Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebelum diskusi unsur utama desain kurikulum yang berorientasi pada pendidikan
seumur hidup, patut dinyatakan Seperti apakah belajar seumur hidup itu? Dalam
pembahasan ini, jawabannya akan dinyatakan dengan menggunakan istilah kejiwaan.
Kerangka yang akan dipergunakan model tiga pihak yang sudah seringkali di singgung
sebelumnya. Pelajar seumur hidup dapat dilihat secara kejiwaan dalam segi intelektual
kognitif dan motivasi atau sosial afektif.

Dalam domain intelektual dan kognitif, bahan berfungsi untuk menganalisis konsep
pendidikan seumur hidup dan outline jalannya pertumbuhan kejiwaan. Outline lain itu
menunjukkan bahwa pelajar seumur hidup menganggap pengetahuan sebagai tenunan
alam komulatif secara terus-menerus. Dan pengetahuan sekarang berfungsi sebagai basis
untuk perkembangan kognitif berikutnya. Pelajar akan menghubungkan informasi baru ke
dalam rangka umum yang sudah ada dan terus menerus menginterupsikan. Pelajar akan
dilengkapi dengan teknik-teknik mendapatkan pengetahuan dan secara keseluruhan akan
menyadari adanya banyak sumber pengetahuan di luar kelas. Terlebih penting mereka
akan ditampilkan dalam mempergunakan pengetahuan. Mereka diharapkan memahami
bahwa pengetahuan dan informasi adalah Network yang berkembang, di dalamnya
terdapat bagian yang terus-menerus bersambung. Ini berarti, meskipun mereka
mengembangkan keahlian khusus relatif dalam bidang terbatas, namun kedudukan
spesialisasi hanya nomor 2 dalam konsep dasar yang luas.

Faktor utama membatasi belajar diluar sekolah terletak dalam domain motivasi.
Celakanya kemampuan untuk melihat perubahan dan ketidakpastian sebagai tantangan
yang menggerakkan tingkah laku adaptasi dan mendapatkan pengetahuan, tidak pada
seluruh orang berkembang dengan baik. Dalam pembicaraan motivasi, belajar seumur
hidup adalah seorang yang telah mengembangkan kemampuan untuk dapat di motivasi
secara positif oleh kebutuhan agar belajar lebih banyak. Motivasi positif itu, dapat dilihat
tidak hanya pada tingkatan urutan usia dalam diri individu tertentu, disebut integrasi
vertikal. Juga, dapat dilihat manifestasi motivasi positif terhadap belajar dalam banyak

1
lingkungan kehidupan disebut integrasi horizontal. Pelajar seumur hidup akan terus-
menerus mencari perubahan, sesuatu yang baru dan pertumbuhan personal.

Dalam domain sosial afektif, pelajar seumur hidup diharapkan untuk melihat diri
mereka sendiri sebagai pelajar seumur hidup secara vertical, dan juga dalam hubungannya
dengan bermacam ciri kehidupan secara horizontal;. Belajar berkelanjutan akan
memperbaiki image diri, dan akan Melahirkan pengalaman pengalaman emosional
positif. Dalam hubungannya dengan teman-temannya, mereka akan tertarik untuk
memainkan persamaan sosial baru, bersedia untuk meninggalkan status sosial yang sudah
mapan, untuk mengembangkan keanggotaan kelompok baru dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan kami angkat
dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Dapatkah sekolah mengembangkan pelajar seumur hidup?
2. Bagaimana implikasi pendidikan seumur hidup terhadap kurikulum?
3. Bagaiamana kurikulum sekolah dalam setting pendidikan seumur hidup?
4. Apa peranan guru dalam pendidikan seumur hidup?
5. Bagaimana implikasi pendidikan seumur hidup terhadap kelas?

C. Tujuan

Sesuai dengan rumusan masalah di atas dapat disimpulkan tujuannya yaitu :


1. Mengetahui dapatkah sekolah mengembangkan pelajar seumur hidup
2. Mengetahui bagaimana implikasi pendidikan seumur hidup terhadap kurikulum
3. Mengetahui bagaiamana kurikulum sekolah dalam setting pendidikan seumur
hidup
4. Mengetahui apa peranan guru dalam pendidikan seumur hidup
5. Mengetahui bagaimana implikasi pendidikan seumur hidup terhadap kelas

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dapatkah Sekolah Mengembangkan Pelajar Seumur Hidup

1. Lingkungan dan perkembangan kejiwaan

Pada tahun 1973, Hunt menunjukkan pendapatnya terdahulu mengenai apa yang
disebut dengan pemikiran kejiwaan “modern” yang menopang pendapat bahwa jalannya
perkembangan relatif sudah ditetapkan. Meskipun para penulis seperti Galton pada tahun
1869 mengakui efek pengalaman pada pertumbuhan kejiwaan, namun terdapat
kepercayaan yang sangat kuat bahwa potensi orang untuk bervariasi sebagai akibat
pengalaman sangat sedikit sekali. Dengan kata lain, lingkungan dipercaya dapat
menyebabkan sedikit membelokkan jalannya perkembangan yang sudah ditetapkan oleh
heredity. Pandangan ini termasuk apa yang dikatakan hal sebagai kepercayaan
“predetermined development” (1973, hal. 9)

Sebelum Perang Dunia ke-2 bukti-bukti mulai dikumpulkan untuk menunjukkan


bahwa perkembangan jauh berbeda dari yang sudah ditentukan. Bukti ini seringkali
diasosiasikan dengan perubahan drastis pada performance intelektual anak-anak yang
mengalami perubahan sangat besar kondisi lingkungan mereka tinggal (Skeels dan Dye
1939). Dalam tahun-tahun terakhir, telah dikembangkan sejumlah besar bukti yang
menunjukkan bahwa belajar terjadi dalam hari hari pertama kehidupan (Lippett,1967).
Ketidakadaan pergaulan sosial pada hari hari pertama kehidupan menyebabkan tidak
simpati dan kerusakan sosial pada anak-anak kecil (Dennis, 1960). Ketidakadaan
pengalaman visual di tahun-tahun pertama kehidupan karena akan berakibat kekurangan
maupun visual secara permanen (Von Senden, 1960), dan sebagainya. Penerimaan
terhadap pendapat bahwa perkembangan kejiwaan dapat dimodifikasi oleh pengalaman,
termasuk apa yang dikatakan oleh Hunt (1973 hal. 8) “developmental plasticity.”

Bukti adanya plastisitas perkembangan sekarang ini sangat kuat sekali. Lebih jauh
dari itu, tampaknya plastisitas meliputi rintangan fungsi kejiwaan yang luas. Umpamanya
Green Berg, Uzgaris dan Hunt pada tahun 1968 menunjukkan bahwa kemampuan untuk
mengkoordinasi fungsi penglihatan dan pegangan, pada waktu bayi menjangkau dan
memegang objek yang dilihat dengan perhatian matanya, di modifikasi oleh pengalaman

3
aktivitas memegang dan melihat sebelumnya. Penggunaan fungsi sensor motorik seperti
itu, ditunjang besar sekali oleh apa yang disebut Hunt “practice”. Hunt dan kawan-
kawannya juga menunjukkan perkembangan kejiwaan cara luas secara jelas, bahkan amat
mendasar, yaitu tentang kemampuan kognitif terhadap objek eksternal yang ada, bahkan
ketika objek itu tidak dapat dilihat. Kemampuan kognitif berhubungan erat sekali dengan
kehidupan lingkungan yang memberikan kesempatan untuk menguasai keterampilan
kognitif. Dengan demikian, keterampilan kognitif seseorang tidak akan berkembang
dengan baik, jika tidak ada kesempatan untuk mengembangkannya. Aspek lain kejiwaan
yang dipengaruhi oleh pengalaman termasuk kemampuan untuk membentuk kasih sayang
sosial (Schaeffer, 1964), kemampuan untuk menyerap kedalam dan mengenal bentuk
(Hudson, 1960; Walk and Gibson, 1961), motivasi untuk mencari kesenangan dan
menghindari penderitaan, untuk menerima persetujuan dari penguasa atau untuk
mempengaruhi tingkah laku orang lain (Kagan, 1964), ada tidaknya “ketegangan
kognitif” dalam membuat keputusan menghadapi konflik dan sebagainya (Harbin, 1164),
implusif (Hess dan Shipman, 1945), corak kognitif (Freeberg dan Fayne, 1967), dan
sebagainya.

Pertanyaan pertama, berapa lama plastisitas berlangsung merupakan salah satu


pertanyaan penting untuk teori pendidikan seumur hidup. Kedua dan issu kunci yang
berhubungan erat sekali adalah tentang tingkat kelangsungan plastisitas pada usia tertentu
dibandingkan dengan jumlah maksimum aktivitas yang pernah ada. Koestler pada tahun
1964 telah mengemukakan bahwa, seluruh proses perkembangan dari saat konsepsi, dan
seluruh pengalaman dan adaptasi berikut yang merupakan hilangnya plastisitas.
Kendatipun demikian, Hunt pada tahun 1973 menyimpulkan bahwa plastisitas
berlangsung seumur hidup, tetap ada bahkan sampai tua renta.

2. Plastisitas periode kritis dan interaksi

Plastisitas adalah konsep utama dalam pendidikan. Jika perkembangan telah


ditentukan sebelumnya itu benar, tampaknya cuma sedikit sekali diskusi mengenai
bagaimana pendidikan diorganisir. Untuk tujuan persekolahan sekarang, yang diperlukan
adalah pengertian adanya plastisitas dan efek meningkatnya usia terhadap plastisitas.
Konsep penting dalam kontek ini adalah tentang “periode kritis.” Meskipun seluruh area
periode kritis menjadi sasaran perdebatan kejiwaan, dan walaupun beberapa konsepsi
periode kritis itu ada, namun prinsip intinya dapat dinyatakan secara sederhana.

4
Ringkasnya, kepercayaan adanya periode kritis menyatakan bahwa terdapat tingkat
usia dimana jenis pengalaman tertentu akan berefek maksimum terhadap anak-anak yang
sedang berkembang. Suatu bahan perdebatan, apakah pengalaman di luar batas usia kritis
sehingga berkurang efeknya, atau apakah efek akan minimal atau mendekati 0 Jika
pengalaman penting terjadi diluar batas umur optimal. Kepercayaan akan adanya
sejumlah besar periode kritis dalam persiapan lahan konvensional, barangkali menjadi
salah satu artikel kebijakan implisit dalam organisasi pendidikan sekarang.

Terdapat alasan kuat untuk mempercayai bahwa paling tidak, fenomena adanya
sesuatu seperti kritis dapat dilihat dalam perkembangan kejiwaan manusia. Dan begitu
juga sejumlah besar penelitian terhadap tikus, anjing dan kera menunjukkan adanya
alasan kuat untuk mempercayai bahwa bermacam-macam aktivitas dalam kehidupan
manusia seperti mengenali bentuk dan potongan mengarah kedalaman kemampuan untuk
membentuk hubungan afektif hangat dengan orang lain, dan menyenangi corak komunitas
tertentu, seluruhnya berhubungan dengan waktu. Meskipun tidak secara universal
diterima adanya periode kritis dalam bidang tersebut, namun jelas bahwa ketidakadaan
pengalaman yang tepat pada tahun-tahun sebelumnya akan membawa kerusakan
permanen dan tidak dapat ditolak dalam tingkah laku. Umpamanya, seseorang buta
bawaan kemudian pandangannya disembuhkan dari kebutaan, menunjukkan kemunduran
pengamatan visual yang tidak dapat dielakan. Serupa dengan itu, anak yang dipelihara di
panti asuhan, atau anak-anak yang dipisahkan dari figur seorang ibu selama periode
penting tertentu dalam tahun-tahun pertama kehidupan menunjukkan kerusakan permanen
untuk menciptakan hubungan sosial (Ainsworth, 1966).

3. Mode pengaruh guru

Guru juga mempengaruhi perkembangan secara langsung melalui pola penghargaan


dan hukuman dalam merespon jenis tingkah laku murid yang berbeda-beda. Dan itu
bukan hanya sekedar bahan “memprangkoi” respon khusus dengan memberikan ganjaran
sesuatu yang terjadi pada murid dan/atau menghukum yang tidak terjadi. Umpamanya,
guru dapat mengganjar tingkah laku berani dan inovatif pada murid atau menghukumnya.
Mereka dapat merekam pola ganjaran dan hukuman yang dapat mengembangkan
kebiasaan mencari alternative, pemecahan baru, atau mereka dapat membatasi dan
membantu mengabaikan otoritas mapan seperti teks book. Jadi, guru dalam kenyataan

5
dapat menetapkan iklim yang dapat membantu sikap dan tingkah laku tertentu serta
menekan yang lainnya.

Faktor penting pengaruh guru terhadap anak-anak berkenaan dengan guru sebagai
model. Banduran dan teman-temannya umpamanya (Banduran dan Walter, 1963)
menunjukkan bahwa, pola tingkah laku belajar anak-anak diperoleh melalui imitasi
terhadap model yang berwibawa. Konsekuensinya, perlu bagi guru mengakui pentingnya
tingkah laku mereka sebagai sumber informasi untuk murid. Murid memerlukan
informasi tentang seperti apa sebenarnya mereka itu. Artinya, fungsi model guru ini ke
seluruh fungsi lainnya. Umpamanya, guru yang meminta reproduksi secara tepat teks
tertentu, dia tidak hanya menghukum jenis tingkah laku tertentu dan mengajar yang
lainnya, juga tidak hanya menetapkan afektif dan motivasi tertentu tetapi ia bertindak
sebagai model jenis tertentu, tingkah laku pemecahan masalah/belajar. Bagaimanapun
juga, guru tidak boleh terlalu memperhatikan fungsi mereka sebagai model, sehingga
kaku dan dibuat-buat dalam bertingkah laku.

4. Pentingnya faktor bukan kognitif dan bukan sekolah

Meskipun ada bukti plastisitas, diskusi cara guru mempengaruhi tingkah laku murid,
dan sebagainya, namun penelitian sekarang memunculkan keragu-raguan serius apakah
sekolah memiliki banyak pengaruh terhadap murid atau tidak sama sekali. Pertama,
penemuan seperti Yang dilaporkan oleh Jenks pada tahun 1972 di Amerika Serikat, dan
studi IEA dan laporan Plowden di Eropa menyatakan, perbedaan prestasi murid di
sekolah pada pokoknya akibat perbedaan variabel bukan kognitif, seperti motivasi untuk
belajar, kepercayaan bahwa belajar adalah aktivitas yang berharga, konsepsi sekolah
sebagai institusi yang dapat menolong percaya atau tidak percaya kepada guru, dan
kepercayaan bahwa seseorang dapat memodifikasi nasibnya dengan bersekolah.

Jadi, meskipun diberikan fasilitas fisik yang layak dan pengajaran yang memadai,
anak-anak akan belajar sangat kuat jika mereka memiliki motivasi tinggi untuk belajar,
sikap yang menyenangkan terhadap sekolah, penerimaan yang sangat jelas tentang diri
mereka sendiri sebagai pelajar, penerimaan yang sangat kuat terhadap sekolah sebagai
alat untuk mencapai tujuannya, dan sebagainya. Akibatnya, jika sekolah ingin lebih
efektif dan juga lebih mampu memenuhi komponen masyarakat yang secara tradisional
tidak memperoleh keuntungan banyak darinya, maka yang harus lebih ditekankan adalah

6
peranan sekolah untuk membantu timbulnya motivasi yang cocok untuk belajar, image
diri, konsepsi sekolah dan aspek kognitif lainnya yang serupa.

Kedua, aspek penting penemuan sekarang, bahwa faktor-faktor non kognitif sudah
dikembangkan dengan pesat pada waktu anak-anak untuk sekolah. Lebih jauh dari itu
dalam sistem pendidikan sekarang aspek bukan kognitif tidak banyak dimodifikasi oleh
pengalaman di sekolah.

B. Implikasi Pendidikan Seumur Hidup Terhadap Kurikulum


Prinsip utama pendidikan seumur hidup bahwa proses pendidikan terjadi didalam dan
diluar sekolah. Konsekuensinya, dimungkinkan adanya kurikulum, dalam pengertian
pendidikan seumur hidup, tidak hanya kurikulum sekolah, tetapi juga kurikulum di luar
sekolah karena hidup itu sendiri, diakui sebagai elemen pendidikan seumur hidup,
sehingga seseorang dapat mengatakan “kurikulum” untuk hidup, “kurikulum” untuk
kerja, dan sebagainya. Bagian ini dikaitkan dengan implikasi pendidikan seumur hidup
untuk bermacam aspek kurikulum di luar sekolah.

1. Kurikulum untuk anak-anak awal yang sangat muda

Jika pendidikan seumur hidup dikoordinasikan dengan pertumbuhan kejiwaan pada


seluruh tingkat usia, maka ia akan sangat memperhatikan anak-anak awal yang sangat
muda. Pendidikan seumur hidup mengakui bahwa, beberapa tahun pertama kehidupan
adalah merupakan tahap perkembangan kejiwaan tersendiri, dan bukan semata-mata
periode Penantian menjelang masa anak-anak dan adolescen. Selama periode anak-anak
awal, persekolahan “sebenarnya” sudah terjadi. Seperti yang telah dikemukakan,
pendidikan seumur hidup mengakui bahwa tahun-tahun pertama kehidupan merupakan
basis untuk membangun perkembangan kejiwaan berikutnya.

2. Kurikulum untuk orang-orang di luar usia Konvesional

Usaha formal untuk mengikutkan orang dewasa dalam belajar lanjut sering kali
mengalami kegagalan, khususnya bagi orang dewasa yang hanya sedikit mengalami
pendidikan formal dahulunya. Alasannya seringkali dinyatakan, bahwa kesempatan
formal yang tersedia tidak diorganisir untuk membantu belajar seumur hidup orang
dewasa. Ikhtisar untuk beberapa program ini, dan beberapa petunjuk pengembangan

7
kurikulum pendidikan seumur hidup untuk orang dewasa ditemukan dalam paper Olford
ada tahun 1972. Ia menyarankan kurikulum itu harus :

a. Menyediakan kesempatan bagi pelajar untuk memprakarsai inquiry


b. Menyediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan kreativitas dan menerima
tanggung jawab pribadi untuk itu
c. Menyediakan kesempatan untuk memperkirakan pekerjaan pelajar menurut kemajuan
individual mereka sendiri
d. Menyediakan kesempatan untuk spesialisasi istimewa
e. Menyediakan kesempatan pengembangan dan pengenalan perbedaan bakat yang
sangat besar

Outline di atas telah diperluas oleh Schaie pada tahun 1974, yang menunjukkan
kebutuhan akan kurikulum orang dewasa yang mengindahkan “karat” yang mereka alami,
atau seperti yang ia tempatkan, bertujuan untuk “memutar keusangan teknologi dan
kebudayaan dengan bertambahnya usia” (halaman 80). Suatu tindakan yg disarankan
untuk mencapai tujuan itu, yaitu menyediakan kesempatan bagi orang tua dan muda
untuk mengintegrasikan pengalaman belajar mereka dengan belajar bersama.

3. Kurikulum untuk kerja

Pada suatu waktu, tempat bekerja adalah suatu tempat belajar penting dan nyata.
Suchodolski pada tahun 1972 menunjukkan, pertumbuhan teknologi dan ilmu
pengetahuan membuat pendidikan melalui profesional mustahil tidak efisien dan efektif.
Di hari-hari sekarang periode persiapan formal dan panjang diperlukan untuk masuk ke
dalam pekerjaan tingkat tinggi, sedangkan kesempatan kerja untuk orang yang tidak
terampil semakin sedikit. Namun demikian, banyak faktor memerlukan persiapan formal
yang panjang.Perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi menyumbangkan keusangan
bahkan dengan kecepatan yang pesat sekali. Apa yang diperlukan untuk menghadapi
keadaan itu?“kurikulum” untuk dunia kerja yang membantu inisiatif personal (Dubin,
1974) untuk kelangsungan perkembangan dan pertumbuhan yang terus-menerus.
Margulied dan Raia pada tahun 1967, umpamanya, menunjukkan bahwa inisiatif untuk
pertumbuhan dibantu oleh tingkah laku supervisory yang secara terbuka mendorong
pengembangan dan peningkatan profesional, dan dengan ganjaran nyata untuk
memperbarui diri sendiri. Dubin (1974, hal.19) menekankan pentingnya faktor-faktor

8
tambahan dalam kurikulum yang berorientasi ke arah pendidikan seumur hidup, sebagai
berikut :

a. Pengadaan alat-alat untuk mengukur diri


b. Kesempatan untuk mengukur diri
c. Pengukuhan iklim organisasi yang membantu kreativitas
d. Kontak dengan proyek kerja yang menentang yang mempromosikan on-the-job
solution terhadap beberapa problem
e. Interaksi kelompok sebaya yang mempromosikan pertukaran perubahan ide dan
informasi

4. Kurikulum untuk hidup itu sendiri

Muncul sekarang ini pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan pada esensinya
sesuatu yang terjadi di sekolah. Suchodolsky pada tahun 1972, telah menemukan
munculnya pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan memerlukan lingkungan
khusus yang amat berbeda dari kehidupan sehari-hari dan berpusat di sekolah.Sekolah-
sekolah ini “bagus sukar dan diperlukan banyak tahun oleh murid yang berbeda di
dalamnya(hal.142). Bahkan tujuan untuk mendemokratisasikan sekolah bertumpu pada
ide tersebut, dan hanya semata-mata terkonsentrasi pada pengadaan kesempatan yang
sama untuk memasukinya. Akibatnya tidak muncul ide bahwa orang-orang dapat belajar
melalui kehidupan itu sendiri. Pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi
menyebabkan tidak mungkin dunia kerja dan masyarakat yang kompleks melaksanakan
pendidikan melalui partisipasi langsung dalam kehidupan masyarakat, dan
sebagainya.Akibat lebih jauh, orang-orang sekarang hidup dalam bahaya di dunia yang
terpisah (De’Ath, 1976; Suchodolski, 1976) dengan menanggung resikoserius “sakit
jiwa” (Suchodolski, 1976, hal.173)

9
C. Kurikulum Sekolah dalam Setting Pendidikan Seumur Hidup

D. Peranan Guru dalam Pendidikan Seumur Hidup

E. Implikasi Pendidikan Seumur Hidup Terhadap Kelas

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi, sekolah dapat mengembangkan pelajar seumur hidup. Secara jelas berdasarkan
kepercayaan bahwa, terdapat hubungan antara jalur perkembangan kejiwaan dengan jenis
persekolahan yang dialami seseorang. Terdapat lingkungan dan perkembangan kejiwaan,
plastisitas, periode kritis dan interaksi, mode pengaruh guru, serta pentingnya faktor
bukan kognitif dan bukan sekolah. Prinsip utama pendidikan seumur hidup bahwa proses
pendidikan terjadi didalam dan diluar sekolah. Konsekuensinya, dimungkinkan adanya
kurikulum, dalam pengertian pendidikan seumur hidup, tidak hanya kurikulum sekolah,
tetapi juga kurikulum di luar sekolah karena hidup itu sendiri, diakui sebagai elemen
pendidikan seumur hidup, sehingga seseorang dapat mengatakan “kurikulum” untuk
hidup, “kurikulum” untuk kerja, dan sebagainya.

B. Saran
Dari beberapa uraian di atas jelas banyak kesalahan serta kekeliruan, baik disengaja
maupun tidak. Oleh karena itu, kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki
segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.

11
DAFTAR PUSTAKA

12

Anda mungkin juga menyukai