Anda di halaman 1dari 48

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang HIV/AIDS


1. Definisi HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) merupakan penyakit


menular dengan angka kematian yang tinggi dan dapat menjangkiti seluruh
lapisan masyarakat dari mulai bayi sampai dewasa baik laki-laki maupun
perempuan (Swanson, 2010). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus
yang menyerang sel darah putih didalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan
lemahnya kekebalan tubuh manusia (Wibowo & Tim, 2014).

Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah kumpulan penyakit


yang timbul karena tubuh tertular Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu
virus yang menimbulkan penurunan sistem kekebalan tubuh. (Martiningsih,
Haris, & Wulandari, 2015). Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah
sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain
yang mirip. Human Immunodeficiency Virus (HIV) sendiri adalah virus yang
secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+)
yang tugasnya menjaga sistem kekebalan tubuh. Karena sistem kekebalannya
rusak, orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
(Nursalam & Kurniawati, 2013).

Jadi, HIV/AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrom) adalah suatu


penyakit menular yang disebabkan oleh virus Human Immunodeficiency Virus
(HIV) yang menyerang limfosit di dalam tubuh sehingga melemahkan sistem
imun seseorang dengan angka kematian yang tinggi.
17

HIV/AIDS adalah penyakit kelamin yang 10 tahun mendatang belum


ditemukan obatnya. Semua penyakit yang disebabkan oleh virus termasuk
influenza belum ditemukan obatnya, meskipun kita berobat hanya untuk
meningkatkan daya tahan tubuh sehingga penyakit lain (penyakit oportunities)
tidak menjadi pathogen (ganas). Orang yang terkena HIV/AIDS daya tahan atau
imunitas tubuhnya menurun sedemikiam rupa sehingga orang itu meninggal, dan
meninggalnya karena penyakit lain yang telah menjelma menjadi pathogen. Virus
HIV menyerang sel-sel darah putih sehingga daya tahan tubuh menjadi menurun
dengan dampak penyakit-penyakit opportunities seperti TBC, diare, kanker,
penyakit kulit dan lain sebagainya menjadi pathogen (ganas), yang bisa saja
berakhir dengan kematian yang mengenaskan. Adapun obat yang sekarang ini
ditemukan adalah antiretroviral hanya sebatas memperlambat pertumbuhan virus,
tetapi tidak mematikan virus itu sendiri (Hawari, 2012).

Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus.


Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu
untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang.
Sebagai retrovirus, HIV memiliki sifat khas karena memiliki enzim reserve
transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus mengubah informasi
genetiknya yang berbeda dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian
diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang sehingga
HIV memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya menjadi
virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV (Pasaribu, 2012). Seperti retrovirus yang
lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten),
dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV
menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal
tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit. Pada tahun
2000, terjadi peningkatan penyebaran epidemik HIV secara nyata melalui pekerja
seks komersial, tetapi ada fenomena baru penyebaran HIV/AIDS melalui
18

penggunaan narkoba suntik (Injecting Drug User-IDU) dan tahun 2002 HIV
sudah menyebar hingga ke tingkat rumah tangga. Dengan demikian, perawat
perlu memahami patofisiologi dan penyebaran HIV/AIDS untuk dapat
memberikan asuhan keperawatan dengan tepat kepada penderita. (Nursalam &
Kurniawati, 2013)

HIV merupakan kelompok retrovirus, transmisi HIV terjadi melalui


kontak dengan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi serta terkait dengan
perilaku berisiko tinggi, HIV tidak ditularkan melalui kontak ringan atau kontak
sosial. Dilihat dari aspek sosio-historis penderita AIDS dikenal terlebih dahulu
pada mereka yang berasal dari kelompok perilaku resiko tinggi seperti penjaja
seks komersial, pecandu narkotik suntik, kelompok homoseks, dan sebagainya
sehingga tidak jarang mereka mengalami diskriminasi. (Martiningsih, Haris, &
Wulandari, 2015)

Dalam hal ini, Pemerintah terkesan putus asa untuk membuat


masyarakat letih meningkatkan iman dalam menanggulangi HIV/AIDS. Prinsip
ilmu kedokteran dan kesehatan menyatakan bahwa pencegahan lebih baik dari
pengobatan. Sesuai dengan prinsip tersebut Allah subhanahu wa ta’ala. Telah
berfirman dalam surah Al-Isra‟ ayat 32.

         

Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan
keji dan suatu jalan yang buruk serta terkutuk.” (QS. Al-Isra’[17]:32)
Ayat di atas memperingatkan kepada kita supaya menghindari perzinaan
(seks bebas, perselingkuhan dan pelacuran) karena perzinaan itu sendiri
mempunyai dampak yang buruk dan sejahat-jahat perjalanan. Al-Imam Ibnu
Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allah subhanahu wa ta’ala
19

berfirman dalam rangka melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan


larangan mendekatinya, yaitu larangan mendekati sebab-sebab dan pendorong-
pendorongnya” (Ibnu Katsir,5/55).

Sayyid Quthb menjelaskan tentang ayat ini di dalam tafsirnya, “bahwa


Al-Qur‟an melarang walau hanya mendekati perbuatan zina untuk menunjukkan
sikap kehati-hatian dan tindakan antisipatif yang lebih besar. Perbuatan zina
terjadi karena dorongan nafsu birahi yang sangat kuat. Karena itu, sikap hati-hati
untuk mendekati perbuatan ini lebih bisa menjamin agar tidak terjatuh ke
dalamnya. Dengan mendekati faktor-faktor yang menyebabkan perzinaan, tidak
ada jaminan bagi seseorang untuk tidak melakukanya. Karena hal inilah syariat
islam menetapkan hukum pada faktor-faktor penyebab perbuatan zina untuk
menjaga manusia agar tidak terjerumus ke dalamnya. Karena itu, Islam melarang
bercampur aduk (ikhtilat) antara laki-laki dan wanita kecuali dalam kondisi
darurat dan senantiasa menutup aurat (Quthb, 2003).

Quraish Shihab (2012), menegaskan bahwa “Dan janganlah mendekati


zina” dengan melakukan hal-hal walau dalam bentuk menghayalkannya sehingga
dapat mengantar kamu terjerumus dalam keburukan itu, sesungguhnya ia, yakni
zina itu, adalah suatu perbuatan amat keji yang melampaui batas dalam ukuran
apa pun dan suatu jalan yang buruk dalam menyalurkan kebutuhan biologis.
Sedangkan dalam pengamatan sejumlah ulama Al-Qur‟an, ayat-ayat yang
menggunakan kata “jangan mendekati” seperti ayat di atas, biasanya merupakan
larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa/nafsu untuk
melakukannya. Dengan demikian, larangan mendekati mengandung makna
larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan sesuatu yang berpotensi mengantar
kepada langkah melakukan perzinaan. Karena akibat dari perzinaan tersebut akan
memberikan dampak yang buruk pada kesehatan biologis (Shihab, 2012).
20

Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Al Bazzar dan Baihaqi
menyatakan yang artinya:
“Apabila perzinaan (perilaku seks bebas, perselingkuhan dan pelacuran) sudah
meluas di masyarakat dilakukan secara terang-terangan (dianggap biasa, maka
infeksi dan penyakit mematikan yang sebelumnya tidak terdapat pada zaman
nenek moyangnya akan menyebar di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah, Al Bazzar
dan Baihaqi)
Hadits tersebut mengingatkan kita bahwa akibat perzinaan (pelacuran,
perselingkuhan dan hubungan seks diluar nikah) seperti yang sekarang banyak
terjadi, berakibat pada munculya infeksi dan penyakit yang mematikan, yang
sebelum tahun 1980 belum pernah dikenal. Penyakit HIV/AIDS ini merupakan
global effect karena ulah manusia itu sendiri, hal ini sesuai dengan firman Allah
subhanahu wa ta’ala . Dalam surah Yunus ayat 44 sebagai berikut:

          

Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikitpun, tetapi
manusia itulah yang menzalimi kepada dirinya sendiri”. (QS. Yunus
[10]:44)
Penjelasan ayat tersebut di jelaskan dalam tafsir Al-Misbah oleh Quraish
shihab bahwa jangan seorang pun menduga bahwa Allah subehanahu wa ta’ala
menganiaya mereka dengan ketulian, kebutaan hati, dan ketiadaan akal mereka.
Tidak! “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun” karena semua
manusia diberi-Nya kebebasan memilih, akan tetapi manusia itulah terhadap diri
mereka sendiri, bukan siapa pun selain diri mereka, berbuat zalim dengan
mengabaikan tuntunan Allah sehingga akhirnya mereka tidak memperoleh kecuali
keadilan-Nya, bukan anugerah dan kemurahan-Nya. Dari hadits Nabi
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath Thabrani dan Al Hakim,
21

Artinya:
“Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka mereka
penghuninya sudah menghalalkan atas mereka sendiri azab Allah”. (HR.
Ath Thabrani dan Al Hakim).
Dalam kisah Nabi Luth berseru kepada kaumnya agar meninggalkan
adat kebiasaan keji mereka yaitu melakukan perbuatan homoseksual dan lesbian.
Nabi Luth juga menyatakan perbuatan itu bertentangan dengan fitrah dan hati
nurani manusia serta menyalahi hikmah yang terkandung di dalam penciptaan
manusia yang diciptakan menjadi dua jenis yakni laki-laki dan perempuan.

             

            

Terjemahnya:
“Dan (kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada
kaumnya, Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum
pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini).
Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki
bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampui
batas”. (QS. Al-A’raf/7:80-81)

Dalam tafsir Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat di atas


menyatakan: Dan kami juga mengutus Nabi Luth, Ingatlah ketika dia berkata
kepada kaumnya yang ketika itu melakukan kedurhakaan besar: Apakah kamu
mengerjakan fahisyah, yakni melakukan pekerjaan yang sangat buruk yaitu
homoseksual yang tidak satu pun mendahului kamu mengerjakannya di alam
raya, yakni di kalangan makhluk hidup di dunia ini. Sesungguhnya kamu telah
mendatangi lelaki untuk melampiaskan syahwat (nafsu) kamu melalui mereka
sesama jenis kamu, bukan terhadap wanita yang secara naluriah seharusnya
kepada merekalah kamu menyalurkan naluri seksual. Hal itu kamu lakukan
terhadap lelaki bukan disebabkan wanita tidak ada atau tidak mencukupi kamu,
22

tetapi itu kamu lakukan karena kamu durhaka bahkan kamu adalah kaum yang
melampaui batas sehingga melakukan pelampiasan syahwat bukan pada
tempatnya. Homoseksual merupakan perbuatan yang sangat buruk sehingga ia
dinamai fahisyah, ini antara lain dapat dibuktikan bahwa ia tidak dibenarkan
dalam keadaan apa pun dan sama sekali tidak ada jalan untuk membenarkannya.
Setiap pelanggaran terhadap fitrah mengakibatkan apa yang diistilahkan dengan
uqhubatul fitrah (sanksi fitrah). Dalam konteks pelanggaran terhadap fitrah
seksual, sanksinya antara lain apa yang dikenal dewasa ini dengan penyakit
AIDS. Penyebab utama AIDS adalah hubungan yang tidak normal ini dan itulah
antara lain yang disebut dengan fashiyah di dalam al-Qur‟an. Dalam satu riwayat
yang oleh sementara ulama dinyatakan sebagai hadits Nabi Muhammad
sallallahu alaihi wa sallam, dinyatakan bahwa: ”Tidak merajalela fahisyah
dalam satu masyarakat sampai mereka terang-terangan melakukannya kecuali
tersebar pula wabah dan penyakit di antara mereka yang belum pernah dikenal
oleh generasi terdahulu.
Secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya.
Jika ditambah dengan stress psikososia-spiritual yang berkepanjangan pada pasien
terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan
angka kematian. Menurut Ross (1997), jika stress mencapai tahap kelelahan
(ahausted stage), maka dapat menimbulkan kegagalan fungsi sistem imun yang
memperparah keadaan pasien serta mempercepat terjadinya AIDS. Pada
umumnya, penanganan pasien HIV yang memerlukan tindakan yang hampir
sama. Namun berdasarkan fakta klinis saat pasien kontrol ke rumah sakit
menunjukkan adanya perbedaan respon imunitas (CD4). Hal tersebut
menunjukkan terdapat faktor lain yang berpengaruh, dan faktor yang diduga
sangat berpengaruh adalah stress. Dalam hal ini perawat sangat berpengaruh
penting dalam pengelolaan stress, khususnya dalam memfasilitasi dan
mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi
dengan sakitnya. Selain itu perawat juga berperan dalam pemberian dukungan
23

sosial berupa dukungan emosional, informasi, dan material (Nursalam &


Kurniawati, 2013).

Dalam menangani kasus penderita AIDS ini diperlukan pendekatan bio-


psiko-sosio-spiritual, artinya bahwa kita melihat penderita tidak semata-mata dari
segi organiobiologik (fisik), psikologik (kejiwaan), psikososial, tetapi juga aspek
spiritual (kerohanian). Penderita tidaklah dipandang sebagai individu seorang diri,
melainkan anggota dari sebuah keluarga, masyarakat, serta lingkungan sosialnya.
Penderita AIDS adalah orang yang dalam keadaan tidak berdaya yang tidak hanya
memerlukan tindakan medis dan psikiatris tetapi juga memerlukan pemenuhan
kebutuhan spiritualnya (kerohanian/agamanya). Pada penderita AIDS diperlukan
yang koordinatif sifatnya dalam perawatan dan pemberian terapi dengan penuh
rasa prikemanusiaan dan pengabdian. Terapi holistik ini tidak hanya ditujukan
kepada penderita itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarganya serta lingkungan
masyarakat sosialnya (Hawari, 2012).

2. Etiologi HIV/AIDS
Virus Human Immunodeficiency (HIV) adalah sejenis retrovirus. Ada 2
tipe: Tipe 1 (HIV-1) dan tipe 2 (HIV-2). Virus-virus ini secara serologis dan
geografis relative berbeda tetapi mempunyai ciri epidemiologis yang sama.
Pathogenesis dari HIV-2 lebih rendah di banding HIV-1 (Kunoli, 2012).
3. Patofisiologi HIV/AIDS
Sistem imun melindungi tubuh dengan cara mengenali bakteri atau virus
yang masuk ke dalam tubuh, dan bereaksi terhadapnya. Ketika sistem imun
melemah atau rusak oleh virus seperti HIV, tubuh akan lebih mudah terkena
infeksi oportunistik. Sistem imun terdiri atas organ dan jaringan limfoid, termasuk
di dalamnya sumsum tulang, thymus, nodus limfa, limfa, tonsil, adenoid,
appendix, darah, dan pembulu limfa. Seluruh komponen dari sistem imun tersebut
adalah penting dalam produksi dan perkembangan limfosit atau sel darah putih.
Limfosit B dan T diproduksi oleh sel utama sumsum tulang. Sel B tetap berbeda
24

di sumsum tulang untuk melengkapi proses maturasi, sedangkan limfosit T


berjalan ke kelenjar thymus untuk melengkapi proses maturasi. Di kelenjar thymus
inilah limfosit T menjadi bersifat imunokompeten, multiple, dan mampu
berdiferensiasi (Nursalam & Kurniawati, 2013).
a. Sel B
Fungsi utama sel B adalah sebagai imunitas antibody humoral.
Masing-masing sel B mampu mengenali antigen spesifik dan mempunyai
kemampuan untuk mensekresi antibody spesifik. Andibodi bekerja dengan
cara membungkus antigen, membuat antigen lebih mudah untuk difagositosis
(proses penelanan dan pencernaan antigen oleh leukosit dan makrofag), atau
dengan membungkus antigen dan memicu sistem komplemen (yang
berhubungan dengan respon inflamasi). Antibody adalah molekul khusus
yang mengandung serum protein yang tinggi. Antibody dikelompokkan
menjadi 5 jenis IgG, IgA, IgE, dan IgD, dimana masing-masing mempunyai
fungsi khusus (Nursalam & Kurniawati, 2013).
HIV menempel pada limfosit sel induk melalui gp 120 sehingga
akan terjadi fusi membran HIV dengan sel induk. Dalam sel induk, HIV akan
membentuk DNA HIV dari HIV melalui enzim integrasi kemudian akan
membantu DNA HIV untuk berintegrasi dengan DNA sel induk (Kunoli,
2012). DNA virus yang dianggap oleh tubuh sebagai DNA sel induk, akan
membentuk RNA dengan fasilitas sel induk, sedangkan MRNA dalam
sitoplasma akan diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV, partikel itu
selanjutya mengambil selubung dari bahan sel induk untuk di lepas sebagai
virus HIV lainnya. Mekanisme penekanan pada sistem imun (Imunosupresan)
ini akan menyebabkan pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi sel
limfosit T (Kunoli, 2012)
b. Limfosit T
Limfosit T atau sel T mempunyai dua fungsi utama, yaitu:
25

1) Regulasi sistem imun


2) Membunuh sel yang menghasilkan antigen khusus.
Masing-masing sel T mempunyai masker permukaan seperti CD4+,
CD8+, dan CD3+ yang membedakannya dengan sel lain. Sel CD4 adalah sel
yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat
antigen target khusus. Sel CD8+ membunuh sel yang terinfeksi oleh virus atau
bakteri seperti sal kanker (Nursalam & Kurniawati, 2013).
Sel T juga mempunyai kemampuan mensekresi sitokin (bahan
kimia yang mampu membunuh sel) seperti interferon. Sitokin dapat mengikat
sel target mengaktivasi fagositosis, dan menghancurkan sel target. Interleukin
adalah sitokin yang bertugas sebagai messenger antarsel darah putih. Setelah
terbentuk, kode genetik DNA berupa untai ganda akan masuk ke inti sel.
Kemudian, oleh enzim integrase, DNA kopi dari virus disisipkan dalam DNA
pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ kemudian bereplikasi,
menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Nursalam & Kurniawati,
2013).

Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel
mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa,
sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel
mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare
kronis (Nursalam & Kurniawati, 2013). Gejala-gejala klinis yang ditimbukan
akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien setelah beberapa waktu
lamanya karena tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeksi virus
HIV tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-tahun.
Sepanjang perjalanan penyakit tersebut, sel CD4+ mengalami penurunan
jumlah dari 1000/µl sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/µl setelah
terinfeksi dalam kurun waktu 2-10 tahun (Nursalam & Kurniawati, 2013).
26

c. Fagosit
Termasuk di dalamnya adalah monosit dan makrofag, sel darah
putih dengan jumlah besar yang mengelilingi dan mencerna sel yang
membawa partikel-partikel antigen. Ditemukan di seluruh tubuh, fagosit
membersihkan tubuh dari sel yang rusak, memulai respons imun dengan
membawa APC (Antigen Precenting Cells) pada limfosit, yang penting dalam
proses regulasi dan inflamasi respon imun, dan membawa reseptor untuk
sitokin. Sel dendrit, tipe lain dari fagosit juga merupakan APC. Neutrofil
adalah fagosit granulosit yang penting dalam respons inflamasi (Nursalam &
Kurniawati, 2013).
d. Komplemen

Sistem komplemen terdiri atas 25 protein. Komplemen mempunyai


kemampuan untuk mengurangi respons inflamasi, dan juga berfungsi dalam
memfasilitasi fagositosis atau melemahkan membran sel bakteri. Protein
komplemen berinteraksi satu sama lain dalam tahapan aktivasi sekuensial,
membantu proses inflamasi. Meskipun demikian sistem imun mempunyai
kemampuan melawan berbagai macam predator, tetapi masih dapat dilawan
oleh HIV (Nursalam & Kurniawati, 2013).

4. Siklus Hidup HIV


Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat
pendek, hal ini berarti HIV secara terus menerus menggunakan sel pejamu baru
untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya.
Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada membran mukosa
dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan
membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer
selama 5 hari setelah paparan, di mana replikasi virus menjadi semakin cepat.
Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase yaitu (Nursalam &
Kurniawati, 2013):
27

1) Masuk dan mengikat


2) Reverse transcriptase
3) Replikasi
4) Budding
5) Maturasi
5. Perjalanan Penyakit

Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS,
sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas biasanya
diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta
penyakit keganasan. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
menjadi AIDS pada tiga tahun pertama. 50% menjadi AIDS setelah sepuluh
tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun
(Nursalam & Kurniawati, 2013).
Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel
pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi.
Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas infeksi seperti demam, nyeri
menelan. Pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk pada 3-6
minggu setelah infeksi (Sudoyo dalam Buku Nursalam, 2008). Kondisi ini dikenal
dengan infeksi primer. Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana
HIV pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi
(Imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivasi imun,
yaitu pada tingkat seluler, serum atau humoral, neopterin, dan antibody
upregulation. Induksi sel T-Helper dan sel-sel lain diperlukan untuk
mempertahankan fungsi sel-sel faktor sistem imun agar tetap berfungsi baik.
Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-Helper tidak dapat
memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel
NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi secara baik. Daya tahan tubuh
28

sehingga pasien jatuh ke dalam stadium lanjut (Hoffmann, dkk dalam buku
Nursalam, 2008). Saat ini, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat
tinggi, yang berarti banyak virus lain di dalam darah. Sejumlah virus dalam darah
atau plasma per millimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi
sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari sindrom
retroviral akut ini meliputi: panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare,
berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tanda dan
gejala tersebut biasanya akan terjadi dalam 2-4 minggu setelah infeksi, kemudian
hilang atau menurun setelah beberapa hari sehingga sulit untuk terdeteksi sebagai
influenza atau infeksi mononucleosis (Calles dalam Buku Nursalam, 2008).
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun
dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus
Selama waktu tersebut, yang membuat individu terinfeksi akan mungkin terkena
infeksi oportunistik dam membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi
limfosit T. Tes antibody HIV menggunakan enzyme linked imunoabsorbent assay
(ELISA) yang akan menunjukkan hasil positif (Calles dalam Buku Nursalam,
2008). Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala)
pada masa ini dapat berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada beberapa yang
mengalami perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada
pula perjalanan penyakitnya yang lambat. (Nursalam & Kurniawati, 2013)
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan, demam
lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes
dan lain-lain (Sudoyo dalam buku Nursalam, 2008). Pada fase ini disebut dengan
imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya
faktor supresif berupa antibody terhadap proliferasi sel T. adanya supresif pada
sel tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin. Sehingga sel T tidak
mampu memberikan respon terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang
29

ditandai dengan penurunan kadar CD4+, sitokin, antibody down regulation, dan
lain-lain ( Hoffman dalam buku Nursalam, 2008)
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya
penggunaan jarum untuk berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan
tuberculosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat.
Selain itu dapat mengakibatkan reaktivasi virus di dalam limfosit T sehingga
perjalanan penyakit bisa lebih progresif (Sudoyo dalam buku Nursalam, 2008).
Hal ini sejalan dengan pendapat Nasronudin (2014), menjelaskan bahwa
virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia dan menginfeksi dengan berbagai
macam cara melalui perantara benda tajam yang dapat menembus dinding
pembuluh darah sehingga virus HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara
langsung, atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak
seperti yang terjadi pada penularan melalui seksual. Setelah virus berada dalam
sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi. Selama
virus dalam sirkulasi sistemik maka terjadi viremia yang disertai tanda dan gejala
infeksi virus akut seperti, demam tinggi, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri otot,
mual, muntah, sulit tidur, batuk-pilek, dan lain-lain, kondisi ini disebut sindrom
retroviral akut. Pada fase ini sudah mulai terjadi penurunan CD4 dan peningkatan
HIV-RNA Viral Load yang mengalami peningkatan dengan cepat pada awal
infeksi dan kemudian turun pada suatu titik tertentu. Dengan semakin
berlanjutnya infeksi viral load secara perlahan cenderung semakin meningkat
yang diikuti dengan penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam waktu
beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat dalam kurun waktu
1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS. Dari proses infeksi virus
HIV sel T-CD4 secara dramatis dari normal berkisar 600-1200/mm3 menjadi
200/mm3 atau lebih rendah lagi yang menyebabkan terjadinya infeksi sekunder
sehingga sampai pada stadium AIDS. Terjadinya infeksi sekunder menyebabkan
munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai dengan infeksi sekundernya
(Nasronuddin dalam Barkbah, 2014).
30

Tingkatan stadium pada penderita HIV antara lain:


a) Stadium pertama: HIV (Infeksi akut)
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya
perubahan serologis ketika antibody terhadap virus tersebut berubah dari
negatif menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh
sampai ke antibody terhadap HIV menjadi positif disebut window period.
Lama window period antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat
berlangsung sampai enam bulan (Nursalam & Kurniawati, 2013).
Pada tahap 6 minggu pertama setelah paparan menimbulkan gejala
yang tidak spesifik berupa demam, malaise, nyeri otot dan sendi, nyeri
menelan, sakit kepala hebat, kelenjar getah bening, kejang-kejang dan
kelumpuhan saraf otak (Nasronuddin dalam Barkbah, 2014).
b) Stadium kedua: Asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik artinya di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi
tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlagsung rerata
selama 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini
sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain (Nursalam & Kurniawati,
2013).
Merupakan tahapan infeksi virus HIV dimana gejala dan keluhan
hilang, pada tahap ini penderita nampak seperti layaknya orang sehat dan
aktivitas masih normal, kondisi seperti ini berlangsung 6 minggu hingga
beberapa bulan dan bahkan bertahun-tahun setelah infeksi (Nasronuddin
dalam Barkbah, 2014).
c) Stadium ketiga: Simptomatik
Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata, tidak hanya
muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung lebih dari satu bulan
(Nursalam & Kurniawati, 2013).
Tahap dimana tanda, gejala dan keluhan yang muncul lebih spesifik
dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai
31

10%, terjadi sariawan berulang pada mulut, peradangan pada sudut mulut,
juga dapat ditemukan infeksi bakteri pada saluran napas bagian atas, namun
kondisi ini penderita masih melakukan aktivitas meskipun terganggu.
Penderita banyak istirahat di tempat tidur tapi masih kurang dari 12 jam sehari
dalam satu bulan terakhir (Nasronuddin dalam Barkbah, 2014).
d) Stadium keempat: AIDS
Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain
penyakit konstitusional, penyakit syaraf, dan penyakit infeksi sekunder
(Nursalam & Kurniawati, 2013).
Pada tahap ini penderita mengalami penurunan berat badan lebih
10%, diare lebih dari 1 bulan, demam lebih dari 1 bulan yang tidak diketahui
penyebabnya, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, TBC paru, dan
pneumonia bakteri, penderita terbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam sehari
dalam satu bulan terakhir. Menderita berbagai macam infeksi sekunder,
misalnya pneumonia, pneumonia karini, tokso plasmosis otak, diare akibat
kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis
pada esofagus, trakhea, bronkus serta infeksi jamur lainnya misalnya,
histoplasmosis, koksidiodomikokus, dapat juga ditemukan beberapa jenis
malignasi, termasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarkoma kaposi
(Nasronuddin dalam Barkbah, 2014).
Gejala klinis pada stadium AIDS terdiri atas beberapa bagian
(Nursalam & Kurniawati, 2013):
1) Gejala utama/Mayor
a) Demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan
b) Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus
c) Penurunan berat badan lebh dari 10% dalam tiga bulan
d) TBC
2) Gejala Minor
a) Batuk kronis selama lebih dari satu bulan
32

b) Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur Candida


Albians
c) Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh
d) Munculnya Herpes Zozter berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh
tubuh.
6. Penularan HIV/AIDS
Penularan HIV dari seseorang yang telah terinfeksi kepada orang lain
terjadi melalui pertukaran cairan tubuh, yang meliputi darah, cairan sperma,
cairan vagina, cairan serebrospinal (cairan otak), dan air susu ibu. Dalam
konsentrasi yang lebih kecil, virus juga terdapat di dalam air mata, air kemih, dan
air ludah. Karena itu cara perpindahan HIV dari seseorang kepada orang lain juga
sangat spesifik (Dorothy, 2011), yaitu:
a) Melalui transfusi darah atau produk darah
b) Melalui transplantasi organ atau jaringan tubuh
c) Melalui pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV secara bergantian
d) Melalui pemakaian jarum suntik/alat tajam yang memungkinkan terjadinya
luka. Misalnya jarum tato, jarum tindik, peralatan pencet jerawat, dll.
e) Melalui ibu hamil yang HIV positif kepada bayi yang dikandungnya, yaitu
melalui plasenta dan jalan lahir serta melalui ASI.
f) Melalui hubungan seks tidak aman, (tanpa pengaman/kondom) yang
memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (pada seks
vaginal), atau cairan sperma dengan darah (pada seks anal).
Sebagaimana halnya dengan pergaulan bebas dampak daripada
perselingkuhan hampir sama, misalnya dalam hal kehamilan di luar nikah, aborsi,
penyakit kelamin termasuk HIV/AIDS, anak yang dilahirkan di luar nikah
semakin meningkat, banyak anak-anak yang dilahirkan dari perselingkuhan dan
pergaulan bebas saling bergaul dan hidup tanpa mengetahui asal usul kedua
pasangan tersebut. Sehingga hasil keturunannya banyak yang lahir terinfeksi virus
HIV/AIDS yang kemudian meninggal dunia dalam usia balita. Perselingkuhan
33

ataupun adanya hubungan gelap menciptakan suatu bentuk eksploitasi seksual


komersial atas kaum perempuan, suatu bentuk pelanggaran HAM, merendahkan
martabat, derajat, dan harkat kaum perempuan. Dalam kaitannya dengan
perselingkuhan dan hubungan gelap ini Allah subehanahu wa ta’ala berfirman
dalam surah An-Nur ayat 33.

            

          
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk
melakukan pelacuran, sedang mereka sendri menginginkan kesucian,
karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Dan
barang siapa memaksa mereka, maka sungguh Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa”. (QS. An-
Nur/24:33)

Ayat di atas dijelaskan dalam tafsir Al-Misbah yang menyatakan bahwa:


upaya untuk bekerja memerdekakan diri dapat ditempuh dengan berbagai cara,
tetapi bukan dengan cara yang haram. Karena itu, ayat ini setelah memerintahkan
membantu para budak, melanjutkan dengan larangan yaitu, Dan janganlah paksa
budak-budak wanita kamu untuk melakukan pelacuran bila, yakni sedang
mereka sendiri mengingikan kesucian secara sungguh-sungguh padahal kamu
memaksanya dengan tujuan agar kamu meraih dengan sungguh-sungguh lagi
sebanyak mungkin keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa
mereka melakukan keburukan itu, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun dengan menutupi rahasia mereka lagi Maha Penyayang terhadap
yang dipaksa sesudah mereka dipaksa. nAl-bigha’ pada masa jahiliah terhitung
sebagai salah satu bentuk perkawinan. „Aisyah ra. Menguraikan bahwa pada
masa jahiliah dikenal empat macam cara guna menjalin hubungan seksual.
Pertama, cara yang dikenal hingga kini, yaitu melamar seorang wanita kepada
34

walinya, membayar mahar, dan dinikahkan. Kedua, mengirim istri yang telah
suci dari haidnya untuk “tidur” bersama seorang dipilih dan setelah jelas bahwa
ia mengandung barulah ia kembali ke suaminya. Ketiga, bekumpul dalam satu
grup yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang lalu mereka berhubungan
dengan seorang wanita, dan bila hamil dan melahirdkan, dia memanggil seluruh
anggota grup- tanpa seorang pun yang dapat mengelak dan mengingatkan mereka
tentang hubungan mereka dengannya. Lalu wanita itu menunjuk salah seorang
yang dipilihnya untuk menjadi ayah anaknya dan diberi nama dengan nama yang
dinisbahkan kepada siapa yang terpilih itu. Yang keempat adalah al-bighd ini.
Islam dating menghapus semua bentuk kecuali yang pertama. Demikian yang
diriwayatkan oleh bukhari.
HIV tidak ditularkan melalui kontak biasa atau kontak dekat yang tidak
bersifat seksual di tempat bekerja, sekolah ataupun di rumah. HIV juga tidak
ditularkan lewat makan dan minum bersama atau pemakaian alat makan minum
bersama, pemakaian fasilitas umum bersama, seperti telepon, wc umum, dan
kolam renang, ciuman, senggolan, pelukan dan kegiatan sehari-hari lainnya atau
lewat keringat dan gigitan nyamuk. Belum pernah dilaporkan kasus penularan
HIV melalui batuk atau bersin penderita. Penularan dari seorang dokter atau
dokter gigi yang terinfeksi terhadap pasiennya juga sangat jarang terjadi
(Dorothy, 2011).
Menurut Hawari (2012), bahwa masa inkubasi HIV antara 5-10 tahun.
Seseorang yang mengidap HIV akan nampak sehat dan tidak terlihat sakit, selama
itu pula ia dapat menularkan pada orang lain tanpa ia sadari. Untuk mendeteksi
seseorang mengidap HIV atau tidak dapat dilakukan pemeriksaan darah.
Pemeriksaan darah dilakukan minimal 2 kali, kalau pemeriksaan pertama negatif
6 bulan kemudian diperiksa ulang sebab antibodi dalam tubuh baru terbentuk
dalam 6 bulan tersebut, tetapi sekiranya pemeriksaan kedua ini negatif berarti
orang tersebut bebas dari HIV.
7. Pencegahan HIV/AIDS
35

Program pencegahan penyebaran HIV dipusatkan terutama pada


pendidikan masyarakat mengenai cara penularan HIV, dengan tujuan mengubah
kebiasaan orang-orang yang berisiko tinggi untuk tertular. Cara-cara pencegahan
tersebut adalah (Hawari, 2012):
a) Untuk orang sehat
Abstinens (tidak melakukan hubungan seksual, seks aman (memakai
pelindung).
b) Untuk penderita HIV positif
Abstinens, seks aman, tidak mendonorkan darah atau organ, mencegah
kehamilan, memberitahu mitra seksualnya sebelum dan sesudah diketahui
terinfeksi.
c) Untuk memakai obat-obatan (napza)
Menghentikan penggunaan suntikan bekas atau bersama-sama, mengikuti
program rehabilitasi.
d) Untuk professional kesehatan
Menggunakan sarung tangan lateks pada setiap kontak dengan cairan tubuh,
menggunakan jarum sekali pakai.
Bermacam-macam vaksin sudah dicoba untuk mencegah dan
memperlambat progresivitas penyakit, tapi sejauh ini belum ada yang berhasil.
Rumah sakit biasanya tidak mengisolasi penderita HIV kecuali penderita
mengidap penyakit menular seperti tuberkulosa. Permukaan-permukaan yang
terkontaminasi HIV dengan mudah bisa dibersihkan dan disucihamakan karena
virus ini rusak oleh panas dan cairan desinfektan yang biasa digunakan seperti
hidrogen peroksida dan alkohol.
Menurut Dorothy (2011), ada beberapa cara untuk mencegah atau
meminimalisir tertularnya virus HIV/AIDS antara lain sebagai berikut:
a) Imunisasi
36

Karena virus HIV-AIDS menyerang sistem kekebalan tubuh,


beberapa imunisasi dianjurkan bagi orang dewasa dengan HIV positif untuk
mengurangi infeksi oportunistik.
b) Diet

Kehilangan berat badan, wasting, serta malnutrisi masih tetap


menjadi masalah dalam HIV. Diet yang baik dapat membantu memperbaiki
keadaan ini. Asupan nutrisi akan membantu mempertahankan kekuatan sistem
kekebalan tubuh sehingga dapat lebih baik melawan penyakit. Nutrisi yang
baik juga membantu tubuh memproses banyaknya obat-obatan yang harus
dikomsumsi orang dengan HIV. Kalori merupakan energi dalam makanan.
Kalori menyediakan bahan bakar bagi tubuh untuk tetap bekerja. Bila Anda
HIV-positif, Anda perlu meningkatkan jumlah makanan yang Anda komsumsi
untuk mempertahankan berat badan ideal. Anda sedikitnya membutuhkan 34-
40 kalori/kg berat tubuh ideal. Namun kebutuhan kalori akan lebih meningkat
pada saat infeksi dan demam.
c) Olahraga
Olahraga membantu banyak orang yang hidup dengan HIV-AIDS
(ODHA) untuk merasa lebih sehat dan mungkin memperkuat sistem
kekebalan tubuh. Olahraga tidak dapat mengendalikan atau melawan penyakit
HIV, tetapi dapat membantu kita merasa lebih sehat dan melawan berbagai
dampak dari HIV dan efek samping obat-obatan yang dipakai oleh ODHA.
Olahraga dapat meningkatkan energy, melawan kelelahan dan depresi,
meningkatkan daya tahan dan kesehatan kardiovaskular, membantu
mengurangi stress dan mendorong kekuatan otot. Ada anggapan juga bahwa
olahraga dapat meningkatkan kesehatan sistem kekebalan tubuh. Hal ini dapat
membantu Anda menjauhkan gejala HIV yang akan mengakibatkan Anda
merasa kurang enak.
37

Tingginya prevalensi HIV/AIDS di Indonesia ini merupakan


permasalahan serius yang menimbulkan permasalahan lain di masyarakat. Di sisi
lain, HIV/AIDS seperti fenomena gunung es yang artinya secara statistik
prevalensi HIV yang terdeteksi sedikit namun kasus HIV yang tidak terdeteksi
sangat banyak., walaupun orang itu dianggap positif ODHA (Orang dengan
HIV/AIDS). Orang yang terinfeksi HIV dapat menderita gangguan dan muncul
tanda-tanda penyakit yang merupakan indikasi terinfeksi HIV. Sindrom akut HIV
terjadi beberapa minggu setelah terinfeksi. Orang mungkin asimptomatik atau
muncul gejala seperti flu, demam, limfadenopati, keringat malam, ruam kulit, dan
batuk. Tiga sampai lima tahun setelah terinfeksi, dapat muncul pembengkakan
tanpa rasa sakit pada kelenjar getah bening yang berlangsung selama berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun (Wilandika, 2017).
Pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan berbagai
pendekatan yang diselenggarakan oleh stake holder yang saling terintegrasi.
masyarakat ditempatkan sebagai pemegang peran utama dengan pembinaan dan
arahan dari berbagai sector pemerintah terkait. Pasal 1 ayat 6, Undang-undang
Kesehatan No 36 Tahun 2009 tentang Wabah Penyakit Menular yang menyatakan
bahwa upaya penanggulangan adalah segala upaya yang ditujukan untuk
memperkecil angka kematian, membatasi penularan serta penyebaran penyakit,
agar wabah tidak meluas ke daerah lain (Asrari P, 2016).
8. Peran Perawat pada Terapi Antiretroviral (ARV)
HIV Menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga
pasien rentan terhadap serangan infeksi oportunistik. Antiretroviral (ARV) bisa
diberikan pada pasien untuk menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem
imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik, memperbaiki kualitas
hidup, dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan pasien HIV,
namun bisa memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup
penderita HIV/AID. Obat ARV terdiri atas beberapa golongan seperti nukleoside
38

reverse transcriptase inhibitor, nukleotide reverse transcriptase inhibitor, non-


nukleoside dan inhibitor protease (Nursalam & Kurniawati, 2013).
9. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang relatif sederhana dan akurat adalah pemeriksaan
darah dengan tes ELISA. Dengan pemeriksaan ini dapat dideteksi adanya
antibody terhadap HIV, hasil tes secara rutin diperkuat dengan tes yang lebih
kuat. Ada suatu periode (beberapa minggu atau lebih setelah terinfeksi HIV)
dimana antibody belum positif. Pada periode ini dilakukan pemeriksaan yang
sangat sensitif untuk mendeteksi virus, yaitu antigen P24. Antigen P24 digunakan
menyaring darah untuk transfusi darah (Nursalam & Kurniawati, 2013).
Menurut Passaribu (2012), ada beberapa jenis pemeriksaan diagnostik
untuk menegakkan diagnosa pada HIV/AIDS sebagai berikut:
a. ELISA
Untuk mengidentifikasi antibody terhadap virus HIV. Tes ini menunujukkan
bahwa seseorang pernah terkena atau terinfeksi oleh virus HIV.
b. Western Bolt
Merupakan suatu elektroforesisi gel poliakrilamid yang digunakan untuk
mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Tes ini digunakan
untuk memastikan tes yang pertama.
c. PCR
Biakan virus menumbuhkan virus dari suatu sampel darah yang semangat
spesifik untuk infeksi HIV. Jika HIV dapat dibiakan berarti dalam darah
tersebut sudah terinfeksi HIV.
d. NAT
Pemeriksaa NAT hampir Sama seperti PCR bekerja dengan mndeteksi
materi genetik dan test ini dapat memonitor terapi ARV.
e. CD4
Pemeriksaan CD4 memberikan gambaran kasar tentang sistem imun, dan
biasanya dalam hitung sel T
39

10. Pengobatan HIV/AIDS


Pengobatan infeksi HIV/AIDS meliputi penatalaksanaan fisik,
psikologis dan social. Pengobatan medis terdiri dari: Pengobatan suportif,
pengobatan infeksi oportunistik, pengobata antiretroviral. Pengobatan suportif
meliputi: Nutrisi, olahraga, menjaga kebersihan, dukungan psikososial, dukungan
agama. Sedangkan untuk pengobatan antiretroviral (ARV) bekerja langsung
menghambat replikasi HIV. Dimana pemberian ARV bertujuan untuk
mengurangi angka kematian dan kejadian HIV, memperbaiki mutu hidup,
memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan dan menekan replikasi virus
semaksimal mungkin dalam waktu lama. Pemberian ARV bertujuan untuk
mengurangi jumlah virus dalam darah (viral load) agar menjadi sangat rendah
(Pasaribu, 2012).
Untuk memulai anti retroviral theraphy (ART), ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi oleh penderita untuk mencegah putus obat dan menjamin
efektivitas pengobatan antara lain: infeksi HIV telah dikonfirmasi dengan hasil tes
(positif) yang tercatat, memiliki indikasi medis, dan tidak memulai ART jika
tidak memenuhi indikasi klinis, mengulangi pemeriksaan CD4 dalam 4 bulan jika
memungkinkan, pasien yang memenuhi criteria dapat memulai di pelayanan
kesehatan, jika infeksi oportunistik telah diobati dan stabil, mka pasien siap untuk
pengbatan ART, adanya tim medis AIDS yang mampu memberikan perawatan
kronis dan menjamin persediaan obat yang cukup (Nursalam & Kurniawati,
2013).
a. Cara Kerja ARV
Obat-obatan ARV yang ada saat ini sebagian besar bekerja
berdasarkan siklus replikasi HIV, Jenis obat-obat ARV mempunyai target
yang berbeda pada siklus replikasi HIV yaitu (Nursalam & Kurniawati,
2013):
1) Entry (saat masuk). HIV harus masuk ke dalam sel T untuk dapat
memulai kerjanya yang merusak. HIV mula-mla melekatkan diri pada
40

sel, kemudian menyatukan membrane luarnya dengan membrane luar


sel. Enzim reverse transcriptase dapat dihalangi oleh obat AZT, ddC,
3TC, dan D4T. Sedangkan enzim integrase bisa saja dihalangi oleh obat
Saquinavir, Ritonivir, dan Indivinir.
2) Early replication. Sifat HIV adalah mengambil alih mesin genetic sel T.
setelah bergabung dengan sebuah sel. HIV menaburkan bahan-bahan
genetiknya ke dalam sel. HIV akan mengalami masalah dengan kode
genetiknya yang disebut dengan RNA, sedangkan pada manusia terjadi
proses DNA. Untuk itu HIV membuat enzim reverse transriptase (RT)
yang membuat RNA berubah menjadi DNA. Golongan non-nucleoside
RT inhibitor berfungsi untuk mengikat enzim reverse transciptase
sehingga enzim tersebut tidak berfungsi.
3) Late replication. HIV harus membelah sel DNAnya sendiri, lalu DNA
tersebut menyatu dan bersatu. Alat penyambung ini adalah enzim
integrase, maka obat integrase inhibitors diperlukan untuk menghalangi
terjadinya penyambungan.
4) Assembly. Disebut juga sebagai perakitan atau penyatuan. Ketika HIV
mengambil alih bahan-bahan genetik sel, maka sel akan diatur untuk
membuat berbagai potongan sebagai bahan untuk membuat virus baru.
Potongan ini harus dipotong dalam ukuran yang benar dan dilakukan
oleh enzim protease HIV, maka pada fase ini protease inhibitor
digunakan untuk menghalangi tejadinya penyambungan.
b. Jenis Obat-Obatan ARV
obat ARV terdiri atas beberapa golongan, antara lain sebagai berikut
(Nursalam & Kurniawati, 2013):
1) Nucleoside reverse transciptase inhibitor (NRTI). Obat ini dikenal sebagai
obat yang dapat menghambat proses terjadinya perubahan RNA virus
menjadi DNA. Proses ini bertujuan agar virus HIV dapat bereplikasi, obat
41

tersebut adalah: Zidovudine (AZT tau ZCV), Didanosine (DDI), Stavudine


(D4T), Lamivudine (3TC), Abacavir (ABC).
2) Nucleotide reverse transriptase inhibitor (NtRTI). Termasuk golongan obat
Teofovir (TDF).
3) Non-nucleoside reverse transciptase inhibitor (NNRTI). jenis golongan obat
ini bekerja dengan cara menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA
dengan cara mengikat reverse transciptase sehingga tidak berfungsi,
golongan obatnya seperti: Niverapine (NVP), Delavirdine (DLV), Efavirenz
(EFV).
4) Protease inhibitor (PI), menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi
memotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar untuk
memproduksi virus baru. Contoh golongan obat ini adalah Indinavir (IDV),
nelvinavir (NFV), squinavir (SQV), amprenavir (APV), dan
loponavir/ritonavir (LPV)
5) Fusion inhibitor, golongan obat ini adalah Enfuvirtide (T-20).
11. Model Asuhan Keperawatan HIV/AIDS
a) Pengkajian dan Masalah Keperawatan
Perjanalan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap
AIDS sejalan dengan penurunan derajat imunitas tubuh pasien. Penurunan
imunitas tubuh biasanya terdadapt penigkatan risiko dan derajat keparahan
infeksi oportunistik serta penyakit keganasan. Terjadinya imunitas tubuh
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang terpenting adalah stressor
psikososial. Reaksi yang pertama kali muncul pada pasien HIV adalah syok,
penolakan, rasa tidak percaya, dan lain-lain. Pasien beranggapan bahwa tidak
ada harapan lagi dan HIV merupakan penderitaan sepanjang hidup penderita
(Nursalam & Kurniawati, 2013).
b) Diagnosis Keperawatan pada Pasien HIVAIDS
Pada pasien dengan HIV/AIDS, bisa ditemukan beberapa diagnosis
keperawatan dan masalah kolaboratif, antara lain: Risiko komplikasi/infeksi
42

sekunder, wasting syndrome, sarkoma Kaposi, dan limfoma, meningitis,


infeksi oportunistik (misalnya Kandidiasis, Sitomegalovirus, Herpes,
Pneumocystis carinii pneumonia). Menurut NANDA (North American
Nursing Diagnosis) Internasional Taksonomi II, diagnosis keperawartan yang
kemungkinan ditemukan pada pasien dengan HIVI/AIDS adalah: Intoleransi
aktivitas, Bersihan jalan napas tidak efektif, Kecemasan, Gangguan gambaran
diri, Koping tidak efektif, Kelelahan, Distress spiritual, Keputusasaan, dan
lain-lain (Nursalam & Kurniawati, 2013).
c) Intervensi Keperawatan pada Pasien HIV/AIDS
Profesi perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan memiliki peran
penting dalam asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS antara lain
(Nursalam & Kurniawati, 2013):
1) Memfasilitasi strategi koping
Memfasilitasi sumber penggunaan potensi diri agar terjadi
respon penerimaan sesuai tahapan, teknik kognitif berupa upaya untuk
membantu penyelesaian masalah, memberikan harapan yang realistis, dan
mengingatkan pasien agar bisa bersabar dan bertawakkal, sedangkan
teknik perilakunya dilakukan dengan cara mengajarkan perilaku yang
mendukung kesembuhan, seperti kontrol dan minum obat teratur,
konsumsi nutrisi seimbang, istirahat dan aktivitas teratur, dan menghindari
aktivitas yang dapat mempersulit penyakit.
2) Dukungan sosial
Dukungan yang dapat diberikan kepada pasien HIV/AIDS adalah
dukungan emosional, agar pasien merasa nyaman. Dihargai, dicintai dan
diperhatikan. Dukungan informasi, untuk meningkatkan pengetahuan dan
penerimaan pasien terhadap sakitnya. Serta dukungan material, untuk
memberikan kemudahan akses dalam pelayanan keehatan pasien.
12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stigma dan Diskriminasi
43

Ha-hal yang mempengaruhi terjadinya stigma dan diskriminasi pada


pasien dengan HIV/AIDS adalah (Martiningsih, 2015):
a. Tingkat pendidikan
b. Lama bekerja
c. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
d. Persepsi tentang ODHA
Hasil penelitian yang dilakukan Herek (2002) di Amerika
menyatakan bahwa sekitar 40-50% masyarakat percaya bahwa HIV/AIDS
dapat ditularkan melalui percikan bersin dan batuk, minum dari gelas yang
sama dan pemakaian toilet umum, sedangkan 20% percaya bahwa ciuman pipi
bisa menularkn HIV/AIDS.
e. Dukungan institusi
Salah satu faktornya adalah institusi karena kurangnya kebijakan
dari RS dalam melindungi pasien dengan HIV, SOP (Standar Operasional
Prosedur), penyediaan sarana-fasilitas, bahan dan alat perlindungan dari serta
jaminan terhadap keamanan staf dalam pelayanan perawatan.
B. Tinjauan Islam tentang HIV/AIDS
Islam memberikan tuntunan dalam pegobatan HIV/AIDS yakni secara
fisik, psikis, dan sosial. Secara fisik melalui medis dan sejenisnya seperti terapi
ARV (AntiRetroviral) secara psikis melalui kesabaran, taubat, dan berdoa,
sedangkan secara sosial melalui penerimaan dan dukungan penuh masyarakat
terutama keluarga. Media utama penularan HIV/AIDS adalah seks bebas. Oleh
karena itu, pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas itu
sendiri dan para pengguna narkoba serta hal-hal lain yang menjadi pemicu
timbulnya penyakit tersebut. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan Islam
yang menyeluruh dan komperehensif, dimana setiap individu muslim dipahamkan
untuk kembali terikat pada hukum-hukum Islam dalam interaksi sosial.
Pada pasien HIV/AIDS selain pendekatan medis dan psikologi, maka
pendekatan keagamaan terhadap penderita HIV/AIDS adalah sangat tepat, karena
44

dikhawatrrikan penderita HIV/AIDS akan mengalami krisis spiritual dan atau


gangguan kejiwaan misalnya kecemasan dan depresi. Dari sudut pandang agama
(Islam) pendekatannya adalah sebagai berikut (Hawari, 2012):
1. Penderita HIV/AIDS karena “nakal”
Penderita HIV/AIDS akibat perzinaan, penggunaan jarum suntik
narkotika maka hendaklah bertaubat karena Allah subehanahu wa ta’ala.
Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Dalam taubatnya ini mereka akan
berjanji tidak akan melakukan perzinaan dan ha-hal yang menjerumuskan
kedalam lubang maksiat agar tidak menularkan kepada orang lain termasuk
kepada keluarganya. Dengan taubat akan meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah subehanahu wa ta’ala. Serta akan melakukan amal
saleh sehingga akan tertebuslah dosa dan kesalahan masa lalu, dan bisa jadi
mereka meninggal bukan karena penyakit AIDS sebagai penyebab utamanya
melainkan karena sebab lain, bukankah Allah subehanahu wa ta’ala. Maha
Adil manakala pertaubatannya diterima oleh-Nya (Hawari, 2012).
2. Penderita HIV/AIDS sebagai “korban”
Penderita HIV/AIDS akibat jarum suntik, transfusi darah ataupun
karena ditularkan oleh suaminya maka bertakwalah kepada Allah subehanahu
wa ta’ala. karena apa yang mereka alami merupakan musibah dan menjadi
korban bagi perbuatan yang nakal. Dari sudut pandangan Islam penyakit
AIDS merupakan peringatan kepada umatnya yang sesat maka manusia harus
menyadari dan kembali ke jalan yang benar, maka ampunan Allah
subehanahu wa ta’ala terbuka lebar. Dalam kaitannya dengan hal ini Allah
subehanahu wa ta’ala telah berfirman dalam surah Ar-Rum/30 ayat 41
(Hawari, 2012).

          

    


45

Terjemahnya:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka
merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)”. (QS.Ar-Rum/30:41)

Hal ini dijelaskan dalam tafsir Al-Misbah pada ayat diatas


menyatakan: Telah tampak kerusakan di darat, seperti kekeringan, paceklik,
hilangnya rasa aman, dan di laut, seperti ketertenggelaman, kekurangan hasil
laut dan sungai, di sebabkan karena perbuatan tangan manusia yang durhaka
sehingga akibatnya Allah menciptakan, yakni merasakan sedikit, kepada
mereka sebagian dari akibat perbuatan dosa dan pelanggaran mereka agar
mereka kembali ke jalan yang benar.
3. Penderita HIV/AIDS beragama Islam
Bagi penderita HIV/AIDS yang taat dan patuh kepada Allah
subehanahu wa ta’ala. maka hendaklah memperbanyak doa dan dzikir untuk
kesabaran dan pasrah, sebagaimana hadits Nabi Muhammad sallallahu alaihi
wa sallam. Yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Auf bin Malik yang artinya:
“Ya Alah, Yang Maha Mencukupi aku, dan Yang Sebaik-baik Melindungi aku.
Ya Rabbi… Curahkanlah kesabaran dalam hati kami, dan jadikanlah kami mati
di dalam Islam” (H.R. Abu Daud dari Auf bin Malik). Sehingga manakala ajal
telah tiba bagi penderita AIDS yang beragam Islam hendaklah tetap dalam
keimanannya (Hawari, 2012).
Seperti larangan mendekati zina dan berzina itu sendiri, larangan
khalwat (berdua-duaan laki perempuan bukan mahram), larangan ikhtilat (campur
baur antar laki-laki dan perempuan), serta menutup aurat (Quthb, 2003).
Sementara itu, kepada pelaku seks bebas segera jatuhi hukuman setimpal agar
jera dan tidak ditiru masyarakat umumnya. Misal pezina dirajam serta pelaku
aborsi dipenjara. Pelaku pornografi dan pornoaksi harus dihukum berat, termasuk
perilaku menyimpang seperti homoseksual. Salah satu faktor provokator
46

perzinaan (hubungan seks bebas, perselingkuhan dan pelacuran) adalah


pornografi. Pornografi menurut Hawari (2000) dengan mengutip firman Allah
subehanahu wa ta’ala dalam surah An-Nur ayat 30 dan 31:

           

       


Terjemahnya:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya (auratnya), dan
katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya (auratnya)”. (QS. An-
Nur/24:30,31)

Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa “Hai Rasul katakanlah, yakni


perintahkanlah kepada mereka laki-laki beriman yang demikian mantap imannya
bahwa: Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka, yakni tidak
membukanya lebar-lebar, untuk melihat sesala sesuatu yang terlarang, seperti
aurat wanita, dan kurang baik dilihat, dan di samping itu hendaklah mereka
memelihara secara utuh dan sempurna kemalauan mereka sehingga sekali tidak
menggunakannya kecuali pada yang halal, tidak membiarkannya kelihatan kecuali
kepada siapa yang boleh melihatnya, bahkan tidak menampakkannya sama sekali
walau terhadap istri-istri mereka, yang demikian itu¸ yakni menahan pandangan
dan memelihara kemaluan, adalah lebih suci dan terhormat bagi mereka, dengan
demikian mereka telah menutup rapat-rapat salah satu pintu kedurhakaan yang
besar yakni perzinaan. Wahai Rasul, sampaikanlah tuntunan ini kepada orang-
orang beriman agar mereka melaksanakannya dengan baik dan hendaklah mereka
sadar karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Islam memiliki “sistem kehidupan yang berprinsip pada amar ma’ruf
nahi munkar” sehingga sistem ini dapat menjaga setiap individu, keluarga dan
masyarakat musim dari seragam penyakit social dan moral. Umat Islam tidak
47

hanya diwajibkan melakukan kebaikan untuk mereka sendiri, tetapi juga


diwajiban mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan (Hawari, 2012).

           

   


Terjemahnya:
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari
yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS.
Al-Imran, 3:104)

Pada ayat ini dijelaskan dalam tafsir Al-Misbah bahwa Allah


emerintahkan orang yang beriman untuk menempuh jalan yang berbeda, dimana
jalan yang ditempuh adalah jalan yang luas dan lurus serta mengajak orang lain
menempuh jalan kebajikan dan makruf. Tidak menutup kemungkinan bahwa
pengetahuan yang dimiliki seseorang tidak mampu mengamalkan apa yang sudah
diketahuinya bahkan akan terlupakan dan hilang, jika tidak ada yang
mengingatkannya atau tidak dikerjakan secara berulang. Di sisi lain, pengetahuan
dan pengamalan saling berkaitan erat, pengetahuan mendorong kepada
pengamalan dan meningkatkan kualitas amal sedangkan pengamalan yang terlihat
dalam kenyataan hidup merupakan guru yang mengajar individu dan masyarakat
sehingga mereka pun belajar mengamalkannya (Shihab, 2012). Hal ini berkaitan
dengan stigma atau diskriminasi seseorang terhadap penderita HIV/AIDS.
Stigma negatif dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS tidak
dibenarkan dalam ajaran Islam. Menurutnya, diskriminasi terhadap ODHA
merupakan bentuk pengingkaran terhadap ajaran islam. “Islam tidak
membenarkan adanya stigma dan diskriminasi dalam kondisi apapun dan kepada
siapapun. ODHA merupakan orang yang harus diperlakukan selayaknya
masyarakat umum. Diskriminasi terhadap ODHA dapat berarti bahwa pelaku
diskriminasi adalah orang yang tidak menghargai kekuasaan tuhan. Sekarang
48

tinggal lagi peran aktif masyarakat, ulama, pemuda-pemudi, orang tua dan
organisasi sosial lainnya untuk bergandengan tangan melawan penyebaran virus
kutukan tersebut. Membekali anak remaja dengan iman dan ulama juga ikut
menyiarkan ketika berdakwah, menjaga dan mengawasi pergaulan anak.
pertemuan ini juga salah satu jalan untuk dapat memberikan pemahaman tentang
HIV/AIDS. Dengan adanya penyakit AIDS kita sebagai hambanya diingatkan
untuk selalu memikirkan apa yang akan dilakukan. Bertaubatlah wahai hamba
Allah subhanahu wata’ala karena Allah subhanahu wata’ala tidak menurunkan
suatu penyakit, kecuali diturunkan pula obatnya, dan hanya penyakit (pikun).
Jadi, jelaslah bahwa Islam telah mengatur semuanya dalam Al-Qur‟an sebagai
petunjuk agar kita tetap selalu di jalan Allah subhanahu wata’ala . Karena telah
banyak kejadian dan peristiwa yang di kisahkan oleh Al-Qur‟an melalui Nabi-
Nabi dan Rasul-Rasul Allah subhanahu wata’ala. Semoga kita termasuk
golongan orang-orang yang sholeh (Kastina, 2014).
C. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tidak tahu menjadi tahu terhadap
obyek tertentu setelah melalui tahap penginderaan. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan peraba (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman dalam QS. Az-Zumar (39):9

               
Terjemahnya:
… Katakanlah,“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang
49

yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar


/ 39:9)

Menurut pendekatan kontruktivitas, pengetahuan bukanlah fakta dari


suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif
seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia sementara orang lain tinggal
menerimanya, melainkan pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan
yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi
karena adanya pemahaman-pemahaman baru (Notoatmodjo, 2007).
2. Tingkatan Pengetahuan
Ada 6 tingkatan domain kognitif dalam pengetahuan menurut
Notoatmodjo (2007), antara lain:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini atau mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rancangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini
merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari adalah menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, mengatakan dan sebagainya.
b. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentanng objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut
secara benar. Seseorang yang memahami tentang suatu objek maka orang
tersebut mampu menjelaskan, menyampaikan objek tersebut kepada orang
lain.
c. Aplikasi (Aplication)
50

Aplikasi diartikan kemampuan untuk mengaplikasikan atau mengamalkan


pengetahuan yang didapat kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen, dan tetap dalam batas suatu struktur
organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan ini
dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja yang dapat menggambarkan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis merupakan kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis merupakan
kemampuan untuk menyusun formula-formula yang ada. Misalnya dapat
menyusun, merencanakan, meringkas, dan sebagainya.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo dalam jurnal Passaribu (2012), faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi pengetahuan antara lain:
a. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses belajar dimana terjadi proses pertumbuhan,
perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih dewasa maupun lebih baik
pada diri individu, kelompok maupun masyarakat. Hal ini penting karena
mempengaruhi masyarakat dalam menerima informasi sehingga mereka yang
memiliki pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima dan
menyesuaikan hal-hal baru tersebut.
b. Pengalaman
Pengalaman individu ataupun masyarakat sangat berkaitan dengan umur dan
pendidikan yang tinggi, karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka
51

pengalaman yang didapatkan semakin banyak sedangkan semakin tua umur


seseorang maka pengalamannya akan bertambah luas dan banyak.
Pengalaman akan meningkatkan keterampilan dalam berpikir secara ilmiah
dan professional dalam memberikan asuhan keperawatan.
c. Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap terhadap informasi, karena setiap individu
dewasa akan semakin sulit belajar seiring dengan bertambahnya usia
dikarenakan aspek kemampuan fisiknya semakin menurun.
d. Pelatihan
Pengetahuan merupakan diperoleh dari proses belajar sedangkan belajar
diorganisasikan baik formal maupun non formal. Pendidikan non formal dapat
diperoleh melalui kursus dan pelatihan. Pelatihan bertujuan untuk
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan serta meningkatkan
profesionalisme.
e. Sumber Informasi
Informasi yang diterima individu dapat membantu seseorang untuk
memperoleh pengetahuan. Informasi didapatkan melalui alat komunikasi,
media massa maupun media cetak.
f. Keyakinan
Keyakinan setiap individu atau masyarakat didapatkan secara turun temurun
dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan bisa mempengaruhi
pengetahuan seseorang baik keyakinan yang bersifat positif maupun negatif.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Hernani, Redjeki, & Supardi,
2014). Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan yang
dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga
masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau bisa melakukan
suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan (Fitriani, 2011).
52

Kesehatan adalah hak asasi yang melekat pada setiap manusia, baik
dalam lingkup kesehatan individual maupun kelompok (keluarga). Tanpa
kesehatan yang baik, setiap orang akan mengalami kesulitan dalam menjalankan
aktivitasnya. Pemahaman yang rendah akan urgensi kesehatan membuat
seseorang acuh dan kurang peduli dengan masalah kesehatan yang ada
dilingkungan masyarakat yang lazim disebut sabagai paradigma sehat dan sakit
dalam konsep kesehatan masyarakat (Asrari P, 2016).
Salah satu penyakit yang hingga kini menjadi permasalahan besar dan
mendapat perhatian khusus dari pemerintah adalah HIV/AIDS. Fenomena gunung
es yang menjadi ciri khas dari perkembangan kasus HIV/AIDS, ditandai dengan
penyebaran kasus HIV/AIDS yang tidak dapat diprediksi saat fase awal. Namun,
akan terlihat dan teridentifikasi ketika telah terjadi infeksi serta telah terjadi
infeksi serta telah dinyatakan positif terkena HIV/AIDS. Selain itu, stigma dan
diskriminasi di masyarakat yang masih banyak dialami penderita dan keluarga
menjadi persoalan tersendiri. Semakin tinggi stigma oleh masyarakat dan
lingkungan menyebabkan timbul banyak perlakuan diskriminatif di beberapa
bidang, dimulai dalam hal perawatan, pengobatan, pendidikan, serta pekerjaan.
(Asrari P, 2016)
Di suatu rumah sakit, tenaga perawat umumnya merupakan tenaga
terbanyak diantara tenaga kesehatan lainnya. Dengan semakin meluasnya
kejadian kasus HIV ke berbagai daerah, pencegahan penularan ke tenaga
keperawatan melalui penerapan standar pencegahan umum sangatlah penting.
Sebelum dapat melaksanakan pencegahan umum secara baik tentunya perawat
harus memahami terlebih dahulu tentang HIV/AIDS dengan berbagai
kompleksitas masalahnya (Ibrahim, Mardiah, & Priambodo, 2014).
D. Tinjauan Umum Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan pada hakikatnya merupakan satu kegiatan atau
usaha untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau
individu untuk memperoleh pengetahuan tentang kesehatan. Akhirnya
53

pengetahuan tersebut dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku sasaran


(Notoatmodjo, 2010). Adapun tujuan dari pendidikan kesehatan adalah
peningkatan pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan, tercapainya perubahan
perilaku, individu, keluarga, dan masyarakat sebagai sasaran utama penyuluhan
kesehatan dalam membina perilaku sehat dan lingkungan sehat serta berperan
aktif dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan yang optimal sesuai dengan
konsep sehat sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian
(Notoatmodjo, 2007).
Dari hasil-hasil studi yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) dan para ahli pendidikan kesehatan, bahwa pengetahuan masyarakat
tentang kesehatan sudah tinggi, tetapi praktik mereka masih rendah. Hal ini
berarti bahwa perubahan atau peningkatan pengetahuan masyarakat tentang
kesehatan tidak diimbangi dengan peningkatan atau perubahan perilakunya. Hal
ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2010) bahwa
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar
masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara
(mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau
tindakan dan pemeliharaan serta peningkatan kesehatan ini didasarkan kepada
pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pembelajaran. Sehingga perilaku
tersebut diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan menetap (langgeng)
karena didasari oleh kesadaran. Memang kelemahan dari pendidikan kesehatan ini
adalah hasilnya lama karena perubahan perilaku melalui proses pembelajaran
pada umumnya memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo, 2010). Namun dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Rohana & Arbianingsih (2016), mengatakan
bahwa pendidikan kesehatan dapat dilakukan selama tiga hari. Dimana hari
pertama dilakukan pre test dan pada hari kedua dan ketiga dilakukan pendidikan
kesehatan sekaligus evaluasi (post test).
Pendidikan kesehatan merupakan suatu upaya atau kegiatan untuk
menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan. Artinya,
54

masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan


dan menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan
(Notoatmodjo, 2012). Pendidikan kesehatan berupa penyuluhan tentang penyakit
HIV/AIDS bagi remaja sangat penting dilakukan angka kejadian HIV/AIDS
karena dibelahan dunia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Masalah
HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan
perhatian yang serius, ini terlihat dari penyebaran penyakit yang sangat cepat
tanpa mengenal batas Negara dan masyarakat di dunia (Asfar & Sri A, 2018).
Pendidikan kesehatan sebagai pendekatan terhadap faktor perilaku
kesehatan, maka kegiatannya tidak terlepas dari faktor-faktor yang menentukan
perilaku tersebut. Dengan kata lain, kegiatan pendidikan kesehatan harus
disesuaikan dengan diterminan (faktor yang mempengaruhi perilaku itu sendiri).
Menurut Lawrene Gren dalam buku Notoatmodjo (2010), perilaku ini ditentukan
oleh 3 faktor utama, yaitu:
1) Faktor Predisposisi (Predisposing factors)
Faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi
terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat, adalah pengetahuan
dan sikap seseorang atau masyarakat tersebut terhadap apa yang akan
dilakukan. Di samping itu, keperayaan, tradisi, sistem, nilai di masyarakat
setempat juga mejadi mempermudah (positif) atau mempersulit (negatif)
terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat (Notoatmodjo, 2010)
2) Faktor Pemungkin (Enabling factors)
Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah
fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau memfasilitasi terjadinya
perilaku seseorang atau masyarakat. Pengetahuan dan sikap saja belum
menjamin terjadinya perilaku, maka masih diperlukan sarana atau fasilitas
untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut (Notoatmodjo,
2010).
3) Faktor Penguat (Reinforing factors)
55

Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia terkadang belum


menjamin terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Sering terjadi,
bahwa masyarakat sudah tahu manfaat keluarga berencana (ber-KB),dan juga
telah tersedia di lingkungannya fasilitas pelayanan KB, tetapi mereka belum
ikut KB karena alasana yang sederhana, yakni bahwa Pak Kiai atau tokoh
masyarakat yang dihormatinya tidak atau belum mengikuti KB. Dari contoh
ini terlihat bahwa tokoh masyarakat merupakan faktor penguat bagi terjadinya
perilaku seseorang atau masyarakat (Notoatmodjo, 2010).
Berdasarkan 3 faktor determinan perilaku diatas, maka kegiatan
pendidikan kesehatan sebagai pendekatan perilaku hendaknya diarahkan kepada
faktor-faktor tersebut bahwa kegiatan pendidikan kesehatan yang ditujukan
kepada faktor predisposisi adalah dalam bentuk pemberian informasi atau pesan
kesehatan dan penyuluhan kesehatan yang bertujuan memberikan atau
meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, yang diperlukan oleh
seseorang atau masyarakat. Sedangkan kegiatan pendidikan kesehatan yang
ditujukan kepada faktor pemungkin adalah memberdayakan atau memandirikan
masyarakat melalui pengorganisasian dan pengembangan masyarakat, yang
bertujuan agar seseorang atau masyarakat mampu untuk memfasilitasi diri mereka
sendiri untuk berperilaku sehat. Sedangkan kegiatan pendidikan kesehatan pada
faktor penguat adalah berupa pelatihan-pelatihan kepada seseorang atau
masyarakat baik formal maupun informal, dengan tujuan agar seseorang atau
masyarakat juga mampu berperilaku contoh atau memberikan contoh kepada
masyarakat lainnya dan mampu mentransferkan pengetahuan tentang kesehatan
kepada orang lain (Notoatmodjo, 2010).
1. Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan didasarkan pada dimensi dan tempat
pelaksanaanya, oleh sebab itu ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat
didasarkan pada 2 dimensi yaitu dimensi aspek sasaran pelayanan kesehatan dan
dimensi tempat pelaksanaan atau tatanan (Setting) (Notoatmodjo, 2010).
56

a. Ruang lingkup berdasarkan aspek pelayanan kesehatan, antara lain:


1) Pendidikan kesehatan pada tingkat promotif, sasarannya yaitu pada
kelompok orang yang sehat, dengan tujuan agar mereka mampu
meningkatkan kesehatannya.
2) Pendidikan kesehatan pada tingkat preventif, sasaran pada tingkat ini
adalah kelompok orang yang sehat pula terutama yang berisiko tinggi,
misalnya kelompok ibu hamil dan menyusui, para perokok, kelompok
obesitas, para pekerja seks dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk
mencegah kelompok-kelompok tersebut agar tidak jatuh atau
menjadi/terkena sakit.
3) Pendidikan kesehatan pada tingkat kuratif, sasaran pada tingkat ini adalah
para penderita penyakit (pasien), terutama untuk penderita penyakit kronis
seperti: asma, diabetes mellitus, tuberkulosis, rematik, hipertensi, dan
sebagainya. Tujuannya adalah agar kelompok ini mampu mencegah
penyakit tersebut tidak menjadi lebih parah (secondary prevention).
4) Pendidikan kesehatan pada tingkat rehabilitatif, sasaran pada tingkat ini
adalah kelompok penderita atau pasien yang baru sembuh dari suatu
penyakit. Tujuan utamanya adalah agar mereka segera pulih kembali
kesehatannya, dan atau mengurangi kecacatan seminimal mungkin.
b. Ruang lingkup berdasarkan tatanan (tempat pelaksanaan), antara lain
(Notoatmodjo, 2010):
1) Pendidikan kesehatan pada tatanan keluarga (rumah tangga)
Keluarga adalah unit terkecil masyarakat, untuk mencapai perilaku sehat
masyarakat, maka harus dimulai pada tatanan masing-masing keluarga.
Dalam teori pendidikan dikatakan, bahwa keluarga adalah tempat
persemaian manusia sebagai anggota masyarakat. Agar semua keluarga
menjadi tempat yang kondusif untuk tumbuhnya perilaku sehat bagi anak-
anak sebagai calon anggota masyarakat, maka pendidikan kesehatan
sangat penting, dimana sasaran utamanya adalah orang tua, terutama ibu.
57

Karena ibulah di dalam keluarga itu yang sangat berperan dalam


meletakkan dasar perilaku sehat pada anak-anak mereka sejak lahir.
2) Pendidikan kesehatan pada tatanan sekolah
Sekolah merupakan perpanjangan tangan keluarga, artinya sekolah
merupakan tempat lanjutan untuk meletakkan dasar perilaku bagi anak,
termasuk pendidikan kesehatan. Peran guru dalam pendidikan kesehatan
di sekolah sangat penting, karena guru pada umumnya dipatuhi oleh anak-
anak dari pada orangtuanya. Karena guru memperoleh pelatihan-pelatihan
tentang kesehatan dan pendidikan kesehatan yang cukup kemudian guru
yang akan meneruskannya kepada murid-muridnya.
3) Pendidikan kesehatan pada tempat kerja
Tempat kerja adalah tempat di mana orang dewasa memperoleh nafkah
untuk kehidupan keluarganya. Selama lebih kurang 8 jam perhari para
pekerja ini menghabiskan waktunya untuk menjalankan aktivitas yang
berisiko pada kesehatannya. Adapun risiko yang ditanggung para pekerja
ini berbeda satu sama lainnya, tergantung pada jenis dan lingkungan kerja
masing masing. Oleh sebab itu pendidikan kesehatan di tempat kerja dapat
dilakukan oleh pimpinan perusahaan atau tempat kerja dengan
memfasilitasi tempat kerja yang kondusif bagi perilaku sehat terhadap
karyawan atau pekerjanya.
4) Pendidikan kesehatan di tepat-tempat umum
Tempat-tempat umum yang dimaksud adalah dimana orang-orang
berkumpul pada waktu-waktu tertentu, misalnya: pasar, terminal bus,
stasiun kereta api, bandara, mall, dan sebagainya. Di tempat-tempat umum
juga perlu dilaksanakan pendidikan kesehatan dengan menyediakan
fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku sehat bagi
pengunjungnya, misalnya tersedianya tempat sampah, tempat cuci tangan,
toilet, dan sebagainya.
5) Pendidikan kesehatan di institusi pelayanan kesehatan
58

Tempat-tempat pelayanan kesehatan seperti, rumah sakit, puskesmas,


balai pengobatan, poliklinik, tempat praktik dokter, dan sebagainya adalah
tempat yang paling strategis untuk pendidikan kesehatan. Sebab pada saat
orang-orang baru sakit, atau keluarganya sakit, maka mereka baru akan
peka terhadap informasi-informasi kesehatan terutama masalah kesehatan
penyakitnya, atau masalah kesehatan keluarganya. Pelaksanaan
pendidikan kesehatan di Institut pelayanan kesehatan ini dapat dilakukan
baik secara individual oleh para petugas kesehatan kepada pasien atau
keluarga pasien, atau dapat juga pada kelompok-kelompok, misalnya pada
kelompok penyakit tertentu (Notoatmodjo, 2010).
2. Metode dan Teknik Pendidikan Kesehatan
Metode dan teknik pendidikan kesehatan adalah suatu kombinasi antara
cara atau metode dan alat bantu atau media yang digunakan dalam setiap
pelaksanaan pendidikan kesehatan untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan
atau mentransformasikan perilaku kesehatan kepada sasaran atau masyarakat.
Berdasarkan sasarannya, metode dan teknik pendidikan kesehatan dibagi menjadi
3 yaitu (Notoatmodjo, 2010):
a. Metode Pendidikan Kesehatan Individual
Metode ini digunakan apabila promotor kesehatan dan sasaran atau
kliennya dapat berkomunikasi langsung, baik bertatap muka (face to face)
maupun melalui sarana komunikasi lainnya, misalnya telepon. Cara ini paling
efektif, karena antara petugas kesehatan dengan klien dapat saling berdialog,
saling merespon dalam waktu yang bersamaan. Dalam menjelaskan masalah
kesehatan bagi kliennya petugas kesehatan dapat menggunakan alat bantu atau
peraga yang relevan dengan masalahnya, metode dan teknik pendidikan
kesehatan ini disebut juga councelling.
b. Metode Pendidikan Kesehatan Kelompok
Metode ini digunakan untuk sasaran kelompok, sasaran kelompok
dibedakan menjadi dua, yakni kelompok kecil dan kelompok besar. Disebut
59

kelompok kecil apabila sasarannya terdiri dari 6-15 orang, sedangkan


kelompok besar apabila sasarannya di atas 15-50 orang. Oleh sebab itu,
metode ini dibedakan menjadi dua, antara lain (Notoatmodjo, 2010):
1) Metode dan teknik pendidikan kesehatan untuk kelompok kecil, misalnya:
diskusi kelompok, metode curah pendapat (brain storming), bola salju
(snow ball), bermain peran (role play), permainan simulasi (simulation
game), dan sebagainya. Untuk mengefektifkan metode ini perlu di bantu
dengan alat bantu atau media, misalnya: lembar balik (flip chart), alat
peraga, slide dan sebagainya.
2) Metode dan teknik pendidikam kesehatan untuk kelompok besar,
misalnya: metode ceramah yang diikuti atau tanpa diikuti dengan Tanya
jawab, seminar, loka karya, dan sebagainya. Untuk memperkuat metode
ini perlu dibantu pula dengan alat bantu misalnya, overhead projector,
slide projector, film, sound system, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
c. Metode Pendidikan Kesehatan Massa
Apabila sasaran promosi kesehatan adalah massa atau publik, maka
metode-metode dan teknik pendidikan kesehatan tersebut tidak akan efektif,
karena itu harus digunakan metode pendidikan kesehatan massa. Metode dan
teknik pendidikan kesehatan untuk massa yang sering digunakan adalah
sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010):
1) Ceramah umum (public speaking), misalnya di lapangan terbuka dan
tempat-tempat umum (public place)
2) Penggunaan media massa elektronik, seperti radio atau televisi
penyampaian dengan cara seperti ini dapat dirancang dengan berbagai
bentuk, misalnya: sandiwara (drama), talk show, dialog interaktif,
simulasi, spot dan sebagainya.
3) Penggunaan media cetak, seperti Koran, majalah, buku, leaflet, selebaran,
poster, dan sebagainya. Bentuk sajian dalam media cetak ini juga
60

bermacam-macam, antara lain: artikel, Tanya jawab, komik, dan


sebagainya.
4) Penggunaan media di luar ruang, misalnya: billboard, spanduk, umbul-
umbul, dan sebagainya.
d. Media Pendidikan Kesehatan
Media adalah alat-alat grafis, photografis atau elektronik untuk
menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.
Selain itu media mempunyai fungsi menyampaikan pesan. Media
pembelajaran harus memenuhi beberapa syarat seperti: media pembelajaran
harus meningkatkan motivasi belajar, merangsang pembelajaran mengingat
apa yang sudah dipelajari, mengaktifkan subyek belajar dalam memberikan
tanggapan/umpan balik, mendorong untuk melakukan praktek-praktek yang
benar. Menurut Notoatmodjo alat bantu yang dapat digunakan antara lain alat
bantu lihat (visual), alat bantu dengar (audio). Sedangkan media tulis dapat
berupa poster, leaflet, booklet, lembar balik, flipchart (Saputra, 2011).
Pada penelitian ini media yang digunakan dalam pendidikan
kesehatan adalah menggunakan metode berbasis video. Video adalah
seperangkat alat yang dapat memproyeksikan gambar bergerak yang
perupakan panduan antara gambar dan suara membentuk karakter sama
dengan obyek aslinya, pesan yang disajikan video dapat berupa fakta
(kejadian/peristiwa penting, berita) maupun fiktif (misal cerita) dapat pula
bersifat informatif, edukatif maupun intruksional. Video dapat
menggambarkan suatu objek yang bergerak bersama-sama dengan suara
alamiah atau suara yang sesuai. Video dapat menyajikan informasi,
memaparkan proses, menjelaskan konsep-konsep yang rumit, dan
mempengaruhi sikap (Kustandi & Sujipto, 2011).
Manfaat yang didapatkan dari metode yang digunakan adalah lebih
menarik, lebih mudah dipahami, dapat ditampilkan secara detail, dapat diputar
kapan pun yang diinginkan.
61

E. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan suatu konsep yang menjelaskan tentang
hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang telah diketahui daam
suatu masalah tertentu. Kerangka teori mencakup beberapa elemen seperti
konsep, dan faktor-faktor yang mempengaruhi suatu variabel (Notoatmodjo,
2012). Berikut ini kerangka teori yang tergambar dalam skema berikut.

Terjadi peningkatan kasus Terjadi diskriminasi pada


HIV/AIDS secara signifikan pasien HIV/AIDS oleh
tenaga kesehatan
(perawat)

Penderita Intervensi:
HIV/AIDS Pendidikan Disebabkan karena
kesehatan berbasis tingkat pendidikan, lama
video bekerja, dan kurang
pengetahuan.
Terapi ARV
(Martiningsih, 2015)
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
pengetahuan, menurut
Notoatmodjo 2010:
Pengetahuan
1. Pendidikan Perawat tentang
2. Pengalaman kerja HIV/AIDS
3. Usia
4. Pelatihan
5. Sumber informasi

Gambar 2.1. Kerangka Teori


Sumber: Notoatmodjo, 2010 dan Martiningsih, 2015.
62

F. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan rangkuman dari kerangka teori yang dibuat
dalam bentuk diagram yang menghubungkan antar variabel yang diteliti dan variabel
lain yang terkait (Sastroasmoro, 2010). Berdasarkan dari tinjauan pustaka, diperoleh
bahwa pengetahuan berpengaruh terhadap perawatan pada pasien HIV/AIDS.
Penjelasan mengenai kerangka konsep dapat digambarkan melalui skema berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Pendidikan
Pengetahuan Sumber
Kesehatan berbasis
Perawat tentang informasi
video tentang
HIV/AIDS
HIV/AIDS

1. Usia
2. Pendidikan (DIII, S1
+ Ners)
3. Lama kerja (<1 tahun

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

Keterangan:

: Hubungan yang saling mempengaruhi

: Variabel kontrol

: Variabel yang diteliti

: Variabel perancu
63

G. Alur Penelitian

Tahap Persiapan:

Penyelesaian proposal,
pengambilan data jumlah
perawat di RSUD Haji
Makassar

Populasi

Sampel (Kuota Sampling)

Pre Test Post Test

Pengukuran Pendidikan Pengukuran


pengetahuan perawat Kesehatan pengetahuan perawat
tentang HIV/AIDS melalui video tentang HIV/AIDS

Analisis data

Penyajian hasil

Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai