Anda di halaman 1dari 23

TEORI PIAGET, VYGOTSKY, DAN BRUNER

A. Teori Piaget
1. Dasar Teori
Teori kognitif dari Jean Piaget ini masih tetap diperbincangkan dan diacu dalam bidang
pendidikan. Teori ini mulai banyak dibicarakan lagi kira-kira permulaan tahun 1960-an.
Pengertian kognisi sebenarnya meliputi aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk
mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya hasil
kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil interaksi
diantara keduanya.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu:
1) Kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf;
2) Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya;
3) Interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan
lingkungan social, dan
4) Ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri organisme agar dia
selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Sistem yang mengatur dari dalam mempunyai dua faktor, yaitu skema dan adaptasi.
Skema berhubungan dengan pola tingkah laku yang teratur yang diperhatikan oleh organisma
yang merupakan akumulasi dari tingkah laku yang sederhana hingga yang kompleks. Sedangkan
adaptasi adalah fungsi penyesuaian terhadap lingkungan yang terdiri atas proses asimilasi dan
akomodasi.
Piaget mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak yang dibagi ke dalam
empat periode, yaitu :
1) Periode sensori-motor ( 0 – 2,0 tahun )
2) Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun )
3) Periode operasional konkret ( 7,0 – 11,0 tahun )
4) Periode opersional formal ( 11,0 – dewasa )
Piaget memperoleh gelar Ph.D dalam biologi pada umur 21, ia kemudian tertarik pada
psikologi dan mempelajari anak-anak abnormal di salah satu rumah sakit di Paris. Pada periode
hidupnya, Piaget semakin tertarik pada logika anak dan metode berpikir yang berbeda-beda yang
digunakan anak dalam menjawab peertanyaan pada usia yang berbeda pula. Selanutnya Piaget
bekerja melakukan penelitian selama kurang lebih 40 tahun. Studinya dipusatkan pada persepsi
anak dalam pemahamannya mengenai alam/benda, jumlah, waktu, perpindahan, ruang, dan
geometri. Ia menganalisis operasi-operasi mental yang digunakan oleh anak, cara berpikir
simbolis dan logika mereka.
Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan
kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan
pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.

2. Implikasi Terhadap Pendidikan


Teori Piaget membahas kognitif atau intelektual. Perkembangan intelektual erat
hubungannya dengan belajar, sehingga perkembangan intelektual ini dapat dijadikan landasan
untuk memahami belajar.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar
dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan
teman-temanya.

B. Teori Vygotsky
1. Dasar Teori
Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi
sosial yang hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia,
mengenal poin penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad yang lalu. Teori
Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20.
Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an.
Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah,
tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah pengagum Piaget. Walaupun
setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan
gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa
anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.
Vygotsky mengemukakan ada empat prinsip dasar kun ci dalam pembelajaran,
yaitu:
1) Penekanan pada hakekat sosio-kultural pada pembelajaran (the sosiocultural of
learning),
2) Zona perkembangan terdekat (zone of proximal development),
3) Pemagangan kognitif (cognitive appreticeship)
4) Perancahan (scaffolding).

Keempat prinsip tersebut secara singkat dijelaskan berikut ini.


Prinsip pertama
Menurut Vygotsky siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan
teman sebaya yang lebih mampu. Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial
dengan orang lain dalam proses pembelajaran.
Prinsip kedua
Menurut Vygotsky dalam proses perkembangan kemampuan kognitif setiap
anak memiliki apa yang disebut zona perkembangan proksimal (zone of proximal
development) yang didefinisikan sebagai jarak atau selisih antara tingkat
perkembangan anak yang aktual dengan tingkat perkembangan po tensial yang lebih
tinggi yang bisa dicapai si anak jika ia mendapat bimbingan atau bantuan dari
seseorang yang lebih dewasa atau lebih berkompeten.
Prinsip ketiga
Menurut Vygotsky adalah pemagangan kognitif, yaitu suatu proses dimana
seorang siswa belajar setahap demi setahap akan memperoleh keahlian dalam
interaksinya dengan seorang ahli. Seorang ahli bisa orang dewasa atau orang yang
lebih tua atau teman sebaya yang telah menguasai permasalahannya.
Prinsip keempat
Menurut Vygotsky adalah perancahan atau scaffolding, merupakan satu ide
kunci yang ditemukan dari gagasan pembelajaran sosial Vygotsky. Perancahan
berarti pemberian sejumlah besar bantuan kepada seorang anak selama tahap -tahap
awal pembelajaran dan kemudian secara perlahan bantuan tersebut dikurangi dengan
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab setelah
ia mampu mengerjakan sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka implikasi utama
dari teori Vygotsky terhadap pembelajaran adalah kemampuan untuk mewujudkan
tatanan pembelajaran kooperatif dengan dibentuk kelompok-kelompok belajar yang
mempunyai tingkat kemampuan berbeda dan penekanan perancahan dalam
pembelajaran supaya siswa mempunyai tanggungjawab terhadap belajar. (dari
berbagai sumber)

2. Implikasi Terhadap Pendidikan


Pengaruh karya Vygotsky terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et al. (1998).
a. Anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap
kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam zona
perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui ZPD.
b. Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga
berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan pembelajaran lewat
penemuan individu (individual discovery learning), kerja kelompok secara kooperatif
( cooperative groupwork) tampaknya mempercepat perkembangan anak.
c. Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran pribadi oleh teman
sebaya ( peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam
pelajaran. Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan pengajaran oleh teman sebaya ini dengan
menggunakan teori Vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati
ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah melihat
kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.

C. Teori Bruner
1. Dasar Teori
Jerome Bruner dilahirkan dalam tahun 1915. Jerome Bruner, seorang ahli psikologi yang
terkenal telah banyak menyumbang dalam penulisan teori pembelajaran, proses pengajaran dan
falsafah pendidikan. Bruner setuju dengan Piaget bahawa perkembangan kognitif anak-anak
adalah melalui peringkat-peringkat tertentu. Walau bagaimanapun, Bruner lebih menegaskan
pembelajaran secara penemuan yaitu mengolah apa yang diketahui pelajar itu kepada satu corak
dalam keadaan baru (lebih kepada prinsip konstruktivisme).
Beliau bertugas sebagai profesor psikologi di Universiti Harvard di Amerika Syarikat dan
dilantik sebagai pengarah di Pusat Pengajaran Kognitif dari tahun 1961 sehingga 1972, dan
memainkan peranan penting dalam struktur Projek Madison di Amerika Syarikat. Setelah itu,
beliau menjadi seorang profesor Psikologi di Universiti Oxford di England.
Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar
kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya yang demikian banyak
itu meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar dan berfikir. Dalam mempelajarai manusia, ia
menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menganggap,
bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi
pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Pandangan terhadap belajar
yang disebutnya sebagai konseptualisme instrumental itu, didasarkan pada dua prinsip, yaitu
pengetahuan orang tentang alam didasarkan pada model-model mengenai kenyataan yang
dibangunnya, dan model-model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi orang itu.
Pematangan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan oleh
bertambahnya ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Pertumbuhan itu tergantung pada
bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu ”sistem simpanan”
yang sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan itu menyangkut peningkatan kemampuan
seseorang untuk mengemukakan pada dirinya sendiri atau pada orang lain tentang apa yang telah
atau akan dilakukannya.
Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan.
Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama, dan mempunyai efek
transfer yang lebih baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berfikir
secara bebas dan melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan
memecahkan masalah.
Teori instruksi menurut Bruner hendaknya mencakup:
1) Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa untuk mau dan dapat belajar, ditinjau dari segi
aktivasi, pemeliharaan dan pengarahan.
2) Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal, ditinjau dari segi cara penyajian,
ekonomi dan kuasa.
3) Perincian urutan-urutan penyajian materi pelajran secara optimal, dengan memperhatikan
faktor-faktor belajar sebelumnya, tingkat perkembangan anak, sifat materi pelajaran dan
perbedaan individu.
4) Bentuk dan pemberian reinforsemen.
Beliau berpendapat bahawa seseorang anak belajar dengan cara menemui struktur
konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan mengasingkan benda-
benda mengikut ciri-ciri persamaan dan perbezaan. Selain itu, pengajaran didasarkan kepada
perangsang anak terhadap konsep itu dengan pengetahuan yang ada. Misalnya,anak-anak
membentuk konsep segiempat dengan mengenal segiempat mempunyai 4 sisi dan memasukkan
semua bentuk bersisi empat kedalam kategori segiempat,dan memasukkan bentuk-bentuk bersisi
tiga kedalam kategori segitiga.
Dalam teori belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan
baik dan kreatif jika anak dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu.
Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah:
1) Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru,
2) Tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta
ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain,
3) Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar
atau tidak.
Kajian Bruner menekankan perkembangan kognitif anak-anak. Ia menekankan cara-cara
manusia berinteraksi dalam alam sekitar dan menggambarkan pengalaman secara mendalam.
Menurut Bruner, perkembangan kognitif juga melalui peringkat-peringkat tertentu. Peringkat-
peringkat tersebut adalah seperti berikut:
a. Peringkat enaktif ( 0 – 2 tahun )
b. Peringkat ikonik ( 2 – 4 tahun )
c. Peringkat simbolik ( 5 – 7 tahun )
Bruner amat menekankan pembelajaran konsep atau kategori. Beliau mengutamakan
pembelajaran secara induktif dengan menggunakan konsep atau kategori. Beliau juga
mementingkan sistem pengekodan dalam uraiannya tentang pemikiran. Dengan adanya sistem
pengekodan, kita dapat membuat inferens ( kesimpulan ) daripada rangsangan
yang diterima.

2. Implikasi Teori Bruner ke atas pengajaran dan pembelajaran.


Anak belajar melalui pengalaman. Dengan itu guru perlu menyediakan peluang untuk
anak menroka, memegang, mencium dan merasa. Pengalaman seperti ini mewujudkan proses
pembelajaran yang bermakna. Bagi anak-anak di Tahap Satu, gambar, cartu kata dan objek perlu
digunakan bagi memudahkan pembentukan konsep. Bagi anak-anak Tahun Enam ke atas,
hukum dan prinsip perlu ditekankan agar murid-murid berupaya mengaplikasikannya dalam
proses penyelesaian masalah. Bruner juga menekankan pembelajaran yang terhasil daripada
interaksi anak dengan guru, interaksi dengan anak-anak lain dan interaksi dengan bahan
pengajaran. Maka kerja berkumpulan dan sesi perbincangan perlu diadakan dari masa ke
semasa. Penglibatan anak-anak penting agar mereka dapat menikmati pembelajaran
bermakna. Pengetahuan juga perlu disusun dan diperingkatkan agar pembentukan konsep
bermula daripada peringkat yang mudah kepada peringkat yang rumit. Ini bermakna guru perlu
memeringkatkan isi pelajaran.
Bruner juga menekankan motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Ini bermakna guru
perlu memberi ganjaran dan pujian apabila sesuatu tingkahlaku yang diingini dilakukan.
Kesediaan belajar juga ditekankan oleh Bruner. Dengan itu, guru perlu mengambil kira
kesediaan belajar anak-anak ketika merancang proses pengajarannya. Sementara itu, nilai-nilai
murni seperti bekerjasama, bertolak ansur dan tolong-menolong akan dapat dipupuk dalam
aktiviti pengumpulan maklumat projek dan perbincangan.

Ciri khas Teori Pembelajaran Menurut Bruner


a. Empat Tema tentang Pendidikan
Tema pertama mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Hal ini perlu karena
dengan struktur pengetahuan kita menolong anak untuk untuk melihat, bagaimana fakta-fakta
yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain.
Tema kedua adalah tentang kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas
penguasaan ketrampilan-ketrampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan seseorang
untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
Tema ketiga adalah menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi,
teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-
langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupaka kesimpulan yang
sahih atau tidak.
Tema keempat adalah tentang motivasi atau keingianan untuk belajar dan cara-cara yang
tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu.

b. Model dan Kategori


Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah
bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan penganut
teori perilakau Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara
aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Asumsi kedua adalah bahwa orang mengkontruksi pengetahuannya dengan
menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh
sebelumnya, suatu model alam (model of the world). Model Bruner ini mendekati sekali struktur
kognitif Aussebel. Setiap model seseorang khas bagi dirinya. Dengan menghadapi berbagai
aspek dari lingkungan kita, kita akan membentuk suatu struktur atau model yang mengizinkan
kita untuk mengelompokkan hal-hal tertentu atau membangun suatu hubungan antara hal-hal
yang diketahui.
c. Belajar sebagai Proses Kognitif
Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir
bersamaan. Ketiga proses itu adalah (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi
dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan (Bruner, 1973).
Informasi baru dapat merupaka penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki
seseorang atau informasi itu dapat dersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan
informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang
mempelakukan pengetahuan agar cocok dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara
kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah
bentuk lain.
Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tiga sistem keterampilan untuk
menyatakan kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang
disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh Bruner (1966). Ketiga cara itu ialah:
cara enaktif, cara ikonik dan cara simbolik.
Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara ini
seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata.
Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon
motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda.
Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh
sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan
sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga menyatakan konsep kesegitigaan.
Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan
oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan daripada objek-
objek, memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan kemungkinan-
kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial.
Sebagai contoh dari ketiga cara penyajian ini, tentang pelajaran penggunaan timbangan.
Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan ”prinsip-prinsip” timbangan dan menunjukkan hal
itu dengan menaiki papan jungkat-jungkit. Ia tahu bahwa untuk dapat lebih jauh kebawah ia
harus duduk lebih menjauhi pusat. Anak yang lebih tua dapat menyajikan timbangan pada
dirinya sendiri dengan suatu model atau gambaran. ”Bayangan” timbangan itu dapat diperinci
seperti yang terdapat dalam buku pelajaran. Akhirnya suatu timbangan dapat dijelaskan dengan
menggunakan bahasa tanpa pertolongan gambar atau dapat juga dijelaskan secara matematik
dengan menggunakan Hukum Newton tentang momen.
Ciri khas Teori Bruner dan perbedaannya dengan teori yang lain
Teori Bruner mempunyai ciri khas daripada teori belajar yang lain yaitu tentang
”discovery” yaitu belajar dengan menemukan konsep sendiri. Disamping itu, karena teori Bruner
ini banyak menuntut pengulangan-penulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut
”kurikulum spiral kurikulum”. Secara singkat, kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi
materi pelajaran setahap demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi
yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi di dalam suatu
materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu
ilmu pengetahuan secara utuh.
Bruner berpendapat bahwa seseorang murid belajar dengan cara menemui struktur
konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan melihat benda-benda
berdasarkan ciri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu, pembelajaran didasarkan kepada
merangsang siswa menemukan konsep yang baru dengan menghubungkan kepada konsep yang
lama melalui pembelajaran penemuan.

d. Belajar Penemuan
Salah satu model kognitif yang sangat berpengaruh adalah model dari Jerome Bruner
(1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap
bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan
dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar anak
hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar
mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang
mengizinkan mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan.
Diantaranya adalah:
1. Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat.
2. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
3. Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran anak dan kemampuan untuk
berfikir secara bebas.
Asumsi umum tentang teori belajar kognitif:
a. Bahwa pembelajaran baru berasal dari proses pembelajaran sebelumnya.
b. Belajar melibatkan adanya proses informasi (active learning).
c. Pemaknaan berdasarkan hubungan.
d. Proses kegiatan belajar mengajar menitikberatkan pada hubungan dan strategi.
Model kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori
perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif
bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir,
menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari
ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan
pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut
Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk
pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep
sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan.
Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, yaitu:
1. enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek,
anak melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan.
2. iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar
3. symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak, siswa mempunyai gagasan-
gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan
pertolongan sistem simbol. Semakin dewasa sistem simbol ini samakin dominan.
Sejalan dengan pernyataan di atas, maka untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu
sampai anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata
dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif
seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan
menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral
dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan
tinggi disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang terbaik
menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif
kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan (discovery learning).
Berdasarkan pendapat ketiga ahli di atas (Burner, Ausubel, dan gagne), ternyata teori
kognitif melibatkan hal-hal mental atau pemikiran seseorang individu. Teori ini ada kaitan
dengan ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang. Sesuatu pengetahuan yang diperolehi
melalui pengalaman atau pendidikan formal akan disimpan dan disusun melalui proses
pengumpulan pengetahuan supaya dapat digunakan kemudian.
D. Perbedaan Antara Ketiga Di Atas
Piaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual,
sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam
memudahkan perkembangan si anak.
Konsep Sosiokultural
Banyak developmentalis yang bekerja di bidang kebudayaan dan pembangunan
menemukan dirinya sepaham dengan Vygotsky, yang berfokus pada konteks pembangunan
sosial budaya. Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu
yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan
bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran
melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem
matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu
berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang
tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan
kognitif berbeda dengan gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian.
Piaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual,
sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam
memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental
yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian.
Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir
dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat
kebudayaan” tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan
pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama pengalaman
pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin
mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap
anak dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level
konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan
menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalui institusi
seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan melek huruf. Interaksi institusional memberi
kepada anak suatu norma-norma perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya.
Level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental
anak. Menurut Vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental
berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-
keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi
langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial
yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak
menjadi matang.
Perkembangan Bahasa
Para pakar perilaku memandang bahasa sama seperti perilaku lainnya, misalnya duduk,
berjalan, atau berlari. Mereka berpendapat bahwa bahasa hanya merupakan urutan respons
(Skinner,1957) atau sebuah imitasi (Bandura, 1977). Tetapi banyak diantara kalimat yang kita
hasilkan adalah baru, kita tidak mendengarnya atau membicarakannya sebelumnya.
Kita tidak mempelajari bahasa di dalam suatu ”ruang hampa sosial” (social vacuum).
Kebanyakan anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Kita memerlukan
pengenalan kepada bahasa yang lebih dini untuk memperoleh keterampilan bahasa yang baik
(Adamson,1992; Schegloff,1989). Dewasa ini, kebanyakan peneliti penguasaan bahasa yakin
bahwa anak-anak dari berbagai konteks sosial yang luas menguasai bahasa ibu mereka tanpa
diajarkan secara khusus dan dalam beberapa kasus tanpa penguatan yang jelas ( Rice,1993).
Dengan demikian aspek yang penting dalam mempelajari suatu bahasa tampaknya tidaklah
banyak. Walaupun begitu, proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak
dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Suatu peran lingkungan yang
membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak kecil disebut motherese,
yakni cara ibu dan orang dewasa sering berbicara pada bayi dengan frekuensi dan hubungan
yang lebih luas dari pada normal, dan dengan kalimat-kalimat yang sederhana.
Bahasa dipahami dalam suatu urutan tertentu. Pada setiap tahap di dalam tahap
perkembangan, interaksi linguistik anak dengan orang tua dan orang lain pada dasarnya
mengikuti suatu prinsip tertentu ( Conti-Ramsden & Snow, 1991; Maratsos, 1991).
Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja sangat dipengaruhi oleh kondisi
biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar anak sejak usia dini jauh lebih penting
dibandingkan dengan apa yang diperkirakan di masa lalu ( Von Tetzchner & Siegel, 1989).
Vygotsky lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif daripada
Piaget. Bagi Piaget, bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap perkembangan yang
cukup maju. Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap perkembangan kognitif saat itu.
Namun, bagi Vygotsky, bahasa berkembang dari interaksi sosial dengan orang lain. Awalnya,
satu-satunya fungsi bahasa adalah komunikasi. Bahasa dan pemikiran berkembang sendiri, tetapi
selanjutnya anak mendalami bahasa dan belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu
memecahkan masalah. Dalam tahap praoperasional, ketika anak belajar menggunakan bahasa
untuk menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang sembari menyelesaikan masalah.
Sebaliknya, begitu menginjak tahap operasional konkret, percakapan batiniah tidak terdengar
lagi.
Zona Perkembangan Proksimal
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui
pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika
berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran
operasional formal tanpa bantuan orang lain.
Pada satu sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan
kemajuan anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa anak-anak mampu melakukan sesuatu
sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaimana anak-anak berkembang dengan
melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses
pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial development pada
anak. Aktual development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa
bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah
seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa
atau kerjasama dengan teman sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual
development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan
sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan
arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat
memudahkan perkembangan anak. Ketika anak mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri,
perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan
perkembangan, anak seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat
memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui
perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, anak mendiskusikan pengertian
barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan mendalami kemudian menggunakannya.
Sebuah konsekuensi pada proses ini adalah bahwa anak belajar untuk pengaturan sendiri (self-
regulasi).
Konsep Scaffolding
Scaffolding merupakan suatu istilah yang ditemukan oleh seorang ahli psikologi
perkembangan-kognitif masa kini, Jerome Bruner, yakni suatu proses yang digunakan orang
dewasa untuk menuntun anak-anak melalui zona perkembangan proksimalnya.
Pengaruh karya Vygotsky dan Bruner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et
al. (1998).
a. Walaupun Vygotsky dan Bruner telah mengusulkan peranan yang lebih penting bagi orang
dewasa dalam pembelajaran anak-anak daripad peran yang diusulkan Piaget, keduanya tidak
mendukung pengajaran didaktis diganti sepenuhnya. Sebaliknya mereka malah menyatakan,
walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi
setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam zona
perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui ZPD.
b. Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga
berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan pembelajaran lewat
penemuan individu (individual discovery learning), kerja kelompok secara kooperatif (
cooperative groupwork) tampaknya mempercepat perkembangan anak.
c. Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran pribadi oleh teman
sebaya ( peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam
pelajaran. Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan pengajaran oleh teman sebaya ini dengan
menggunakan teori Vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati
ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah melihat
kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.
Komputer juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai cara.
Dari perspektif pengikut Vygotsky-Bruner, perintah-perintah di layar komputer merupakan
scaffolding ( Crook, 1994). Ketika anak menggunakan perangkat lunak (software) pendidikan,
komputer memberikan bantuan atau petunjuk secara detail seperti yang diisyaratkan sesuai
dengan kedudukan anak yang sedang dalam ZPD. Tak pelak lagi, beberapa anak di kelas lebih
terampil dalam menggunakan komputer sehingga bisa berperan sebagai tutor bagi teman
sebayanya. Dengan murid-murid yang bekerja dengan komputer, guru bisa dengan bebas
mencurahkan perhatinnya kepada individu-individu yang memerlukan bantuan dan menyiapkan
scaffolding yang sesuai bagi masing-masing anak.

E. Teori Konstruktivisme
1. Dasar Teori
Teori ini menekankan pembinaan pengetahuan oleh anak. Anak dapat membina
pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan sedia ada mereka. Pelajar akan mengaitkan
pembelajaran baru dengan pembelajaran lama yang sedia ada.
Prinsip-prinsip asas Teori Konstruktivisme ialah seperti berikut:
a. Pengetahuan dibina oleh pelajar.
b. Setiap pelajar memiliki idea dan pengetahuan asas.
c. Proses pembinaan pengetahuan melibatkan aspek sosial.
Komunikasi antara guru dengan murid mungkin menimbulkan perselisihan faham. Guru
dianggap sebagai fasilitator dalam proses pembinaan pengetahuan pelajar.
B. Implikasi Teori Konstruktivisme
Kanak-kanak ialah pembina teori. Ilmu pengetahuan tidak disampaikan kepadanya.
Sebaliknya, dia bertanggungjawab membina pengetahuan. Oleh itu, guru perlu menyediakan
suasana pengajaran dan pembelajaran yang sesuai untuk pembinaan pengetahuan kanak-kanak.
Guru juga perlu menerima hakikat bahawa kanak-kanak datang ke kelas dengan
berbekalkan pelbagai pengetahuan yang sedia ada dan nilai-nilai tertentu. Mereka akan membina
pengetahuan berdasarkan idea-idea dan nilai-nilai yang sedia ada itu. Sebenarnya, guru bukan
merupakan penyebar pengetahuan, sebaliknya beliau lebih merupakan seorang pemudah cara
atau fasilitator. Beliau akan menyedikan pelbagai jenis bahan pembelajaran dan menggalakkan
uji kaji, percubaan serta penyelesaian masalah agar pembinaan pengetahuan oleh kanak-kanak
dapat berlaku.
Guru perlu menggalakkan interaksi di kalangan murid. Interaksi ini akan dapat
memudahkan mereka bertukar-tukar idea dan pembinaan pengetahuan mereka. Guru juga perlu
berupaya menyesuaikan diri dengan keadaan bilik darjah yang menggalakkan pergerakan murid
dan tahap kebisingan yang dibenarkan. Bilik darjah juga perlu disediakan dengan pelbagai jenis
bahan dan media pembelajaran yang boleh menggalakkan dan merangsangkan pembelajaran
kanak-kanak. Bahan-bahan pembelajaran yang mencukupi dan mencabar akan memudahkan
murid-murid membina pengetahuan.
Kurikulum yang disediakan tidak seharusnya terlalu ketat. Rancangan pengajaran dan
pembelajaran perlu fleksibel kerana pada kebiasannya, proses pembelajaran kanak-kanak adalah
spontan dan sukar diramal. Kurikulum itu juga perlu memenuhi keperluan, minat dan kebolehan
kanak-kanak.
Teori Psikologi Piaget
Piaget dalam teorinya memandang anak sebagai individu (pembelajar) yang aktif.
Perhatian utama Piaget tertuju kepada bagaimana anak-anak dapat mengambil peran dalam
lingkungannya dan bagaimana lingkungan sekitar berpengaruh pada perkembangan mentalnya.
Menurut Piaget (dalam Helena, 2004), anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu
berusaha mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya di lingkungan itu. Melalui kegiatan yang
dimaksudkan untuk memecahkan masalah itulah pembelajaran terjadi. Piaget tidak memberikan
penekanan terhadap pentingnya bahasa dalam perkembangan kognoitif anak. Bagi Piaget bukan
perkembangan bahasa pertama yang paling fundamental dalam perkembangan kognitif
melainkan aktivitas atau action.
Menurut psikologi Piaget, dua macam perkembangan dapat terjadi sebagai hasil dari
beraktivitas, yaitu asimilasi dan akomodasi. Suatu perkembangan disebut asimilasi jika aktivitas
terjadi tanpa menghasilkan perubahan pada anak, sedangkan akomodasi terjadi jika anak
menyesuaikan diri terhadap hal-hal yang ada di lingkungannya. Misalnya menurut contoh
Cameron (2001), ketika anak sudah bisa menggunakan sendok dan kemudian diberi garpu dan
dia menggunakan garpu (alat makan baru) sebagaimana ia menggunakan sendok yang berfungsi
sebagai alat makan yang dikenal sebelumnya, berarti ia telah melakukan asimilasi. Akan tetapi,
ketika ia sadar bahwa dengan garpu ia memiliki kesempatan untuk makan dengan cara
menusukkan garpu ke makanan dan bukan cuma menyendoknya. Dengan demikian, anak itu
telah melakukan akomodasi.
Pada mulanya asimilasi dan akomodasi merupakan proses adaptasi perilaku yang
kemudian menjadi proses berpikir. Akomodasi merupakan konsep penting yang kemudian
dipertimbangkan dalam dunia pembelajaran bahasa yang dikenal dengan sebutan restructuring.
Istilah ini mengacu kepada reorganisasi representasi mental dalam sebuah bahasa (McLaughlin,
1992). Maksudnya, anak telah memiliki pola-pola bahasa dalam pikirannya, tetapi ketika
dihadapkan kepada fakta bahasa (pola) baru dan fakta baru tersebut memiliki potensi untuk
berkomunikasi dengan cara berbeda, maka anak melakukan penyesuaian dengan pola-pola baru.
Menurut pandangan Piaget, pikiran anak berkembang perlahan-lahan seiring dengan
pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan intelektualnya hingga sampai ke tahap berpikir logis
dan formal. Akan tetapi, pertumbuhan ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar tertentu
yang menyebabkan anak mampu melampaui serangkaian tahapan yang dimaksud. Pada setiap
tahap, anak mampu berpikir memikirkan hal-hal tertentu, tetapi tidak atau belum mampu
memikirkan hal-hal yang lain. Jadi, menurut Piaget, berpikir melibatkan hal-hal yang abstrak dan
menggunakan jalur logika belum mampu dilakukan anak sebelum ia berusia 11 tahun atau lebih.
Pendapat ini banyak dikritik karena ketika diakhir tahun 70-an dan di awal tahun 80-an
diterapkan kebijakan bahwa anak-anak harus terlebih dahulu melakukan srangkaian kegiatan
yang menyiapkan mereka untuk menulis kalimat yang memakan waktu lama, anak akan
kehilangan kesempatan untuk mengalami proses yang holistik atau menyeluruh. Proses holistik
tersebut ialah proses yang menyadarkan anak bahwa tujuan menulis adalah komunikasi dan
bukan berlatih menulis bentuk huruf semata. Aspek komunikasi inilah yang merupakan aspek
sosial dari kegiatan menulis, dan aspek ini yang terabaikan oleh Piaget. Piaget lebih
memperhatikan anak dalam dunianya sendiri, dan bukan anak yang berkomunikasi dengan orang
dewasa atau dengan anak lain.
Ada pendapat Piaget yang penting, yaitu anak sebagai pembelajar dan pemikir yang aktif,
yang membangun pengetahuannya dengan ‘bergulat’ dengan benda-benda atau gagasan-gagasan.
Jika kita mengambil gagasan Piaget bahwa anak beradaptasi dengan lingkungannya, kita dapat
melihat bagaimana lingkungan dapat menjadi setting untuk perkembangan. Lingkungan
menawarkan berbagai kesempatan kepada anak untuk bertindak. Oleh karenanya, lingkungan
kelas, misalnya, dapat menjadi ajang kegiatan dan kreativitas yang menyebabkan pembelajaran
terjadi. Berdasarkan pendapat ini, pembelajaran bahasapun dapat terjadi jika lingkungan kelas
maupun sekitarnya dimanfaatkan sedemikian rupa agar menawarkan berbagai kesempatan bagi
keterlibatan dan kreativitas anak.
Teori Psikologi Vygotsky
Pakar psikologi lain, Vygotsky (1962, 1978), memberikan pandangan berbeda dengan
Piaget terutama pandangannya tentang pentingnya faktor sosial dalam perkembangan anak.
Vygotsky memandang pentingnya bahasa dan orang lain dalam dunia anak-anak. Meskipun
Vygotsky dikenal sebagai tokoh yang memfokuskan kepada perkembangan sosial yang disebut
sebagai sosiokultural, dia tidak mengabaikan individu atau perkembangan kognitif individu.
perkembangan bahasa pertama anak tahun kedua di dalam hidupnya dipercaya sebagai
pendorong terjadinya pergeseran dalam perkembangan kognitifnya. Bahasa memberi anak
sebuah alat baru sehingga memberi kesempatan baru kepada anak untuk melakukan berbagai hal,
untuk menata informasi dengan menggunakan simbol-simbol. Anak-anak sering terlihat
berbicara sendiri dan mengatur dirinya sendiri ketika ia berbuat sesuatu atau bermain. Ini disebut
sebagai private speech. Ketika anak menjadi semakin besar, bicaranya semakin lirih, dan mulai
membedakan mana kegiatan bicara yang ditujukan ke orang lain dan mana yang ke dirinya
sendiri.
Yang mendasari teori Vygtsky adalah pengamatan bahwa perkembangan dan
pembelajaran terjadi di dalam konteks sosial, yakni di dunia yang penuh dengan orang yang
berinteraksi dengan anak sejak anak itu lahir. Ini berbeda dengan Piaget yang memandang anak
sebagai pembelajar yang aktif di dunia yang penuh orang. Orang-orang inilah yang sangat
berperan dalam membantu anak belajar dengan menunjukkan benda-benda, dengan berbicara
sambil bermain, dengan membacakan ceritera, dengan mengajukan pertanyaan dan sebagainya.
Dengan kata lain, orang dewasa menjadi perantara bagi anak dan dunia sekitarnya.
Kemampuan belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi manusia. Dengan
pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak hal dibandingkan
dengan jika anak hanya belajar sendiri. Konsep inilah yang disebut Vygotsky sebagai Zone of
Proximal Development (ZPD). ZPD memberi makna baru terhadap ‘kecerdasan’. Kecerdasan
tidak diukur dari apa yang dapat dilakukan anak dengan bantuan yang semestinya. Belajar
melakukan sesuatu dan belajar berpikir terbantu dengan berinteraksi dengan orang dewasa.
Menurut Vygotsky, pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam konteks sosial
dengan orang lain dan bahasa membantu proses ini dalam banyak hal. Lambat laun, anak
semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya kepada orang dewasa dan menuju kemandirian
bertindak dan berpikir. Pergeseran dari berpikir dan berbicara nyaring sambil melakukan sesuatu
ke tahap berpikir dalam hati tanpa suara disebut internalisasi. Menurut Wretsch (dalam Helena,
2004) internalisasi bagi Vygotsky bukanya transfer, melainkan sebuah transformasi. Maksudnya,
mampu berpikir tentang sesuatu yang secara kualitatif berbeda dengan mampu berbuat sesuatu.
Dalam proses internalisasi, kegiatan interpersonal seperti bercakap-cakap atau berkegiatan
bersama, kemudian menjadi interpersonal, yaitu kegiatan mental yang dilakukan oleh seorang
individu.
Banyak gagasan Vygotsky yang dapat membantu dalam membangun kerangka berpikir
untuk mengajar bahasa asing bagi anak-anak. Untuk membuat keputusan apa yang bisa
dilakukan guru agar mendukung pembelajaran kita dapat menggunakan gagasan bahwa orang
dewasa menjadi perantara. “Lalu … apalagi yang dapat dipelajari anak-anak?”. Ini dapat
berdampak pada bagaimana menyiapkan pelajaran atau bagaimana guru harus berbicara dengan
siswa setiap saat. ZPD dapat menjadi pemandu dalam memilih dan menyusun pengalaman
pembelajaran bagi siswa untuk membantu mereka maju dari tahap interpersonal ke intrapersonal.
Kita membantu anak agar internalisasi terjadi sehingga bahasa baru yang diajarkan menjadi
bagian dari pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak.
Teori Psikologi Bruner
Menurut Bruner (dalam Helena, 2004) bahasa adalah alat yang paling penting bagi
pertumbuhan kognitif anak. Bruner meneliti bagaimana orang dewasa menggunakan bahasa
untuk menjembatani dunia sekitar dengan anak-anak dan membantu mereka memecahkan
masalah. Pembicaraan atau “omongan” yang mendukung anak dalam melakukan kegiatan
disebut scaffolding talk. Scaffolding talk atau omongan guru yang digunakan untuk
menyelenggarakan kegiatan di kelas, dapat berlangsung mulai dari memeriksa presensi sampai
membubarkan kelas. Ketika scaffolding talk itu terjadi dalam pembelajaran bahasa Inggris, maka
semua itu juga harus dilakukan dalam bahasa Inggris pula. Dalam sebuah ekxperimen yang
dilakukan terhadap ibu-ibu dan anak-anak di Amerika, orang tua yang melakukan scaffolding
talk secara efektif biasa melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mereka membuat anak tertarik kepada tugas-tugas yang diberikan;
b. Mereka membuat tugas menjadi lebih sederhana, seringkali dengan memecah-mecah tugas
menjadi langkah-langkah yang lebih kecil;
c. Mereka mampu mengarahkan anak kepada penyelesaian tugas dengan mengingatkan anak
tentang tujuan utamanya;
d. Mereka menunjukkan apa-apa yang penting untuk dikerjakan, atau menunjukkan bagaimana
melakukan bagian-bagian dari tugas itu;
e. Mereka menunjukkan bagaimana tugas itu dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Gagasan Bruner yang lain yang sangat relevan dan berguna bagi pembelajaran adalah
mengenai format and routine. Kedua hal ini mengacu pada kebiasaan-kebiasaan yang
memungkinkan kegiatan scaffolding terjadi. Scaffolding adalah aktivitas guru, baik secara fisik
maupun verbal, yang dilakukan secara rutin sehingga anak menjadi terbiasa dengan kegiatan atau
ungkapan-ungkapan guru waktu pelajaran berlangsung. Jadi, ketika anak terbiasa dengan pola
kegiatan atau bahasa guru, mereka merasa “nyaman” dan percaya diri dan mereka menjadi siap
untuk menerima hal-hal yang baru. Caontoh yang paling menonjol yang diberikan Bruner adalah
kebiasaan membaca ceritera atau story reading yang dilakukan orang tua di Amerika kepada
anak-anaknya. Tentu saja, ketika anak bertambah usia, buku cerita yang digunakan juga berubah,
tetapi format kegiatannya masih serupa. Dalam kegiatan ini, orang dewasalah yang banyak
bicara baik ketika membaca ceritera (yang sering diberi ilustrasi gambar-gambar) maupun sambil
memberi pertanyaam atau instruksi kepada anak-anak, seperti “Coba lihat ini… hidungnya besar,
kan?”. Dengan cara ini keterlibatan anak dalam berbicara akan meningkat pula. Jika orang tua
atau guru banyak melakukan pembacaan ceritera, maka guru akan banyak melakukan
pengulangan ungkapan-ungkapan yang semakin lama semakin canggih yang dipahami oleh
siswa. Kegiatan membaca certera ini ditunjang oleh orang dewasa agar anak dapat berpartisipasi
sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Dengan kata lain penggunaan bahasa yang dilakukan secara rutin menjadi mudah
ditebak; anak mudah menebak apa yang dikatakan guru dan anak akan dapat lebih mudah
merespon perkataan guru. Di sini terdapat “ruang” tempat anak dapat mempraktikkan bahasanya
sendiri. “Ruang untuk tumbuh” atau space of growth ini menjadi zone of proximal development
(ZPD) sebagaimana ada dalam teori Vygotsky. Menurut Bruner, kegiatan rutin dan penyesuaian-
penyesuain inilah yang menyediakan tempat bagi perkembangan bahasa dan kognitif anak.
Implikasi Praktis
Teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development menekankan betapa peran guru
sangat dibutuhkan dalam rangka terjadinya pembelajaran yang optimal. Dikatakan bahwa anak
atau siswa memiliki kapasitas atau potensi untuk belajar sendiri (seperti teori Piaget), tetapi
belajar yang optimal terjadi karena anak mendapat pertolongan dari orang dewasa yang ada di
sekitarnya. Pembelajaran terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan sosialnya. Penelitian
Halliday mengenai bagaimana anak kecil ber(tukar) makna (learning how to mean) memberikan
ilustrasi yang bernilai terhadap teori Vygotsky ini.
Bahasan ini menunjukkan betapa pentingnya bagi guru untuk merencanakan kegiatan
belajar mengajar yang seksama. Rencana tersebut secara eksplisit perlu mencantumkan kegiatan
apa yang akan dilakukan atau pengalaman pembelajaran apa yang akan diberikan dan untuk
tujuan apa. Rencana pengajaran tersebut diharapkan secara serius mempertimbangkan jenis-jenis
interaksi di dalam kelas yang menjadikan kelas sebagai ZPD. Implikasinya ialah bahwa guru
memang masih perlu menjelaskan pola kalimat, melakukan drill jika perlu melatih ucapan, tetapi
sebagian besar waktu sebaiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin agar terjadi macam
interaksi. Teori Burner juga mendukung gagasan Vygotsky. Gagasan Bruner tentang
scaffolding atau memberikan kegiatan-kegiatan pendukung dalam upaya terjadinya internalisasi
sangat relevan dengan pendidikan bahasa. Di bidang ini, kegiatan scaffolding secara verbal
merupakan keniscayaan jika pendidikan bahasa dimaksudkan sebagai pendidikan komunikasi.
Sayangnya, justru scaffolding talk atau “omongan” guru yang diharapkan menyertai seluruh
proses pembelajaran bahasa Inggris sering tidak muncul di dalam kelas. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa guru berbahasa Inggris hanya kalau sedang membaca bacaan, pertanyaan
yang ada di buku dan instruksi-instruksi tertulis. Kegiatan lain diselenggarakan dalam bahasa
Indonesia. Misalnya, memeriksa kehadiran siswa, mengatur atau mengelola kelas, memberi
komentar-komentar; semuanya dilakukan dalam bahasa Indonesia. Padahal, justru ungkapan-
ungkapan bahasa Inggris yang “bukan pelajaran” inilah yang potensial untuk membangun ZPD,
menanamkan kebiasaan, dan memungkinkan terjadinya internalisasi.
Implikasi lain, terutama teori Vygotsky, tampaknya terjadi pula pada pandangan para
pengikut konstruktivisme dalam pembelajaran (bahasa). Seperti telah disinggung di depan bahwa
menurut teori Vygotsky, anak-anak dibesarkan di dalam suatu setting kelompok sosial. Vygotsky
memandang pentingnya kultur dan pentingnya konteks sosial bagi perkembangan kognitif.
Menurut Vygotsky, atau dengan cara pandang konstruktivisme ini, anak-anak dengan
pertolongan orang dewasa dapat menguasai konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang mereka
tidak bisa pahami sendiri. Annie Susany (2002) menyatakan bahwa dalam visi konstruktivisme
terdapat empat pandangan utama yang diyakini oleh para pendukungnya, yaitu:
a. Belajar dan berkembang adalah bersifat sosial, sehingga belajar merupakan suatu kegiatan
kolaboratif;
b. “The Zone of Proximal Development” dapat bertindak sebagai suatu pegangan untuk rencana
kurikuler dan mata pelajaran;
c. Pengajaran di sekolah seyogyanya terjadi dalam suatu konteks yang bermakna (meaningful
context) dan tidak bisa dipisahkan dari pengajaran serta pengetahuan yang dikembangkan oleh
para siswa dan “dunia nyata”;
d. Pengalaman-pengalaman di luar sekolah hendaknya dihubungkan dengan pengalaman-
pengalaman para anak-anak di dalam lingkungan sekolah.
ZPD dalam hal ini merupakan suatu gagasan yang memandang bahwa potensi
perkembangan kognitif seseorang terbatas pada suatu waktu tertentu saja. ZPD ini bisa
dikembangkan secara terus menerus dan memerlukan interaksi sosial. ZPD menurut Vygotsky
sebagai jarak antara tingkat perkembangan dengan tingkat potensi perkembangan yang dimiliki
seseorang. Berdasarkan pada konsep ini, seorang guru bisa menawarkan suatu tujuan yang
mungkin sulit dicapai oleh para anak-anak dan kemudian mereka ini berusaha untuk
mencapainya sendiri atau dengan bantuan anak-anak lain yang lebih dewasa. Vigotsky
memandang bermain sebagai faktor atau sarana yang sangat penting dalam belajar.

Anda mungkin juga menyukai