Anda di halaman 1dari 7

Generasi Milenial

Nama: Sean Chen Gyarino

NRP: 04211740000002

Pengelompokan generasi dalam dunia kerja akan muncul mengikuti perkembangan manajemen sumber
daya manusia. Penelitian tentang perbedaan generasi ini pertama kali dilakukan oleh Manheim (1952).
Menurut Manheim generasi adalah suatu konstruksi sosial yang di dalamnya terdapat sekelompok orang
yang memiliki kesamaan umur dan pengalaman historis yang sama. Individu yang menjadi bagian dari
satu generasi, adalah mereka yang memiliki kesamaan tahun lahir dalam rentang waktu 20 tahun dan
berada dalam dimensi sosial dan dimensi sejarah yang sama. Definisi tersebut secara spesifik juga
dikembangkan oleh Ryder (1965) yang mengatakan bahwa generasi adalah agregat dari sekelompok
individu yang mengalami peristiwa-peristiwa yang sama dalam kurun waktu yang sama pula.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dari berbagai negara dan profesi, penentuan siapa generasi
milenial dapat ditarik kesimpulan bahwa generasi milenial adalah mereka yang dilahirkan antara tahun
1980 sampai dengan 2000 (Tabel 2.4).

Dibandingkan generasi sebelumnya, generasi milenial memiliki karakter unik berdasarkan wilayah dan
kondisi sosial-ekonomi. Salah satu ciri utama generasi milenial ditandai oleh peningkatan penggunaan
dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Karena dibesarkan oleh kemajuan
teknologi, generasi milenial memiliki ciri-ciri kreatif, informatif, mempunyai passion dan produktif.
Dibandingkan generasi sebelumnya, mereka lebih berteman baik dengan teknologi. Generasi ini
merupakan generasi yang melibatkan teknologi dalam segala aspek kehidupan. Bukti nyata yang dapat
diamati adalah hamper seluruh individu dalam generasi tersebut memilih menggunakan ponsel pintar.
Dengan menggunakan perangkat tersebut para millennials dapat menjadi individu yang lebih
produktif dan efisien. Dari perangkat tersebut mereka mampu melakukan apapun dari sekadar berkirim
pesan singkat, mengakses situs pendidikan, bertransaksi bisnis online, hingga memesan jasa
transportasi online. Oleh karena itu, mereka mampu menciptakan berbagai peluang baru seiring
dengan perkembangan teknologi yang kian mutakhir. Generasi ini mempunyai karakteristik komunikasi
yang terbuka, pengguna media sosial yang fanatik, kehidupannya sangat terpengaruh dengan
perkembangan teknologi, serta lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi. Sehingga, mereka
terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya.

1. Minat membaca secara konvensional kini sudah menurun karena Generasi Y lebih memilih membaca
lewat smartphone mereka
2. Millennial wajib memiliki akun sosial media sebagai alat komunikasi dan pusat informasi
3. Millennial pasti lebih memilih ponsel daripada televisi. Menonton sebuah acara televisi kini sudah
tidak lagi menjadi sebuah hiburan karena apapun bisa mereka temukan di telepon genggam
4. Millennial menjadikan keluarga sebagai pusat pertimbangan dan pengambil keputusan mereka

Berbagai contoh inovasi inilah yang membuktikan bahwa generasi millennials Indonesia mampu
mewujudkan kemandirian secara ekonomi.
Dari sisi pendidikan, generasi milenial juga memiliki kualitas yang lebih unggul. Generasi ini juga
mempunyai minat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka menyadari bahwa
pendidikan merupakan prioritas yang utama. Dengan kondisi seperti ini, Indonesia patut optimistis
terhadap berbagai potensi yang dimiliki oleh generasi milenial. Pola pikir yang terbuka, bebas, kritis, dan
berani adalah suatu modal yang berharga. Ditambah penguasaan dalam bidang teknologi, tentu akan
menumbuhkan peluang dan kesempatan berinovasi.

Menurut Yoris Sebastian dalam bukunya Generasi Langgas Millennials Indonesia, ada
beberapa keunggulan dari generasi milenial, yaitu ingin serba cepat, mudah berpindah pekerjaan dalam
waktu singkat, kreatif, dinamis, melek teknologi, dekat dengan media sosial, dan sebagainya.

Youth Lab (sebuah lembaga studi mengenai anak Muda Indonesia) melakukan penelitian di lima kota
besar di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Makasar, Medan, dan Malang. Hasil penelitian tersebut
diperoleh bahwa generasi milenial memiliki karakter yang jauh lebih kreatif dan informatif. Generasi
tersebut juga memiliki cara pandang yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Lima kota tersebut
dipilih karena dinilai menjadi indikator dinamika tren saat ini. Riset tersebut dilakukan dengan cara
berhadapan dan mengikuti langsung kegiatan para millenials, serta mewawancarai kelompok-
kelompok millennials yang menjadi trendsetter.

Dari sisi pola pikir, generasi milenial memiliki perbedaan dengan generasi sebelumnya. Generasi ini
dilahirkan dan dibesarkan pada saat gejolak ekonomi, politik, dan sosial melanda Indonesia. Deru
reformasi mampu memberikan dampak yang mendalam bagi generasi millennials. Generasi tersebut
tumbuh menjadi individu-individu yang open minded, menjunjung tinggi kebebasan, kritis dan
berani. Hal tersebut juga didukung dengan kondisi pemerintahan saat ini yang lebih terbuka dan
kondusif.

Dalam aspek bekerja, Gallup (2016) menyatakan para milenials dalam bekerja memiliki karakteristik
yang jauh berbeda dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, diantaranya adalah;
1. Para milenials bekerja bukan hanya sekedar untuk menerima gaji, tetapi juga untuk mengejar tujuan
(sesuatu yang sudah dicitacitakan sebelumnya),
2. Milennials tidak terlalu mengejar kepuasan kerja, namun yang lebih milenials inginkan adalah
kemungkinan berkembangnya diri mereka di dalam pekerjaan tersebut (mempelajari hal baru, skill
baru, sudut padang baru, mengenal lebih banyak orang, mengambil kesempatan untuk berkembang,
dan sebagainya)
3. Milennials tidak menginginkan atasan yang suka memerintah dan mengontrol
4. Milennials tidak menginginkan review tahunan, milenials menginginkan on going conversation
5. Milennials tidak terpikir untuk memperbaiki kekuranganya, milenials lebih berpikir untuk
mengembangkan kelebihannya.
6. Bagi milennials, pekerjaan bukan hanya sekedar bekerja namun bekerja adalah bagian dari hidup
mereka.

Digital Mindset
Dengan semakin banyaknya orang yang menggunakan smartphone, maka akses komunikasi antar
individu pun sudah tidak bersekat lagi. Ruang pertemuan fisik beralih ke ruang pertemuan digital.
Pemimpin pada era milenial harus bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk menghadirkan
proses kerja yang efisien dan efektif di lingkungan kerjanya. Misalnya dengan mengadakan rapat via
WA ataupun Anywhere Pad, mengganti surat undangan tertulis dengan undangan via email ataupun
Telegram, dan membagi product knowledge via WA.
Jika seorang pemimpin tidak berupaya mendigitalisasi pekerjaannya pada era saat ini, maka dia
akan dianggap tidak adaptif. Seperti yang dilansir oleh DDI (Development Dimensions International)
dalam penelitiannya di tahun 2016, mayoritas millenial leader menyukai sebuah perusahaan yang
fleksibel terhadap jam kerja dan tempat mereka bekerja. Hal ini tentu saja disebabkan karena
kecanggihan teknologi yang membuat orang bisa bekerja dimana saja dan kapan saja. Dapat
disaksikan bahwa hari ini banyak sekali coffeeshop yang berfungsi sebagai co-working space
bertebaran di tempat kita dan sebagian besar pengunjungnya adalah millenials.
Observer dan Active Listener
Pemimpin pada era milenial harus bisa menjadi observer dan pendengar aktif yang baik bagi anggota timnya.
Apalagi jika mayoritas timnya adalah kaum milenial. Hal ini dikarenakan kaum milenial tumbuh beriringan
dengan hadirnya media sosial yang membuat mereka kecanduan untuk diperhatikan. Mereka akan sangat
menghargai dan termotivasi jika diberikan kesempatan untuk berbicara, berekspresi, dan diakomodasi ide-
idenya. Mereka haus akan ilmu pengetahuan, pengembangan diri dan menyukai untuk berbagi pengalaman.
Agile
Pemimpin yang agile dapat digambarkan sebagai pemimpin yang cerdas melihat peluang, cepat dalam
beradaptasi, dan lincah dalam memfasilitasi perubahan. Seperti yang disampaikan oleh motivator Jamil
Azzaini, pemimpin yang agile adalah pemimpin yang open minded dan memiliki ambiguity acceptance, yakni
bersedia menerima ketidakjelasan. Pemimpin yang agile mampu mengajak organisasinya untuk dengan cepat
mengakomodasi perubahan.
Inclusive
Di dalam bahasa Inggris, inclusive diartikan “termasuk di dalamnya”. Secara istilah, inclusive diartikan sebagai
memasuki cara berpikir orang lain dalam melihat suatu masalah. Pemimpin yang inclusive dibutuhkan pada
era milenial dikarenakan perbedaan cara pandang antar individu yang semakin kompleks. Hal ini diakibatkan
oleh banyaknya informasi yang semakin mudah diakses oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun sehingga
membentuk pola pikir yang berbeda antar individunya. Pemimpin yang inclusive diharapkan dapat
menghargai setiap pemikiran yang ada dan menggunakannya untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin
juga harus memberikan pemahaman akan pentingnya nilai, budaya, dan visi organisasi kepada anggota
timnya secara paripurna karena kaum milenial akan bertindak secara antusias jika tindakannya memiliki
meaning.
Brave to be Different
Pada zaman sekarang, masih banyak orang yang tidak berani untuk mengambil sebuah langkah atau
keputusan penting dalam pencapaian cita-citanya karena hal tersebut bertentangan dengan kebiasaan orang-
orang di sekitarnya. Hal semacam ini jika dibiarkan, akan menjadi hambatan seseorang bahkan sebuah
organisasi untuk lebih maju. Acapkali tradisi di sebuah organisasi membuat orang lebih suka membenarkan
yang biasa daripada membiasakan yang benar. Ini adalah tantangan bagi para pemimpin milenial dalam
mengubah kondisi tersebut dan menanamkan nilai bahwa berbeda itu boleh asalkan dengan perencanaan
dan tujuan yang jelas.
Unbeatable (Pantang Menyerah)
Mindset pantang menyerah tentu harus dimiliki oleh semua pemimpin. Apalagi memimpin anak-anak pada
era milenial yang lekat dengan sikap malas, manja, dan merasa paling benar sendiri. Pemimpin milenial wajib
memiliki sikap positive thinking dan semangat tinggi dalam mengejar goals-nya. Hambatan yang muncul
seperti kurangnya respect dari pegawai senior maupun junior harus bisa diatasi dengan sikap ulet dan
menunjukkan kualitas diri. Kondisi persaingan kerja pada era globalisasi harus memicu pemimpin untuk
meningkatkan soft skills misalnya kemampuan bernegosiasi, menginspirasi, dan critical thinking, dan
hardskills-nya. Maka dari itu, wajib bagi pemimpin untuk menjadi sosok yang unbeatable yang memiliki
kemampuan bangkit dari kegagalan dengan cepat dan pantang menyerah dalam menggapai tujuannya.

1. Gaya hidup konsumtif


Generasi millennial pada umumnya lebih melek teknologi dan cenderung
memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari generasi
sebelumnya. Millennial juga erat kaitannya dengan personal branding, cara
untuk membentuk image sedemikian rupa dengan tujuan meningkatkan
status sosial yang begitu penting bagi mereka. Hal ini yang membuatnya
melakukan berbagai cara agar berhasil menaikkan level mereka secara sosial,
salah satu yang bisa dilakukan dan merupakan karakteristik yang paling
kentara adalah gaya hidup yang lebih konsumtif.

Sebenarnya gak ada yang salah ketika apa yang dibeli, termasuk berbagai
produk dari online shop serta gadget terbaru adalah murni pakai uang sendiri.
Tapi jika masih meminta orangtua, sepertinya generasi millennial  sekarang
harus lebih peka. Meski orangtua gak pernah mengeluh saat dimintai uang
jajan, dalam hati mereka sebenarnya banyak kebutuhan yang masih harus
dipenuhi. Kamu yang termasuk generasi millennial juga perlu tahu hal ini.

2. Maunya serba yang praktis dan langsung jadi


Adanya pemanfaatan teknologi digital yang semakin pesat membuat
para millennial  lebih memilih sesuatu yang serba instan. Millennial pada
hakikatnya tidak mau ambil pusing berbagai hal yang mungkin perlu
dipertimbangkan. Pemikirannya serba cepat dan kadang mengabaikan
pendapat yang diberikan orangtua. Seperti contoh kecilnya ketika ingin
membuka usaha dan memulai karier sebagai seorang digital
entrepeneur  muda. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dan dalam hal
ini orangtua yang berperan sebagai penanam modal juga akan memberikan
masukan. Para millennial perlu belajar bahwa membuka usaha itu tidak
semudah yang terlihat di berbagai produk iklan di social media yang tampak
menggiurkan buat dilakoni. Kadang restu orangtua lah yang paling dibutuhkan
dalam hal ini.

3. Hobi travelling, tapi pake duit orangtua


Ini nih salah satu hal yang paling meresahkan orangtua di rumah. Buat
memenuhi feed instagramnya, para millennial rela merogoh kocek yang gak
sedikit untuk berkeliling negeri bahkan luar negeri dengan alasan liburan atau
melepas penat. Sah-sah saja sih kalau memakai duit sendiri dari hasil kerja,
tapi kalau masih minta orangtua sepertinya hal tersebut kurang etis buat
dilakukan.

Millennial identik dengan attention seeker yang dalam hal ini akan melakukan


berbagai cara supaya dapat perhatian secara sosial, termasuk dengan
cara travelling. Sepertinya para millennial perlu memahami kerja keras
orangtua terlebih dahulu baru memutuskan buat memenuhi keinginannya
mendapatkan pengakuan dari orang lain.

4. Kesopanan dan rasa hormat yang mulai meluntur


Nilai moral pada generasi millennial  mulai memudar karena pesatnya arus
informasi yang menyugesti mereka ke arah pemikiran liberal. Karakteristik
mereka yang cenderung bebas dan punya pemikiran sendiri ini seringkali
membuat para orangtua gundah. Meski gak secara langsung diungkapkan,
orangtua sebenarnya takut jika anaknya memiliki pemikiran bebas dan
kesopanan yang mulai meluntur.

Bukan hanya dengan mereka tetapi juga orang lain yang lebih tua seperti guru
di sekolah. Para millennial sepertinya perlu lebih dekat dengan orangtua dan
tetap memperhatikan nilai dasar yang sudah ditanamkan keluarga.
5. Alergi dengan pekerjaan rumah
Millennial rata-rata memiliki waktu yang boros untuk berada di
depan PC, smartphone tablet, dan televisi setiap harinya. Tercatat bahwa
angka tersebut meningkat 17 kali per jam dari generasi sebelumnya. Hal ini
juga jadi penyebab kenapa para millennial alergi buat melakukan pekerjaan
rumah seperti sekadar membantu mencuci atau membersihkan rumah.

Seringkali mereka bakal mencari alasan yang beragam saat dimintai bantuan
Ibu, ada yang menunda dan bilang masih membalas chat atau
melanjutnya streaming video di youtube. Kamu juga gak nih?

6. Apatis terhadap dunia nyata, termasuk interaksi


keluarga
Bukan hanya kepekaan dan gaya interaksi di dunia nyata yang mulai
berkurang, tapi juga komunikasi di lingkungan rumah, keluarga, ataupun
tetangga yang makin diabaikan. Para millennial boleh jadi punya ratusan
teman dan ribuan followers  di instagram, tapi siapa yang tahu jika teman
mereka di dunia nyata cuma bisa dihitung jari. Hal ini juga salah satu perilaku
yang membuat resah orangtua karena tahu bahwa anaknya kurang bisa
bersosialisasi di dunia nyata.

7. Lebih mendengarkan komentar orang lain


daripada arahan orangtua
Untuk mendapatkan personal branding yang diinginkan, para millennial selalu
terpacu buat menuai komentar atau review positif dari orang lain.
Jika personality yang dimiliki mereka tidak kuat, bukan tidak mungkin social
media pressure atau stress karena komentar negatif di media sosial akan
membuat mereka depresi. Dalam hal ini, terkadang
para millennial  mengabaikan arahan orangtua sehingga hal buruk seperti ini
kerap terjadi.

Jadi, apakah kamu sudah lebih mengerti kekhawatiran orangtua saat ini?
Mereka hanya ingin melihat anaknya bisa menjaga kepercayaan yang telah
diberikan untuk eksplorasi diri. Sudah sepatutnya kita sebagai
generasi millennial bisa memahami hal ini ya.

Anda mungkin juga menyukai