Haptun
Haptun
OLEH/STB:
Ivan Caesar
Saputra /
0402017025
4UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
FAKULTAS
HUKUM
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Dasar peradilan dalam UUD 1945 dapat ditemukan dalam pasal 24 yang menyebutkan:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Sebagai pelaksanaan Pasal 24 UUD 1945, dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 14
Tahun Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 ayat
(1) disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu badan peradilan khusus yang berada di
bawah Mahkamah Agung, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana di ubah dengan Undang-undang nomor 9 tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan
di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara.
Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan
mengadili. Peradilan Tata Usaha Negara akan menyelesaikan sengketa yang terjadi di
dalam lingkungan administrasi itu sendiri.
Untuk itu, pemakalah akan menguraikan mengenai kewenangan pengadilan Tata Usaha
Negara dan Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara.
Secara ringkas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah, sebagai berikut:
1. Apa tujuan didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara?
2. Bagaimana PTUN menyelesaikan sengketa yang terjadi di lingkungan TUN?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara
Prof. Ir. S. Prajudi Atmosudirdjo, SH memberikan pengertian Peradilan Tata Usaha Negara
dalam arti luas dan dalam arti sempit.
1) Dalam arti luas
“Peradilan yang menyangkut Pejabat-pejabat dan Instansi-instansi Administrasi Negara,
baik yang bersifat perkara pidana, perkara perdata, perkara agama, perkara adat, dan
perkara administrasi Negara.”
2) Dalam arti sempit
“Peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi negara murni semata-mata.”
B. Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara
Fungsi hukum ialah menegakkan kebenaran untuk mencapai keadilan. Keadilan adalah
merupakan hal yang pokok bagi manusiadalam hidup bermasyarakat, maka dibutuhkan
adanya lembaga-lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan ini.
Keadilan ini dituntutkan untuk semua hubungan masyarakat, hubungan-hubungan yang
diadakan oleh manusia dengan menusia lainnya, oleh karena itu berbicara tentang keadilan
meliputi segala kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain.
Keadilan ini erat hubungannya dengan kebenaran, karena sesuatu yang tidak benar tidaklah
mungkin adil. Sesuatu itu benar menurut norma-norma yang berlaku akan tercapailah
keadilan itu. Juniarto, SH mengemukakan ada 4 macam kebenaran untuk mencapai
keadilan.
1) Kebenaran di dalam menentukan norma-norma hukum yang berlaku agar sesuai dengan
rasa kebenaran yang hidup dalam masyarakat.
2) Kebenaran berupa tindakan-tindakan dari setiap anggota masyarakat dalam melakukan
hubungan agar sesuai dengan norma-norma hukumya berlaku.
3) Kebenaran dalam mengetahui fakata-fakta tentang hubungan-hubungan yang
sesungguhnya terjadi sehingga tidak ada penambahan atau pengurangan maupun
penggelapan daripadanya.
4) Kebenaran di dalam memberikan penilaian terhadap fakta-faktanya terhdap norma-
norma hukum yang berlaku.
Demikian empat kebenaran yang harus diperhatikan dalam rangka mencapai keadilan.
Prof. Ir. S. Prajudi Atmosudirdjo, SH, mengatakan bahwa tujuan daripada Peradilan Tata
Usaha Negara adalah untuk mengenbangkan dan memelihara Administrasi Negara yang
tepat menurut hukum (rechtmating) atau tepat menurut undang-undang (wetmatig).
Pemakalah sendiri berpendapat bahwa Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul antara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dengan
warga masyarakat oleh akibat pelaksanaan atau penggunaan wewenang pemerintah yang
dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan benturan
kepentingan, perselisihan, atau sengketa dengan warga masyarakat.
C. Karakteristik dan Prinsip-prinsip Peradilan Tata Usaha Negara
Ciri khas hukum acara Peradilan tata usaha negara terletak pada asas-asas hukum yang
melandasinya. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa barangkali tidak berlebihan apabila
dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum. Kita
menyebutnya demikian oleh karena; pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa
dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak
disebut sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan
hukum. Selanjutnya Satjipto Rahardjo menambahkan bahwa dengan adanya asas hukum,
hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh
karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.
Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Bruggink memberikan definisi asas hukum adalah
pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing
dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang
berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat
dipandang sebagai penjabarannya.
Dengan didasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka secara garis
besarnya kita dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat dalam Hukum Acara
Peradilan tata Usaha Negara:
1. Asas Praduga rechtmatig. (Pasal 67 ayat (1) UU PTUN)
2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha
negara (KTUN) yang dipersengketakan. (Pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a)
3. Asas para pihak harus didengar .
4. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945 jo
Pasal 4 UU 14/1970)
5. Asas peradilan dilakukan dengan sederahana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU 14/
1970)
6. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim
mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan dinyatakan tidak
diterima atau tidak berdasar yang dilengakapi dengan pertimbangan-pertimbangan (Pasal
62 UU PTUN), dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat
kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN).
Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan guna
memperoleh suatu kebenaran materil dan untuk itu UU PTUN mengarah kepada
pembuktian bebas .Bahkan, jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat
memperoleh informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan badan
atau pejatan TUN sebagai pihak tergugat itu untuk memberikan informasi atau yang
diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN).
7. Asas sidang terbuka untuk umum. (Pasal 17 dan Pasal 18 UU 14/1970 jo Pasal 70 UU
PTUN).
8. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah yaitu
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PT TUN), dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya asas ini,
maka kesalahan dalam keputusan pengadilan yang lebih rendah dapat dikoreksi oleh
Pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum
tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada PT TUN dan kasasi kepada MA.
Sedangkan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan
upaya hukum permohonan peninjuan kembali kepada MA.
9. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. (Pasal 78 dan
pasal 79 UU PTUN).
10. Asas Obyektivitas.
a. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang
menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa
suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat)
berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.
Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal
54 :
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Untuk saat sekarang PTUN masih terbatas sebanyak 26 dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PT.TUN) ada 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar di seluruh
wilayah Indonesia, sehingga PTUN wilayah hukumnya meliputi beberapa kabupaten dan
kota. Seperti PTUN Medan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi Sumatera Utara
dan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi provinsi-provinsi yang ada di Sumatera.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para
pihak, yakni pihak Penggugat dan Tergugat.
Dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan gugatan dapat
diajukan kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) tergugat. Apabila tergugatnya lebih
dari satu, maka gugatan dapat diajukan keapda PTUN dari tempat kedudukan salah satu
tergugat. Gugatan juga dapat diajukan melalui PTUN tempat kedudukan penggugat untuk
diteruskan kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) dari tergugat. PTUN Jakarta,
apabila penggugat dan tergugat berdomisili di laur negri. Sedangkan apabila tergugat
berkedudukan di dalam negeri, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat
kedudukan tergugat.
b. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk
mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Kompetensi absolut
PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik
di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
b. Tergugat
Dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan
pengertian Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya,
yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Yang dimaksud dengan badan atau pejabat tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 2 UU
No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan, “Badan atau Pejabat tata usaha
negara adalah pejabat yang melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
c. Pihak Ketiga yang berkepentingan
Dalam Pasal 83 UU No. 5 / 1986 jo UU No. 9/ 2004 disebutkan :
(1). Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam
sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa
sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat
masuk dalam sengketa tata usaha negara, dan bertindak sebagai:
- pihak yang membela haknya, atau
- peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
(1) Indonesia sebagai Negara Hukum, menjamin hak Asasi Manusia tiap-tiap
penduduknya. termasuk dalam hal administrasi Negara. Pemerintah sebagai aparat yang
melaksanakan kegiatan administrasi di Negara ini, tidak menutup kemungkinan untuk
melakukan penyelewengan-penyelewengan kekuasaan, sehingga merugikan masyarakat
Indonsia. Untuk itu, Pemerintah berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU
No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144
diberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan
oleh penguasa.
(2) Sengketa tata usaha Negara yang terjadi di lingkungan administrasi, baik itu sengketa
intern, yang menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam
satu departemen atau suatu departemen dengan departemen yang lain dan sengketa ekstern
yakni perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi Negara dengan
rakyat. Maka, sengketa ini diselesaikan melalui upaya administrative, yang mana upaya
administratif in berdasarkan penjelasan Pasal 48 disebutkan bahwa itu merupakan suatu
prosedur yang ditempuh oleh seseorang atau badan hokum yang merasa tidak puas
terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
B. Saran
Untuk menciptakan Negara Indonesia yang dapat menjamin kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya, hendaknya kinerja dari Pengadilan Tata Usaha Negara ini lebih
ditingkatkan. Mengingat saat ini, keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang begitu
menjadi sorotan masyarakat, padahal penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh
aparat pemerintahan sering terjadi, yang tentunya penyelewengan-penyelewengan itu
merugikan masyarakat luas.
Dan diharapkan pula pada pemerintah, agar dalam melaksanakan kewajibannya dalam hal
administrasi Negara agar lebih jujur dan bersih, sehingga Negara Indonesia ini menjadi
Negara yang mendapat ancungan jempol dari Negara-negara berkembang lainnya.