk memerdekakan Timor timur dari Indonesia
pada 1992, kasus Marsinah (seorang aktivis buruh) yang dibunuh oleh militer pada tahun 1994,
menjadi penasehat hukum warga Nipah, Madura, dalam kasus pembunuhan petani-petani oleh
militer pada tahun 1993, menjadi penasehat hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan, dalam
kasus kerusuhan di PT.Cheil Samsung, dengan tuduhan sebagai otak kerusuhan pada tahun 1995,
[3]
Penasehat hukum Muhadi (sopir) yang dituduh melakukan penembakan terhadap seorang
polisi di Madura, Jawa Timur pada 1994, penasehat hukum para korban dan keluarga Korban
Penghilangan Orang secara paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta pada tahun 1997
hingga 1998, penasehat hukum korban dan keluarga korban pembantaian dalam tragedi Tanjung
Priok 1984 hingga 1998, penasehat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa
di Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), penasehat hukum dan koordinator advokasi kasus-
kasus pelanggaran berat HAM di Aceh, Papua, melalui Kontras. Termasuk beberapa kasus di
wilayah Aceh dan Papua yang dihasilkan dari kebijakan operasi Militer. Munir juga aktif di
beberapa kegiatan advokasi dalam bidang perburuhan, pertanahan, Lingkungan, Gender dan
sejumlah kasus pelanggaran hak sipil dan politik.Pada Tahun 2003, Munir bersikeras untuk ikut
dengan sejumlah aktivis senior dan aktivis pro demokrasi mendatangi DPR paska penyerangan
dan kekerasan yang terjadi di kantor Tempo, padahal ia masih diharuskan beristirahat oleh
dokter.

Pada tahun 2004, Munir juga bergabung dengan Tim advokasi SMPN 56 yang digusur
oleh Pemda. Selain itu, ia juga seorang yang aktif menulis di berbagai media cetak dan
elektronik yang berkaitan dengan tema-tema HAM, Hukum, Reformasi Militer dan kepolisian,
Politik dan perburuhan. Munir adalah sosok pemberani dan tangguh dalam meneriakkan
kebenaran. Ia adalah seorang pengabdi yang teladan, jujur, dan konsisten. Berkat pengabdiannya
itulah, ia mendapatkan pengakuan yang berupa penghargaan dari dalam negeri dan luar negeri.
Di dalam negeri, ia dinobatkan sebagai Man Of The Year 1998 versi majalah UMMAT,
penghargaan Pin Emas sebagai Lulusan Universitas Brawijaya yang sukses, sebagai salah
seorang tokoh terkenal Indonesia pada abad XX, Majalah Forum Keadilan. Sementara di luar
negeri, ia dinobatkan menjadi As Leader for the Millennium dari Asia Week pada tahun 2000,
The Right Livelihood Award (Alternative Nobel Prizes) untuk promosi HAM dan kontrol sipil
atas militer, Stockholm pada Desember 2000, dan An Honourable Mention of the 2000
UNESCO Madanjeet Singh Prize atas usaha- usahanya dalam mempromosikan toleransi dan
Anti Kekerasan, Paris, November 2000.

Kematian
Kronologi Pembunuhan Munir
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot
Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G
menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor
kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan
berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya pada saat itu. Penerbangan menuju
Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004,
pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah
meninggal dunia.

Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik
Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi
oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang
menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda
yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen
senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden SBY juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Jenazahnya dimakamkan di taman makam umum kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri
bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak tahun 2005,
tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari
Pembela HAM Indonesia.

Proses pengadilan bagi pihak terlibat


Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda
yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen
senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden SBY juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Purwoprandjono, ditangkap dengan dugaan kuat
bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir]. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah
padanya.Namun, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial
dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah
diperiksa.

Karier
 Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia Imparsial
 Ketua Dewan Pengurus KONTRAS (2001)
 Koordinator Badan Pekerja KONTRAS (16 April 1998-2001)
 Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1998)
 Wakil Ketua Bidang Operasional YLBHI (1997)
 Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996)
 Direktur LBH Semarang (1996)
 Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995)
 Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya (1992-1993)
 Ketua LBH Surabaya Pos Malang
 Relawan LBH Surabaya (1989)
 Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang 1988.
 Koordinator IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia 1989.
 Anggota Forum Studi Mahasiswa untuk pengembangan berpikir, Unbraw 1988.
 Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum Unbraw 1988.
 Sekretaris Al Irsyad cabang Malang 1988.
 Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
 Penasihat hukum warga Nipah, Madura dalam kasus pembunuhan petani oleh militer
1993.
 Penasihat hukum sebelas buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Sidoarjo teman Marsinah
yang diberhentikan secara paksa kepada perusahaan dan pihak Kodim melalui hukum
perdata.
 Penasihat hukum keluarga Marsinah yang dianiaya terlebih dahulu sebelum dibunuh.
 Penasihat hukum Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dalam kasus
kriminalisasi dengan tuduhan subversi dan gugatan tata usaha negara atas perkara
pemecatan Sri Bintang Pamungkas sebagai dosen di Universita Indonesia (1997).
 Penasihat hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus PT Chief Samsung,
dengan tuduhan sebagai otak kerusuhan (1995).
 Penasihat hukum Muhadi supir yang dituduh melakukan penembakan terhadap petugas
polisi di Madura, Jawa Timur (1994).
 Kasus penghilangan secara paksa 24 korban aktivis korban dan mahasiswa 1997 dan
1998.
 Penasihat korban dan keluarga korban kasus Tanjung Priok 1984, hingga 1998.
 Penasihat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa di Semanggi I
(1998) dan Semanggi II (1999).
 Penasihat hukum dan koordinator advokasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh,
Lampung, dan Papua (ribuan kasus yang terrjadi akibat operasi militer).
 Anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor timur tahun 1999.
 Membongkar kasus penculikan yang dilakukan oleh Tim Mawar yang berujung
diadilinya personel Tim Mawar.
 Suardi Tasrif Award tahun 1998 dari Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) untuk kategori
organisasi yang mengembangkan hak-hak informasi kepada masyarakat atas pelanggaran
HAM.
 Serdadu Award (1998) dari organisasi para seniman dan pemusik jalanan Jakarata, atas
upayanya dalam mempromosikan penegakan HAM.
 Yap Thiam Hien Award tahun 1998 sebuah penganugrahan paling bergengsi di bidang
HAM di Indonesia.
 KontraS menjadi anggota dan partisipan AFAD, sebuah jaringan kerja organisasi yang
mengadvokasi kasus orang hilang se Asia – Pacific
 Sebagai Leaders for the Millenium pilihan Asia Week tahun 2000
 Man of The Year dari Majalah Ummat tahun 1998.
 Seratus tokoh Indonesia Abad XX dari majalah Forum Keadilan.
 Penganugerahan peniti emas sebagai alumni berprestasi dari Universitas Brawijaya tahun
1999.
 The Right Livelihood Award (alternative nobel prizes) dari Swedia untuk pengembangan
kontrol sipil atas militer dan promosi HAM.
 An Honourable Mention of the 2000 Unesco Madanjeet Singh Prize atas usahanya
mempromosikan toleransi dan anti kekerasan, Paris, November 2000

Organisasi
 Sekretaris BPM FH Unibraw (1988)
 Ketua Senat Mahasiswa FH Unibraw (1989)
 Anggota HMI Komisariat Hukum Unibraw
 Ketua Umum Komisariat Hkukum Unibraw HMI Cabang Malang
 Sekretaris Al Irsyad Kabupaten Malang (1988)
 Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah
 Sekretarsi Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai.

Penghargaan
 Right Livelihood Award 2000, Penghargaan pengabdian bidang kemajuan HAM dan
kontrol sipil terhadap militer (Swedia, 8 Desember 2000)
 Mandanjeet Singh Prize, UNESCO, untuk kiprahnya mempromosikan Toleransi dan
Anti-Kekerasan (2000)
 Salah satu Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru (Majalah Asiaweek,
Oktober 1999)
 Man of The Year versi majalah Ummat (1998).
 Suardi Tasrif Awards, dari Aliansi Jurnalis Independen, (1998) atas nama Kontras
 Serdadu Awards, dari Organisasi Seniman dan Pengamen Jalanan Jakarta (1998)
 Yap Thiam Hien Award (1998)
 Satu dari seratus tokoh Indonesia abad XX, majalah Forum Keadilan

Kasus-kasus penting yang pernah ditangani


 Penasihat Hukum dan anggota Tim Investigasi Kasus Fernando Araujo, dkk, di Denpasar
yang dituduh merencanakan pemberontakan melawan pemerintah secara diam-diam
untuk memisahkan Timor-Timur dari Indonesia; 1992
 Penasihat Hukum Kasus Jose Antonio De Jesus Das Neves (Samalarua) di Malang,
dengan tuduhan melawan pemerintah untuk memisahkan Timor Timur dari Indonesia;
1994
 Penasihat Hukum Kasus Marsinah dan para buruh PT. CPS melawan KODAM V
Brawijaya atas tindak kekerasan dan pembunuhan Marsinah, aktivis buruh; 1994
 Penasihat Hukum masyarakat Nipah, Madura, dalam kasus permintaan
pertanggungjawaban militer atas pembunuhan tiga petani Nipah Madura, Jawa Timur;
1993
 Penasihat Hukum Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dalam kasus subversi
dan perkara hukum Administrative Court (PTUN) untuk pemecatannya sebagai dosen,
Jakarta; 1997
 Penasihat Hukum Muchtar Pakpahan (Ketua Umum SBSI) dalam kasus subversi, Jakarta;
1997
 Penasihat Hukum Dita Indah Sari, Coen Husen Pontoh, Sholeh (Ketua PPBI dan anggota
PRD) dalam kasus subversi, Surabaya;1996
 Penasihat Hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus perburuhan PT. Chief
Samsung; 1995
 Penasihat Hukum bagi 22 pekerja PT. Maspion dalam kasus pemogokan di Sidoarjo,
Jawa Timur; 1993
 Penasihat Hukum DR. George Junus Aditjondro (Dosen Universitas Kristen
Satyawacana, Salatiga) dalam kasus penghinaan terhadap pemerintah, Yogyakarta; 1994
 Penasihat hukum Muhadi (seorang sopir yang dituduh telah menembak polisi ketika
terjadi bentrokan antara polisi dengan anggota TNI AU) di Madura, Jawa Timur; 1994
 Penasihat Hukum dalam kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta; 1997-1998
 Penasihat Hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di
Tanjung Priok 1984; sejak 1998
 Penasihat Hukum kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi Semanggi I dan
II; 1998-1999
 Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999
 Penggagas Komisi Perdamaian dan Rekonsiliasi di Maluku
 Penasihat Hukum dan Koordinator Advokat HAM dalam kasus-kasus di Aceh dan Papua
(bersama KontraS)

Anda mungkin juga menyukai