NIM : 03031281722045
Shift/Kelompok : Senin Siang (13.00-16.20)/IV
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1.2. Tujuan
1.Mengetahui indikator dari tempe yang baik.
2.Mengetahui pengaruh waktu fermnetasi terhadap kadar protein tempe yang
dihasilkan.
3.Mengetahui pengaruh lingkungan terhadap proses fermentasi pembuatan
tempe.
1.3. Manfaat
1. Dapat mengetahui proses yang baik dalam pembuatan tempe.
2. Dapat mengetahui kandungan gizi yang terdapat di tempe.
3. Dapat menambah pengetahuan tentang proses pembuatan tempe.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
sebaiknya diperlukan proses atau tahapan sortasi bahan baku dengan berdasarkan
standardisasi dari biji kedelai, membuang bji kedelai cacat dan muda, membuang
kotoran, serangga, dan bahan leguminosa lainnya, seperti beras dan jagung.
2.3.2. Tahap Pencucian
Tahap pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang melekat
maupun juga tercampur di antara biji-biji kedelai. Diperlukan cukup banyak air
dalam proses produksi tempe baik untuk proses sanitasi, medium penghantar
panas, maupun pada proses pengolahan. Air yang digunakan di proses pencucian
harus terbebas dari mikroba patogen maupun mikroba penyebab kebusukan
makanan. Umumnya air yang memenuhi persyaratan standar air minum, cukup
baik memenuhi persyaratan untuk industri. Selain itu, air yang berhubungan
dengan hasil-hasil industri pengolahan pangan harus memiliki setidak-tidaknya
standar mutu yang diperlukan untuk air minum (Setyani dkk, 2017).
Organisme yang paling umum digunakan sebagai petunjuk adanya polusi
dari sisi mikrobiologis yaitu Escherchia coli dan kelompok koliform. Koliform
merupakan suatu kelompok bakteri yang kemungkinan terbesar berasal dari
kotoran manusia dan hewan. Adanya bakteri koliform dalam air menunjukkan
adanya mikroba patogen yang berbahaya bagi kesehatan. Bila lebih dari 40% dari
jumlah bakteri koliform yang dinyatakan oleh indeks MPN ternyata termasuk
golongan koliform yang berasal dari kotoran, air tersebut harus dianggap masuk
kategori yang lebih tinggi sehubungan dengan penanganan yang diperlukan.
2.3.3. Tahap Perebusan Pertama
Menurut Widianarko (2002) menyebutkan bahwa dilakukan perebusan
bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan memudahkan dalam pengupasan
kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan tripsin sebagai inhibitor yang ada di
dalam biji kedelai. Perebusan pertama ini bertujuan untuk mengurangi bau langu
dari kedelai dan dengan perebusan ini akan membunuh bakteri yang kemungkinan
tumbuh. Tujuan lain dari perebusan ini untuk mempermudah dalam memisahkan
kedelai dari kulitnya. Perebusan dilakukan selama 30 menit atau ditandai dengan
mudah terkelupasnya kulit kedelai jika ditekan dengan jari tangan atau perebusan
juga bisa dilakukan selama 60 menit sesuai kondisi kacang kedelai.
5
terjadi penaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur
menurun dan di kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi perubahan
flavor karena degradasi protein lanjut sehingga akan terbentuk amonia.
Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah
kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan
jamur. Oksigen juga diperlukan dalam pertumbuhan kapang, tetapi bila berlebihan
dan tak seimbang dengan pembuangnya (panas yang ditimbulkan menjadi lebih
besar dari pada panas yang dibuang dari bungkusan). Jika hal ini terjadi maka
suhu kedelai yang sedang difermentasi menjadi tinggi dan mengakibatkan kapang
tersebut akan mati. pertumbuhannya kapang tempe memerlukan suhu antara 25-
30oC (Astuti dkk, 200). Suhu ruang fermentasi harus sangat diperhatikan dan
memiliki fentilasi yang cukup agar bisa menghasilkan tempe yang baik.
mudah larut dalam larutan garam dan asam encer, juga lebih muda berubah di
bawah pengaruh suhu sehingga lebih mudah mengalami denaturasi. Proses
pemanasan juga akan membuat protein mengalami denaturasi. Denaturasi protein
akan membuat protein rusak, sehingga dengan semakin banyak protein yang
terdenaturasi menyebabkan terjadinya penurunan kadar protein.
Proses pengolahan kacang-kacangan dimulai dari perendaman,
perebusan, dan fermentasi akan menyebabkan bahan pangan (biji kacang-
kacangan) mengalami penurunan kandungan zat anorganik (mineral). Penurunan
tersebut kemungkinan dapat terjadi akibat larutnya garam-garam anorganik
selama proses pencucian, perendaman dan perebusan serta terdegradasinya atau
berubahnya zat anorganik selama proses fermentasi (Setyowati dkk, 2008).
Proses larutnya atau berkurangnya kandungan zat anorganik selama
proses pembuatan tempe secara langsung dapat terlihat selama proses perendaman
dan pencucian bahan baku tempe. Pada saat proses perendaman, terjadi
peningkatan pH air rendaman yang ditandai dengan munculnya gelembung-
gelembung udara pada air serta bau air rendaman yang berubah menjadi bau khas
asam. Keluarnya bau asam tersebut mengindikasikan bahwa zat anorganik yang
berada di dalam bahan sudah mulai keluar dan terlarut di dalam air rendaman
mengakibatkan garam-garam mineral akan ikut terlarut sehingga kadar mineral
pada bahan-bahan setelah menjadi tempe juga akan ikut berkurang.
13
DAFTAR PUSTAKA
Babu, D., Bhakyaraj, dan R., Vidhayalakshmi R. 2009. A Low Cost Nutritious
Food Tempe. World Journal of Dairy and Food Sciences. 4(1): 22-27.
Eldahshan, O. A., dan Singab, A. N. B. 2013. Carotenoids. Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry. 2(1): 225-234.
Jayanti, E. 2019. Kandungan Protein Biji dan Tempe Berbahan Dasar Kacang-
Kacangan Lokal Non Kedelai. Jurnal Ilmiah Biologi. 7(1): 71-78.
Jubaidah, S., Nurhasnawati, dan H., Wijaya, H. 2016. Penetapan Kadar Protein
Tempe Jagung dengan Kombinasi Kedelai secara Spektrofotometri Sinar
Tampak. Jurnal Ilmiah Manuntung. 2(1):111-120.
Kustyawati, M., E. 2009. Kajian Peran Yeast dalam Pembuatan Tempe. Jurnal
Agritech. 29(2): 64-70.
Lestari, O. L., dan Mayasari, E. 2016. Pengaruh Fermentasi Tempe Jagung
Terhadap Kandungan Protein dan Karotenoid. Jurnal Teknologi
Pertanian. 17(2): 149-154.
Moeller, S. M., Jacques, P. F., dan Blumberg, J. B. 2000. The Potential Role of
Dietary Canthophylls in Cataract and Age-related Macular Degeneration.
Journal of the American College of Nutrition. 19(5): 522- 527.
Nakajima, N., dkk. 2005. Analysis of Isoflavones Content in Tempeh, a Fermeted
Soybean, and Preparation of a New Isoflavones-Enriched Tempeh.
Journal of Bioscience and Biotechnology. 100(4): 685-690.
Retiaty, F., Kurniawati, N., Komari. 2012. Pengaruh Ketebalan Substrat pada
Fermentasi Tempe Terhadap Kadar Vitamin B1. Jurnal Penel Gizi
Makanan. 35(2): 182-188.
Rohman, A. 2013. Analisis Komponen Makanan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Setyani, S., Nurdjanah, S., Eliyana. 2017. Evaluasi Sifat Kimia dan Sensori
Tempe Kedelai-Jagung dengan Berbagai Konsentrasi Ragi Raprima dan
Berbagai Formulasi. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian.
22(2): 85-98.
Setyowati, R., Sarbini, D., Rejek, S. 2008. Pengaruh penambahan bekatul
terhadap kadar serat kasar, sifat organoleptik dan daya terima pembuatan
tempe kedelai. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi. 9(1): 52-61.
Watanabe T. 2015. Food composition tables of japan and the nutrient. Jurnal
Nutrent Vitaminol. 6(1):25-27.
Widianarko. 2002. Teknologi, Nutrisi, dan Keamanan Pangan. Jakarta: Grasindo.
Winarso, H. 2010. Protein Kedelai dan Kecambah Manfaatnya bagi Kesehatan.
Yogyakarta: Kanisius.