Anda di halaman 1dari 5

Resensi Buku

A. Identitas Buku

 Judul Buku: Ghirah Cemburu karena Allah

 Penulis Buku: Prof. Dr. Hamka (Buya Hamka)

 Penerbit Buku: Gema Insani

 Cetakan: I

 Tebal Buku: 154 Halaman

 ISBN: 978-602-250-269-2

 Tahun Terbit: 2015

Pernahkah kita mendengar tuduhan bahwa umat Islam adalah umat yang
fanatik, sensitif, atau reaktif? Ya, stigma negatif tersebut sering disematkan kepada
umat Islam. Umat Islam dibilang tidak toleran, kurang piknik, dan tidak menghargai
perbedaan. Bahkan, terkadang stigma negatif tersebut datang dari dalam tubuh umat
Islam sendiri.

Sebenarnya, apa yang salah dengan “fanatisme beragama”? Lewat bukunya


(yang sebenarnya merupakan kumpulan artikel), Buya Hamka mencoba menjelaskan
tentang ghirah, perasaan cemburu dalam beragama. Pada hakikatnya, respon umat
Islam akan kritik/kemungkaran hanyalah bentuk dari ghirah-nya terhadap agamanya
sendiri. Hal tersebut wajar, bahkan dalam salah satu paparan di buku ini ditunjukkan
bahwa ghirah tidak hanya milik umat Islam. Bahkan, Gandhi yang bukan orang Islam
pun memiliki ghirah.

Buku ini terdiri dari beberapa tulisan singkat. Yang menarik adalah, Buya
Hamka menjelaskan ghirah di tulisan pertamanya dengan mengambil contoh sikap
laki-laki di berbagai suku terhadap adik perempuannya. Bagi saya, ini menarik karena
penjelasan tentang ghirah tidak langsung ke intinya, tetapi diceritakan dulu
bagaimana sebenarnya ghirah sudah ada di kehidupan sehari-hari. Barulah setelah itu
dipaparkan berbagai jenis ghirah, ghirah karena perempuan, ghirah karena agama,
ghirah pada non-muslim, tantangan ghazwul fikr terhadap ghirah Islam, dan lain-lain.

Buku ini dibagi menjadi delapan bagian. Bab pertama membahas tentang apa
itu ghirah. Tulisan Buya Hamka sangat mengalir. Tidak langsung memberikan
pengertian apa itu ghirah, namun dilukiskan sepanjang bab lewat cerita nyata yang
penulis alami sendiri. Bab ghirah yang menemukan konteksnya dengan semangat
menjaga diri, harta, dan keluarga di berbagai daerah di Indonesia diuraikan di bab ini.

Bab kedua menguraikan tentang cemburu karena Allah. Baru pada bab ini
pengertian tentang ghirah dikupas secara sudut pandang agama. Kaidah Islam dari
Alquran, hadis, dan perkataan para sahabat tentang kecemburuan diterangkan di bab
ini. Bab ketiga menjelaskan tentang cemburu dan pribadi. Bagaimana kekuatan
ghirah yang terpatri dalam diri seseorang bisa sangat kuat pengaruhnya. Cerita
semangat pendiri Kerajaan Arab Saudi, Ibnu Saud, yang melindungi pencari suaka
karena semangat melindungi bangsa Arab sangat tinggi dipaparkan di bab ini.

Bab keempat menguraikan khusus kisah ghirah pada Mahatma Gandhi. Kisah-
kisah bagaimana Gandhi rela melakukan apa saja jika berkaitan dengan keyakinannya
sebagai penganut Hindu membuktikan semangat kecemburuan juga dimiliki umat
lain. Bab kelima mengupas ghazwul fikr, sebuah gerakan melemahkan umat Islam
dengan perang pemikiran. Analisis penulis tentang apa yang terjadi di dunia Islam
internasional dari masa ke masa rasanya sukar dilewatkan begitu saja. Bab keenam
untuk kita pikirkan bersama. Di sini penulis mengajak para pembaca merenung
tentang kondisi umat Islam di Indonesia. Meski saat menulis dan kini banyak
perubahan, substansi masalah umat Islam tampaknya tak banyak berubah. Refleksi
yang jernih dari penulis kiranya bisa jadi bahan renungan.
Bab ketujuh membahas tentang siri, semangat ghirah yang ada pada
masyarakat Bugis. Bagaimana umat Islam bisa mengambil pelajaran dari semangat
kedaerahan tersebut guna diaplikasikan dalam kehidupan beragama ada di bab ini.
Terakhir, penulis menjabarkan tentang pandangan Islam tentang semangat siri yang
ada pada masyarakat Bugis. Buku ini sangat pas kita miliki karena ternyata
permasalahan umat Islam di era Buya Hamka dan masa kini memiliki benang merah.
Kita tak memiliki ghirah yang besar dan itu masalah kita bersama.

Ghirah adalah kecemburuan dalam beragama. Cemburu itu bukan sekadar marah atau
kesal atau jengkel, melainkan perasaan tidak rela karena haknya direnggut dan berhasrat
besar untuk merebut haknya kembali. Kalau tak ingin merebut kembali, 'bukan cemburu
namanya'. Itulah sebabnya orang bilang; "cemburu adalah tanda cinta, dan tidak ada cinta
tanpa rasa cemburu". Ghirah tak hanya dimiliki umat Islam. Semangat untuk menjaga
agama umat Islam sering diidentikkan dengan fanatik buta oleh Barat. Ghirah juga
dimiliki oleh kelompok kedaerahan bahkan agama lain.

Ghirah penting dimiliki untuk menjaga kehormatan dan semangat membela


apa yang diyakininya. Mahatma Gandhi juga memiliki ghirah. Ia yang
berpengetahuan luas dan berperikemanusiaan tinggi rela melakukan apa saja guna
mencegah saudara-saudaranya keluar dari agama Hindu. Kecemburuan ini hadir
dalam fitrah setiap insan.

Nah, yang disebut 'ghirah' itulah perasaan memiliki/mencintai agama secara


mendalam yang kemudian terwujud dalam pembelaan yang kuat ketika agamanya
dihina oleh siapa pun. Termasuk di dalamnya ketika 'Islam' dilecehkan dengan
beragam cara. Dan barangkali bisa kita pahami juga ketika Islam direduksi menjadi
sejumlah simbol yang digunakan untuk kepentingan politik dan bisnis 'sesaat' yang
arahnya tidak 'selaras' dengan ruh, spirit, dan semangat Islam.

Ghirah bukan hanya milik orang islam yang sering dicap fanatik oleh bangsa
Barat karena kebertahanannya dalam menjaga muruah pada diri, keluarga maupun
agamanya. Namun, ghirah juga milik setiap jiwa manusia. Ghirah atau cemburu
karena Allah ada dua macam, yakni terhadap perempuan dan agama, jika adik
perempuanmu diganggu orang lain, lalu orang itu kamu pukul, pertanda padamu
masih ada ghirah. Jika agamamu, nabimu, dan kitabmu dihina, kamu berdiam diri
saja, jelaslah ghirah telah hilang dari dirimu. Jika ghirah tidak dimiliki lagi oleh
bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijajah oleh asing dalam segala sisi.
Jika ghirah telah hilang dari hati, gantinya hanya satu yaitu kain kafan. Sebab,
kehilangan ghirah sama dengan mati! Buku ini juga membahas mengenai Ghirah
pada Mahatma Gandhi, Ghazwul Fikri, dan Siri.

Ghirah bukan hanya milik orang Islam yang sering dicap fanatik oleh bangsa
Barat karena kebertahanannya dalam menjaga muruah pada diri, keluarga, maupun
agamanya. Namun, menjaga muruah atau syaraf (Arab) juga milik setiap jiwa
manusia, tidak peduli agamanya apa. Bahkan, setiap daerah atau Negara, sebetulnya,
mempunyai istilah masing-masing dalam menyebutkan ghirah ini. Ghirah juga
dimiliki seorang cinta damai seperti Mahatma Gandhi yang terkenal berpahaman luas
dan berperikemanusiaan tinggi- yang sampai bersedia melakukan apa saja untuk
mencegah adiknya Yawaharlal Nehru, Viyaya Lakshmi Pandit, dan anaknya, motial
Gandhi, keluar dari agama Hindu.

Buku yang membahas tentang kecemburuan ini ditulis oleh ulama besar
Tanah Air, Prof Dr Hamka. Saat dicetak pertama kali tahun 1982, buku ini berjudul
Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam. Kini buku kumpulan dari beberapa tulisan
dan ceramah Buya Hamka ini diterbitkan ulang tanpa mengubah isinya. Buya Hamka
menjelaskan bahwa ghirah itu ada dua macam, yakni terhadap perempuan dan agama.
Jika adik perempuanmu diganggu orang lain, lalu orang tersebut kamu pukul, itulah
salah satu pertanda bahwa dalam dirimu masih ada ghirah. Jika agamamu, nabimu,
dan kitabmu dihina, kamu masih berdiam diri saja, jelaslah ghirah telah hilang dari
dirimu. Jika ghirah atau siri dalam bahasa orang Bugis, Makassar, Mandar, dan
Toraja- tidak dimiliki lagi oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah
dijajah oleh asing dalam segala sisi. Jika ghirah telah hilang dari hati, gantinya hanya
satu, yaitu kain kafan! Sebab kehilangan ghirah sama dengan mati.
Menurut saya buku ini sederhana tapi sangat powerful. “Fanatisme” dalam
batas tertentu adalah hal yang wajar. Sebagai seorang Muslim, sudah sepatutnya kita
mencintai agama kita. Jika kita sudah tidak tersinggung lagi ketika agama kita
menjadi bahan olok-olok, mungkin itu tanda bahwa rasa cinta kita sudah hilang. Jika
rasa cinta sudah hilang, maka sudah tidak ada artinya agama bagi kehidupan kita,
naudzubillah min dzalik.

Penulis secara pintar membangkitkan semangat para pembaca untuk tidak


kehilangan muruah atau harga dirinya bila apa yang menjadi kecintaan dihina. Entah
itu agama, keluarga, bahkan harga dirinya sendiri. Buya Hamka secara gamblang
memberikan contoh-contoh yang bersifat fakta dalam menyampaikan pesannya
bahwa ghirah setiap manusia semakin hari semakin hilang. Buku ini sangat menohok
sekali, dan sangat bagus untuk dibaca. Namun latar belakang Buya sebagai orang
minang, tertuang di buku ini. Sehingga ada beberapa diksi yang asing untuk didengar
orang Indonesia yang tinggal di daerah lain. Susunan kalimat dan partikel yang
kurang pas membuat pembaca kadang-kadang harus membaca ulang satu kalimat
lengkap. Tapi tidak mengurangi rasa ingin membaca pada buku ini.

Anda mungkin juga menyukai