Anda di halaman 1dari 19

Negosiasi dan Resolusi Konflik

Konflik Buruh Dengan Manajemen

Dosen Pengampu : Syafaruddin Alwi Drs.MBA

Disusun Oleh:

Rangga Surya Hidayat (14311639)

Agus Yulianto (14311646)

Muhammad Rafi Adriyan (14311645)

Elmy Nur Rohmah (14311653)

Evi Komalasari Aji Darma (14311657)

PRODI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2016
BAB I
PENDAHULUAN
PT. Tjiwi Kimia
A. Apa masalah yang menjadi konflik
Konflik antara perusahaan dan para buruh yang terjadi di PT. Tjiwi Kimia
sebelumnya, pada tahun 2012 juga pernah terjadi konflik antara perusahaan dengan buruh
yang disebabkan oleh adanya pemutusan hak kerja (PHK) secara sepihak yang dilakukan
oleh pihak perusahaan. Sebagai reaksi atas pemutusan secara sepihak tersebut, para buruh
kemudian melakukan demo untuk menuntut hak kerja mereka. Pasca terjadinya demo
tersebut, perusahaan tetap tidak memenuhi tuntutan dari para buruh yang telah di PHK,
total buruh yang di PHK oleh Tjiwi Kimia pada saat itu berjumlah sebanyak 72 buruh
terhitung sejak bulan Februari hingga Maret 2014. Dalam perjalanannya gerakan buruh
pasca reformasi (selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini), dapat dilihat bahwa
kehidupan buruh tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat misalnya,
meskipun pada saat ini pemerintah sudah mengeluarkan beberapa regulasi mengenai
perburuhan, akan tetapi buruh tetap saja menerima upah yang relatif rendah dengan jam
kerja panjang dan keselamatan kerja yang kurang memadai. Para pekerja tersebut dibayar
dengan gaji di bawah rata-rata para pekerja yang jelas-jelas sangat merugikan.
Pemberian upah yang sangat kecil tersebut tentunya tidak mampu untuk meningkatkan
kesejahteraan dari para buruh pekerja harian tersebut. Disamping itu, buruh yang juga
telah bekerja lama di perusahaan tersebut, hingga saat ini juga masih dipertanyakan
kesejahteraannya. Studi yang dilakukan Monique Borrel, tentang Konflik Industri,
Demonstrasi Masa, serta Perubahaan Ekonomi dan Politik di Perancis Pascaperang
(2004), menunjukkan bahwa salah satu temuannya adalah bahwa gelombang pemogokan
dan pemogokan umum secara signifikan dipengaruhi oleh kesejahteraan sosial, upah
minimum, dan jam kerja. Munculnya berbagai macam isu seperti akan dilakukan PHK
pada buruh, penggantian tenaga buruh dengan mesin, dan lain sebagainya menjadikan
para pekerja semakin sering membicarakan apa yang saat ini menjadi kekhawatiran
mereka seperti adanya PHK, peningkatan beban kerja, dan penambahan jam kerja. Oleh
karena itu perlu memunculkan kesadaran dari para buruh terkait dengan kondisi yang
mereka alami pada saat ini, baik terhadap buruh yang telah menjadi pekerja di Tjiwi
Kimia, maupun terhadap buruh harian yang saat ini semakin bertambah jumlahnya.

B. Standing point

Adanya penindasan yang dilakukan oleh mandor dengan cara outsourcing yang
dikontrak dengan upah yang kurang optimal dibawah UMR tanpa kontrak yang mengikat
dengan pihak manajemen perusahaan. Hal ini yang dialami oleh buruh di Tjiwi Kimia
dimana mandor mandor yang merupakan karyawan perusahaan kemudian mencari orang
yang bersedia bekerja tanpa ikatan kontrak resmi dari perusahaan dengan upah seadanya.
Para pekerja tersebut di bayar dengan gaji di bawah rata rata para pekerja atau UMR yang
jelas jelas merugikan dirinya. Pemberian upah yang sangat kecil ini tentunya tidak
mampu untuk meningkatkan kesejahteraan dari para buruh pekerja harian tersebut.
Dalam kasus ini di kemukakan bahwa mandor mencari para pekerja yang mau bekerja
dengan sistem outsourching pada bagian produksi pabrik yang jelas jelas menguntungkan
perusahaan. Buruh harian yang di pekerjakan di perusahaan tersebut di ketahui
menerima pemotongan harga sebesar 30%, yang seharusnya upah harian yang di dapat
oleh para buruh sebesar RP. 20.000 namun ternyata yang di berikan kepada para pekerja
sebesar RP.8000 an saja. Tentunya ini sangat merugikan para buruh yang notabene nya
mereka adalah masyarakat miskin yang rendah di tengah melimpah nya jumlah pencari
kerja, serta pengangguran yang meningkat membuat para pekerja pasarah menerima
nasib dengan upah yang kurang layak demi mengadu nasib yang pemotongan upah ini
ternyata sangat menguntungkan para mandor karna keuntungan sisanya di terima oleh
para mandor itu sendiri.

C. Pihak yang terlibat


1. Mandor
Mandor merupakan orang yang bertugas memimpin buruh-buruh yang bersifat
perorangan dan tidak berbadan hukum. Dengan menggunakan sistem mandor,
biasanya perusahaan konstruksi hanya berhubungan dengan mandor saja sebagai
pihak ketiga ,sehingga pihak manjemen tidak perlu berhubungan/bertanggung jawab
terhadap buruh. Dalam kasus ini mandor yang diserahkan tanggung jawab untuk
memberikan upah tersebut diketahui memotong upah para buruh tersebut untuk
keuntungannya sendiri. Para buruh harian tersebut dipekerjakan pada sektor produksi
yaitu memproduksi kertas.Selain itu kebijakan outsourcing yang dilakukan melalui
mandor juga memperlihatkan lemahnya posisi buruh yang ada di perusahaan tersebut.
Posisi tawar pekerja dan masyarakat miskin yang rendah di tengah melimpahnya
jumlah pencari kerja, pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk migran yang
mencoba mengadu nasib mencari kerja di kota besar adalah titik-titik lemah yang
seringkali disadari benar oleh para investor untuk membuat para pekerjanya pasrah
menerima nasib menerima upah yang tak pernah beringsut ke taraf yang terkategori
layak dan adil.
2. Buruh
Buruh merupakan mereka yang berkerja pada usaha perorangan dan di berikan
imbalan kerja secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak, baik lisan maupun tertulis, yang biasanya imbalan kerja tersebut diberikan
secara harian. Dalam kasus ini, pasca terjadinya PHK di tahun 2012 lalu, saat ini
buruh di Tjiwi Kimia juga mengalami penindasan yang dilakukan oleh perusahaan.
Salah satu bentuk penindasan yang nampak adalah munculnya tenaga outsourcing
yang dikontrak melalui mandor di perusahaan tersebut.
3. Karyawan
Buruh, pekerja, worker, laborer, tenaga kerja atau karyawan pada dasarnya
merupakan manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk
mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainya
kepada Pemberi Kerja atau pengusaha atau majikan
4. Karyawan outsourching
Karyawan outsourcing merupakan karyawan kontrak yang dipasok dari sebuah
perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing. Awalnya, perusahaan outsourcing
menyediakan jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti
perusahaan dan tidak mempedulikan jenjang karier. Pada kasus Tjiwi Kimia, dengan
dipekerjakannya pekerja outsourcing pada bagian produksi pabrik, jelas-jelas
menguntungkan perusahaan karena upah yang didapat oleh outsourcing selalu di
bawah Upah Minimum Regional (UMR).
5. Manajemen perusahaan Tjiwi kimia
Manajemen sebagai seni untuk mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan
utama dalam suatu organisasi melalui proses perencanaan (Planning),
pengorganisasian (Organizing), dan mengelola (Controlling) sumber daya manusia
dengan cara efektif dan efisien. Dalam kasus manajemen perusahaan Tjiwi kima ini,
Para pekerja di dalam perusahaan tersebut dibayar dengan gaji di bawah rata-rata para
pekerja yang jelas-jelas sangat merugikan. Pemberian upah yang sangat kecil tersebut
tentunya tidak mampu untuk meningkatkan kesejahteraan dari para buruh pekerja
harian tersebut. Disamping itu, buruh yang juga telah bekerja lama di perusahaan
tersebut, hingga saat ini juga masih dipertanyakan kesejahteraannya.
6. Pemerintah
Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan
menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Dalam kasus ini
contohnya seperti diterapkannya Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
outsourcing.

D. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik


Munculnya kebijakan outsorcing di Indonesia yang disahkan oleh UUD No 13
Tahun 2003, ini merupakan faktor lain yang mendorong terjadinya konflik. Kontrak kerja
ini pada dasarnya di atur oleh undang undang ketenagakerjaan dimana merupakan
perjanjian antara buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat
kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Namun terkadang kebijakan outsourching ini sering
kali di salah gunakan oleh pihak manajemen maupun oknum oknum tertentu. Bagaimana
tidak implikasi yang sering terjadi adalah buruh di berikan upah yang rendah dan
kesejahteraan buruh kadang kala di abaikan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor
yang berpotensi dan menjadi pemicu utama konflik antar buruh dan pihak manajemen.
Menurut LIPI selama tahun 2010 telah melakukan penelitian tentang UU NO.13 tahun
2003, dari hasil yang di dapatkan bahwasannya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia) menemukan berbagai kelemahan, termasuk lemahnya upaya penerapan
hukum.
E. Potensi penyelesaian
1. Seharusnya ketika perusahaan ingin melakukan PHK ada beberapa ketentuan
ketentuan yang transparan terkait mengapa pihak manajemen mengambil keputusan
untuk PHK karyawan. Hal ini dapat dilakukan dengan mediasi antara manajemen
dengan para buruh. Agar terjadi negosiasi yang menghasilkan win win solution bukan
malah menimbulkan demonstrasi.
2. Kemudian terkait tentang mandor, untuk pihak perusahaan harus lebih jeli terhadap
karyawan karyawan yang nakal, mandor mempekerjakan tanpa ikatan kontrak para
divisi HRM pun harus lebih agresif. Untuk pihak buruh yakni melakukan konsolidasi
untuk dapat diberikan upah yang layak, minimal sesuai dengan kesejahteraan dengan
cara melakukan mediasi ataupun Bipartit.
3. Penyelesaian keberlanjutan seharusnya ada upaya pemerintah untuk melibatkan
lembaga tripartite nasional ( Tripnas) yang terdiri dari unsur pemerintah, buruh dan
pengusaha guna mewujudkan hubungan industrial yang dinamis. Selanjutnya
membenahi proses penetapan kebijakan pengupahan agar memenuhi asas
keterbukaan, misalnya dengan cara menetapkan formula pengupahan sebagaimana di
atur dalam PP pengupahan dimana lewat dialog Tripnas masing masing phak bisa
mengusulkan variable apa yang perlu di masukan dalam formulasi pengupahan.
Disamping itu perkuat pengawasan di bidang ketenagakerjaan bisa dengan dari pusat
ke daerah sehingga pengawasannya lebih intens.
BAB I
PENDAHULUAN

PT Megariamas Sentosa (Tindakan Penolakan atas Pembentukan Serikat Buruh)

A. Apa masalah yang menjadi konflik


Kasus kali ini adalah membahas mengenai adanya masalah antara serikat pekerja
dengan pihak manajemen yaitu pada PT Megarimas Sentosa. Dimana awal konflik
bermula pada bulan Maret 2008 ketika buruh mendirikan serikat buruh yang diketuai oleh
Abidin. Kemudian serikat buruh tersebut dicatat dalam Sudinakertrans (Suku Dinas
Tenagakerja dan Transmigrasi) di Jakarta Utara pada April 2008 dan serikat itu
terhubung dengan Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI). Saat melakukan
pencatatan serikat buruh perusahaan, Abidin sebagai ketua umum serikat pekerja
mendapatkan surat peringatan dari perusahaan. Padahal pendirian serikat buruh di PT
Megarimas Sentosa dikarenakan perusahaan berperilaku sewenang-wenangnya kepada
buruh dan melanggar hak buruh seperti halnya melanggar pembayaran jaminan
kesehatan, pemberian cuti, pemberian THR (Tunjangan Hari Raya) dan sebagainya.
Pada suatu hari Abidin di undang untuk mengikuti pendidikan paralegal yang
diselenggarakan oleh GSBI, undangan tersebut dikirim oleh pihak GSBI 7 hari sebelum
pelaksanaan dan sebagai surat dispensasi untuk Abidin, namun pihak manajemen dari PT
Megarimas Sentosa mengabaikannya dan malah memberikan surat peringatan kedua
kepada Abidin. Abidin menolak surat peringatan itu dan pihak manajemen mencabut hak
kerjanya dan Abidin diberhentikan dari PT Megarimas Sentosa (PHK). Mengetahui ketua
umum serikat dipecat, maka buruh di PT Megarimas Sentosa melakukan aksi solidaritas
dimana mereka melakukan mogok kerja selama 3 hari yaitu pada tanggal 15-17 Juli. Dan
aksi tersebut juga untuk memperjuangkan soal jaminan pemeliharaan kesehatan, dan
sebagainya. Namun aksi tersebut tidak memberikan pemahaman bagi PT Megarimas
Sentosa dan pihak manajemen hanya mengeluarkan surat agar buruh dapat masuk
kembali asal tidak melakukan intimidasi apapun sesuai dengan persetujuan.
Kemudian perseteruan terjadi lagi pada 22 Juli 2008 ketika perundingan, yaitu
agar mempekerjakan kembali Abidin. Namun perundingan tersebut tidak menuai hasil
dan pada akhirnya serikat buruh kembali melakukan mogok kerja pada tanggal 4-8
Agustus. Kali ini mogok kerja sudah dilakukan sesuai dengan hukum, yaitu akibat
gagalnya perundingan dan pemberitahuan kepada perusahaan. Tak tanggung-tanggung
bukannya menyelesaikan perseturuan tersebut, namun PT Megarimas Sentosa malah
memecat semua buruh yang mogok kerja. Padahal perusahaan faktanya melanggar Pasal
28 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh terkait tindakan menghalang-halangi
kegiatan berserikat. Dan mengenai mogok kerja yang dilakukan para buruh dianggap
perusahaan tidak sah karena menyebabkan buruh mangkir.
Karena tidak terima dengan pemecatan teesebut, para buruh melakukan gugatan
ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dengan kuasa hukum buruh yaitu Ngadinah,
yaitu Kepala Departemen Hukum dan Advokasi di GSBI.Menurut Ngadinah, proses PHK
yang dilakukan perusahaan tak hanya melanggar Pasal 151 UU No. 13 tahun 2003
Ketenagakerjaan yakni melalui penetapan PHI terlebih dulu. Tapi juga melanggar Pasal
28 UU No. 21 Tahun 2000 Serikat Buruh terkait tindakan menghalang-halangi kegiatan
berserikat dengan cara melakukan PHK. Tindakan itu pun melanggar Konvensi ILO No.
87, Pasal 3 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan
hak berorganisasi, tegasnya. Dalam gugatannya, Ngadinah menuntut agar para buruh
dipekerjakan kembali dan membayar hak-haknya selama proses perkara ini berlangsung.
Di satu sisi, kuasa hukum PT Megariamas Sentosa, yaitu Maju Simamora
menjelaskan bahwa inti perkara ini karena aksi mogok kerja yang dilakukan pada 15 Juli
2008 dianggap tidak sah. Meski begitu, Maju Simamora mengatakan bahwa pihaknya
mengajukan eksepsi (penolakan) kewenangan karena gugatan yang diajukan salah
alamat. PHI Jakarta Pusat tak berwenang mengadili perkara ini karena ada salah satu
penggugat yang berdomisili di wilayah hukum Tangerang. Dari berkas jawaban, akhirnya
perusahaan mengaku telah memenuhi tuntutan para pekerja diantaranya soal jaminan
pemeliharaan kesehatan, kenaikan tunjangan makan, transport, kontrak kerja sesuai
Undang-Undang, dan jaminan kebebasan berserikat sebagaimana tertuang dalam
persetujuan bersama. Namun perusahaan tak bisa mengabulkan tuntutan untuk
mempekerjakan kembali Abidin.
B. Standing Point
Terkait alasan atau standing point mengenai masalah pada PT Megarimas Sentosa
adalah pada awalnya dari pihak manajemen melakukan pelanggaran hak buruh, dan
karena itu dibentuklah serikat buruh. Namun dari pihak manajemen menolak adanya
pembentukan serikat buruh. Oleh karena itu pihak manajemen mengeluarkan surat
peringatan pertama ketika pembentukan serikat buruh di PT Megarimas tersebut dicatat
dalam Sudinakertrans (Suku Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi) Jakarta.
Kemudian alasan lain mengapa terjadinya konflik yaitu ketika Ketua umum
serikat buruh, yaitu Abidin mendapat surat dispensasi untuk mengikuti pendidikan
paralegal oleh GSBI (Gerakan Serikat Buruh Independen), dimana surat tersebut telah
dikirim ke PT Megarimas Sentosa 7 hari sebelum pelatihan. Namun dari pihak
manajemen PT Megarimas Sentosa mengabaikan surat tersebut dan Abidin sendiri
diberikan surat peringatan kedua. Tetapi Abidin malah tidak memperdulikan surat
peringatan kedua tersebut. Pada akhirnya perusahaan mencabut hak kerja atau
memberhentikan Abidin dari PT Megarimas Sentosa,
hal tersebut langsung menjadi perhatian bagi para buruh lainnya. Dan para buruh tersebut
melakukan aksi solidaritas yaitu mogok kerja selama 3 hari berturut-turut dan aksi
tersebut juga untuk memperjuangkan jaminan yang dulunya akan diberikan perusahaan.
Setelah aksi tersebut dilaksanakan, perusahaan bukannya malah memiliki
pemahaman sesuai apa yang diinginkan para buruh. Namun perusahaan hanya
mengedarkan surat kepada para buruh untuk masuk kembali bekerja dan tanpa
melakukan intimidasi apapun melalui persetujuan.
Selanjutnya alasan terjadinya konflik lain adalah ketika perundingan untuk
memperkerjakan kembali Abidin tidak memberikan hasil yang pasti. Dan pada akhirnya
para buruh kembali melakukan mogok kerja, kali ini mogok kerja sesuai dengan hukum
yaitu akibat gagalnya perundingan dan pemberitahuan kepada perusahaan. Namun
tanggapan perusahaan untuk para buruh pun malah memberhentikan semua buruh yang
melakukan mogok kerja dan mengatakan bahwa mogok kerja yang dilakukan tidak sah.
C. Pihak yang terlibat
1. Pekerja PT. Megariamas Sentosa
Didalam konflik tersebut pekerja menjadi pihak yang merasakan imbas terkait
kebijakan yang dilakukan oleh pihak manajemen PT. Megariamas Sentosa, dimana
didalam konflik yang terjadi pihak manajemen monolak adanya pembentukan serikat
buruh didalam perusahaan tersebut sehingga pekerja mengalami keculitan dalam
menyampaikan sapirasinya, selain itu didalam konflik tersebut pekerja menjadi pihak
yang mengalami tindakan PHK sepihak dan pemberian THR secara sewenang-wenang
dari pihak manajemen PT. Megariamas Sentosa
2. Manajemen PT. Megariamas Sentosa
Didalam kasus ini pihak menjemen PT. Magarimas menjadi pihak yang
tersandung masalah, terkait perlakuannya kepada pekerjanya dimana tindaka-tindakan
yang dilakukan diantaranya adalah melakukan PHK sepihak tanpa adanya kejelasan,
tidak dipenuhinya pemberian THR, pemberian cuti yang sangat sulit, bahkan jam kerja
yang melampaui batas.
3. Abidin (Ketua Umum Serikat Pekerja PT. Megariamas Sentosa)
Didalam kasus ini Abidin merupakan salah satu penggerak munculnya serikat
pekerja dalam perusahaan tersebut selain itu didalam kasus ini Abidin juga menjadi
salah satu faktor pemicu adanya gerakan simpati masa dikarenakan pemecatannya
dalam perusahaan tersebut.
4. Ngadinah (Kepala Departemen Hukum dan Advokasi di GSBI)
Merupakan kuasa hukum dari para pekerja yang tergabung dalam Gerakan Serikat
Buruh Indonesia/GSBI dimana ia merupakan perantara yang akan ikut
memperjuangkan hak-hak dari pekerja untuk dapat dipenuhi oleh perusahaan
selayaknya hak-hak yang diperoleh pekerja pada umumnya.
5. Sudinakertrans (Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
Merupakan salah satu lembaga pemerintah yang mengurusi mengenai
ketenagakerjaan, dimana Sudinakertrans sendiri berperan dalam memberikan regulasi
guna terwujutnya hubungan timbal balik yang baik antara pihak-pihak yang terlibat
dalam urusan pekerja, selain itu melalui regulasinya juga berguna untuk memastikan
hak-hak dari pekerja telah terpenuhi,
D. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik
1. Faktor yang mendorong terjadinya konflik adalah dari pihak manajemen PT
Megarimas Sentosa tidak memberikan hak kepada buruh sebagai pekerja, antara lain
tidak memberikan jaminan kesehatan, cuti, tunjangan hari raya, dan sebagainya.
Seharusnya dari pihak manajemen puncak mengadakan koordinasi dengan
manajemen menengah mengenai tunjangan maupun jaminan yang akan diberikan
kepada buruh, dan hal tersebut bukan hanya sekedar janji tapi juga secara nyata.
2. Kemudian faktor lain adalah adanya tindakan dari pihak manajemen yang kurang
setuju dengan pembentukan serikat buruh di perusahaan, sehingga pihak manajemen
PT Megarimas Sentosa mengabaikan kegiatan yang bersangkutan dengan
pembentukan serikat buruh dan mengeluarkan surat peringatan.
3. Selain itu faktor yang menyebabkan konflik terjadi ketika PT Megarimas Sentosa
memberhentikan Abidin dan menyebabkan para buruh mogok kerja dan menuntut
agar Abidin dipekerjakan kembali melalui persetujuan dari pihak manajemen.

E. Potensi Penyelesaian
Seharusnya di awal, terdapat kesepakatan atau persetujuan antara buruh dengan
pihak manajemen terkait dengan kontrak kerja, kemudian pemberian jaminan maupun
tunjangan. Sedangkan beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik yang
telah terjadi dapat dengan menggunakan perundingan secara dua arah.Untuk lebih
menjamin terciptanya rasa keadilan bagi pihak yang beperkara, menurut UU No 2 Tahun
2004, penyelesaian sengketa diutamakan melalui perundingan guna mencari musyawarah
mufakat di luar pengadilan. terdapat beberapa cara yang mungkin dapat dilakukan dalam
perundingan atau penyelesaian perselisihan di luar pengadilan, yaitu melalui bipartit,
konsiliasi, arbitrase, dan mediasi.

1. Bipartit
Penyelesaian perselisihan atau perundingan antara pengusaha dan pekerja atau
kuasa pekerja (serikat pekerja) di tingkat perusahaan. Bilamana dalam perundingan ini
terjadi kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak beperkara. Selanjutnya Perjanjian Bersama ini wajib didaftarkan di
Perselisihan Hubungan Industrial guna memperoleh Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian
Bersama. Apabila ternyata kemudian salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan
dalam Perjanjian Bersama, pihak yang dirugikan hak perdatanya dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada PHI di wilayah hukumnya. Penyelesaian perselisihan
melalui Bipartit ini harus tuntas paling lama 30 hari sejak tanggal perundingan.
Bilamana dalam jangka waktu 30 hari perundingan buntu (deadlock) atau salah satu
pihak yang beperkara menolak untuk berunding, maka perundingan bipartit dianggap
gagal. Apabila dalam perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah
pihak mencatatkan perselisihannya kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat
dengan melampirkan bukti upaya penyelesaian bipartit. Selanjutnya, Disnaker
menawarkan kepada para pihak beperkara untuk memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau arbitrase. Namun apabila pihak yang beperkara tidak menetapkan pilihan
melalui konsiliasi atau arbitrase, Disnaker melimpahkan penyelesaiannya melalui
mediasi.

2. Konsiliasi
Konsoliasi adalah lembaga perorangan atau swasta mandiri yang diangkat dan
diberhentikan dalam periode tertentu melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI. Konsiliasi mencakup penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antar serikat pekerja
dalam satu perusahaan yang dilakukan melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih konsiliator yang netral. Berbeda dengan mediasi yang dapat
menyelesaikan segala jenis perselisihan, dalam konsiliasi ada pengecualian, yaitu
perselisihan hak. Perselisihan hak hanya dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi.
Apabila dalam perundingan di tingkat konsiliasi ini terjadi kesepakatan para
pihak, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua belah pihak
beperkara. Selanjutnya didaftarkan di PHI untuk mendapatkan Akta Bukti
Pendaftaran. Sebaliknya apabila tidak terjadi kesepakatan, maka pihak yang merasa
kurang puas atau dapat mengajukan surat gugatan ke PHI.
3. Arbitrase
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase hubungan
industrial yang dilakukan oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua
belah pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tersebut tercapai, maka arbiter atau
majelis arbiter wajib membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak
yang berselisih dan arbiter. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
arbitrase harus sudah diselesaikan dalam jangka 30 hari kerja sejak penandatanganan
surat penunjukan arbiter. Perpanjangan waktu penyelesaian perselisihan hanya dapat
dilakukan satu kali, yaitu sebanyak 14 hari kerja. Hal ini harus dengan persetujuan
para pihak.
Selanjutnya perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan
melalui arbitrase tidak dapat dilakukan di Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 53
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004). Apabila terjadi penyelesaian damai, maka
arbiter akan membantu para pihak untuk membuat perjanjian bersama dan
mendaftarkannya di Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial untuk mendapatkan
bukti akta perdamaian. Namun apabila tidak terjadi penyelesaian secara damai dan
kekeluargaan, arbiter akan mengeluarkan putusan yang bersifat final, yang harus
diikuti oleh para pihak yang berselisih. Atas putusan arbiter tidak dapat diajukan
gugatan ke pengadilan, karena putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat para pihak, dan merupakan putusan akhir yang berkekuatan tetap.

4. Mediasi
Mediasi adalah penyelesaian perselisihan antara pengusaha dan pekerja atau
kuasa pekerja yang diperantarai mediator atau Pegawai Departemen Tenaga Kerja yang
ditunjuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Dulu, disebut Tingkat Tripartit
atau Tingkat Perantaraan. Lembaga ini merupakan penyelesaian terakhir di luar
pengadilan, apabila salah satu atau para pihak beperkara tidak dapat menetapkan
pilihan konsiliasi atau arbitrase, atau menolak penyelesaian perselisihan melalui
konsiliasi atau arbitrase.
BAB I
PENDAHULUAN
PT GUDANG GARAM
A. Apa masalah yang menjadi konflik

Pada kasus yang kami bahas kali ini adalah mengenai kasus eksploitasi buruh
yang dilakukan oleh Perusahaan Gudang Garam. Perusahaan Gudang Garam adalah salah
satu industri rokok terkemuka di tanah air yang telah berdiri sejak tahun 1958 di kota
Kediri, Jawa Timur. Hingga kini, Gudang Garam sudah terkenal luas baik di dalam
negeri maupun mancanegara sebagai penghasil rokok kretek berkualitas tinggi. Produk
Gudang Garam bisa ditemukan dalam berbagai variasi, mulai sigaret kretek klobot
(SKL), sigaret kretek linting-tangan (SKT), hingga sigaret kretek linting-mesin (SKM).
Bagi Anda para penikmat kretek sejati, komitmen kami adalah memberikan pengalaman
tak tergantikan dalam menikmati kretek yang terbuat dari bahan pilihan berkualitas
tinggi.

Dalam perjalanan dalam operasinya perusahaan gudang garam memiliki beberapa


masalah dengan para buruh atau karyawannya. Dimana konflik industrial yang terjadi
antara PT. Gudang Garam dengan karyawannya melibatkan unsur dominasi. Perusahaan
mempunyai instrumen hegemoni berupa regulasi yang mengatur hubungan struktural
perusahaan dengan buruh. Konflik industrial sering kali dalam berbagai kasus diwarnai
dengan aksi massa. Begitu pula yang terjadi dengan konflik yang melibatkan buruh dan
perusahaan gudang garam ini. Aksi massa yang dilakukan buruh menuntut untuk
dibatalkannya PHK yang dilakukan PT. Gudang Garam. Bentuk aksi massa berupa
demonstrasi dan penyampaian aspirasi buruh untuk menuntut perusahaan agar
membatalkan PHK yang dilakukan secara sepihak. Seperti yang telah diberitakan di
berbagai media bahwa perusahaan gudang garam ini melakukan PHK terhadap 12.000
karyawannya. Dimana hal ini berakibat pada penghasilan buruh yang selama ini
bergantung terhadap perusahaan terhenti dan tentunya akan berdampak pula terhadap
kehidupan ekonomi 20.000 keluarga buruh yang terkena PHK tersebut.
Masalah yang dihadapi buruh tidak hanya dalam satu aspek, seperti pemutusan
hubungan kerja secara sepihak yang dilakukan perusahaan. Tetapi ada hal lain yang
dihadapi oleh buruh seperti dalam hal upah minimum regional (UMR), masalah
outsourcing dan karyawan kontrak. Kebijakan pemerintah yang yang ada dirasa tidak
memihak para buruh yakni sistem kerja outsourcing. Sistem kerja outsourcing dalam
hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerja dan
penyedia jasa tenaga kerja.

B. Standing point
Terkait standing point dari kasus ekspoitasi buruh di Indonesia yang melibatkan
PT. Gudang Gram, menyatakan bahwa perusahaan tersebut telah melakukan beberapa
pelanggaran yang diantaranya menyangkut melakukan pemberhentian hubungan kerja
(PHK) terhadap 12.000 karyawannya. Dimana hal ini berakibat pada penghasilan buruh
yang selama ini bergantung terhadap perusahaan terhenti dan tentunya akan berdampak
pula terhadap kehidupan ekonomi 20.000 keluarga buruh yang terkena PHK tersebut.
Selain itu hal lain yang menjadi masalah bagi para buruh mengenai upah minimum
Regional (UMR) yang di rasa masih rendah dan masih belum mampu untuk memenuhi
kebutuhan mereka.
Selain mengenai PHK dan UMR maslah lain yang di keluhkan oleh para buruh
mengenai kebijakan pemerintah mengenai adanya sistem kerja outsourcing. Sistem kerja
outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan
pekerja dan penyedia jasa tenaga kerja. Hubungan kerja dengan sistem outsourcing
menyebabkan kedudukan para pihak tidak seimbang. Dengan menggunakan sistem kerja
outsourcing maka perusahaan akan menggunakan tenaga kerja dari luar perusahaan
dimana para buruh yang bekerja dari luar perusahaan akan diberi upah lebih kecil
dibanding karyawan yang ada di dalam perusahaan. Hal tersebut berdampak pada
karyawan yang ada di dalam perusahaan dimana posisi mereka dapat digantikan dengan
para buruh dari luar yang lebih murah sehhingga perusahaan dapat memaksimalkan
keuntungan dari menggunakan tenaga kerja outsourcing tersebut. Tetapi dampak lainnya
yang lebih besar yaitu perusahaan akan melakukan PHK terhadap karyawan tetapnya
yang berdampak pada bertambahlah pengganggurn yang ada di Imdonesia.
C. Pihak yang terlibat
 Buruh ( karyawan )

Dalam kasus ini buruh atau karyawan merupakan pihak yang memiliki pengaruh
langsung karena adanya konflik tersebut. Karena buruh adalah pihak yang merasakan
langsung dampak yang terjadi akibat konflik tersebut. Disini buruh berperan penting
dimana buruuh merupakan pihak yang akan melakukan perlawanan terhadap perusahaan
jika keputusan perusahan yang diambil dirasa tidak sesuai atau dirasa merugikan para
buruh.

 Keluarga para buruh

Dalam kasus ini keluarga dari para buruh merupakan pihak yang secara tidak
langsung merasakan mengenai kebijakan dan keputusan pewrusahaan yang diberikan
kepada para buruh. Keluarga para buruh juga merupakan faktor penentu atau alasan
utama para buruh mau melakukan apapun demi keluarganya tersebut. Jadi keluarga para
buruh dapat dijadikan motivasi utama bagi para buruh. Contohnya pada kasus ini jika
terjadi PHK maka para buruh pun tidak memiliki pendapatan yang dapat digunakan untuk
menghidupi keluarganya.

 Perusahaan

Perusahaan merupakan pihak yang memiliki peran penting bagi para buruh atau
karyawan. Dimana perusahan merupakan tempat atau wadah bagi para buruh untuk
mendapatkan upah atau dapat melakukan pekerjaan. Kebijakan yang buat oleh
perusahaan memiliki dampak langsung bagi para buruh dimana kebijakan tersebut dapat
menguntungkan dan dapat juga merugikan dimana jika kebijakan yang dibuat oleh
perusahaan merugikan buruh maka akan menimbulkan konflik antara perusahan dengan
buruh yang dapat berdampak buruh bagi jalan operasi perusahaan.

 Pemerintah

Keterlibatan pemerintah disini lebih pada sebagai control di Indonesia dengan


membuat kebijakan atau peraturan mengenai hubungan ketenagakerjaan yang baik dan
tidak memihak pihak manapun. Sebagai lembaga pemerintahan seharusnya dalam
membuat kebijakan maka pemerintah harus dapat mempertimbangkan berbagai aspek.
Sehingga kebijakan tersebut tidak disalahgunakan oleh berbagai pihak untuk menindas
pihak lain. Dalam kasus ini adalah perusahaan gudang garam menggunakan kebijakan
pemerintah untuk melakukan PHK besar-besaran

D. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik

Dalam konflik yang terjadi antara perusahaan dengan para buruh ada beberapa faktor
yang mendorong terjadinya kasus tersebut. Menurut analisis kelompok kami faktor utama
konflik yang terjadi yaitu karena kebijakan yang dibuat oeleh pemerintah mengenai
kebijakan sestem kerja outsourcing. Dimana dengan adanya kebijakan tersebut maka
perusahaan memiliki kekuatan atau kesempatan untuk dapat meminimalkan biaya dalam
hal upah tenaga kerja. Dengan menggunakan sistem kerja outsourcing, perusahaan dapat
secara mudah mendapatkan tenaga kerja dari eksternal perusahaan yang dapat diberi upah
dibawah standar yang ada karena para buruh tersebut tidak terikat kontrak dengan
perusahaan. Jika hal tersebut terus menerus dilakukan maka akan berdampak pada
pengurangan karyawan tetap atau yang terikat kontrak dengan perusahaan. Dengan
mengurangi karyawan tetap di perusahaan maka perusahaan tidak harus membayar upah
kepada karyawan tetap dimana upah tersebut lebih besar dari buruh outsourcing atau
sesuai standarn regional.

Selain itu faktor lain yang mendorong adanya konflik yaitu adanya miss komunikasi
yang terjadi antara perusahaan dengan para buruh. Karena keputusan perusahaan
mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) dirasa sepihak. Hal tersebut terjadi karena
perusahaan kurang melakukan komunikasi kepada para karyawannya mengenai akan
adanya PHK yang akan dilakukan secara besar-besaran. Keputusan PHK yang terjadi
dapat mengakibatkan bertambahnya pengangguran yang ada di Indonesia apalagi banyak
kepala keluarga yang bergantung pada pekerjaan tersebut untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Faktor pendorong lainnya yaitu dimana para buruh merasa bahwa upah
minimum regional (UMR) yang ada saat ini dirasa masih cukup rendah untuk dapat
memenuhi kebutuhan mereka. Tetapi disisi lain perusahaan tidak bisa menaikan upah
sesuai dengan permintaan para buruh karena hal tersebut dapat berdampak pada
ketidakstabilan keuangan perusahaan yang dapat beresiko tinggi untuk perusahaan.
E. Potensi penyelesaian
Konflik antara buruh dan karyawan merupakan hal yang wajar terjadi tetapi hal
tersebut bukanlah sesuatu yang baik, maka agar hal tersebut dapat berjalan dengan baik
maka perlu adanya penyelesaian yang tepat agar mendapatkan solusi yang win win
solution. Maka ada beberapa poit yang seharusnya perlu di lakukan :
Pertama : Keterlibatan negara atau pemerintahan dalam konflik perusahaan
gudang garam dengan para buruh sangat di perlukan, terutama dalam menata peraturan
serta regulasi untuk mesalah kebijakan sestem kerja outsourcing dan upah minimum
regional (UMR)
Aspek yang perlu ditekankan adalah mengenai kebijakan yang dibuat pemerintah dalam
kebijakan sistem kerja outsourcing dimana kebijakan tersebut dirasa tidak berpihak pada
buruh. Peran pemerintah haruslah tegas, dimana dalam membuat kebijakan pemerintah
atau dinas ketenagakerjaan harus melihat dari berbagai aspek guna menjadi pertimbangan
dalam membuat kebijakan sehingga kebijakan yang ada tidak berpihak kepada satu pihak
saja. Karena dilihat dari kasus diatas akibat kebijakan yang kurang tepat dapat
mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan
gudang garam kepada 12.000 karyawannya. Hal ini berakibat pada penghasilan buruh
yang selama ini bergantung terhadap perusahaan terhenti dan tentunya akan berdampak
pula terhadap kehidupan ekonomi 20.000 keluarga buruh yang terkena PHK tersebut. Hal
tersebut akan menabah angka pengangguran dan membuat kesenjangan ekonomi semakin
tinggi.
Kedua : Penyelesaian melalui mediasi. Penyelesaian melalui musyawarah antara
pihak perusahaan gudang garam dengan serikat buruh yang di tengahi oleh salah satu
mediator netral, bisa jadi di wakili oleh pihak Depnaker ( Departemen Ketenagakerjaan)
yang antara lain mengenai perselisihan antara hak buruh dan kepentingan perusahaan.
Sehingga dengan cara tersebut perusahaan dapat mengetahui apa yang di inginkan para
buruh dan para buruh pun dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh perusahaan. Dari
hasil mediasi tersebut didapatkan titik tengan dimana perusahaan dan para buruh dapat
membuat keputusan bersama dimana tidak ada pihak yang saling di rugikan. Keputusan
tersebut dapat berupa kebijakan baru atau perjanjian antara buruh dengan karyawan
dimana dalam kasus ini para buruh menolak adanya pemutusan hubungan kerja (PHK)
secara besar-besaran akibat kebijakan sistem kerja outsourcing. Sehingga didapatkan
hasil win-win solution.

Benang Merah :

Dari ketiga konflik di atas kelompok kami menemukan, bahwasanya konflik yang
terjadi antara pihak buruh dan manajemen terjadi biasanya karna banyak sudut pandang
yang terkadang berbeda antara buruh dan pihak manajemen. Namun secara realistis
tuntutan para buruh tidak lain adalah berkaitan tentang hak dan kesejahteraan kaum buruh
yang terkadang dianggap sebagai kaum yang di minoritaskan. Konflik yang terjadi
biasanya di karnakan PHK sepihak, biaya upah rendah, eksploitasi buruh, penyelewengan
hak-hak buruh. Inilah yang menjadi dasar para buruh melakukan demonstrasi menuntut
kesejahteraan mereka. Pada hakikatnya seharusnya dapat kita pahami bersama pihak
manajemen memenuhi hak-hak para buruh dengan baik dan para buruh melakukan
kewajibannya dengan baik sebagai seorang buruh di perusahaan kemudian pemerintah
menjadi jembatan dalam pembuatan regulasi yang sesuai sehingga secara keseluruhan
dapat berjalan beriringan secara integrasi dan interkoneksi yang baik.

Anda mungkin juga menyukai