Anda di halaman 1dari 23

Biografi Imam Malik (711-795 masehi/93-179 hijriah)

Abu Abdullah Mālik bin Anas bin Mālik bin Abī 'Āmir bin 'Amr
Nama bin al-Haris bin Ghaimān bin Husail bin 'Amr bin Al-Haris al-
Asbahi al-Madani
93 H
Lahir
Madinah, Arab
795 M/179 H
Meninggal
Madinah, Arab
Nama ibu Aliyah binti Syarik Al-Azdiyah
Nama Nadhar bin Anas bin Mālik bin Abī 'Āmir bin 'Amr bin al-Haris bin
saudara Ghaimān bin Husail bin 'Amr bin Al-Haris al-Asbahi al-Madani
Nama anak
laki-laki dan Muhammad, Hammad, Yahya, Abdullah dan Fatimah
perempuan
Dimakamkan Jannatul Baqi, Madinah, Arab Saudi
Buku Al-Mudawwana al-Kubra, Al-Muwatta': Pack en 2 volumes
Abdurrahman bin Hurmuz, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Ibnu Syihab
Guru
Az-Zuhri, Rabi’ah bin Abdurrahman
Ibnul Mubarak, Al Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim,
Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin
Yahya al-Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al-
Murid
Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu
Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain.

Imam Malik bin Anas digolongkan ke sebuah kabilah Yaman, yaitu Dzul-Ashbahy. Nama
lengkap beliau adalah Abu Abdullah Mālik bin Anas bin Mālik bin Abī 'Āmir bin 'Amr bin al-Haris bin
Ghaimān bin Husail bin 'Amr bin Al-Haris al-Asbahi al-Madani . Imam Malik bin Anas biasa dipanggil
dengan Abu Abdullah. Ibunya adalah ‘Aliyah binti Syarik Al-Azdiyah. Ayah dan ibunya adalah orang Arab
Asli yang berasal dari Yaman. Sedangkan kakeknya, Malik bin Abi Amir, termasuk salah seorang
pemuka dan ulama tabi’in mukhadhram (karena menetap di Madinah setelah Rasulullah saw wafat). Ia
pernah meriwayatkan hadits dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan
Ummul mukminin Aisyah r.a. Orang-orang Yang pernah meriwayatkan hadits darinya adalah
Anas(ayahanda Malik), Rabi’, dan Nafi’ yang digelari Abu Sahl. Mayoritas dari mereka sangat
memperhatikan terhadap periwayatan hafits. Oleh karena itu, mereka termasuk dari guru-guru Ibnu
Syihab Az-Zuhri. Imam Malik hidup diselimuti oleh beberapa hal yang menajubkan dan mengagumkan
sebagai bentuk tanda dari keistimewaannya. Keistimewaan dirinya juga berkaitan dengan proses
kelahirannya. Imam Malik bin Anas berada dalam kandungan selama 3 tahun, padahal biasanya semua
bayi berada dalam kandungan selama 9 bulan. Mengenai hal ini, Imam Malik bin Anas berkata:
“Terkadang kehamilan itu sampai tiga tahun, dan sudah ada sebagian orang yang berada
dalam kandungan selama tiga yahun (maksudnya adalah dirinya sendiri)”.
Muhammad bin Umar berkata;
“Aku mendengar banyak orang berkata,’Malik berada dalam kandungan selama tiga tahun’. “
Imam Malik bin Anas lahir pada masa pemerintahan Khilafah Umayyah. Para ulama berbeda
pendapat mengenai tahun kelahiran Imam Malik bin Anas. Ada yang berpendapat bahwasanya beliau
dilahirkan pada tahun 90 H, ada yang berpendapat tahun 93 H, ada yang berpendapat tahun 94 H, ada
yang berpendapat tahun 95 H. Namun, pendapat mayoritas mengatakan bahwa Imam Malik dilahirkan
tahun 93 H.
Imam Malik bin Anas berkata “Aku dilahirkan pada tahun 93 H”
Ciri khusus dari Imam Malik bin Anas, dari Muthrif bin Abdullah berkata, “Malik bin Anas
mempunyai perawakan tinggi, ukuran kepalanya besar dan botak, rambut kepala dan jenggotnya putih,
sedangkan kulitnya sangat putih hingga terlihat agak pirang. Jika memakai imamah, sebagian
diletakkan dibawah dagunya dan ujungnya diuraikan diantara kedua pundaknya. Beliau tidak suka
mencukur kumis dan mencelanya. Beliau memandang hal itu sebagai bentuk mengubah ciptaan.”
Imam Malik memiliki karakter yang teguh dan berwibawa. Kewibawaannya yang sangat besar
itu dapat dirasakan oleh orang-orang yang menghadiri majelisnya. Bahkan dalam majelis itu, tidak ada
seorang pun yang berani berbicara ketika ia sedang menyampaikan ilmu. Bila ada seorang yang baru
datang dan mengucapkan salam kepada majelis, maka jamaah akan menjawab salam tersebut dengan
suara lirih. Karakter lain dari sosok Imam Malik adalah perhatiannya terhadap penampilan. Karakter
tersebut ternyata sudah ditanamkan oleh ibunya sejak ia kanak-kanak. Buktinya sepanjang hayatnya ,
Imam Malik selalu engenakan pakaina yang rapi, bersih, dan harum. Dalam hal ini, Isa bin Amr
mengatakan,”aku tidak pernah melihat seorang yang berkulit putih ataupun merah yang lebih tampan
dari Malik, dan juga pakaian seseorang yang lebih putih dari pakaiannya”.
Imam Malik bin Anas tumbuh besar dikota dan tempat hijrah Rasulullah saw. Negeri syari’at,
tempat terpancarnya cahaya, basis hukum Islam yang pertama, sebuah kubah Islam di masa Khalifah
Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Beliau juga memiliki orang tua yang
merupakan murid dari sahabat-sahabat Rasulullah saw, dan pamannya termasuk salah satu nafi’ yaitu
seorang periwayat hadits yang terpecaya, yang meriwayatkan hadits dari Aisyah, Abu Hurairah,
Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat besar lainnya.
Imam malik memiliki seorang saudara bernama Nadhar. Saudaranya tersebut mempelejari
hadits terlebih dahulu daripada dirinya. Hal itu dilakukan Nadhar dengan cara mendatangani para
ulama tabi’in untuk mendengar secara langsung hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari para
sahabat. Kemudian, Imam Malik mengikuti jejak saudaranya tersebut. Meskipun Imam Malik belajar
hadits setelah Nadhar menekuni banyak hadits, tetapi ia mampu melampaui saudaranya itu.
Kecermelangan Imam Malik semakin tampak karena ia juga menguasai ilmu fiqh dan tafsir.
Imam Malik menikah dengan seorang hamba. Dari hamba tersebut, ia dikaruniai 3 orang
putra dan seorang putri. Ketiga putranya itu bernama Muhammad, Hammad, dan Yahya, sedangkan
putri tunggalnya diberi nama Fatimah yang kemudian mendapat julukan Ummul Mu’minin. Menurut Abu
Umar, Fatimah termasuk anak yang tekun mempelajari dan menghafal kitab Al-Muwatha’ dengan baik.
Selain tiga putranya itu, versi lain menyebutkan bahwa Imam Malik juga memiliki beberapa putra
lainnya, salah satunya bernama Abdullah. Karena nama anaknya itulah, Imam Malik dijuluki Abu
Abdullah.
Status Imam Malik sebagai seorang ulama besar, ijtihhad, dan penasihat kaum muslim
membuat pikirannya menjadi madzhab baru saat itu (setelah lahit Madzhab Hanafi). Penamaan
madzhab baru tersebut disesuaikan dengan nama pendirinya, sehingga menjadi Madzhab Maliki
Dalam menyampaikan pemikirannya, Imam Malik menggunakan dua tempat pengajian, yakni
masjid dan rumahnya sendiri. Dikedua tempat itulah, proses belajar dan transfer pemikiran dari Imam
Malik kepada para muridnya berlangsung. Dalam menyampaikan pengajaran, Imam Malik
mengawalinya engan menyampaikan hadits terlebih dahulu, lalu disusul dengan pembahasan tentang
persoalan-persoalan fiqh. Ketika mengajar, Imam Malik sangat menjaga lisannya agar tidak salah
berucap dalam memberi fatwa. Karena itu, ketika Imam Malik tidak bisa menjawab suatu pertanyaah
atau merasa ragu untuk menjawabnya, ia akan menjawabnya dengan berkata,”La adri(saya tidak
tahu)”.
Imam Malik meninggal dunia setelah menderita sakit pada pagi hari, tanggal 14 Rabi’ul Awwal
di kota Madinah tahun 179 H/795 M pada usia 85 tahun dan pada masa kekhilafahan Harun Ar-Rasyid.
Kemudian, jasadnya dikuburkan di pemakaman Baqi. Pemakaman Baqi’ merupakan sebuah pemakaman
di Madinah. Di pemakaman tersebut, dikubur lebih dari 10 ribu orang sahabat, istri, dan anak-anak
Rasulullah saw, serta tabi’in dan para pengikutnya. Pemakaman ini terletak sekitar 30 m di sebelah
timur Masjid Nabawi

Perjalanan Menuntut Ilmu


Imam Malik bin Anas sudah hafa Al-Qur’an disaat usia yang masih dini. Setelah menghafal Al-
Qur’an, ia melanjutkan untuk menghafalkan hadits. Ia mendapatkan dukungan dan motivasi untuk
menghafalkan hadits-hadits Rasulullah saw dari lingkungan tempat tinggalnya secara khusus dan dari
kota Madinah secara umum. Oleh sebab itu, ia meminta rekomendasi kepada keluarganya untuk pergi
ke majelis-majelis para ulama guna menulis dan mempelajari ilmu. Ia juga pernah menyampaikan
kepada ibunya, bahwa ia ingin enulis ilmu. Lantai sang ibu memakaikan pakbaikain yang paling dan
memakaiiannya sorban. Kemudian ia berkata kepada anak kesayangannya, “Sekarang pergilah dan
tulislah ilmu!”. Ibunya juga pernah berkata kepadanya,”Pergilah ke tempat Rabi’ah! (yaitu Rabi’ah Ar-
Ra’yi). Lalu pelajarilah ilmunya terlebih dahulu sebelum adabnya”
Imam Malik bin Anas mengambil ilmu dari guru-guru di Madinah pada usia yang masih muda.
Hingga ketika ia telah mendapatkan ilmu tersebut, maka ia pun mulai menyeleksi orang-orang yang
diambil ilmu dan haditsnya. Dia mendapati sebagaian besar yang diseleksinya tersebut adalah orang-
orang yang memang benar-benar meminum dari pengetahuan-pengetahuannya
Keponakan Malik menuturkan,”Malik berkata,’Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka
lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian. Aku pernah mendapati tujuh puluh perawi yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda demikian, namun aku tidak mengambil hadits dari
mereka. Meski andaikata salah seorang dri mereka diberikan amanah untuk menjaga baitul mal,
niscaya ia adalah orang yang dapat dipercaya. Hanya saja mereka bukanlah orang-orang yang ahli
dibidang ini.”
Perhatian terbesar Malik bin Anas adalah mengetahui atsar-atsar Rasulullah saw dan
fatwa-fatwa para Sahabat; apa yang mereka sepakati dan apa yang mereka persilihsikan. Imam Malik
pernah berkata,”Tidak boleh berfatwa tentang suatu hukum, kecuali karena dipersilihsikan oleh
manusia.” Kemudian dikatakan kepada beliau,”Persilisihan Ahlu Ra’yi?” Beliau menjawab,”Tidak,
perselisihan para Sahabat Rasulullah saw.”
Sejak muda, Imam Malik senantiasa memberikan penghormatan yang sempurna terhadap
hadits-hadits Rasulullah saw. Tidaklah ia mempelajari hadits-hadits tersebut melainkan dalam kondisi
yang tenang dan kondusif, sebagai bentuk pemuliaan dan berupaya untuk menjaga keakuratannya.
Oleh sebab itu, ia tidak pernah mempelajari hadits-hadits tersebut dalam kondisi berdiri, gelisah,
ataupun dalam keadaan terganggu, hingga tidak ada sesuatu pun yang akan hilang(terlewat) darinya.
Tidak ditemukan riwayat yang falid tentang berapa umur beliau ketika mulai berfatwa.
Namun dapat dikatakan bahwa saat beliau mulai memberikan fatwa, beliau sudah berusia dewasa.
Karena seseorang tidak diberikan kedudukan untuk memberi fatwa dikalangan para ulama melaikan
para Syekhnya sebelum ia duduk untuk memberikan pangajaran dan fatwa, khususnya Ibnu Syihab dan
Rabi’ah. Rabi’ah sendiri adalah orang yang telah memberikan izin kepada beliau untuk berfatwa.
Dibalik keberhasilan Imam Malik bin Anas menjadi ulama terpandang dan termasyhur serta
kesuksesan madzhabnya, ada peran guru-guru yang telah mendidik beliau serta mempunyai murid
yang sangat luar biasa.
a. Guru-guru Imam Malik bin Anas
Imam Malik didik oleh banyak guru. Karena itulah, ia menerima banyak hadits yaitu
dari 900 orang guru, yang berasal dari golongan tabi’in(300 orang) dan golongan tabi’ut
tabi’in (600 orang). Namun, belum ada catatan pasti mengenai nama-nama dari 900 orang
guru Imam Malik tersebut. Dari 900 guru itu, sejarah mencatat ada empat guru yang
terkenal dan memiliki peranan penting dalam sejarah keilmuan Imam Malik bin Anas dan ada
beberapa tambahan guru-guru selain empat guru tersebut.
1. Abdurrahman bin Hurmuz
Abdurrahman bin Hurmuz merupakan guru pertama Imam Malik. Namun, tidak ada
keterangan atau catatan detail yang menjelaskan mengenai Abdurrahman bin Hurmuz.
Sejarah hanya mencatat bahwa Abdurrahman bin Hurmuz bergelar Abu Daud al-
Madani. Ia adalah budak Rabi’ah bin Harits yang dikenal sebagai seseorang yang palimg
rajin beribadah pada zamannya. Ia meninggal tahun 117 H. Selain itu sejarah mencatat
bahwa Imam Malik tinggal bersamanya dalam kurun waktu yang cukup lama dan
selama itu pula Imam Malik tidak berguru kepada ulama yang lain.
2. Nafi’ Maula Ibnu Umar
Setelah berguru kepada Abdurrahman bin Hurmuz, Imam Malik berguru kepada
Nafi’ Maula bin Umar. Nama lengkapnya adalah Nafi’ bin Abdurrahman bin Abi Nu’aim al-
Laitsiy al-Kanan, atau lebih dikenal sebagai Nafi’ al-Madani. Adapun nama julukannya
adalah Abu Abdillah al-Madani. Ia merupakan seorang ahli fiqh, ulama dibidang qiraah
al-Qur’an, dan salah satu Imam qirraah sepuluh.
Selama 30 tahun, atau sejak tahun 70 H ulama yang lahir di Isfahan ini mengabdi
kepada Ibnu Umar. Dengan kata lain, Ibnu Umar adalah majikannya selama 30 tahun.
Pertemuan pertama antara keduanya terjadi di medan perang. Saat itu, Ibnu Umar
menemukan Nafi’ dalam suatu peperangan. Ia senang akan kegemaran Nafi’ terhadap
ilmu dan selalu menyiapkan diri dengan baik untuk meriwayatkan hadits. Karena
kekagumannya tersebut, Ibnu Umar berkata,”Sungguh, Allah telah memberi karunia
kepada kita dengan Nafi’ “.
Sementara itu, mengenai asal usul Imam Nafi’, terdapat dua pihak yang berbeda
pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Imam Nafi’ berasal dari Naisabur,
sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa Ia berasal dari Kabul. Imam Nafi’ sudah
menekuni al-Qur’an sejak masih muda dan berguru al-Qur’an kepada lebih dari 70
guru. Setelah dewasa, Imam Nafi’ pergi ke kota Madinah dan menetap disana hingga
wafat. Selama kurang lebih 70 tahun, Imam Nafi’ menjadi guru qiraah dikota Madinah.
Selain itu, Ia juga menjadi Imam di Masjid Nabawi selama 60 tahun setelah wafatnya
Abu Ja’far Yazid al-Madani
Salah satu murid Imam Nafi’ yang paling tetap adalah Imam Malik bin Anas.
Menurut An-Nasa’i, Imam Malik pernah bercerita gurunya tersebut dan
berkata,”Apabila aku mendengar hadits dari Nafi’, dari Ibnu Umar, aku tidak peduli lagi,
sekalipun aku tidak mendengarnya dari orang lain.” Imam Malik berkata”Aku pernah
mendatangani Nafi’(seorang hamba sahaya Ibnu Umar) disiang hari, sementara tidak
ada pepohonan yang menaungiku dari terik matahari. Aku selalu menunggu-nunggu
waktu keluarnya. Hingga ketika ia telah keluar, aku membiarkannya beberapa saat
seolah-olah aku tidak melihatnya. Kemudian aku menghampirinya. Hinngaketika ia telah
lmasuk, aku bertanya kepadanya,”Bagaimana pendapat Ibnu Umar mengenai hal ini dan
hal itu ?” Maka ia pun memberikan jawaban kepadaku. Setelah itu aku menahan dirinya
dalam kesunyian(kesendirian).”

Imam Nafi’ meninggal pada 117 H. Adapun yang meriwayatkanhadits darinya, antara
lain Abdullah bin Dinnar, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Ibnu Ishaq, Shalin bin Khaisan, dan Ibnu
Juraij. Sementara itu, selain Imam Malik bin Anas, Ia juga memiliki sejumlah murid lain,
diantaranya adalah Qalun, Warasy, Ibnu Wirdan, Ibnu Jammaz, Ishaq bin Muhamma al-
Musayyabi, dan Ismail bin Ja’far.
3. Ibnu Syihab Az-Zuhri
Guru Imam Malik selanjutnya adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri atau biasa dipanggil
Imam Az-Zuhri. Imam Malik bin Anas mengambil ilmu dari Az-Zuhri. Ia menuturkan,”Az-
Zuhri perna mendatangani kami, maka kami pun menemuinya bersama Rabi’ah.
Kemudian ia menyampaikan lebih dari empat puluh hadits kepada kami. Keesokan
harinya kami kembali mendatanginya. Ia pun berkata,’Perhatikanlah sebuah tulisan
hingga aku menyampaikan hadits kepada kalian. Adakah kalian mengetahui apa yang
telah aku sampaikan pada hari kemarin?’ Rabi’ah menjawab,’Ada seseorang yang akan
menyampaikan kepada anda apa yang telah anda sampaikan kemarin?’ Az-Zuhri
berkata,’Siapa orang itu?’ Rabi’ah menjawab,’Ibnu Abi Amir’ Az-Zuhri
menjawab,’Sampaikanlah!’ Maka aku pun menyampaikan sekitar empat puluh hadits. Az-
Zuhri berkata,’Aku tidak menyangka ada seseorang yang masih menghafal hadits ini
selain diriku’.“
Nama lengkap Imam Az-Zuhri adalah Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin
‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin Syihab bin ‘Abdullah bin Harith bin Zuhrah. Menurut
beberpa literatur , nama panggilannya yang lain selain Az-Zuhri adalah Abu Bakar al-
Madani
Imam Az-Zuhri termasuk salah seorang ulama terkemuka dari Madinah. Ia juga
salah satu ulama hadits terbesar yang termasuk shighar at-tabi’in (tabi’in junior). Ia
adalah orang pertama yang membukukan ilmu hadits atas perintah Khalifah Umar bin
Abdul Aziz
Imam Az-Zuhri dilahirkan pada 58 H bertepatan dengan akhir kepimpinan
Mu’awiyah. Imam Az-Zuhri tumbuh disebuah kota kecil di antara Hijaz dan Syam yang
bernama Ailah. Ia adalah seorang kaya dan dermawan. Pada masa Daulah Bani
Umayyah, Ia memiliki kedudukan yang tinggi dan pada 124 H , Ia wafat di Sya’bad dan
dimakamlan disana
Penguasaan Az-Zuhri terhadap hadits tentu sudah tidak diragukan lagi. Bahkan,
banyak ulama yang memujinya karena ia memiliki pengetahuan yang lus tentang hadits.
Salah satu ulama yang memujinya adalah Amr bin Dinar. Ia berkata,”Aku tidak pernh
melihat seorangpun yang lebih mengetahui tentang hadits dibanding Ibnu Syihab (Imam
Az-Zuhri)”. Selain itu, Ahmad bin Hanbal juga bersaksi,”Az-Zuhri adalah manusia yang
terbaik haditsnya dan terbagus jalan sanadnya”. Ada beberapa faktor yang membuat
Imam Az-Zuhri menjadi seorang ahli hadits dan salah satu imam terbesar di kota
Madinah
 Kekuatan hafalan. Dalam hal ini, Imam Adz-Dzahabi pernah
berkata,”Diantara yang menunjukkan kekuatan hafalan Imam Az-Zuhri
adalah beliau mampu menghafal al-Qur’an hanya dalam waktu delapan
hari. Hal itu diriwayatkan oleh putra beliau, yaitu Muhammad bin
Abdillah”.
 Menuliskan seluruh hal yang didengar. Hal itu sebagaimana diriwayatkan
dari Abdurrahman bin Abi Zinad, ia berkata,”Aku pernah berthawaf
bersama Ibnu Syiab. Ia membawa lembaran-lembaran dan buku tulis
sampai kami menertawakannya”.
 Keuletan dalam menuntut ilmu dan mudzakarah.
 Memuliakan ilmu dan ahli ilmu
4. Rabi’ah bin Abdurrahman
Rabi'ah bin Abu Abdurrahman Farrukh at-Taimi al-Madani juga dikenal sebagai
Rabi'ah ar-Ra'yi, adalah salah seorang Tabi'in termuda; yang merupakan ahli fiqih,
hadits, serta mujtahid ternama dari kota Madinah. Julukan Ar-Ra'yi ( ahli akal/logika)
diberikan kepadanya karena ia memiliki pemikiran yang tajam, dan banyak
menggunakan qiyas dan logika dalam memecahkan masalah saat ia tidak menemukan
hadits shahih atau riwayat dari sahabat lainnya.
Rabi'ah berasal dari golongan mawla (hamba yang dibebaskan). Ayahnya Abu
Abdurrahman Farrukh telah pergi berperang bersama pasukan Islam pada saat ia
dilahirkan, dan ia dibesarkan oleh ibunya di Madinah. Ia banyak belajar dari beberapa
Sahabat Nabi dan para Tabi'in senior. Para guru Rabi'ah antara lain Anas bin Malik, As-
Saib bin Yazid, Hanzhalah bin Qais, Makhul asy-Syami, Salamah bin Dinar, Sa'id bin al-
Musayyib, dan Al-Qasim bin Muhammad.
Sedangkan para muridnya antara lain Malik bin Anas, Abu Hanifah Nu'man, Yahya
bin Sa'id al-Anshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza'i, Laits bin
Sa'ad, Sulaiman bin Bilal, Isma'il bin Ja'far, Anas bin Iyadh dll.[4] Imam Malik yang
banyak berguru padanya pernah menyatakan, bahwa setelah Salim bin Abdullah dan Al-
Qasim meninggal, permasalahan agama banyak dikembalikan kepada Rabi'ah.
Rabi'ah wafat dan dimakamkan di kota Hasyimiyyah (Irak), pada tahun 139 H
(753/4 M)
5. Muhammad bin Al-Munkadir (wafat 130 H)
6. Abu Ziyad Abdullah bin Dzakwan (wafat 130 H)
7. Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah (wafat 132 H)
8. Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm (wafat 135 H)
9. Zaid bin Aslam (wafat 136 H)
10. Yahya Sa’id Al-Anshori (wafat 143 H)
11. Hisyam bin Urwah (wafat 145 H)

b. Murid-murid Imam Malik Bin Anas


Imam Malik memiliki banyak murid yang telah menyebarkan dan mengembangkan
pemikiran-pemikirannya. Berikut ini adalah murid-murid Imam Malik yang disebutkan oleh
Ibnu Abdil Barr secara khusus :
1. Abdullah bin Wahab
Abdullah bin Wahab lahir pada tahun 125 H, ada pula yang mengatakan tahun 124 H.
Ia adalah seorang Barbar secara asal dan nasab, dan seorang Quraisy secara
perwalian. Ia bermulazamah dengan Imam Malik selama 20 tahun dan menyebarkan
fikihnya di Mesir. Namun, ia tidak hanya mengambil ilmu fikih dari Imam Malik seorang,
ia juga mengambilnya dari sahabat-sahabat Az-Zuhri. Ia juga menimba ilmu dari 400-a
lebih guru-guru hadits yang tersebar di Mesir, Hijaz, dan Iraq.
Imam Malik begitu memuliakan dan mencintai Ibnu Wahab karena tidak ada
seorangpun dari para sahabatnya yang selamat dari tegurannya selain Ibnu Wahab.
Imam Mmalik memberinya laqab (julukan) “Orang yang paham terhadap apa yang
dituliskan untuknya”. Ibnu Wahab merupakan salah seorang yang menyebarkan
Madzhab Imam Malik di wilayah Mesir dan Maroko. Ibnu Wahab menjadi tujuan study
tour bagi orang-orang yang kesulitan untuk bertemu dengan Imam Malik secara
langsung dalam rangka mengetahui fikih beliau, baik setelah wafatnya Imam Malik
maupun saat beliau masih hidup.
Abdullah bin Wahab memiliki banyak buku yang sangat besar manfaatnya,
diantaranya adalah hasil dari yang ia dengar langsung dari Imam Malik, yakni sebanyak
30 buku. Diantaranya adalah Muwatha’ Al-Kabir, Jami’ Al-Kabir, Kitab Al-Amwal, Kitab
Tafsir Al-Muwattha’, Kitab Al-Manasik, dan Kitab Al-Maghazi. Ia biasa mencatat berbagai
persoalan-persoalan dan menunjukkannya untuk dikoreksi kepada Imam Malik. Ibnu
Wahab meninggl pada tahun 197 H, pada usianya yang ke 72 tahun.
2. Abdurrahman bin Al-Qasim
Abdurrahman bin Al-Qasim lahir pada tahun 128 H. Ia termasuk salah satu sahabat
Imam Malik yang memili pengaruh besar dalam kodifikasi madzhabnya karena dengan
murajaah Sahnun atas dirinya mengenai apa yang telah ia tulis dalam berbagai
permasalahan Imam Malik. Ibnu Al-Qasim juga memiliki kebebasan berijtihad dan
memiliki pendapat-pendapat yang berbeda dengan sang guru, Imam Malik. Sampai
beberapa orang mengatakan bahwa ia lebih didominasi ileh logika berpikir.
Pertemuan dirinya dengan Imam Malik adalah setelah Ibnu Wahab.
Persahabatannya dengan Imam Malik berlangsung lama. Ia menyertainya dalam waktu
yang panjang sekitar 20 Tahun serta mempelajari fikihnya. Bersamaan dengan itu, ia
juga mengambil ilmu dari Al-Laits bin Sa’ad Abdul Aziz bin Al-Majisun dan Muslim bin
Khalid Az-Zanji. Ibnu Al-Qasim adalah seorang yang dermawan, zuhud, dan ahli ibadah.
ia juaga tidak mau menerima hadiah dari penguasa. Abdurrahman bin Al-Qasim wfat
pada tahun 191 H, saat usianya sekitar 63 tahun.
3. Asad bin Al-Furat bin Sinan
Asad bin Al-Furat bin Sinan lahir pada tahun 145 H. ia berasal dari Khurasan,
namun ia dilahirkan di Harran dari kabilah Bakar. Kemudian ayahnya membwanya
pindah ke Tunisia. Ada pula yang mengatakan bahwa ayahnya pindah ke Tunisia saat
sang ibu mengandungnya. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan awlanya adalah di
Tunisia.
Asad bin Al-Furat bin Sinan menghafal Al-Qur’an lalu mempelajari fikih. Setelah
ilmu tentang Al-Quran ia lahap habis, Asad mulai belajar ulum syar’iyah sampai faqih
dalam ilmu fiqih. Dia menyukai bahasan tentang perkara furu’iyah dalam fiqih dan
masalah pemikiran pada madzab Abu Hanifah sampai bertemu dengan Ali bin Ziad.
Tokoh ini lah yang mengenalkan Asad dengan madzab Imam Malik bin Anas di Maroko
dan memperdengarkan padanya kitab Al-Muwatha’. Asad pun mulai tertarik dan
mendalami madzab Maliki dan melanjutkan perjalanan panjang mencari ilmu ke arah
timur pada tahun 172 H
Imam Malik secara pribadi telah melihat Asad bin Al-Furat yang begitu
bersemangat mencari ilmu. Maka, penulis Al-Muwatha’ ini memasukkan Asad ke dalam
kelompok kedua bersama orang-orang Mesir (Imam Malik bin Anas membagi jam
mengajar Al-Muwatha’ menjadi tiga kelompok : Kelompok pertama adalah para
penduduk Madinah, Kelompok kedua adalah orang-orang Mesir, dan Kelompok tiga
adalah bebas siapapun selain dari dua kelompok satu dan dua)
Namun, semangat Asad bin Furat lebih menggebu dari apa yang dibayangkan Imam
Malik. Sang Imam pun memberikan jam khusus untuk putra Al-Furat ini hingga seluruh
isi Al-Muwatha’ habis diperdengarkan padanya. Asad pun merasa jika ia berlama-lama
di Madinah, ia akan kehilangan kesempatan mempelajari ilmu yang lain di luar sana.
Maka, setelah ia rampung mempelajari Al-Muwatha’, kakinya melangkah menuju Iraq.
Di Iraq, Asad bertemu dengan murid senior Abu Hanifah yang termasuk perawi
hadits ternama, Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Ia juga bertemu dengan Qadhi Abu
Yusuf, juga termasuk murid senior Abu Hanifah yang cukup dikenal. Mulailah Asad
mempelajari madzab Hanafi dan kebanyakan menyimak ketsiqahan dalam hadits. Asad
merasa mendapatkan banyak ilmu baru dari Muhammad bin Hasan dan ia telah menulis
banyak permasalahan masyhur di madzab Hanafi.
Asad pun melanjutkan perjalanan thalabul ilmi di Iraq antara mendengarkan hadits
dan mempelajari ilmu fikih hingga tahun 179 H. Di tahun inilah Imam Malik wafat dan
tersebarlah berita duka ini hingga ke Iraq. Semua orang yang pernah mendengar
hadits dari Imam Malik berbondong-bondong melakukan takziah. Asad merasa sangat
terpukul karena tidak bisa mendampingi sang Imam di saat- saat hembusan nafas
terakhirnya.
Asad melakukan perjalanan ke Mesir bersama dua orang murid Imam Malik yang
dikenal wara’ dan alim ; Ibnu Wahab dan Ibnul Qasim. Awalnya Asad mendekati Ali Ibnul
Wahab, ia menyodorkan sebuah kitab yang ia tulis yang berisi tentang permasalahan di
madzab Hanafi. Asad meminta Ibnu Wahab untuk menjawab semua permasalahan itu
menurut madzab Maliki. Namun, Ibnu Wahab menolak dan berlepas diri dari hal itu.
Selanjutnya, Asad mendatangi Ibnul Qasim dengan maksud yang sama.
Berbeda dengan tanggapan Ibnul Wahab, Ibnul Qasim justru menjelaskan dengan
gamblang persoalan itu dalam madzab Maliki sekaligus mengajarkan tentang ushul dan
furu’. Bahkan, Ibnul Qasim juga menunjukkan beberapa rujukan untuk menjawab
permasalahan itu dalam kitab Al-Murunah atau Al-Asadiyah sampai pada rujukan
pertama fiqih Maliki di Maroko. Akhirnya, Asad kembali ke kota Qairawan pada 181 H
setelah menempuh perjalanan mencari ilmu yang cukup berat berpindah-pindah
tempat dari Makkah, Madinah, Baghdad, Kufah dan Fustat. Perjalanan melelahkan ini
membuat Asad menjadi ulama kibar di Maroko dan menjadi imam sekaligus telah
mencapai derajat mujtahid.
Setelah perjalanan berat menuntut ilmu di berbagai negara, Asad kembali ke
Qairawan. Setibanya di kota dimana pertama kalinya mengenal ilmu ini, ia menjadi
mercusuar ilmu di Afrika utara dalam bidang hadits dan ilmu fikih dengan adanya dua
madrasah ; Hanafiah dan Malikiyah. Asad duduk di masjid Jami’ Aqabah untuk
menerima orang yang datang untuk menuntut ilmu dan menanyakan suatu masalah
dari berbagai daerah. Seluruh Maroko mengenal kemasyhuran Asad sebagai ulama
besar hingga merambah daerah Andalusia.
Asad telah mencapai derajat mujtahid, maka ia tidak bisa hanya berpegang dengan
salah satu pendapat saja. Ia berfatwa dengan apa yang sesuai menjadi ijtihadnya
sendiri berpegang pada perkataan Ahlu Madinah (Malikiyah) dan Ahli Iraq (Hanafiyah)
serta apa yang menurutnya itu benar. Suatu saat ia sedang duduk di sebuah majelis
dan menyampaikan perkataan Ahlu Iraq, kemudian ada salah seorang masyayikh yang
duduk bersamanya bermadzab Maliki dan berkata,”Ya Abi Abdillah, nyalakanlah lentera
yang kedua”. Asad memahami maksud dari perkataan itu dan menjelaskan
permasalahan itu dengan perkataan Ahlu Madinah atau madzhab Maliki.
Asad bin Al-Furat wafat pada tahun 213 H. Ada yang mengatakan bahwa ia wafat
saat pengepungan di Surquasah diamana saat itu menjadi pemimpin pasukan dan
hakim dan ada pula yang megatakan bahwa ia wafat karena wabah penyakit kolera
yang melanda para mujahidin termasuk komandan tertinggi pasukan yaitu beberapa
saat setelah kemenangan umat Islam atas Balrum yang dikuasai umat Islam.
4. Abdul Malik bin Al-Majisyun
Ia adalah maula (budak yang dimerdekakan) Bani Tamim. Nama ayahnya Abdul Aziz bin
Al-Majisyun merupakan teman Imam Malik. Ibnu Abdil Barr berkata mengenai Abdul
Malik Bin Al-Majisyun,”Ia adalah seorang yang fakih lagi fasih. Pada dirinyalah berpusat
fatwa-fatwa di zamannya hingga kematiannya, ynag sebelumnya berpusat pada diri
ayahnya. Ia mengalami rabun, ada yang mengatakan kebutaan pada akhir-akhir
kehidupannya. Ia meriwayatkan hadits dari Imam Malik dan juga dari ayahnya. Hanya
saja ia begitu gemar mendengarkan nyanyian”.
5. Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qaisi Al-Amiri
Ia dilahirkan pada tahun 140 H. Selain berguru di Imam Malik, ia juga mengambil
ilmu dari Al-Laits, Yahya bin Ayyub, dan Ibnu Luhai’ah. Ia memiliki kitab Mudawwanah
yang dinamakan dengan Mudawwanah Asyhab atau Kutub Asyhab. Asyhab bin Abdul Aziz
Al-Qaisi Al-Amiri wafat pada tahun 204 H.

Sangat susah memastikan berapa jumlah dan biografi orang yang pernah belajar
kepada Imam Malik. Selain diatas ada beberapa lagi murid Imam Malik antaranya:
1. Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam
2. Asbagh bin Farj al-Umawi
3. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam
4. Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad al-Iskandari
5. Abdullah bin Abdul Hakim bin A’yun
Dia adalah salah seorang diantara maula Utsman bin Affan. Dia dilahirkan
di Mesir tahun 150 H, namun ada juga yang menyebutkan bahwa dia lahir tahun
155 H. Dia mendengar kajian Muwaththa’ langsung dari Imam Malik. Kemudian
dia meriwayatkan dari Ibnu Wahab, Ibnu Qasim dan Asyhab tentang pendapat
Imam Malik yang pernah mereka dengar darinya.
Ia menyusun sebuah kitab yang didalamnya menyebututkan apa yang
didengarnya dengan kalimat-kalimat yang serupa, lalu kitab tersebut diringkas
kembali menjadi sebuah kitab kecil. Kedua kitab tersebut dan juga kitab yang
lain dijsdiksn rujuksn fslsm pengajaran oleh orang-orang Madzhab Maliki di
Baghdad. Kedua kitab tersebut juga sudah di syarh oleh Asy-Syaikh Abu Bakar
Al-Abhari.
6. Abdus Salam bin Sa’id Sahnun At-Tanukhi Al-Arabi (240 H)
Abdus Salam bin Sa’id Sahnun At-Tanukhi Al-Arabi biasa dikenal dengan
nama Sahnun mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu dari Imam Malik
sebelum beliau meninggal. Namun, ia tidak mempunyai banyak harta untuk
bisa melakukan perjalanan. Oleh karena itu, dia hanya mampu mendengar dari
murid beliau yang bernama Ibnul Qasiim. Jawaban-jawaban Imam Malik
isampaikan kepadanya saat berada di Mesir. Selain mendengar dari Ibnul
Qasim, ia juga mendengar dari Ibnu Wahab, Asyhab, Abdullah bin Abdul Hakim,
Ibnul Majisyun, dan yang lainnya. Setealh menambah ilmu di Mesir dan tempat-
tampat lain, ia kembali ke Maroko.
Dialah orang yang terakhir yang menjadi pemimpin ilmu dan juga rujukan
semua orang dalam berpendapat. Dia juga telah menyusun kitab Al-
Mudawwanah. Ia pernah diangkat menjadi hakim pada tahun 234 H yakni ketika
ia berusia 74 tahun. Kepimpinannya itu berlangsung hingga ia wafat pada
tahun 240 H, yakni sekitar 6 tahun.
Dari cerita diatas dapat disimpulkan bahwa Sahnun lahir pada tahun
sekitar 160 H
7. Abdul Malik bin Habib (238 H)
Dia adalah seorang berkebangsaan Andalusia. Dia mengambil
periwayatan dari sahabat-sahabat Imam Malik. Ulama berdarah Andalusia ini
sudah banyak mengumpulkan ilu. Berita mengenai dirinya pun sudah tersebar
luas hingga menghantarkannya menjadi dekat dengan Amir Andalus, yang
kemudian menetapkannya sebagai penyampai kitab Al-Muwaththa’ dalam
permusyawaratan bersama Yahya bin Yahya.
8. Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz (Al-Atabi) (255/254 H)
Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz biasa juga dikenal Al-Atabi. Dai
adalah orang Andalusia. Ia mendengar hadits dari Sahnun dan juga yang lain.
Dia sudah menghimpun dan hafal berbagai macam permasalahan serta
mengetahui fikih nawazi(kontemporer), menyusun sebuah kitab yang
dinamainya dengan Al-Mustakhrajah atau Al-Atabiyah, yang merupakan
kesimpulan dari Al-Wadhihah karya Abdul Malik bin Habib. Dimana pada saat
itu Al-Mustakhrajah juga merupakan buku panduan kepercayaan orang
Andalusia dan Afrika.
Akan tetapi, tidak sedikit juga orang yang mencela metode penukilan Al-
Mustakhrajah terhadap fikih madzhab Maliki, khususnya orang-orang semasa
dengan Al-Atabi seperti, Muhammad bin Abdul Hakim, Ibnu Lubabah.

Imam Malik dikenal sebagai sosok yang memiliki semangat tinggi dalam mempelajari ilmu
agama. Selain itu, ia juga dikenal memiliki kekuatan hafalan yang tajam dan pemahaman yang tinggi.
Selain rajin menimba ilmu, Imam Malik juga sorang mujtahid yang sangat pandai. Pengembangan
pemikiran Imam Malik dilakukan dengan cara, antara lain, pertama mendatangi para ulama di Masjidil
Haram, di mana tempat tersebut merupakan tempat dikunjungi para ulama terutama pada musim haji
untuk berdiskusi; kedua, mengadakan forum diskusi dengan ulama Madinah. Di sinilah beliau berjumpa
dengan Imam Abu Hanifah yang sedang bermukim di Madinah pada saat itu; ketiga, mengembangkan
keilmuan keagamaan yang telah dimilikinya melalui bacaan literatur yang sudah ada, baik berupa kitab
maupun artikel yang terkait dengan keilmuannya serta mengadakan forum diskusi di kediamannya
dengan muridnya dan para ulama yang terkenal pada saat itu seperti Muhammad bin Hasan (murid
Abu Hanifah) dan Imam Syafi’i.
Saat menjadi mujtahid dan seorang guru, Imam Malik sering meyampaikan pelajarannya di
Masjid Nabawi dan duduk ditengah-tengah para muridnya yang datang dari berbagai penjuru negeri.
Imam Malik menyampaikan ilmunya dengan cara unik yang tidak dimiliki oleh imam lainnya. Keunikan
tersebut terdapat pola pikirnya yang dipengaruhi oleh aktivitas penduduk Madinah.
Kitab-kitab Rujukan
Imam Malik memiliki karya yang cukup banyak, terutama pendapat-pendapatnya yang
dibukukan oleh para muridnya. Namun, dari sekian karyanya itu ada dua karyanya yang sangat
masyhur yang ditulis sendiri olehnya dan menjadi rujukan Madzhab Maliki.
1. Al-Muwaththa’
Kitab Imam Malik yang pertama dan terkenal diberi nama Al-Muwaththa’ atau
Muwaththa’ Malik. Kitab tersebut merupakan kitab hadits dan fiqh yang disusun oleh
Imam Malik. Kitab itu termasuk salah satu Kutubut Tis’ah (sembilan kitab hadits utama
di kalangan Sunni). Kata Al-Muwaththa’ memiliki arti jalan mudah yang disediakan untuk
ibadah. Latar belakang penyusunannya ada dua, yakni karena timbul berbagai pendapat
dari penduduk Irak serta orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan disebabkan
kelemahan ingatan serta riwayat suatu hadits. Imam Malik menulis kitab ini pada zaman
khalifah Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M) dan berhasil disempurnakan pada zaman
khalifah al-Mahdi (775-785 M). Khalifah Harun al-Rasyid pernah mencoba menjadikan
kitab ini sebagai undang-undang resmi kehakiman negara, tetapi Imam Malik idak
berkenan karena tidak ingin mempersulit masyarakat umum dalam memutuskan urusan
mereka.
Dalam menyusun kitab Muwaththa’-nya, Imam Malik tidak memberikan nomor. Di
kemudian hari beberapa pihak menambahkan nomor pada kitab al-Muwaththa' untuk
memudahkan perujukan hadis, sehingga dikenal beberapa penomoran berikut:
a) Penomoran al-Alamiyah (1594)
Penomoran ini diberikan oleh al-Alamiyah, penerbit program komputer
Mausu'ah al-Hadis asy-Syarif (Ensiklopedia Hadis Syarif). Versi online
ensiklopedia ini ada di situs al-islam.com.
b) Penomoran Al-Muwaththa' Imam Malik (1836)
Penomoran ini diberikan oleh Muhammad Ridhwan Syarif Abdullah ketika
mentakhrij dan mentahqiqnya, Penomoran ini banyak digunakan dalam
penulisan kitab, buku, dan artikel keislaman.
c) Penomoran Aisha Abdarahman at-Tarjumana dan Yaqub Johnson
Penomoran ini menurut penomoran pada Translation of Malik's Muwatta,
terjemah Muwaththa Malik dalam Bahasa Inggris oleh Aisha Abdarahman
at-Tarjumana dan Yaqub Johnson. Penomoran ini berturut-turut
menyebutkan nomor kitab, bab, dan hadis (book, section and hadith).

Kitab al-Muwaththa' karya Imam Malik ini adalah kitab yang berisikan hadis – hadis
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, atsar - atsar (perkataan) para sahabat, fatawa
- fatwa para tabi'in. Dia memilahnya dari seratus ribu hadis yang pernah dia
riwayatkan. [Tanwir al-Hawalik hal 8, as-Suyuthi rahimahullah]
Menurut riwayat Yahyah bin Yahyah al-Andalusi hadis yang ada di dalamnya
mencapai 853 hadis. Akan tetapi Imm Abu Bakar al-Abhari berkata: "Jumlah hadis
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, atsar sahabat dan fatawa tabi'in yang ada
dalam kitab al-Muwaththa' adalah 1720 hadis, yang bersanad sebanyak 600, mursal
222, mauquf 613 dan fatawa tabi'in 285." [Tajrid at-Tamhid hal 258 dan Tanwir al-
Hawarik hal 8]
Jumlah hadis dalam kitab al-Muwaththa' Imam Malik ini terkadang berbeda - beda
dikarenakan perbedaan orang yang meriwayatkan dari Imam Malik, dimana Imam Malik
selalu membersihkan dan memperbaiki kitab al-Muwaththa' nya ini, karena dia tetap
menulis dan memperbaikinya selama 40 tahun. [Tanwir al-Hawalik hal 8]
Kitab Al-Muwaththa’ menghimpun berbagai fiqh, disusun dengan urutan fiqh, oleh
sebab itu kitab ini dinilai sebagai kitab hadits fiqh. Kehadiran buku ini telah membuka
cakrawala berpikir umat terhadap bagaimana cara menulis sunnah. Para ulama
berdatangan dari segala penjuru dunia untuk belajar kepada sang imam sehingga
semakin majulah perkembangan ilmu di negeri ilmu ini.
Kitab Al-Muwaththa’ sudah di syarah-i (penjelas) oleh Muhammad Zakaria al-
Kandahlawi dengan judul Aujaz al-Masalik ila Muwaththa’ Malik dan Syarh al-Zarqani.
Sedangkan oleh Jalaluddin ‘Abd al-Rahman as-Suyuthi al-Syafi’i, kitab Imam Malik
tersebut diberi judul Tanwir al-Hawalik Syarh’ala Muwaththa’ Malik.
2. Al-Mudawwanah al-Kubra
Judul asli kitab ini adalah Al-Mudawwanah al-Kubra bi Riwayati Sahnun. Kitab
initermasuk salah satu diantara derab kitab fiqh utama yang menjadi rujukan Madzhab
Maliki. Kitab ini merupakan sebuah kitab fiqh yang isinya sangat lengkap dan padat.
Kitab ini mencakup 90 kitab fiqh yang jika dirinci terdiri dari 4000 hadits, 30.006 atsar,
dan 40.000 masalah, hukum, serta fatwa.
Sebenarnya, kitab Al-Mudawwanah al-Kubra merupakan kitab Al-Asadiyah yang
dinisbatkan kepada Asad bin Al-Furat. Kitab Al-Asadiyah berisi kumpulan masalah-
masalah fiqh yang disusun oleh Asad bin Al-Furat dari hadits maupun sunnah lainnya
yang didapat dari Imam Malik. Setelah Imam Malik wafat, ia melengkapi dan mengkaji
kitab itu kembali bersama Abdurrahman bin al-Qasim juga Sahnun bin Sa’id at-Tanukhi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada empat orang
mujtahid yang terlibat dakam penyusunan kitab Al-Mudawwanah al-Kubra. Dengan kata
lain, kita tersebut mencakup pemikiran fiqh dari empat orang mujtahid yaitu Imam
Malik, Asad bin al-Furat, Abdurrahman bin al-Qasim, dan Sahnun bin Sa‘id. Kitab ini
terdiri dari empat jilid, menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami,
mencakup seluruh permasalahan fikih yang dimulai dari bab wudhu dan ditutup dengan
bab diyat. Melihat kandungan ilmu yang ada di dalamnya, cukup untuk menjadi rujukan
dan pegangan bagi seorang yang bermadzhab Maliki.
Hampir setiap bab dalam kitab ini dimulai dengan pertanyaan tentang suatu
perkara yang kemudian diikuti dengan jawaban, baik dari Imam Malik maupun dari tiga
imam lainnya. Inilah sebabnya, ketika membaca kitab ini, kita seolah menyaksikan tanya-
jawab dan percakapan beberapa orang, bahkan seolah-olah kita menjadi bagian dari
percakapan tersebut.
Banyak ulama madzhab Maliki yang menaruh perhatian dengan menulis syarah
kitab al-Mudawwanah, seperti Imam Ibnu al-Jalab al-Bashri, Imam Abu Muhammad bin
al-Faraj al-Qurthubi, dan yang lainnya. Selain menulis syarah, ada juga ulama yang
meringkasnya, melakukan takhrij hadits-haditsnya, dan melakukan studi ilmiah lainnya.
Selain dua kitab utama tersebut, masih ada banyak kitab lain yang menjadi rujukan Madzhab
Maliki, diantaranya adalah :
1. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid karya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad
bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi
2. Fath al-Rahim ‘ala Fiqh al-Imam Malik bi al-Adillah karya Muhammad bin Ahmad
3. Al-I’tisham karya Abi Ishaq bin Musa al-Syaihibi
4. Mukhtashar Khalil ‘ala Matn al-Risalah li Ibn Abi Zaid al-Qirawani karya Syekh ‘Abd al-
Majid al-Syarnubi al-Azhari
5. Ahkam al-Ahkam ‘ala Tuhfat al-Ahkam al-Syari’iyyah karya Muhammad Yusuf al-Kafi

Perkembangan dan penyebaran Madzhab Maliki


Perkembangan mazhab Maliki tidak bisa lepas dari jasa para murid yang telah meriwayatkan
dan menyebarkan mazhabnya setelah Imam Malik wafat. Mereka berhasil memperluas pembahasan,
manhaj dan perinciannya. Mazhab Maliki tersebar di negeri Hijaz karena di situlah ia lahir dan
berkembang, juga tersebar di Mesir, Tunisia, Aljazair dan Maroko, Torablus, Andalusia dan Sudan dan
dominan di Bashrah dan Baghdad. Kitab al-Muwaṭhṭha’ merupakan salah satu faktor utama bagi
tersebarnya mazhab Maliki.
Murid-murid Imam Malik antara lain:
a. 19 dari kelompok Mesir adalah Abu Abdullah, Abdurrahman bin Qasim (w. 191 H),20 Abu
Muhammad, Abdullah bin Wahb bin Muslim (w. 197 H),21 ‘Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisy
(w. 204), Abu Muhammad, Abdullah bin Abdul Hakam (w. 214 H), Ashbagh bin Faraj (w.
225 H), Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 268 H), Muhammad bin Ibrahim
al-Iskandary bin Ziyad yang dikenal dengan Ibnu Muwwaz (w. 269 H).
b. Dan dari kelompok Maghrib (barat) adalah Abul Hasan, ‘Ali bin Ziyad AlTunisy (w. 183 H),
Abu Abdillah, Ziyad bin Abdirrahman al-Qurthuby (w. 193 H), ‘Isa bin Dinar, al-Qurthuby
al-Andalusy (w. 212 H), Asad bin Farat bin Sinan al-Tunisy (w. 213 H), Yahya bin Yahya
bin Katsit al-Laitsy (w. 234 H), Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman al-Sulamy (w. 238 H),
Sahnun, Abdul al-Salam bin Said al-Tanukhy (w. 240 H).
c. Murid-muridnya yang ada di Hijaz dan Irak adalah Abu Marwan, Abdul Malik bin Abi
Salamah al-Majisyun (w. 212 H), Ahmad bin Mu’adzdzal bin Ghailan al-‘Abdy, Abu Ishaq,
Ismail bin Ishaq al-Qadhy (w. 282 H). Murid Imam malik yang terkenal lainnya, yang
nantinya menjadi tokoh mazhab tersendiri adalah Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i atau
dikenal dengan Imam al-Syafi’i (150-204 H).

Selain karena murid-murid Imam Malik, perkembangan Madzhab Maliki hingga ke luar
Madinah juga disebabkan oleh peran beberapa ulama dan fuqaha.
1. Ulama Pengembang Madzhab Maliki di Afrika dan Andalusia
a. Imam Al-Qurthubi
Salah satu ulama besar dan masyhur yang turut aktif mengembangkan Madzhab Maliki
adalah Imam Al-Qurthubi. Ia adalah seorang imam, ahli Hadits, alim, dan seorang
musafir (penafsir) Al-Qur'an yang terkenal. Ia merupakan seorang ahli tafsir yang
berasal dari Cardova (Spanyol). Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin
Ahmad bin Abu Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi.
Imam Al-Qurthubi termasuk salah satu imam pengikut Madzhab Maliki. Ia telah
melahirkan banyak karya. Adapun kayanya yang paling terkenal adalah sebuah kitab
tafsir Al-Qur'an yang dikenal sebagai Tafsir Al-Qurthubi. Kitab tersebut merupakan
sebuah kitab besar yang terdiri dari 20 jilid. Judul asli kitab Al-Jami Li-ahkam Al-Qur'an
wa al-Mubayyin lima Tadhammanahu Min as-Sunnah Wa Ayi al-Furqan. Didalam ktab
tersebut tidak tercantum kisah-kisah atau sejarah. Imam Al-Qurthubi hanya
menetapkan hukum-hukum al-Qur'an, melakukan istinbath atas dalil-dalil, menyebutkan
berbagai macam Qiraah, i'ran, nasikh, dan manshukh didalamnya. Sehingga, tidak heran
bila kitab tafsir Al-Qurthubi tersebut menjadi salah satu kitab tafsir terbesar sepanjang
sejarah.
Selain tafsir Al-Qur'thubi, karya-karya lain dari imam Al-Qurtubi adalah :
1. Al-Asna fi Syarh Asma'illah al-husna
2. At-Tidzkar fi Afdhal al-Adzkar
3. Syar at-Taqoshishi
4. Qam'al Hirsh bi az-Zuhid wa al-Qana'ah
5. At-Taqrib Likitabi at-Tamhid
6. Al-I'lam biima fi Din an-Nahara min al-Mafasid wa Al-Auham wa Izhharm
Mahasin Din al-Islam
7. At-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa umur al-akhirah (eidisi Indonesia berjudul
buku pintar alam Akhirat
Imam Al-Qurthubi menghabiskan waktunya dengan cara berkelana ke negeri Timur
hingga akhirnya menetap diselatan asyut, Mesir. Disana, waktunya dihabisakan untuk
memberi bimbingan beribadah dan menulis buku. Imam Al-Qurthubi meninggal dunia
pada 9 Syawwal tahun 671 H dan dimakamkan di Mesir.
b. Isa bin Dinar al-Andalusi
Ulama berikutnya yang turut berperan dalam pengembangan madzhab Maliki adalah isa
in dinar al-Andalusi. Nama belakangnya diambil dari nama kota di Spanyol, yaitu
Andalusia, yang merupakan tempat asalnya. Tidak banyak informasi yang memberitakan
tentang sosok ulama ini. Namun, dalam sebuah literatur (1(alsofwah.or.id), disebutkan
bahwa Isa bin Dinar belajar kepada Ibnul Qasim, sehingga menjadi faqih Andaluisa. Ahli
sejarah berkata "isa adalah seorang faqih yang mempuni, ahli ibadah, termasuk ulama
yang takut kepada Allah Ta'ala, berkarya padat, dan doanya mustaja. Ada orang yang
berkata bahwa ia melaksanakan Shalat Subuh dengan Wudhu salah isya selama empat
puluh tahun.
c. Yahya bin Yahya bin Katsir al-Laitsi
Yahya bin Yahya bin Katsir al-Laitsi termasuk salah seorang murid Imam Malik. Ia lebih
dikenal dengan nama Yahya bin Yahya al-Andalusi. Sedangkan nama lengkapnya adalah
Abu Muhammad Yahya al-Yahya bin Litsi bi Katsirbin Qislasen bin Shammal bin Mangaya
al-Andalusi. Ia berasal dari Andalusi. Secara khusus, ia datang ke Madinah untuk
berguru kepada Imam Malik. Ia meupakan seorang pencetak dinar diera Al-Hakim 1 pada
tahun 796-822 dan era Abdurrahman II pada 822-888 M. Ia wafat tahun 846 M.
d. Adul Malik bin Habib bin Sulaiman as-Sulami
Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman as-Sulami juga termasuk salah satu pengembang
Madzhab Maliki. Namun, sampai buku ini ditulis, belum ada sumber yang menceritakan
tentang pribadi Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman as-Sulaim, kecuali penjelasan bahwa
ia termasuk salah satu pengembang Madzhab Maliki
e. Abdul Hasan Ali bin Ziyad at-Tunisi
Seperti profil Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman as-Sulami, infornasu tentang sosok
Abdul Hasan Ali bin Ziyad at-Tunisi juga tidak diketahui secara detail. Tidak ada sumber
yang menceritakan tentang jati dirinya, kecuali dalam yang kitab menyebutkan namanya
sebagai salah satu pengembang Madzhab Maliki di wilayah Afrika dan Andalusia
f. Asad bin Furat
Asad bin Furad adalah seorang panglima muslim terkemuka dan seorang ahli hukum
islam pada abad ke 2 H atau ke 8 M. Ia terkenal sebagai penakluk Sicilia.
g. Abdus Salam bin Said at-Tanukhi
Pengembang Madzhab Maliki sebelumnya adalah Abdus Salam bin Said at-Tanukhi. Tidak
ada catat yang membahas profilnya secara detail. Meski demikian, banyak orang
menyebutkan bahwa ia termasuk salah satu penganut Madzhab Maliki.

2. Para fuqaha Malikiyah yang Terkenal Setelah Generasi Selanjutya


Selain peran para ulama. Madzhab Maliki berkembang menjadi besar juga karena
adanya peran para fuqoha Malikiyah pada generasi selanjutnya. Beberapa fuqoha malikyah
yang tekenal dan berperas petingn dalam pengembangan Mazhab Maliki tersebut
diantaranya, Abdul Walid al-Baji, Abdul Hasa al-Lakhami, Ibnu Rusyd al-Kair, Ibnu Rasyid al-
Hafiz, Ibnu 'Arabi, dan Ibnul Qasim bin Jizzi.

Perkembangan Mazhab Malik di Andalusia


A. Masuk dan Berkembangnya Mazhab Maliki di Andalusia
Kondisi Eropa yang kaya pada masa dinasti Umayyah mendorong dinamika
intelektual yang dinamis, dan bidang yang paling menonjol adalah bidang fikih (Syariah). Di
kawasan ini dikenal dengan banyaknya aliran pemikiran yang diadopsi dari dunia Islam
Timur, seperti pemikiran Sunni, Syiah, Khawarij, dan Mu‟tazilah. Dalam bidang fikih dikenal
dengan istilah mazhab. Beberapa mazhab yang terkenal disana ialah mazhab Zahiri (asal
Spanyol), Maliki (asal Madinah), dan Awza‟i (asal Syria). Sejak masa pemerintahan Amir
Hakam II, mazhab Maliki menjadi mazhab resmi negara, dan melahirkan sejumlah tokoh,
seperti Isa bin Dirar (w.827), Yahya al-Laits (w.847), dan al-Utbi (w. 869). Akan tetapi
mazhab yang lain tidak dilarang dan tetap diperbolehkan sehingga menghasilkan ulama‟
Syafi’iyah dengan karya besarnya, seperti Baqi bin Mukhlad (w.889), dan Ibn Hazm (w.1064)
dari mazhab Zahiri.
Sejarah telah membuktikan bahwa para pemikir dan ulama‟ banyak dipengaruhi
oleh faktor lingkungan sosial budaya dalam menghasilkan karyakarya mereka. Bukti yang
banyak dikenal masyarakat adalah sejarah tentang bagaimana imam Syafi‟i mempunyai qawl
qadim (pendapat lama) dan qawl jadid (pendapat baru). Pendapat lama dinyatakann ketika
beliau berada di Baghdad, dan pendapat baru dikemukakan ketika beliau pindah ke Mesir.
Puluhan bahkan ratusan pendapat imam Syaf’ii dirubah dan diganti dengan
pendapat baru yang lebih sesuai dengan lingkungan sosial budaya barunya. Pernyataan
pendapat lama dan pendapat baru imam Syafii itu banyak dijumpai dalam kitab Tahrir karya
Imam Rafii dan al Minhaj karya imam Nawawi al-Dimsyqi.
Di dalam Tarikh al Tasyri’, juga diuraikan bagaimana Ulama ahli Ra’yi dan ahli al
Hadits berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama ahli Ra’yi dengan
pelopornyua Imam Abu Hanifah berkembang di Kuffah dan Baghdad yang metropolitan,
sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang muncul akibat
kompleksitas kehidupan kota, ditambah kenyataan bahwa Baghdad terletak jauh dari pusat
kota Hadits, yaitu Madinah, maka Imam Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab Fikih
yang lebih mendasarkan kepada Ra‟y (akal) daripada hadits yang tidak masyhur dan tidak
ada Nash dalam Alquran.
Sebaliknya, Imam Malik bin Anas yang hidup di Madinah dimana tingkat
kompleksitas kehidupan masyarakatnya lebih sederhana dan ditambah kenyatan banyaknya
hadits yang beredar dikota cenderung banyak menggunakan hadits, ketimbang rasio atau
akal. Dari sini beliau menghasilkan karya kitab Al-Muwatta yang merupakan buku kumpulan
hadits pertama juga sekaligus dapat disebut sebagai kitab fikih berdasarkan dan merujuk
pada hadits atau riwayat.
Dalam tradisi Islam, sistem hukum semacam itu dikenal dengan sebutan mazhab,
dan seringkali diterjemahkan dalam wacana Barat dengan School of thoughth. Akan tetapi,
istilah mazhab kenyataannya tidak hanya dipakai untuk menunjukkan sistem hukum,
melainkan juga dipakai dalam doktrin. Di kalangan islam sunni, ada beberapa mazhab yang
pernah ada dalam sejarah Islam, tapi yang bertahan ialah empat mazhab, yaitu mazhab
Hanafi, Syafii, Maliki, dan Hanbali.
Demikianlah faktor geografis dan tingkat urbanisme suatu masyarakat telah
mempengaruhi lahirnya berbagai mazhab fikih dalam Islam. Hal itu juga terjadi di Spanyol,
pada abad ke 12 dapat di lihat misalnya di kitab Bidayat al Mujtahid karya Ibn Rusyd yang
sangat dikenal, penulisnya tinggal dikota Cordova, Spanyol yang pada saat itu telah menjadi
kota metropolitan. Ibn Rusyd dinilai sebagai penafsir Aristoteles yang terbesar sepanjang
masa, dan menjadi sumber utama Aristotelianisme Eropa abad pertengahan yang dapat
mempengaruhi jalan pikiran intelektual Eropa dengan sebutan Averroisme Latin.
Sementara Montgomery Watt menyatakan bahwa Ibn Rusyd bukanlah filosof yang
membangun kerangka filsafat tersendiri, namun ia lebih tepat dikatakan sebagai komentator
terbesar atas filsafat Aristoteles dan dialah secara tidak langsung telah menghidupkan
kembali semangat Aristotelian di Eropa yang sebelumnya mengalami stagnan dan
keterbelengguan kekuasaan Gereja. Kompleksitas kehidupan masyarakat Cordova
mendukung tersebarnya banyak mazhab di wilayah ini. Kemajuan dan kegemilangan
intelektual di Andalusia didukung dari beberapa faktor. Kondisi negara yang maju juga
menjadi pendukung penting dalam hal kemajuan intelektual pada masa itu, kemajuan terjadi
di beberapa hal, diantaranya ialah:
o Jalan – jalan kota sudah menggunakan batu dan di lengkapi dengan
lampulampu lentera yang tampak indah pada waktu malam, sedangkan di
London beberapa abad kemudian masih gelap gulita.
o Para Ilmuwan sudah menikmati mandi menggunakan air di rumah-rumah
mewah, sedangkan para guru besar universitas Oxford masih memandang
pemandangan mandi dengan air sebagai kebudayaan penyembah berhala.
o Kebutuhan hidup sudah tercukupi, mulai dari tabib, arsitek, penjahit, hingga
hiburan.
o Cordova terkenal dengan hasil tambang besi dan timah.
o Spanyol juga sudah mengembangkan metode pertanian dari Asia barat
dengan menerapkan irigasi pertanian, sehingga hasil panen semakin
meningkat.
o Masyarakat Andalusia rukun beragama, pemerintah Islam di Spanyol selama
500 tahun mampu mewujudkan kehidupan yang kondusif, hingga disana
memiliki tiga agama yang rukun, agama Islam, Kristen, dan Yahudi.
o Sebagian besar penguasa Andalusia pada saat itu ialah orang – orang yang
cerdik dan cenndekia yang memiliki komitmen untuk membangun budaya
keilmuan dengan memanfaatkan kekayaan alam yang mereka miliki. Dari
faktor-faktor diatas itulah yang membuktikan bahwa para pemikir dan Ulama
banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial dan budaya dalam
menghasilkan karya-karya mereka.

B. Mazhab Maliki sebagai Mazhab Resmi di Andalusia


Imam Malik bin Anas (712-795 M) nama lengkapnya ialah Malik bin Anas bin Malik
bin Abu Amir bin‟Amr al Asbahi al Madani, Imam dar al Hijrah, pendiri mazhab Maliki. Malik
juga biasa dipanggil Abdullah dan Al Asbahi, nama julukan kakeknya. Ibn Abd al Hakam
mengatakan: “ Malik sudah memberikan fatwa bewrsama-sama para gurunya; Yahya bin
Sa‟id, Rabi‟ah dan Nafi‟”. Bahkan menurut Mus‟ab, halqah yang diselenggarakan Malik lebih
besar dari halqah Nafi‟. Malik sendiri mengatakan “jika aku memberi fatwa dan pelajaran,
maka tidak kurang dari 70 ulama ikut menghadirinya”, menurut Malik orang yang benar-
benar ahli Ilmu niscaya dikenal masyarakatnya. Itulah kesaksian para ulama besar,
termasuk para gurunya, mengenai kecerdasan dan kepandaian Imam malik. Kenyataan yang
menunjukkan bahwa Imam Malik memang telah menguasai ilmu pengetahuan sejak masa
mudanya. Selain itu ia juga orang yang rendah hati dan baik, terpercaya dan menguasai ilmu
hukum Islam baik dari Alquran maupun Hadits, Fikih maupun ushulnya, jujur dalam
periwayatan dan otoritatif. Semua orang pada masanya menyepakati hal ini dan banyak
tokoh besar mengikuti pendapat-pendapatnya.
Murid imam Malik dari Andalusia yang paling terkenal ialah Yahya Al-Laits, Nama
sebenarnya adalah Al Haris. Silsilahnya sampai pada Ya’rab bin Qahtan, satu kabilah besar di
Yaman.3 Kakeknya bernama Abu Amir adalah termasuk sahabat besar yang banyak
menemani Nabi Saw. Abu Anas, kakeknya yang terakhir termasuk tokoh besar dikalangan
Tabiin dan termasuk salah seorang yang mengantarkan jenazah Utsman bin Affan ke
persemayaman terakhirnya. 4 Pada saat Laits masih muda, dia pergi menghadiri majlis-
majlis ilmu di kota Mekkah dan di Masjid Nabawi, akhirnya dia bertemu dengan para guru
yang terkenal di kalangan kaum Muslim, orang yang pertama kali ditemuinya adalah Ibnu
Syihab az-Zuhri, ia dianggap sebagai tokoh pertama yang mentadwin Hadits. Pertemuan
Laits dengannya dilakukan dengan teratur dan sering, Laits sering berbicara dan berdebat
dengannya.
Selain itu, salah seorang yang ditemui Laits lainnya adalah Nafi', pelayan Ibnu Umar
r.a. Nafi' merasa cocok dengan Laits. Pertemuan antara keduanya pun sering terjadi, tidak
ada satu malampun yang terlewatkan oleh Laits menemani Nafi' selama di Hijaz. Ia
menghafal Hadits dan fatwa sahabat dari dia dan terkadang ia berdialog dengannya.
Laits juga sering bertemu Imam Malik, mereka sudah terjalin diskusi-diskusi dan
surat-menyurat. Terjalinlah rasa saling hormat dan mencintai di antara keduanya, Imam
Malik terkadang menjadikan Laits sebagai tamu di rumahnya. Dia menyambutnya ketika Laits
datang. Laits mengirim 100 Dinar (sekitar Rp. 200.000.000) untuk Imam Malik setiap
tahunnya. Kemudian sang Imam menulis sepucuk surat kepadanya, "Sungguh kami memiliki
hutang," dan Malik pun mengembalikan 500 Dinar (sekitar Rp. 1.000.000.000) kepadanya.
Imam Malik tak akan meminta bantuan kepada Laits dan tak akan menulis untuknya
masalah-masalahnya, kecuali kalau keduanya memiliki hubungan erat. Ketika Laits pulang ke
Mesir, suratlah yang mengubungkan ia dengan sang Imam. Suatu ketika Laits
mengundangnya untuk ke Mesir, namun Malik tak dapat memenuhi undangannya. Laits sudah
terbiasa mengunjungi Imam Malik di Madinah jika ia umrah, berhaji, atau ziarah ke Masjid
Nabawi. Selain Imam Malik, imam mazhab yang dikunjungi Laits di Madinah adalah Imam Abu
Hanifah, dan Imam Syafi'i.
Laits juga bertemu Al-Mahdi, Khalifah Abbasiyah waktu itu. Ia mulai bertemu di
Baghdad. Khalifah sangat kagum dengan kepandaian Laits. Ia pernah ditawari menjadi Qadhi,
namun Laits meminta maaf karena menolak tawaran tersebut dan Khalifah pun
memaafkannya. Ia juga bertemu Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Menurut Mun’im A Sirry, Malik bin Anas ialah Imam Tradisionalis. Sepanjang
hidupnya dilalui di Madinah dan sepanjang riwayat yang ada ia tidak pernah meninggalkan
kota itu. Karena itu ia hidup sesuai dengan lingkungan masyarakat Madinah dan Hijaz, suatu
kehidupan yang sederhana dan jauh dari pengaruh kebudayaan dan berbagai
problematikanya. Imam Malik memulai mengembangkan pengetahuannya melalui pengajian
sendiri di masjid Madinah, pada usia tujuh belas tahun. Imam Syafi‟i (pendiri mazhab Syafi‟i)
juga pernah berkata, “Malik adalah hujjatullah (pegangan Allah) atas makhluk-makhluknya.
Laits, muridnya, juga pernah menceritakan pertemuannya dengan Malik di Madinah.
“saya melihat anda menyeka keringat?” tanya laits
“ya saya berkeringat bersama Abu Hanifah. Dia betul-betul ahli fikih.” Jawab Malik.
Laits bin Sa‟ad juga datang menemui Abu Hanifah. “ Malik menyambut baik
pendapat anda,” kata laits.
Saya belum pernah menjumpai seseorang yang mampu memberi jawaban jitu dan
kritik menukik seperti Malik,” jawab Abu Hanifah, menimpali. Masih banyak lagi pendapat-
pendapat tokoh besar pada masa itu terhadap keluasan ilmu Imam Malik bin Anas.
Pada masa Hisyam ibn Abdurrahman, mazhab Maliki tersebar luas. Sebelum itu
penduduk Andalusia menganut mazhab Imam al Awzai (w.beirut,774M). Menurut al Maqarri di
Nafh at Thib, “pada masa Hisyam, banyak penduduk Andalusia pergi berhaji ke Makkah dan
bertemu dengan Imam Malik. Setelah pulang ke Andalusia, mereka menceritakan keutamaan,
keluasan ilmu, dan kedudukan tinggi sang imam. Semenjak itulah ilmu dan pendapat Imam
Malik tersebar luas di Andalusia. Pada masa ini juga Amir Hisyam melakukan penaklukan atas
pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di wilayah kekuasaannya.
Masa pemerintahan Amir Hisyam terkenal dengan keamanan dan ketertiban hukum
yang benar-benar terjamin sepenuhnya. Hukum pemerintahan yang teratur ditambah
dengan suatu mazhab hukum. Hukum itu dibawa dan dikembangkan oleh para pengikutnya
dan merupakan mazhab hukum yang pertama didalam sejarah Islam.
Ibn Khaldun, seorang sosiolog Muslim menguraikan bahwa tersebarnya mazhab
Maliki di Maroko dan Andalusia (Spanyol) menguatkan kenyataan bahwa Imam malik
cenderung memakai Hadits dan menjauhi sampai batas tertentu penggunaan rasio.
Mazhab Maliki lebih banyak dianut oleh bangsa Maroko dan Andalusia. Sekalipun
mazhab ini ditemukan pula di bangsa-bangsa lain, namun ia hanya diikuti oleh sebagian kecil
masyarakat saja. Hal ini disebabkan orang-orang Maroko dan Andalusia seringkali
melakukan perjalanan jauh dan sebagian besar dilakukan ke wilayah Hijaz, sedang Madinah
pada waktu itu merupakan gudang ilmu Islam. Dengan begitu mereka praktis hanya
mempelajari ilmu pengetahuan dari ulama-ulama dan guru-guru di Madinah, yaitu Imam
Malik serta guru-guru dan muridmuridnya. Orang-orang Maroko dan Andalusia itu selalu
datang kepada Imam Malik dan menjadi pengikut-pengikutnya. Kehidupan nomaden
merupakan bagian dari kehidupan kedua bangsa itu. Mereka tidak mengenal banyak budaya
seperti bangsa Irak.
Setelah mazhab Maliki berhasil berkembang di Andalusia, beberapa pemikir baru
pun muncul, seperti tokoh Muhammad Ibn Tumart sangat tidak menyetujui ajaran-ajaran
agama yang dilaksanakan oleh Ibn Tasyfin, yang sangat tidak menyetujui adalah keketatan
Ibn Tasyfin dalam melaksanakan Mazhab Fikih Imam Malik dan pelajaran-pelajaran cabang
Syari‟at yang berdasarkan uraian-uraian para ulama terutama yang sama sekali tidak dapat
diterima oleh Ibn Tumart, soal yang berkaitan dengan pemahaman tentang Imam, yang oleh
Ibn Tasyfin hanya diambil begitu saja dari rumus-rumus alQur‟an, Hadits dan ilmu Fikih.
Pendek kata Ibn Tumart berpendapat bahwa sumber-sumber ajaran agama harus dipahami
sedalam-dalamnya. Selain itu Ibn Tumart juga tidak dapat menerima kalau al-Qur‟an
dipahami secara harfiah, seperti yang diajarkan oleh kaum Murabithun.
Dari kejadian itulah mulailah Ibnu Tumart mengkritik dan mencela perbuatan raja-
raja Murabithun yang tidak sesuai dengan syara‟ agama Islam, yang menurut fahamnya
tidak lagi menuruti Sunnah Rasulullah Saw, sehingga orang-orang yang awam lekas percaya
pada perkataannya. Ibn Tumart menganggap bahwa kaum Murabithun tidak mengimani ke-
Esaan Tuhan semurni-murninya.

Perbandingan Mazhab Maliki dengan Mazhab yang lain


 Niat
Permasalahan niat dalam berwudhu, mazhab Maliki, Syafi’i, Ahmad, dan
Abu Dawud berpendapat bahwa niat itu adalah syarat. Sedangkan menurut mazhab
Abu Hanifah dan Tsauri niat itu tidak termasuk syarat.
Sebab perselisihan mereka berpangkal dari ketidakjelasan keberadaan
wudhu sebagai ibadah mahdhah (tidak dapat dirasionalkan) yang hanya bermaksud
untuk taqarub kepada Allah swt, seperti sholat dan lainnya. Para ulama sepakat
bahwa ibadah mahdhah itu harus disertai niat dan sebaliknya. Dalam hal ini, wudhu
berada diantara kedua ibadah tersebut yaitu dapat dikategorikan mengandung
aspek ibadah mahdhah dan kebersihan juga.
 Mencuci tangan sebelum dimasukkan ke tempat air wudhu
Menurut mazhab Maliki dan Syafi’i mencuci tangan sebelum dimasukkan
ke dalam tempa air wudhu itu mutlak sebagai sunnah wudhu. Dan menurut mazhab
Maliki bahwa itu mustahab (dianjurkan) bagi orang yang ragu akan kesucian
tangannya. Dan menurut Abu Dawud dan para pengikutnya mengatakan bahwa
mencuci tangan itu wajib bagi orang yang bangun tidur. Sedangkan menurut
mazhab Ahmad mencuci tangan itu wajib bagi orang yang bangun tidur malam dan
tidak wajib bagi yang bangun tidur siang.
Dapat disimpulkan bahwa hukum mencuci tangan sebeluum dimasukkan
ke tempat air wudhu itu ada empat, sunnah secara mutlak, sunnah bagi orang-
orang yang ragu, wajib bagi orang yang bangun tidur, dan wajib bagiorang yang
bangun tidur pada malam hari.
Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan dalam memahami hadits
shahih riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka hendaklah ia
membasuh tangannya sebelum memasukkan ke dalam air, karena ia tidak tahuu
dimana tangannya bersarang”.
 Batas kepala yang diusap
Menurut madzhab Maliki berpendapat bahwa sesungguhnya yang wajib diusap
adalah seluruh kepala. Sedangkan menurut Syafi’i berpendapat bahwa yang wajib
dibasuh adalah sebagian dari kepala. Menurut madzhab Hanifah seperempat dari
kepala yaitu seperti lebar telapak tangan pada waktu mengusap kepala. Menurut
madzhab Hanbali adalah seluruh kepala dengan telinga. Dan menurut kelompok
Syi’ah yaitu madzhab Ja’fari sebagian kepala depan.
Perbedaan ini bertitik tolak dari perbedaan pemahaman arti ganda (isytirak) huruf
“ba” dalam bahasa Arab. Kadang-kadang huruf “ba” berfungsi sebagai huruf zaidah
(tambahan/pelengkap) dan kadang-kadang mengandung arti tab’idh (sebagian)
 Batas minimal jamaah dalam sholat Jum’at
Menurut madzhab Maliki jumlah jamaah boleh dibawah 40 orang laki-laki
tetapi tidak boleh hanya 3 atau 4 orang saja. Menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali
batas minimalnya adalah 40 orang. Menurut madzhab Hanafi mengatakan tiga
makmum dan seorang imam.
 Batalnya wudhu karena menyentuh wanita
Menurut mdazhab Maliki dan mayoritas pengikutnya jika persentuhan itu
menimbulkan kenikmatan, maka membatalkan wudhu dan tidak dipertimbangkan
apakah persentuhan itu menggunakan pelapis atau tidak. Menurut madzhab Syafi’i
meneyentuh atau meraba wanita secara langsung tanpa pelapis itu membatalkan
wudhu. Menurut madzhab Hanafi menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu.
Perbedaan ini, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab
Bidayatul Mujtahid berawal dari perbedaan dalam memahami makna “َ‫سا َء‬ َ ِّ‫ََل َم ْست َُُم الن‬
َ ‫”وَأ‬ َ ِّ‫”وَأ َ ََل َم ْست َُم الن‬
ْ dalam surah al-Maidah ayat 6. Dalam bahasa Arab, kata “َ‫سا َء‬ ُ ْ
merupakan lafadh yang musytarak, yaitu lafadh yang dibentuk dengan memiliki
makna yang bermacam-macam. Ulama yang mengartikan al-lamsu dengan
“menyentuh”, menyatakan bahwa persentuhan kulit lawan jenis membatalkan
wudhu, sedangkan ulama yang mengartikannya dengan “berhubungan badan”,
menyatakan bahwa persentuhan saja tidak membatalkan wudhu, sebab yang
membatalkan adalah berhubungan badan.
 Aurat wanita
Menurut madzhab Maliki aurat wanita ketika berada dihadapan lelaki
asing adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan. Ketika
dihadapan mahram adalah seluruh tubuh kecuali muka, leher, kepala, kedua belah
tangan dan kdua belah kaki. Tetapi jika dikhawatirkan menimbulkan syahwat maka
hukumnya haram. Untuk seama wanita, mereka boleh dilihat selain yang berada
dipusar dan lutut.
Menurut madzhab Syafi'i aurat wanita adalah seluruh tubuhya kecuali
wajah dan kedua telapak tangan, baik telapak tangan bagian belakang atau bagia
ndalam yang meliputi ujung jari hingga pergelangan tangan.
Menurut madzhab Hanafi aurat wanita adalah seluruh anggota tubuh
hingga sampai rambutnya yang terurai, kecuali muka, kedua telapak tangan, dan
kedua telapak kaki (pergelangan hingga ujung kaki), baik bagian luar telapak kaki
atau telapak tangan itu maupun bagian dalamnya
Menurut madzhab Hambali Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali
muka. Tetapi menurut pendapat yang rajih dikalangan ulama, kedua telapak tangan
juga tidak termasuk aurat.

 Hukum memakai cadar


Menurut madzhab Maliki berpendapat bahwa dimakruhkan wanita
memakai cadar—artinya menutupi wajahnya sampai mata—baik dalam shalat
maupun di luar shalat atau karena melakukan shalat atau tidak karena hal itu
termasuk berlebihan (ghuluw). Dan lebih utama cadar dimakruhkan bagi laki-laki
kecuali ketika hal itu merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya, maka
tidak dimakruhkan ketika di luar shalat. Adapun dalam shalat maka dimakruhkan.
Mereka menyatakan bahwa wajib menutupi kedua telapak tangan dan wajah bagi
perempuan muda yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah, apabila ia adalah
wanita yang cantik, atau maraknya kebejatan moral,” (Lihat Al-Mawsu’atul
Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI,
halaman 134).
Menurut madzhab Syafi'i berpendapat aurat wanita didepan lelaki-laki
bukan mahram adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita
memakai cadar dihadapan laki-laki bukan mahram. Pendapat lain (qila) menyatakan
hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla,” (Lihat Al-
Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul
Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).
Menurut madzhab Hanafidi zaman kita sekarang wanita muda (al-mar`ah
asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki. Bukan karena
wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk mengindari fitnah,” (Lihat
Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul
Islamiyyah, juz XLI, halaman 134).
Menurut madhzab Hambali berpendapat sebagian tubuh wanita adalah
aurat, termasuk pula kukunya. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai
cadar.
 Hukum jual beli oleh anak kecil
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i Jual beli yang dilakukan oleh anak
kecil tidak sah.
Menurut madzhab Hanafi dan Hambali Jual beli yang dilakukan oleh anak
kecil sah jika mereka sudah mumayyiz (dapat membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk) dan mendapatkan izin dari walinya.
 Hukum jual beli yang dipaksakan
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali proses jual beli yang
dilakukan dengan cara dipaksakan hukumnya tidak sah.
Menurut madzhab Hanafi Proses jual beli yang dilakukan dengan cara
dipaksakan hukumnya sah.

Anda mungkin juga menyukai