Anda di halaman 1dari 34

BIOGRAFI 8 IMAM

●Imam Malik
Beliau adalah Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Abi
Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghuyman bin Khutsail bin Amr
bin Harits. Ibunya adalah Aliyah bin Syarik al-Azdiyah.
Keluarganya berasal dari Yaman, lalu pada masa Umar bin
Khattab, sang kakek pindah ke Kota Madinah dan menimba
ilmu dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sehingga menjadi salah seorang pembesar tabi’in.

Imam Malik dilahirkan di Kota Madinah 79 tahun setelah


wafatnya Nabi kita Muhammad, tepatnya tahun 93 H. Tahun
kelahirannya bersamaan dengan tahun wafatnya salah seorang
sahabat Nabi yang paling panjang umurnya, Anas bin
Malik radhiallahu ‘anhu. Malik kecil tumbuh di lingkungan yang
religius, kedua orang tuanya adalah murid dari sahabat-
sahabat yang mulia. Pamannya adalah Nafi’, seorang periwayat
hadis yang terpercaya, yang meriwayatkan hadis dari Aisyah,
Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat besar
lainnya, radhiallahu ‘anhum. Dengan lingkungan keluarga yang
utama seperti ini, Imam Malik dibesarkan.
Awalnya, saudara Imam Malik yang bernama Nadhar lebih
dahulu darinya dalam mempelajari hadits-hadits Nabi. Nadhar
mendatangi para ulama tabi’in untuk mendengar langsung
hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari para sahabat.
Kemudian Imam Malik pun mengikuti jejak saudaranya dalam
mempelajari hadits. Beberapa waktu berlalu, Imam Malik
melangkahi saudaranya dalam ilmu hadits. Kecemerlangannya
semakin tampak karena Malik juga menguasai ilmu fiqh dan
tafsir.

Perjalanan Menuntut Ilmu dan Menjadi Ulama Madinah 


Ibu Imam Malik adalah orang yang paling berperan dalam
memotivasi dan membimbingnya untuk memperoleh ilmu.
Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga
mengajarkan anaknya adab dalam belajar. Ibunya selalu
memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan imamah
anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya mengatakan,
“Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum
engkau mengambil ilmu darinya.”

Imam Malik belajar dari banyak guru, dan ia memilih guru-guru


terbaik di zamannya agar banyak memperoleh manfaat dari
mereka. Di antara pesan dari gurunya yang selalu beliau ingat
adalah untuk tidak segan mengatakan “Saya tidak tahu”
apabila benar-benar tidak mengetahu suatu permasalahan.
Salah seorang guru beliau yang bernama Ibnu Harmaz
berpesan, “Seorang yang berilmu harus mewarisi kepada
murid-muridnya perkataan ‘aku tidak tahu’.

Setelah mempelajari ilmu-ilmu syariat secara komperhensif,


Malik bin Anas mulai dikenal sebagai seorang yang paling
berilmu di Kota Madinah. Beliau menyampaikan pelajaran di
Masjid Nabawi, di tengah-tengah penuntut ilmu yang datang
dari penjuru negeri.

Salah satu hal yang menarik dari kajian fiqih yang beliau
sampaikan adalah penafsiran-penafsiran hadits dan pendapat-
pendapat beliau banyak dipengaruhi oleh aktifitas yang
dilakukan penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, praktik-
praktik yang dilakukan penduduk Madinah di masanya tidak
jauh dari praktik masyarakat Madinah di zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penduduk Madinah
juga mempelajari Islam dari para leluhur mereka dari kalangan
para sahabat Nabi. Jadi kesimpulan beliau, apabila penduduk
Madinah melakukan suatu amalan yang tidak bertentangan
dengan Alquran dan sunnah, maka perbuatan tersebut dapat
dijadikan sumber rujukan atau sumber hukum. Inilah yang
membedakan Madzhab Imam Malik disbanding 3 madzhab
lainnya.

Sifat dan Karakter Imam Malik


Dari segi fisik, Imam Malik dikarunia fisik yang istimewa;
berwajah tampan dengan perawakan tinggi besar. Mush’ab bin
Zubair mengatakan, “Malik termasuk seorang laki-laki yang
berparas rupawan, matanya bagus (salah seorang muridnya
mengisahkan bahwa bola mata beliau berwarna biru), kulitnya
putih, dan badannya tinggi.” Abu Ashim mengatakan, “Aku
tidak pernah melihat ahli hadits  setampan Malik.”

Selain Allah karuniai fisik yang rupawan, Imam Malik juga


memiliki kepribadian yang kokoh dan berwibawa. Orang-orang
yang menghadiri majlis ilmu Imam Malik sangat merasakan
wibawa imam besar ini. Tak ada seorang pun yang berani
berbicara saat ia menyampaikan ilmu, bahkan ketika ada
seorang yang baru datang lalu mengucapkan salam kepada
majlis, jamaah hanya menjawab salam tersebut dengan suara
lirih saja. Hal ini bukan karena Imam Malik seorang yang kaku,
akan tetapi aura wibawanya begitu terasa bagi murid-
muridnya. Demikian juga saat murid-muridnya berbicara
dengannya, mereka merasa segan menatap wajahnya tatkala
berbicara. Wibawa itu tidak hanya dirasakan oleh para
penuntut ilmu, bahkan para khalifah pun menghormati dan
mendengarkan nasihatnya.

Imam Syafii yang merupakan salah seorang murid Imam Malik


menuturkan, “Ketika melihat Malik bin Anas, aku tidak pernah
melihat seoarang lebih berwibawa dibanding dirinya.”
Demikian juga penuturan Sa’ad bin Abi Maryam, “Aku tidak
pernah melihat orang yang begitu berwibawa melebihi Malik
bin Anas, bahkan wibawanya mengalahkan wibawa para
penguasa.”

Imam Malik juga dikenal dengan semangatnya dalam


mempelajari ilmu, kekuatan hafalan, dan dalam
pemahamannya. Pernah beliau mendengar 30 hadits dari Ibnu
Hisyam az-Zuhri, lalu ia ulangi hadits tersebut di hadapan
gurunya, hanya satu hadits yang terlewat sedangkan 29
lainnya berhasil ia ulangi dengan sempurna. Imam Syafii
mengatakan,

‫ فمالك النجم الثاقب‬،‫إذا جاء الحديث‬

“Apabila disebutkan sebuah hadits, Malik adalah seorang


bintang yang cerdas (menghafalnya pen.).
Imam Malik sangat tidak suka dengan orang-orang yang
meremehkan ilmu. Apabila ada suatu permasalahan
ditanyakan kepadanya, lalu ada yang mengatakan, ‘Itu
permasalahan yang ringan.” Maka Imam Malik pun marah
kepada orang tersebut, lalu mengatakan, “Tidak ada dalam
pembahasan ilmu itu sesuatu yang ringan, Allah berfirman,

َ ‫إِنَّا َسنُ ْلقِي َعلَ ْي‬


‫ك قَوْ اًل ثَقِياًل‬

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan


yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5)

Semua permasalahan agama itu adalah permasalahan yang


berat, khususnya permasalahan yang akan ditanyakan di hari
kiamat.”

Imam Malik juga seorang yang sangat perhatian dengan


penampilannya dan ini adalah karakter yang ditanamkan
ibunya sedari ia kecil. Pakaian yang ia kenakan selalu rapi,
bersih, dan harum dengan parfumnya. Isa bin Amr mengatakan,
“Aku tidak pernah melihat seorang yang berkulit putih ataupun
merah yang lebih tampan dari Malik. Dan juga ian seseorang
yang lebih putih dari pakaiannya.” Banyak riwayat-riwayat dari
para muridnya yang mengisahkan tentang bagusnya
penampilan Imam Malik, terutama saat hendak mengajarkan
hadits, namun satu riwayat di atas kiranya cukup untuk
menggambarkan kebiasaan beliau.

Hendaknya demikianlah seorang muslim, terlebih seseorang


yang memiliki pengetahuan agama. Seorang muslim harus
berpenampilan rapi, bersih, dan jauh dari bau yang tidak
sedap. Sering kita lihat saudara-saudara muslim yang dikenal
sebagai orang yang taat, mereka berpenampilan lusuh,
pakaian tidak rapi karena jarang distrika atau karena lama
tidak diganti, dan keluar bau tidak sedap dari tubuh atau
pakaiannya, ironisnya ini terkadang terjadi saat shalat
berjamaah. Agama kita sangat menganjurkan kebersihan dan
Allah mencintai keindahan.

Firasat Yang Tajam


Sering kita dapati ketika membaca biografi orang-orang shaleh
bahwasanya mereka memiliki firasat yang tajam. Demikian
juga dengan Imam Malik bin Anas rahimahullah. Imam Syafii
mengisahkan tentang gurunya ini sebuah kisah yang
menunjukkan kuatnya firasat sang guru. Kata Imam Syafii,
“Ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Malik,
kemudian ia mendengarkan ucapanku. Ia memandangiku
beberapa saat dan ia berfirasat tentangku. Setelah itu ia
bertanya, ‘Siapa namamu?’ Kujawab, ‘Namaku Muhammad.’. Ia
kembali berkata, ‘Wahai Muhammad, bertakwalah kepada
Allah, jauhilah perbuatan maksiat, karena aku melihat engkau
akan mendapatkan suatu keadaan (menjadi orang
besar pen.).”
Wafatnya
Imam Malik rahimahullah wafat di Kota Madinah pada tahun
179 H/795 M dengan usia 85 tahun. Beliau dikuburkan di Baqi’.
Semoga Allah merahmati Imam Malik dan menempatkannya di
surganya yang penuh dengan kenikmatan.

●Imam Ahmad

Nama lengkap beliau adalah “Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad
Asy-Syaibani”. Kun-yah beliau adalah “Abu Abdillah”, karena salah satu anak laki-
laki beliau bernama Abdullah. Beliau berasal dari Bani Dzuhli bin Syaiban, suatu
keturunan yang menisbahkan dirinya kepada Kabilah Bakr bin Wail. Beliau dilahirkan
di Baghdad pada tahun 164 H. Di usia kecilnya, beliau menjalani hari-hari dalam
keadaan yatim karena bapak beliau telah meninggal di usia muda, ketika beliau
masih kecil. Bapak beliau termasuk salah satu aktivis di dunia dakwah. Dengan
penuh kesabaran, ibunya mendidik beliau dan mengarahkan beliau untuk senantiasa
menuntut ilmu agama. Peran ibunya telah mengantarkan beliau pada kedudukan
yang tinggi disebabkan ilmu. (Tarikh Tasyri` Al-Islami, Master Text Book of Mediu,
hlm. 181)

Guru dan murid Imam Ahmad


Beliau mendapatkan hadis dari Imam Asy-Syafi`i, Husyaim, Ibrahim bin Sa`ad,
Sufyan bin Uyainah, Abbad bin Abbad, Yahya bin Abi Zaidah, dan masih banyak
ulama lainnya yang sezaman dengan mereka. Untuk guru beliau yang dicantumkan
dalam kitab Al-Musnad saja, jumlahnya, lebih dari 280 orang. Sementara, murid
senior beliau, antara lain: Bukhari, Muslim, Abu Daud, Abu Zur`ah, Mathin, Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal, Abul Qasim Al-Baghawi, dan masih banyak lagi.
Pujian untuk Imam Ahmad bin Hanbal
Jika kita mengumpulkan pujian ulama untuk Imam Ahmad maka pujian-pujian itu
bisa dijadikan sebagai satu buku tersendiri. Saking banyaknya keutamaan dan
keistimewaan Imam Ahmad, sampai-sampai Imam Adz-Dzahabi membawakan
biografi beliau dalam kitabnya, Siyar A`lam An-Nubala’, dari halaman 177 sampai
halaman 358. Selain itu, banyak ulama telah menulis biografi Imam Ahmad dalam
buku tersendiri, seperti: Imam Al-Baihaqi dan Ibnul Jauzi menulis biografi beliau
dalam satu jilid tebal buku khusus, sementara Syekhul Islam Al-Anshari menulis
biografi beliau dalam buku yang berjilid agak tipis.

Ini menunjukkan keutamaan beliau dan ketinggian kedudukan beliau. Berikut


beberapa pujian ulama terhadap beliau:

Dari Abdillah, bahwa beliau mendengar Abu Zur`ah mengatakan, “Bapakmu


(Ahmad) menghafal satu juta hadis.”

Dari Hanbal, bahwa beliau mendengar Imam Ahmad mengatakan, “Saya


menghafal segala hal yang saya dengar dari guruku, Husyaim, di masa
hidupnya.”

Ibrahim Al-Harbi mengatakan, “Saya melihat Imam Ahmad. Allah telah


mengumpulkan–pada diri beliau–ilmu orang terdahulu dan ilmu orang
sekarang.”

Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Ketika saya meninggalkan Baghdad, tidaklah


saya tinggalkan seseorang yang lebih mulia, lebih berilmu, dan lebih fakih
melebihi Ahmad bin Hanbal.”

Ali Al-Madini mengatakan, “Sesungguhnya, Allah menguatkan agama ini dengan


Abu Bakr Ash-Shidiq di hari riddah (orang murtad) dan Allah kuatkan agama ini
dengan Ahmad bin Hanbal di hari mihnah (paksaan untuk mengatakan bahwa
Alquran adalah makhluk).”

Abu Ubaid mengatakan, “Puncak ilmu ada pada empat orang; yang paling
berilmu adalah Ahmad.”

Ibnu Ma`in mengatakan, “Mereka menginginkan agar saya menjadi seperti


Ahmad bin Hanbal. Demi Allah, saya tidak akan pernah menjadi seperti dia,
selamanya!”

Abu Hammam As-Sukuni mengatakan, “Imam Ahmad belum pernah melihat


orang seperti beliau.”

Abu Tsaur mengatakan, “Ahmad lebih berilmu daripada Sufyan Ats-Tsauri.”


(Tadzkirah Al-Huffazh, no. urut 438)

Ujian untuk Imam Ahmad


Di masa Khalifah Al-Makmun, kaum muslimin diuji dengan pemikiran Mu’tazilah.
Mereka dipaksa untuk mengatakan bahwa “Alquran adalah makhluk”. Siapa saja di
antara tokoh masyarakat yang tidak mau mengatakan bahwa “Alquran adalah
makhluk” maka dia dibunuh atau dipenjara. Saleh, putra Imam Ahmad,
mengatakan, “Semua ulama mengakui bahwa Alquran adalah makhluk kecuali
empat orang: bapakku, Muhammad bin Nuh, Al-Qawariry, dan Al-Hasan bin
Hammad. Akhirnya, Al-Qawariry dan Al-Hasan bin Hammad bersedia mengakui
bahwa Alquran adalah makhluk. Tinggallah bapakku dan Muhammad bin Nuh di
penjara selama beberapa hari.” (Siyar A`lam An-Nubala’, hlm. 238)

Imam Ahmad selalu tegar untuk mempertahankan akidah ahlus sunnah wal jamaah,
bahwa Alquran adalah firman Allah dan bukan makhluk. Setelah Al-Mutawakkil
menjadi khalifah, Imam Ahmad dimuliakan oleh kerajaan. Sampai-sampai, tidak ada
seorang pun hakim dan pejabat negara yang akan diangkat, kecuali telah
dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Imam Ahmad.

Karya Imam Ahmad


Imam Ahmad memiliki karya tulis yang banyak. Di antara karya beliau:
Al-Musnad. Dalam kitab ini, beliau mengumpulkan hadis-hadis berdasarkan
urutan nama perawi dari sahabat. Kitab ini memuat 30.000 hadis.

Risalah Shalat. Kitab kecil ini ditulis oleh beliau sebagai bagian dari nasihat
beliau terhadap kesalahan-kesalahan ketika salat berjemaah yang dilakukan di
masjid dekat tempat tinggal beliau.

Al-Masail. Kitab ini merupakan kumpulan fatwa-fatwa Imam Ahmad yang


ditanyakan oleh putra dan murid-murid beliau. Karena itu, kitab Al-Masail
banyak sekali, sesuai dengan nama penanyanya. Misalnya: Masail Abdullah,
memuat tanya-jawab antara Imam Ahmad dengan putranya, Abdullah; Masail
Abu Daud, memuat tanya-jawab antara Abu Daud dengan Imam Ahmad.

Al-Asyribah. Buku ini memuat penjelasan beliau tentang khamar dan batasan-
batasan minuman yang diharamkan.

Fadhail Ash-Shahabah. Buku ini menyebutkan dalil-dalil tentang keutamaan


sahabat. Pada hakikatnya, buku ini merupakan bantahan untuk kaum Rafidhah
yang mengafirkan para sahabat.

Imam Ahmad wafat


Beliau meninggal di hari Jumat, tanggal 12 Rabi`ul Awwal, tahun 241 H, di usia
beliau yang ke-77 tahun. Ketika beliau meninggal, banyak orang yang menyalati
jenazah beliau. Diceritakan oleh Adz-Dzahabi dari Bunan bin Ahmad Al-Qashbani
bahwa beliau menghadiri salat jenazah untuk Imam Ahmad, sementara yang ikut
menyalati jenazah Imam Ahmad adalah sekitar 800.000 orang dari kalangan lelaki
dan sekitar 60.000 orang dari kalangan wanita. Dalam riwayat yang lain dari Abu
Zur`ah, beliau mendapat kabar bahwa Khalifah Al-Mutawakil memerintahkan
seseorang untuk menghitung jejak kaki manusia yang menyalati jenazah Imam
Ahmad. Dikabarkan bahwa dari jumlah telapak kaki tersebut diketahui bahwa ada
lebih dari 2.500.000 orang yang menyalati jenazah Imam Ahmad. Semoga Allah
merahmati Imam Ahmad bin Hanbal

●Imam Tirmidzi
Nama dan kelahirannya
Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-
Dahhak as-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan
pengarang berbagai kitab yang masyhur, lahir di kota Tirmiz.X

Perkembangan dan lawatannyaSunting


Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz
dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan.
Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits.
Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan,
dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama
besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kemudian dihafal dan
dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak
pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang
guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.X

Wafat
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan
tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah
kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam
keadaan seperti inilah akhirnya At-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz
pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.X

Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya
adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar
kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan At-Tirmidzi belajar pula hadits dari
sebagian guru mereka.X

Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin
Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad
bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.

Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama.
Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad
bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi,
Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi,
yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.

Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa At-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan
dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya,
amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah
kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-
nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
"Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam
perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi
hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan
kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah
orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira
bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid
tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah
bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia
mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang
dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa
kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun.
Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu
aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah
kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan
seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan
sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar
dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh
buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata:
‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama
sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti
engkau."

Pandangan para kritikus hadits


Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Karya-karyanya
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
Jami at-Tirmidzi, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
Kitab Al-‘Ilal
Kitab At-Tarikh
Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
Kitab Az-Zuhd
Kitab Al-Asma’ wal-Kuna

Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas
adalah Al-Jami’.

Sekilas tentang Al-Jami’


Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak
manfaatnya. Ia tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang
Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’
Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan
Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya,
sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian
nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada
para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia
menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab
tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya
meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."X

Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih


semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal
dengan menerangkan kelemahannya.X

Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits
yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini
merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan
semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya
itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang
sesuai dengan keadaan setiap hadits.X

Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua hadits yang terdapat dalam


kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu
menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
"Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak salat Zuhur dengan Asar, dan
Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab "takut" dan "dalam perjalanan."
"Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka
bunuhlah dia."

Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan
mengenai salat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau
tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh
(jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan
kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian
besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.X

Hadits-hadits dha’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya


hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan
kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi
(meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar
dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.X

●Imam Bukhori

Masa Kecil
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah
ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam
Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia
bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya.
Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al- Yaman al Ja'fi,
gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan
"al-Mughirah al-Jafi." Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang menjelaskan.
Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadith. Ia belajar hadith dari Hammad
ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab
As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at- Tarikh al-
Kabir. Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara'
(menghindariyang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa.

Diceritakan, bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki tidak
terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian, jelaslah
bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama
dan wara'. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu. Ia
dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu
membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya
yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa
melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang
berkata: "Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat
melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada henti-hentinya."

Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia
masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam
pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan
tekun dan penuh perhatian. Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak
masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan
daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith.

Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama
ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui
para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadith, bertukar
pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn
Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut faham
rasional), dasar-dasar dan mazhabnya. Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua
menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan
ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat
catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari
diam tidak menjawab.

Pada suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang terusmenerus itu, Bukhari
meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua
kerana Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan
keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Pengembaraan
Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai
ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke
Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan
salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua
tanah suci itulah ia menulis sebahagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-
Jami'as-Shahih dan pendahuluannya. Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi
s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga
buku tarikhnya, As- Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi
mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik,
sehingga ia pernah berkata bahawa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh
yang tidak ia ketahui kisahnya. Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam
selama 16 tahun.

Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi
sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahawa ia pernah berkata: "Saya telah
mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali,
menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi
berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli
hadith."Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan
ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia
mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya kerana menetap di negeri
Khurasan.

Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun
hadith-hadith dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang
sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas
di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali
setiap malamnya. Ia merawi hadith dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang
super jenius, ia dapat menghapal hadith sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.

Kemasyhuran Imam Bukhari


Kemasyhuran Imam Bukhari segera mencapai bahagian dunia Islam yang jauh, dan ke
mana pun ia pergi selalu di alu-alukan. Masyarakat hairan dan kagum akan ingatannya yang
luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya
disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya. 

Imam Muslim bin al-Hajjaj, pengarang kitab as-Shahih Muslim menceritakan:


"KetikaMuhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala
daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang
mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua
atau tiga marhalah ( 100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata:
"Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi,
lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya. Esok paginya Muhammad bin
Yahya az-Zihli, sebahagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan Imam
Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah perkampungan orang-orang
Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadith secara tetap.
Sementara itu, az-zihli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti
pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh itu,
ikuti dan dengarkan pengajiannya."

Imam Bukhari Difitnah


Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan orangorang yang iri
dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam Bukhari sebagai orang yang
berpendapat bahawa "Al-Qur'an adalah makhluk." Hal inilah yang menimbulkan kebencian
dan kemarahan gurunya, az-Zihli kepadanya, sehingga ia berkata: "Barang siapa
berpendapat lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ahh. Ia tidak
boleh diajak bicara dan majlisnya tidak boleh di datangi. Dan barang siapa masih
mengunjungi majlisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang
mulai menjauhinya. Pada hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan
kepadanya itu.

Diceritakan, seorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat


Anda tentang lafaz-lafaz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang
itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang
tersebut terus mendesaknya, maka ia menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan
makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah."
Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat
yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca
dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq dan ulama
salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa
Bukhari perbah berkata: "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa
berkurang. Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang
paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada
keyakinan dan keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya
Allah."

Demikian juga ia pernah berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahawa lafaz-
lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."Az-Zahli benar-benar telah murka
kepadanya, sehingga ia berkata: "Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di
negeri ini." Oleh kerana Imam Bukhari berpendapat bahawa keluar dari negeri itu lebih baik,
demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka
ia pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut.

Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke negerinya sendiri,


Bukhara.Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan itu,
mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu
farsakh (± 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai
manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap dinegerinya itu, ia
mengadakan majlis pengajian dan pengajaran hadith.Tetapi kemudian badai fitnah datang
lagi. Kali ini badai itu datang dari penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli,
walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang
dimlikinya. Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari,
supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami' al-Shahih dan Tarikh.
Imam Bukharikeberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu
agardisampaikan kepada Khalid, bahawa "Aku tidak akan merendahkan ilmu
denganmembawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan
adalahpenguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan
majlispengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alas an di sisi Allah kelak pada harikiamat,
bahawa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu." Mendapat jawabanseperti itu, sang
penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agarmelancarkan hasutan yang
dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian iamempunyai alas an untuk mengusir
Imam Bukhari.

Tak lama kemudian ImamBukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara.Imam Bukhari,
kemudian mendo'akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnyasecara tidak sah.
Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid binAhmad dijatuhi hukuman,
dipermalukan di depan umum dengan menungang himarbetina. Maka hidup sang penguasa
yang dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhirdengan kehinaan dan dipenjara.

Kewafatan
Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar
biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan
tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdo'asebelum menulis buku
itu. Sebahagian buku tersebut ditulisnya di samping makam Nabi di Madinah.Imam Durami,
guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadith muridnyaini: "Di antara ciptaan
Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang palingbijaksana."Suatu ketika
penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yangisinya meminta ia supaya
menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka.
Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil yang terletak dua farsakh
sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat

beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka.Tetapi di


desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya.

Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62tahun kurang
13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahawa jika meninggalnanti jenazahnya
agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakaisorban. Pesan itu
dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas
dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh
dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkanrahmat dan ridha-Nya.

Guru-guru
Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari denganguru-
guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangatbanyak. Diceritakan
bahawa dia menyatakan: "Aku menulis hadith yang diterimadari 1.080 orang guru, yang
semuanya adalah ahli hadith dan berpendirian bahawaiman adalah ucapan dan perbuatan."
Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in,
Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-
Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guruguruyang hadithnya diriwayatkan dalam kitab Shahih-nya
sebanyak 289 orangguru.
●lmam Muslim
Salah satu ulama dan imam yang terkenal di kalangan kaum
muslimin adalah Imam Muslim penyusun Shahih Muslim. Umat
Islam banyak membaca hadits-hadits yang beliau riwayatkan.
Walaupun tidak semua orang merasa ingin tahu lebih jauh
tentang nama yang mereka baca itu. Berikut ini biografi
singkat dari Imam Muslim, mudah-mudahan menambah rasa
cinta kita pada beliau.

Nasab dan Kelahiran

Nama beliau adalah Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Ward
bin Kusyadz al-Qusyairi an-Naisaburi. Qusyair adalah kabilah
Arab yang dikenal. Sedangkan Naisabur adalah sebuah kota
yang masyhur di wilayah Khurasan. Kota ini termasuk kota
terbaik di wilayah tersebut. Kota yang terkenal dengan ilmu
dan kebaikan.

Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H/821 M.


Kun-yahnya adalah Abu al-Husein. Dan laqob (panggilan) atau
digelari dengan al-Hafizh, al-Mujawwid, al-Hujjah, ash-Shadiq.

Masa Kecil
Imam Muslim dibesarkan di rumah yang penuh dengan
ketakwaan, keshalehan, dan ilmu. Ayahnya, Hajjaj bin Muslim al-
Qusyairi, adalah seorang yang mencintai ilmu. Sang ayah rajin
hadir di majelisnya para ulama. Ayahnya mendidiknya dengan
semangat keshalehan dan cinta ilmu yang ia miliki itu.
Imam Muslim rahimahullah memulai perjalanan belajarnya di usia
belia. Safar pertama ia lakukan saat ia berusia tidak lebih dari 18
tahun. Mulai saat itu, sang imam muda mulai serius mempelajari
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Kali pertama ia mendengar
kajian sunnah (hadits) adalah saat usianya menginjak 18 tahun.
Ia belajar dari Yahya bin Yahya at-Tamimi.”

Guru-Guru Imam Muslim


Imam Muslim memiliki guru yang banyak. Jumlahnya mencapai
120 orang. Di Mekah, ia belajar kepada Abdullah bin Maslamah al-
Qa’nabi. Ialah gurunya yang paling senior. Ia mengunjungi Kufah,
Irak, al-Haramain (Mekah dan Madinah), dan Mesir untuk
mempelajari hadits.
Di antara guru-gurunya adalah Yahya bin Yahya an-Naisaburi,
Qutaibah bin Said, Said bin Manshur, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin
Rahuyah, Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb, Abu Kuraib
Muhammad bin al-‘Ala, Abu Musa Muhammad bin al-Mutsanna,
Hunad bin as-Sirri, Muhammad bin Yahya bin Abi Umar,
Muhammad bin Yahya adz-Dzuhali, al-Bukhari, Abdullah ad-
Darimi, dll.
Murid-Muridnya
Kedudukan yang tinggi dalam keilmuan membuat pelajar dari
segala penjuru datang untuk belajar kepada Imam Muslim. Di
antara mereka adalah Ali bin al-Hasan bin Abi Isa al-Hilali, beliau
adalah murid seniornya. Kemudian Husein bin Muhammad al-
Qabani, Abu Bakr Muhammad bin an-Nadhar bin Salamah al-
Jarudi, Ali bin al-Husein bin al-Juneid ar-Razi, Shalih bin
Muhammad Jazrah, Abu Isa at-Turmudzi, Ahmad bin al-Mubarak
al-Mustamli, Abdullah bin Yahya as-Sarkhasi al-Qadhi, Nashr bin
Ahmad bin Nashr al-Hafizh, dll.
Warisan Imam Muslim
Imam Muslim meninggalkan banyak karya tulis, ilmu yang luas,
yang tak layak disia-siakan. Dari sekian banyak karya beliau, ada
yang masih ada hingga sekarang. Ada pula yang telah hilang. Di
antara karya tulis beliau adalah:
Ash-Shahih (Shahih Muslim). Inilah karya beliau yang paling
mashur di tengah kaum muslimin;
At-Tamyiz,
Al-‘Ilal,
Al-Wuhdan,
Al-Afrad,
Al-Aqran,
Su-alatihi Ahmad bin Hanbal,
Kitab Amr bin Syu’aib,
Al-Intifa’ bi Uhubi as-Siba’,
Kitab Masyayikh Malik,
Kitab Masyayikh ats-Tsauri,
Kitab masyayikh as-Su’bah,
Man Laysa Lahu Illa Rawin wa Ahadin,
al-Mukhadhramin,
Awlad ash-Shahabah,
Awham al-Muhadditsin,
ath-Thabaqat,
Afrad asy-Syamiyyin.
Metodologi Imam Muslim Dalam Meriwayatkan hadits
Imam Malik rahimahullah menulis kitab al-Muwaththa. Sebuah
kitab yang menjadi landasan hukum-hukum dari kitab ash-
Shahih al-muttafaq ‘alaih. Buku hadits ini disusun berdasarkan
bab-bab fikih. Imam Muslim meneliti kembali jalur sanad
hadits-haditsnya yang berbeda-beda. Menyusun hadits-hadits
dari beberapa jalur dan dari periwayat yang berbeda-beda.
Demikian juga, beliau susun hadits-hadits dalam bab yang
berbeda-beda sesuai dengan makna yang dikandungnya.

Kemudian datang Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Imamnya


para ahli hadits. Ia memilah hadits-hadits, dan
meriwayatkannya di dalam shahihnya dengan cara
mengelompokkan jalur periwayatan dari kalangan penduduk
Hijaz, Irak, dan Syam. Imam al-Bukhari memilih hadits-hadits
yang disepakati keshahihannya dan meninggalkan hadits-
hadits yang ke-shahihannya masih diperdebatkan. Ia
mengelompokkan hadits-hadits dengan kandungannya masing-
masing.

Setelah itu Imam muslim bin al-Hajjaj al-Qurasyiri rahimahullah


menyusun pula kitab shahih. Beliau meniru langkah yang
dilakukan Imam al-Bukhari. Yaitu hanya menukil hadits-hadits
yang disepakati saja ke-shahihannya. Berbeda dengan Imam
al-Bukhari, Imam Muslim menghapus riwayat yang berulang.
Kemudian mengumpulkan jalan-jalan sanadnya di tempat yang
sama. Dan mengelompokannya dengan bab fikih.

Imam Muslim menghabiskan waktu15 tahun untuk menyusun


kitab Shahih-nya. Ahmad bin Salamah mengatakan, “Aku
pernah bersama Muslim saat penulisan Shahih-nya. Lama
penulisannya 15 tahun.” Ia menulis di negerinya. Hal ini
dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam muqaddimah Fathul Bari. Ibnu
Hajar mengatakan, “Muslim menulis kitabnya di kampung
halamannya. Dengan menghadirkan inti kitabnya saat sebagian
besar gurunya masih hidup. Muslim sangat menjaga lafadz
hadits dan meneliti redaksinya.”

Pujian Para Ulama

Abu Quraisy al-Hafizh mengatakan, “Aku mendengar


Muhammad bin Basyar mengatakan, ‘Di dunia ini, orang yang
benar-benar ahli dalam bidang hadits ada empat orang: Abu
Zur’ah di Kota Ray, Muslim di Naisabur, Abdullah ad-Darimi di
Samarkand, dan Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari) di
Bukhara.”

dinukil dari Abu Abdullah al-Hakim bahwa Muhammad bin


Abdul Wahhab al-Farra mengatakan, “Muslim bin al-Hajjaj
adalah ulamanya seluruh kalangan. Ia seorang yang paling
memahami ilmu.”

al-Hafizh Abu Ali an-Naisaburi mengatakan, “Tidak ada di


kolong langit ini sebuah kitab dalam ilmu hadits yang lebih
shahih dari kitabnya Muslim.”

Shiddiq bin Hasan al-Qanuji memuji Imam Muslim dengan


mengatakan, “al-Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-
Baghdadi adalah salah seorang imam dan hafizh. Salah
seorang imamnya para ahli hadits. Imam masyarakat Khurasan
dalam ilmu hadits setelah al-Bukhari.”
Ahmad bin Salamah mengatakan, “Aku melihat Abu Zur’ah dan
Abu Hatim lebih mengunggulkan Muslim dalam pengetahuan
ash-shahih dibanding ulama-ulama di zamannya.”

Wafat

Usia Imam Muslim bisa dikatakan tidak panjang. Hanya 55


tahun. Beliau wafat dan dimakamkan di Naisabur pada tahun
261 H/875 M,

●lmam an-nasai
Nama Imam an-Nasa`i adalah Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr. Kuniyah
Imam an-Nasa`i: Abu AbdirrahmanNasab Imam an-Nasa`i: An Nasa`i dan An Nasawi,
yaitu nisbah kepada negeri asal Imam an-Nasa`i, tempat Imam an-Nasa`i di lahirkan.
Satu kota bagian dari Khurasan. Beliau diahirkan pada tahun 215 hijriah.

Sifat-sifat Imam an-Nasa’i


An-Nasa`i merupakan seorang lelaki yang tampan, berwajah bersih dan segar,
wajahnya seakan-akan lampu yang menyala. Beliau adalah sosok yang karismatik dan
tenang, berpenampilan yang sangat menarik. Kondisi itu karena beberapa faktor,
diantaranya; dia sangat memperhatikan keseimbangan dirinya dari segi makanan,
pakaian, dan kesenangan, minum sari buah yang halal dan banyak makan ayam.

Aktifitas Imam an-Nasa’i dalam menimba ilmu


Imam Nasa`i memulai menuntut ilmu lebih dini, karena Imam an-Nasa`i mengadakan
perjalanan ke Qutaibah bin Sa’id pada tahun 230 hijriah, pada saat itu Imam an-Nasa`i
berumur 15 tahun. Beliau tinggal di samping Qutaibah di negerinya Baghlan selama
setahun dua bulan, sehingga Imam an-Nasa`i dapat menimba ilmu darinya begitu
banyak dan dapat meriwayatkan hadits-haditsnya.
Imam Nasa`i mempunyai hafalan dan kepahaman yang jarang dimiliki oleh orang-orang
pada zamannya, sebagaimana Imam an-Nasa`i memiliki kejelian dan keteliatian yang
sangat mendalam. Imam an-Nasa`i dapat meriwayatkan hadits-hadits dari ulama-ulama
besar, berjumpa dengan para imam huffazh dan yang lainnya, sehingga Imam an-Nasa`i
dapat menghafal banyak hadits, mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya
Imam an-Nasa`i memperoleh derajat yang tinggi dalam disiplin ilmu ini.
 
Beliau telah menulis hadits-hadits dla’if, sebagaimana Imam an-Nasa`ipun telah menulis
hadits-hadits shahih, padahal pekerjaan ini hanya di lakukan oleh ulama pengkritik hadits,
tetapi imam Nasa`i mampu untuk melakukan pekerjaan ini, bahkan Imam an-Nasa`i memiliki
kekuatan kritik yang detail dan akurat, sebagaimana yang digambarkan oleh al Hafizh Abu
Thalib Ahmad bin Sazhr; ‘ siapa yang dapat bersabar sebagaimana kesabaran An Nasa`i?
dia memiliki hadits Ibnu Lahi’ah dengan terperinci – yaitu dari Qutaibah dari Ibnu Lahi’ah-,
maka dia tidak meriwayatkan hadits darinya.’ Maksudnya karena kondisi Ibnu Lahi’ah yang
dha’if.
 
Dengan ini menunjukkan, bahwa tendensi Imam an-Nasa`i bukan hanya memperbanyak
riwayat hadits semata, akan tetapi Imam an-Nasa`i berkeinginan untuk memberikan nasehat
dan menseterilkan syarea’at (dari bid’ah dan hal-hal yang diada-adakan).
Imam Nasa`i selalu berhati-hati dalam mendengar hadits dan selalu selektif dalam
meriwayatkannya. Maka ketika Imam an-Nasa`i mendengar dari Al Harits bin Miskin, dan
banyak meriwayatkan darinya, akan tetapi Imam an-Nasa`i tidak mengatakan; ‘telah
menceritakan kepada kami,’ atau ‘telah mengabarkan kepada kami,’ secara serampangan,
akan tetapi dia selalu berkata; ‘dengan cara membacakan kepadanya dan aku mendengar.’ 
 
Para ulama menyebutkan, bahwa faktor imam Nasa`i melakukan hal tersebut karena
terdapat kerenggangan antara imam Nasa`i dengan Al Harits, dan tidak memungkinkan
baginya untuk menghadiri majlis Al Harits, kecuali Imam an-Nasa`i mendengar dari belakang
pintu atau lokasi yang memungkinkan baginya untuk mendengar bacaan qari` dan Imam an-
Nasa`i tidak dapat melihatnya. Para ulama memandang bahwa kitab hadits Imam an-Nasa`i
“Sunan an-Nasa`i” sebagai kitab kelima dari Kutubussittah setelah Shahih al-Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan Jami’ at-Tirmidzi.

Mengembara Mencari Ilmu


Imam Nasa`i mempunyai lawatan ilmiah cukup luas, Imam an-Nasa`i berkeliling ke negeri-
negeri Islam, baik di timur maupun di barat, sehingga Imam an-Nasa`i dapat mendengar dari
banyak orang yang mendengar hadits dari para hafizh dan syaikh. Di antara negeri yang
Imam an-Nasa`i kunjungi adalah sebagai berikut; Khurasan, Iraq; Baghdad, Kufah dan
Bashrah, Al Jazirah; yaitu Haran, Maushil dan sekitarnya, Syam, Perbatasan; yaitu
perbatasan wilayah negeri islam dengan kekuasaan Ramawi, Hijaz, Mesir.

Guru-guru dan Murid-murid Imam an-Nasa’i


Diantara guru-guru Imam an-Nasa`i:
1. Qutaibah bin Sa’id
2. Ishaq bin Ibrahim
3. Hisyam bin ‘Ammar
4. Suwaid bin Nashr
5. Ahmad bin ‘Abdah Adl Dabbi
6. Abu Thahir bin as Sarh
7. Yusuf bin ‘Isa Az Zuhri
8. Ishaq bin Rahawaih
9. Al Harits bin Miskin
10. Ali bin Kasyram
11. Imam Abu Dawud
12. Imam Abu Isa at Tirmidzi, dan yang lainnya.

Murid-muridnya
1. Abu al Qasim al Thabarani
2. Ahmad bin Muhammad bin Isma’il An Nahhas an Nahwi
3. Hamzah bin Muhammad Al Kinani
4. Muhammad bin Ahmad bin Al Haddad asy Syafi’i
5. Al Hasan bin Rasyiq
6. Muhmmad bin Abdullah bin Hayuyah An Naisaburi
7. Abu Ja’far al Thahawi
8. Al Hasan bin al Khadir Al Asyuti
9. Muhammad bin Muawiyah bin al Ahmar al Andalusi
10. Abu Basyar ad Dulabi
11. Abu Bakr Ahmad bin Muhammad as Sunni, dan yang lainnya.

Pujian para ulama terhadap Imam an-Nasa’i


Dari kalangan ulama seperiode Imam an-Nasa`i dan murid-muridnya banyak yang
memberikan pujian dan sanjungan kepada Imam an-Nasa`i, di antara mereka yang
memberikan pujian kepada Imam an-Nasa`i adalah;
1.Abu ‘Ali An Naisaburi menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah tergolong dari kalangan imam
kaum muslimin.’ Sekali waktu dia menuturkan; Imam an-Nasa`i adalah imam dalam bidang
hadits dengan tidak ada pertentangan.’
2.Abu Bakr Al Haddad Asy Syafi’I menuturkan; ‘aku ridla dia sebagai hujjah antara aku
dengan Allah Ta’ala.’
3.Manshur bin Isma’il dan At Thahawi menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah salah seorang
imam kaum muslimin.’
4.Abu Sa’id bin yunus menuturkan; ‘ Imam an-Nasa`i adalah seorang imam dalam bidang
hadits, tsiqah, tsabat dan hafizh.’
5.Al Qasim Al Muththarriz menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah seorang imam, atau berhak
mendapat gelar imam.’
6.Ad Daruquthni menuturkan; ‘Abu Abdirrahman lebih di dahulukan dari semua orang yang
di sebutkan dalam disiplin ilmu ini pada masanya.’
7.Al Khalili menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah seorang hafizh yang kapabel, di ridlai oleh
para hafidzh, para ulama sepakat atas kekuatan hafalannya, ketekunannya, dan
perkataannya bisa dijadikan sebagai sandaran dalam masalah jarhu wa ta’dil.’
8.Ibnu Nuqthah menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah seorang imam dalam disiplin ilmu ini.’
9.Al Mizzi menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah seorang imam yang menonjol, dari kalangan
para hafizh, dan para tokoh yang terkenal.’
Imam An-Nasa’i merupakan seorang ulama yang sangat ketat terhadap persyaratan
terhadap perawi. Hal ini terbukti dalam menetapkan kriteria sebuah hadist yang diterima
atau tertolak. Dalam hal ini, Al- Hafiz Abu Ali memberikan komentar bahwa persyaratan
yang dibuat oleh Imam An-Nasa’i bagi para perawi sangat ketat jika dibandingkan dangan
persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Muslim. Demikian pula Al-Hakim dan Al-Khatib
mengatakan komentar yang kurang lebih sama bahwa An-Nasa’i lebih ketat dibandingkan
dengan Imam Muslim. Sehingga ulama Magrib lebih memilih Imam An-Nasa’i dibandingkan
dengan Imam Bukhari.
Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode sunan. Hal ini terlihat
jelas dari penamaan kitabnya, yaitu . Kata  merupakan bentuk jamak dari  yang
pengertiannya sama dengan hadist. Sementara yang dimaksud dengan metode  disini
adalah metode penyusunan kitab hadist berdasarkan klasifikasi hukum Islam () dan hanya
mencantumkan hadist-hadist yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW saja. Apabila
terdapat hadist selain dari Nabi, maka jumlahnya relatif sangat sedikit. Berbeda dengan
kitab hadist  dan  yang banyak memuat hadist-hadist  dan ’, walaupun metode
penyusunannya sama dengan . Selain kitab masih banyak kitab hadist sunan yang populer.
Antara lain kitab  (w. 275 H) dan  (w. 275 H).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditegaskan bahwa kitab Sunan An-Nasa’i () disusun
dengan metode yang sangat unik dengan memadukan antara fiqh dengan kajian sanad. 
Hadist-hadistnya disusun berdasarkan bab-bab fiqh sebagaimana yang telah dijelaskan
diatas dan untuk setiap bab diberi judul yang kadang-kadang mencapai keunikan tersendiri.
Ia mengumpulkan sanad-sanad suatu hadist di suatu tempat.

Kitab-kitab Hasil karya Imam an-Nasa`i


Imam Nasa`i mempunyai beberapa hasil karya, di antaranya adalah;
1. As Sunan Ash Shughra
2. As Sunan Al Kubra
3. Al Kuna
4. Khasha`isu ‘Ali
5. ‘Amalu Al Yaum wa Al Lailah
6. At Tafsir
7. Adl Dlu’afa wa al Matrukin
8. Tasmiyatu Fuqaha`i Al Amshar
9. Tasmiyatu man lam yarwi ‘anhu ghaira rajulin wahid
10. Dzikru man haddatsa ‘anhu Ibnu Abi Arubah
11. Musnad ‘Ali bin Abi Thalib
12. Musnad Hadits Malik
13. Asma`u ar ruwah wa at tamyiz bainahum
14. Al Ikhwah
15. Al Ighrab
16. Musnad Manshur bin Zadzan
17. Al Jarhu wa ta’dil

Akhir Hayat Imam an-Nasa’i


Setahun menjelang wafatnya, Imam an-Nasa`i pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan
tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal Imam an-Nasa`i. Al-
Daruqutni mengatakan, Imam an-Nasa`i di Makkah dan dikebumikan di antara Shafa dan
Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah
al-’Uqbi al-Mishri.
 
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia
mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini
didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-
Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan
dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. 

● lmam Ibnu Majah


Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabi’ bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz, namun
beliau biasa dipanggil Ibnu Majah. Sebutan Majah ini dinisbatkan kepada ayahnya
Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab’at. Ada juga yang
mengatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Walaupun demikian, tampaknya
pendapat pertama yang lebih shahih. Kata “Majah” adalah gelar ayah Muhammad,
bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr
dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.

Imam Ibnu Majah mulai menginjakkan kakinya di dunia pendidikan sejak usia
remaja, dan menekuni pada bidang hadits sejak menginjak usia 15 tahun pada
seorang guru yang ternama pada kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasy
(wafat tanggal 233 H). Bakat dan minat yang sangat besar yang dimilikinyalah yang
akhirnya membawa Imam Ibnu Majah berkelana ke penjuru negeri untuk menelusuri
ilmu hadits. Sepanjang hayatnya beliau telah mendedikasikan pikiran dan jiwanya
dengan menulis beberapa buku Islam, seperti buku fikih, tafsir, hadits, dan sejarah.

 Dalam bidang sejarah Imam Ibnu Majah menulis buku “At-Târîkh” yang mengulas
sejarah atau biografi para muhaddits sejak awal hingga masanya, dalam bidang
tafsir beliau menulis buku “Al-Qur’ân Al-Karîm” dan dalam bidang hadits beliau
menulis buku “Sunan Ibnu Majah”. Disayangkan sekali karena buku “At-Târîkh” dan
“Al-Qur’ân Al-Karîm” tidak sampai pada generasi selanjutnya karena dianggap
kurang monumental.

Perjalanan Menuntut Ilmu

Sama halnya dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu, seorang
imam terkenal Imam Ibnu Majah juga melakukan perjalanan yang cukup panjang
untuk mencari secercah cahaya ilmu, karena ilmu yang dituntut langsung dari
sumbernya memiliki nilai lebih tersendiri daripada belajar di luar daerah ilmu itu
berasal. Oleh sebab itu Imam Ibnu Majah sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke
beberapa daerah; seperti kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah,
Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel.

Dalam pengembaraannya Imam Ibnu Majah bertemu banyak guru yang dicarinya,
dari merekalah nantinya ia menggali sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan
menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya menghasilkan buah yang sangat manis dan
bermanfaat sekali bagi kelangsungan gizi umat Islam, karena perjalanannya ini
telah membidani lahirnya buku yang sangat monumental, yaitu kitab “Sunan Ibnu
Majah”.

Para Guru dan Murid Imam Ibnu Majah

Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar
yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua anak
syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih banyak
meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahîr
bin Harb, Duhîm, Abu Mus’ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy,
Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar,
Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits
imam Malik dan Al-Lays.

Seperti dikatakan pepatah “Ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon yang tak
berbuah”, bait syair ini sarat makna yang luas. Walaupun pohon itu indah dan tegar,
namun kalau tidak bisa mendatangkan manfaat bagi yang lain maka tidak ada
maknanya, seorang penuntut ilmu sejati biasanya sangat senang sekali untuk
men’transfer’ ilmunya kepada orang lain, karena dengan seringnya pengulangan
maka semakin melekatlah dalam ingatan. Imam Ibnu Majah giat dalam memberikan
pelajaran bagi murid-murid yang patut untut diacungi jempol.

Di antara murid yang belajar padanya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-
Qatthân, Sulaiman bin Yazid, Abu Ja’far Muhammad bin Isa Al-Mathû’î dan Abu
Bakar Hamid Al-Abhâry. Keempat murid ini adalah para perawi Sunan Ibnu Majah,
tapi yang sampai pada kita sekarang adalah dari Abu Hasan bin Qatthân saja.

Sanjungan Para Ulama Terhadap Imam Ibnu Majah

Berkat istiqamah dan kegigihannya dalam dunia pendidikan, ditambah lagi


ketekunannya dalam disiplin hadits; maka wajar apabila Imam Ibnu Majah termasuk
ulama yang paling disegani pada masanya. Dan tak heran apabila beliau sering
mendapatkan penghargaan yang tinggi dan sanjungan dari ulama-ulama selainnya.

Abu Ya’la Al-Kahlily Al-Qazwîny berkata : “Imam Ibnu Majah adalah seorang
kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dan dapat dijadikan
argumentasi pendapat-pendapatnya, ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak
menghafal hadits”.
Sanjungan yang senada banyak juga yang menyampaikannya pada beliau, seperti
Abu Zar’ah Ar-Râzî dan Zahaby dalam bukunya “Tazkiratu Al-Huffâdz”
mengilustrasikannya sebagai ahli hadits besar dan mufassir, pengarang kitab Sunan
dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.

Kejujuran, kecerdasan dan pengetahuannya yang sangat luas telah menobatkan


Imam Ibnu Majah menjadi ulama ternama. Seorang penuntut ilmu yang cerdas tidak
ada artinya apabila tidak memiliki keindahan akhlak, tetapi seorang penuntut ilmu
tadi akan lebih terhormat dan mulia pula. Karena akhlak mulia adalah simbol atau
refleksi dari ilmu yang dimilikinya. Statement ini diperkuat dengan kalam Allah
dalam Al-Quran : “…Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat, dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Seorang mufassir dan kritikus hadits besar yang bernama Ibnu Kasir dalam
karyanya “Al-Bidâyah” mengatakan : “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah
pengarang kitab Sunan yang masyhur. Kitabnya itu bukti atas ilmu dan amalnya,
keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya
terhadap hadits dan ushûl serta furû’.”

Begitulah sebahagian kecil sanjungan yang diterima Ibnu Majah selama ini. Semoga
Allah menyertakan beliau termasuk golongan orang-orang yang dibanggakan-Nya di
hadapan malaikat-malaikat-Nya.

Karya-karya Imam Ibnu Majah

Imam Ibnu Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:


1. Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits
yang Pokok).
2. Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti
diterangkan Ibn Kasir.
3. Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.

Metodologi Imam Ibnu Majah

Kalau kita berbicara seputar metodologi yang digunakan oleh imam Ibnu Majah
dalam pengumpulan dan penyusunan hadits, maka seyogianyalah kita untuk
mengulas dan menilik lebih lanjut dari metode sang imam dalam menyusun kitab
“Sunan Ibnu Majah”. Karena buku yang digunakan sebagai salah satu referensi bagi
umat Islam ini adalah buku unggulan beliau yang populer sepanjang sekte
kehidupan. Walaupun beliau sudah berusaha untuk menghindarkannya dari
kesalahan penulisan, namun sayang masih terdapat juga hadits-hadits yang dhoif
bahkan maudû’ di dalamnya.

Dalam menulis buku Sunan ini, Imam Ibnu Majah memulainya terlebih dahulu
dengan mengumpulkan hadits-hadits dan menyusunnya menurut kitab atau bab-bab
yang berkenaan dengan masalah fiqih, hal ini seiring dengan metodologi para
muhadditsîn yang lain. Setelah menyusun hadits tersebut, imam Ibnu Majah tidak
terlalu memfokuskan ta’lîqul Al-Hadits yang terdapat pada kitab-kitab fikih tersebut,
atau boleh dikatakan beliau hanya mengkritisi hadits-hadits yang menurut hemat
beliau adalah penting.

Seperti kebanyakan para penulis kitab-kitab fikih yang lain, dimana setelah menulis
hadits mereka memasukkan pendapat para ulama fâqih setelahnya, namun dalam
hal ini Imam Ibnu Majah tidak menyebutkan pendapat para ulama fâqih setelah
penulisan hadits.

Sama halnya dengan imam Muslim, imam Ibnu Majah ternyata juga tidak
melakukan pengulangan hadits berulang kali kecuali hanya sebahagian kecil saja
dan itu penting menurut beliau.

Ternyata kitab Sunan ini tidak semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah seperti
perkiraan orang banyak selama ini, tapi pada hakikatnya terdapat di dalamnya
beberapa tambahan yang diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany yang juga
merupakan periwayat dari “Sunan Ibnu Majah”. Persepsi ini juga sejalan pada
“Musnad Imam Ahmad”, karena banyak orang yang menyangka bahwa seluruh
hadits di dalamnya diriwayatkan seluruhnya oleh beliau, akan tetapi sebahagian
darinya ada juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dan sebahagian
kecil oleh Al-Qathî’î, namun imam Abdullah lebih banyak meriwayatkan dibanding
dengan Al-Qathî’î. Namun dalam pembahasan kali ini kita kita tidak berbicara
banyak seputar “Musnad Imam Ahmad”, karena biografi dan metodologi beliau telah
diulas pada diskusi sebelumnya.

Ketika Al-Hasan Al-Qatthâny mendapatkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu


Majah dari Sya’bah dengan perantara perawi lainnya, dan pada hadits yang sama
juga beliau mendapatkan perawi selain gurunya Ibnu Majah, maka hadits ini telah
sampai pada kategori hadits Uluwwu Al-Isnâd meskipun beliau hanya sebatas murid
dari sang imam Ibnu Majah, namun derajatnya sama dengan gurunya dalam
subtansi Uluwwu Al-Hadîts tersebut, ada juga berhasil disusun oleh sang imam
dengan uraian sebanyak 32 kitab menurut Zahaby, dan 1500 bab menurut Abu Al-
Hasan Al-Qatthâny serta 4000 hadits.

Sekilas Tentang Kitab “Sunan Ibnu Majah”

Para ulama memandang bahwa kitab hadits Imam Ibnu Majah “Sunan Ibnu Majah”
sebagai kitab keenam dari Kutubussittahsetelah Shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Dawud,Jami’ at-Tirmidzi dan Sunan an-Nasa`i.

Ada baiknya terlebih dahulu untuk membedah data buku monumental ini. Agar kita
lebih terkesan dan tertarik lagi untuk menginfestasikan diri kita pada bidang hadits.
Buku hadits yang dikarang oleh Imam Ibnu Majah ini dikenal dengan nama “Sunan
Ibnu Majah”. Karena termasuk buku yang telah menyita perhatian bagi umat Islam,
sehingga Abu Al-Hasan Muhammad Shâdiq bin Abdu Al-Hady As-Sanady (wafat
tahun 1138) pun mendedikasikan pikirannya untuk men-syarah buku ini yang
kemudian akhirnya di-ta’lîq oleh Fuad Abdu Al-Bâqy.

Kitab ini memiliki keistimewaan yang patut diberikan applause, berkat kegigihan
imam Ibnu Majah dalam menciptakan karya yang terbaik dan bermanfaat bagi
Muslim sedunia, dapat kita lihat bahwa buku ini memiliki susunan yang baik dan
tidak ada pengulangan hadits yang serupa kecuali memang dianggap penting oleh
sang Imam. Shiddîq Hasan Khân dalam kitab ‘Al-Hittah’ berkata, “Tidak ada ‘Kutubu
As-Sittah’ yang menyerupai seperti ini (baca : Kitab “Sunan Ibnu Majah”), karena ia
menjaga sekali adanya pengulangan hadits-hadits, walaupun ada itupun hanya
sebahagian kecil saja. Seperti imam Muslim R.A. halnya yang mendekati buku ini.
Dimana beliau tidak mengadakan pengulangan hadits dalam beberapa sub judul
kitab, tapi beliau mengulang hadits tersebut dalam hanya dalam satu judul.

Buku “Sunan Ibnu Majah” terdiri dari 32 (tiga puluh dua) kitab menurut Al-Zahabî,
dan 1500 (seribu lima ratus) bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthanî, dan terdiri dari
4000 (empat ribu) hadits menurut Az-Zahabî. Tapi kalau kita teliti ulang lagi dengan
melihat buku yang di-tahqîq oleh Muhammad Fuad Abdul Bâqî rahimahullah, bahwa
buku ini berjumlah 37 (tiga puluh tujuh) kitab selain dari muqaddimah, berarti kalau
ditambah dengan muqaddimah maka jumlahnya 38 (tiga puluh delapan) kitab.
Sedangkan jumlah babnya terdiri dari 1515 (seribu lima ratus lima belas) bab dan
4341 (empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan nasakh.

Kitab hadits yang terdiri dari 4341 (empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits
ini ternyata 3002 (tiga ribu dua) hadits diantaranya telah di-takhrîj oleh Imam
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan yang lainnya. Dan 1239 (seribu dua
ratus tiga puluh sembilan) hadits lagi adalah tambahan dari Imam Ibnu Majah.

Klasifikasi hadits tersebut adalah :


- Empat ratus tiga puluh delapan hadits diriwayatakan oleh para rijâl yang
terpercaya dan sanadnya shahih.
- Seratus sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah hasan
- Enam ratus tiga belas hadits sanadnya dho’îf
- Sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah mungkar, wâhiah dan
makzhûbah
Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadits
Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok “Kitab
Hadits Pokok” mengingat derajat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang
lima.
Sebagian ulama yang lain menetapkan, bahwa kitab-kitab hadits yang pokok ada
enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadits Pokok), yaitu:
1. Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
2. Sahih Muslim, karya Imam Muslim.
3. Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
4. Sunan Nasa’i, karya Imam Nasa’i.
5. Sunan Tirmizi, karya Imam Tirmizi.
6. Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn majah.

Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-
Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya
Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi
(wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat
mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar ulama yang kemudian.

Mereka mendahulukan Sunan Ibnu Majah dan memandangnya sebagai kitab


keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al Muwatta’ karya Imam Malik sebagai
kitab keenam, padahal kitab ini lebih sahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini
mengingat bahwa Sunan Ibn Majah banyak zawa’idnya (tambahannya) atas Kutubul
Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta’, yang hadits-hadits itu kecuali sedikit sekali,
hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.

Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta’ karya Imam Malik ini
sebagai salah satu Usulus Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah.
Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-
Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam’i
Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi
asy-Syafi’i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam
kitabnya Taysirul Wusul.
Oleh sebab itu buku ini dianggap istimewa disebabkan isinya mayoritas diisi dengan
hadits yang shahih, sedangkan hadits yang mungkar dan wâhiah hanya sedikit.

Menurut syeikh Al-Bâny, dalam sunan ini terdapat sekitar delapan ratus hadits yang
masuk dalam kategori hadits dho’îf. Kesalahan dan kekhilapan adalah suatu hal
yang biasa , namun kesilapan itu akhirnya lebih berarti daripada tidak berbuat sama
sekali. Ahmad bin Sulaiman Ayyub dalam bukunya “Musthalah Al-Hadîts lilhadîts Al-
Bâni” mengatakan bahwa Imam Ibnu Majah tidak menghukumi bahwa kitabnya
ma’sûm dari maudhû’, maka seandainya ia tidak menghukumi seperti itu, maka ia
telah berkontroversi karena realitanya tidak begitu.

Wafatnya

Suatu hari umat Islam di dunia ditimpa ujian, kesedihan menimpa kalbu mereka.
Karena setelah memberikan kontribusi yang berarti bagi umat, akhirnya sang imam
yang dicintai ini dipanggil oleh yang Maha Kuasa pada hari Senin tanggal 22
Ramadhan 273 H/887 M. Almarhum dimakamkan hari Selasa di tanah kelahirannya
Qazwîn, Iraq.

●Imam Abu Dawud


Nama lengkap Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin
Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani.Beliau adalah Imam dan tokoh ahli hadits, serta
pengarang kitab sunan. Beliau dilahirkan tahun 202 H. di Sijistan.

Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama
untuk menimba ilmunya. Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk
melanglang ke berbagai negeri. Dia belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya
di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengemba-
raannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits
sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan.

Abu Dawud sudah berulang kali mengunjungi Bagdad. Di kota itu, dia me-ngajar
hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab sunan sebagai buku pe-gangan. Kitab
sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam
Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus. Dan kitabnya “Sunan
Abu Dawud” dianggap sebagai kitab ketiga dari Kutubussittah setelah Imamal-
Bukhari danImamMuslim.

Guru-gurunya

Jumlah guru Imam Abu Dawud sangat banyak. Di antara gurunya yang paling
menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal, al-Qan’abi, Abu Amar ad-Darir, Abu Daud
bin Ibrahim, Abdullah bin raja’, Abdul Walid at-Tayalisi dan lain--lain. Sebagian
gurunya ada yang menjadi guru Bukhari dan Abu Daud, seperti Ahmad bin Hanbal,
Usman bin Abu Syaibah dan Qutaibah bin sa’id.

Murid-muridnya

Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan hadits-nya antara
lain Abu Isa at-Tirmizi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya sendiri Abu Bakar
bin Abu Dawud, Abu Awana, Abu Sa’id aI-Arabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin
Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.
Sifat dan kepribadiannya

Abu Dawud termasuk ulama yang mencapai derajat tinggi dalam beribadah,
kesucian diri, kesalihan dan wara’ yang patut diteladani.

Sebagian ulama berkata: "Perilaku Abu Dawud, sifat dan kepribadiannya


menyerupai Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal menyerupai Waki’;
seperti Sufyan as-Sauri, Sufyan seperti Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-
Nakha’i, Ibrahim menyerupai Alqamah. "Alqamah seperti Ibnu Mas’ud, dan Ibnu
Mas’ud seperti Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sifat dan
kepribadian seperti ini menunjukkan kesempurnaan beragama, prilaku dan akhlak
Abu Dawud.Abu Dawud mempunyai falsafah tersendiri dalam berpakaian. Salah satu
lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit. Bila ada yang bertanya, dia
menjawab: "Lengan yang lebar ini untuk membawa kitab, sedang yang satunya
tidak diperlukan. Kalau dia lebar, berarti pemborosan."

Ulama memuji Abu Dawud

Abu Dawud adalah seorang tokoh ahli hadits yang menghafal dan memahami hadits
beserta illatnya. Dia mendapatkan kehormatan dari para ulama, terutama dari
gurunya, Imam Ahmad bin Hanbal.

Al-Hafiz Musa bin Harun berkata: "Abu Dawud diciptakan di dunia untuk Hadits, dan
di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dari dia." 

Sahal bin Abdullah at-Tastari, seorang sufi yang alim mengunjungi Abu Dawud dan
berkata: "Saya adalah Sahal, datang untuk mengunjungimu." Abu Dawud
menyambutnya dengan hormat dan mempersilakan duduk. Lalu Sahal berkata: "Abu
Dawud, saya ada keperluan." Dia bertanya: "Keperluan apa?" Sahal menjawab:
"Nanti saya katakan, asalkan engkau berjanji memenuhi permintaanku." Abu Dawud
menjawab: "Jika aku mampu pasti kuturuti." Lalu Sahal mengatakan: "Julurkanlah
lidahmu yang engkau gunakan meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shalallahu alaihi
wasallam sehingga aku dapat menciumnya" Lalu Abu Dawud menjulurkan lidahnya
kemudian dicium Sahal.

Ketika Abu Dawud menyusun kitab sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang Ulama hadits,
berkata: "Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagai-mana besi dilunakkan
untuk Nabi Dawud." Ungkapan itu adalah perumpama-an bagi keistimewaan seorang
ahli hadits. Dia telah mempermudah yang rumit dan mendekatkan yang jauh, serta
memudahkan yang sukar.

Seorang Ulama hadits dan fiqih terkemuka yang bermazhab Hanbali, Abu Bakar al-
Khallal, berkata: "Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani adalah Imam
terkemuka pada jamannya, penggali beberapa bidang ilmu sekaligus mengetahui
tempatnya, dan tak seorang pun di masanya dapat me-nandinginya.”

Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah selalu menyanjung Abu Dawud,
dan mereka memujinya yang belum pernah diberikan kepada siapa pun di
masanya.Mazhab yang diikuti Abu Dawud

Syaikh Abu Ishaq as-Syairazi dalam Tabaqatul Fuqaha menggolong-kan Abu Dawud
sebagai murid Imam Ahmad bin Hanbal. Begitu pula Qadi Abdul Husain Muhammad
bin Qadi Abu Ya’la (wafat tahun 526 H.) yang termaktub dalam kitab Tabaqatul
Hanabilah. Penilaian ini disebabkan, Imam Ahmad adalah guru Abu Dawud yang
istimewa. Ada yang mengatakan bahwa dia bermazhab Syafi’i.
Memuliakan ilmu dan ulama

Sikap Abu Dawud yang memuliakan ilmu dan ulama ini dapat diketahui dari kisah
yang diceritakan oleh Imam al-Khattabi dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu
Dawud. Dia berkata: "Aku bersama Abu Dawud tinggal di Bagdad. Di suatu saat,
ketika kami usai melakukan shalat magrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu
kubuka pintu dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq
minta ijin untuk masuk. Kemudian aku memberitahu Abu Dawud dan ia pun
mengijinkan, lalu Amir duduk. Kemudian Abu Dawud bertanya: "Apa yang
mendorong Amir ke sini?" Amir pun menjawab "Ada tiga kepentingan". "Kepentingan
apa?" Tanya Abu Dawud. Amir mengatakan: "Sebaiknya anda tinggal di Basrah,
supaya para pelajar dari seluruh dunia belajar kepadamu. Dengan demikian kota
Basrah akan makmur lagi. Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang
akibat tragedi Zenji."

 Abu Dawud berkata: "itu yang pertama, lalu apa yang kedua?" Amir menjawab:
"Hendaknya anda mau mengajarkan sunan kepada anak-anakku." "Yang ketiga?"
tanya Abu Dawud. "Hendaklah anda membuat majlis tersendiri untuk mengajarkan
hadits kepada keluarga khalifah, sebab mereka enggan duduk bersama orang
umum." Abu Dawud menjawab: "Permintaan ketiga tidak bisa kukabulkan. Sebab
derajat manusia itu, baik pejabat terhormat maupun rakyat jelata, dalam menuntut
ilmu dipandang sama." Ibnu Jabir menjelaskan: "Sejak itu putra-putra khalifah
menghadiri majlis taklim, duduk bersama orang umum, dengan diberi tirai
pemisah".

Begitulah seharusnya, ulama tidak mendatangi raja atau penguasa, tetapi


merekalah yang harus mengunjungi ulama. Itulah kesamaan derajat dalam mencari
ilmu pengetahuan.

Wafatnya

Setelah hidup penuh dengan kegiatan ilmu, mengumpulkan dan menyebarluaskan


hadits, Abu Dawud wafat di Basrah, tempat tinggal atas per-mintaan Amir
sebagaimana yang telah diceritakan. la wafat tanggal 16 Syawal 275 H. Semoga
Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridanya kepada-nya.

Putra Abu Dawud

Imam Abu Dawud meninggalkan seorang putra bernama Abu Bakar Abdullah bin
Abu Dawud. Dia adalah seorang Imam hadits putra seorang imam hadits pula.
Dilahirkan tahun 230 H. dan wafat tahun 316 H.

Kitab karangan Abu Dawud

Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain:

1. Kitab as-Sunan

2. Kitab al-Marasil

3. Kitab al-Qadar

4. An-Nasikh Wal Mansukh

5. Fada’ilul A’mal
6. Kitab az-Zuhud

7. Dalailun Nubuwah

8. Ibtida’ul Wahyu

9. Ahbarul Khawarij

Di antara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab as-Sunan, yang biasa
dikenal dengan Sunan Abu Dawud

TUGAS MUSTHALAH
BIOGRAFI 8 IMAM HADITS
Bilkis Khusni Mardiah
XIa

Anda mungkin juga menyukai