●Imam Malik
Beliau adalah Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Abi
Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghuyman bin Khutsail bin Amr
bin Harits. Ibunya adalah Aliyah bin Syarik al-Azdiyah.
Keluarganya berasal dari Yaman, lalu pada masa Umar bin
Khattab, sang kakek pindah ke Kota Madinah dan menimba
ilmu dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sehingga menjadi salah seorang pembesar tabi’in.
Salah satu hal yang menarik dari kajian fiqih yang beliau
sampaikan adalah penafsiran-penafsiran hadits dan pendapat-
pendapat beliau banyak dipengaruhi oleh aktifitas yang
dilakukan penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, praktik-
praktik yang dilakukan penduduk Madinah di masanya tidak
jauh dari praktik masyarakat Madinah di zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penduduk Madinah
juga mempelajari Islam dari para leluhur mereka dari kalangan
para sahabat Nabi. Jadi kesimpulan beliau, apabila penduduk
Madinah melakukan suatu amalan yang tidak bertentangan
dengan Alquran dan sunnah, maka perbuatan tersebut dapat
dijadikan sumber rujukan atau sumber hukum. Inilah yang
membedakan Madzhab Imam Malik disbanding 3 madzhab
lainnya.
●Imam Ahmad
Nama lengkap beliau adalah “Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad
Asy-Syaibani”. Kun-yah beliau adalah “Abu Abdillah”, karena salah satu anak laki-
laki beliau bernama Abdullah. Beliau berasal dari Bani Dzuhli bin Syaiban, suatu
keturunan yang menisbahkan dirinya kepada Kabilah Bakr bin Wail. Beliau dilahirkan
di Baghdad pada tahun 164 H. Di usia kecilnya, beliau menjalani hari-hari dalam
keadaan yatim karena bapak beliau telah meninggal di usia muda, ketika beliau
masih kecil. Bapak beliau termasuk salah satu aktivis di dunia dakwah. Dengan
penuh kesabaran, ibunya mendidik beliau dan mengarahkan beliau untuk senantiasa
menuntut ilmu agama. Peran ibunya telah mengantarkan beliau pada kedudukan
yang tinggi disebabkan ilmu. (Tarikh Tasyri` Al-Islami, Master Text Book of Mediu,
hlm. 181)
Abu Ubaid mengatakan, “Puncak ilmu ada pada empat orang; yang paling
berilmu adalah Ahmad.”
Imam Ahmad selalu tegar untuk mempertahankan akidah ahlus sunnah wal jamaah,
bahwa Alquran adalah firman Allah dan bukan makhluk. Setelah Al-Mutawakkil
menjadi khalifah, Imam Ahmad dimuliakan oleh kerajaan. Sampai-sampai, tidak ada
seorang pun hakim dan pejabat negara yang akan diangkat, kecuali telah
dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Imam Ahmad.
Risalah Shalat. Kitab kecil ini ditulis oleh beliau sebagai bagian dari nasihat
beliau terhadap kesalahan-kesalahan ketika salat berjemaah yang dilakukan di
masjid dekat tempat tinggal beliau.
Al-Asyribah. Buku ini memuat penjelasan beliau tentang khamar dan batasan-
batasan minuman yang diharamkan.
●Imam Tirmidzi
Nama dan kelahirannya
Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-
Dahhak as-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan
pengarang berbagai kitab yang masyhur, lahir di kota Tirmiz.X
Wafat
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan
tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah
kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam
keadaan seperti inilah akhirnya At-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz
pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.X
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya
adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar
kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan At-Tirmidzi belajar pula hadits dari
sebagian guru mereka.X
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin
Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad
bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama.
Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad
bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi,
Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi,
yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa At-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan
dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya,
amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah
kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-
nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
"Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam
perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi
hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan
kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah
orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira
bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid
tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah
bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia
mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang
dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa
kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun.
Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu
aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah
kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan
seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan
sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar
dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh
buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata:
‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama
sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti
engkau."
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas
adalah Al-Jami’.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits
yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini
merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan
semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya
itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang
sesuai dengan keadaan setiap hadits.X
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan
mengenai salat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau
tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh
(jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan
kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian
besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.X
●Imam Bukhori
Masa Kecil
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah
ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam
Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia
bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya.
Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al- Yaman al Ja'fi,
gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan
"al-Mughirah al-Jafi." Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang menjelaskan.
Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadith. Ia belajar hadith dari Hammad
ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab
As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at- Tarikh al-
Kabir. Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara'
(menghindariyang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa.
Diceritakan, bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki tidak
terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian, jelaslah
bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama
dan wara'. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu. Ia
dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu
membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya
yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa
melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang
berkata: "Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat
melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada henti-hentinya."
Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia
masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam
pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan
tekun dan penuh perhatian. Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak
masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan
daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith.
Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama
ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui
para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadith, bertukar
pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn
Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut faham
rasional), dasar-dasar dan mazhabnya. Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua
menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan
ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat
catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari
diam tidak menjawab.
Pada suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang terusmenerus itu, Bukhari
meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua
kerana Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan
keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Pengembaraan
Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai
ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke
Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan
salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua
tanah suci itulah ia menulis sebahagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-
Jami'as-Shahih dan pendahuluannya. Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi
s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga
buku tarikhnya, As- Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi
mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik,
sehingga ia pernah berkata bahawa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh
yang tidak ia ketahui kisahnya. Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam
selama 16 tahun.
Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi
sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahawa ia pernah berkata: "Saya telah
mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali,
menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi
berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli
hadith."Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan
ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia
mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya kerana menetap di negeri
Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun
hadith-hadith dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang
sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas
di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali
setiap malamnya. Ia merawi hadith dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang
super jenius, ia dapat menghapal hadith sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.
Demikian juga ia pernah berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahawa lafaz-
lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."Az-Zahli benar-benar telah murka
kepadanya, sehingga ia berkata: "Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di
negeri ini." Oleh kerana Imam Bukhari berpendapat bahawa keluar dari negeri itu lebih baik,
demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka
ia pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut.
Tak lama kemudian ImamBukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara.Imam Bukhari,
kemudian mendo'akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnyasecara tidak sah.
Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid binAhmad dijatuhi hukuman,
dipermalukan di depan umum dengan menungang himarbetina. Maka hidup sang penguasa
yang dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhirdengan kehinaan dan dipenjara.
Kewafatan
Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar
biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan
tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdo'asebelum menulis buku
itu. Sebahagian buku tersebut ditulisnya di samping makam Nabi di Madinah.Imam Durami,
guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadith muridnyaini: "Di antara ciptaan
Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang palingbijaksana."Suatu ketika
penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yangisinya meminta ia supaya
menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka.
Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil yang terletak dua farsakh
sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat
Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62tahun kurang
13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahawa jika meninggalnanti jenazahnya
agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakaisorban. Pesan itu
dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas
dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh
dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkanrahmat dan ridha-Nya.
Guru-guru
Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari denganguru-
guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangatbanyak. Diceritakan
bahawa dia menyatakan: "Aku menulis hadith yang diterimadari 1.080 orang guru, yang
semuanya adalah ahli hadith dan berpendirian bahawaiman adalah ucapan dan perbuatan."
Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in,
Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-
Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guruguruyang hadithnya diriwayatkan dalam kitab Shahih-nya
sebanyak 289 orangguru.
●lmam Muslim
Salah satu ulama dan imam yang terkenal di kalangan kaum
muslimin adalah Imam Muslim penyusun Shahih Muslim. Umat
Islam banyak membaca hadits-hadits yang beliau riwayatkan.
Walaupun tidak semua orang merasa ingin tahu lebih jauh
tentang nama yang mereka baca itu. Berikut ini biografi
singkat dari Imam Muslim, mudah-mudahan menambah rasa
cinta kita pada beliau.
Nama beliau adalah Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Ward
bin Kusyadz al-Qusyairi an-Naisaburi. Qusyair adalah kabilah
Arab yang dikenal. Sedangkan Naisabur adalah sebuah kota
yang masyhur di wilayah Khurasan. Kota ini termasuk kota
terbaik di wilayah tersebut. Kota yang terkenal dengan ilmu
dan kebaikan.
Masa Kecil
Imam Muslim dibesarkan di rumah yang penuh dengan
ketakwaan, keshalehan, dan ilmu. Ayahnya, Hajjaj bin Muslim al-
Qusyairi, adalah seorang yang mencintai ilmu. Sang ayah rajin
hadir di majelisnya para ulama. Ayahnya mendidiknya dengan
semangat keshalehan dan cinta ilmu yang ia miliki itu.
Imam Muslim rahimahullah memulai perjalanan belajarnya di usia
belia. Safar pertama ia lakukan saat ia berusia tidak lebih dari 18
tahun. Mulai saat itu, sang imam muda mulai serius mempelajari
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Kali pertama ia mendengar
kajian sunnah (hadits) adalah saat usianya menginjak 18 tahun.
Ia belajar dari Yahya bin Yahya at-Tamimi.”
Wafat
●lmam an-nasai
Nama Imam an-Nasa`i adalah Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr. Kuniyah
Imam an-Nasa`i: Abu AbdirrahmanNasab Imam an-Nasa`i: An Nasa`i dan An Nasawi,
yaitu nisbah kepada negeri asal Imam an-Nasa`i, tempat Imam an-Nasa`i di lahirkan.
Satu kota bagian dari Khurasan. Beliau diahirkan pada tahun 215 hijriah.
Murid-muridnya
1. Abu al Qasim al Thabarani
2. Ahmad bin Muhammad bin Isma’il An Nahhas an Nahwi
3. Hamzah bin Muhammad Al Kinani
4. Muhammad bin Ahmad bin Al Haddad asy Syafi’i
5. Al Hasan bin Rasyiq
6. Muhmmad bin Abdullah bin Hayuyah An Naisaburi
7. Abu Ja’far al Thahawi
8. Al Hasan bin al Khadir Al Asyuti
9. Muhammad bin Muawiyah bin al Ahmar al Andalusi
10. Abu Basyar ad Dulabi
11. Abu Bakr Ahmad bin Muhammad as Sunni, dan yang lainnya.
Imam Ibnu Majah mulai menginjakkan kakinya di dunia pendidikan sejak usia
remaja, dan menekuni pada bidang hadits sejak menginjak usia 15 tahun pada
seorang guru yang ternama pada kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasy
(wafat tanggal 233 H). Bakat dan minat yang sangat besar yang dimilikinyalah yang
akhirnya membawa Imam Ibnu Majah berkelana ke penjuru negeri untuk menelusuri
ilmu hadits. Sepanjang hayatnya beliau telah mendedikasikan pikiran dan jiwanya
dengan menulis beberapa buku Islam, seperti buku fikih, tafsir, hadits, dan sejarah.
Dalam bidang sejarah Imam Ibnu Majah menulis buku “At-Târîkh” yang mengulas
sejarah atau biografi para muhaddits sejak awal hingga masanya, dalam bidang
tafsir beliau menulis buku “Al-Qur’ân Al-Karîm” dan dalam bidang hadits beliau
menulis buku “Sunan Ibnu Majah”. Disayangkan sekali karena buku “At-Târîkh” dan
“Al-Qur’ân Al-Karîm” tidak sampai pada generasi selanjutnya karena dianggap
kurang monumental.
Sama halnya dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu, seorang
imam terkenal Imam Ibnu Majah juga melakukan perjalanan yang cukup panjang
untuk mencari secercah cahaya ilmu, karena ilmu yang dituntut langsung dari
sumbernya memiliki nilai lebih tersendiri daripada belajar di luar daerah ilmu itu
berasal. Oleh sebab itu Imam Ibnu Majah sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke
beberapa daerah; seperti kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah,
Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel.
Dalam pengembaraannya Imam Ibnu Majah bertemu banyak guru yang dicarinya,
dari merekalah nantinya ia menggali sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan
menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya menghasilkan buah yang sangat manis dan
bermanfaat sekali bagi kelangsungan gizi umat Islam, karena perjalanannya ini
telah membidani lahirnya buku yang sangat monumental, yaitu kitab “Sunan Ibnu
Majah”.
Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar
yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua anak
syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih banyak
meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahîr
bin Harb, Duhîm, Abu Mus’ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy,
Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar,
Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits
imam Malik dan Al-Lays.
Seperti dikatakan pepatah “Ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon yang tak
berbuah”, bait syair ini sarat makna yang luas. Walaupun pohon itu indah dan tegar,
namun kalau tidak bisa mendatangkan manfaat bagi yang lain maka tidak ada
maknanya, seorang penuntut ilmu sejati biasanya sangat senang sekali untuk
men’transfer’ ilmunya kepada orang lain, karena dengan seringnya pengulangan
maka semakin melekatlah dalam ingatan. Imam Ibnu Majah giat dalam memberikan
pelajaran bagi murid-murid yang patut untut diacungi jempol.
Di antara murid yang belajar padanya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-
Qatthân, Sulaiman bin Yazid, Abu Ja’far Muhammad bin Isa Al-Mathû’î dan Abu
Bakar Hamid Al-Abhâry. Keempat murid ini adalah para perawi Sunan Ibnu Majah,
tapi yang sampai pada kita sekarang adalah dari Abu Hasan bin Qatthân saja.
Abu Ya’la Al-Kahlily Al-Qazwîny berkata : “Imam Ibnu Majah adalah seorang
kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dan dapat dijadikan
argumentasi pendapat-pendapatnya, ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak
menghafal hadits”.
Sanjungan yang senada banyak juga yang menyampaikannya pada beliau, seperti
Abu Zar’ah Ar-Râzî dan Zahaby dalam bukunya “Tazkiratu Al-Huffâdz”
mengilustrasikannya sebagai ahli hadits besar dan mufassir, pengarang kitab Sunan
dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.
Seorang mufassir dan kritikus hadits besar yang bernama Ibnu Kasir dalam
karyanya “Al-Bidâyah” mengatakan : “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah
pengarang kitab Sunan yang masyhur. Kitabnya itu bukti atas ilmu dan amalnya,
keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya
terhadap hadits dan ushûl serta furû’.”
Begitulah sebahagian kecil sanjungan yang diterima Ibnu Majah selama ini. Semoga
Allah menyertakan beliau termasuk golongan orang-orang yang dibanggakan-Nya di
hadapan malaikat-malaikat-Nya.
Kalau kita berbicara seputar metodologi yang digunakan oleh imam Ibnu Majah
dalam pengumpulan dan penyusunan hadits, maka seyogianyalah kita untuk
mengulas dan menilik lebih lanjut dari metode sang imam dalam menyusun kitab
“Sunan Ibnu Majah”. Karena buku yang digunakan sebagai salah satu referensi bagi
umat Islam ini adalah buku unggulan beliau yang populer sepanjang sekte
kehidupan. Walaupun beliau sudah berusaha untuk menghindarkannya dari
kesalahan penulisan, namun sayang masih terdapat juga hadits-hadits yang dhoif
bahkan maudû’ di dalamnya.
Dalam menulis buku Sunan ini, Imam Ibnu Majah memulainya terlebih dahulu
dengan mengumpulkan hadits-hadits dan menyusunnya menurut kitab atau bab-bab
yang berkenaan dengan masalah fiqih, hal ini seiring dengan metodologi para
muhadditsîn yang lain. Setelah menyusun hadits tersebut, imam Ibnu Majah tidak
terlalu memfokuskan ta’lîqul Al-Hadits yang terdapat pada kitab-kitab fikih tersebut,
atau boleh dikatakan beliau hanya mengkritisi hadits-hadits yang menurut hemat
beliau adalah penting.
Seperti kebanyakan para penulis kitab-kitab fikih yang lain, dimana setelah menulis
hadits mereka memasukkan pendapat para ulama fâqih setelahnya, namun dalam
hal ini Imam Ibnu Majah tidak menyebutkan pendapat para ulama fâqih setelah
penulisan hadits.
Sama halnya dengan imam Muslim, imam Ibnu Majah ternyata juga tidak
melakukan pengulangan hadits berulang kali kecuali hanya sebahagian kecil saja
dan itu penting menurut beliau.
Ternyata kitab Sunan ini tidak semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah seperti
perkiraan orang banyak selama ini, tapi pada hakikatnya terdapat di dalamnya
beberapa tambahan yang diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany yang juga
merupakan periwayat dari “Sunan Ibnu Majah”. Persepsi ini juga sejalan pada
“Musnad Imam Ahmad”, karena banyak orang yang menyangka bahwa seluruh
hadits di dalamnya diriwayatkan seluruhnya oleh beliau, akan tetapi sebahagian
darinya ada juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dan sebahagian
kecil oleh Al-Qathî’î, namun imam Abdullah lebih banyak meriwayatkan dibanding
dengan Al-Qathî’î. Namun dalam pembahasan kali ini kita kita tidak berbicara
banyak seputar “Musnad Imam Ahmad”, karena biografi dan metodologi beliau telah
diulas pada diskusi sebelumnya.
Para ulama memandang bahwa kitab hadits Imam Ibnu Majah “Sunan Ibnu Majah”
sebagai kitab keenam dari Kutubussittahsetelah Shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Dawud,Jami’ at-Tirmidzi dan Sunan an-Nasa`i.
Ada baiknya terlebih dahulu untuk membedah data buku monumental ini. Agar kita
lebih terkesan dan tertarik lagi untuk menginfestasikan diri kita pada bidang hadits.
Buku hadits yang dikarang oleh Imam Ibnu Majah ini dikenal dengan nama “Sunan
Ibnu Majah”. Karena termasuk buku yang telah menyita perhatian bagi umat Islam,
sehingga Abu Al-Hasan Muhammad Shâdiq bin Abdu Al-Hady As-Sanady (wafat
tahun 1138) pun mendedikasikan pikirannya untuk men-syarah buku ini yang
kemudian akhirnya di-ta’lîq oleh Fuad Abdu Al-Bâqy.
Kitab ini memiliki keistimewaan yang patut diberikan applause, berkat kegigihan
imam Ibnu Majah dalam menciptakan karya yang terbaik dan bermanfaat bagi
Muslim sedunia, dapat kita lihat bahwa buku ini memiliki susunan yang baik dan
tidak ada pengulangan hadits yang serupa kecuali memang dianggap penting oleh
sang Imam. Shiddîq Hasan Khân dalam kitab ‘Al-Hittah’ berkata, “Tidak ada ‘Kutubu
As-Sittah’ yang menyerupai seperti ini (baca : Kitab “Sunan Ibnu Majah”), karena ia
menjaga sekali adanya pengulangan hadits-hadits, walaupun ada itupun hanya
sebahagian kecil saja. Seperti imam Muslim R.A. halnya yang mendekati buku ini.
Dimana beliau tidak mengadakan pengulangan hadits dalam beberapa sub judul
kitab, tapi beliau mengulang hadits tersebut dalam hanya dalam satu judul.
Buku “Sunan Ibnu Majah” terdiri dari 32 (tiga puluh dua) kitab menurut Al-Zahabî,
dan 1500 (seribu lima ratus) bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthanî, dan terdiri dari
4000 (empat ribu) hadits menurut Az-Zahabî. Tapi kalau kita teliti ulang lagi dengan
melihat buku yang di-tahqîq oleh Muhammad Fuad Abdul Bâqî rahimahullah, bahwa
buku ini berjumlah 37 (tiga puluh tujuh) kitab selain dari muqaddimah, berarti kalau
ditambah dengan muqaddimah maka jumlahnya 38 (tiga puluh delapan) kitab.
Sedangkan jumlah babnya terdiri dari 1515 (seribu lima ratus lima belas) bab dan
4341 (empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan nasakh.
Kitab hadits yang terdiri dari 4341 (empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits
ini ternyata 3002 (tiga ribu dua) hadits diantaranya telah di-takhrîj oleh Imam
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan yang lainnya. Dan 1239 (seribu dua
ratus tiga puluh sembilan) hadits lagi adalah tambahan dari Imam Ibnu Majah.
Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-
Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya
Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi
(wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat
mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar ulama yang kemudian.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta’ karya Imam Malik ini
sebagai salah satu Usulus Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah.
Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-
Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam’i
Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi
asy-Syafi’i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam
kitabnya Taysirul Wusul.
Oleh sebab itu buku ini dianggap istimewa disebabkan isinya mayoritas diisi dengan
hadits yang shahih, sedangkan hadits yang mungkar dan wâhiah hanya sedikit.
Menurut syeikh Al-Bâny, dalam sunan ini terdapat sekitar delapan ratus hadits yang
masuk dalam kategori hadits dho’îf. Kesalahan dan kekhilapan adalah suatu hal
yang biasa , namun kesilapan itu akhirnya lebih berarti daripada tidak berbuat sama
sekali. Ahmad bin Sulaiman Ayyub dalam bukunya “Musthalah Al-Hadîts lilhadîts Al-
Bâni” mengatakan bahwa Imam Ibnu Majah tidak menghukumi bahwa kitabnya
ma’sûm dari maudhû’, maka seandainya ia tidak menghukumi seperti itu, maka ia
telah berkontroversi karena realitanya tidak begitu.
Wafatnya
Suatu hari umat Islam di dunia ditimpa ujian, kesedihan menimpa kalbu mereka.
Karena setelah memberikan kontribusi yang berarti bagi umat, akhirnya sang imam
yang dicintai ini dipanggil oleh yang Maha Kuasa pada hari Senin tanggal 22
Ramadhan 273 H/887 M. Almarhum dimakamkan hari Selasa di tanah kelahirannya
Qazwîn, Iraq.
Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama
untuk menimba ilmunya. Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk
melanglang ke berbagai negeri. Dia belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya
di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengemba-
raannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits
sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan.
Abu Dawud sudah berulang kali mengunjungi Bagdad. Di kota itu, dia me-ngajar
hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab sunan sebagai buku pe-gangan. Kitab
sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam
Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus. Dan kitabnya “Sunan
Abu Dawud” dianggap sebagai kitab ketiga dari Kutubussittah setelah Imamal-
Bukhari danImamMuslim.
Guru-gurunya
Jumlah guru Imam Abu Dawud sangat banyak. Di antara gurunya yang paling
menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal, al-Qan’abi, Abu Amar ad-Darir, Abu Daud
bin Ibrahim, Abdullah bin raja’, Abdul Walid at-Tayalisi dan lain--lain. Sebagian
gurunya ada yang menjadi guru Bukhari dan Abu Daud, seperti Ahmad bin Hanbal,
Usman bin Abu Syaibah dan Qutaibah bin sa’id.
Murid-muridnya
Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan hadits-nya antara
lain Abu Isa at-Tirmizi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya sendiri Abu Bakar
bin Abu Dawud, Abu Awana, Abu Sa’id aI-Arabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin
Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.
Sifat dan kepribadiannya
Abu Dawud termasuk ulama yang mencapai derajat tinggi dalam beribadah,
kesucian diri, kesalihan dan wara’ yang patut diteladani.
Abu Dawud adalah seorang tokoh ahli hadits yang menghafal dan memahami hadits
beserta illatnya. Dia mendapatkan kehormatan dari para ulama, terutama dari
gurunya, Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Hafiz Musa bin Harun berkata: "Abu Dawud diciptakan di dunia untuk Hadits, dan
di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dari dia."
Sahal bin Abdullah at-Tastari, seorang sufi yang alim mengunjungi Abu Dawud dan
berkata: "Saya adalah Sahal, datang untuk mengunjungimu." Abu Dawud
menyambutnya dengan hormat dan mempersilakan duduk. Lalu Sahal berkata: "Abu
Dawud, saya ada keperluan." Dia bertanya: "Keperluan apa?" Sahal menjawab:
"Nanti saya katakan, asalkan engkau berjanji memenuhi permintaanku." Abu Dawud
menjawab: "Jika aku mampu pasti kuturuti." Lalu Sahal mengatakan: "Julurkanlah
lidahmu yang engkau gunakan meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shalallahu alaihi
wasallam sehingga aku dapat menciumnya" Lalu Abu Dawud menjulurkan lidahnya
kemudian dicium Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang Ulama hadits,
berkata: "Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagai-mana besi dilunakkan
untuk Nabi Dawud." Ungkapan itu adalah perumpama-an bagi keistimewaan seorang
ahli hadits. Dia telah mempermudah yang rumit dan mendekatkan yang jauh, serta
memudahkan yang sukar.
Seorang Ulama hadits dan fiqih terkemuka yang bermazhab Hanbali, Abu Bakar al-
Khallal, berkata: "Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani adalah Imam
terkemuka pada jamannya, penggali beberapa bidang ilmu sekaligus mengetahui
tempatnya, dan tak seorang pun di masanya dapat me-nandinginya.”
Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah selalu menyanjung Abu Dawud,
dan mereka memujinya yang belum pernah diberikan kepada siapa pun di
masanya.Mazhab yang diikuti Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq as-Syairazi dalam Tabaqatul Fuqaha menggolong-kan Abu Dawud
sebagai murid Imam Ahmad bin Hanbal. Begitu pula Qadi Abdul Husain Muhammad
bin Qadi Abu Ya’la (wafat tahun 526 H.) yang termaktub dalam kitab Tabaqatul
Hanabilah. Penilaian ini disebabkan, Imam Ahmad adalah guru Abu Dawud yang
istimewa. Ada yang mengatakan bahwa dia bermazhab Syafi’i.
Memuliakan ilmu dan ulama
Sikap Abu Dawud yang memuliakan ilmu dan ulama ini dapat diketahui dari kisah
yang diceritakan oleh Imam al-Khattabi dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu
Dawud. Dia berkata: "Aku bersama Abu Dawud tinggal di Bagdad. Di suatu saat,
ketika kami usai melakukan shalat magrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu
kubuka pintu dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq
minta ijin untuk masuk. Kemudian aku memberitahu Abu Dawud dan ia pun
mengijinkan, lalu Amir duduk. Kemudian Abu Dawud bertanya: "Apa yang
mendorong Amir ke sini?" Amir pun menjawab "Ada tiga kepentingan". "Kepentingan
apa?" Tanya Abu Dawud. Amir mengatakan: "Sebaiknya anda tinggal di Basrah,
supaya para pelajar dari seluruh dunia belajar kepadamu. Dengan demikian kota
Basrah akan makmur lagi. Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang
akibat tragedi Zenji."
Abu Dawud berkata: "itu yang pertama, lalu apa yang kedua?" Amir menjawab:
"Hendaknya anda mau mengajarkan sunan kepada anak-anakku." "Yang ketiga?"
tanya Abu Dawud. "Hendaklah anda membuat majlis tersendiri untuk mengajarkan
hadits kepada keluarga khalifah, sebab mereka enggan duduk bersama orang
umum." Abu Dawud menjawab: "Permintaan ketiga tidak bisa kukabulkan. Sebab
derajat manusia itu, baik pejabat terhormat maupun rakyat jelata, dalam menuntut
ilmu dipandang sama." Ibnu Jabir menjelaskan: "Sejak itu putra-putra khalifah
menghadiri majlis taklim, duduk bersama orang umum, dengan diberi tirai
pemisah".
Wafatnya
Imam Abu Dawud meninggalkan seorang putra bernama Abu Bakar Abdullah bin
Abu Dawud. Dia adalah seorang Imam hadits putra seorang imam hadits pula.
Dilahirkan tahun 230 H. dan wafat tahun 316 H.
1. Kitab as-Sunan
2. Kitab al-Marasil
3. Kitab al-Qadar
5. Fada’ilul A’mal
6. Kitab az-Zuhud
7. Dalailun Nubuwah
8. Ibtida’ul Wahyu
9. Ahbarul Khawarij
Di antara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab as-Sunan, yang biasa
dikenal dengan Sunan Abu Dawud
TUGAS MUSTHALAH
BIOGRAFI 8 IMAM HADITS
Bilkis Khusni Mardiah
XIa