Anda di halaman 1dari 15

Nama : Tian Amalda Sabrina

NIM : 03031281722065
Shift/Kelompok : Jumat Siang (13.00-16.20) WIB/III

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya atau
dengan bantuan. Mikroorganisme yang berukuran sangat kecil hanya bisa dilihat
dengan bantuan alat mikroskop. Penelitian tentang bagaimana cara hidup dari
mikroba, pertumbuhan, perkembangan, bentuk, dan juga jenis dari mikroba dapat
dilihat dengan cara mengembangbiakkan mikroba dengan suatu medium tertentu.
Makhluk hidup yang dilihat dengan mikroskop antara lain adalah bakteri, virus,
khamir, alga, dan juga jenis makhluk mikro lain. Ilmu mikrobiologi merupakan
ilmu yang mencakup tentang kehidupan makhluk hidup termasuk struktur, fungsi,
pertumbuhan, evolusi, persebaran dan juga taksonomi dalam mikroorganisme.
Teknik biakan murni tidak saja diperlukan bagaimana memperoleh suatu
biakan yang murni, tetapi juga memerlukan bagaimana caranya memelihara serta
mencegah pencemaran dari luar. Inokulasi dimaksudkan untuk menumbuhkan,
meremajakan mikroba, dan mendapatkan populasi mikroba yang murni. Inokulasi
adalah pekerjaan memindahkan bakteri dari medium yang lama ke medium yang
baru dengan tingkat ketelitian yang sangat tinggi. Media yang digunakan untuk
membiakkan bakteri haruslah steril sebelum digunakan. Pencemaran terutama dari
udara yang mengandung banyak mikroorganisme. Pemindahan di biakan mikroba
yang dibiakkan dilakukan dengan hati-hati dan mematuhi prosedur pekerjaan agar
tidak terjadi kontaminasi pada medium. Oleh karena itu, diperlukan teknik-teknik
dalam pembiakan mikroorganisme yang disebut dengan teknik inokulasi biakan.
Percobaan pemindahan mikroba harus dijaga agar semua tetap steril dan
mikroba tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya yang bisa mengganggu proses
pemindahan. Percobaan pemindahan mikroba adalah bertujuan untuk mengetahui
teknik yang digunakan di dalam proses inokulasi dan dapat memurnikan mikroba
dari mikroba-mikroba pengganggu lainnya sehingga didapatkan biakan mikroba
yang murni. Isolasi dan inokulasi merupakan kegiatan yang sangat penting, karena
melihat kondisi lingkungan sekitar yang banyak terdapat mikroba, sehingga
pemisahan dan identifikasi bakteri satu dengan lainnya juga dibutuhkan.

1
2

1.1. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengaruh penggunaan jenis media terhadap mikroba yang
akan diinokulasi?
2. Bagaimana cara memilih inokulum yang baik dalam proses inokulasi?
3. Bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan apabila menggunakan
inokulum yang tidak sesuai pada proses inokulasi?

1.2. Tujuan Percobaan


1. Mengetahui pengaruh penggunaan jenis media terhadap mikroba yang
akan diinokulasi.
2. Mengetahui cara memilih inokulum yang baik dalam proses inokulasi.
3. Mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan apabila menggunakan
inokulum yang tidak sesuai pada proses inokulasi.

1.3. Manfaat Percobaan


1. Dapat mengetahui pengaruh penggunaan jenis media terhadap mikroba
yang akan diinokulasi.
2. Dapat mengetahui jenis-jenis inokulum yang baik dalam proses inokulasi.
3. Dapat mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan apabila
menggunakan inoculum yang tidak sesuai pada proses inokulasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Macam-macam Inokulum


Inokulum telah banyak dikenal dan digunakan dalam berbagai bidang.
Inokulum tersebut merupakan kultur mikroorganisme yang diinokulasikan ke dalam
medium pada saat kultur mikroba memasuki fase pertumbuhan (Suriawira, 2005).
Inokulum mengandung mikroorganisme serta bahan pengikat mikroorganisme
yang dapat melakukan fermentasi, salah satu contohnya terdapat pada ragi yang
merupakan starter atau inokulum tradisional. Ragi adalah organisme fakultatif
yang mempunyai kemampuan menghasilkan energi dari senyawa organik dalam
kondisi aerob maupun anaerob sehingga ragi dapat tumbuh dalam kondisi ekologi
yang berbeda. Ragi mengandung mikoflora seperti kapang, khamir dan bakteri
yang berfungsi sebagai starter fermentasi. Jenis mikroorganisme yang terdapat
dalam ragi antara lain, yaitu Chlamydomucor oryzae, Rhizopus oryzae, Mucor sp.,
Candida sp., Saccharomyces cerevicae, serta Saccharomyces verdomanii. Proses
fermentasi tradisional dibantu penambahan inokulum di dalam pembuatannya.
2.1.1. Inokulum pada Oncom Merah
Inokulum pada oncom merah memegang peranan penting dalam proses
fermentasi oncom dan fermentasi lainnya yang memerlukan aktivitas dari kapang
oncom merah. Inokulum oncom merah dapat dibuat dalam bentuk berupa suspensi
maupun dalam bentuk bubuk. Inokulum yang baik digunakan untuk keperluan
fermentasi padat adalah inokulum bentuk bubuk. Inokulum dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai substrat, salah satunya beras. Oncom merah dihasilkan
oleh kapang Neurospora sitophila yang mempunyai strain jingga, merah muda,
dan merah yang menggunakan bahan baku ampas tahu. Warna yang terbentuk
pada oncom berasal dari spora kapang oncom (Mappiratu dan Bakhri, 2013).
Kapang Neurospora sitophila dapat mengeluarkan enzim yang dapat
menghidrolisa senyawa-senyawa sakarida, sehingga semakin banyak kapang yang
tumbuh maka kadar karbohidrat dalam substrat akan semakin berkurang (Matsuo
dan Takeuchi, 2003). Kapang oncom merah Neurospora sitophila dapat mengurangi

3
4

kandungan aflatoksin selama proses fermentasi sebesar 50%. Aflatoksin adalah


zat racun yang dihasilkan dari kapang pada saat proses fermentasi akibat
penggunaan bahan baku kacang-kacangan dan biji-bijian yang sudah memiliki
mutu jelek. Kapang oncom dapat mengeluarkan enzim lipase dan protease yang
aktif selama proses fermentasi serta memiliki peran penting dalam penguraian pati
menjadi gula, penguraian bahan-bahan di dinding sel kacang, penguraian lemak,
serta pembentukan sedikit alkohol dan berbagai ester yang berbau sedap dan
harum. Fermentasi oncom bisa mencegah terjadinya perut kembung karena kapang
akan menghasilkan enzim alpha-galaktosidase (Anastasia dan Athiya, 2014).
2.1.2. Inokulum pada Tempe
Inokulum tempe disebut juga sebagai starter tempe, dan banyak pula
yang menyebutkan dengan nama ragi tempe. Starter tempe adalah bahan yang
mengandung biakan jamur tempe, digunakan sebagai agensia pengubah kedelai
rebus menjadi tempe akibat tumbuhnya jamur tempe pada kedelai, dan melakukan
kegiatan fermentasi yang menyebabkan kedelai berubah sifat atau karakteristiknya
menjadi tempe (Kasmidjo, 1990). Fermentasi pada tempe membutuhkan inokulum
tempe. Inokulum tempe berfungsi agar kedelai yang difermentasi menjadi busuk.
Inokulum tempe atau starter tempe merupakan kumpulan spora kapang dan jamur
yang digunakan sebagai bahan pembibitan dalam proses pembuatan tempe.
Inokulum yang umumnya digunakan pada fermentasi tempe adalah usar,
yang biasanya menempel pada daun-daun waru dan inokulum bubuk. Usar banyak
mengandung bakteri kontaminan, karena dalam proses pembuatannya kurang
memperhatikan kondisi yang aseptis serta jenis kapang yang digunakan juga
bervariasi, seperti Rhizopus sp. dan mikroorganisme lainnya. Inokulum bubuk
dibuat dengan menggunakan berbagai macam substrat seperti beras, kedelai yang
dimasak dan diinokulasi dengan spora kapang dari biakan murni, atau dari tempe
yang telah dikeringkan. Inokulum tempe bubuk dibuat menggunakan Rhizopus
oligosporus yang disiapkan sebagai kapang utamanya (Sukardi dkk, 2008).
Inokulum tempe dapat diperoleh dengan berbagai cara, di antaranya bisa
berasal dari tempe yang terdapat di dalam batch yang telah mengalami sporulasi,
dari tempe segar yang dikeringkan di bawah sinar matahari atau yang mengalami
5

liofilisasi, serta dari ragi tempe yang terbuat dari pulungan beras bentuk bundar
pipih atau bulatan-bulatan kecil yang mengandung miselia dan spora jamur tempe.
Inokulasi tempe juga dapat disiapkan dengan cara menempatkan potongan daun
dalam bungkusan tempe yang sedang mengalami fermentasi (Kasmidjo, 1990).
Inokulum kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan
asam fitat menjadi zat fosfor dan inositol. Terurainya asam fitat membuat mineral
menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh (Anastasia dan Athiya, 2014).
2.1.3. Inokulum pada Kompos
Kompos adalah hasil penguraian antara bahan organik yang dilakukan
oleh sejumlah mikroorganisme dalam lingkungan aerob atau anaerob dengan hasil
akhir berupa humus. Kompos yang baik dihasilkan dalam waktu cukup lama.
Penambahan inokulum digunakan untuk mempercepat proses pengomposan dan
meningkatkan kualitas kompos, karena mikroorganisme yang diinokulasikan akan
memperkaya unsur hara kandungan kompos. Inokulum yang digunakan biasanya
berupa fungi ataupun bakteri. Tumpukan kompos dapat mendatangkan mikroba
dekomposer dan nitrogen dengan penambahan inokulum. Inokulum tersebut dapat
mempengaruhi tumpukan kompos melalui suatu cara yaitu inokulasi strain mikroba,
yang efektif dalam menghancurkan bahan organik serta dapat meningkatkan kadar
nitrogen yang merupakan makanan tambahan mikroba tersebut (Gusmaryana, 2018).
Inokulan fungi unggul yang ditambahkan dalam kompos berperan dalam
memecah selulosa supaya waktu pembuatan kompos lebih pendek. Pengomposan
membutuhkan banyak mikroorganisme yang berperan, sehingga inokulum sangat
membantu dalam pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Menurut Suwahyono
(2014) yang menyatakan bahwa pembuatan kompos umumnya membutuhkan
waktu sekitar 2-3 bulan, tetapi dengan menambahkan mikroba sebagai aktivator
dapat dipercepat menjadi 2-3 minggu tergantung bahan organik yang digunakan.
2.1.4. Inokulum Kapang pada Kecap
Penggunaan kultur murni untuk proses fermentasi kecap telah menjadi
metode standar dalam pembuatan kecap. Kultur murni yang umum digunakan
ialah penambahan inokulum kapang dalam proses fermentasi kecap. Penggunaan
starter atau inokulum kapang yang telah diseleksi dengan perbandingan yang
6

tepat sangat penting karena dapat membantu meningkatkkan mutu kualitas kecap,
mempersingkat waktu pada proses fermentasi kecap dan menghilangkan resiko
kontaminasi oleh mikroorganisme penghasil senyawa beracun (Noviyanthi, 2003).
Kapang yang mempengaruhi dalam proses fermentasi kecap adalah jenis
kapang Aspergillus oryzae dan Rhizopus oligosporus. Kapang jenis Aspergillus
oryzae memiliki kemampuan untuk menghasilkan zat enzim protease, peptidase,
amilase, dan lipase. Keseluruhan enzim tersebut digunakan di proses fermentasi
kecap untuk menghidrolisis kacang kedelai sehingga menghasilkan peptida dan
asam amino bebas. Kapang jenis Rhizopus oligosporus akan memproduksi enzim
protease yang dapat mencerna protein kedelai di dalam proses fermentasi tempe.
Kapang jenis tersebut dapat menggunakan xilosa, glukosa, galaktosa, selobiosa,
dan pati sebagai media pertumbuhannya ketika fermentasi kedelai menjadi kecap.
2.1.5. Inokulum Khamir pada Wine
Wine merupakan jenis minuman hasil fermentasi dari buah anggur yang
mengandung gula jenis gukosa dan fruktosa. Proses fermentasi wine dilakukan
dengan bantuan mikroorganisme yaitu inokulum khamir. Khamir mempunyai
selektivitas tinggi dan mudah penanganannya dibandingkan dengan jenis bakteri.
Jenis khamir yang digunakan adalah Sacharomyces cerevisiae karena mempunyai
daya konversi gula menjadi etanol yang sangat tinggi. Khamir yang digunakan
pada fermentasi wine berukuran lebih besar dan lebih oval dibandingkan dengan
sel khamir untuk fermentasi bir. Pemecahan struktu gula pada pembuatan wine
menjadi alkohol dan karbon dioksida diakibatkan oleh aktivitas enzim hidrolase
dan enzim invertase yang dihasilkan oleh sel khamir (Pawignya dkk, 2010).
Fermentasi buah anggur dipengaruhi oleh kosentrasi garam logam dalam
perasan sari buah anggur. Kosentrasi yang rendah akan merangsang aktivitas dan
petumbuhan khamir, sedangkan pada kosentrasi yang tinggi akan menghambat
pertumbuhan sel khamir. Starter yang ditambahkan pada perasan buah anggur
yang akan difermentasi harus sebanyak 2-5% karena dapat memperpendek fase
adaptasi. Starter yang digunakan sebaiknya mempunyai kadar alkohol lebih dari
4% yang berguna untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merusak
atau mengkontaminasi. Starter yang baik adalah starter dari biakan murni yang
7

dapat diisolasi dari buah. Media starter dibuat dari must atau sari buah anggur.
Must yang dijadikan sebagai bahan untuk media starter harus sudah dilakukan
sterilisasi sehingga dapat diinokulasikan dengan khamir (Pawignya dkk, 2010).
2.1.6. Inokulum pada Tape
Inokulum tape atau sering disebut ragi tape biasanya digunakan dalam
pembuatan tape yang selanjutnya akan difermentasi. Ragi tape merupakan kultur
starter kering yang dibuat dari campuran tepung beras, rempah-rempah dan air
atau jus tebu serta ekstraknya. Ragi tape mengandung bakteri asam laktat, antara
lain Pediococcus pentosaceus, Enterococcus faecium, Weissella confusa, L.
curvatus dan Weissella paramesenteroides yang mampu membentuk asam laktat
dari senyawa laktosa, selain itu juga terdapat kapang Amylomyces rouxii, Mucor
sp, Rhizopus sp serta khamir Saccharomycopsis fibuligera, Saccharomycopsis
malanga, Pichia burtonii, Saccharomyces cerevisiae, dan Candida utilis. Asam
laktat pada ragi tape mampu bersaing dengan bakteri lain dalam proses fermentasi
alami karena memiliki ketahanan terhadap pH yang tinggi (Sinurat dkk, 2018).
Inokulum tape adalah sumber utama dari mikroorganisme aktif dalam
adonan fermentasi dan bertanggung jawab untuk kualitas organoleptik produk
tape singkong. Mikroorganisme yang biasanya digunakan adalah Saccharomyces
cerevisiae yang memiliki fungsi untuk mengubah karbohidrat yang berbentuk pati
menjadi gula dan alkohol. Proses tersebut juga menyebabkan tekstur tape menjadi
lunak dan empuk. Mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae merupakan spesies
yang bersifat fermentatif kuat namun dengan adanya oksigen, Saccharomyces
cerevisiae juga dapat melakukan respirasi dengan mengoksidasi gula di dalam
singkong menjadi karbon dioksida dan air. Alkohol oleh enzim alkoholase pada
fermentasi tape lebih lanjut dapat diubah menjadi asam asetat, asam piruvat dan
asam laktat. Terbentuknya asam asetat, asam piruvat dan asam laktat karena
adanya bakteri Acetobacter yang terdapat dalam ragi (Dirayati dkk, 2017).
Jenis ragi tape yang digunakan dapat mempengaruhi kadar etanol yang
dihasilkan, tinggi rendahnya alkohol yang dihasilkan setelah proses fermentasi
berhubungan dengan jumlah khamir yang ada. Dosis ragi yang diberikan juga
dapat mempengaruhi hasil fermentasi tape. Dosis ragi yang berbeda menunjukkan
8

kadar etanol yang berbeda pula. Dosis ragi yang semakin tinggi akan membuat
kadar etanol yang akan dihasilkan juga semakin tinggi. Pemberian dosis ragi yang
semakin banyak akan menghasilkan khamir yang semakin banyak pula. Khamir
tersebut yang berperan aktif dalam proses fermentasi glukosa menjadi etanol.

2.1.7. Inokulum pada Pohon Gaharu


Pohon gaharu atau Aquilaria spp. merupakan salah satu jenis kelompok
tumbuhan penghasil aromatik yang bernilai komersial tinggi dan memiliki banyak
manfaat baik dalam bidang farmasi maupun kosmetik. Pemanfaatan pohon gaharu
biasanya dalam bentuk gubal gaharu. Akibat dari tingginya panen gubal gaharu
dari hasil tebangan alam untuk memenuhi permintaan pasar maka upaya budidaya
pohon ini merupakan salah satu langkah nyata menuju program pemanfaatan hasil
alam dengan memperhatikan aspek konservasi. Upaya pengembangan budidaya
pohon gaharu dapat dilakukan dengan metode inokulasi (Wiriadinata, 2010).
Inokulasi pohon gaharu merupakan salah satu hal yang penting dalam
menghasilkan gaharu karena resin gaharu sangat tidak mudah terjadi secara alami,
sehingga perlu adanya campur tangan manusia. Terbentuknya gaharu berkaitan
dengan proses patologis yang dirangsang oleh adanya luka pada batang patah
cabang atau ranting. Luka tersebut menyebabkan pohon terinfeksi oleh penyakit
karena adanya bakteri, jamur atau virus yang diduga mengubah pentosan atau
selulosa yang ada pada kayu menjadi resin atau damar, yang merupakan campuran
sesquiterpena, dienona dan isopronoid. Resin dan damar hasil kinerja penyakit
yang terkumpul di dalam rongga sel pohon tersebut dikenal sebagai gaharu.
Vaksin yang biasa di inokulasikan ke dalam pohon gaharu adalah yang
telah teruji secara mutu serta hasilnya, sehingga akan membantu petani dalam
menghasilkan produksi gubal gaharu. Gaharu dihasilkan tanaman sebagai respon
dari masuknya mikroba ke dalam suatu jaringan yang terluka. Luka pada tanaman
berkayu dapat disebabkan secara alami karena adanya cabang dahan yang patah
atau kulit terkelupas, maupun secara sengaja dengan melakukan penebangan.
Masuknya mikroba ke dalam jaringan tanaman dianggap sebagai benda
asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan suatu senyawa fitoaleksin yang
memiliki fungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit atau patogen (Suhendra
9

dkk, 2012). Senyawa fitoaleksin tersebut dapat berupa resin berwarna cokelat dan
beraroma harum, serta menumpuk di pembuluh xylem dan floem untuk mencegah
meluasnya luka ke jaringan yang lain. Vaksin tersebut pada dasarnya membuat
luka tanaman tetap terbuka sehingga memicu produksi resin dari jaringan kayu.
Metode inokulasi atau penyuntikan dilakukan bervariasi dari besarnya
lubang yang dibuat. Pembuatan lubang dan jarak pengeboran harus diperhitungkan
sehingga pohon tersebut dapat bertahan dari terpaan angin dan tidak roboh. Proses
kinerja penyakit yang berlangsung lama akan menghasilkan kadar gaharu yang
semakin tinggi.  Pembentukan gaharu juga dipengaruhi oleh kandungan resin atau
damar. Kandungan senyawa resin atau damar merupakan salah satu parameter
dalam pengklasifikasian kualitas gaharu. Kandungan resin merupakan persyaratan
pokok yang harus dipenuhi dalam penentuan kualitas gaharu, karena resin tersebut
menunjukkan ada tidaknya kandungan gaharu di dalam kayu gaharu. Kandungan
resin yang semakin tinggi di dalam kayu gaharu akan menghasilkan kualitas yang
semakin tinggi pula (Wiriadinata, 2010). Berdasarkan proses pembentukan gaharu
tersebut, saat ini gaharu dapat dihasilkan dengan metode rekayasa buatan, yaitu
dengan melakukan penyuntikan menggunakan mikroorganisme berupa jamur.
Cairan inokulum di dalam pohon dibiarkan selama lebih dari 18 bulan.
Dampak inokulasi tersebut antara lain tegak pohon meranggas, mengelupas, dan
hanya menyisakan karas gaharu berkualitas siap panen. Tanda dari hasil inokulasi
mulai maksimal adalah ketika daun gaharu sudah menguning dan tidak mengering
50%, serta ranting-ranting tanaman yang mulai tampak mengering dan berjatuhan.
Proses tersebut biasanya terjadi 1,5-2 tahun setelah tahap penyuntikan tergantung
diameter batang, semakin besar diameter batang maka proses akan semakin lama.
Jenis-jenis inokulan yang digunakan dalam inokulasi gaharu antara lain
inducer, jamur fusarium serta bioinducer. Inducer adalah istilah yang sering
digunakan untuk penginokulasi gaharu yang berperan sebagai inokulan berbahan
kimia dan berbentuk cairan. Kelebihan inokulan inducer yaitu sebagai inokulan
yang mempunyai tingkat keberhasilan tinggi, serta gubal gaharu yang dihasilkan
akan lebih besar dan panjang. Kelemahan inokulan inducer yaitu memiliki tingkat
keropos yang tinggi pada pohon gaharu tersebut (Suhendra dkk, 2012).
10

Inokulan fusarium dikenal sebagai inokulan jenis jamur yang menghasilkan


gubal gaharu dengan aroma yang akan mendekati aroma gubal alami. Kelemahan
pemakaian inokulan fusarium dapat menyebabakan recovery pada pohon gaharu,
sehingga pohon kembali sembuh dengan mengunakan fusarium setelah beberapa
bulan. Bioinducer merupakan hasil dari fermentasi sari buah-buahan atau bahan-
bahan tertentu sehingga menghasilkan inokulan yang berkualitas. Inokulan yang
dihasilkan memiliki keunggulan yaitu paparan obat yang kuat, terjadinya recovery
pada pohon gaharu tidak mudah, serta memiliki aroma yang bagus karena tidak
terdapat kandungan bahan kimia yang berbahaya (Suhendra dkk, 2012).

2.2. Variabel yang Mempengaruhi Inokulasi


Keberhasilan suatu proses inokulasi dapat tercapai apabila semua faktor
dapat dikendalikan dengan baik. Proses inokulasi dapat dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang ada disekitarnya. Beberapa faktor yang dapat merugikan jalannya
proses inokulasi antara lain tempat inokulasi (inokulum), temperatur inokulasi,
waktu proses inokulasi, serta umur inokulum. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tersebut harus diminimalisir agar upaya mikroorganisme untuk tumbuh dan juga
bertahan hidup lebih lama dapat dilakukan dengan lancer dan sebaik mungkin.
Kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh dan tetap hidup merupakan
suatu hal yang penting untuk diketahui. Pengetahuan dan ilmu mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme penting dipelajari di
dalam mengendalikan proses pertumbuhan dari berbagai mikroba. Pemilihan jenis
dan tempat untuk proses inokulasi juga harus diperhatikan. Menurut Suriawira
(2005) menyatakan bahwa variabel yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan dari mikroorganisme yang akan diinokulasi, antara lain banyaknya
suplai energi, temperatur, keasaman, kebasaan, dan ketersediaan oksigen.
2.2.1. Cara Inokulasi
Menurut Idris dan Nasrun (2009) menyatakan bahwa penyakit budok
disebabkan oleh patogen Synchytrium pogostemonis, penyakit budok adalah salah
satu masalah penting dalam budidaya nilam (Pogostemon cablin). Penyakit budok
disebabkan oleh faktor epidemiologi dari jamur yang sangat kompleks, dan belum
diketahui bentuk dari infeksi serta penyebaran patogennya. Cara inokulasi dalam
11

mengetahui bakteri tersebut berkembang biak dapat dilakukan dengan beberapa


metode. Metode yang paling tepat adalah dengan cara menyiram dibandingkan
dengan cara penusukan jarum. Gejala spesifik yang disebabkan Synchytrium
pogostemonis yaitu berupa penyakit yang merusak keindahan tumbuhan.
Gejala tersebut dapat berupa pustul atau tonjolan pada bagian tumbuhan
seperti daun, batang, akar, ranting berwarna coklat kehitaman, daun menggulung
dan mengalami malformasi menjadi lebih kerdil (Idris dan Nasrun, 2009). Cara
inokulasi dalam mikroba juga harus diperhatikan, medium yang cocok untuk
mikroba dan metode yang digunakan tidak boleh sembarang dilakukan. Medium,
mikroorganisme, serta teknik harus diperhatikan sebelum melakukan inokulasi.
2.2.2. Waktu Inokulasi
Waktu proses inokulasi yang tepat merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan inokulasi buatan yang lazim dilakukan dalam pengujian
ketahanan suatu varietas terhadap patogen dan mikroba tertentu. Masa inkubasi
merupakan waktu yang dibutuhkan oleh jamur P. nicotianae untuk menimbulkan
gejala pertama pada tanaman sejak dilakukannya inokulasi. Menurut Suriawira
(2005) menyatakan bahwa lamanya waktu inokulasi pada berbagai umur bibit
berpengaruh nyata terhadap masa inkubasi penyakit lanas. Inokulasi saat bibit
berukuran 5 mm memiliki masa inkubasi paling cepat yaitu 4,5 hari, dan hal
tersebut berbeda nyata dengan inokulasi saat bibit berukuran 6 dan 7 mm yakni
masing-masing selama 8,7 dan 8,1 hari. Percobaan yang dilakukan oleh peneliti
tersebut menunjukkan bahwa bibit yang masih muda lebih rentan terhadap infeksi.
2.2.3. Suhu
Suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada media. Proses
pembusukan ikan oleh bakteri dan fungi dapat dihambat dengan penyimpanan
ikan pada suhu 0oC atau lebih rendah lagi. Penyimpanan pada suhu dingin dapat
mempertahankan mutu produk (jangka pendek atau beberapa hari), dan apabila
disimpan pada suhu beku dapat bertahan dalam jangka waktu hingga satu tahun
(Noviyanthi, 2003). Penyimpanan dengan suhu dingin atau beku juga dapat
menghancurkan mikroba-mikroba pembuat busuk. Temperatur dingin atau beku
akan mengakibatkan terjadinya kenaikan pada konsentrasi suatu padatan terhadap
12

intraseluler, sehingga mengakibatkan perubahan fisik dan kimia pada sel-sel


bakteri dan fungi penyebab pembusukan. Temperatur juga dapat berkaitan dengan
faktor lain, di antaranya yaitu pemilihan biakan mikroba yang akan digunakan dan
komposisi nutrien di dalam medium untuk pertumbuhan sel mikroorganisme.

2.3. Metode Inokulasi


Suriawira (2005) menyatakan bahwa metode gores lebih menguntungkan
jika ditinjau dari sudut ekonomi dan waktu, tetapi memerlukan keterampilan yang
diperoleh dengan latihan. Penggoresan yang sempurna akan menghasilkan koloni
yang terpisah. Inokulum digoreskan ke permukaan media agar nutrien di dalam
cawan petri menggunakan jarum pindah (lup inokulum). Ada sel-sel yang cukup
terpisah di antara garis-garis goresan sehingga dapat tumbuh menjadi koloni.
Cara penggarisan dilakukan pada medium pembiakan yang padat bentuk
lempeng. Bila dilakukan dengan baik teknik ini adalah yang paling praktis. Dalam
pengerjaannya terkadang berbeda pada masing-masing laboratorium akan tetapi
tujuannya sama yaitu membuat goresan sebanyak mungkin pada lempeng medium
pembiakan. Ada beberapa teknik dalam metode goresan, yaitu sebagai berikut.
1. Goresan T
2. Goresan kuadran
3. Goresan radian
4. Goresan sinambung
Menurut Pelezar dan Chan (1988) menyatakan bahwa metode tebar yaitu
etetes inokulum diletakkan dalam sebuah medium agar nutrien dalam cawan petri
dan dengan menggunakan batang kaca yang bengkok dan steril. Inokulasi itu
disebar di dalam medium betang yang sama dapat digunakan menginokulasikan
pinggan kedua untuk dapat menjamin penyebaran bakteri yang merata dengan
baik, pada beberapa pinggan lalu akan muncul koloni yang terpisah-pisah. Metode
tuang yaitu isolasi menggunakan media cair yang dengan cara pengenceran. Dasar
melakukan pengenceran adalah penurunan jumlah mikroorganisme sehingga pada
suatu saat hanya ditemukan satu sel di dalam tabung. Metode tusuk, metode ini
yaitu dengan cara meneteskan atau menusukkan ujung jarum ose yang didalamnya
terdapat suatu inokulum, kemudian akan dimasukkan ke dalam media.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1. Tabung reaksi
2. Jarum ose
3. Nyala bunsen
4. Cawan petri
3.1.2. Bahan
1. Medium yang telah jadi
2. Kultur murni
3. Jarum atau kawat
4. Alkohol

3.2. Prosedur Percobaan


1. Tabung yang berisi jamur dan tabung medium disiapkan.
2. Jarum ose dipanaskan sampai berpijar dan diamkan sebentar.
3. Sumbat tabung jamur dibuka, kemudian dilewatkan dekat nyala bunsen.
4. Jamur diambil menggunakan jarum ose.
5. Sumbat tabung medium dibuka dan mulut tabung dilewatkan pada nyala
bunsen.
6. Ujung jarum ose yang telah membawa jamur dimasukkan dengan
menggeseknya pada permukaan medium dari kiri ke kanan dengan arah
dari bawah ke atas medium.
7. Tabung medium kemudian disumbat lagi.
8. Tabung yang telah ditanami tadi disimpan.
9. Bentuk jamur yang terjadi diamati.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anastasia, C., dan Athiya, F. 2014. Makanan Fermentasi di Indonesia. (Online).


https://akg.fkm.ui.ac.id/wp-content/uploads/2015/06/BAGI-1-2015.pdf.
(Diakses pada tanggal 26 Maret 2020).
Dirayati., Abdul, G., dan Erlidawati. 2017. Pengaruh Jenis Singkong dan Ragi
terhadap Kadar Etanol Tape Singkong. Jurnal IPA dan Pembelajaran
IPA (JIPI). (1)1: 26-33.
Gusmaryana, T. 2018. Pengujian Dekomposisi Kultur Murni dan Pengaruh
Inokulum Fungi Aspergillus tubingensis R. Mosseray pada
Pengomposan Serasah Nanas (Ananas comosus (L.) Merr.). Skripsi.
Jurusan Biologi. Lampung: Universitas Lampung. Idris, H., dan
Idris, H., dan Nasrun. 2009. Pengaruh Cara Inokulasi Synchytrium pogostemonis
terhadap Gejala Budok dan Pertumbuhan Nilam. Jurnal Bul Littro. 20(2):
157-166.
Kasmidjo, R. B. 1990. Tempe Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatanya. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi
UGM.
Mappiratu., dan Bakhri, S. 2013. Penuntun Praktikum Bioteknologi. Palu: Jurusan
Kimia Fakultas MIPA Universitas Tadulako.
Matsuo, M., dan Takeuchi, T. 2003. Preparation of Low Salt Miso-Like
Fermented Seasonings Using Soy-Oncom and Okara-Oncom (Fermented
Soybeans and Okara with Neurospora intermedia) and Their
Antioxidant Activity and Antimutagenicity. Food Science and
Technology Research. 9(3): 237-241.
Noviyanthi. 2003. Kajian Pembuatan Inokulum Kapang untuk Produksi Kecap.
Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Pawignya, H., dkk. 2010. Tinjauan Kinetika Pembuatan Rose Wine. Prosiding
Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”: 1-8. Yogyakarta. 26
Januari 2010: Program Studi Teknik Kimia UPN “Veteran” Yogyakarta.
Pelezar, M. J., dan Chan, E. C. S. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Sinurat, R. S., dkk. 2018. Karakteristik Kefir Susu Sapi dengan Inokulum Ragi
Tape. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 6(2): 111-116.
Suhendra, A., Yuda, P. R., dan Dwi, P. H. 2012. Aplikasi Inokulasi Fusarium
untuk Mempercepat Proses Pembentukan dan Produksi Gubal Gaharu di
Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Prosiding INSINas:
64-69. Jakarta Pusat, 29-30 November 2012: Kementerian Riset dan
Teknologi.
Sukardi., Wignyanto ., dan Isti, P. 2008. Uji Coba Pengaruh Inokulum Tempe dari
Kapang Rhizopus oryzae dengan Substrat Tepung Beras dan Ubi Kayu
pada Unit Produksi Tempe Sanan Kodya Malang. Jurnal Teknologi
Pertanian. 9(3): 201-215.
Suriawira. 2005. Pengantar Mikrobiologi Umum. Bandung: Angkasa.
Suwahyono, U. 2014. Cara Cepat Buat Kompos dari Limbah. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Wiriadinata, H., dkk. 2010. Konsep Budidaya Gaharu (Aquilaria sp.) di Provinsi
Bengkulu. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 7(4): 371-380.

Anda mungkin juga menyukai