Anda di halaman 1dari 8

.

• PENGERTIAN ASBABUL WURUD DAN URGENSINYA

Di bawah ini sedikit penjelasan tentang Asbabul Wurud menurut pendapat


beberapa ulama.

Menurut Imam As-Suyuthi, secara terminology (syara’) Asbabul Wurud berarti :

‫ المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطالق أوتقييد أونسخ أونحو ذالك‬N‫أنه ما يكون طريقا لتحديد‬

“Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu hadis yang
bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada
tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadits”.

Sedangkan KH. Hasbi Ash-Shiddiqie mengatakan :

‫علم يعرف به السبب الذي ورد ألجله الحديث والزمان الذي جاء به‬

“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menyampaikan sabdanya dan waktu


Nabi menuturkannya”.

Mengetahui Asbabul Wurud bukanlah tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai


sarana (washilah) untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan
moral suatu hadits. Supaya tidak terjebak hanya kepada teksnya saja dari sebuah
hadits, dan terperosok kepada kesalah fahaman dalam memaknai terlebih lagi
salah penerapannya.

• Contoh Hadits dan Asbabul Wurudnya

.
Berikut ini contoh salah satu hadits dan Asbabul Wurudnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

،‫ص ِم ْن أُجُوْ ِر ِه ْم َش ْى ٌء‬ َ ُ‫َم ْن َس َّن فِ ْي ا ِإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَهُ أَجْ ُرهَا َوأَجْ ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا بَ ْع َدهُ ِم ْن َغي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬
‫ص ِم ْن‬َ ُ‫اإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َسيِّئَةً َكانَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا ِم ْن بَ ْع ِد ِه ِم ْن َغي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬
ِ ‫َو َم ْن َس َّن فِ ْي‬
)‫ار ِه ْم َش ْى ٌء (رواه مسلم‬ ِ ‫أَوْ َز‬
.

“Barangsiapa mencontohkan atau memulai suatu perbuatan baik di dalam islam,


maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang
mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan
barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan buruk di dalam islam, maka ia akan
memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya
tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”. (Riwayat Muslim).

Dan berikut Asbabul Wurudnya dari hadits diatas,

‫ار أَوْ ْال َعبَا ِء ُمتَقَلِّ ِدي‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي‬
ِ َ‫ص ْد ِر النَّه‬
ِ ‫ار فَ َجا َءهُ قَوْ ٌم ُحفَاةٌ ُع َراةٌ ُمجْ تَابِي النِّ َم‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ُكنَّا ِع ْن َد َرس‬
‫ُوف‬
ِ ‫ال ُّسي‬

Kami bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di pagi hari. Lalu datanglah


satu kaum yang telanjang kaki dan telanjang dada berpakaian kulit domba yang
sobek-sobek atau hanya mengenakan pakaian luar dengan menyandang pedang.

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لِ َما َرأَى بِ ِه ْم ِم ْن ْالفَاقَ ِة‬


َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫ض َر بَلْ ُكلُّهُ ْم ِم ْن ُم‬
ِ ‫ض َر فَتَ َم َّع َر َوجْ هُ َرس‬ َ ‫عَا َّمتُهُ ْم ِم ْن ُم‬

Umumnya mereka dari kabilah Mudhar atau seluruhnya dari Mudhar, lalu wajah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah ketika melihat kefaqiran mereka.

َ َ‫ب فَق‬
‫ال‬ َ َ‫فَ َدخَ َل ثُ َّم خَ َر َج فَأ َ َم َر بِاَل اًل فَأ َ َّذنَ َوأَقَا َم ف‬
َ َ‫صلَّى ثُ َّم خَ ط‬
.

Beliau masuk kemudian keluar dan memerintahkan Bilal untuk adzan, lalu Bilal
adzan dan iqamat, kemudian beliau shalat. Setelah shalat beliau berkhutbah seraya
membaca ayat,

‫ث ِم ْنهُ َما ِر َجاالً َكثِيرًا َونِ َسآ ًء َواتَّقُوا‬ َّ َ‫ق ِم ْنهَا زَ وْ َجهَا َوب‬َ َ‫يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي َخلَقَ ُكم ِّم ْن نَ ْف ٍس َوا ِح َد ٍة َو َخل‬
‫هللاَ الَّ ِذي تَ َسآ َءلُونَ بِ ِه َو ْاألَرْ َحا َمإ ِ َّن هللاَ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِيبًا‬

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan


kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa: 1).

‫َواآْل يَةَ الَّتِي فِي ْال َح ْش ِر‬

Dan membaca ayat di surat Al Hasyr,

َ‫ت ِل َغ ٍد َواتَّقُوا هللاَ إِ َّن هللاَ خَ بِي ُُر بِ َما تَ ْع َملُون‬


ْ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا هللاَ َو ْلتَنظُرْ نَ ْفسُُ َّماقَ َّد َم‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Al Hasyr: 18).

‫ق تَ ْم َر ٍة‬ َ َ‫اع تَ ْم ِر ِه َحتَّى ق‬


ِّ ‫ال َولَوْ بِ ِش‬ ِ ‫ص‬َ ‫اع بُ ِّر ِه ِم ْن‬
ِ ‫ص‬َ ‫َار ِه ِم ْن ِدرْ هَ ِم ِه ِم ْن ثَوْ بِ ِه ِم ْن‬
ِ ‫ق َر ُج ٌل ِم ْن ِدين‬
َ ‫ص َّد‬
َ َ‫ت‬

Telah bershadaqah seseorang dari dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, takaran sha’


kurmanya sampai beliau berkata walaupun separuh kurma.

.
ْ ‫َت َكفُّهُ تَ ْع ِج ُز َع ْنهَا بَلْ قَ ْد َع َج‬
‫زَت‬ ْ ‫ص َّر ٍة َكاد‬
ُ ِ‫ار ب‬
ِ ‫ص‬َ ‫قَا َل فَ َجا َء َر ُج ٌل ِم ْن اأْل َ ْن‬

Jarir berkata, Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak shurroh (yaitu
sejumlah apa yang mampu dibawa dan diikat dengan sesuatu), hampir-hampir
telapak tangannya tidak mampu memegangnya, bahkan tidak mampu.

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَتَهَلَّ ُل‬ ُ ‫ب َحتَّى َرأَي‬


َ ِ ‫ْت َوجْ هَ َرسُو ِل هَّللا‬ ُ ‫ال ثُ َّم تَتَابَ َع النَّاسُ َحتَّى َرأَي‬
ٍ ‫ْت َكوْ َم ْي ِن ِم ْن طَ َع ٍام َوثِيَا‬ َ َ‫ق‬
ٌ‫َكأَنَّهُ ُم ْذهَبَة‬

Jarir berkata, Kemudian berturut-turut orang memberi sampai aku melihat


makanan dan pakaian seperti dua bukit, sampai aku melihat wajah Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam bersinar seperti emas.

‫ َم ْن َس َّن فِي اإْل ِ ْساَل ِم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَهُ أَجْ ُرهَا َوأَجْ ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا بَ ْع َدهُ ِم ْن‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫ُور ِه ْم َش ْي ٌء َو َم ْن َس َّن فِي اإْل ِ ْساَل ِم ُسنَّةً َسيِّئَةً َكانَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا ِم ْن‬ ُ َ ُ‫َغي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬
ِ ‫ص ِم ْن أج‬
‫َار ِه ْم َش ْي ٌء‬ ِ ‫ص ِم ْن أَوْ ز‬ َ ُ‫بَ ْع ِد ِه ِم ْن َغي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬

Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang


membuat sunnah dalam Islam ini, sunnah hasanah, maka baginya berhak atas
pahala, dan pahala orang yang mengamalkannya (sunnah tersebut) setelahnya,
tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang
membuat sunnah sayyi’ah (sunnah yang buruk) dalam Islam, maka baginya dosa
dan (ditambah dengan) dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”(HR Muslim dalam Kitab Zakat, Bab
Motivasi Untuk Bershadaqah Walaupun dengan Sebutir Kurma no. 1017).

Itulah Asbabul Wurudnya dari hadits di atas.

• Salah menerapkan hadits akibat tidak melihat Asbabul Wurudnya

Hadits diatas, yaitu hadits,


.

،‫ص ِم ْن أُجُوْ ِر ِه ْم َش ْى ٌء‬ َ ُ‫َم ْن َس َّن فِ ْي ا ِإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَهُ أَجْ ُرهَا َوأَجْ ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا بَ ْع َدهُ ِم ْن َغي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬
‫ص ِم ْن‬َ ُ‫اإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َسيِّئَةً َكانَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا ِم ْن بَ ْع ِد ِه ِم ْن َغي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬
ِ ‫َو َم ْن َس َّن فِ ْي‬
)‫ار ِه ْم َش ْى ٌء (رواه مسلم‬ ِ ‫أوْ َز‬ َ

“Barangsiapa mencontohkan atau memulai suatu perbuatan baik di dalam islam,


maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang
mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan
barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan buruk di dalam islam, maka ia akan
memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya
tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”. (Riwayat Muslim).

Sering dijadikan dalil oleh sebagian umat Islam untuk membenarkan bolehnya
membuat-buat perkara baru dalam urusan ibadah (bid’ah).

Membolehkan membuat-buat perkara baru dalam urusan ibadah (bid’ah) dengan


berdalilkan hadits di atas adalah salah satu contoh salah dalam memaknai dan
menerapkan sebuah hadits.

Kesalahan memaknai dan menerapkan hadits tersebut adalah akibat dari tidak
memperhatikan Asbabul Wurudnya (sebab turunnya) hadits tersebut.

Maka disinilah pentingnya mengetahui Asbabul Wurud (sebab turunnya) dari


sebuah hadits, supaya tidak terjadi kesalahan memaknai sebuah hadits, yang
berakibat salah penerapan.

Kenapa dikatakan salah memaknai dan menerapkannya apabila hadits diatas


dijadikan dalil untuk membenarkan bolehnya berbuat bid’ah ?

Karena hadits tersebut bukan perintah atau persetujuan Nabi kepada orang yang
membuat-buat perkara baru dalam urusan ibadah (bid’ah). Tapi sebagai bentuk
apresiasi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang Sahabatnya
yang mendahului berbuat amal salih. Dalam hal ini shodaqoh.
.

Apakah shodaqoh yang di lakukan seorang Sahabat tersebut mau di katakan


perkara baru ?

Tentu saja sodaqoh yang di lakukan seorang Sahabat tersebut bukan perkara baru.
Tetapi amal saleh yang sudah ada perintahnya dalam Islam.

Dan seorang Sahabat yang mendahului bersedekah tersebut, juga karena ada
anjuran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), maksudnya beramal salih.
Perhatikan khutbah Rasulullah shalaihu ‘alaihi wa sallam diatas.

َ‫ت لِ َغ ٍد َواتَّقُوا هللاَ إِ َّن هللاَ خَ بِي ُُر بِ َما تَ ْع َملُون‬


ْ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا هللاَ َو ْلتَنظُرْ نَ ْفسُُ َّماقَ َّد َم‬

“Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat)”. (QS. Al Hasyr: 18).

Ayat diatas sebagai perintah dari Allah Ta’ala untuk beramal saleh, untuk
kehidupan di akhirat.

• Penjelasan para Ulama tentang hadits diatas

– Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terhadap hadits diatas menjelaskan,

“Yang dimaksud dengan,

“‫”من سن في اإلسالم سنة حسنة‬

“Barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam ini, sunnah hasanah,


.

Ialah memelopori suatu amal yang telah ada, bukan membuat amalan baru.
Karena barangsiapa yang mengada-adakan suatu amalan yang tidak ada asalnya
dalam Islam, maka amalan tersebut tertolak, dan bukan sebuah amalan yang baik.
Yang dimaksud ialah sebagaimana laki-laki dari kalangan Anshar tersebut,
radhiyallahu ‘anhu yang membawa kurma sebanyak satu shurrah. Hal ini menjadi
dalil bahwa barangsiapa yang meniru perbuatan semisal dengan apa yang
dilakukan pelopor sunnah ini, maka tercatat bagi si pelopor sunnah tersebut,
pahala, baik ia masih hidup maupun telah meninggal”. (Syarh Riyadh As
Shalihin).

– Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly terhadap hadits diatas dalam Bahjatun Nazhirin
1/258 mengatakan : “Hadits ini bukanlah hujjah bagi mereka yang menghias-hiasi
perbuatan bid’ah, dan mereka yang berkata bahwa dalam Islam terdapat yang
namanya “bid’ah hasanah” .

Inilah dalil bahwa tafsir mereka hanyalah omong kosong dan kedustaan yang
nyata, dan bantahannya sangat jelas, bahwa setiap apa yang diperbuat oleh lelaki
Anshar itu hanyalah memulai shadaqah, dan shadaqah ialah perbuatan yang telah
disyariatkan lewat berbagai nash, lantas mereka menyangka bahwa shahabat ini
telah mendatangkan suatu bid’ah hasanah ?!”. (selesai perkataan dari Syaikh
Salim bin ‘Ied Al Hilaly).

• Arti kata “sanna” (‫) َس َّن‬

Kata “sanna” (‫ ) َس َّن‬secara bahasa adalah : “Memulai perbuatan lalu diikuti oleh
orang lain”. Sebagaimana terdapat di dalam kamus-kamus bahasa Arab.

Al-Azhari rahimahullah (wafat tahun 370 H) dalam kitabnya Tadziib al-Lughoh


berkata : “Setiap orang yang memulai suatu perkara lalu dikerjakan setelahnya
oleh orang-orang maka dikatakan dialah yang telah merintisnya”. (Tahdziib al-
Lughoh, karya al-Azhari, tahqiq Ahmad Abdul Halim, Ad-Daar Al-Mishriyah,
12/306).

.
Juga sebagaimana disampaikan oleh Az-Zabidi dalam kitabnya, (Taajul ‘Aruus
min Jawahir al-Qoomuus, 35/234, Ibnul Manzhuur dalam kitabnya Lisaanul
‘Arob 13/220).

Lalu bagaimana dengan Kata “sanna” (‫ ) َس َّن‬pada hadits di atas, apakah Kata
“sanna” (‫ ) َس َّن‬tersebut mengandung arti memulai atau merintis amalan yang benar-
benar baru ?

Kata “sanna” (‫ ) َس َّن‬pada hadits di atas BUKAN BERARTI BERKREASI


MEMBUAT AMALAN BARU YANG TIDAK ADA CONTOH
SEBELUMNYA. Tapi berupa amalan yang memang sudah ada tuntunannya atau
perintahnya. KITA BISA MENGETAHUI MAKNANYA TERSEBUT
BERDASARKAN SEBAB TURUNNYA atau KRONOLOGINYA HADITS
TERSEBUT.

Oleh karenanya kata “sanna” (‫ ) َس َّن‬bukan berarti harus berkreasi amalan baru atau
berbuat bid’ah yang tidak ada contoh sebelumnya.

Akan tetapi lafal “sanna” (‫ ) َس َّن‬bersifat umum, yaitu setiap yang memulai suatu
perbuatan lalu diikuti, baik perbuatan tersebut telah ada sebelumnya atau
merupakan kreasinya sendiri.

Namun dengan melihat SEBAB TURUNNYA atau KRONOLOGINYA hadits


tersebut, maka dipahami bahwa yang dimaksud oleh Nabi dengan Kata “sanna” (
‫ ) َس َّن‬pada hadits itu, adalah yang mendahului melakukan sunnah yang telah
diajarkan dan dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan
membuat-buat amalan baru (bid’ah).

Karenanya al-Azhari berkata tentang hadits diatas : “Dalam hadits “Barang siapa
yang “sanna” sunnah yang baik baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengamalkannya, dan barang siapa yang “sanna” sunnah yang buruk …”,
MAKSUD NABI ADALAH BARANG SIAPA YANG MENGAMALKANNYA
UNTUK DI IKUTI”. (Tahdziib al-Lughoh 12/298).

Anda mungkin juga menyukai