Anda di halaman 1dari 12

EVALUASI TEORI CANNON

FIGHT OR FLIGHT RESPONSE TO STRESS

Tugas UTS Mata Kuliah Pengelolaan Stress A-1

Disusun oleh :
Desy Putri Pertiwi 111611133148

Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga
Surabaya
2019
BAB I
DESKRIPSI KONDISI SITUASI STRESS

Pada mahasiswa program sarjana, skripsi atau karya ilmiah merupakan karya
ilmiah yang ditulis pada akhir masa studinya berdasarkan hasil penelitian, atau
kajian kepustkaa, atau pengembangan terhadap suatu masalah yang terjadi
dilapangan dan dilakukan secara seksama (Darmono & Hasan, 2002). Menurut
Poerwodarminto, skripsi merupakan karya ilmiah yang wajib dan menjadi bagian
dari persyaratan akademis di perguruan tinggi dan kemudian menjadi salah satu
prasyarat bagi mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjana (Poerwodarminto,
1986).
Pengerjaan skripsi dapat dikatakan cukup rumit dan panjang, yang dimana
proses penngerjaannya membutuhkan biaya, tenaga, waktu, dan perhatian yang
tidaklah sedikit. Pada umumnya, seorang mahasiswa diberikan waktu pengerjaan
skripsi yaitu dalam jangka satu semester atau selama enam bulan namun, kenyataan
di lapangan ialah banyak terdapat mahasiswa yang membutuhkan waktu pengerjaan
skripsi yaitu lebih dari enam bulan (Darmono & Hasan, 2002). Kesulitan yang
dihadapi oleh mahasiswa dalam penyusunan skripsi dapat mengakibatkan
gangguan psikologis pada mahasiswa yang sering dirasakan sebagai suatu beban
yang berat dan kemudian berkembang menjadi sikap yang negatif dan juga
menimbulkan rasa cemas (Hidayat, 2008).
Harapan dari seorang mahasiswa ialah untuk dapat menyelesaikan studinya di
perguruan tinggi pada semester delapan atau selama empat tahun namun tidak
semua mahasiswa dapat menyelesaikan penyusunan skripsi tersebut dengan tepat
waktu yang kemudian menjadi tekanan bagi mahasiswa dan menimbulkan stress
dengan gejala seperti sulit untuk tidur, gangguan daya ingat, gangguan konsentrasi,
perubahan pola makan, mudah untuk marah dan tersinggung, mudah merasa gugup
dan gelisah, perasaan kewalahan dalam mengerjakan suatu hal, memiliki ketakutan
untuk tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik.
Kecemasan merupakan pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan
mengenai kekhawatiran atau ketengangan berupa perasaan cemas, tegang, dan
emosi yang dialami oleh seseorang. Nietzal menyatakan bahwa kecemasan berasal
dari Bahasa Latin (anxius) dan dari Bahasa Jerman (anst), yaitu suatu kata yang
digunakan untuk menggambarkan efek negatif dan rangsangan fisiologi (Bellack &
M.Hersen, 1988). Kecemasan sendiri merupakan hal yang wajar dan tidak selalu
berdampak pada hal yang negatif karena dapat juga untuk membantu dan
menstimulus individu untuk berperilaku positif yang dimana kecemasan positif
memiliki pengaruh pada semangat mahasiswa dalam pengerjaan skripsi dan
memberi motivasi. Kecemasan negatif menjadikan mahasiswa malas dalam
pengerjaan skripsi, kehilangan motivasi, menunda penyusunan skripsi bahkan
memutuskan untuk tidak melanjutkan atau menyelesaikan skripsinya (Hidayat,
2008). Mujiyah dkk dalam Januarti (2009) menyatakan kendala-kendala yang biasa
dihadapi oleh mahasiswa dalam pengerjaan skripsi yang bisa menimbulkan
kecemasan antara lain kendala internal yang meliputi malas, motivasi, dan takut
bertemu dosen pembimbing. Kendala eksternal meliputi dosen pembimbing skripsi,
literatur, terbatasnya dana dan metodologi penelitian (Januarti, 2009).
Aspek – aspek dari kecemasan sendiri yang dikemukakan oleh Deffenbacher
dan Hazaleus menyatakan bahwa sumber kecemasan meliputi: kekhawatiran
(worry) yang merupakan pikiran negatif tentang diri seperti perasaan negatif bahwa
diri lebih tidak baik daripada orang lain, lalu emosionalitas (imosionality) sebagai
reaksi diri terhadap rangsangan saraf otonomi seperti jantung berdebar, keringat
dingin dan perasaan tegang, kemudian gangguan dan hambatan dalam
menyelesaikan tugas (task generated interference) ialah kecenderungan yang
dialami seseorang yang mengalami tekanan diakibatkan oleh pemikiran yang
rasional terhadap tugasnya (Ghufron & Risnawita, 2010).
Berdasarkan pandangan teori Humanistik, kecemasan merupakan
kekhawatiran terhadap masa depan, yaitu khawatir pada apa yang akan dilakukan.
Maka kemudian beberapa rasa cemas diantaranya dipengaruhi oleh kekhawatiran
akan kegagalan, frustasi pada tindakan yang lalu, evaluasi diri yang negative,
perasaan diri yang negatif tentang kemampuan yang dimiliki, dan orientasi diri
yang negatif. Kecemasan sebenarnya merupakan reaksi yang normal terhadap stress
namun apabila kecemasan tersebut berlebih dan berlarut-larut kemudian dapat
menjadikan timbulnya stress dikemudian dan dapat menurunkan kemampuan
belajar (Ghufron & Risnawita, 2010).
Stress merupakan beban mental pada seseorang saat mengerjakan pekerjaan di
luar batas kemampuan seseorang yang menyebabkan rasa cemas dan tegang dan
dapat menjadi ancaman bagi kesehatan mental dan fisik yang menyebabkan
gangguan psikologis pada seseorang (Misra & Castillo, 2004). Sarafino
mengartikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu
dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang
berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari
seseorang (Sarafino, 1994).
Gejala stres pada mahasiswa yaitu merasa lelah, cemas, tidak bersemangat atau
ingin berhenti mengerjakan skripsi. Dampak stress tersebut kemudian bahkan
menjadikan mahasiswa secara sengaja untuk tidak mengerjakan skripsi karena tidak
ingin merasa terbebani sehingga lebih memilih mencari kesenangan dari kegiatan
lain di luar kampus, melupakannya, menghindari dosen pembimbing, mengeluh di
media sosial mengenai kesulitan yang dihadapi dan akibat fatalnya ialah
kemungkinan untuk tertundanya masa studi.
Hal ini sesuai dan ditunjukan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Anselma (2009) tentang “Sumber Stres dan Gejala Stres yang Dialami Oleh
Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling UNIKA Atma Jaya Jakarta
Dalam Proses Menyusun Skripsi Tahun Angkatan 2000-2005” bahwa sumber stres
yang paling sering dialami oleh mahasiswa penulis skripsi adalah sumber stres yang
berhubungan dengan kesulitan mencari literatur (16,88%) dan kesulitan yang
berhubungan dengan masalah-masalah yang muncul dari hubungan mahasiswa
dengan dosen pembimbing (16,88%). Sebesar 63% mahasiswa tidak mengalami
stres dalam menyusun skripsi, sedangkan 20% mahasiswa mengalami stress
(Anselma, 2009).
BAB II
TEORI STRESS
Stres merupakan masalah umum yang bisa dirasakan oleh semua orang.
Menurut Kupriyanov dan Zhdanov (2014) stres yang paling sering dialami saat
adalah sebuah atribut kehidupan modern. Hal tersebut karena pada kehidupan
modern saat ini, stres sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Semua
kalangan mampu merasakan stres, mulai dari lingkungan keluarga, pendidkan,
pekerjaan dan sebagainya. Menurut Lin dan Huang (2014) stres dapat
membahayakan kehidupan seseorang dan mampu menyerang fisik.
Salah satu teori stres adalah Teori Fight or Flight Response to Stress
yang dinyatakan oleh Cannon. Cannon merupakan peneliti pertama yang
mengembangkan konsep stres yang dikenal dengan “fight-or-flight response”.
Ia mengembangkan teori tesebut pada tahun 1914. Berdasarkan teori tersebut,
stres diartikan Cannon sebagai respon tubuh terhadap suatu hal (Barlett, 1998).
Dalam penelitiannya, Cannon menyebutkan bahwa stres adalah gangguan
homeostatis yang menyebabkan perubahan pada keseimbangan fisiologis yang
dihasilkan dari adanya rangsangan terhadap fisik maupun psikologis (Barlett,
1998). Cannon menjelaskan bahwa ketika individu mendapat ancaman, maka
tubuhnya akan tergerak dan termotivasi karena pengaruh dari saraf simatik dan
sistem endokrin. Hal ini menjadikan dua kemungkinan respon, yaitu fight or
flight. Fight menunjukan bahwa individu tersebut merespon agresif terhadap
stressor, seperti marah, mengambil tindakan, dan lain sebagainya. Sedangkan
flight menunjukkan individu tersebut tidak melawan, dengan melakukan
aktivitas lain yang mampu mereduksi stres tersebut (Gaol, 2016).
Pada tahun 1915 Cannon melakukan sebuah eksperimen, pada
eksperimen tersebut ia ingin mengetahui gambaran respon hewan terhadap
ancaman, dalam bentuk nyeri, kelaparan, ketakutan serta kemarahan. Teorinya
menyatakan bahwa hewan bereaksi terhadap ancaman dengan keluarnya sistem
saraf simpatik secara umum, membuat binatang itu berkelahi atau melarikan
diri.
Sistem saraf otonom adalah sistem kontrol yang bertindak sebagian besar
secara tidak sadar dan mengatur detak jantung, pencernaan, laju pernapasan,
respons pupil, buang air kecil, dan gairah seksual. Sistem ini adalah mekanisme
utama dalam mengendalikan respons fight-or-flight dan perannya dimediasi
oleh dua komponen yang berbeda.
Sistem saraf simpatis berasal dari sumsum tulang belakang dan fungsi
utamanya adalah untuk mengaktifkan perubahan fisiologis yang terjadi selama
pertarungan atau respons penerbangan. Komponen sistem saraf otonom ini
menggunakan dan mengaktifkan pelepasan norepinefrin dalam reaksi.
Sistem saraf parasimpatis berasal dari sumsum tulang belakang dan
medula dan bekerja bersama dengan sistem saraf simpatis. Fungsi utamanya
adalah untuk mengaktifkan respon "istirahat dan cerna" dan mengembalikan
tubuh ke homeostasis setelah respons fight or flight. Sistem ini memanfaatkan
dan mengaktifkan pelepasan asetilkolin neurotransmitter.

Stressor
Greenberg (2009) menyebutkan, stressor adalah suatu stimulus yang
memiliki potensi memicu terjadinya ‘fight-or-flight response’. Menurutnya,
stressor dimana tubuh kita terlatih untuk menghadapinya adalah juga ancaman
bagi keselamatan kita, dan ’fight-or- flight response’ merupakan respon alami
yang diperlukan tubuh, dan kecepatannya vital bagi pertahanan (survival).
Stressor tidak hanya hadir dalam bentuk ancaman terhadap keselamatan
fisik yang membuat individu mampu mengambil tindakan cepat seperti segera
lari atau diam di tempat dan menghadapinya. Terdapat jenis stressor lain
dimana individu tidak dapat mengambil tindakan cepat seperti itu karena
dianggap tidak pantas ataupun tidak memungkinkan untuk dilakukan. Stressor
jenis ini disebut stressor simbolik, contohnya kehilangan status, ancaman
terhadap self-esteem, beban kerja yang berlebih, atau terlalu sesak. Gambaran
dari stressor simbolik adalah saat atasan membebani dengan terlalu banyak
pekerjaan yang dirasa sangat sulit untuk dikerjakan. Meskipun demikian,
adalah disfungsional bila memutuskan untuk menghadapi/menentang (fight)
atasan dan juga akan sama bodohnya bila kita mengambil tindakan
lari/menghindar (flight) dan tidak menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Tubuh kita yang merasa kerepotan dengan terlalu beratnya beban tugas
secara alami meresponnya dengan ’fight-or-flight response’ yang sama seperti
saat kita dihadapkan pada ancaman keselamatan fisik (contoh ada anjing yang
terlihat akan mengejar kita). Bedanya, respon tersebut tidak ditindaklanjuti
dengan tindakan, yang akhirnya membuat produk stres dalam tubuh, yang
termasuk diantaranya adalah meningkatnya tekanan darah dan konstraksi otot,
serum kolesterol, dan sekresi hydrochloric acid di dalam perut, tidak digunakan
dan kita malah memilih ‘bertahan dan menanggung’ situasi tersebut. Saat
reaksi stres kronis, berkelanjutan, atau tidak segera dikurangi maka dampaknya
adalah terjadi illness dan disease.

Stress Reactivity
’The fight-or-flight response’ disebut sebagai ‘stress reactivity’. Reaksi
ini secara garis besar mencakup meningkatnya ketegangan otot; meningkatnya
detak jantung, volume dan output stroke; meningkatnya tekanan darah;
meningkatnya rangsangan syaraf; kurangnya saliva (air liur) di mulut;
meningkatnya penyimpanan sodium; meningkatnya produksi peluh/keringat;
perubahan kecepatan respirasi/pernafasan; meningkatnya serum glukosa;
meningkatnya pelepasan asam hidrokolik dalam perut; perubahan gelombang
otak; dan meningkatnya urinase. Reaksi ini mempersiapkan kita untuk segera
bertindak saat respon seperti itu dibenarkan/dapat dilakukan. Saat individu
membangun hasil-hasil stres yang tidak digunakan, reaksi stres ini menjadi
tidak sehat. Semakin lama (durasi) fisiologi akan semakin bervariasi dari
ukuran dasarnya dan semakin besar (tingkat) varian dari ukuran dasar tersebut,
maka semakin cenderung seorang individu mengalami efek illness yang
diakibatkan dari stress reactivity ini (Greenberg, 2009).
Dalam hal reactivity ini, Greenberg (2009) menyebutkan bahwa terdapat
beberapa perbedaan antara cara pria dan wanita mengatasinya, seorang tokoh
bernama Shelly Taylor dan para koleganya menemukan bahwa wanita
cenderung memperlihatkan aktivitas nurturing atau pengasuhan yang didesain
untuk melindungi diri dan orang lain dalam upayanya mengatasi stres.
Aktivitas ini disebut ’tend-and-befriend’. Para penulis berargumen bahwa
wanita lebih menggunakan kelompok sosial dalam merespon stres daripada
pria dan sebaliknya, pria lebih cenderung memperlihatkan ’flight-or-fight’
dalam merespon stres daripada wanita.
Ketika menghadapi stres berkepanjangan tubuh akan merespon melalui
tiga fase, yaitu; (1) Alarm Reaction yang menyerupai respon fight or flight, (2)
Resistant Phase yaitu ketika tubuh berusaha mengompensasi stressor yang ada,
dan (3) Exhaustion Phase yaitu ketika tubuh tidak mampu lagi mengompensasi
stressor akibat kehabisan tenaga. Dalam fase inilah burnout dan sindrom
kelelahan kronis terjadi (Smit, 2015).
BAB III
ANALISA DINAMIKA STRESS

Saat tubuh memberikan reaksi pada ancaman, reaksi yang diberikan oleh
tubuh tersebut dikenal dengan ungkapan ’flight-or-fight’ yang memiliki makna
yaitu hadapi atau hindari. ’flight-or-fight’ Mechanism adalah suatu proses dimana
diri akan menilai ancaman yang sedang dihadapi. Aoabila ancaman tersebut dinilai
kecil dan dapat untuk dihadapi maka diri akan memberikan perlawanan dan apabila
ancaman tersebut dinilai lebih besar dari dirinya dan tidak bisa dihadapi, maka diri
akan lari dari ancaman tersebut.
Stress yang dihadapi baik menghadapi (fight) atau melarikan diri (Flight)
tentulah membutuhkan energi, sehingga tubuh mulai melepaskan hormone-hormon
yang dibutuhkan untuk mendapatkan energi. Saat ancaman terjadi, stimulus
ditangkan oleh panca indera dan kemudian diteruskan ke otak. Di otak, informasi
yang mask akan diproses dan pada saat dianggap sebagai ancaman, otak akan
mengkalkulasi mengenai besar atau kecilnya ancaman tersebut dan memutuskan
apakah melawan atau lari. Kemudian bagian dari otak yaitu Hypothalamus akan
mengeluarkan hormone yang disebut dengan Corticotropin-Releasing Hormone
yang kemudian diterima oleh kelenjar Pituitary. Kelenjar Pituitary kemudian akan
melepaskan adrenocorticotropic hormone yang akan diterima oleh adrenal cortex
dan menyebabkan adrenal cortex melepas cortisol. Pada saat yang bersamaan
hypothalamus juga mempengaruhi adrenal modulla untuk melepas adrenalin.
Pada kasus ini tipe stress yang diterapkan oleh mahasiswa ialah flight atau
melarikan diri atau mengambil tindakan lari/menghindar (flight) dan tidak
menyelesaikan pekerjaan atau menunda karena cemas berlarut-larut yang
menghantui mahasiswa menjadikan stress tersebut muncul. Pekerjaan yang terlalu
lama dan masih juga belum benar ini bisa membuat tekanan mahasiswa penulis
skripsi seperti yang dipaparkan bahwa stress merupakan beban mental pada
seseorang saat mengerjakan pekerjaan di luar batas kemampuan seseorang yang
menyebabkan rasa cemas dan tegang (Misra & Castillo, 2004). Kemudian bahkan
menjadikan mahasiswa secara sengaja untuk mengulur-ulur waktu mengerjakan
skripsi karena tidak ingin merasa terbebani dengan rasa gelisah dan cemas yang
berlebih sehingga lebih memilih mencari kesenangan dari kegiatan lain di luar
kampus, melupakannya, menghindari dosen pembimbing, mengeluh di media
sosial mengenai kesulitan yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA

Darmono, A., & Hasan, A. (2002). Menyelesaikan Skripsi Dalam Satu Semester.
Jakarta: Grasindo.
Poerwodarminto. (1986). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hidayat, A. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisis Data.
Jakarta: Salemba Medika.
Bellack, & M.Hersen. (1988). Behavioral Modivication: An Introductory. . Oxford
University.
Januarti, R. (2009). Hubungan Antara Persepsi Terhadap Dosen Pembimbing
Dengan Tingkat Stres Dalam Menulis Skripsi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Ghufron, M. N., & Risnawita, R. (2010). Teori - Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media.
Kupriyanov, R., & Zhdanov, R. (2014). The eustress concept: problems and out
looks. World Journal of Medical Sciences, 11(2), 179-185.
Lin, S. H., & Huang, Y. C. (2014). Life stress and academic burnout. Active
Learning in Higher Education, 15(1), 77-90.
Barlett, D. (1998). Stress: Perspectives and processes. Philadelphia, USA:
University Press.
Gaol, N. T. (2016). Teori Stres: Stimulus, Respons, dan Transaksional. Jurnal
Psikologi, 1-11.
Greenberg, J. S. (2009). Comprehensive Stress Management 11th Edition. New
York, USA: McGraw-Hill Compenies, Inc.
Misra, & Castillo. (2004). Academic Stress Among College Students:Comparison
of American andInternational Students. academic stressors; American
students; international students; reactions to Stressors. 11,(2), 132–148.
Sarafino, E. P. (1994). Biopsychososial interactions. Health psychology.
Smit, B. (2015). The Relationship Between Burnout and Chronic Fatigue Syndrome
Among Academics at A Tertiary Institution. Research Psychology in
University of Pretoria (disertasi), Universitas Pretoria.
Anselma, L. (2009). Sumber Stres dan Gejala Stres yang Dialami Oleh Mahasiswa
Program Studi Bimbingan dan Konseling UNIKA Atma Jaya Jakarta Dalam
Proses Menyusun Skripsi Tahun Angkatan 2000-2005.

Anda mungkin juga menyukai