Anda di halaman 1dari 14

LKMM : EVALUASI MAPERWA

TUNTUTAN BURUH PABRIK AICE TERHADAP EKSPLOITASI TENAGA KERJA


OLEH PT ALPEN FOOD INDUSTRY

Oleh: Kelompok 7

Sarniati
Fitri
Eno
Ahmad Munawar
Dian wirdyana
Oci
Tiwi
Wa Ode Shafitra Ramadhany
Wahyu

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Es krim dengan brand Aice di bungkusnya, sejak kemunculannya mendapat
sambutan baik di masyarakat Indonesia. Es krim Aice merupakan produk PT Alpen
Food Industry (PT AFI), yang merupakan perusahaan asal Singapura. Memiliki harga
es krim yang ekonomis dengan berbagai rasa dan varian yang berbeda telah menarik
banyak konsumen Indonesia dari berbagai kalangan. Namun, siapa sangka kondisi
buruh yang bekerja di PT AFI cabang Indonesia tidak semanis iklan Aice, “Have an
Aice Day”. Para buruh yang bekerja di pabrik PT AFI yang memproduksi AICE ini
mengklaim telah diperlakukan tidak adil, mereka berpendapat bahwa tenaga mereka
telah dieksploitasi dan dengan upah yang tidak sesuai dengan kontrak. Sejak berdiri
tahun 2014 silam hingga tahun 2017 dan berlangsung hingga tahun 2020, para buruh
yang tidak tahan lagi terhadap perlakukan PT AFI melakukan mogok kerja dan
mengajukan berbagai tuntutan kepada PT AFI. Tuntutan yang diajukan dilatar
belakangi oleh banyak faktor seperi penurunan upah akibat perubahan KBLI, mutasi,
demosi, dan sanksi yang tidak proporsional, pekerja sulit mengambil cuti, buruh
perempuan hamil dipekerjakan pada malam hari, bonus dibayarkan dengan cek
kosong, buruh kontrak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
perlakuan tidak adil yang diterima oleh buruh outsourcing. Pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi ini membulatkan tekad buruh PT AFI membentuk serikat buruh bernama
Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (GBBI) pada Agustus 2017. Dengan diwadahi
oleh Serikat GBBI, para buruh PT AFI mengajukan tuntutan hak pekerja yang
dibuktikan dengan dilaporkannya tindak kelalaian PT AFI memenuhi hak buruh ke
Polda Metro Jaya. Beberapa bentuk tuntutan yang diajukan oleh para buruh adalah,
buruh perempuan yang sedang hamil dipekerjakan pada malam hari, kesulitan
mengambil cuti haid dan sakit, serta pemberian bonus dengan cek kosong.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka identifikasi masalah
diantaranya adalah banyaknya perlakuan tidak adil yang diterima oleh buruh PT AFI
menyebabkan para buruh melakukan mogok kerja dan mengajukan tuntutan hukum
kepada PT AFI terkait hak-hak buruh yang tidak terpenuhi.
C. Pembatasan Masalah
Gambaran permasalahan yang begitu luas. Untuk lebih memperjelas masalah
yang dibahas, maka dilakukan pembatasan masalah sebagai berikut:
Fokus penulisan ini adalah untuk mengetahui berbagai kebijakan-kebijakan yang
diberlakukan oleh PT AFI (x) dan pengaruhnya terhadap para buruh (y) .
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakng di atas, maka rumusan masalah yang dapat dibuat
adalah:
1. Apakah yang menjadi faktor yang mendasari tuntutan para buruh PT AFI?
2. Bagaimana pengaruh kebijakan-kebijakan yang diterapkan PT AFI terhadap para
buruh?
3. Apa saja solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut?
E. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang di atas, para buruh mengajukan tuntutan serius
kepada PT AFI karena mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan ekspolitasi waktu
kerja yang berlebihan.
F. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi faktor yang mendasari tuntutan para
buruh terhadap PT AFI.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan-kebijakan yang diterapkan PT
AFI terhadap para buruh yang bekerja di pabrik.
3. Untuk mengtahui apa saja solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
tersebut.
G. Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berhubungan
dengan penulisan ini antara lain:
a. Penulis
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis terkait fenomena-
fenomena dan wacana-wacana sosial yang terjadi di masyarakat, dan melatih
penulis untuk dapat memberikan solusi terkait masalah yang terjadi.
b. Akademisi
Menambah pengatahuan dan pemahaman terkait masalah ketenagakerjaan
yang sering terjadi, dan menjadi sebuah bahan pertimbangan dalam pembuatan
kebijakan.
c. Masyarakat
Untuk memberikan informasi kepada masyarakat terkait keberpihakan penulis
atas masalah-masalah sosial yang terjadi khususnya masalah ketenagakerjaan,
dan alasan yang mendasarinya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Metode Penelitian dan Pengumpulan Data


Metode penelitian dan teknik pengambilan data merupakan salah satu hal yang
sangat penting bagi sebuah penelitian sehingga data yang diperoleh benar-benar
sesuai dengan judul yang ditentukan dan harus cukup valid untuk digunakan. Menurut
Nazir (2009) metode pengumpulan data adalah “teknik atau cara yang digunakan oleh
peneliti untuk mengambil data”. Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik
dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, agar hasil yang diperoleh dalam penelitian ini
benar-benar data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan maka teknik
pengambilan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitian Deskriptif
Menurut Hidayat Syah (2010 : 34) menjelaskan pengertian dari penelitian
deskriptif adalah sebagai berikut:
“ Penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang digunakan untuk
menemukan pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap objek penelitian pada
suatu masa tertentu”.
Sedangkan menurut Punaji Setyosari (2010 : 89) menjelaskan terkait definisi
penelitian deskriptif:
“Penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan suatu
keadaan, peristiwa, objek apakah orang, atau segala sesuatu yang terkait dengan
variabel-variabel yang bisa dijelaskan baik dengan angka-angka maupun kata-
kata”.
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap
fenomena sosial tertentu. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif
penulis ingin menggambarkan dan menjelaskan permasalahan-permasalahan yang
dihadapi oleh buruh PT AFI terhadap kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh
perusahaan melalui keberpihakan penulis kepada buruh.
2. Penelitian Historis atau penelitian sejarah
Menurut Jack. R. Fraenkel & Norman E. Wallen, 1990 : 411 dalam Yatim
Riyanto, 1996: 22 dalam Nurul Zuriah, 2005: 51 penelitian sejarah adalah
penelitian yang secara eksklusif memfokuskan kepada masa lalu. Penelitian ini
mencoba merenkonstruksi apa yang terjadi pada masa yang lalu selengkap dan
seakurat mungkin, dan biasanya menjelaskan mengapa hal itu terjadi.
Menurut Donald Ary dkk (1980) dalam Yatim Riyanto (1996: 22) dalam
Nurul Zuriah , 2005: 51 juga menyatakan bahwa penelitian historis adalah untuk
menetapkan fakta dan mencapai simpulan mengenai hal-hal yang telah lalu, yang
dilakukan secara sistematis dan objektif oleh ahli sejarah dalam mencari,
mengvaluasi dan menafsirkan bukti-bukti untuk mempelajari masalah baru
tersebut.
Metode penelitian yang dilakukan penulis selanjutnya adalah metode
penelitian historis. Dengan menggunakan metode ini penulis berusahan mengkaji
kejadian-kejadian masa lalu terkait kasus-kasus pelanggaran hak-hak buruh yang
dilakukan oleh PT AFI dan mengaitkanya dengan masalah yang sedang terjadi.
B. Sumber Data
Menurut Khairani (2016: 148) data ialah sesuatu yang belum mempunyai arti
bagi penerimanya dan masih memerlukan suatu pengolahan. Data bisa berwujud suatu
keadaan, gambar, suaru, huruf, angka, matematika, bahasa ataupun simbol-simbol
lainnya yang bisa digunakan sebagai bahan untuk melihat lingkungan, objek, kejadian
ataupun suatu konsep.
Arikunto (2006: 129) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sumber data
adalah subyek darimana data diperoleh. Menurut Iofland dalam Moleong (2011:157),
sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Apabila peneliti menggunakan kuisioner atau wawancara dalam pengumpulan
datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang merespon atau
menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik tertulis maupun lisan. Apabila
peneliti menggunakan teknik observasi, maka sumber datanya bisa berupa benda,
gerak, dan proses sesuatu, Arikunto (2002:10).
Menurut Tanzeh (2011:80) sumber data dibagi menjadi dua yaitu:
1. Data primer, adalah data yang langsung dikumpulkan oleh orang yang
berkepentingan atau yang memakai data tersebut. Data yang diperoleh melalui
wawaancara atau kuisioner.
2. Data sekunder, yaitu data yang tidak secara langsungg dikumpulkan oleh yang
berkepentingan atau yang memakai data tersebut.
Berdasarkan metode penelitian yang digunakan, keseluruhan data yang digunakan
dalam penulisan ini adalah data sekunder, keseluruhan data diperoleh melalui artikel-
artikel dan berita-berita elektronik maupun internet, serta melalu e-journal dan
makalah.
C. Pengolahan dan Intepretasi Data
Penelitian yang dilakukan penulis dalam penulisan karya tulis ini adalah
berbentuk deskriptif kualitatif, yakni penelitiaan dengan cara memaparkan dalam
bentuk kualitatif terhadap obyek yang didasarkan pada kenyataan dan fakta-fakta
yang tampak pada obyek tersebut, sehingga untuk menganalisis data yang telah
dikumpulkan digunakan bentuk analisis deskriptif kualitatif yang menganalisis data
dengan berpijak pada fenomena-fenomena yang kemudian dikaitkan dengan teori atau
pendapat yang telah ada. Penelitian kualitatif lebih menekankan pada pemahaman
hubungan yang kompleks di antara semua yang ada, dan mencoba membangun
pemahaman yang tegas kepada pembaca melalui deskripsi.
Karena penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yaitu dengan cara data
diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa buruh yang diterbitkan oleh
beberapa media cetak elektronik.
Berkaitan dengan judul penulisan ini, yaitu Tuntutan Buruh Pabrik AICE
terhadap Eksploitasi Tenaga Kerja Oleh PT Alpen Food Industry, penulis akan
berusaha menyajikan data-data terkait kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh PT
AFI dalam mengeksploitasi waktu kerja buruh.
Dari hasil penelitian, diperoleh data bahwa Perselisihan tim manajemen Aice
dan serikat buruh sudah berlangsung lama. Perselisihan keduanya bahkan sempat
menjadi buah bibir di media sosial sejak tahun 2017 silam. Sejak 2017, SGBBI
mempersoalkan berbagai kondisi kerja yang dirasa tak ideal dengan ketentuan
Undang-undang yang berlaku. Asisten Advokat dari Perhimpunan Bantuan Hukum
dan Hak Asasi Manusia Wilayah Barat (PBHI Jakarta) Sarinah mengungkap pada
2017 buruh mogok karena berbagai masalah yang melibatkan pekerja dan perusahaan.
Sejak 2 November 2017, 644 orang buruh pabrik AICE melakukan mogok kerja.
Mogok kerja akan dilakukan selama 15 hari hingga tanggal 16 November 2017.
Berdasarkan siaran pers yang dikeluarkan oleh Serikat Buruh Demokratik
Kerakyatan (SEDAR), keputusan untuk mogok kerja ini diambil setelah dua kali
perundingan dengan pihak perusahaan mengalami jalan buntu. Dalam siaran persnya,
disampaikan beberapa fakta ketidakadilan yang dialami para buruh di perusahaan
yang beralamat di Jl. Selayar II Blok H No. 10, Telajung, Cikarang Barat.
Mereka yang telah rela membayar Rp 2 juta hingga Rp 3,5 juta untuk bisa
bekerja di PT. Alpen Food Industry ini mengalami banyak ketidakadilan, bahkan
untuk sekadar menerima hak-hak dasar pekerja. Berikut bentuk-bentuk ketidakadilan
dan eksploitasi waktu kerja yang dilakukan oleh PT AFI terhadap para buruhnya,
menurut Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) selaku federasi
yang di mana Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia PT Alpen Food Industry
(SGBBI PT AFI) menjadi anggotanya, dengan ini menjelaskan permasalahan
hubungan industrial antara pihak pekerja dengan pengusaha PT AFI (produsen es
krim AICE) sebagai berikut:
1. Penurunan Upah
Pada tahun 2014-2016, PT AFI menggunakan KBLI 1520 (makan terbuat dari
susu) yang diubah menjadi KBLI es krim pada tahun 2017, sehingga nilai upah
buruh mengalami penurunan dari upah sektor II menjadi upah minimum
kabupaten (UMK). Jika mengacu pada upah minimum tahun 2019, maka buruh
kehilangan upah sebesar Rp280 ribuan. Oleh karena itu, sejak tahun 2018, buruh
telah memperjuangkan agar perusahaan memberikan tambahan upah, namun
setiap tahun perusahaan hanya menaikkan upah sebesar Rp.5.000 saja. Pada tahun
2019, upah yang berlaku di PT AFI adalah UMK + Rp10.000.
Dalam PP No. 78/2015 tentang Pengupahan dijelaskan bahwa upah minimum
adalah upah yang didesain untuk pekerja lajang (Pasal 43) dan upah bagi pekerja
dengan masa kerja lebih dari satu tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit
(Pasal 42). Penetapan besarnya upah berpedoman pada struktur dan skala upah
dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan
kompetensi (Pasal 14). Namun, dalam perkembangan perundingan, pengusaha
memberikan nilai yang besar pada golongan yakni Rp30 ribu x jumlah golongan,
sedangkan masa kerja hanya dihargai Rp. 5.000 per tahun, pendidikan yang
dihargai hanya untuk S1 dan tidak ada perhitungan kompetensi. Sebagai
akibatnya, sebagian besar buruh PT AFI yang adalah operator produksi hanya
merasakan manfaat kenaikan yang sangat kecil.
Bagi buruh, kompetensi (kinerja/penilaian) sangat penting karena dapat
memicu produktivitas kerja. Biasanya bobot penilaian dihitung dari kehadiran
kerja tahun sebelumnya, sehingga pekerja akan terpacu untuk memperbaiki absen
agar menjadi lebih baik dan produktif. Di sisi lain, pekerja yang memiliki jabatan
merasakan kenaikan upah yang besar sehingga alih-alih memperbaiki kinerja,
pekerja lebih cenderung mengejar posisi.
Pengusaha juga menyatakan adanya tambahan upah sebesar Rp.700 ribu per
bulan, para buruh menilai ini sebagai penyesatan, karena yang dimaksud dengan
upah Rp700 ribu per bulan itu adalah uang makan (karena perusahaan tidak
menyediakan catering) sebesar Rp.15 ribu per hari dan uang transport sebesar Rp.
5.000 per hari. Ditambah dengan tunjangan kehadiran sebesar Rp.200 ribu per
bulan yang hanya dapat diambil apabila tingkat kehadiran mencapai 100 persen
tanpa sakit, izin apalagi alpa. Hal ini sangat sulit dicapai oleh buruh operator biasa
yang bekerja di bawah tekanan target, sistem rolling dan kondisi kerja yang tidak
memadai. Yang paling mungkin mendapatkan tunjangan kehadiran adalah para
atasan yang lebih bisa menjaga kesehatan dan kehadiran.
2. Mutasi, Demosi, dan Sanksi yang tidak Proporsional
Sebagai serikat pekerja independen, SGBBI telah berupaya untuk menjalankan
fungsi kontrolnya demi meningkatkan kondisi kerja buruh di pabrik es krim
AICE. Namun, sejak tahun 2018, buruh mengalami berbagai mutasi dan bahkan
demosi. Pemindahan ini dilakukan secara sepihak dan seringkali ditempatkan di
posisi yang lebih berat, yakni ke bagian produksi. Ada juga yang didemosi setelah
ikut mogok sehingga upah dan tunjangannya diturunkan. Pengusaha tidak peduli
buruh memiliki penyakit tertentu, misalnya endometriosis yang diidap oleh
saudari Er. Dia tetap dipindahkan beberapa kali hingga ke bagian produksi yang
semakin memperburuk kondisinya dan upahnya pun diturunkan.
Bukannya serikat menolak perintah kerja, tetapi mutasi seharusnya
dibicarakan terlebih dahulu, diberikan training/pelatihan yang memadai serta
diberikan surat tugas baru secara tertulis dan langsung ke pekerja. Selama ini,
pengusaha selalu melakukan sepihak tanpa mendengarkan kondisi buruh yang
bersangkutan.
Permasalahan lainnya adalah surat peringatan (SP) yang terlalu mudah
diberikan kepada pekerja tanpa pembinaan terlebih dahulu. Hal ini khususnya
dialami oleh buruh yang menjadi anggota SGBBI. Salah seorang anggota kami
yang menjadi leader dikenai SP 2 karena menolak untuk memberikan SP langsung
kepada pekerja. Dia sudah menjelaskan bahwa sanksi harusnya ada tahapan
berupa teguran lisan terlebih dahulu, tetapi atasannya tidak peduli. Karena tidak
mau terus-menerus harus menindas ke bawah, dia terpaksa melepaskan jabatannya
sebagai leader.
Pada Desember 2019, 71 buruh anggota kami dipindahkan ke bagian cone.
Kami sempat menolak karena meminta training dan surat tugas langsung per
orang, namun akhirnya kami menerima mutasi tersebut dan bekerja di bagian
produksi. Namun, perusahaan kemudian mengenakan SP 3 kepada buruh dan
melakukan PHK. Perusahaan menyediakan buruh outsourcing yang didatangkan
dari Jawa Timur untuk menggantikan buruh-buruh tersebut.
3. Pekerja Sulit Mengambil Cuti
Pada awalnya, prosedur pengambilan cuti sakit maupun izin di PT. AFI lebih
mudah karena pekerja hanya menyerahkan formulir kepada leader bagian dan
perusahaan menerima surat keterangan dokter (SKD) dari klinik lain (non faskes)
yang menggunakan biaya sendiri. Lalu, kondisi ini diubah secara sepihak oleh
perusahaan pada tahun 2018, cuti harus diurus sendiri oleh pekerja dan SKD yang
diakui hanya yang dari faskes. Perusahaan mengharuskan buruh mengurus sendiri
formulir cuti dengan prosedur sebagai berikut:
a. Mengambil formulir di Office dan menandatangani permohonan cuti.
b. Meminta tanda tangan leader atau leader grup.
c. Meminta tanda tangan supervisor.
d. Meminta tanda tangan manajer produksi atau asisten/penerjemahnya.
e. Meminta tanda tangan HRD
f. Menyerahkan kembali ke office.
Bisa dibayangkan prosedur ini sangat menyulitkan buruh operator yang harus
bekerja dan hanya punya waktu saat istirahat atau pulang kerja. Seringkali orang-
orang yang harus dimintai tanda tangan tidak berada satu lokasi dengan pekerja.
Ditambah lagi, buruh kerap dicecar pertanyaan, khususnya saat berhadapan
dengan asisten dan translator. Bagi yang dalam kondisi sakit, tentu lebih sulit.
Kondisi baru saja pulih dan masih harus direpotkan dengan prosedur mengurus
cuti sakit.
Klinik perusahaan maupun faskes sangat membatasi dikeluarkannya SKD.
Ketika pekerja sakit, klinik atau faskes memberikan Surat Keterangan Berobat
(SKB) yang berarti pekerja dianggap kuat untuk bekerja di pabrik. Pekerja boleh
beristirahat di loker atau pulang, apabila benar-benar tidak merasa kuat lagi.
Pekerja yang beristirahat di loker kerap diinspeksi oleh asisten manajer produksi
dan dicecar pertanyaan, bahkan dimarahi karena mengalami sakit.
Cuti haid nyaris tidak dapat diambil sama sekali, bahkan dianggap penyakit
karena pekerja harus mendapatkan izin dari dokter klinik perusahaan untuk
mendapatkan cuti haid. Dokter klinik biasanya tidak memberikan cuti haid, tetapi
obat penghilang rasa sakit.
Kasus buruh perempuan berinisial Er yang divonis endometriosis bisa menjadi
contoh bagaimana buruh tidak memiliki pilihan pengobatan. Er seringkali
meminta cuti haid, tetapi tidak diberikan oleh dokter klinik perusahaan, kemudian
Er harus dioperasi.
4. Buruh Perempuan Hamil Dipekerjakan pada Malam Hari
Sepanjang tahun 2019, terjadi 13 kasus keguguran dan 5 kematian bayi
sebelum dilahirkan. Kasus bertambah menjadi satu kasus keguguran dan satu
kasus kematian bayi pada awal tahun 2020. Minggu ini, terjadi satu kasus
keguguran lagi. Total kasus keguguran yang kami terdata sebanyak 21 kasus.
Permasalahan kondisi kerja buruh perempuan hamil telah kami laporkan ke
pengawasan dan Komnas Perempuan sebagai berikut:
Bahwa PT. ALPEN FOOD INDUSTRY bergerak dibidang industry food and
beverage yang memproduksi es krim dengan Merk Aice dengan alamat di Jl.
Selayar II Blok H, No.10 Telajung, Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat 17530;
Bahwa pengaduan dilatarbelakangi oleh kondisi pekerjaan buruh perempuan
hamil di PT. ALPEN FOOD INDUSTRY masih dikenakan shif (1, 2 dan 3) dan
juga target produksi serta kondisi lingkungan kerja kurang kondusif dan sehat
untuk kesehatan buruh perempuan hamil;
Bahwa PT. ALPEN FOOD INDUSTRY menyediakan klinik di dalam
perusahaan tetapi hanya melayani kesehatan pada shift 1 dan 2, sedangkan shift 3
klinik tidak ada petugasnya dan tidak ada pelayanan kesehatan, serta di PT.
ALPEN FOOD INDUSTRY tidak disediakan fasilitas mobil ambulans;
Bahwa pekerja/buruh perempuan yang bermaksud untuk meminta cuti haid
karena merasakan sakit diharuskan diperiksa di klinik terlebih dahulu oleh dokter
perusahaan dan hanya diberikan obat pereda nyeri, serta permohonan izin cuti
biasanya tidak diberikan oleh pihak pengusaha;
Bahwa jam kerja umum yang berlaku di PT. ALPEN FOOD INDUSTRY
adalah sebagai berikut:
Shift 1 : Jam 07.00 – 15.00 WIB
Shift 2 : Jam 15.00 – 23.00 WIB
Shift 3 : Jam 23.00 – 07.00 WIB
Bahwa di PT. ALPEN FOOD INDUSTRY tidak ada fasilitas jemputan untuk
karyawan yang bekerja pada shift 3, hanya diganti dengan uang transport sebesar
Rp. 5000,00 perhari;
Bahwa di PT. ALPEN FOOD INDUSTRY untuk karyawan perempuan yang
bekerja pada shift 3 mendapatkan tambahan asupan gizi berupa susu kemasan
botol cair 190 ml dan 1 pcs roti yang bernilai kurang lebih Rp. 5000,00;
Bahwa di PT. ALPEN FOOD INDUSTRY jam istirahatnya diberlakukan
system rolling yang mana mesin tetap beroperasi selama 24 jam penuh, setiap
pekerja/karyawan mendapatkan jatah jam istirahatnya dengan system rolling
yaitu : istirahat jam pertama dimulai setelah bekerja selama 2 jam dengan jatah
istirahat selama 1 jam diteruskan bekerja sampai jam pulang kerja, iistirahat jam
keduan dimulai setelah bekerja selama 3 jam dengan jatah istirahat selama 1 jam
diteruskan bekerja sampai jam pulang kerja, istirahat jam ketiga dimulai setelah
bekerja selama 4 jam dengan jatah istirahat selama 1 jam diteruskan sampai jam
pulang kerja hal tersebut berlaku untuk shift 1, 2 dan 3;
Bahwa pekerja/buruh perempuan hamil masih dikenakan target produksi
seperti biasa dan tidak mendapatkan keringanan atau pembebasan target meskipun
kehamilan telah dilaporkan kepada atasan/pihak pengusaha;
Bahwa pekerja/buruh perempuan hamil masih dikenakan pekerjaan yang
tergolong, di antaranya dengan posisi kerja berdiri dan mengangkat beban berat,
seperti:
a. Pekerjaan di bagian mesin packing dengan mengoperasikan mesin packing
selama jam kerja dilakukan dengan posisi berdiri dan setiap 40 menit sekali
mengganti gulungan plastik (plactic roll) kemasan es krim dengan
mengangkat gulungan tersebut dan memasangkan ke mesin packing yang
mana berat gulungan plastik kurang lebih 12 kg per satu gulungan.
b. Pekerjaan di manual packing dengan pekerjaan menyusun es krim ke dalam
kotak (box) dengan posisi bekerja berdiri.
c. Pekerjaan di bagian sanitasi dengan mengepel dan menyapu lantai di mana
mengepel dilakukan dengan menggunakan kain dan jongkok serta bau cairan
pel yang menyengat dan membuat mual.
d. Pekerjaan di bagian statistik (inti) dengan pekerjaan menyetempel karton
kurang lebih 2200 karton/hari, serat menurunkan stik dengan cara
mengangkat satu persatu kurang lebih 11 dus per hari stik yang beratnya
kurang lebih 13 kg per dus, lalu ditambah menurunkan kurang lebih 15 rol
plastic/hari yang beratnya kurang lebih 12 kg per roll plastic.
e. Di bagian operator packing mesin jagung dengan cara sebelum memulai
produksi mesin dipanaskan dan diminyakin sehingga menimbulkan asap yang
sangat pekat dan ruang produksi di bawah tanah. Dari awal masuk sampai
pulang pekerjaan tersebut dilakukan dengan posisi duduk setengah
membungkuk dalam rentang waktu 30 menit per box. Kemudian
memindahkan box jagung tersebut dengan cara mengangkat yang beratnya
kurang lebih 2 kg per box jagung dengan target 13 box per hari;
f. Bahwa untuk mendapatkan pindah kerja ke bagian lain yang lebih ringan
seringkali pekerja/buruh harus menunggu selama beberapa hari atau minggu
atau menunggu buruh/pekerja lain yang mengambil cuti melahirkan, kembali
pekerja;
Buruh perempuan hamil juga tidak dapat mengambil kerja non shift karena
dipersulit dengan syarat harus ada keterangan dari dokter spesialis kandungan dan
harus ada kelainan kandungan.
Sebelum mengambil cuti melahirkan, buruh dimintai membuat pernyataan
ditulis tangan dengan materai yang salah satu isinya adalah tidak akan menuntut
kepada perusahaan di kemudian hari terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
5. Bonus Dibayarkan dengan Cek Kosong
Pada pemogokan penghujung 2017, pengusaha melakukan diskriminasi
dengan memberikan bonus kepada pekerja yang tidak melakukan mogok sebesar
Rp 1.000.000,- per orang. Karena itu, pekerja yang berserikat juga menuntut
haknya atas bonus sebesar Rp. 1.000.000,-. Selama satu tahun atau sepanjang
2018, para buruh menuntut hal ini, kemudian terjadi perjanjian bersama pada 4
Januari 2019 yang isinya bonus sebesar Rp.600 juta untuk 600 orang akan
dibayarkan dengan cek yang dapat dicairkan setelah satu tahun sebesar Rp300 juta
dan sisanya dicairkan dengan cara dicicil yakni sebesar Rp25 juta per bulan. Para
buruh menerima penawaran tersebut karena berusaha memahami kondisi
perusahaan. Cek ini diberikan oleh Komite Distributor AICE oleh Saudari Liliana
Gao, yang juga menjabat sebagai Direktur PT. AFI pada 2018. Ternyata saat para
buruh berusaha mencairkan pada 5 Januari 2020, cek tersebu tidak terdaftar
resinya dan kami berusaha mengonfirmasi kepada pihak perusahaan, dan ternyata
perusahaan pembayar sudah tutup.
6. Buruh Kontrak
Ada 22 buruh anggota SGBBI yang dipekerjakan sebagai pekerja kontrak
yang dinilai bertentangan dengan Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Kepmenakertrans Nomor 100 Tahun 2004 karena buruh
dipekerjakan di bagian produksi bersifat tetap bersama dengan karyawan tetap.
Buruh-buruh banyak berasal dari Jawa Timur yang dulunya direkrut oleh penyalur
dengan dikenai biaya administrasi sebesar Rp4-5 juta dan dijanjikan setelah
bekerja selama enam bulan akan diangkat menjadi karyawan tetap di PT AFI.
Kasus ini sekarang sedang dalam proses mediasi dan pengusaha tidak pernah
menghadiri dua kali panggilan mediasi.
Sanksi dan PHK bagi anggota yang mogok pada Desember 2019
Pemogokan para buruh pada bulan Desember, oleh pihak pengusaha, dianggap
tidak sah dan mangkir, padahal belum ada putusan pengadilan yang menyatakan
demikian. Buruh yang mengikuti dikenai SP1 dan diakumulasikan dengan
kesalahan sebelumnya, sehingga ada 10 orang anggota yang diskorsing menuju
PHK.
Perusahaan berdalih tidak risalah deadlock, padahal perundingan telah
dilakukan sebanyak 5 kali tanpa kesepakatan dalam kurun waktu lebih dari 30
hari. Pihak pengusaha tidak memahami frasa “mengalami jalan buntu” sebagai
suatu kondisi dihasilkan ketidaksepakatan-ketidaksepakatan dalam perundingan.
Definisi perundingan gagal dalam Kepmenakertrans Nomor 232/2004 dan UU
Nomor 2 Tahun 2002 telah kami jelaskan secara gamblang dalam pendapat-
pendapat hukum yang kami berikan kepada pihak pengusaha.
Lebih dari itu, pemogokan yang kami lakukan hanyalah tiga hari kerja saja
dan pemogokan apapun tidak dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam
Pasal 144 UU Ketenagakerjaan yang menerangkan pemogokan yang memenuhi
ketentuan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan tidak boleh dikenai tindakan balasan
dari pengusaha. Seluruh prosedur dalam Pasal 140 telah kami penuhi dengan
memberikan pemberitahuan kepada Disnaker dan Pengusaha tujuh dari kerja
sebelum pemogokan dan format surat pemberitahuan tersebut telah sesuai dengan
Pasal 140.
7. Nasib Buruh Outsoucing
Untuk menggantikan pekerja yang dikenai PHK, pengusaha PT. AFI
mendatangkan buruh outsourcing dari Jawa Timur yang ditempatkan di
penampungan yang dihuni sekitar 40 pekerja. Kondisi rumah terdiri dari dua
kamar dan satu kamar mandi. Pekerja hidup berhimpit-himpitan dan kondisi
makanan yang tidak layak.
Penggunaan buruh outsourcing (alih daya) ini juga bertentangan dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan jo. Permenaker
No. 19 Tahun 2012 yang mengatur penggunaan pekerja alih daya hanya
diperbolehkan di bagian penunjang. Kenyataannya, buruh outsourcing
dipekerjakan di bagian produksi utama.
8. Omnibus Law Tidak Berpihak pada Buruh
Menurut Sarinah, Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan
(F-SEDAR) yang menaungi SGBBI PT AFI menilai, RUU Cipta Kerja sama
sekali tidak memikirkan nasib para pekerja sehingga lebih pantas disebut “cipta
profit”.
Sarinah mengatakan, kondisi yang terjadi terhadap ratusan buruh es krim Aice
saat ini adalah cerminan kenyataan yang akan terus terjadi kalau RUU Omnibus
Law Cipta Kerja itu disahkan.
Sebagai contoh melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah akan
menghapus aturan perjanjian kerja antarwaktu pada Pasal 59 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 59 yang membatasi
kontrak itu kan akan dihapus. Pada pasal omnibus law, aku sudah baca itu dikenal
PKWT dan PKWTT. Tapi kalau Pasal 59 dihapus kontrak, artinya perusahaan
boleh menggunakan kontrak tanpa batas waktu tiga tahun
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejak berdirinya PT Alpen Food Industry di Indonesia tahun 2014 silam, para
buruh yang bekerja di perusahaan tersebut mengatakan telah diperlakukan tidak
adil. Waktu kerja dan tenaga mereka di eksploitasi dengan upah yang tidak sesuai.
Puncaknya di tahun 2017, para buruh yang tidak menerima ketidakadilan yang
dilakukan oleh PT AFI melakukan mogok kerja dan menuntut PT AFI agar
memberikan hak-hak para buruh yang sudah tidak terpenuhi lagi. Hak-hak
tersebut berupa upah yang sesuai, kemudahan mengajukan cuti, keringanan kerja
untuk buruh hamil, pemberian bonus sesuai perjanjian, dan pembaharuan kontrak
kerja. Selain dari pihak perusahaan sendiri, para buruh yang mengharapkan
adanya tindak lanjut dari pemerintah justru merasa dirugikan dengan disahkannya
Omnibus Law yang dianggap memihak para pengusahaa dan melemahkan para
buruh, dimana para buruh menganggap peraturan-peraturan dalam Omnibus Law
hanya akan melegalkan segala kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh PT AFI
terhadap para buruh yang selama ini dianggap melanggar undang-undang
ketenagakerjaan.
B. Saran
Berdasarkan pemaparan masalah di atas, ada beberapa langkah-langkan yang
ditawarkan penulis
1. Melakukan perundingan, lebih baik jika para buruh melakukan perundingan
terlebih dahulu kepada pengusaha PT AFI agar dengan cara ini dapat
ditempuh jalan damai untuk mengembalikan hak-hak buruh. Jika cara ini tidak
dapat berjalan efektif maka dapat ditempuh langkah kedua
2. Melakukan mogok kerja, solusi ini mungkin sudah dilakukan oleh beberapa
buruh terutama para buruh yang bergabung dalam SGBBI. Diharapkan para
buruh dapat saling merangkul untuk melakukan mogok kerja. Solusi ini
menurut penulis dianggap cukup efektif, karena pemogokkan yang dilakukan
buruh akan dapat mengganggu proses produksi. Selagi melaksanakan solusi
ini, para buruh dapat melakukan langkah selanjutnya,
3. Membawa kasus ini ke ranah hukum, kasus ketidakadilan yang dilakukan oleh
PT AFI terhadap para buruhnya telah memiliki cukup bukti dan saksi untuk
dijatuhi hukuman. Sehingga cara ini menjadi cara yang sangat efektif untuk
mengemalikan hak-hak buruh PT AFI agar sesuai dengan undang-undang
ketenagakerjaan yang berlaku.
Penulis memberikan ketiga solusi di atas untuk dilaksanakan secara bersamaan.
Penulis juga berharap agar terjalinnya solidaritas yang kuat di antara para buruh
PT AFI sehingga para buruh dapat cukup kuat untuk menuntut kembali hak-hak
mereka yang tidak terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA

Bernik, Merita dan Yasya Ghaniya Firmansyah. 2017. Analisis Diferensiasi Produk pada PT
Alpen Food Industry. Jurnal. Bandung. FEB Unpad.

CNN Indonesia. 2020. Kronologi Serikat Buruh 'Geruduk' Manajemen Es Krim Aice. E-
artikel. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200229162547-92-479349/kronologi-
serikat-buruh-geruduk-manajemen-es-krim-aice. ( 8 Maret 2020)

Fauziah, Puji. 2020. 600 Buruh AICE Mogok Kerja, Derita Buruh di Balik Manisnya Es
Krim hingga Ibu Hamil Tetap Dipekerjakan Malam Hari. E-artikel. https://bekasi.pikiran-
rakyat.com/nasional/pr-12344941/600-buruh-aice-mogok-kerja-derita-buruh-di-balik-
manisnya-es-krim-hingga-ibu-hamil-tetap-dipekerjakan-malam-hari. ( 7 Maret 2020)

Gunadha, Reza. 2020. Buruh Es Krim Aice: Omnibus Law Bukan Cipta Kerja Tapi Cipta
Profit!. E-artikel. https://www.suara.com/news/2020/03/05/221857/buruh-es-krim-aice-
omnibus-law-bukan-cipta-kerja-tapi-cipta-profit. ( 8 Maret 2020)

KumparanNews. 2017. Derita Buruh di Balik Harga Murah Es Krim Aice. E-artikel.
https://kumparan.com/kumparannews/derita-buruh-di-balik-harga-murah-es-krim-aice. ( 7
Maret 2020)

Rahayu, Arfyana Citra. 2020. Buruh Es Krim Aice Mengadu ke Kemnake, Ini Tuntutannya. E-
artikel.
https://today.line.me/id/pc/article/Buruh+Es+Krim+Aice+Mengadu+ke+Kemnaker+Ini+Tunt
utannya-w15G5r. ( 7 Maret 2020)

Rizal, Fahmi. 2017. Analisis dan Interpretasi Data Kualitatif. Makalah

Sedar. 2020. Ringkasan Kasus Aice. E-artikel. https://fsedar.org/kasus/rangkuman-kasus-


aice/. (6 Maret 2020)

Anda mungkin juga menyukai