Anda di halaman 1dari 17

Nama : Tian Amalda Sabrina

NIM : 03031281722065
Shift/Kelompok : Jumat Siang (13.00-16.20)/III

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Udang merupakan salah satu komoditi penting perikanan yang pada saat
ini mengalami peningkatan produksi terutama dari hasil budidaya. Udang sebagai
komoditas andalan pada sektor perikanan umumnya diekspor dalam bentuk beku.
Produksi udang ini setiap tahunnya mengalami peningkatan. Menurut Ferdiansyah
(2005) Potensi manfaat udang di Indonesia meningkat sebesar 7,4% per tahunnya.
Proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 % dari berat udang
menjadi limbah dan jika diasumsikan laju peningkatan produksi udang Indonesia
per tahun tetap. Limbah udang merupakan hasil sampingan pengolahan udang
beku, yang terdiri dari kepala, kulit, ekor, dan kaki yang dapat mencapai 30-70%
dari berat udang. Limbah-limbah tersebut mudah sekali busuk sehingga dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan. Limbah udang ini juga bersifat bulky atau
menyita ruangan, sehingga memerlukan tempat yang cukup luas dan tertutup
penampungannya. Permasalahan pada limbah cangkang udang ini sangat perlu
mendapat perhatian yang serius, sehingga diharapkan dapat bermanfaat dan tidak
sampai menimbulkan dampak yang negatif bagi lingkungan sekitar.
Pemanfaatan limbah cangkang udang saat ini hanya terbatas untuk pakan
ternak saja. Salah satu cara pemanfaatan cangkang udang agar bernilai ekonomis
adalah dengan mengubah cangkang udang menjadi zat kitin. Cangkang udang
mengandung zat kitin sebesar 40-60%. Kitin ini mempunyai struktur kimia yang
unik sehingga telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang. Kitin diperoleh
yaitu dengan menghilangkan kandungan mineral CaCO3 dengan menggunakan
larutan encer asam anorganik atau asam organik, sedangkan protein dihilangkan
dengan menggunakan larutan basa. Melalui proses deasetilasi dari kitin akan
menghasilkan kitosan. Kitosan banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang yaitu
bidang nutrisi, pangan, biomedis, bidang kosmetika, dan dalam bidang lingkungan
Maka dari itu dilakukan percobaan untuk mengetahui bagaimana cara pembuatan
kitosan dari cangkang udang sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik.

1
2

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses ekstraksi kitin dari kulit udang?
2. Bagaimana pengaruh proses pengeringan kulit udang pada pembuatan
kitosan?
3. Bagaimana karakteristik kitosan yang dibuat dari kulit udang?

1.3. Tujuan Percobaan


1. Mengetahui bagaimana proses ekstraksi kitin dari kulit udang.
2. Menganalisa pengaruh proses pengeringan kulit udang pada pembuatan
kitosan.
3. Mempelajari karakteristik kitosan yang dibuat dari kulit udang.

1.4. Manfaat Percobaan


1. Dapat memproduksi kitosan dari kulit udang dalam skala kecil.
2. Dapat memanfaatkan limbah kulit udang menjadi kitosan.
3. Dapat mengetahui karakteristik kitosan dari kulit udang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kitosan sebagai Matriks Imobilisasi Enzim


Enzim merupakan biokatalis yang mempunyai aktivitas spesifik dan juga
bisa bekerja secara efisien. Penggunaan enzim lebih menguntungkan dibanding-
kan dengan sel bebas. Enzim tidak memerlukan media yang kompleks, tidak
membutuhkan aerasi dan kondisi steril serta lebih sedikit limbah yang dihasilkan.
Enzim juga memiliki beberapa kelemahan seperti sulitnya ekstraksi enzim dan
sulitnya pemisahan enzim dari produk. Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan mengembangkan teknik imobilisasi enzim (Akiba dkk, 1995).
Enzim terimobilisasi didefinisikan sebagai enzim yang secara spesifik
ditempatkan dalam suatu ruang tertentu yang dengan tetap memiliki aktivitas
katalitiknya dan juga dapat digunakan secara berulang atau secara terus-menerus
(Chibata, 1978). Imobilisasi enzim adalah usaha untuk memisahkan antara enzim
dengan produk selama reaksi dengan menggunakan sistem dua fase, satu fase
mengandung enzim dan fase lainnya mengandung produk, sehingga tidak terjadi
saling kontaminasi antara enzim dan produk (Chaplin dan Buckle, 1990).
Kitin mempunyai struktur yang berpori demikian juga dengan kitosan.
Keuntungan dari matriks berpori adalah luasnya permukaan pada ikatan, serta
perlindungan enzim di dalam porinya terhadap kerusakan fisik oleh lingkungan
(Messing dalam Smith, 1990). Ukuran pada pori matriks juga perlu diperhatikan.
Ukuran pori yang kecil dapat menyulitkan masuknya enzim yang berukuran besar
serta kemungkinan hambatan difusi substrat makro molekul cukup besar untuk
bereaksi dengan enzim, sehingga berakibat pada turunnya aktivitas enzim.
Kitin dan kitosan memiliki beberapa keunggulan jika digunakan sebagai
matriks penyangga yaitu, antara lain bentuk fisiknya dapat diubah (serpihan,
manik-manik berpori, gel, fiber, serta membran), biodegradasi, murah, mudah
penanganannya, memiliki afinitas yang tinggi pada protein, dan juga non toksik
(Pereira, 2003). Stanley dkk. (1975) telah menambahkan bahwa kitin dan kitosan
mempunyai struktur yang keras, inert, dan densitas kamba yang rendah.

3
4

Kitosan mempunyai suatu gugus fungsional yaitu gugus amino sehingga


mempunyai derajat reaksi kimia yang cukup tinggi (Johnson dan Peniston, 1982).
Kitosan akan bermuatan positif dalam larutan karena adanya gugus amin yang
akan mengikat ion positif (Muzzarelli, 1985). Menurut Mckay dkk. (1987) kitosan
tidak larut dalam air, larutan alkali pada pH di atas 6,5 dan pelarut organik, tetapi
larut dengan cepat dalam asam organik encer seperti asam formiat, asam asetat,
asam sitrat, dan asam mineral lain kecuali sulfur. Menurut Knorr (1984) kitosan
mampu mengikat air dan minyak karena mempunyai gugus polar dan non polar.
Jumlah air yang dapat diikat kitosan ialah 325-440(w/w). Kemampuan pengikatan
tersebut membuat kitosan dapat bertindak sebagai penstabil dan pengental.

2.2. Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang


Kitosan diperoleh dari kitin melalui proses deasetilasi. Ekstraksi kitin
dari kulit udang dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu tahap pemisahan mineral
(demineralisasi) dan pemisahan protein (deproteinasi) yang kemudian dilanjutkan
dengan pemutihan (dekolorisasi) (Suptijah dkk, 1992). Proses-proses tersebut
dilakukan bertujuan untuk mendapatkan kitosan dengan hasil yang baik.
2.2.1. Proses Demineralisasi
Demineralisasi adalah penghilangan mineral yang terdapat dalam bahan
yang mengandung kitin. Penghilangan pada mineral tersebut terutama kandungan
kalsiumnya dilakukan dengan penambahan asam seperti asam klorida (HCl), asam
sulfat (H2SO4), dan asam sulfit (H2SO3) (Karmas, 1982). Proses demineralisasi
berdasarkan pada metode Suptijah dkk. (1992) adalah dengan menggunakan HCl
1,5 N dengan perbandingan 1 : 7 (b/v) untuk bahan-bahan yang telah disiapkan
dan larutan HCl dengan pemanasan pada suhu 90 oC selama satu jam.
Pemisahan mineral bertujuan menghilangkan senyawa organik yang ada
pada limbah tersebut. Besarnya kandungan mineral yang dihilangkan, maka akan
menghasilkan kitin yang semakin baik pula. Kulit udang umumnya mengandung
30-50 % mineral (Angka dan Suhartono, 2000). Mineral utama yang terdapat pada
udang yaitu kalsium dalam bentuk CaCO3 dan sedikit Ca3(PO4)2. Senyawa kalsium
akan bereaksi dengan HCl dan kemudian menghasilkan kalsium klorida, asam
karbonat, dan asam fosfat yang larut dalam air pada saat demineralisasi.
5

Proses demineralisasi menyebabkan terjadinya reaksi kimia antara asam


klorida (HCl) dengan kalsium (CaCO3 dan Ca3(PO4)2), menghasilkan kalsium
klorida yang akan mengendap apabila pH ditingkatkan dan mudah dipisahkan
melalui proses penyaringan. Proses demineralisasi akan berlangsung sempurna
dengan mengusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin
dan juga disertai pengadukan yang konstan, dengan pengadukan yang konstan
diharapkan menciptakan panas yang homogen sehingga asam yang digunakan
dapat bereaksi sempurna dengan bahan baku yang digunakan (Karmas, 1982).
2.2.2. Proses Deproteinasi
Proses deproteinasi bertujuan menghilangkan protein dari limbah udang
tersebut. Protein ini dapat mencapai 30-40% berat bahan organik kulit udang
(Angka dan Suhartono, 2000). Keefektifan proses tersebut bergantung dengan
kekuatan larutan basa dan tingginya suhu yang digunakan. Penggunaan larutan
NaOH 3,5% dengan pemanasan 90 oC selama satu jam dapat dilakukan sebagai
alternatif deproteinasi dengan perbandingan limbah udang yang kering dan larutan
sebesar 1:10 (Suptijah dkk, 1992). Selama proses larutan alkali akan masuk ke
celah-celah limbah udang untuk memutuskan ikatan antara kitin dan protein. Ion
Na+ akan mengikat ujung rantai protein menjadi Na-proteinat yang selanjutnya
dapat dipisahkan kembali dengan menurunkan pH karena terjadi pengendapan
natrium. Produk akhir proses demineralisasi dan deproteinasi adalah kitin.
Tahap deproteinasi dilakukan mereaksikan kitin hasil dari demineralisasi
dengan basa kuat NaOH dalam ekstraktor, protein akan larut dalam larutan NaOH.
Reaksi deproteinasi bertujuan untuk memutuskan ikatan antara protein dan kitin
dengan cara menambahkan natrium hidroksida. Terbentuk sedikit gelembung di
permukaan larutan pada saat reaksi deproteinisasi terjadi dan larutan dalam
ekstraktor menjadi agak mengental dan berwarna kemerahan. Pengentalan larutan
dalam ekstraktor disebabkan adanya kandungan protein dari dalam crude kitin
yang terlepas dan berikatan dengan ion Na+ dalam larutan, membentuk natrium
proteinat Rendemen setelah di deproteinasi adalah sebesar 30%. Rendemen ini
merupakan rendemen kitin. Protein yang terekstrak pada tahapan deproteinasi
adalah dalam bentuk ikatan Na-proteinat, dimana ion Na+ mengikat ujung rantai
protein yang bermuatan negatif sehingga mengendap (Purwatiningsih, 1992).
6

Proses isolasi senyawa kitin dari limbah kulit udang dilakukan dengan
menggunakan metode Hong (Salami, 1998), meliputi deproteinasi, demineralisasi
dan dekolorisasi. Proses demineralisasi yaitu pencampuran limbah kulit udang
dengan larutan HCl 1 N dalam ekstraktor, terjadi reaksi yang cukup signifikan.
Selanjutnya terbentuk banyak buih dan juga gelembung-gelembung udara dengan
volume yang cukup besar dan hal ini berlangsung selama kurang lebih 5-10 menit.
Hal ini disebabkan oleh terbentuknya gas-gas CO2 dan H2O di permukaan larutan.
Crude kitin hasil tahap demineralisasi dibilas dengan air secara berlebih
untuk menghilangkan sisa HCl yang masih terdapat pada kitin, agar kitin tidak
rusak ketika akan direaksikan dengan basa kuat NaOH pada tahap deproteinasi,
yang diakibatkan oleh perubahan pH yang cukup ekstrim. Terbentuknya gas CO 2
dalam produksi merupakan indikator berlangsungnya reaksi HCl dengan garam
mineral yang terdapat di limbah kulit udang. Selama proses demineralisasi,
senyawa kalsium akan bereaksi dengan HCl yang larut di air (Bastaman, 1989).
Protein, lemak, fosfor, magnesium dan besi turut terbuang dalam proses ini.
Menurut Marganov (2003), bahwa proses demineralisasi bertujuan untuk
menghilangkan garam-garam anorganik atau kandungan mineral yang ada pada
kulit udang. Kandungan mineral utamanya adalah CaCO3 dan Ca3(PO4)2 dalam
jumlah kecil, mineral yang terkandung di dalam kulit udang ini lebih mudah
dipisahkan dibandingkan dengan protein karena hanya terikat secara fisik.
2.2.3. Proses Dekolorisasi
Kitin setelah melewati proses deproteinisasi, kemudian memasuki tahap
dekolorisasi yang bertujuan untuk penghilangan warna yang terkandung dalam
kitin, yaitu red-orange astaxanthin, suatu jenis karotenoid. Proses ini dilakukan
dengan mencampurkan kitin hasil deproteinisasi dan larutan natrium hipoklorit
dengan konsentrasi 0,315% di ekstraktor dan berlangsung selama 60 menit.
2.2.4. Proses Deasetilasi
Proses pembuatan kitosan, yaitu dengan cara penghilangan gugus asetil (-
COCH3) (deasetilasi) dari kitin yang dilakukan dengan menggunakan larutan
NaOH pekat (50%) dengan perbandingan 1:20 selama satu jam pada suhu 120-
140oC (Suptijah dkk, 1992). Suhu yang tinggi (140oC) dan konsentrasi NaOH
7

yang tinggi (50%) berkaitan dengan ikatan kuat antara atom nitrogen pada gugus
amin dengan gugus asetil. Banyaknya gugus asetil yang hilang dari polimer kitin,
maka akan semakin meningkatkan interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari
kitosan (Ornum, 1992). Terjadi reaksi antara NaOH dengan gugus N-asetil pada
kitin (rantai C-2) yang akan menghasilkan Na-asetat dan substitusi gugus asetil
dengan gugus amina (-NH2) yang terjadi selama berlangsungnya proses ini.
Isolasi senyawa kitosan diperoleh dengan melakukan proses reaksi yaitu
deasetilasi pada kitin. Deasetilasi merupakan proses pengubahan gugus asetil (-
NHCOCH3) pada kitin menjadi gugus amina (-NH2) dengan penambahan basa
kuat seperti NaOH. Reaksi deasetilasi kitin pada dasarnya adalah suatu reaksi
hidrolisis amida dari α-(1-4)-2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa. Konsentrasi ion
OH- sangat berpengaruh terhadap proses pelepasan gugus asetil dari gugus
asetamida kitin. Menurut Azhar dkk. (2010), menyatakan semakin kuat suatu basa
semakin besar konsentrasi OH- di larutannya dapat meningkatkan kekuatan basa
mempengaruhi proses deasetilasi gugus asetil dari gugus asetamida kitin.
Pembuatan kitosan dalam penelitian biasanya dilakukan dengan mengikuti metode
Knorr (dalam Salami 1998) dengan menambahkan NaOH 60% perbandingan 20:1
(v/b) dan kemudian dimasukkan ke dalam ekstraktor pada suhu 80 - 100 oC selama
satu jam. Rendemen yang diperoleh pada tahapan ini sebesar 63%.

2.3. Sifat Fisika dan Kimia Kitosan


Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin dengan menggunakan basa
kuat. Menurut Knorr (1982), kitosan merupakan polimer dari 2-deoksi-2-amino
glukosa yaitu kitin yang terdeasetilasi yang mempunyai ikatan (1-4)â. Besarnya
gugus asetil yang hilang dari polimer kitin akan menjadi semakin memperkuat
interaksi antara ion dan juga ikatan hidrogen dari kitosan tersebut.
Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai
karbonnya. Gugus amino ini yang menyebabkan kitosan bermuatan positif yang
berlawanan dengan polisakarida yang lainnya (Ornum, 1992). Kitosan merupakan
polielektrolit yang netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion
polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat
dengan kitosan lalu membentuk ion netral (Sandford, 1989). Shahidi dkk.(1999)
8

menyatakan kitosan memiliki tiga tipe gugus fungsi yang reaktif, yaitu sebuah
gugus amino, gugus hidroksil primer dan gugus sekunder pada posisi C-2, C-3
dan C-6 secara berurutan. Menurut Knorr (1982) bobot molekul kitosan sekitar
1,036 x 105 dalton. Berat molekul kitosan tergantung dari degradasi yang terjadi
pada saat proses pembuatan kitosan. Kumar (2000) menambahkan bahwa sifat dan
kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi yang
beragam tergantung dari sumber dan metode isolasinya itu sendiri.
Kitosan dapat larut dalam beberapa larutan asam organik tetapi tidak
larut dalam pelarut organik. Kitosan tidak larut dalam air, larutan basa kuat dan
larutan yang mengandung konsentrasi ion hidrogen di atas pH 6,5, tetapi kitosan
dapat larut dalam asam hidroklorat dan asam nitrat pada konsentrasi 0,15-1,1%
dan tidak larut pada konsentrasi asam 10%. Kitosan juga tidak larut dalam asam
sulfur tapi larut sebagian pada asam ortofosfat dengan konsentrasi 0,5% (Ornum,
1992). Pelarut kitosan yang umum adalah asam asetat konsentrasi 1-2%.
Mutu kitosan yang diperdagangkan secara komersial tergantung pada
penggunaannya, misalnya pada penanganan limbah diperlukan kitosan dengan
kemurnian yang rendah, untuk obat-obatan diperlukan kitosan kemurnian yang
tinggi. Mutu kitosan dipengaruhi beberapa parameter yaitu kadar air, kadar abu,
kelarutan, derajat deastilasi, viskositas, dan bobot molekul (Suptijah dkk. 1992).

2.4. Pengaruh Waktu Reaksi pada Proses Deasetilasi Kitosan


Fadli dkk. (2016) melakukan penelitian mengenai sintesis kitosan dari
cangkang udang dan hasil derajat deasetilasi kitosan tertinggi 86,02% pada rasio
1:20 dengan waktu reaksi 3 jam. Sedangkan derajat deasetilasi terendah terdapat
pada perlakuan waktu reaksi 0,5 jam, yaitu 71,92 %. Hal ini menunjukkan bahwa
kenaikan waktu reaksi mempengaruhi banyaknya presentase molekul NaOH yang
teradisi kitin sehingga penyebabkan gugus asetil yang terlepas pun semakin
banyak (Rokhati, 2006). Faktor pendorong terjadinya peningkatan derajat pada
deasetilasi kitosan adalah faktor morfologi rantai kitin yang gugus asetamidanya
semakin berkurang pada saat waktu deasetilasi meningkat, kitin dengan gugus
asetamida yang berkurang akan dapat mengalami perubahan morfologi, sehingga
memungkinkan proses hidrolisis oleh basa kuat (Ramadhan dkk, 2010).
9

Kecilnya rendemen kitosan yang dihasilkan menandakan kitosan yang


dihasilkan semakin baik karena sudah banyak gugus asetil yang terlepas dari
polimer kitin (Suharjo dan Harini, 2005). Berdasarkan analisa kadar air kitin yang
dihasilkan menunjukkan bahwa perlakuan variasi waktu reaksi terhadap rasio
massa kitin dan larutan pada proses deasetilasi tidak memiliki pengaruh yang
signifikan. Pembuatan kitosan dengan kadar air banyak dipengaruhi oleh proses
pengeringan serta kitosan itu sendiri dalam menyerap uap air dari lingkungannya.
Kadar air kitosan tidak dipengaruhi oleh jumlah bahan, nisbah, dan waktu
prosesnya, tetapi oleh waktu pengeringan terhadap kitosan (Wardhani, 2007).
Kandungan mineral berkurang setelah mengalami proses demineraisasi
sehingga diperoleh kitin dengan kadar abu yang lebih sedikit 1,4320%. Menurut
Bastman (1989), kitosan mengandung gugus hidroksil yang bertindak sebagai
donor elektron dan berperan sebagai amino pengganti. Kitosan dapat berinteraksi
dengan zat organik lain yaitu dengan sisa mineral yang terkandung di bahan.

2.5. Pemanfaatan Kitosan sebagai Antimikroba


Penggunaan senyawa antimikroba yang tepat dapat memperpanjang umur
simpan suatu produk serta menjamin keamanan produk. Dibutuhkan bahan berupa
alternatif lain sebagai antimikroba yang alami sehingga tidak membahayakan bagi
kesehatan, yaitu penggunaan kitosan untuk menghambat aktivitas mikroba. Kulit
udang mengandung protein (25 - 40%), kalsium karbonat (45 - 50%), dan kitin
(15 - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis
udangnya. Kitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama
kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang
dinamakan fungiue. Tahun 1823, Odins mengisolasi suatu senyawa pada kutikula
serangga Janis ekstra yang disebut dengan nama kitin. Kitin adalah konstituen
organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, molusca,
corlengterfa, dan nematoda. Kitin biasanya berkonjugasi dengan protein dan tidak
hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea,
insang, dinding usus, dan juga pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi.
Kitosan adalah polimer dari 2-amino-2 Deoksi-D-glukosa. Polimer kitin
dan kitosan dapat dibedakan berdasarkan kandungan nitrogennya. Polimer kitin
mempunyai kandungan nitrogen kurang dari 7% dan kitosan bila mempunyai
10

kandungan nitrogen lebih dari 7%. Kelompok kitin dan kitosan yang ada di alam
merupakan senyawa yang tidak dapat dibatasi dengan stoikiometri secara pasti.
Pemanfaatan kitosan sangat banyak diantaranya yaitu untuk pengawet makanan
pengganti formalin dan boraks, pengolahan limbah, obat pelangsing, kosmetik,
dan lain sebagainya. Kitosan mempunyai gugus aktif yang akan berikatan dengan
mikroba sehingga kitosan juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba.
Satu hal yang sangat melegakan adalah kitosan sama sekali tidak berefek
buruk. Saat ini, kitosan telah diproduksi secara industri di negara-negara maju
terutama Jepang dan Amerika Serikat dan mengalami peningkatan yang cukup
tajam. Kitosan ini merupakan bahan yang sumbernya melimpah dan dapat
diperbaharui, maka pada situasi yang terjadi sekarang yaitu pengurangan sumber-
sumber alam yang berkelanjutan serta perkembangan bioteknologi yang demikian
pesat menjadikan pemanfaatan sumber daya alam alternatif seperti limbah kulit
udang merupakan hal yang sangat diperlukan sekarang ini (Ornum, 1992).
Penggunaan kitosan untuk menghambat aktivitas mikrobia pada ikan nila
segar telah diuji efektivitasnya (Mahatmanti, 2001). Kitosan pada penelitiannya
yang digunakan sebagai anti mikrobia ikan nila disintesis dari cangkang udang
windu. Populasi cangkang udang yang digunakan untuk penelitian ini merupakan
cangkang udang windu yang berasal dari Tempat Pelelangan Ikan Tambak Lorok
Semarang. Populasi ikan segar yang digunakan adalah ikan nila hidup yang
langsung berasal dari tambak di Juwana Pati. Kitin dan juga Kitosan kemudian
disintesis dari cangkang udang windu dengan menggunakan metode Hong.
Kitin dan kitosan yang berhasil disintesis lalu dikarakteristikkan hasilnya
meliputi pengujian kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, dan derajat deasetilasi.
Kitosan setelah dikarakteristik, digunakan sebagai anti mikrobia ikan nila segar.
Kitosan dilarutkan dalam asam asetat 2% dengan konsentrasi kitosan bervariasi
1%, 1,5%, dan 2%, sebagai kontrol digunakan larutan asam asetat 2% dan
akuades. Lama waktu penyimpanan ikan nila bervariasi 0 jam, 2 jam, 4 jam, 6
jam, 8 jam, 10 jam, 12 jam, dan 14 jam. Hasil menunjukkan bahwa kitin mem-
punyai kadar air 2,5%, kadar abu 7,78%, kadar nitrogen 5,6%, dan derajat
deasetilasi 67,64%. Kitosan mempunyai kadar air 3,75%, kadar abu 8,75%, kadar
11

nitrogen 8,26%, dan derajat deasetilasi 81,11%. Hasil uji mikroba larutan kitosan
terhadap ikan nila segar menunjukkan perlakuan dengan larutan kitosan 1% pada
ikan nila selama 10 jam adalah kondisi paling optimum (Mahatmanti, 2001).

2.6. Kitosan Sulfat


Kitosan sulfat adalah salah satu dari modifikasi kitosan dengan cara
penempelan ion sulfat (SO42-) pada amina (NH2) yang merupakan gugus aktif
kitosan. Perbandingan gugus amina dan asetamida yang terdapat dalam satu
molekul kitosan bisa mencapai 90% (Sakkayawong, 2005). Konversi kitosan
menjadi kitosan sulfat pada dasarnya adalah pengikatan elektrostatik ion sulfat
pada gugus NH2 pada kitosan menjadi NH3+ dan SO42- untuk menambah
kereaktifan gugus aktif pada kitosan sehingga dapat meningkatkan kapasitas
adsorpsi dari kitosan, dengan meningkatkan laju adsorbsi pada kitosan sulfat.
Kereaktifan situs aktif kitosan sulfat lebih stabil daripada kitosan, karena kitosan
sulfat telah mengalami protonasi yang permanen karena dengan adanya proses
penempelan ion sulfat (Cahyaningrum, 2001). Terbentuknya kompleks amina
NH3+ dan SO42- maka dimungkinkan terjadi perubahan mekanisme adsorpsi dari
mekanisme pembentukan kompleks menjadi proses pertukaran ion.
Darjito (2001), Cahyaningrum (2001), dan Mahatmanti (2001) telah
memakai kitosan sulfat sebagai adsorben logam, dan dari penelitian tersebut
terbukti bahwa kapasitas adsorpsi kitosan sulfat terhadap ion logam lebih tinggi
dibanding dengan kitosan. Karakterisasi kitosan sulfat meliputi analisis gugus
fungsi dengan spektroskopi FTIR, analisis derajat deasetilasi dengan spektroskopi
FTIR, dan analisis ion sulfat yang menempel dengan turbidimetri.
Kitin mengandung gugus asetamida (-NHCOCH3) yang kurang reaktif,
oleh karena itu dalam pemakaian kitin biasanya diubah menjadi kitosan yang
mempunyai gugus amina yang lebih reaktif. Pengubahan kitin menjadi kitosan
dengan menghilangkan gugus asetil pada kitin dengan penambahan basa disebut
sebagai proses deasetilasi. Kitosan telah dilaporkan mempunyai kapasitas adsorpsi
yang tinggi. Adsorpsi kitosan terhadap zat warna dapat terjadi pada range pH yang
luas dan suhu tinggi. Kapasitas adsorpsi kitosan dapat ditingkatkan dengan cara
mengubah kitosan menjadi kitosan sulfat dengan menempelkan ion sulfat dari
12

larutan ammonium sulfat. Ion sulfat yang kaya elektron dapat memprotonasi
gugus amina pada kitosan sehingga terbentuk ikatan elektrostatik, yang akan
bereaksi dengan gugus reaktif zat warna dengan waktu kesetimbangan lebih cepat
karena gugus amina telah mengalami protonasi permanen oleh sulfat.
Adsorpsi kitosan sulfat terhadap Remazol Yellow FG 6 dipengaruhi oleh
kondisi larutan yang meliputi konsentrasi larutan, pH larutan dan lamanya waktu
kontak. Variasi konsentrasi, pH dan waktu kontak dilakukan untuk mengetahui
kondisi optimum adsorpsi. Ikatan yang terjadi antara zat warna dan adsorben
dapat berupa ikatan kovalen yaitu gugus vinil zat warna dengan amina sulfat,
ikatan ionik yaitu gugus amina sulfat dengan sulfat zat warna, ikatan hidrogen
gugus vinil dengan OH kitosan atau gaya Van der Waals (Isminingsih, 1978).
Interaksi antara zat warna dengan kitosan sulfat akan dominan dengan
interaksi elektrostatik pada suasana asam antara gugus amina dan gugus sulfat dari
zat warna, karena dalam asam gugus NH3+ akan stabil sedang zat warna dalam air
akan membentuk gugus reaktif sulfat. Desorpsi kitosan sulfat dengan akuadest
dilakukan pada kondisi optimum dan dapat dipakai untuk mengetahui jenis dan
isoterm adsorpsi yang terjadi. Saat desorpsi, ikatan yang lemah akan dapat
dilepaskan kembali mengikuti persamaan isoterm adsorpsi Freundlich, sedangkan
untuk ikatan kimia yang kuat tidak dapat dilepas kembali mengikuti persamaan
isoterm adsorbsi Langmuir (Nasution dan Citorekso, 1999).
Identifikasi gugus fungsi pada kitin, kitosan, dan kitosan sulfat memakai
analisa FTIR. Banyaknya sulfat yang menempel pada kitosan dianalisis dengan
turbidimetri. Besarnya nilai adsorpsi Remazol Yellow FG 6 oleh kitosan sulfat
dianalisis dengan spektroskopi Uv-Vis. Karakterisasi sifat fisika kitosan diperoleh
dengan analisis kadar air dan kadar mineral dengan pemanasan dan penimbangan,
berat molekul dengan viskometer Ostwald dan derajat deasetilasi dengan
spektroskopi FTIR. Adsorpsi Remazol Yellow FG 6 oleh kitosan sulfat memakai
metode Batch. Kitosan sulfat yang diperoleh dikarakterisasi kadar air, kadar abu
dan penentuan gugus fungsi dengan spektra FTIR. Kadar air dan kadar abu
kitosan sulfat yang diperoleh setelah di analisa dengan spektra FTIR, masing-
masing adalah sebesar 1,49% dan 93,51 %. Banyaknya sulfat yang menempel
pada kitosan dihitung dengan turbidimetri didapatkan sebesar 6,46 mg/g.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1. Grinding
2. Water bath
3. Neraca analitis
4. Corong dan kertas saring
5. Beker gelas
6. Kertas lakmus universal
7. Pipet tetes
8. Oven
9. Spatula

3.1.2. Bahan
1. Kulit udang
2. HCl
3. NaOH
4. Aquadest

3.2. Prosedur Percobaan


1. Udang dipisahkan dan kemudian kulitnya dicuci bersih lalu keringkan.
2. Kulit udang yang telah dikeringkan digerus sampai halus hingga menjadi
bubuk atau powder.
3. Bubuk kulit udang ditimbang sebanyak 5 gr, dicampur dengan 300 ml
aquadest.
4. HCl kemudian dimasukkan sebanyak 3 tetes, selanjutnya larutan kulit
udang tadi dipanaskan selama 2 menit, diamkan sebentar.
5. Larutan tadi disaring dengan kertas saring, slurry kulit udang dimasukkan
ke dalam beker gelas kemudian dicuci serta disaring kembali.
6. Hasil saringan ini dicampur kembali dengan 300 ml aquadest, direbus
selama 2 menit kemudian disaring kembali.

13
14

7. Hasil saringan ditetesi NaOH sebanyak 3 tetes, selanjutnya diukur pH


dengan menggunakan pH meter.
8. Larutan disaring kembali dan dikeringkan.
DAFTAR PUSTAKA

Akiba, S. Y., dkk. 1995. Purification and Characterization of a Protease.Resistant


Cellulase from Aspergillus niger. Bioengineering. 79: 125-130.
Angka, S. L., dan Suhartono, M. T. 2000. Pemanfaatan Limbah Hasil Laut
Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Azhar, M., dkk. 2010. Pengaruh Konsentrasi NaOH dan KOH terhadap Derajat
Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang. Jurnal Eksakta. 1 (11): 22-
30.
Bastaman. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan
from Prawn Shells. England: The Queen University of Belfast.
Bastman, S. 1989. Studies on Degradetion and Extraction of Chitin and Chitosan
from Prawn Shells. Tesis. Aeonautical and Chemical Engineering.
Canada: The Queen’s University.
Cahyaningrum, S. E. 2001. Karakteristik Adsorpsi Ni (II) dan Cd (II) pada
Kitosan dan Kitosan Sulfat dari Cangkang Udang Windu (penaus
monodon). Tesis. Teknik Kimia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Chaplin, J. dan Buckle G. B. 1990. Enzyme Immobilization Technology. New
York: AVI Publishing.
Chibata, I. 1978. Imobilized Enzyme, Research, and Development. New York:
John Wiley and Sons Inc.
Darjito. 2001. Karakterisasi Adsorpsi Co(II) dan Cu(II) pada Adsorben Kitosan
Sulfat. Tesis Teknik Kimia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Fadli, A., dkk. 2016. Sintesis Kitosan Dari Cangkang Udang. Jurnal Teknologi
Pangan. 1(1): 16-23.
Ferdiansyah, V. 2005. Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Udang sebagai
Matriks Penyangga pada Imobilisasi Enzim Protease. Skripsi. Program
Studi Teknologi Hasil Perikanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Isminingsih, G. 1978. Pengantar Kimia Zat Warna. Bandung: ITB.
Johnson E. L., dan Peniston Q. P. 1982. Chemistry and Biochemistry of Marine
Food Products. Westport: AVI Publishing Company.
Karmas, E. 1982. Meat Poultry and Seafood Technology Recent Development Of
Food. New Jersey: Rutgers University
Knorr, D. 1982. Functional Properties of Chitin and Chitosan. Journal of Food
Science. 48: 36-41.
Kumar MNVR. 2000. Chitin and Chitosan Fibres: An Overviev on Chitin and
Chitosan Applications, Reactive and Function. Journal of Polymer.
15(22): 17-33.
Mahatmanti, F. W. 2001. Studi Adsorben Logam seng(II) dan Timbal (II) pada
Kitosan dan Kitosan Sulfat dari Cangkang Udang Windu (Penous
Monodon). Tesis. Teknik Kimia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Mahatmanti, F. W., Sugiyo, W., dan Sunarto, W. 2001. Sintesis Kitosan dan
Pemanfaatannya sebagai Anti Mikrobia Ikan Segar. Jurnal Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. 5: 101-111.
Margonof. 2003. Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (timbal,
kadmium, dan tembaga) di Perairan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Mckay, G., Blair, H. S., dan Grant, S. 1987. Desorption of Copper from
Chopper-Chitosan Complex. Journal Chem. Tech. Biotechnology. 40:
63-77.
Muzzarelli, R. A. A. 1985. Chitin in The Polysaccharides 3. Orlando: Academic
Press Inc
Nasution, S. H., dan Citorekso, P. 1999. Kitosan, Teknologi Produksi dan
Aplikasinya sebagai Pangan Kesehatan. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Pangan. 177-182. Yogyakarta.
Ornum, J. V. 1992. Shrimp Waste Must it be Waste?. Journal of Info Fish. 6: 48-
52.Pereira, E. B. 2003. Immobilization and Catalytic Properties of
Lipase on Chitosan for Hydrolysis and Esterification Reaction. Journal
of Chemical Engineer. 20(4): 102-115.
Purwatiningsih. 1992. Isolasi Khitin dan Senyawaan Kimia dari Limbah Udang
Windu (Penaeus monodon). Bogor: FMIPA IPB.
Ramadhan, L. O. A. N., Radiman, C. L., dan Wahyuningrum, D. 2010. Deasetilasi
Kitin Secara Bertahap Dan Pengaruhnya Terhadap Derajat Deasetilasi
Serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kima Indonesia. 5(1): 17-21.
Rokhati, N. 2006. Pengaruh Derajat Deasetilasi Khitosan Dari Kulit Udang
Terhadap Aplikasinya Sebagai Pengawet Makanan. Skripsi. Teknik
Kimia. Semarang: Universitas Diponegoro.
Sakkayawong N. P., Thiravetyan, W., dan Nakbanpote. 2002. Adsorption
Mechanism of Reactive Dye Wastewater by Chitosan. Journal of Colloid
and Interface Science. 286(40): 36-42.
Salami, L. 1998. Pemilihan Metode Isolasi Kitin dan Ekstraksi Kitosan dari
Limbah Kulit Udang Windu (Peneaus monodon) dan Aplikasinya
sebagai Bahan Koagulasi Limbah Cair Industri Tekstil. Skripsi. Jurusan
Kimia FMIPA. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sandford, P. A., dan Hucthings, G. P. 1987. Chitosan and Natural Cationic
Biopolimer, Comercial Application. New York: Elseiver Sci. Co. Inc.
Shahidi, F., Janak, K. V. A., dan You, J. J. 1999. Food Applications of Chitin
and Chitosan. Journal of Food Science and Technology. 10(8): 37-51.
Smith, J. E. 1990. Prinsip Bioteknologi. Jakarta: PT. Gramedia.
Stanley, W. L., dkk. 1975. Lactase and Other Enzyme Bound to Chitin with
Glutaraldehide. Journal of Biotech Bioeng. 17: 315-326.
Suharjo dan Harini, N. 2005. Ektraksi Chitosan dari Cangkang Udang Windu
(Penaeus Monodon SP) secara Fisika-Kimia (Kajian Berdasarkan Ukuran
Pertikel Tepung Chitin dan Konsetrasi NaOH). Skripsi. Teknik Kimia.
Malang: Universitas Muhammadiyah.
Suptijah, P., dkk. 1992. Pengaruh Berbagai Isolasi Khitin Kulit Udang terhadap
Mutunya. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Wardhani, I. K. 2007. Mempelajari Mutu Silase dan Kitosan dari Ampas Silase
Limbah Udang. Skripsi. Prodi Teknologi Hasil Perikanan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai