Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara
BAB I
PENDAHULUAN
Dasar peradilan dalam UUD 1945 dapat ditemukan dalam pasal 24 yang menyebutkan:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Sebagai pelaksanaan Pasal 24 UUD 1945, dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 14 Tahun
Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 ayat (1)
disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian penyelenggaraan peradilan tata usaha negara di Indonesia merupakan suatu
kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara
maksimal.
Indonesia sebagai negara hukum tengah berusaha meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh
warganya dalam segala bidang. Kesejahteraan itu hanya dapat dicapai dengan melakukan
aktivitas-aktivitas pembangunan di segala bidang. Dalam melaksanakan pembangunan yang
multi kompleks sifatnya tidak dapat dipungkiri bahwa aparatur pemerintah memainkan peranan
yang sangat besar. Konsekuensi negatif atas peran pemerintah tersebut adalah munculnya
sejumlah penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi, penyalahgunaan kewenangan,
pelampauan batas kekuasaan, sewenang-wenang, pemborosan dan sebagainya. Penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja.
Disamping itu, juga diperlukan sarana hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi
rakyat.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 dapat disebut Undang-undang
Peradilan Administrasi Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum terhadap warga
masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui 3 badan, yakni
sebagai berikut:
a. Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administratif.
b. Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9
Tahun 2004 tentang Peradilan Tara Usaha Negara (PTUN).
c. Peradilan Umum, melaui Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Melihat betapa pentingnya peran Peradilan Tata Usaha negara dalam menciptakan Negara
Indonesi ayang adil dan sejahtera, pemakalah tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dengan membuat makalah yang berjudul: “Peradilan
Tata Usaha Negara”
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu badan peradilan khusus yang berada di bawah
Mahkamah Agung, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara sebagaimana di ubah dengan Undang-undang nomor 9 tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam
Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili.
Peradilan Tata Usaha Negara akan menyelesaikan sengketa yang terjadi di dalam lingkungan
administrasi itu sendiri.
Untuk itu, pemakalah akan menguraikan mengenai kewenangan pengadilan Tata Usaha Negara
dan Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara.
Secara ringkas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah, sebagai berikut:
1. Apa tujuan didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara?
2. Bagaimana PTUN menyelesaikan sengketa yang terjadi di lingkungan TUN?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara
Prof. Ir. S. Prajudi Atmosudirdjo, SH memberikan pengertian Peradilan Tata Usaha Negara
dalam arti luas dan dalam arti sempit.
1) Dalam arti luas
“Peradilan yang menyangkut Pejabat-pejabat dan Instansi-instansi Administrasi Negara, baik
yang bersifat perkara pidana, perkara perdata, perkara agama, perkara adat, dan perkara
administrasi Negara.”
2) Dalam arti sempit
“Peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi negara murni semata-mata.”
Kepada lembaga-lembaga yang bertugas untuk menetapkan keadilannya atau dengan perkataan
lain bertugas memberi kontrol, meminta pertanggungjawaban dan memberikan sanksi-sanksinya,
maka tindakan pertama yang harus diperhatikan ialah mencari kebenaran tentang fakta-fakta.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu lembaga yang bertugas menyelenggarakan
keadilan ini juga harus memperhatikan kebenaran-kebenaran tersebut untuk mencapai keadilan.
Demikian pula para anggota yang duduk dalam lembaga ini harus mempunyai keadilan khusu
untuk itu dan terutama sekali mempunyai pengetahuan hukum yang cukup luas.
Prof. Ir. S. Prajudi Atmosudirdjo, SH, mengatakan bahwa tujuan daripada Peradilan Tata Usaha
Negara adalah untuk mengenbangkan dan memelihara Administrasi Negara yang tepat menurut
hukum (rechtmating) atau tepat menurut undang-undang (wetmatig).
Pemakalah sendiri berpendapat bahwa Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul antara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga
masyarakat oleh akibat pelaksanaan atau penggunaan wewenang pemerintah yang dilakukan oleh
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan benturan kepentingan, perselisihan, atau
sengketa dengan warga masyarakat.
C. Karakteristik dan Prinsip-prinsip Peradilan Tata Usaha Negara
Ciri khas hukum acara Peradilan tata usaha negara terletak pada asas-asas hukum yang
melandasinya. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa barangkali tidak berlebihan apabila
dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum. Kita menyebutnya
demikian oleh karena; pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada
asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan
lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Selanjutnya Satjipto
Rahardjo menambahkan bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan
peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan
tuntutan-tuntutan etis.
Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Bruggink memberikan definisi asas hukum adalah
pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing
dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang
berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang
sebagai penjabarannya.
Dengan didasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka secara garis besarnya
kita dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan tata
Usaha Negara:
1. Asas Praduga rechtmatig. (Pasal 67 ayat (1) UU PTUN)
2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara
(KTUN) yang dipersengketakan. (Pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a)
3. Asas para pihak harus didengar .
4. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 4
UU 14/1970)
5. Asas peradilan dilakukan dengan sederahana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU 14/ 1970)
6. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim
mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan dinyatakan tidak
diterima atau tidak berdasar yang dilengakapi dengan pertimbangan-pertimbangan (Pasal 62 UU
PTUN), dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas,
sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN). Dengan demikian asas ini
memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran
materil dan untuk itu UU PTUN mengarah kepada pembuktian bebas .Bahkan, jika dianggap
perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi atau data yang diperlukan,
maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejatan TUN sebagai pihak tergugat itu untuk
memberikan informasi atau yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN).
7. Asas sidang terbuka untuk umum. (Pasal 17 dan Pasal 18 UU 14/1970 jo Pasal 70 UU PTUN).
8. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah yaitu
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT
TUN), dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya asas ini, maka
kesalahan dalam keputusan pengadilan yang lebih rendah dapat dikoreksi oleh Pengadilan yang
lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan
upaya hukum banding kepada PT TUN dan kasasi kepada MA. Sedangkan terhadap putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum permohonan
peninjuan kembali kepada MA.
9. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. (Pasal 78 dan pasal 79
UU PTUN).
10. Asas Obyektivitas.
a. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi
kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu
sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di
salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.
Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 54 :
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Untuk saat sekarang PTUN masih terbatas sebanyak 26 dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PT.TUN) ada 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar di seluruh
wilayah Indonesia, sehingga PTUN wilayah hukumnya meliputi beberapa kabupaten dan kota.
Seperti PTUN Medan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi Sumatera Utara dan
PT.TUN wilayah hukumnya meliputi provinsi-provinsi yang ada di Sumatera.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak,
yakni pihak Penggugat dan Tergugat.
Dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan gugatan dapat
diajukan kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) tergugat. Apabila tergugatnya lebih dari
satu, maka gugatan dapat diajukan keapda PTUN dari tempat kedudukan salah satu tergugat.
Gugatan juga dapat diajukan melalui PTUN tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan
kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) dari tergugat. PTUN Jakarta, apabila penggugat dan
tergugat berdomisili di laur negri. Sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri,
maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan tergugat.
b. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk
mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Kompetensi absolut PTUN
adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang
atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No.
5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
Adapun yang menjadi pangkal sengketa TUN adalah akibat dari dikeluarkannya KTUN.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PTUN yang dimaksud dengan KTUN adalah:
“Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berisi
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang
atau Badan Hukum Perdata.
b. Tergugat
Dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan pengertian
Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan
wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau
badan hukum perdata.
Yang dimaksud dengan badan atau pejabat tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 5
Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan, “Badan atau Pejabat tata usaha negara adalah
pejabat yang melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
c. Pihak Ketiga yang berkepentingan
Dalam Pasal 83 UU No. 5 / 1986 jo UU No. 9/ 2004 disebutkan :
(1). Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam
sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa
sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat
masuk dalam sengketa tata usaha negara, dan bertindak sebagai:
- pihak yang membela haknya, atau
- peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa
G. Jalur Penyelesaian Sengketa TUN
Pasal 48 UU No 5 Tahun 1986 tentang UU PTUN menyebutkan:
1) Dalam suatu badan atau pejabat tata usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha
Negara tertentu, maka sengketa tata usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia.
2) Pengadila baru berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika selutuh upaya administratif yang bersangkutan
telah digunakan.
Dengan demikian upaya administatif itu merupakan prosedur yang digunakan dalam suatu
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaiakan sengketa TUN yang dilakssanakan di
lingkungan pemerintah sendiri (bukan oleh peradilan yang bebas).yang terdiri dari prosedur
keberatan dan prosedur banding administratif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
(1) Indonesia sebagai Negara Hukum, menjamin hak Asasi Manusia tiap-tiap penduduknya.
termasuk dalam hal administrasi Negara. Pemerintah sebagai aparat yang melaksanakan kegiatan
administrasi di Negara ini, tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penyelewengan-
penyelewengan kekuasaan, sehingga merugikan masyarakat Indonsia. Untuk itu, Pemerintah
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 diberikan perlindungan hukum terhadap warga
masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa.
(2) Sengketa tata usaha Negara yang terjadi di lingkungan administrasi, baik itu sengketa intern,
yang menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu
departemen atau suatu departemen dengan departemen yang lain dan sengketa ekstern yakni
perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat.
Maka, sengketa ini diselesaikan melalui upaya administrative, yang mana upaya administratif in
berdasarkan penjelasan Pasal 48 disebutkan bahwa itu merupakan suatu prosedur yang ditempuh
oleh seseorang atau badan hokum yang merasa tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha
Negara.
B. Saran
Untuk menciptakan Negara Indonesia yang dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan
rakyatnya, hendaknya kinerja dari Pengadilan Tata Usaha Negara ini lebih ditingkatkan.
Mengingat saat ini, keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang begitu menjadi sorotan
masyarakat, padahal penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan
sering terjadi, yang tentunya penyelewengan-penyelewengan itu merugikan masyarakat luas.
Dan diharapkan pula pada pemerintah, agar dalam melaksanakan kewajibannya dalam hal
administrasi Negara agar lebih jujur dan bersih, sehingga Negara Indonesia ini menjadi Negara
yang mendapat ancungan jempol dari Negara-negara berkembang lainnya.