Disusun oleh:
Nur Chalim (18101011127)
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan pada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya Penulis
dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Perpajakan tentang pajak penghasilan atau
PPh”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan.
Penulis berterima kasih kepada Ibu Ekananda Novita Iryanto, S.E. selaku dosen mata
kuliah Perpajakan yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan serta
menambah pengetahuan kita tentang Perpajakan. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa
di dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk
itu Penulis berharap adanya saran dan kritikan yang membangun demi perbaikan makalah ini
untuk masa yang akan datang.
Demikianlah kata pengantar dari Penulis, semoga makalah ini dapat berguna dan
dapat dipahami bagi siapa pun yang membacanya. Penulis mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata di dalam makalah ini. Sekian dan terima kasih.
(Penyusun)
A. LATAR BELAKANG
PPh Pasal 22
1. PT DTC berkedudukan di Jakarta, menjadi pemasok alat-alat tulis kantor bagi Dinas
Pendidikan Kota Tangerang Selatan. Pada tanggal 1 Oktober 2015, PT DTC melakukan
penyerahan barang kena pajak dengan nilai kontrak sebesar Rp11.000.000 (nilai sudah
termasuk PPN). Maka, berapakah PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota
Tangerang Selatan?
Jawaban:
No Diketahui Nilai (Rp)
Jawaban :
Perhitungan PPh Pasal 22 Bea Cukai
Kurs yang berlaku = Rp10.000
Harga import US$ 80,000 x Rp 10.000 = Rp 800.000.000
Biaya Angkut US$ 5,000 x Rp 10.000 = Rp 50.000.000
Biaya Asuransi US$ 1,000 x Rp 10.000 = Rp 10.000.000
Bea Masuk = Rp 34.200.000
Pungutan Pabean dan lain-lain = Rp 16.000.000 +
Nilai Import = Rp 910.200.000
Pajak Penghasilan Pasal 22 Bea Cukai bila importir memiliki API/APIS/APIT :
2,5 % x Rp910.200.000 = Rp22.755.000
Pajak Penghasilan Pasal 22 Bea Cukai bila importir tidak memiliki API/APIS/APIT :
7,5 % x Rp910.200.000 = Rp68.265.000
b. PPh Pasal 22 yang Dipungut Oleh Bendaharawan
Contoh Kasus 1
Sebuah perusahaan melakukan penyerahan barang kena pajak kepada suatu instasi
pemerintah seharga Rp1.144.000.000 yang pembayarannya melalui Kantor pembendaharaan
negara. Berapakah Pajak Penghasilan Pasal 22 Bendaharawan yang harus dipotong bila:
1. Harga barang tidak termasuk PPN dan PPnBM.
2. Harga barang termasuk PPN (10%) tapi bukan Barang Mewah.
3. Harga barang termasuk PPN (10%)dan PPnBM (20%).
Perhitungan Pajak:
1. Harga barang tidak termasuk PPN dan PPnBM
Harga barang yang diserahkan Rp1.144.000.000
Pajak Penghasilan pasal 22
1.5 % x Rp1.144.000.000 Rp 17.160.000 –
Jumlah uang yang diterima Rp1.126.840.000
2. Harga barang termasuk PPN (10%) tapi bukan Barang Mewah
Harga barang termasuk PPN (10%) Rp1.144.000.000
PPN (10%)=Rp1.144.000.000 x 10/110 Rp 104.000.000 –
Harga barang tidak termasuk PPN Rp1.040.000.000
Pajak Penghasilan pasal 22
1.5 % x Rp1.040.000.000 Rp 15.600.000 –
Jumlah uang yang diterima Rp1.024.400.000
3. Harga barang termasuk PPN (10%) dan PPnBM (20%)
Harga barang termasuk PPN (10%) dan PPnBM(20%) Rp1.144.000.000
PPN (10%)= Rp1.144.000.000.000 x 10/130 Rp 88.000.000
}PPnBM (20%) = Rp1.144.000.000 x 20/130 Rp 176.000.000 –
Harga barang tidak termasuk PPN dan PPnBM Rp 880.000.000
}Pajak Penghasilan pasal 22
1.5%x Rp 880.000.000 Rp 13.200.000 - Jumlah uang yan
g diterima Rp 866.800.000
Contoh Kasus 2
Bapak Agung menerima pembayaran atas penjualan meja tulis seharga Rp750.000 ke Pemda
DKI. Berapakah PPh Pasal 22 yang dipotong atas penjualan tersebut ?
Jawab:
Atas transaksi penerimaan pembayaran penjualan penjualan meja tulis sebesar Rp750.000 ke
pemda DKI tidak terutang PPh Pasal 22, disebabkan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 atas pembayaran dari penyerahan barang (bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah) meliputi jumlah kurang dari Rp2.000.000
dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22.
PPh 23
1. PAJAK Penghasilan (PPh) Pasal 23 mengatur mengenai pajak yang dipotong oleh
pemungut pajak dari wajib pajak atas penghasilan yang diperoleh dari modal (dividen, bunga,
royalti), penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang dipotong dalam PPh
Pasal 21. Kini untuk lebih memahami perhitungan PPh Pasal 23, berikut adalah beberapa
ulasan contoh soal perhitungan PPh Pasal 23.
Perhitungan PPh Pasal 23 atas Dividen
Pada 10 Mei 2015, PT Dahlia mengumumkan akan membagikan dividen melalui Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS), dan melakukan pembayaran dividen tunai kepada PT
Melati sebesar Rp30.000.000 yang melakukan penyertaan modal sebesal 15%.
Jawab:
PPh Pasal 23 = 15% x Rp30.000.000 = Rp4.500.000
Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Mei 2015
Saat penyetoran: paling lambat 10 Juni 2015
Saat pelaporan: paling lambat 20 Juni 2015
2. Perhitungan PPh Pasal 23 atas Dividen
PT ABCD, merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri sepatu dan
beralamat di Jl. Terusan No.11, Jakarta Selatan. PT ABCD telah memiliki NPWP
01.111.444.8-061.000. Pada tanggal 10 Juli 2013, perusahaan membayar dividen tunai
kepada pemegang saham yang sebelumnya telah diumumkan melalui RUPS. Berikut data
yang diperlukan dalam pembayaran dividen tunai.
Pemegang Saham NPWP % Penyertaan Modal Dividen
Jawab:
Dari data tabel di atas, berikut perhitungan PPh Pasal 23 yang harus dipotong PT ABCD.
Pemegang Saham % Penyertaan Modal Dividen PPh Pasal 23 yang Dipotong
Jawab:
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Abadi adalah: 15% x Rp150.000.000 =
Rp22.500.000
Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Maret 2012
Saat penyetoran: paling lambat 10 April 2012
Saat pelaporan: paling lambat 20 April 2012
6. Perhitungan PPh Pasal 23 atas Jasa
PT Irama meminta jasa dari Pak Budi untuk membuat sistem akuntansi perusahaan dengan
imbalan sebesar Rp80.000.000 (sudah termasuk PPN).
Jawab:
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Irama adalah: 2% x Rp80.000.000 = Rp1.600.000
6. Perhitungan PPh Pasal 23 atas Sewa
PT Karya Makmur membayar sewa kendaraaan bus pariwisata dengan nilai sewa sebesar
Rp35.000.000 kepada Sugianto Haris.
Jawab:
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Karya Makmur adalah: 2% x Rp35.000.000 =
Rp700.000
7. Perhitungan PPh Pasal 23 atas Jasa
PT Indoraya membayarkan jasa konsultan dari PT Nuansaraya sebesar Rp120.000.000 (sudah
termasuk PPN). PT Nuansaraya tidak mempunyai NPWP.
Jawab:
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Indoraya adalah: 200% x 2% x Rp120.000.000 =
Rp4.800.000
PPN
Arti PPN
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas transaksi jual-beli Barang Kena Pajak (BKP)
dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang memiliki pertambahan nilai dan pungutan ini hanya
boleh dilakukan dan dilaporkan oleh PKP.
Namun, pihak yang berkewajiban membayarkan PPN adalah konsumen akhir.
Tarif PPN
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009, berikut ini uraian tarif
PPN di Indonesia:
Tarif PPN sebesar 10%.
Tarif PPN sebesar 0% dikenakan atas:
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
Ekspor Jasa Kena Pajak
Tarif PPN yang dimaksud pada poin pertama bisa saja berubah menjadi paling rendah 5%
dan paling tinggi 15% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pada umumnya, cara menghitung PPN adalah dengan mengalikan tarif PPN dengan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP).
Setelah mengetahui penjelasan secara singkat dan tarif PPN, mari simak contoh soal/kasus
PPN dan cara menghitungnya.
Contoh Soal (contoh kasus) PPN dan Cara Menghitungnya
Contoh PPN 1
PT. Gragas merupakan PKP yang menjual elektronik di Palembang. Selama Agustus 2016,
PT Gragas melakukan berbagai transaksi sebagai berikut:
Penjualan secara langsung kepada konsumen sebesar Rp1.600.000.000.
Penyerahan BKP, yakni barang elektronik kepada Pemerintah Kota Palembang sebesar
Rp660.000.000. Harga tersebut sudah termasuk PPN.
1. PT. Gragas juga membangun sebuah gudang elektronik seluar 500m2 di kawasan
pergudangan sendiri dengan biaya sebesar Rp550.000.000.
Menyumbang ke sebuah yayasan panti jompo 1 buah televisi dengan harga Rp2.000.000
termasuk keuntungan Rp200.000.
Selain transaksi di atas, terdapat tambahan transaksi selama bulan Agustus sebagai berikut:
Membeli sebuah mobil box untuk mengangkut barang dengan harga Rp550.000.000 dan
harga tersebut sudah termasuk PPN.
Dari transaksi-transaksi yang terjadi di atas, maka hitunglah PPN dari transaksi tersebut? Dan
berapa total PPN yang disetorkan?
Jawab:
PPN dan PPnBM setiap transaksi contoh PPN di atas adalah sebagai berikut.
Transaksi pertama:
PPN = 10% x Rp1.600.000.000 = Rp160.000.000 (pajak keluaran/penjualan)
Transaksi kedua:
DPP = 100/110 x Rp660.000.000 = Rp600.000.000
PPN = 10% x Rp600.000.000 = Rp60.000.000 (pajak keluaran/penjualan)
Transaksi ketiga:
DPP = 20% x Rp550.000.000 = Rp110.000.000
PPN = 10% x Rp110.000.000 = Rp100.000.000 (pajak keluaran)
Transaksi keempat:
DPP = Rp2.000.000 – Rp200.000 = Rp1.800.000 (pajak keluaran)
Transaksi tambahan:
DPP = 100/110 x Rp550.000.000 = Rp500.000.000
PPN = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000 (pajak masukan)
Total PPN yang harus disetorkan:
PPN keluaranya:
Transaksi pertama + transaksi kedua + transaksi ketiga + transaksi keempat
Rp160.000.000 + Rp60.000.000 + Rp100.000.000 + Rp1.800.000 = Rp321.800.000
PPN masukannya:
Rp50.000.000
Cara menghitung PPN yang harus disetorkan: Pajak keluaran – pajak masukan
Rp321.800.000 – Rp50.000.000 = Rp271.800.000
Jadi, total PPn yang perlu PT. Gragas setorkan atas transaksi yang dilakukan selama Agustus
2016 tersebut adalah sebesar Rp271.800.000.
2. Contoh PPN 2
Toko Samson menjual kulkas sebanyak 20 kulkas dengan harga satuannya sebesar
Rp6.000.000. Lalu, berapakah PPN terutang toko Samson yang wajib disetorkan?
Jawab:
Total DPP atas penjualan 20 kulkas: 20 x Rp6.000.000 = Rp120.000.000
PPN = 10% x Rp120.000.000 = Rp12.000.000
Jadi, PPN terutang yang wajib disetorkan Toko Samson adalah sebesar Rp12.000.000.
PENGHITUNGAN pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia bisa dikatakan sangat
sederhana jika dibandingkan dengan jenis pungutan pajak lainnya. Pasalnya tarif PPN
yang diterapkan bersifat tunggal, yaitu dikenakan tarif 10%.
Yang perlu menjadi perhatian adalah menentukan apakah transkasi atau penyerahan barang
dan jasa yang dilakukan merupakan objek PPN atau bukan, serta penentuan terkait dasar
pengenaan pajaknya sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel PPN sebelumnya.
Pada artikel ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai formula penghitungan PPN, kapan saat
terutang, tempat terutang, hingga ketentuan penyetoran dan pelaporan PPN oleh pengusaha
kena pajak (PKP).
Penghitungan PPN
PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak
(DPP) yang meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain.
Penghitungan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
PPN=Tarif PPN X DPP
Contoh 1:
PKP A menjual tunai barang kena pajak (BKP) seharga Rp25.000.000. Maka PPN yang
terutang = 10% x Rp25.000.000 = Rp2.500.000. PPN sebesar Rp2.500.000 tersebut
merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh PKP A.
Contoh 2:
PKP B melakukan penyerahan jasa kena pajak (JKP) dengan memperoleh penggantian
Rp20.000.000. Maka PPN yang terutang = 10% x Rp20.000.000 = Rp2.000.000. PPN sebesar
Rp2.000.000 tersebut merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh PKP B.
Contoh 3:
Pengimpor C melakukan impor BKP dari luar daerah pabean dengan nilai impor
Rp15.000.000. PPN yang dipungut melalui Ditjen Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000 =
Rp1.500.000.
Contoh 4:
PKP D melakukan ekspor BKP dengan nilai ekspor Rp10.000.000. Maka PPN yang terutang
= 0% x Rp10.000.000 = Rp0. PPN sebesar Rp0 tersebut merupakan pajak keluaran.
Saat Terutang PPN
Untuk menentukan saat PKP melaksanakan kewajiban membayar pajak, penentuan saat pajak
terutang menjadi sangat relevan. Tanpa diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin
ditentukan bilamana PKP wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya.
Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat
timbulnya utang pajak. Sebagai pajak objektif, PPN menganut ajaran materiil timbulnya
utang pajak yaitu utang pajak timbul karena undang-undang.
Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa utang pajak timbul karena adanya tatbestand yang
diatur dalam undang-undang, yaitu sejak adanya suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan
hukum yang dapat dikenakan pajak.
Dengan rumusan yang lebih sederhana, dapat ditentukan bahwa utang PPN mulai timbul
sejak adanya objek pajak. Merujuk Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU
PPN) dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012, terutangnya PPN terjadi pada
saat-saat berikut:
Penyerahan BKP;
Impor BKP;
Penyerahan JKP;
Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean;
Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean;
Ekspor BKP Berwujud;
Ekspor BKP tidak berwujud; atau
Ekspor JKP.
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan JKP
atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud
atau JKP dari luar daerah pabean, saat terutangnya PPN adalah pada saat pembayaran.
Tempat Terutang PPN
Apabila PKP mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di satu wilayah
kerja satu Kantor Ditjen Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, PKP memilih salah
satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk
seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila PKP tersebut menghendaki lebih dari satu
tempat pajak terutang, PKP wajib memberitahukan kepada Dirjen Pajak.
Dalam hal tertentu, Dirjen Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau
tempat kedudukan dan kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.
Contoh 1:
Orang Pribadi (OP) A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong.
Apabila tempat tinggal OP A tidak ada penyerahan BKP dan/atau JKP, OP A hanya wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi OP A adalah di Cibinong.
Sebaliknya, jika penyerahan BKP dan/atau JKP dilakukan OP A hanya di tempat tinggalnya
saja, OP A hanya wajib mendaftarkan diri di KPP Pratama Bogor. Namun, apabila baik di
tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya OP A melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP, OP A wajib mendaftarkan diri di KPP Pratama Bogor dan KPP Pratama
Cibinong karena tempat terutangnya pajak ada di Bogor dan Cibinong.
Berbeda dengan orang pribadi, PKP badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan
maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi PKP badan di kedua tempat tersebut dianggap
melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.
Contoh 2:
PT A mempunyai tiga tempat kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna
yang ketiganya berada di bawah pelayanan satu KPP, yaitu KPP Pratama Bengkulu. Ketiga
tempat kegiatan usaha tersebut melakukan BKP dan/atau JKP dan melakukan administrasi
penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota
itu.
Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk
melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP, misalnya tempat kegiatan usaha di
Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk
melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha
tersebut.
Apabila PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan
sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan
kepada Kepala KPP Pratam Bengkulu.
Impor BKP
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat BKP dimasukkan dan dipungut oleh
Ditjen Bea dan Cukai.
Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean terutang pajak di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
Saat Penyetoran dan Pelaporan
Penyetoran PPN oleh PKP harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) masa pajak PPN
disampaikan. Adapun SPT Masa PPN dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak.
PPnBM
Pengertian PPnBM
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan kepada
wajib pajak atas penjualan suatu barang mewa. Penetapan PPnBM sendiri bertujuan untuk
melindungi pedagang kecil agar tidak tergerus oleh keberadaan pedagang besar yang menjual
komoditas impor. Sebelum membahas lebih jauh tentang rumus perhitungan PPnBM, mari
terlebih dahulu kita bahas lebih mendalam tentang PPnBM.
Pengertian Barang Mewah dalam PPnMB
Menurut undang-undang, yang termasuk dalam barang mewah dan wajib pajak PPnBM
adalah barang yang tergolong dalam kategori berikut:
Barang tersebut tidak termasuk bahan kebutuhan pokok.
Barang tersebut hanya dikonsumsi oleh golongan masyarakat tertentu.
Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status kekayaan semata.
Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat dengan pendapatan tinggi.
Jadi jika Anda merasa membeli barang yang sesuai dengan salah satu atau lebih dari kategori
di atas, maka Anda diwajibkan membayar PPnBM. Menurut Undang-Undang PPN, untuk
menghitung besaran PPnBM dibutuhkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang meliputi:
Harga jual: nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta penjual karena adanya
barang kena pajak (BKP).
Biaya penggantian: nilai berupa uang termasuk semua biaya penyerahan, ekspor jasa kena
pajak (JKP) atau ekspor BKP tidak berwujud dan tidak termasuk dalam PPN.
Nilai impor: nilai berupa uang yang diambil dari bea masuk, pungutan lain yang sudah
terkena pajak, dan cukai impor BKP.
Nilai ekspor: nilai berupa uang termasuk semua biaya yang dipungut oleh pihak eskportir.
Nilai lainnya: nilai berupa uang dengan jumlah yang ditetapkan sebagai DPP sesuai
keputusan menteri keuangan.
Rumus Perhitungan PPnBM dan PPN di Indonesia
Untuk melakukan perhitungan PPnBM, sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu
tentang tarif PPN dan PPnBM di Indonesia. Tarif PPN saat ini sebesar 10% yang meliputi:
Ekspor BKP berwujud.
Ekspor BKP tidak berwujud.
Ekspor JKP.
Sedangkan untuk PPnBM, tarifnya diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori yaitu:
Tarif 10% untuk kendaraan bermotor kategori tertentu, alat rumah tangga, hunian mewah,
alat pendingin, televisi, minuman non-alkohol.
Tarif 20% untuk kendaraan bermotor kategori tertentu, peralatan olahraga impor, berbagai
jenis permadani, alat fotografi dan barang sanitary.
Tarif 25% untuk kendaraan bermotor berat dan berbahan bakar solar, misalnya
minibus, combi, pick up.
Tarif 35% untuk minuman bebas alkohol, batu kristal, barang berbahan kulit impor, barang
pecah belah, bus.
Nah, setelah mengetahui tarif PPN dan PPnBm di atas, selanjutnya mari kita mempelajari
cara perhitungan PPnBM. Salah satu rumus mudah untuk menghitung PPN adalah:
PPN = Tarif PPN x (Harga Barang – PPnBM)
Untuk memudahkan pemahaman wajib pajak mengenai jenis pajak satu ini, mari kita lihat
beberapa contoh soal di bawah ini:
Contoh 1
Bapak Ahmad merupakan seorang pengusaha di bidang produksi film, pada suatu saat beliau
membeli sebuah mobil sport mewah dengan harga Rp900.000.000. Berdasarkan DPP, mobil
tersebut terkena tarif PPnBM sebesar 40%. Lalu, berapakah nilai uang yang harus dibayarkan
Bapak Ahmad untuk membawa masuk mobilnya ke Indonesia?
PPN = Tarif PPN x (Harga Barang – PPnBM)
PPN = 10% x (Rp900.000.000 – (Rp900.000.000 x 40%))
PPN = 10% x (Rp900.000.000 – 360.000.000)
PPN = 10% x Rp540.000.000 =Rp54.000.0000
Berarti total harga mobil yang harus dibayarkan Bapak Ahmad adalah:
Harga Mobil + PPN + PPnBM = Rp1.314.000.000
Contoh 2
PT Irsyadin Jaya merupakan sebuah perusahaan yang memproduksi berbagai macam barang
elektronik mewah seperti AC dan lemari pendingin. Barang yang diproduksi di sini termasuk
dalam kategori barang mewah dengan tarif PPnBM sebesar 20%.
Pada bulan Desember tahun 2017, PT Irsyadin Jaya menjual lemari pendingin ke Toko
Ahmad dengan sebanyak 30 unit dengan harga jual per barang sekitar Rp6.000.000. Lalu,
berapakah nilai PPN dan PPnBm yang harus dipungut dan dibayarkan PT Irsyadin Jaya ke
pemerintah?
PPN = Tarif PPN x (harga barang – PPNBM)
PPN = 10% x ((30 x Rp6.000.000) – (harga barang total x 40%))
PPN = 10 % x (Rp180.000.000 – (Rp180.000.000 x 40%))
PPN = 10% x 108.000.000 = Rp10.800.000
Artinya, total pajak yang harus dibayar PT Irsyadin Jaya adalah Rp10.800.000.
Bagaimana rumus dan contoh soal perhitungan PPnBM di atas? Mudah dipahami, bukan?
Setelah memahami PPN dan PPnBM, pembayaran dan pelaporan pajaknya jadi lebih mudah
dipahami.
alam hal penyerahan BKP/JKP hanya terutang PPN (tidak terutang PPnBM) dan Nilai
kontrak/jumlah pembayaran termasuk PPN , maka jumlah PPN yang dipungut adalah 10/110
bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh :
Jumlah pembayaran/Nilai kontrak :11.000.000
Dasar Pengenaan Pajak
(100/110 x 11.000.000) : 10.000.000
PPN (10/110 x 11.000.000) : 1.000.000
Dalam hal penyerahan BKP/JKP hanya terutang PPN (tidak terutang PPnBM) dan Nilai
kontrak/jumlah pembayaran tidak termasuk PPN , maka jumlah PPN yang dipungut adalah
10 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh :
Jumlah pembayaran/Nilai kontrak: 10.000.000
Dasar Pengenaan Pajak : 10.000.000
PPN (10 % x 10.000.000) : 1.000.000
Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang menghasilkan BKP
yang tergolong mewah tersebut, di samping terutang PPN juga terutang PPn BM, maka
jumlah PPN dan PPn BM yang dipungut adalah sebagai berikut :
Dalam hal terutang PPn BM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang dipungut sebesar 10/130
bagian dari jumlah pembayaran sedangkan jumlah PPn BM yang dipungut sebesar 20/130
bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh : PPn BM dengan tarif 20%
Jumlah pembayaran/Nilai kontrak: 13.000.000
Dasar Pengenaan Pajak
(100/130 x 13.000.000) : 10.000.000
PPN (10/130 x 13.000.000) : 1.000.000
Jumlah PPn BM yang dipungut :
Jumlah pembayaran/Nilai kontrak: 13.000.000
Dasar Pengenaan Pajak
(100/130 x 13.000.000) : 10.000.000
PPnBM (20/130 x 13.000.000) : 2.000.000
Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan jumlah yang terpecah-pecah, maka PPN dan PPn BM tidak perlu dipungut oleh
Bendaharawan Pemerintah. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp.1.000.000,00 tersebut
hendaknya diartikan termasuk PPN dan PPn BM.
Contoh 1 :
Harga Jual : 900.000
PPN (10 % x 900.000) : 90.000
PPnBM (20 % x 900.000) : 180.000
Harga Jual termasuk PPN dan PPn BM : 1.170.000
Meskipun Harga Jual 900.0000 tetapi karena pembayaran termasuk PPN dan PPn BM
berjumlah 1.170.000, (di atas 1.000.000), maka PPN dan PPn BM yang terutang harus
dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPKN.
Contoh 2 :
Harga Jual : 800.000
PPN (10 % x 800.000) : 80.000
PPnBM (10 % x 800.000) : 80.000
Harga Jual termasuk PPN dan PPn BM:960.000
Karena Harga Jual termasuk PPN dan PPn BM berjumlah 960.000 (kurang dari 1.000.000),
maka PPN dan PPn BM yang terutang tidak perlu dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah
dan KPKN, tetapi harus dipungut dan disetor oleh PKP Rekanan Pemerintah, dan Faktur
Pajak tetap harus dibuat.
PENUTUP
Makalah ,apabila ada kesalahan baik secara penulisan atau yang lain saya minta maaf
yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk kemajuan mungkin hanya
ini yang dapat saya paparkan dalam pembuatan makalah yang lebih baik. Sekian dan terima
kasih.