Anda di halaman 1dari 15

Nama : Cindy Tamara

NIM : 03031281722045
Shift/Kelompok : Senin Siang (13.00-16.20)/IV

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tumbuhan kacang-kacangan merupakan tumbuhan yang menghasilkan
berbagai jenis kacang-kacangan, seperti halnya kacang kedelai, kacang tanah,
kacang hijau, dan lain-lain sebagainya. Kacang-kacangan merupakan sumber
protein yang baik sehingga bisa diolah dan dimanfaatkan sebagai sumber pangan
kehidupan manusia. Kacang-kacangan dapat diolah menjadi bahan pangan berupa
tempe. Tempe merupakan salah satu makanan yang banyak disukai oleh berbagai
kalangan masyarakat, dari kalangan ekonomi rendah sampai ekonomi tinggi.
Kacang kedelai merupakan jenis kacang-kacangan yang mudah dijumpai
dan banyak terdapat di pasaran. Kacang kedelai dapat di manfaatkan sebagai
bahan baku utama pembuatan susu kedelai, tahu, yogurt, tempe, kecap dan lain-
lain. Tempe di buat dengan proses fermentasi kacang kedelai menggunakan ragi
tempe yaitu jamur Rhizopus oligosporus. Terjadinya proses fermentasi dapat
menyebabkan perubahan sifat bahan pangan, sebagai akibat dari pemecahan
kandungan-kandungan bahan pangan yang terdapat didalam bahan tersebut.
Tempe di fermentasi dengan waktu 36-48 jam, hal ini ditandai dengan
pertumbuhan kapang yang hampir tetap dan tekstunya lebih kompak. Setelah
waktu ini maka tempe akan siap untuk diperjual belikan di pasaran.
Tempe telah menjadi menu penting dalam pola konsumsi sebagian
masyarakat Indonesia dan tidak bisa terlepaskan penggunaannya, terutama sebagai
sumber protein yang relatif murah harganya di bandingkan protein hewani. Saat
ini tempe tidak hanya digunakan sebagai sumber protein, tetapi juga sebagai
pangan fungsional yang dapat mencegah timbulnya penyakit degeneratif seperti
penuaan dini, jantung koroner, dan hipertensi. Senyawa isoflavon yang terdapat
pada tempe ternyata dapat berfungsi sebagai antioksidan bagi tubuh. Selain itu
banyak sekali manfaat tempe lainnya untuk kesehatan tubuh yaitu untuk
meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan kinerja otak, baik untuk
pencernaan tubuh, dan bisa mencerdaskan otak, serta bisa mencegah kanker.

1
2

1.1. Rumusan Masalah


1. Bagaimana indikator dari tempe yang baik ?
2. Bagaimana pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar protein tempe?
3. Bagaimanan pengaruh lingkungan terhadap proses fermentasi tempe?

1.2. Tujuan
1.Mengetahui indikator dari tempe yang baik.
2.Mengetahui pengaruh waktu fermnetasi terhadap kadar protein tempe yang
dihasilkan.
3.Mengetahui pengaruh lingkungan terhadap proses fermentasi pembuatan
tempe.
1.3. Manfaat
1. Dapat mengetahui proses yang baik dalam pembuatan tempe.
2. Dapat mengetahui kandungan gizi yang terdapat di tempe.
3. Dapat menambah pengetahuan tentang proses pembuatan tempe.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proses Produksi Tempe


Prinsip dasar pembuatan tempe adalah dengan menumbuhkan kapang
pada media kedelai untuk mendapatkan suatu produk baru tanpa mengurangi atau
menghilangkan nilai gizi pada kedelai tersebut. Proses pembuatan pada tempe
melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu bahan baku yang dipakai (kedelai),
mikroorganisme, dan keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban).
Proses fermentasi tempe kedelai, substrat yang digunakan adalah biji kedelai yang
telah direbus dan mikroorganisme yang digunakan berupa kapang antara lain
Rhizopus olygosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (dapat terdiri atas
kombinasi dua spesies atau ketiganya), dan lingkungan pendukung yang terdiri
dari suhu 30˚C, pH awal 6.8, kelembaban 70-80%. Adapun tahapan-tahapan
dalam pembuatan tempe adalah sortir, pencucian, perebusan, perendaman,
pengupasan, perebusan kembali, penirisan dan pendinginan, pemberian ragi,
(penginokulasian), pengemasan, dan di fermentasi (Kustyawati, 2009).
Bahan baku utama produksi tempe adalah kedelai, yang secara fisik
setiap kedelai memiliki perbedaan dalam hal warna, ukuran, dan juga komposisi
kimianya. Perbedaan secara fisik dan kimia tersebut sangat dipengaruhi oleh
varietas dan kondisi dimana kedelai tersebut dibudidayakan. Mutu tempe
bergantung pada mutu bahan baku yang digunakan. Syarat mutu kedelai untuk
memproduksi tempe kualitas pertama adalah bebas dari sisa-sisa tanaman, seperti
kulit palang, potongan batang atau ranting, bau, kerikil, tanah atau biji-bijian,
kedua biji kedelai tidak luka atau bebas dari serangan hama dan penyakit, ketiga
biji kedelai tidak memar, dan keempat kulit biji kedelai tidak keriput.
2.3.1. Tahap Sortasi
Tahap sortasi merupakan tahapan yang bertujuan untuk memperoleh
produk tempe yang berkualitas, yaitu dengan cara memilih biji kedelai yang bagus
dan padat berisi. Biasanya di dalam biji kedelai tercampur kotoran seperti pasir
atau biji yang keriput dan keropos. Sebelum melakukan proses produksi,

3
4

sebaiknya diperlukan proses atau tahapan sortasi bahan baku dengan berdasarkan
standardisasi dari biji kedelai, membuang bji kedelai cacat dan muda, membuang
kotoran, serangga, dan bahan leguminosa lainnya, seperti beras dan jagung.
2.3.2. Tahap Pencucian
Tahap pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang melekat
maupun juga tercampur di antara biji-biji kedelai. Diperlukan cukup banyak air
dalam proses produksi tempe baik untuk proses sanitasi, medium penghantar
panas, maupun pada proses pengolahan. Air yang digunakan di proses pencucian
harus terbebas dari mikroba patogen maupun mikroba penyebab kebusukan
makanan. Umumnya air yang memenuhi persyaratan standar air minum, cukup
baik memenuhi persyaratan untuk industri. Selain itu, air yang berhubungan
dengan hasil-hasil industri pengolahan pangan harus memiliki setidak-tidaknya
standar mutu yang diperlukan untuk air minum (Setyani dkk, 2017).
Organisme yang paling umum digunakan sebagai petunjuk adanya polusi
dari sisi mikrobiologis yaitu Escherchia coli dan kelompok koliform. Koliform
merupakan suatu kelompok bakteri yang kemungkinan terbesar berasal dari
kotoran manusia dan hewan. Adanya bakteri koliform dalam air menunjukkan
adanya mikroba patogen yang berbahaya bagi kesehatan. Bila lebih dari 40% dari
jumlah bakteri koliform yang dinyatakan oleh indeks MPN ternyata termasuk
golongan koliform yang berasal dari kotoran, air tersebut harus dianggap masuk
kategori yang lebih tinggi sehubungan dengan penanganan yang diperlukan.
2.3.3. Tahap Perebusan Pertama
Menurut Widianarko (2002) menyebutkan bahwa dilakukan perebusan
bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan memudahkan dalam pengupasan
kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan tripsin sebagai inhibitor yang ada di
dalam biji kedelai. Perebusan pertama ini bertujuan untuk mengurangi bau langu
dari kedelai dan dengan perebusan ini akan membunuh bakteri yang kemungkinan
tumbuh. Tujuan lain dari perebusan ini untuk mempermudah dalam memisahkan
kedelai dari kulitnya. Perebusan dilakukan selama 30 menit atau ditandai dengan
mudah terkelupasnya kulit kedelai jika ditekan dengan jari tangan atau perebusan
juga bisa dilakukan selama 60 menit sesuai kondisi kacang kedelai.
5

2.3.4. Tahap Perendaman


Tahap perendaman bertujuan untuk melunakkan biji dan mencegah
pertumbuhan bakteri pembusuk selama fermentasi. Ketika proses perendaman,
pada kulit biji kedelai telah berlangsung proses fermentasi oleh bakteri yang
terdapat di air terutama oleh bakteri asam laktat. Perendaman juga betujuan untuk
memberikan kesempatan kepada keping-keping kedelai menyerap air sehingga
menjamin pertumbuhan kapang menjadi optimum. Proses perendaman ini tidak
mempengaruhi pertumbuhan kapang atau ragi tempe tetapi dapat mencegah
berkembangnya bakteri yang tidak diinginkan pada produk yang dihasilkan.
Perendaman ini dapat menggunakan air biasa atau air yang ditambah
asam asetat sehingga pH larutan mencapai 4-5. Perendaman ini dilakukan selama
12-16 jam pada suhu kamar. Selama perendaman, biji mengalami proses hidrasi,
sehingga kadar air didalam biji akan naik sebesar dua kali kadar air semula, yaitu
mencapai 62-65 %. Menurut Rohman (2013) yang menyebutkan bahwa proses
perendaman bertujuan untuk memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri
asam laktat sehingga pH akan menjadi asam. Bakteri yang berkembang pada
kondisi tersebut antara lain Lactobacillus casei, Streptococcus faecium, dan
Streptococcus epidermidis. Kondisi tersebut memungkinkan terhambatnya
pertumbuhan bakteri yang memiliki sifat patogen dan peningkatan kualitas
organoleptiknya juga terjadi dengan terbentuknya aroma dan flavor unik.
2.3.5. Tahap Pengupasan
Tahap pengupasan kulit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara
kering dan cara basah. Pengupasan cara kering yaitu dengan mengeringkan
kedelai terlebih dahulu pada suhu 104oC selama 10 menit atau dengan
pengeringan sinar matahari selama 1-2 jam. Proses selanjutnya penghilangan kulit
dilakukan dengan alat yang disebut Burr Mill. Menurut Nakajima dkk. (2005)
yang menyatakan bahwa pengupasan secara basah dapat dilakukan setelah biji
mengalami hidrasi yaitu setelah perebusan atau perendaman. Biji yang telah
mengalami hidrasi lebih mudah dipisahkan dari bagian kulitnya, biasanya dengan
meremas-remas biji kedelai hingga kulitnya terkelupas. Biji kedelai yang telah
bersih dari kulitnya dilanjutkan dengan proses tahap perebusan kedua.
6

2.3.6. Tahap Perebusan Kedua


Tahap perebusan kedua ini bertujuan untuk membunuh bakteri-bakteri
kontaminan, mengaktifkan senyawa tripsin inhibitor, membantu membebaskan
senyawa-senyawa dalam biji yang diperlukan untuk proses pertumbuhan jamur.
Selain itu, tahap perebusan kedua dapat dilakukan pada temperatur 100 oC selama
20-30 menit supaya menjadi kedelai menjadi lunak sehingga dapat ditembus oleh
miselia kapang yang menyatukan biji dan tempe menjadi kompak (Jayanti, 2019).
2.3.7. Tahap Penirisan dan Pendinginan
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air yang terkandung
di dalam biji, mengeringkan permukaan biji dan menurunkan suhu biji sampai
sesuai dengan kondisi pertumbuhan jamur, air yang berlebihan dalam biji dapat
menyebabkan penghambatan pertumbuhan jamur dan menstimulasi pertumbuhan
bakteri-bakteri kontaminan, sehingga menyebabkan pembusukan. Pendinginan
sendiri dapat dilakukan dengan cara membiarkan kedelai hingga dingin atau
cukup mencapai suhu ± 30oC untuk kemudian dilakukan proses berikutnya.
2.3.8. Tahap Inokulasi (Peragian)
Tahap inokulasi dilakukan dengan penambahan inokulum, yaitu ragi
tempe. Inokulasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama penebaran
inokulum pada permukaan kacang kedelai yang sudah dingin dan dikeringkan,
lalu dicampur merata sebelum pembungkusan atau kedua dengan inokulum dapat
dicampurkan langsung pada saat perendaman, dibiarkan beberapa lama, lalu
dikeringkan. Inokulum yang ditambahkan sebanyak 0,5% dari berat bahan baku.
2.3.9. Tahap Pengemasan
Berbagai bahan pembungkus atau wadah dapat digunakan, misalnya
daun pisang, daun waru, daun jati, dan plastik, asalkan memungkinkan masuknya
udara kedalam kemasan karena kapang tempe membutuhkan oksigen untuk
tumbuh (Setyani dkk, 2017). Bahan pembungkus dari daun atau plastik biasanya
diberi lubang-lubang dengan cara ditusuk-tusuk. Pengemasan merupakan cara
dalam memberikan kondisi yang tepat bagi bahan pangan dengan demikian
membutuhkan perhatian lebih besar secara nyata. Pengemasan berperan sangat
penting dalam mempertahankan bahan tersebut di keadaan bersih dan higienis.
7

Fungsi kemasan sendiri, yaitu pertama harus dapat mempertahankan


produk agar bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan
pencemaran lainnya. Kedua harus memberikan perlindungan pada bahan pangan
terhadap kerusakan fisik, air, oksigen, dan sinar. Ketiga, harus berfungsi efisien
dan ekonomis dalam proses pengepakan yaitu selama pemasukan bahan pangan
dalam kemasan. Terakhir, fungsi kemasan harus berfungsi efisien dan ekonomis
dalam proses pengepakan yaitu selama pemasukan bahan pangan dalam kemasan.
Jika dibandingkan membungkus tempe dengan menggunakan kemasan
plastik, daun pisang, dan daun jati, maka hasilnya menyebutkan bahwa
penggunaan jenis pembungkus plastik, daun pisang, dan daun jati pada tempe
kedelai sangat berpengaruh terhadap sifat organoleptik dari tempe seperti warna,
aroma, rasa, tekstur, dan kekompakan, namun tidak ada perbedaan nyata pada
sifat teksturnya. Tempe yang menggunakan pengemas daun pisang lebih disukai
daripada tempe dengan pengemas plastik dan daun jati (Jubaidah dkk, 2016).
2.3.10. Tahap Inkubasi (Fermentasi)
Inkubasi dapat dilakukan pada suhu 25-37oC selama 36-48 jam. Selama
inkubasi terjadi proses fermentasi yang menyebabkan perubahan komponen-
komponen dalam biji kedelai. Pada proses ini kapang tumbuh pada permukaan
dan menembus biji-biji kedelai, menyatukannya menjadi tempe. Selain itu proses
fermentasi juga dapat dilakukan pada suhu 20-37oC selama 18-36 jam. Proses
fermentasi tempe dapat dibedakan dalam 3 fase utama yaitu fase pertumbuhan
cepat, fase transisi, dan fase pembusukan atau fermentasi lanjut.
Fase pertumbuhan cepat, dilakukan selama proses fermentasi dengan
waktu selama 0-30 jam, dalam fase ini terjadi penaikkan jumlah asam lemak
bebas, penaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat, terlihat dengan terbentuknya
miselia pada permukaan biji makin lama makin lebat, sehingga menunjukkan
masa yang lebih kompak (Astuti dkk, 200). Fase transisi merupakan fase optimal
fermentasi tempe dan siap untuk dipasarkan. Fase ini terjadi penurunan suhu,
jumlah asam lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan jamur hampir tetap atau
bertambah sedikit, flavor spesifik tempe optimal, dan tekstur lebih kompak.
Terakhir, Fase pembusukan atau fermentasi lanjut pada 50-90 jam fermentasi
8

terjadi penaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur
menurun dan di kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi perubahan
flavor karena degradasi protein lanjut sehingga akan terbentuk amonia.
Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah
kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan
jamur. Oksigen juga diperlukan dalam pertumbuhan kapang, tetapi bila berlebihan
dan tak seimbang dengan pembuangnya (panas yang ditimbulkan menjadi lebih
besar dari pada panas yang dibuang dari bungkusan). Jika hal ini terjadi maka
suhu kedelai yang sedang difermentasi menjadi tinggi dan mengakibatkan kapang
tersebut akan mati. pertumbuhannya kapang tempe memerlukan suhu antara 25-
30oC (Astuti dkk, 200). Suhu ruang fermentasi harus sangat diperhatikan dan
memiliki fentilasi yang cukup agar bisa menghasilkan tempe yang baik.

2.2. Manfaat Isoflavon


Isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang memiliki struktur
dasar senyawa isoflavon yaitu C6-C3-C6, disintesis oleh tumbuh-tumbuhan dan
senyawa asam amino aromatik fenilalanin atau tirosin. Proses ini dilalui secara
bertahap dan melalai sederetan senyawa antara lain asam sinnamat, asam kumarat,
calkon, falvon, dan isoflavon. Umumnya senyawa metabolit sekunder disintesis
oleh mikroba tertentu, namun bukan menjadi kebutuhan fisiologis pokok bagi
mikroba tersebut. Tetapi senyawa metabolit sekunder mampu menjadi nutrisi
disaat terdesak atau darurat. Hal tersebut terjadi karena rangsangannya dapat
membentuk enzim-enzim yang berperan dalam proses pembentukan metabolit
sekunder dan juga memanfaatkan metabolit primer untuk mempertahankan
kelangsungan hidup, akibat dari keterbatasan nutrien tersebut (Winarso, 2010).
Senyawa isoflavon didalam tempe berbentuk konjugat dengan senyawa
gula melalui ikatan -O- Glikosidik. Selama dalam proses fermentasi, ikatan -O-
Glikosidik terhidrolisa, sehingga terbebasnya senyawa gula dan isoflavon aglikon.
Senyawa isoflavon aglikon inilah yang memiliki aktivitas biologis paling tinggi.
Telah dibuktikan bahwa faktor II (6,7,4’ tri-hidroksi isoflavon) memiliki efek
antioksidan yang paling tinggi dibandingkan antioksidan lainnya, serta memiliki
kemampuan antihemolisis lebih baik dari senyawa daidzein dan genistein. Faktor
9

II (6,7,4’ tri-hidroksi isoflavon) dihasilkan akibat terjadinya proses fermentasi.


Manfaat senyawa isoflavon ini bagi tubuh begitu banyak, seperti sebagai anti
kanker atau anti tumor, sebagai anti alergi, dapat juga menyembuhkan kelainan
kardiovaskular, sebagai antivirus, sebagai ekstrogenik dan mencegah osteoporosi,
dan sebagai hipokolstrolemik, serta senyawa isoflavon ini juga dapat digunakan
sebagai penangkap radikal bebas (terdapat gugus fenol) dalam tubuh manusia.

2.3. Tempe Jagung


Jagung merupakan produk yang memiliki potensi besar untuk
dikembangkan di Indonesia (Winarso, 2012). jagung kaya akan komponen pangan
fungsional, termasuk serat pangan yang dibutuhkan tubuh, asam lemak esensial,
isoflavon, mineral (Ca, Mg, K, Na, P, dan Fe), antosianin< betakaroten, dan
lainnya. Kandungan protein pada jagung memang tidak lebih tinggi dari kedelai,
yaitu 8.6%, sedangkan kedelai 40.4%. Kandungan lain yang dapat ditonjolkan
dari jagung adalah pigmen warna kuning yang terkandung didalamnya yang
dikarenakan adanya kandungan karotenoid sebanyak 150 μg/100 g, sedangkan
kedelai hanya mengandung 31 μg/100 g (Watanabe, 2015). Jumlah karotenoid
tersebut 22% merupakan beta karoten, sedangkan sisanya merupakan xantofil.
Menurut Eldahshan dan Singab (2013), beta karoten memiliki peran sebagai
antioksidan dan anti kangker, sedangkan xantofil berdasarkan penelitian menurut
Moeller dkk. (2000), memiliki potensi untuk menurunkan resiko kebutaan.
Tempe biji jagung merupakan tempe yang dibuat dari bahan dasar
jagung yang dikombinasikan dengan kedelai dengan berbagai perbdandingan
kemudian difermentasikan dengan penambahan ragi yang berupa kapang atau
jamur Rhizopus sp (Jubaidah dkk, 2016). Jamur Rhizopus oligosporus juga dapat
menghasilkan enzim lipase yang menghidrolisis lemak menjadi asam lemak pada
tempe kedelai, sehingga dapat menjadi sangat bermanfaat untuk tempe.
Enzim fitase dihasilkan oleh kapang Rhizopus oligosporus dapat
mengurangi asam fitat yang dikenal sebagai antinutrisi pada tempe kedelai sekitar
65% (Astuti dkk, 2000). Vitamin-vitamin terutama vitamin B12 tidak diproduksi
oleh kapang Rhizopus oligosporus tempe, tetapi oleh bakteri kontaminan seperti
Klebsiella pneumoniae dan Citrobacterfreundii (Babu dkk, 2009).
10

2.4. Kandungan Gizi Tempe Non Kedelai


Proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu bahan
baku yang dipakai, mikroorganisme (kapang tempe), dan keadaan lingkungan
tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban). Proses fermentasi tempe kedelai, substrat
yang digunakan adalah biji kedelai yang telah direbus dan mikroorganisme yang
digunakan berupa kapang antara lain Rhizopus olygosporus, Rhizopus oryzae, dan
Rhizopus stolonifer (dapat terdiri atas kombinasi dua spesies atau ketiganya).
menurut Jayanti (2019) yang menyebutkan bahwa lingkungan pendukung pem-
buatan tempe terdiri dari suhu 30˚C, pH awal 6.8, kelembaban nisbi 70-80%.
Selain jenis tempe kedelai ada juga jenis tempe yang lain, yakni tempe
leguminosa non kedelai dan tempe non leguminosa. Tempe leguminosa non
kedelai diantaranya adalah tempe benguk, tempe kecipir, tempe kedelai hitam,
tempe lamtoro, tempe kacang hijau, tempe kacang merah, tempe kacang gude
(lebui), dan tempe kacang komak. Ditinjau dari aspek gizi, kacang-kacangan
merupakan sumber protein, lemak, dan juga sumber karbohidrat.
Kualitas protein ditentukan oleh susunan asam amino di dalamnya.
Secara umum, kacang-kacangan memiliki kelebihan asam amino esensial lisin,
sebaliknya kekurangan asam amino sulfur seperti metionin dan sistin. Namun
kekurangan ini dapat dikompensasi dengan cara mengkombinasikannya dengan
protein serealia yang mengandung metionin. kacangkacangan juga mengandung
senyawa anti gizi seperti trypsin inhibitor (TI), asam fitat dan tanin. TI dapat
menurunkan ketersediaan protein makanan pada sistem pencernaan, sedangkan
asam fitat berikatan dengan mineral dan protein membentuk komplek. Tanin
membentuk komplek dengan protein dan karbohidrat (Nakajima dkk, 2005).
Senyawa anti gizi dapat dihilangkan atau dikurangi melalui proses
pengolahan antara lain yaitu proses fermentasi, germinasi (perkecambahan),
perendaman maupun pemasakan, dan juga sebagainya. Proses pembuatan tempe
menyebabkan penurunan kadar protein untuk semua jenis kacang-kacangan.
Adanya pengurangan jumlah protein pada pembuatan tempe disebabkan oleh
proses pengolahan tempe (food processing) seperti perendaman dan perebusan.
Protein biji memiliki bentuk protein globular. Protein globular memiliki sifat
11

mudah larut dalam larutan garam dan asam encer, juga lebih muda berubah di
bawah pengaruh suhu sehingga lebih mudah mengalami denaturasi. Proses
pemanasan juga akan membuat protein mengalami denaturasi. Denaturasi protein
akan membuat protein rusak, sehingga dengan semakin banyak protein yang
terdenaturasi menyebabkan terjadinya penurunan kadar protein.
Proses pengolahan kacang-kacangan dimulai dari perendaman,
perebusan, dan fermentasi akan menyebabkan bahan pangan (biji kacang-
kacangan) mengalami penurunan kandungan zat anorganik (mineral). Penurunan
tersebut kemungkinan dapat terjadi akibat larutnya garam-garam anorganik
selama proses pencucian, perendaman dan perebusan serta terdegradasinya atau
berubahnya zat anorganik selama proses fermentasi (Setyowati dkk, 2008).
Proses larutnya atau berkurangnya kandungan zat anorganik selama
proses pembuatan tempe secara langsung dapat terlihat selama proses perendaman
dan pencucian bahan baku tempe. Pada saat proses perendaman, terjadi
peningkatan pH air rendaman yang ditandai dengan munculnya gelembung-
gelembung udara pada air serta bau air rendaman yang berubah menjadi bau khas
asam. Keluarnya bau asam tersebut mengindikasikan bahwa zat anorganik yang
berada di dalam bahan sudah mulai keluar dan terlarut di dalam air rendaman
mengakibatkan garam-garam mineral akan ikut terlarut sehingga kadar mineral
pada bahan-bahan setelah menjadi tempe juga akan ikut berkurang.

2.5. Pengaruh Ketebalan Substrat pada Fermentasi Tempe


Tempe merupakan salah satu fermentasi substrat padat yang merupakan
fermentasi kedelai yang melibatkan aktivitas kapang Rhizopus sp. Fermentasi
substrat padat ini sangat berkaitan dengan pertumbuhan miselium dari kapang
yang diinokulasi di atas substratnya. Semakin baik pertumbuhan miselium kapang
maka semakin baik pula produk fermentasi yang dihasilkan. Proses pra-fermentasi
pembuatan tempe adalah perebusan biji kedelai yang berfungsi untuk menghidrasi
dan bisa melunakkan biji kedelai supaya dapat menyerap asam pada tahap
perendaman, serta mempermudah kapang Rhizopus sp menembus substrat biji
kedelai rebus sehingga tumbuh dengan baik dipermukaan kedelai. Pertumbuhan
kapang selama proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh substratnya, salah satu
di antaranya kepadatan substrat atau ketebalan substrat tempe (Retiaty dkk, 2012).
12

Semakin padat substrat semakin sulit kapang untuk tumbuh menembus


substrat tersebut. Semakin sulit kapang untuk tumbuh berarti semakin sedikit pula
proses fermentasi yang terjadi dalam substrat itu. Tahap selanjutnya adalah
inokulasi dan fermentasi dengan penambahan inokulum, yaitu ragi tempe atau
laru. Inokulum ditebarkan pada permukaan kacang kedelai hancur yang sudah
dingin lalu dicampur merata sebelum pembungkusan. Kualitas tempe amat
dipengaruhi oleh ragi tempe yang mengubah karakteristik kedelai rebus melalui
miselium kapang Rhizopus sp sehingga dapat menghilangkan bau langu dari
kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Menurut Lestari
dan Mayasari (2016) bahwa tempe dengan berbagai varisi ketebalan, tergambar
bahwa tempe yang ketebalan substratnya lebih kecil memiliki kadar vitamin B1
lebih tinggi dibandingkan dengan yang ketebalan substrat yang lebih besar.
Selama fermentasi juga terentuk asam laktat secara alami agar diperoleh
keasaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Terjadinya fermentasi
asam laktat dicirikan oleh munculnya bau asam dan buih pada air rendaman akibat
pertumbuhan bakteri Lactobacillus. Bakteri asam laktat yang dihasilkan
bermanfaat untuk meningkatkan nilai nutrisi dan kualitas higienis tempe, serta
menghilangkan bakteri maupun kapang lain yang membahayakan kesehatan.
Perubahan asam terlarut, nitrogen terlarut dan gula terlarut menunjukkan bahwa
selama fermentasi, kapang tempe terlebih dahulu menghidrolisis karbohidrat
untuk menghasilkan energi yang diperlukan untuk pertumbuhannya, kemudian
dilanjutkan hidrolisis lemak dan protein. Fermentasi dilanjutkan akan tercium bau
amoniak merupakan produk pemecahan protein (Setyowati dkk, 2008).
Ketebalan substrat tempe berpengaruh terhadap kandungan vitamin B1
karena tempe yang tebal memiliki struktur yang padat sehingga dapat
menghambat fermentasi karena miselium kapang sulit tumbuh, sehingga semakin
tebal tempe akan semakin rendah kadar vitamin B1-nya. Pembuatan tempe
sebaiknya dibuat tipis sehingga pertumbuhan kapang baik dan dapat
menghasilkan tempe yang tinggi kadar vitamin B1nya. Kandungan vitamin B1
yang tinggi, tempe yang dibuat dalam ukuran tipis untuk langsung dimasak akan
mempermudah proses pengolahan karena tempe tidak perlu dipotong-potong.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

2.1 Alat dan Bahan


2.1.1. Alat
1. Saringan
2. Sendok
3. Baskom
2.1.2. Bahan
1. 1/2 kg kacang tanah
2. 1/2 kg kacang kedelai
3. Ragi tempe (Rhizopus oligosporus)
4. Kantung plastik
2.2 Prosedur Percobaan
1. Kacang kedelai dibersihkan dan dicuci, lalu direndam selama 1 x 24 jam.
2. Kacang kedelai dicuci kembali sambil kulit dan keping bijinya
dipisahkan.
3. Kacang dikukus sampai agak empuk. Sebelum diangkat, ditambahkan
dahulu sedikit tepung kanji, dicampur merata. Kacang tersebut diangkat
dan diletakkan diatas tampah yang bersih, dibiarkan sampai hangat, di
tempat yang terlindung atau ditutup dengan kain kasa.
4. Inokulasi dengan ragi tempe, diaduk supaya merata. Kemudian
dimasukkan ke dalam kantung plstik yang telah diberi lubang kecil
dengan jarum bertangkai, ujung kantung plastik ditutup dengan bantuan
nyala api Bunsen. Bahan dalam kantung plastik diratakan sehingga
terbentuk lempengan yang cukup tebal. Hindarkan terlalu banyaknya
sentuhan tangan pada kantung plastik yang telah diberi isi bahan.
Inokulasikan pada suhu 28-30oC selama lebih kurang 24 jam sampai
terlihat adanya bintik air yang merata di seluruh permukaan, lalu
disimpan pada suhu selama 1 hari.

13
DAFTAR PUSTAKA

Babu, D., Bhakyaraj, dan R., Vidhayalakshmi R. 2009. A Low Cost Nutritious
Food Tempe. World Journal of Dairy and Food Sciences. 4(1): 22-27.
Eldahshan, O. A., dan Singab, A. N. B. 2013. Carotenoids. Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry. 2(1): 225-234.
Jayanti, E. 2019. Kandungan Protein Biji dan Tempe Berbahan Dasar Kacang-
Kacangan Lokal Non Kedelai. Jurnal Ilmiah Biologi. 7(1): 71-78.
Jubaidah, S., Nurhasnawati, dan H., Wijaya, H. 2016. Penetapan Kadar Protein
Tempe Jagung dengan Kombinasi Kedelai secara Spektrofotometri Sinar
Tampak. Jurnal Ilmiah Manuntung. 2(1):111-120.
Kustyawati, M., E. 2009. Kajian Peran Yeast dalam Pembuatan Tempe. Jurnal
Agritech. 29(2): 64-70.
Lestari, O. L., dan Mayasari, E. 2016. Pengaruh Fermentasi Tempe Jagung
Terhadap Kandungan Protein dan Karotenoid. Jurnal Teknologi
Pertanian. 17(2): 149-154.
Moeller, S. M., Jacques, P. F., dan Blumberg, J. B. 2000. The Potential Role of
Dietary Canthophylls in Cataract and Age-related Macular Degeneration.
Journal of the American College of Nutrition. 19(5): 522- 527.
Nakajima, N., dkk. 2005. Analysis of Isoflavones Content in Tempeh, a Fermeted
Soybean, and Preparation of a New Isoflavones-Enriched Tempeh.
Journal of Bioscience and Biotechnology. 100(4): 685-690.
Retiaty, F., Kurniawati, N., Komari. 2012. Pengaruh Ketebalan Substrat pada
Fermentasi Tempe Terhadap Kadar Vitamin B1. Jurnal Penel Gizi
Makanan. 35(2): 182-188.
Rohman, A. 2013. Analisis Komponen Makanan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Setyani, S., Nurdjanah, S., Eliyana. 2017. Evaluasi Sifat Kimia dan Sensori
Tempe Kedelai-Jagung dengan Berbagai Konsentrasi Ragi Raprima dan
Berbagai Formulasi. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian.
22(2): 85-98.
Setyowati, R., Sarbini, D., Rejek, S. 2008. Pengaruh penambahan bekatul
terhadap kadar serat kasar, sifat organoleptik dan daya terima pembuatan
tempe kedelai. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi. 9(1): 52-61.
Watanabe T. 2015. Food composition tables of japan and the nutrient. Jurnal
Nutrent Vitaminol. 6(1):25-27.
Widianarko. 2002. Teknologi, Nutrisi, dan Keamanan Pangan. Jakarta: Grasindo.
Winarso, H. 2010. Protein Kedelai dan Kecambah Manfaatnya bagi Kesehatan.
Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai